Hukum bisnis kasus penggunaan formalin p

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Pemberitaan di berbagai media massa cetak dan elektronik tentang produk pangan yang
mengandung formalin sudah fenomenal. Betapa tidak, bahan pengawet makanan yang
membahayakan

kesehatan

ini

penggunaannya

sudah

meluas

di


Tanah

Air.

Karena itulah para konsumen dituntut waspada. Di lain pihak, para produsen diharapkan
segera menarik produk bermasalah tersebut dari peredaran. Apalagi, Departemen
Perdagangan sendiri secara proaktif terus mengawasi peredaran barang di pasar yang
diduga mengandung formalin sebagai upaya perlindungan terhadap konsumen.
Yang perlu digarisbawahi, penggunaan formalin untuk bahan pengawet makanan adalah
melanggar peraturan pemerintah. Karena, dalam jangka panjang pengonsumsinya dapat
menderita penyakit kanker dan gangguan ginjal. Kasus penggunaan formalin, boraks dan
sejenisnya pada makanan mencerminkan kelemahan koordinasi dari tiga instansi
bertanggung jawab menangani peredaran bahan makanan dan minuman.
Ketiga instansi tersebut adalah Departemen Perindustrian (Deperin) yang bertugas
membina industri, Departemen Perdagangan (Depdag) menangani tata niaga, dan Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) melakukan pengawasan bahkan penyelidikan
langsung sampai ke batas-batas tertentu.Ketiga instansi tersebut diduga kuat tidak
berfungsi optimal dalam menindak produsen pengguna formalin, boraks atau sejenisnya
dalam makanan. Patut dipertanyakan, sejauh mana Deperin telah mengontrol ribuan

industri makanan-minuman yang tersebar di Indonesia? Apakah pihak Deperin telah
mengalokasikan anggaran yang memadai untuk melakukan pembinaan berkelanjutan?
Perlindungan konsumen terhadap produk pangan yang bermasalah, paling efektif
dilakukan pemerintah. Idealnya, sistem penyaluran atau distribusi produk pangan sebelum

masuk dan ketika beredar di pasaran tak boleh luput dari pengawasan pemerintah. Di
negara maju, pemerintahlah yang paling aktif melaksanakan fungsi kontrolnya. Di
Indonesia kontrol pemerintah atas tata niaga produk pangan dan bahan pengawet masih
lemah. Padahal tata niaga tersebut harus dilakukan secara ketat.
Ironisnya, peraturan tentang penggunaan formalin dan bahan kimia tertentu (BKT) dalam
produk pangan seperti tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan serta
UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kelihatannya telah terdistorsi.
Deperin dan Depdag sebenarnya sudah membuat regulasi tentang tata niaga BKT, seperti
formalin dan rhodamin B. Bahan-bahan itu seharusnya hanya dijual kepada pengguna
akhir (end user), tetapi ternyata masih terjadi penyimpangan pada tahap distribusi. Sebab
itu, pemerintah hendaknya memperketat distribusi peredaran formalin dan sejenisnya, di
samping mencari alternatif bahan pengawet lain yang murah tetapi aman untuk produk
pangan. Mutlak, perlu pengawasan ketat terhadap bahan pengawet berbahaya, sebab
sampai sekarang beberapa jenis bahan berbahaya dipakai untuk produk makanan atau
minuman agar lebih awet atau berwarna lebih menarik.

1.2

Rumusan Masalah

1. Tanggapan masyarakat mengenai formalin yang digunakan dalam makanan
2. Pelanggaran hukum terkait dengan kasus tersebut
3. Kerugian untuk masyarakat yang ditimbulkan dengan adanya kandungan formalin
tersebut di dalam makanan yang dikonsumsi masyarakat.
4. Upaya apa yang dilakukan pemerintah dalam menangani kasus ini

