Paper UAS Kebijakan Imigrasi di Uni Er
Kebijakan Imigrasi di Uni Eropa: Peluang, Tantangan, dan Dilema
Oleh: Lalu Abdul Fatah1
Latar Belakang
Imigrasi merupakan salah satu isu politik yang berkembang dan sedang dihadapi oleh
Uni Eropa (selanjutnya disingkat UE) pada saat ini. Imigrasi Imigrasi netto di Eropa pada
tahun 2001 menempati 3 dari 1.000 penduduk dan saat ini populasi imigrannya mencapai 56,1
juta dibandingkan Amerika Utara yang 40,8 juta2. Dari sini terlihat indikasi bahwa pada tahuntahun mendatang, Eropa akan menjadi tujuan utama bagi para imigran apalagi dengan
tersedianya pekerjaan yang membutuhkan buruh serta keterampilan jangka pendek.
Keberadaan imigran membawa peluang bagi UE dalam bidang sosial dan ekonomi.
Namun, di sisi lain juga membawa masalah yang tidak sedikit. Oleh karena itu, serangkaian
kebijakan telah dan akan terus digodok, baik oleh UE selaku organisasi regional di Eropa,
juga oleh negara masing-masing yang menjadi anggota UE.
Estimasi dari Eurostat3 menunjukkan bahwa pada tahun 2006 sekitar 3,5 juta orang
menempati residen baru di 27 negara anggota UE. Setelah peningkatan hebat pada tahun 2003
dibandingkan pada tahun 2002, peningkatan yang lebih tinggi lagi terjadi pada tahun 2006,
setengah lebih tinggi pada tahun 20024. Akan tetapi, dalam tiga tahun terakhir jumlahnya
menurun.
Negara yang paling banyak jumlah imigrannya adalah Spanyol dan Irlandia.
Sebaliknya, beberapa negara seperti Jerman, Austria, dan Belanda menunjukkan penurunan
imigrasi. Pada tahun 2006, total imigrasi di tiga negara ini masing-masing 14%, 17%, dan
11% lebih rendah ketimbang tahun 20025.
Jika merunut kembali sejarah imigrasi di UE, maka akan ditemukan fakta bahwa
fenomena ini secara dramatis berkembang pasca berakhirnya Perang Dunia II. Prancis,
Jerman, UK, negara-negara Benelux, Austria, Swiss, Swedia, dan Denmark mulai didatangi
oleh gelombang imigrasi setidaknya pada tahun 1960-an. Meskipun sempat terjadi penurunan
1
Penulis adalah mahasiwa aktif semester 5 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Airlangga, dengan NIM
070710428. Penulis bisa dihubungi melalui surat elektronik: [email protected].
2
Christina Boswell, 2006, “Migration in Europe”, Global Commission on International Migration (GCIM).
3
Anne Herm, 2008, “Recent migration trends: citizens of EU-27 Members States become ever more mobile
while EU remains attractive to non-EU citizens”, Eurostat statistics in focus.
4
Ibid, pp. 2
5
Ibid, pp. 2
dengan adanya penyetopan rekrutmen antara tahun 1973-1974, namun gelombang imigrasi
terus berlanjut dalam konteks reuni keluarga (yang terpisah oleh perang), pengungsi, serta
migrasi buruh. Level imigrasi tertinggi terjadi sejak 1990-an yang dialami oleh Prancis,
Austria, Jerman, Belanda, Swiss, UK, dan negara-negara Skandinavia lainnya. Pengecualian
atas Jerman yang justru mengalami penurunan populasi pada awal 1990. Hal ini bisa dipahami
karena adanya gelombang perpindahan penduduk dari Jerman, terutama Jerman Timur yang
pindah ke Jerman Barat dan negara-negara Eropa Barat lainnya, baik itu untuk bertemu
dengan keluarga mereka yang telah terpisah bertahun-tahun, maupun untuk mencari
penghidupan yang lebih baik.
Pada tahun 1980-an, kategori negara penerima imigran pun bertambah. Kali ini yang
menjadi faktor penarik adalah negara-negara yang mengalami pertumbuhan kemakmuran dari
segi ekonomi. Negara-negara tersebut adalah Irlandia, Spanyol, Portugis, Yunani, dan
Finlandia. Sementara itu, negara-negara di Eropa utara memberlakukan sejumlah kebijakan
yang membatasi kehadiran imigran.
