EKSISTENSI PESANTREN SEBAGAI SUB SISTEM (1)

EKSISTENSI PESANTREN SEBAGAI SUB SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL; PERSPEKTIF SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
DI INDONESIA

Muhammad Rais1
Abstract: This article aims to reveal the existence of pesantren as a subnational education systems were examined in the perspective of history of
Islamic education in Indonesia. Historical aspects focused in order to reveal
how schools into institutions of non-formal education in the archipelago first
experienced dynamics of a long process to obtain formal recognition from the
state. This article qualitatively assessed with historical perspective by revealing
that the school is the beginning of Islamic educational institutions since the
arrival of Islam in Indonesia and the 13th century progressed since the 17th
century AD, and thereafter the 18 th century AD until the maturity of Islam.
In addition, the pesantren as a sub system of national education in Indonesia
has become an integral part of the religious institution by Act No. 20 of 2003
on National Education System and Government Regulation (PP) No. 55 of
2007 on Religious Education and Religious Education in which stated that
schools diniyah education at primary and secondary level. Everything is aimed
to educate the nation, making the man who is faithful and devoted to God
Almighty, noble, healthy, knowledgeable, skilled, creative, independent and
democratic citizenship and responsible.


Key words: Existence, School, Sub-System, Education, Historical
Perspective
Pendahuluan
Sejarah awal pendidikan Islam di Indonesia, berkaitan erat dengan sejarah
awal datang dan masuknya Islam di negara ini.2 Pendidikan Islam di Indonesia dalam
1 Dosen

tetap Sejarah Peradaban Islam (SPI) di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN)
Sorong-Papua Barat. E-mail: muhammadrais.bone@yahoo.co.id.
2 Sidi

Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan
Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung Tiga, 1981), h. 32. Lihat juga Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. IV; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 17.
Menurut catatan sejarah bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke -7 M atau bertepatan
dengan tahun 1 Hijriah. Ini berdasarkan seminar masuknya agama Islam di Indonesia yang
diselenggarakan di Medan pada tahun 1963, yang menyimpulkan sebagai berikut: (1). Islam
pertama kali datang di Indonesia pada abad ke-7 M (abad ke-1 H), dibawa oleh pedagang dan
muballig dari negeri Arab; (2) Daerah yang pertama dimasuki ialah pantai Barat Sumatera

yaitu di daerah Baros, tempat kelahiran ulama besar bernama Hamzah Fansyuri. Adapun
kerajaan Islam yang pertama ialah di Pasai; (3) Dalam proses pengislaman selanjutnya, orangorang Islam bangsa Indonesia ikut aktif mengambil bagian yang berperan dan proses itu
berjalan secara damai; (4) Kedatangan Islam di Indonesia ikut mencedaskan rakyat dan

1

perspektif sejarah memiliki keunikan tersendiri, dan berperan penting dalam
memajukan kebudayaan Islam. Pendidikan Islam tersebut, didefinisikan sebagai upaya
memberikan pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran-ajaran Islam kepada
masyarakat Islam di Indonesia, 3 yang dimulai sejak datangnya Islam di negara ini,
khususnya pada masa kerajaan. Sejak itu, lembaga pendidikan Islam yang mulai
muncul adalah pesantren. Setidaknya terdapat beberapa pendapat yang menyatakan
bahwa pesantren sudah ada pada masa awal penyebaran Islam di nusantara, tepatnya
abad ke-13 sampai 17 M, dan sesudahnya yakni abad ke-18 M seterusnya sebagai
masa kematangan Islam, sekaligus eksistensi pesantren pun semakin matang
perkembangannya. Data Statistik Direktorat Jenderal Pendidikan Islam tahun 2011
sekarang ini, menunjukkan terdapat sekitar 24.000 Pondok Pesantren yang tersebar di
seluruh Indonesia.4
Secara historis, pesantren yang berbasis pendidikan agama (Islam) merupakan
lembaga


pendidikan tradisonal,

5

yang

sengaja didirikan agar masyarakat

menjadikannya sebagai tempat pembinaan umat yang utuh, lebih memahami,

membina karakter bangsa. Uraian lebih lanjut, lihat Zuhairini, et all, Sejarah Pendidikan Islam
(Cet. II; Jakarta: Proyek Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1986), h. 133. Namun demikian, Abad ke-13 M disebut-sebut
pendapat terkuat sebagai awal mula masuknya Islam di Indonesia, jadi bukan abad ke -7.
Uraian lebih lengkap, lihat misalnya; Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies
diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas‟adi dengan judul, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Kesatu
dan Dua (Cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), h. 728. Ajid Thohir,
Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h.
201-202.