1.3

Tujuan

Makalah ini dibuat dengan tujuan membantu pembaca agar dapat mengetahui sejauh mana
kandungan formalin menyebar di dalam makanan yang dijual di pasar pasar, dan apakah
formalin yang digunakan produsen dalam produksi nya melanggar hukum atau tidak, dan
bagaimana upaya pemerintah dalam menanggulangi masalah hal tersebut di sekitar
masyarakat.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Identifikasi Masalah
Gaya hidup masyarakat yang berubah dan meningkat, khususnya dalam mengonsumsi
berbagai variasi produk makanan, menjadi pemicu bagi tindakan spekulasi para pelaku
ekonomi produksi makanan. Upaya mendapatkan untung besar dengan biaya minimal
dilakukan denganberbagai cara, terutama dengan menekan biaya produksi dan membuat
produk tahan lama. Contohnya penggunaan bahan pengawet seperti formalin. Pemakaian
formalin pada bahan makanan, dan pengurangan komponen bahan lainnya, termasuk
penggunaan zat pewarna pun bahkan dilakukan dengan sengaja
Produk pangan yang mengandung formalin sudah fenomenal di Tanah Air.. Betapa tidak,
bahan pengawet makanan yang membahayakan kesehatan ini penggunaannya sudah
meluas.
Karena itulah para konsumen dituntut waspada. Di lain pihak, para produsen diharapkan
segera menarik produk bermasalah tersebut dari peredaran. Apalagi, Departemen
Perdagangan sendiri secara proaktif terus mengawasi peredaran barang di pasar yang
diduga mengandung formalin sebagai upaya perlindungan terhadap konsumen.

Penggunaan formalin untuk bahan pengawet makanan adalah melanggar peraturan
pemerintah. Karena, dalam jangka panjang pengonsumsinya dapat menderita penyakit
kanker dan gangguan ginjal. Kasus penggunaan formalin, boraks dan sejenisnya pada
makanan mencerminkan kelemahan koordinasi dari tiga instansi bertanggung jawab
menangani peredaran bahan makanan dan minuman. Ketiga instansi tersebut adalah
Departemen Perindustrian (Deperin) yang bertugas membina industri, Departemen
Perdagangan (Depdag) menangani tata niaga, dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) melakukan pengawasan bahkan penyelidikan langsung sampai ke batas-batas

tertentu.Ketiga instansi tersebut diduga kuat tidak berfungsi optimal dalam menindak
produsen pengguna formalin, boraks atau sejenisnya dalam makanan.
Perlindungan konsumen terhadap produk pangan yang bermasalah, paling efektif
dilakukan pemerintah. Idealnya, sistem penyaluran atau distribusi produk pangan
sebelum masuk dan ketika beredar di pasaran tak boleh luput dari pengawasan
pemerintah. Di negara maju, pemerintahlah yang paling aktif melaksanakan fungsi
kontrolnya. Di Indonesia kontrol pemerintah atas tata niaga produk pangan dan bahan
pengawet masih lemah. Padahal tata niaga tersebut harus dilakukan secara ketat.
Patut dipertanyakan ?
1. Sejauh mana instansi-instansi terkait mengontrol ribuan industri makananminuman yang tersebar di Indonesia?


Peraturan tentang penggunaan formalin dan bahan kimia tertentu (BKT) dalam produk
pangan seperti tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan serta UU
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kelihatannya telah terdistorsi
(ketidaksempurnaan pasar adalah yang membuat kondisi ekonomi ketidak efisien
sehingga mengganggu agen ekonomi dalam memaksimalkan kesejahteraan sosial dalam
rangka memaksimalkan kesejahteraan mereka sendiri). Deperin dan Depdag sebenarnya
sudah membuat regulasi tentang tata niaga BKT, seperti formalin dan rhodamin B.
Bahan-bahan itu seharusnya hanya dijual kepada pengguna akhir (end user), tetapi
ternyata masih terjadi penyimpangan pada tahap distribusi. Sebab itu, pemerintah
hendaknya memperketat distribusi peredaran formalin dan sejenisnya, di samping
mencari alternatif bahan pengawet lain yang murah tetapi aman untuk produk pangan.
Mutlak, perlu pengawasan ketat terhadap bahan pengawet berbahaya, sebab sampai
sekarang beberapa jenis bahan berbahaya dipakai untuk produk makanan atau minuman
agar lebih awet atau berwarna lebih menarik.
 Ada dua instrumen perlindungan yang seharusnya diperhatikan pemerintah :
 Perlindungan pra-pasar, yaitu pemeriksaan produk sebelum masuk pasar. Untuk
bahan pangan maupun kemasannya, semua produk itu mestinya melalui proses
registrasi. Juga harus ada proses standarisasi.
 Kontrol pasca-pasar. Setelah barang itu masuk ke pasar, seharusnya mekanisme
kontrol tetap berjalan. Jika suatu barang yang beredar tidak sesuai dengan standar