Kategori ketiga negara penerima imigran kali ini disandang oleh negara-negara CEEC
(Central Eastern Europe Countries). Setelah tahun 1989, negara-negara bekas reruntuhan Uni
Soviet yang berbatasan dengan Eropa di sebelah timur menjadi negara transit yang penting
bagi para migran sebelum mereka masuk ke negara-negara penerima lainnya di Eropa Barat.
Siprus, Hongaria, Republik Czech, Slowakia, dan Slovenia sekarang menjadi negara-negara
dengan migrasi netto yang positif. Artinya, mereka juga menjadi negara penerima imigran.
Jika dilakukan komparasi imigran antara mereka yang melakukan imigrasi untuk
bekerja dan untuk mencari suaka (perlindungan), maka jumlah imigran yang ingin mencari
pekerjaan relatif lebih banyak daripada imigran yang mencari suaka politik. Data dari OECD 6
pada tahun 2004 menunjukkan sejak tahun 1990, terjadi peningkatan gelombang imigran dari
Turki, Maroko, juga pencari suaka dari Yugoslavia, Irak, dan Iran. Berikut ini data pada tahun
2001 yang menunjukkan negara asal imigran dan negara penerimanya di Eropa, yakni:
Maroko di Belgia; Irak dan Afganistan di Denmark; Rusia di Finlandia; Maroko dan Algeria
di Prancis; Poli dan Turki di Jerman; Rumania dan Ukraina di Hongaria; Albania, Rumania,
dan Maroko di Italia; Angola dan Cape Verde di Portugal, Irak di Swedia, dan India di
Inggris7.
6
7
Organisation for Economic Cooperation and Development, 2004, ‘Trends in International Migration 2003’.
Ibid.
Itulah sekelumit sejarah tentang imigrasi di UE. Sebagaimana telah disinggung di atas,
keberadaan para imigran membawa dampak yang tidak sedikit. Di satu sisi, memang terjadi
simbiosis mutualisme, dimana negara-negara Eropa membutuhkan tenaga kerja untuk
keberlangsungan industri dan perekonomian mereka dan posisi-posisi itu bisa diisi oleh para
imigran. Imigran yang memang tujuan utamanya kebanyakan mencari pekerjaan, akhirnya
tidak susah mendapatkannya. Selama lowongan itu bisa disediakan oleh negara-negara
penerima, tentu saja bukan suatu masalah. Namun, akan berbeda jadinya jika jumlah imigran
membludak tanpa adanya kesiapan dari negara penerima. Ini tentu saja menjadi masalah
tersendiri.
Fenomena imigrasi ini menyebabkan perubahan-perubahan dalam negara-negara
Eropa. Salah satu faktor penting yang berubah adalah kebijakan. Di satu sisi, penyediaan
program migrasi yang legal dari pemerintah di negara penerima amatlah terbatas sebab
negara-negara Eropa kini pun melakukan seleksi khusus untuk menyaring migran yang yang
memiliki keterampilan tinggi. Adanya program penyeleksian ini mengindikasikan sebuah
problematika mengenai buruh-buruh jangka pendek dan ketidaksinkronan antara supply dan
demand di banyak negara Eropa.
Skup yang terbatas dari program ini kemudian memunculkan efek bola salju, dimana
tren yang terjadi kemudian adalah ketidakteraturan imigran yang masuk, masalah tempat
tinggal, hingga penyediaan lapangan pekerjaan. Terlebih lagi, pembatasan terhadap akses para
pencari suaka mengakibatkan adanya jalur-jalur migrasi tertentu sehingga para pengungsi pun
beralih pada migrasi yang tidak teratur (tidak sesuai prosedur) tersebut.
Faktor kedua yang memengaruhi arus migrasi selama 15 tahun terakhir ini jug adalah
perubahan hubungan antara UE dengan tetangga-tetangganya di Timur dan Selatan. Pada
awalnya, penghapusan restriksi untuk melakukan perjalanan bagi negara-negara bekas
komunis, membuka jalur yang berlipat-lipat bag mobilitas yang lebih teratur, dimana
mudahnya transfer intra-perusahaan, kemungkinan untuk studi, program migrasi buruh secara
temporer, penempatan Aussiedler (etnik Jerman), dan lain-lain8.
Namun, hal ini pula
membuka peluang terjadinya migrasi yang tidak teratur, penyelundupan, dan perdagangan
manusia dari dan melalui negara-negara Eropa Timur dan Tengah ke negara-negara Eropa
Barat. Kebijakan baru berupa kontrol yang lebih ketat di perbatasan eksternal langsung
8
Opcit
dengan negara-negara CEE juga mengakibatkan terbatasnya mobilitas antara negara-negara
anggota baru UE dan tetangga di sekitarnya yang bukan anggota UE.