3 H. Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang (Jakarta:
Gramedia, 2003), h. 2.

Kementerian Agama RI, Profil Pondok Pesantren Mu’adalah (Jakarta: Direktorat
Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, 2011), h. 144.
4

5Pendidikan

tradisional meliputi dua aspek yaitu: Pertama pemberian pengajaran
dengan struktur, metode, dan literatur tradisional. Pemberian pengajaran tradional ini dapat
berupa pendidikan formal disekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang
bertingkat-tingkat, maupun pemberian pengajaran dengan sistem halaqah dalam bentuk
pengajian weton dan sorogan. Kedua, pemeliharaan tata nilai tertentu, yang untuk memudahkan
dapat dinamai subkultur pesantren. Tata nilai ini ditekankan pada fungsi mengutamakan
beribadah sebagai pengabdian dan memuliakan guru sebagai jalan untuk memperoleh
pengetahuan agama yang hakiki dengan demikian, subkultur ini menetapkan pandangan
hidupnya sendiri, yang bersifat khusus pesantren, berdiri atas landasan pendekatan ukhrawi
pada kehidupan dan ditandai oleh ketundukan mutlak kepada ulama. Adapun ciri utama dari
sistem pendidikan tradisional adalah banyak diberikannya pengajaran di luar kurikulum

formalnya. Lihat Abdurrahman Wahid, Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai
Pesantren (Cet. I; Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 55

2

menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moralitas
dalam beragama sebagai pedoman hidup bermasyarakat. 6 Kini, dalam konteks
peningkatan kualitas lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, pesantren telah
dijadikan sebagai bagian integral lembaga pendidikan nasional di Indonesia, yang
kedudukannya sama dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. 7 Dengan demikian,
pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya
Indonesia, yang sampai saat ini semakin eksis keberadaannya dalam sistem
pendidikan nasional. Karenanya, eksistensi pesantren tersebut, menarik untuk
dicermati sebagaimana yang menjadi bahasan dalam tulisan ini.
Berdasarkan fakta mengenai eksistensi pesantren tersebut. Terdapat satu
masalah pokok yang menarik untuk dikaji dalam makalah ini, yakni bagaimana
eksistensi pesantren sebagai sub sistem pendidikan nasional yang ditinjau dari
perspektif sejarah pendidikan di Indonesia. Untuk menjawab permasalahan tersebut.
Tulisan ini akan menitik beratkan pembahasan pada dua persoalan pokok. Pertama,
Bagaimana pengertian pesantren dan sejarah perkembanganya di Indonesia?. Fokus

yang Kedua, dari tulisan ini adalah pada analisis bagaimana eksistensi pesantren dalam
sistem pendidikan nasional di Indonesia?
Pesantren; Defenisi dan Sejarah Perkembangannya di Indonesia
Kata “pesantren” berasal dari kata “santri” yang mendapat imbuhan “pe” dan
akhiran “an” yang tertulis “pesantrian” dan untuk memudahkan penyebutannya
diucapkan “pesantren”. Santri berasal dari kata “sastri” (bahasa Hindu) artinya “ahli
kitab suci agama Hindu” dengan asimilasi bahasa ke-Indonesiaan dan untuk
membedakan pengertiannya maka dikatakanlah “santri” artinya “ahli kitab suci agama
Islam”, 8 yang secara terminologis adalah “orang yang fokus belajar tentang ilmu

6Lihat

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Cet. I; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1994), h. 6.
7Lihat

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas), sebagai hasil revisi Undang-Undang Sisdiknas No. 02 Tahun 1989.
Lihat juga Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan.

8Departemen

Agama RI, Grand Design Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren
(Jakarta: Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, 2004), h. 17.