yang telah ditetapkan maka barang itu harus ditarik dari pasar. Kedua kontrol itu,
pra dan pasca-pasar sejauh ini memang tidak berjalan baik di Indonesia. Padahal
mekanisme kontrol yang bagus dari pemerintah akan menjamin bahwa barang yang
beredar di pasaran steril dari bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan masyarakat.

2. Mengapa bahan pengawet yang berbahaya masih diperbolehkan beredar bebas di
pasaran, yang kemudian banyak disalahgunakan?

Pada dasarnya Penggunaan formalin tidak dilarang, asalkan untuk tujuan yang tidak
merugikan individu dan masyarakat. Formalin dan

boraks itu sendiri sebenarnya

merupakan bahan pengawet mayat dan tekstil, juga banyak digunakan sebagai
desinfektan untuk pembersih lantai,

gudang, pakaian, dan sebagai getmisida dan

fungisida pada tanaman dan sayuran. Formalin pun dapat digunakan sebagai pembasmi

serangga dalam industri tahu. Selain itu formalin juga biasa digunakan untuk bahan
kecantikan, Namun kenyataannya, terjadi penyalahgunaan bahan formalin dalam produkproduk kecantikan yang sebenarnya sangat berbahaya. Para produsen menggunakan
bahan pengawet formalin

demi keuntungan dan meminimalkan biaya, sementara

masalah kesehatannya bukan menjadi tanggung jawab mereka. Formalin juga kerap
muncul dalam fungsinya sebagai pewarna untuk menambah daya tarik penampilan
makanan.
Para pelaku usaha mestinya tidak memroduksi dan mengedarkan produk pangan yang
menggunakan bahanpengawet tersebut. Maraknya kasus produk pangan dengan bahan
pengawet berbahaya juga menunjukkan adanya kegagalan sosialisasi dan pengabaian
masyarakat tentang pentingnya makanan sehat. Karena itu, penanggulangan kasus ini
hendaknya betul-betul bertujuan demi memberantas tuntas penyalahgunaan bahan
pengawet dari bahan kimia, bukan karena motif lain demi keuntungan semata.
Berdasarkan UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan dan UU No 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen serta UU No 23/1992 tentang Kesehatan, produsen yang terlibat
dapat dipidana penjara paling lama lima tahun atau denda maksimal Rp 600 juta.
Guna menghindari efek buruk kesehatan, masyarakat diimbau untuk tidak membeli atau
mengonsumsi berbagai produk pangan berformalin, boraks dan sejenisnya. BPOM telah

mengumumkan hasil penelitian terhadap 700 sampel produk pangan yang diambil dari

Pulau Jawa, Sulsel, dan Lampung. Sebanyak 56% di antaranya mengandung formalin.
Bahkan, 70% mie basah mengandung formalin.
Hasil riset dari Balai Besar POM DKI Jakarta menyebutkan, delapan merek mie dan tahu
yang dipasarkan di Ibu Kota mengandung formalin. Tidak mudah membedakan produk
pangan yang mengandung formalin dengan yang tidak. Tetapi, produk makanan dengan
kadar formalin tinggi akan terlihat sangat berminyak dan aromanya menyengat. Formalin
dan boraks sebenarnya merupakan bahan pengawet mayat dan tekstil. Para pelaku usaha
mestinya tidak memroduksi dan mengedarkan produk pangan yang menggunakan bahan
pengawet tersebut. Agar kasus ini dapat ditanggulangi secara efektif, perlu ada nota
kesepahaman bersama antara BPOM dengan pemerintah daerah setempat dan jajaran
penegak hukum, termasuk kepolisian. Semua pihak, terutama para produsen dan oknum
aparat pemerintah yang terlibat, perlu ditindak tegas sebagai therapi kejut agar tidak ada
lagi produsen makanan yang berani menyalahgunakan bahan pengawet yang berbahaya.
2.2