Permasalan pun makin pelik tatkala di dalam UE sendiri terdapat 27 negara anggota
yang masing-masing punya kepentingan dan keinginan berbeda terkait problem imigrasi.
Benturan kepentingan terjadi antara masyarakat Eropa yang tinggal di negara-negara Eropa
Barat dan Utara dengan masyarakat yang berasal dari negara-negara Eropa Timur dan Tengah
yang secara kultur dan etnik berbeda. Sentimen anti-imigran pun termanifestasikan dalam
dukungan publik terhadap kebijakan imigrasi terbatas dan kebijakan suaka, pelaporan yang
negatif di media tentang imigran dan pencari suaka, isu diskriminasi melawan kelompok
minoritas etknik, serta rasisme atau kekerasan anti-imigran.
Dilema Kebijakan
Adanya masalah-masalah di atas pada akhirnya memunculkan dilema dalam
pembuatan kebijakan mengenai imigrasi di UE. Dilema tersebut bisa dibagi dalam empat
kategori, antara lain dilema dalam: kebijakan migrasi buruh, kebijakan kontrol migrasi, sistem
perlindangan dan suaka, serta kebijakan integrasi9.
Penulis akan mulai dari dilema kebijakan migrasi buruh. Di banyak negara, tidak
dipungkiri, bahwa ada konflik serius antara ekonomi dengan demografi, khususnya dalam
kasus bertambahnya jumlah buruh serta resistensi publik terhadap migrasi yang meninggi.
Negara-negara Eropa telah mengompromikan problem ini melalui cara-cara yang berbeda.
Dalam banyak kasus, pemerintah telah sukses mengenalkan legislasi atau program liberalisasi.
Program dan legislasi ini ditujukan untuk migran yang memiliki keterampilan tinggi atau
minimal punya keterampilan di bidang tertentu. Program ini juga diperkenalkan bagi migran
yang memang sudah tinggal di negara Eropa sebelum program ini diluncurkan.
Akan tetapi, upaya eksplisit pada pengekspansian program ini secara politik
mengandung kontroversial. Pemerintah UE memandang program ini sebagai hal yang
menjanjikan dan bersifat temporer dan tidak akan dibuat permanen (sebagaimana contohnya
dalam kasus Paspor Hijau di Jerman). Namun, dalam kasus yang berbeda, pemerintah telah
menghindari konflik politik dengan mengenalkan liberalisasi melalui sikap yang tidak
meminta persetujuan parlemen dan perhatian yang sedikit dari media.
9
Mikko Lahteenmaki, 2004, ‘Refugee and Migration Policy in the European Union’, International Seminar for
Experts in the Series Great Debates organised by the Cicero Foundation, Paris, 18-19 November 2004.
Tak satu pun dari kompromi ini yang menetapkan solusi berkelanjutan bagi buruh
jangka pendek.
Kebijakan kontrol migrasi juga meningkatkan dilema bagi pemerintahan UE. Ada
hambatan yang serius bagi pemerintah untuk mengontrol perpindahan migran, residen, dan
buruh yang tidak teratur. Kontrol internal terhadap pengencangan konsumsi air, misalnya,
untuk mencegah penempattinggalan yang tidak teratur. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan
prinsip yang diterima di negara-negara liberal demokratis. Mirip dengan itu adalah mahalnya
biaya pengontrolan perbatasan dan menyebabkan penundaan yang serius bagi mereka yang
akan menyeberang melewati perbatasan, dan efek selanjutnya adalah efek yang negatif
terhadap industri pariwisata dan perdagangan. Di sisi lain, jaringan penyelundupan dan
perdagangan manusia menjadi lebih canggih lagi metodenya. Akibatnya, kebijakan kontrol ini
juga harus mempertimbangkan aspek pengadaptasian hi-tech dalam kegiatannya di lapangan.
Dalam kasus negara-negara Schengen, bentuk kontrol di perbatasan internal ini tidak lagi
berfungsi karena adanya abolisi pengecekan.
Upaya pengontrolan buruh yang tidak teratur ini menghadapi kendala-kendala pula.
Misalnya, konflik antara kepentingan bisnis dalam menyelamatkan suplai buruh yang murah.
Adanya kepentingan ini menunjukkan derajat penguatan yang lemah dalam pemberian sanksi
bagi pegawai di banyak negara. Sekali saja orang telah menjadi residen dalam perideo yang
lama, merupakan hal yang sulit untuk kemudian menyepelekan mereka dengan alasan praktis
dan kemanusiaan, dan kemungkinan ada kasus yang lebih kuat lagi dalam pengaturan status
mereka. Hal ini tentu saja tanpa problem.