3

pengetahuan agama Islam”. 9 Orang yang fokus belajar, dia harus konsen sehingga
santri mutlak memiliki pondok, mesjid, dan kiai (ulama) sebagai guru spiritual. Inilah
ciri khas pesantren sekaligus membedakan-nya dengan lembaga pendidikan Islam
lainnya.
Pesantren yang merupakan media dan lembaga pendidikan Islam di Indonesia
didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman. Sistem pendidikan yang
dikembangkan dapat dilihat dalam dua orientasi. Pertama, berorientasi terhadap
penguatan basis keagamaan bagi masyarakat muslim; Kedua, sebagai media konsolidasi
dan sosialisasi terhadap masyarakat nusantara yang belum sepenuhnya menganut
agama Islam. Keduanya dapat dijadikan alasan bahwa sesunggunya pondok
pesantren, selain dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiah juga sebagai
media penyebaran dan pengembangan ajaran Islam, meskipun kritikus, seperti
Hasbullah, 10 menyatakan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam

menjadi tolak ukur, bagaimana Islam dengan umatnya telah memainkan
peranannya dalam berbagai aspek sosial, politik, dan budaya. Hal ini
menunjukkan bahwa pesantren dapat difungsikan dalam segala aspek
kehidupan pada masa awal berdirinya,

11

sehingga berimplikasi lahirnya

kekuatan masyarakat Islam yang menyatu dari berbagai komunitas muslim yang
ada.
Dalam persfektif historis kultural, pondok pesantren dapat dikatakan sebagai
training center, sekaligus dijadikan sebagai cultural central Islam yang dilembagakan oleh
masyarakat Islam dan secara defakto tidak dapat diabaikan oleh pemerintah. Apalagi,
dalam sejarahnya, aktivitas dan proses awal pendidikan formal embrionya di masjid,
surau-surau, dan sebagian ulama dan guru mengajarkannya di rumah masing-masing.
Jadi, pendidikan formal dalam bentuk bangunan khusus belajar belum diciptakan.
Meskipun disadari bahwa sesungguhnya pondok pesantren telah menjadi pendidikan
formal satu-satunya di nusantara (Indonesia) pada saat itu. Namun, secara formil
sistem pendidikan kelembagaan mulai hadir ketika pemerintahan kolonial Belanda

9Ibid.,

lihat juga Mastuhu, op. cit., h. 3.

10 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan (Cet. I; Jakarta PT. Raja Grafindo, 1995), h. 16.

4

memperkenalkan sistem pendidikan baratnya

12

Kondisi ini kemudian

berasimilasi antara sistem kelembagaan pondok pesantren dengan sistem
pendidikan barat, baik secara fisik gedung belajar formalnya, juga terdapat
penyesuaian materi. Implikasinya adalah lahirnya pendidikan formal yang
dikelola pemerintah sebagai madrasah negeri (state school) dan madrasah swasta
(private school).

Kaburnya catatan sejarah mengenai kepastian tentang kehadiran pertama kali
pondok pesantren di Indonesia, di mana dan siapa pendirinya, relatif sulit ditemukan.
Pasalnya, aktivitas pembelajaran keagamaan - baik terbentuknya pendidikan formal
yang diistilahkan pesantren - telah berlangsung di mana-mana, seiring berlangsungnya
islamisasi ke sejumlah wilayah. Terdapat dua faktor yang membuat sejarah kehadiran
pesantren sulit diidentifikasi, yaitu; Pertama, faktor geografis yang sulit dilacak adanya
proses pembelajaran Islam di sejumlah wilayah di nusantara yang hampir pasti bahwa
di setiap kehadiran ulama di suatu tempat, maka dilakukan aktivitas pembinaan
keagamaan. Kedua, belum adanya kekuatan politik pemerintahan yang terintegrasi
dengan wilayah-wilayah yang telah diislamkan, sehingga sulit dilakukan komunikasi.
Namun, berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh Kementerian Agama pada
1984-1987, diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada 1062 M. di
Pamekasan Madura dengan nama Pesantren Jan Tampes II, 13 akan tetapi hal ini
kemudian diragukan, karena ditemukan adanya pesantren Jam Tampes I yang lebih
tua.
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, sekitar abad ke-18-an, nama pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat sangat populer terutama dalam bidang
penyiaran agama Islam. Aktivitas keagamaan inilah kerap menimbulkan kecurigaan di
pihak kolonial Belanda, apalagi bentuk dan proses pembinaan yang dilakukan


12Untuk melacak periodisasi pendidikan Islam di Indonesia, baik aspek pemikiran,
isi, pertumbuhan organisasi dan kelembagaannya, tidak mungkin dilepaskan dari fase-fase
yang dilaluinya. Fase tersebut secara periodisasi dapat dibagi menjadi tujuh periode yaitu; 1).
Periode masuknya Islam ke Indonesia; 2). Periode pengembangan dengan melalui proses
adaptasi; 3). Periode kekuasaan kerajaan-kerajan Islam (proses politik); 4). Periode
penjajahan Belanda; 5). Periode penjajahan Jepang; 6). Periode kemerdekaan I (orde lama);
dan 7). Periode kemerdekaan II (orde baru) dan orde reformasi. Lihat, Ibid.
13Hasbullah,

Kapita Selekta Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 41.