Identifikasi Produk
A. Mi basah
Penggunaan formalin pada mi basah akan menyebabkan mi tidak rusak sampai dua hari

pada suhu kamar ( 25 derajat Celsius) dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es
( 10 derajat Celsius). Baunya agak menyengat, bau formalin. Tidak lengket dan mie lebih
mengkilap dibandingkan mie normal. Penggunaan boraks pada pembuatan mi akan
menghasilkan tekstur yang lebih kenyal.
B. Tahu
Tahu merupakan makanan yang banyak digemari masyarakat, karena rasa dan kandungan
gizinya yang tinggi. Namun dibalik kelezatannya kita perlu waspada karena bisa saja
tahu tersebut mengandung bahan berbahaya. Perhatikan secara cermat apabila
menemukan tahu yang tidak mudah hancur atau lebih keras dan kenyal dari tahu biasa,
kemungkinan besar tahu tersebut mengandung bahan berbahaya, bisa formalin maupun
boraks. Selain itu, tahu yang diberi formalin tidak akan rusak sampai tiga hari pada suhu
kamar (25 derajat Celsius) dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es ( 10
derajat Celsius). Tahu juga akan terlampau keras, namun tidak padat. Bau agak
menyengat, bau formalin

C. Bakso
Bakso tidak rusak sampai lima hari pada suhu kamar ( 25 derajat Celsius). Teksturnya
juga sangat kenyal
D. Ikan segar
Ikan segar yang diberi formalin tekstur tubuhnya akan menjadi kaku dan sulit dipotong.

Ia tidak rusak sampai tiga hari pada suhu kamar ( 25 derajat Celsius). Warna insang
merah tua dan tidak cemerlang, bukan merah segar dan warna daging ikan putih bersih.
E. Ikan asin
Ikan asin yang mengandung formalin akan terasa kaku dan keras, bagian luar kering
tetapi bagian dalam agak basah karena daging bagian dalam masih mengandung air.
Karena masih mengandung air, ikan akan menjadi lebih berat daripada ikan asin yang
tidak mengandung formalin. Tidak rusak sampai lebih dari 1 bulan pada suhu kamar ( 25
derajat Celsius). Tubuh ikan bersih, cerah.

2.3

Identifikasi Kerugian bagi Konsumen dan Keuntungan bagi Produsen

 Kerugian bagi Konsumen
Formalin merupakan cairan tidak berwarna yang digunakan sebagai desinfektan,
pembasmi serangga, dan pengawet yang digunakan dalam industri tekstil dan kayu.
Formalin memiliki bau yang sangat menyengat, dan mudah larut dalam air maupun
alkohol.
Beberapa pengaruh formalin terhadap kesehatan adalah sebagai berikut.
1. Jika terhirup akan menyebabkan rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan , sukar
bernafas, nafas pendek, sakit kepala, dan dapat menyebabkan kanker paru-paru.
2. Jika terkena kulit akan menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan kulit terbakar.
3. Jika terkena mata akan menyebabkan mata memerah, gatal, berair, kerusakan mata,
pandangan kabur, bahkan kebutaan.
4. Jika tertelan akan menyebabkan mual, muntah-muntah, perut terasa perih, diare, sakit
kepala, pusing, gangguan jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru,
hilangnya pandangan, kejang, bahkan koma dan kematian.