Lalu, sistem suaka pun menyimpan dilema tersendiri. Sejak tahun 1980, negara-negara
Eropa telah memiliki pengalaman yang cukup banyak mengenai restriksi terhadap sistem
suaka ini – berdasarkan Konvensi Jenewa tahun 1951 10. Kesejahteraan dan dukungan
akomodasi buat pencari suaka telah dikurangi secara radikal, dan dalam beberapa kasus, para
pencari suaka juga telah dipindahkan ke wilayah-wilayah khusus. Dokumen-dokumen aplikasi
suaka mereka juga dipertimbangkan melalu prosedur yang telah diakselerasi, serta pembatasan
visa, juga aturan dari “negara aman” atau negara transit juga membatasi akses terhadap sistem
suaka. Di antara semua perubahan ini, sistem suaka ini juga pada akhirnya gagal
mempertemukan dua tujuan utama, yakni: memberikan dukungan bagi mereka yang
10
opcit
membutuhkan perlindungan serta membatasi dan mencegah mereka yang memang tidak
membutuhkan. Kebijakan ini pada kelanjutannya nanti memunculkan protes dari kelompokkelompok pembela hak asasi manusia dan juga kelompok buruh. Media dan publik pun
melanggar sistem suaka lewat pemberitaan dan sikap mereka.
Di sini bisa dilihat bahwa ada dua kasus yang terjadi, yakni konflik antara domestik,
Eropa, dan pengungsi internasioal serta norma hak asasi manusia di satu sisi; serta tekanan
publik terhadap restriksi di sisi lain.
Masalah terakhir yang masih menjadi dilema dalam kebijakan UE mengenai imigrasi
adalah tentang integrasi. Integrasi merupakan isu yang paling banyak menuai perdebatan di
Eropa. Hal ini diakibatkan oleh wacana kedaulatan nasional dari masing-masing negara yang
masih kuat mempertahankan identitas nasional mereka. Sebab, hal ini mau tidak mau nantinya
akan berdampak pada masalah kewarganegaraan dan aturan-aturan negara. Sebenarnya,
dilema kebijakan integrasi di Eropa berakar pada masalah klasik, yakni tensi antara kedekatan
populis, pertimbangan ekonomi, dan norma-norma serta institusi liberal.
Penyederhanaan ini tentunya terlalu beresiko. Oleh sebab itu, penyederhanaan ini bisa
dibagi dalam tiga pendekatan integrasi yang telah mengkristal di Eropa pasca Perang Dunia,
yakni: 1) pendekatan multikultural, yang mengimplikasikan toleransi terhadap perbedaan
budaya dan agama, penegakan legislasi anti-diskriminasi, serta akses yang mudah untuk
mendapatkan kewarganegaraan; 2) pendekatan kewarganegaraan sosial, yakni menawarkan
kepada para imigran untuk quasi-membership dalam kerangka memenuhi hak-hak sosial dan
ekonomi, namun membatasi akses untuk memiliki kewarganegaraan penuh; dan 3) pendekatan
republikan, yang memberikan akses mudah bagi kewarganegaraan tapi dengan syarat warga
negara tersebut membebaskan diri mereka dari keterikatan etnik dan agama tertentu di dalam
lingkungan publik.
Kesimpulan
Dari berbagai dilema kebijakan mengenai imigrasi di atas, bisa ditarik kesimpulan
bahwa kebijakan imigrasi masih merupakan hal yang belum benar-benar fixed. Ini adalah
resiko bagi sebuah organisasi regional dengan 27 negara anggota yang memiliki kepentingan
dan keinginan yang berbeda-beda. Namun, sejalan dengan semakin tingginya komitmen
negara-negara anggota terhadap Perjanjian Lisbon (Lisbon Treaty), maka penyempurnaan
serta pelaksanaan kebijakan imigrasi ini bukan hal yang tidak mungkin untuk diujudkan.
Daftar Pustaka
Boswell, Christina, 2006, “Migration in Europe”, Global Commission on International
Migration (GCIM).
Herm, Anne, 2008, “Recent migration trends: citizens of EU-27 Members States become ever
more mobile while EU remains attractive to non-EU citizens”, Eurostat Statistic in
focus.
Lahteenmaki, Mikko, 2004, ‘Refugee and Migration Policy in the European Union’,
International Seminar for Experts in the Series Great Debates organised by the Cicero
Foundation, Paris, 18-19 November 2004.