5

disatukan dalam sebuah majelis. Faktor dilarangnya orang-orang yang berkumpul
dalam satu tempat dijadikan sebagai regulasi oleh pemerintah kolonial Belanda dalam
rangka memproteksi diri mereka dari kelompok-kelompok pemberontak atau yang
diistilahkan ekstrimis. Ini menunjukkan bahwa eksistensi pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam diawasi secara tidak langsung oleh pemerintah Belanda. Akhirnya,
pesantren tidak bebas melakukan aktivitas-aktivitas sosial keagamaan dengan
melibatkan jamaah dengan skala besar.
Kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat tidak hanya
sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial
keagamaan. Dengan sifatnya yang lentur (flexibel), sejak awal kehadirannya pondok
pesantren ternyata mampu mengadaptasikan diri dengan masyarakat serta memenuhi
tuntutan masyarakat. Walaupun pada masa penjajahan, pondok pesantren mendapat
tekanan dari pemerintah kolonial Belanda, pondok pesantren masih bertahan terus
dan tetap tegar berdiri, walaupun sebahagian besar berada di daerah pedesaan.
Peranan mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa tetap diembannya. Bahkan
pada saat-saat perjuangan kemerdekaan, banyak tokoh pejuang dan pahlawanpahlawan kemerdekaan yang berasal dari kaum santri.
Seiring dengan waktu, perkembangan pondok pesantren memang mengalami
peningkatan secara kuantitas. Pada zaman Belanda saja jumlah pesantren di Indonesa
yang telah teridentifikasi sebanyak 20.000 pesantren. 14 Perkembangan selanjutnya,
pesantren mengalami pasang surut. Namun, perkembangan yang paling akhir, dunia
pesantren menampakkan trend lain. Dalam konteks ini terdapat dua kluster pesantren
yang dimaksudkan, yaitu; pesantren yang mempertahankan sistem "tradisionalnya"15
dan sebagian yang lainnya membuka sistem madrasah, sekolah umum bahkan ada

14A.

Timur Djailani, Peningkatan Mutu Pendidikan Pembangunan Perguruan Agama
(Jakarta: Dermaga, 1982), h. 18.
15Pranata

(institusi) pendidikan tradisional memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya dapat dilihat pada; Pertama, kemampuan menciptakan sebuah sikap hidup
universal yang merata, yang diikuti oleh semua warga pesantren sendiri. Kedua, kemampuan
memelihara subkultur sendiri. Sedangkan kekurangannya, yaitu; Pertama, tidak adanya
perencanaan terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan itu sendiri. Kedua, tidak adanya
keharusan untuk membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah dicerna oleh anak
didik. Namun yang menjadi ciri utama dari sistem pendidikan tradisional menurut hemat
penulis adalah tidak terformalisasinya format pendidikan dari tahun ke tahun dan banyaknya
diberikannya pengajaran di luar kurikulum formal. Lihat Abdurrahman Wahid, op. cit., h. 57.

6

diantaranya yang membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan. 16 Tetapi tidak
terlepas dari penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dengan menekankan
pentingnya moralitas sebagai pedoman hidup untuk berdialektika dengan masyarakat.
Pada sistem penyelengaraan pendidikan Islam di pondok pesantren sekarang
ini, setidaknya dapat digolongkan kepada tiga bentuk sebagai berikut: Pertama,
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang
pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non
klasikal (sistem bandungan dan sorogan17), dimana seorang ulama mengajar santrisantri berdasarkan kitab kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar
sejak abad pertengahan sedang santrinya tinggal dalam pondok atau asrama. Kedua,
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada
dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut di atas, tetapi para santrinya tidak
disediakan pondokan di kompleks pesantren. Di mana cara dan metode pendidikan
dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem weton, yaitu para santri datang
berduyun-duyun pada waktu tertentu. Dan ketiga, Pondok pesantren dewasa ini
merupakan lembaga gabungan antara sistem tradisional dan modern.18
Berdasarkan realitas tersebut, tampaknya sebagian pondok pesantren tetap
mempertahankan bentuk pendidikannya yang asli atau tradisional, sebahagian lagi
mengalami perubahan. Hal ini lebih disebabkan oleh tuntutan zaman dan
perkembangan pendidikan di tanah air. Karenanya, saat ini di samping terdapat
pesantren dengan karakteristik ketradisionalannya, juga bermunculan pesantren yang
berlabel modern. Sejalan dengan uraian itu, maka dipahami bahwa keberadaan
pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dan dengan berbagai ciri khas

16Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke
Zaman (Jakarta: LP3ES, 1979), h. 166.
17Istilah

sorogan dan bandungan berasal dari bahasa jawa dan mempunyai perbedaan
dari segi arti hal ini kita bisa melacak kedua arti tersebut yaitu; kata sorogan yang berarti
"sodoran atau yang disodorkan". Maksudnya suatu sistem belajar secara individual dimana
seorang santri berhadapan seorang guru (privatisasi), terjadi interaksi saling mengenal di
antara keduanya. Sedangkan kata Bandungan sering disebut dengan halaqah (bugis Magaji
Tudang), di mana dalam pengajian, kitab yang dibaca oleh kiai hanya satu, sedangkan para
santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kiai.
Lihat . Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, h. 50.
18Departemen

Agama RI, Pedoman Pembinaan Pesantren (Jakarta: Dirjen Bimbingan

Islam, 1985), h. 10.

7

serta unsur utamanya dapat dikatakan telah turut menghiasi sejarah pendidikan
nasional dan bahkan sejarah perjuangan bangsa melawan kolonial. Oleh karena itu,
pondok pesantren yang tersebar di seluruh pelosok negeri dengan satri yang ribuan
jumlahnya adalah aset nasional yang memerlukan pemikiran dan strategi
pengembangannya yang lebih maju dan tanpa mengabaikan citranya.
Eksistensi Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pondok pesantren sebagai sub-sistem pendidikan nasional di Indonesia
merupakan bagian integral dari lembaga keagamaan yang secara unik memiliki
potensi yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Hal tersebut dapat disimak
dari uraian sebelumnya bahwa eksistensi pondok pesantren yang menegaskan bahwa
dari segi managament dan pengelolaannya bersentuhan langsung dengan pendekatan
keagamaan. Ini berkaitan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yang beberapa pasalnya menekankan penyelenggaraan
pendidikan keagamaan, seperti, pasal 30 ayat (1) bahwa:
“Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama”.19
Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada pasal 1 ayat (2)
disebutkan bahwa:
“Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik
untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan tentang ajaran
agama dan/atau menjadi ahli agama dan menjalankan ajaran agamanya”.20
Pendidikan keagamaan yang dimaksud di atas, adalah pondok pesantren
sebagaimana yang diatur dalam PP. 55 pasal 26 ayat (2) yang menyelenggarakan
pendidikan diniyah pada tingkat dasar dan menengah. Di samping itu pondok
pesantren yang tujuannya untuk menciptakan insan yang taqwa serta konponen
lainnya sebagai manusia yang memiliki keahlian dan keterampilan merupakan
19Departemen Pendidikan Nasional, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Nomor
20 Tahun 2003 (Cet.II; Bandung: Fokusmedia, 2003), h. 43.
20Departemen

Agama RI, Himpunan Peraturan, op. cit., h. 234.

8

indikator utama mengenai peran pesantren dalam sub sistem pendidikan Nasional di
Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dilihat dari segi kontekstualisasi UU Sisdiknas
No. 20 tahun 2003, pada bab II tentang “Dasar, Fungsi dan Tujuan” di mana UU
Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tersebut, terdiri dari dua pasal yakni pasal 2 dan 3. Dua
pasal dalam UU Sisdikanas No. 20 Tahun 2003, secara berturut-turut menjelaskan
tentang “dasar pendidikan nasional”, yakni UUD 1945, kemudian “fungsi dan tujuan
pendidikan nasional” yakni :
“Berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menajdi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.21
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dipahami bahwa inti utama tujuan
pendidikan nasional kita adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yang menjadi tujuan pondok
pesantren sebagaimana yang dirumuskan Ahmad Farhani, yakni:
‫جاد الف د ام من ال‬