Organisation for Economic Cooperation and Development, 2004, ‘Trends in International
Migration 2003, Paris: OECD Sopemi.
Oleh: Lalu Abdul Fatah1
Latar Belakang
Imigrasi merupakan salah satu isu politik yang berkembang dan sedang dihadapi oleh
Uni Eropa (selanjutnya disingkat UE) pada saat ini. Imigrasi Imigrasi netto di Eropa pada
tahun 2001 menempati 3 dari 1.000 penduduk dan saat ini populasi imigrannya mencapai 56,1
juta dibandingkan Amerika Utara yang 40,8 juta2. Dari sini terlihat indikasi bahwa pada tahuntahun mendatang, Eropa akan menjadi tujuan utama bagi para imigran apalagi dengan
tersedianya pekerjaan yang membutuhkan buruh serta keterampilan jangka pendek.
Keberadaan imigran membawa peluang bagi UE dalam bidang sosial dan ekonomi.
Namun, di sisi lain juga membawa masalah yang tidak sedikit. Oleh karena itu, serangkaian
kebijakan telah dan akan terus digodok, baik oleh UE selaku organisasi regional di Eropa,
juga oleh negara masing-masing yang menjadi anggota UE.
Estimasi dari Eurostat3 menunjukkan bahwa pada tahun 2006 sekitar 3,5 juta orang
menempati residen baru di 27 negara anggota UE. Setelah peningkatan hebat pada tahun 2003
dibandingkan pada tahun 2002, peningkatan yang lebih tinggi lagi terjadi pada tahun 2006,
setengah lebih tinggi pada tahun 20024. Akan tetapi, dalam tiga tahun terakhir jumlahnya
menurun.
Negara yang paling banyak jumlah imigrannya adalah Spanyol dan Irlandia.
Sebaliknya, beberapa negara seperti Jerman, Austria, dan Belanda menunjukkan penurunan
imigrasi. Pada tahun 2006, total imigrasi di tiga negara ini masing-masing 14%, 17%, dan
11% lebih rendah ketimbang tahun 20025.
Jika merunut kembali sejarah imigrasi di UE, maka akan ditemukan fakta bahwa
fenomena ini secara dramatis berkembang pasca berakhirnya Perang Dunia II. Prancis,
Jerman, UK, negara-negara Benelux, Austria, Swiss, Swedia, dan Denmark mulai didatangi
oleh gelombang imigrasi setidaknya pada tahun 1960-an. Meskipun sempat terjadi penurunan
1
Penulis adalah mahasiwa aktif semester 5 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Airlangga, dengan NIM
070710428. Penulis bisa dihubungi melalui surat elektronik: [email protected].
2
Christina Boswell, 2006, “Migration in Europe”, Global Commission on International Migration (GCIM).
3
Anne Herm, 2008, “Recent migration trends: citizens of EU-27 Members States become ever more mobile
while EU remains attractive to non-EU citizens”, Eurostat statistics in focus.
4
Ibid, pp. 2
5
Ibid, pp. 2
dengan adanya penyetopan rekrutmen antara tahun 1973-1974, namun gelombang imigrasi
terus berlanjut dalam konteks reuni keluarga (yang terpisah oleh perang), pengungsi, serta
migrasi buruh. Level imigrasi tertinggi terjadi sejak 1990-an yang dialami oleh Prancis,
Austria, Jerman, Belanda, Swiss, UK, dan negara-negara Skandinavia lainnya. Pengecualian
atas Jerman yang justru mengalami penurunan populasi pada awal 1990. Hal ini bisa dipahami
karena adanya gelombang perpindahan penduduk dari Jerman, terutama Jerman Timur yang
pindah ke Jerman Barat dan negara-negara Eropa Barat lainnya, baik itu untuk bertemu
dengan keluarga mereka yang telah terpisah bertahun-tahun, maupun untuk mencari
penghidupan yang lebih baik.
Pada tahun 1980-an, kategori negara penerima imigran pun bertambah. Kali ini yang
menjadi faktor penarik adalah negara-negara yang mengalami pertumbuhan kemakmuran dari
segi ekonomi. Negara-negara tersebut adalah Irlandia, Spanyol, Portugis, Yunani, dan
Finlandia. Sementara itu, negara-negara di Eropa utara memberlakukan sejumlah kebijakan
yang membatasi kehadiran imigran.
Kategori ketiga negara penerima imigran kali ini disandang oleh negara-negara CEEC
(Central Eastern Europe Countries). Setelah tahun 1989, negara-negara bekas reruntuhan Uni
Soviet yang berbatasan dengan Eropa di sebelah timur menjadi negara transit yang penting
bagi para migran sebelum mereka masuk ke negara-negara penerima lainnya di Eropa Barat.