‫كمن ف‬

،‫اله ف الكبير للتربية إسامية ظل له ا اله ف الكبير لل ن إسامي‬
.‫خش ى ه يتقي يحسن عباده ليف في آخ ة يسع في ال نيا‬

22

Artinya:

Tujuan utama diterapkannya pendidikan Islam adalah untuk
mencapai tujuan utama agama Islam itu sendiri. Karena itu, (pendidikan
Islam) diharapkan mampu membentuk kepribadian mu‟min yang patuh
kepada Allah, dan bertaqwa kepada-Nya, serta beribadah kepada-Nya
dengan baik demi meraih kebahagiaan di akhirat dan kesejahteraan
(hidupnya) di dunia.

Pribadi mu‟min yang dimaksud dalam pernyataan di atas memiliki makna
sama dengan redaksi “agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa”
sebagaimana disebutkan dalam UU Sisdiknas, yang sasarannya adalah pada
pembentukan pribadi muslim yang beriman dan bertakwa. Hal ini sejalan dengan
firman Allah dalam QS. li Imr n (3): 102, sebagai berikut :
21Lihat

Tim Redaksi Fokusmedia, op. cit., h. 6-7.

q Ah?mad Farh? n, al-Tarbiyah al-Islāmiyah bayn al-As?ālah wa al-Ma’ās?irah
(Cet. II; t.tp: D r al-Furq n, 1983), h. 30.
22 Ish?

9

            

Terjemahnya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali
dalam keadaan beragama Islam.23
Seruan kepada orang-orang beriman untuk bertakwa, bermuara pada
kemusliman sebagaimana yang termaktub dalam ayat di atas, mengindikasikan
bahwa orang yang beriman hendaknya menumbuhkan karakter taqwā pada dirinya.
Djamaluddin dan Abdullah Aly menjelaskan bahwa konteks iman dan takwa
dalam UU Sisdiknas tersebut memiliki tujuh perincian lebih lanjut; Pertama,
memercayai dan mengamalkan ajaran Tuhan dalam bidang ritual; Kedua, berbudi
pekerti luhur; Ketiga, berpengetahuan dan berketerampilan; Keempat, sehat jasmani
dan rohani; Kelima, berkepribadian yang mantap; Keenam, mandiri; dan Ketujuh,
memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. 24 Bila diperhatikan
ketujuh perincian ini, ternyata telah mencerminkan tujuan pendidikan nasional
sebagaimana yang telah dikutip dalam UU Sisdiknas.
Pada sisi lain, tujuan inti dari UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang
berkaitan pendidikan agama Islam yang perankan pondok pesantren, sejalan
dengan sila utama dan pertama Pancasila sebagai asas bangsa ini, yakni Ketuhahan
Yang Maha Esa. Tujuan pendidikan nasional Indonesia ini, berdampak lagi pada
tujuan dalam rangka pengembangan kualitas pengetahuan, keterampilan, atau
kemampuan dan sikap yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik bangsa
Indonesia. Jadi tujuan pendidikan nasional yang juga menjadi tujuan dari
pendidikan yang diterapkan di pesantren adalah berupaya pada penciptaan,
pelaksanakan, perwujudan dan pemeliharaan perkembangan cita-cita kehidupan
bangsa Indonesia berdasarkan pada pengamalan ajaran Islam secara utuh dan
menyeluruh, dan secara bertanggung jawab.

23Departemen
24 Djamaluddin

Agama RI, op. cit., h. 92.
dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka

Setia, 2004), h.41.

10

Selanjutnya dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pada bab III adalah
“prinsip penyelenggaraan pendidikan” yang terdiri atas enam ayat, 25 di dalamnya
termaktub pula tentang kedudukan Pendidikan Agama, yakni pendidikan di pondok
pesantren terutama bila dicermati ayat 1 yakni :
“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
“Nilai Keagamaan” dalam kutipan tersebut dalam konteks Islam adalah tentu
saja dimaksudkan sebagai pendidikan yang berbasis pesantren yang sarat dengan nilainilai keislaman. Lebih dari itu, dan bila dianalisis lebih lanjut, tampak bahwa muatan
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang berkenaan dengan pendidikan keagamaan
selalu berfokus pada satu tema yang saling terkait antara satu dengan lainnya.
Khususnya pada bab IV yang menjadi penekanannya adalah pada masalah peserta
didik yang batasannya pada ayat 1 bahwa setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan
oleh pendidik yang seagama. Naskah inilah yang menjadi cita-cita luhur bagi setiap
pesantren untuk mendalami ilmu-ilmu agama agar tercipta generasi yang cerdas
secara intelektual dan memiliki iman taqwa yang handal serta moralitas sesuai dengan
ajaran Islam.
Naskah-naskah bab selanjutnya dalam UU Sisdiknas adalah tentang jalur,
jenjang dan jenis pendidikan dalam yang dijelaskan dalam bab VI, terdiri atas sebelas
bagian, khusus pada bagian kesembilan menjelaskan tentang “pendidikan
keagamaan” yakni pasal 30 (5 ayat). Ini berarti bahwa kedudukan pesantren dalam
sistem pendidikan nasional memiliki peran yang urgen dan signifikan sehingga perlu
pengembangan lebih lanjut. Dalam upaya pengembangan pondok pesantren,
25 Naskah enam ayat tersebut adalah: 1) Pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa; 2) Pendidikan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna ;
3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta
didik yang berlangsung sepanjang hayat; 4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi
keteladanan, mem-bangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam
proses pembelajaran; 5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat; 6) Pendidikan
diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta
dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

11

tampaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu pengembangan dari segi
eksternal dan dari segi internal.
Pengembangan dari aspek eksternal dapat dilihat dalam tiga hal, yaitu;
Pertama, tetap menjaga agar citra pondok pesantren dimata masyarakat. Khususnya,
mutu keluaran atau output pondok harus mempunyai nilai tambah dari keluaran
pendidikan lainnya yang sederajat; kedua, santri-santri dalam pondok hendaknya
dipersiapkan untuk mampu berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk.
Setidaknya proses itu dapat dimulai sejak awal hingga diprediksi tingkat
keompetensinya sudah mampu; Ketiga, pondok hendaknya terbuka terhadap setiap
perkembangan pengetahuan dan temuan-temuan ilmiah dalam masyarakat, termasuk
temuan baru dalam dunia pendidikan.
Sedangkan pengembangan dari segi internal yang dapat dilakukan, yaitu;
Pertama, kurikulum pondok pesantren harus menepis anggapan yang bersifat
dikotomi dan memisahkan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum. Dalam
konteks kekinian, kurikulum sebaiknya berdiferensiasi, yaitu kurikulum yang
direncanakan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan anak didik, kurikulum ini
sekaligus dapat menyatuhkan dengan baik antara aspek intelektual emosional, agama
spritual, dan kinerja psikomotor; Kedua, tenaga pengajar pada pondok pesantren.
Untuk pengembangan di masa mendatang, kiranya perlu kriteria-kriteria khusus
dalam merekrut tenaga pengajar. Setidaknya, ia mempunyai pengetahuan agama yang
cukup mantap, namun juga profesional dalam bidang ilmu yang diajarkan dan
memiliki kemampuan mentransfer ilmunya dengan baik. Ketiga, sarana pendidikan di
pondok, karena sarana sangat menentukan, hampir bisa dipastikan dengan sarana
yang lengkap dapat mencapai hasil yang maksimal. Misalnya ruang belajar yang baik,
perpustakaan yang lengkap dan media belajar yang lainnya.
Dengan mengembangkan pondok pesantren dari segi internal dan
eksternalnya akan memberikan warna dan corak khas dalam sub sistem pendidikan
Nasional di Indonesia, apalagi secara kultural pondok pesantren telah diterima dan
ikut serta membentuk dan memberikan peran dalam kehidupan dan pemberdayaan
masyarakat. Fungsinya sebagai salah satu lembaga pendidikan keagamaan di
Indonesia dianggap banyak memberikan andil dalam perjalanan bangsa dan
kenegaraan, baik pada masa kolonial hingga sekarang. Kondisi ini menunjukkan
12