Siprus, Hongaria, Republik Czech, Slowakia, dan Slovenia sekarang menjadi negara-negara
dengan migrasi netto yang positif. Artinya, mereka juga menjadi negara penerima imigran.
Jika dilakukan komparasi imigran antara mereka yang melakukan imigrasi untuk
bekerja dan untuk mencari suaka (perlindungan), maka jumlah imigran yang ingin mencari
pekerjaan relatif lebih banyak daripada imigran yang mencari suaka politik. Data dari OECD 6
pada tahun 2004 menunjukkan sejak tahun 1990, terjadi peningkatan gelombang imigran dari
Turki, Maroko, juga pencari suaka dari Yugoslavia, Irak, dan Iran. Berikut ini data pada tahun
2001 yang menunjukkan negara asal imigran dan negara penerimanya di Eropa, yakni:
Maroko di Belgia; Irak dan Afganistan di Denmark; Rusia di Finlandia; Maroko dan Algeria
di Prancis; Poli dan Turki di Jerman; Rumania dan Ukraina di Hongaria; Albania, Rumania,
dan Maroko di Italia; Angola dan Cape Verde di Portugal, Irak di Swedia, dan India di
Inggris7.
6
7
Organisation for Economic Cooperation and Development, 2004, ‘Trends in International Migration 2003’.
Ibid.
Itulah sekelumit sejarah tentang imigrasi di UE. Sebagaimana telah disinggung di atas,
keberadaan para imigran membawa dampak yang tidak sedikit. Di satu sisi, memang terjadi
simbiosis mutualisme, dimana negara-negara Eropa membutuhkan tenaga kerja untuk
keberlangsungan industri dan perekonomian mereka dan posisi-posisi itu bisa diisi oleh para
imigran. Imigran yang memang tujuan utamanya kebanyakan mencari pekerjaan, akhirnya
tidak susah mendapatkannya. Selama lowongan itu bisa disediakan oleh negara-negara
penerima, tentu saja bukan suatu masalah. Namun, akan berbeda jadinya jika jumlah imigran
membludak tanpa adanya kesiapan dari negara penerima. Ini tentu saja menjadi masalah
tersendiri.
Fenomena imigrasi ini menyebabkan perubahan-perubahan dalam negara-negara
Eropa. Salah satu faktor penting yang berubah adalah kebijakan. Di satu sisi, penyediaan
program migrasi yang legal dari pemerintah di negara penerima amatlah terbatas sebab
negara-negara Eropa kini pun melakukan seleksi khusus untuk menyaring migran yang yang
memiliki keterampilan tinggi. Adanya program penyeleksian ini mengindikasikan sebuah
problematika mengenai buruh-buruh jangka pendek dan ketidaksinkronan antara supply dan
demand di banyak negara Eropa.
Skup yang terbatas dari program ini kemudian memunculkan efek bola salju, dimana
tren yang terjadi kemudian adalah ketidakteraturan imigran yang masuk, masalah tempat
tinggal, hingga penyediaan lapangan pekerjaan. Terlebih lagi, pembatasan terhadap akses para
pencari suaka mengakibatkan adanya jalur-jalur migrasi tertentu sehingga para pengungsi pun
beralih pada migrasi yang tidak teratur (tidak sesuai prosedur) tersebut.
Faktor kedua yang memengaruhi arus migrasi selama 15 tahun terakhir ini jug adalah
perubahan hubungan antara UE dengan tetangga-tetangganya di Timur dan Selatan. Pada
awalnya, penghapusan restriksi untuk melakukan perjalanan bagi negara-negara bekas
komunis, membuka jalur yang berlipat-lipat bag mobilitas yang lebih teratur, dimana
mudahnya transfer intra-perusahaan, kemungkinan untuk studi, program migrasi buruh secara
temporer, penempatan Aussiedler (etnik Jerman), dan lain-lain8.
Namun, hal ini pula
membuka peluang terjadinya migrasi yang tidak teratur, penyelundupan, dan perdagangan
manusia dari dan melalui negara-negara Eropa Timur dan Tengah ke negara-negara Eropa
Barat. Kebijakan baru berupa kontrol yang lebih ketat di perbatasan eksternal langsung
8
Opcit
dengan negara-negara CEE juga mengakibatkan terbatasnya mobilitas antara negara-negara
anggota baru UE dan tetangga di sekitarnya yang bukan anggota UE.