bahwa eksistensi lembaga pendidikan pesantren masih dibutuhkan dalam rangka
mencerdaskan dan memberdayakan bangsa. Akhirnya, warga masih tetap diberikan
pilihan untuk menyekolahkan putra puttri mereka di lembaga pendidikan yang
diinginkan, termasuk pilihannya ke pesantren.
Potensi pondok pesantren dalam upaya pemberdayaan masyarakat, termasuk
upaya transformasi sosial, sangatlah besar. Setidaknya ada beberapa alasan, pertama;
potensi kuantitatif yang dapat diberdayakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kedua; keterikatan pondok pesantren dengan masyarakat yang sangat mengakar
melalui kharisma kyainya sekaligus tempat kepercayaan masyarakat pendukungnya
merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup pondok pesantren
sekarang ini. Ketiga; upaya pemberdayaan pondok pesantren sebagai pusat
pengembangan potensi umat, menjadikan sasaran pembangunan pendidikan nasional
yang signifikan. Keempat; sebagai lembaga pengembangan dan pembentukan watak,
pesantren dapat terus berdampingan hidup dengan masyarakat.
Penutup
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan
kesimpulan bahwa, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang
sejarah perkembangannya, dimulai sejak datangnya Islam di Indonesia abad ke 13
dan terus mengalami kemajuan sejak abad ke 17 M, dan sesudahnya yakni abad
ke-18 M seterusnya sebagai masa kematangan Islam. Sampai saat ini, tahun 2011
terdapat sekitar 24 ribu Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.
Pesantren didirikan sebagai lembaga basis tafaqquh fi al-din yang dengannya
sehingga bertujuan untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam
dengan menekankan pentingnya moralitas dalam beragama sebagai pedoman
hidup bermasyarakat, dan pesantren dari sudut historis kultural dapat dikatakan
sebagai training center yang otomatis menjadi cultural central Islam yang disahkan
atau dilembagakan oleh masyarakat.
Eksistensi pondok pesantren dalam sub sistem pendidikan Nasional di
Indonesia menjadi bagian integral dari lembaga keagamaan berdasarkan konteks
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal
itu tercakup pula dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007
13

tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan yang didalamnya secara
tegas dikemukakan bahwa pondok pesantren menyelenggarakan pendidikan
diniyah pada tingkat dasar dan menengah, tergolong dalam sub sistem pendidikan
Nasional di Indonesia yang bertujuan untuk mencerdaskan bangsa, menjadikan
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menajdi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan pondok pesantren agar
tetap memiliki peran sebagai sub sistem pendidikan Nasional di Indonesia, maka yang
perlu dibenahi perannya secara eksternal dan dari segi internal. Dari segi eksternal
diupayakan adanya mutu keluaran atau output yang berkualitas, santri-santrinya
mampu berkompetisi dan pondok pesantren terbuka terhadap perkembangan dalam
dunia pendidikan. Dari segi internal adalah hendaknya kurikulum pondok pesantren
tidak ada dikotomi, tenaga pengajarnya memiliki kriteria-kriteria khusus, sarana
pendidikannya seharusnya mencukupi.[]

14

DAFTAR PUSTAKA
„ad‟ah q.‟ n, Ish‟ Farh Irah, ālah wa al-Ma’ās?al-Tarbiyah al-Islāmiyah bayn al-As.
Cet. II; t.tp: D r al-Furq n, 1983.
Boechari, Sidi Ibrahim. Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan
Nasional di Minangkabau. Jakarta: Gunung Tiga, 1981.
Departemen Agama RI. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1992.
. Pedoman Pembinaan Pesantren. Jakarta: Dirjen Bimbingan Islam, 1985.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pendidikan di Indonesia dari zaman ke
zaman. Jakarta: LP3ES, 1979.
Departemen Pendidikan Nasional. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,
Nomor 20 Tahun 2003. Cet.II; Bandung: Fokusmedia, 2003.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, t. Th.
Djailani, A. Timur. Peningkatan Mutu Pendidikan Pembangunan Perguruan Agama.
Jakarta: Dermaga, 1982.
Djamaluddin dan Abdullah Aly. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka
Setia, 2004.
Hasbullah. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada, 1996.
. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan Dan
Perkembangan. Cet. I; Jakarta PT. Raja Grafindo, 1995.
Kementerian Agama RI. Profil Pondok Pesantren Mu’adalah. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, 2011.
Lapidus, Ira M. A Hostory of Islamic Societies diterjemahkan oleh Ghufran A.
Mas‟adi dengan judul, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Kesatu dan Dua.
Cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994.
Nata, H. Abuddin. Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang. Jakarta:
Gramedia, 2003.

15

Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004.
Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren. Cet. I; Yogyakarta:
LkiS, 2001.
Zuhairini, et all. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. II; Jakarta: Proyek Prasarana dan
Sarana Perguruan Tinggi Agama, Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1986.

16