Permasalan pun makin pelik tatkala di dalam UE sendiri terdapat 27 negara anggota
yang masing-masing punya kepentingan dan keinginan berbeda terkait problem imigrasi.
Benturan kepentingan terjadi antara masyarakat Eropa yang tinggal di negara-negara Eropa
Barat dan Utara dengan masyarakat yang berasal dari negara-negara Eropa Timur dan Tengah
yang secara kultur dan etnik berbeda. Sentimen anti-imigran pun termanifestasikan dalam
dukungan publik terhadap kebijakan imigrasi terbatas dan kebijakan suaka, pelaporan yang
negatif di media tentang imigran dan pencari suaka, isu diskriminasi melawan kelompok
minoritas etknik, serta rasisme atau kekerasan anti-imigran.
Dilema Kebijakan
Adanya masalah-masalah di atas pada akhirnya memunculkan dilema dalam
pembuatan kebijakan mengenai imigrasi di UE. Dilema tersebut bisa dibagi dalam empat
kategori, antara lain dilema dalam: kebijakan migrasi buruh, kebijakan kontrol migrasi, sistem
perlindangan dan suaka, serta kebijakan integrasi9.
Penulis akan mulai dari dilema kebijakan migrasi buruh. Di banyak negara, tidak
dipungkiri, bahwa ada konflik serius antara ekonomi dengan demografi, khususnya dalam
kasus bertambahnya jumlah buruh serta resistensi publik terhadap migrasi yang meninggi.
Negara-negara Eropa telah mengompromikan problem ini melalui cara-cara yang berbeda.
Dalam banyak kasus, pemerintah telah sukses mengenalkan legislasi atau program liberalisasi.
Program dan legislasi ini ditujukan untuk migran yang memiliki keterampilan tinggi atau
minimal punya keterampilan di bidang tertentu. Program ini juga diperkenalkan bagi migran
yang memang sudah tinggal di negara Eropa sebelum program ini diluncurkan.
Akan tetapi, upaya eksplisit pada pengekspansian program ini secara politik
mengandung kontroversial. Pemerintah UE memandang program ini sebagai hal yang
menjanjikan dan bersifat temporer dan tidak akan dibuat permanen (sebagaimana contohnya
dalam kasus Paspor Hijau di Jerman). Namun, dalam kasus yang berbeda, pemerintah telah
menghindari konflik politik dengan mengenalkan liberalisasi melalui sikap yang tidak
meminta persetujuan parlemen dan perhatian yang sedikit dari media.
9
Mikko Lahteenmaki, 2004, ‘Refugee and Migration Policy in the European Union’, International Seminar for
Experts in the Series Great Debates organised by the Cicero Foundation, Paris, 18-19 November 2004.
Tak satu pun dari kompromi ini yang menetapkan solusi berkelanjutan bagi buruh
jangka pendek.
Kebijakan kontrol migrasi juga meningkatkan dilema bagi pemerintahan UE. Ada
hambatan yang serius bagi pemerintah untuk mengontrol perpindahan migran, residen, dan
buruh yang tidak teratur. Kontrol internal terhadap pengencangan konsumsi air, misalnya,
untuk mencegah penempattinggalan yang tidak teratur. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan
prinsip yang diterima di negara-negara liberal demokratis. Mirip dengan itu adalah mahalnya
biaya pengontrolan perbatasan dan menyebabkan penundaan yang serius bagi mereka yang
akan menyeberang melewati perbatasan, dan efek selanjutnya adalah efek yang negatif
terhadap industri pariwisata dan perdagangan. Di sisi lain, jaringan penyelundupan dan
perdagangan manusia menjadi lebih canggih lagi metodenya. Akibatnya, kebijakan kontrol ini
juga harus mempertimbangkan aspek pengadaptasian hi-tech dalam kegiatannya di lapangan.
Dalam kasus negara-negara Schengen, bentuk kontrol di perbatasan internal ini tidak lagi
berfungsi karena adanya abolisi pengecekan.
Upaya pengontrolan buruh yang tidak teratur ini menghadapi kendala-kendala pula.
Misalnya, konflik antara kepentingan bisnis dalam menyelamatkan suplai buruh yang murah.
Adanya kepentingan ini menunjukkan derajat penguatan yang lemah dalam pemberian sanksi
bagi pegawai di banyak negara. Sekali saja orang telah menjadi residen dalam perideo yang
lama, merupakan hal yang sulit untuk kemudian menyepelekan mereka dengan alasan praktis
dan kemanusiaan, dan kemungkinan ada kasus yang lebih kuat lagi dalam pengaturan status
mereka. Hal ini tentu saja tanpa problem.
Lalu, sistem suaka pun menyimpan dilema tersendiri. Sejak tahun 1980, negara-negara
Eropa telah memiliki pengalaman yang cukup banyak mengenai restriksi terhadap sistem
suaka ini – berdasarkan Konvensi Jenewa tahun 1951 10. Kesejahteraan dan dukungan
akomodasi buat pencari suaka telah dikurangi secara radikal, dan dalam beberapa kasus, para
pencari suaka juga telah dipindahkan ke wilayah-wilayah khusus. Dokumen-dokumen aplikasi
suaka mereka juga dipertimbangkan melalu prosedur yang telah diakselerasi, serta pembatasan
visa, juga aturan dari “negara aman” atau negara transit juga membatasi akses terhadap sistem
suaka. Di antara semua perubahan ini, sistem suaka ini juga pada akhirnya gagal
mempertemukan dua tujuan utama, yakni: memberikan dukungan bagi mereka yang
10
opcit
membutuhkan perlindungan serta membatasi dan mencegah mereka yang memang tidak
membutuhkan. Kebijakan ini pada kelanjutannya nanti memunculkan protes dari kelompokkelompok pembela hak asasi manusia dan juga kelompok buruh. Media dan publik pun
melanggar sistem suaka lewat pemberitaan dan sikap mereka.
Di sini bisa dilihat bahwa ada dua kasus yang terjadi, yakni konflik antara domestik,
Eropa, dan pengungsi internasioal serta norma hak asasi manusia di satu sisi; serta tekanan
publik terhadap restriksi di sisi lain.
Masalah terakhir yang masih menjadi dilema dalam kebijakan UE mengenai imigrasi
adalah tentang integrasi. Integrasi merupakan isu yang paling banyak menuai perdebatan di
Eropa. Hal ini diakibatkan oleh wacana kedaulatan nasional dari masing-masing negara yang
masih kuat mempertahankan identitas nasional mereka. Sebab, hal ini mau tidak mau nantinya
akan berdampak pada masalah kewarganegaraan dan aturan-aturan negara. Sebenarnya,
dilema kebijakan integrasi di Eropa berakar pada masalah klasik, yakni tensi antara kedekatan
populis, pertimbangan ekonomi, dan norma-norma serta institusi liberal.
Penyederhanaan ini tentunya terlalu beresiko. Oleh sebab itu, penyederhanaan ini bisa
dibagi dalam tiga pendekatan integrasi yang telah mengkristal di Eropa pasca Perang Dunia,
yakni: 1) pendekatan multikultural, yang mengimplikasikan toleransi terhadap perbedaan
budaya dan agama, penegakan legislasi anti-diskriminasi, serta akses yang mudah untuk
mendapatkan kewarganegaraan; 2) pendekatan kewarganegaraan sosial, yakni menawarkan
kepada para imigran untuk quasi-membership dalam kerangka memenuhi hak-hak sosial dan
ekonomi, namun membatasi akses untuk memiliki kewarganegaraan penuh; dan 3) pendekatan
republikan, yang memberikan akses mudah bagi kewarganegaraan tapi dengan syarat warga
negara tersebut membebaskan diri mereka dari keterikatan etnik dan agama tertentu di dalam
lingkungan publik.
Kesimpulan
Dari berbagai dilema kebijakan mengenai imigrasi di atas, bisa ditarik kesimpulan
bahwa kebijakan imigrasi masih merupakan hal yang belum benar-benar fixed. Ini adalah
resiko bagi sebuah organisasi regional dengan 27 negara anggota yang memiliki kepentingan
dan keinginan yang berbeda-beda. Namun, sejalan dengan semakin tingginya komitmen
negara-negara anggota terhadap Perjanjian Lisbon (Lisbon Treaty), maka penyempurnaan
serta pelaksanaan kebijakan imigrasi ini bukan hal yang tidak mungkin untuk diujudkan.
Daftar Pustaka
Boswell, Christina, 2006, “Migration in Europe”, Global Commission on International
Migration (GCIM).
Herm, Anne, 2008, “Recent migration trends: citizens of EU-27 Members States become ever
more mobile while EU remains attractive to non-EU citizens”, Eurostat Statistic in
focus.
Lahteenmaki, Mikko, 2004, ‘Refugee and Migration Policy in the European Union’,
International Seminar for Experts in the Series Great Debates organised by the Cicero
Foundation, Paris, 18-19 November 2004.
Organisation for Economic Cooperation and Development, 2004, ‘Trends in International
Migration 2003, Paris: OECD Sopemi.