Formalin merupakan bahan tambahan yang sangat berbahaya bagi manusia karena
merupakan racun. Bila terkonsumsi dalam konsentrasi tinggi racunnya akan
mempengaruhi kerja syaraf. Secara awam kita tidak dapat mengetahui seberapa besar
kadar konsentrat formalin yang digunakan dalam suatu makanan. Formalin adalah nama
dagang formaldehida yang dilarutkan dalam air dengan kadar 36 – 40 %. Formalin biasa
juga mengandung alkohol 10 – 15 % yang berfungsi sebagai stabilator supaya
formaldehidnya tidak mengalami polimerisasi.
Formaldehida pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia, dengan
gejala : sakit perut akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, depresi susunan
syaraf dan gangguan peredaran darah. Injeksi formalin (suntikan) dengan dosis 100 gram
dapat menyebabkan kematian dalam waktu 3 jam. Tahu merupakan produk pangan yang
sering direndam formalin. Tahu yang tidak direndam formalin hanya bertahan 1 – 2 hari
saja kemudian berlendir. Sedangkan yang direndam formalin akan bertahan 4 – 5 hari
bahkan bisa sampai 1 bulan dalam kadar tertentu.
 Keuntungan bagi Produsen
Pada umumnya, alasan para produsen menggunakan formalin sebagai bahan pengawet
makanan adalah karena bahan ini mudah digunakan dan mudah didapat, harganya
relatif murah dibanding bahan pengawet lain yang tidak berpengaruh buruk pada
kesehatan. Selain itu, formalin merupakan senyawa yang bisa memperbaiki tekstur
makanan sehingga menghasilkan rupa yang bagus.
Kebutuhan setiap orang tidak ada batasnya. Setelah kebutuhan yang satu terpenuhi, akan
muncul kebutuhan lainnya. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan oleh seseorang
berpedoman pada prinsip ekonomi yaitu dengan pengorbanan tertentu akan memperoleh
hasil maksimal. Jadi, tindakan ekonomi harus didorong oleh motif ekonomi dan didasari
oleh prinsip ekonomi.
Motif ekonomi adalah alasan seseorang untuk melakukan sesuatu atau dorongan dari
dalam diri manusia untuk berbuat atau bertindak secara ekonomis untuk memperoleh
keuntungan. Keadaan perekonomian Indonesia yang semakin sulit, harga bahan-bahan
yang semakin meningkat memacu penjual untuk lebih cerdik dalam memproduksi atau
menjual makanan dengan harga tetap terjangkau.
 Faktor-faktor yang menyebabkan produsen menggunakan formalin dalam produk
makanan, antara lain adalah sebagai berikut.

a. Perilaku Konsumen
Sebagian konsumen lebih senang memilih produk yang awet dan harga yang murah.
Konsumen umumnya bersikap tidak ambil peduli, yang penting harganya murah.
Selain itu, konsumen biasanya sulit membedakan produk yang diawetkan dengan
formalin yang boleh jadi membuat mereka mengambil jalan mudah memilih produk
apa saja. Sehingga produsen dapat dengan mudah memperjualbelikan makanan
dengan kandungan formalin yang memiliki keuntungan yang besar kepada konsumen.
b. Formalin lebih tahan lama.
Formalin bisa mengawetkan bahan makanan tersebut dalam jangka waktu yang cukup
lama Banyak para pedagang dan pengusaha yang mengatakan bahwa produk makanan
yang tidak diberi bahan pengawet, formalin, makanan seperti tahu atau mi basah
seringkali tidak bisa tahan dalam lebih dari 12 jam. Bagi sebagian produsen maupun
pedagang, alasan penggunaan zat ini adalah untuk mengawetkan produk mereka,
terutama untuk jenis makanan yang mudah rusak atau busuk. Daya tahan produk
hingga berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan tentu saja sangat menguntungkan
penjual. Apalagi pada kondisi pasar yang tengah melesu.
c. Formalin dinilai cukup murah dan mudah didapat.
Meski disadari berbahaya, penggunaan formalin dalam makanan sangat sulit
dihindari. Para pedagang dan pengusaha makanan menggunakan formalin untuk motif
ekonomi. Penggunaan bahan pengawet makanan ini dapat menolong untuk menekan
biaya produksi sehingga menambah keuntungan produsen. Selain itu bahan ini juga
tergolong mudah untuk didapat, karena bahan ini dijual bebas di pasaran.
d. Formalin dinilai lebih efektif untuk menghambat proses pembusukan.
Formalin adalah suatu zat kimia. Oleh karena itu, zat ini sangat efektif untuk
mencegah terjadinya pembusukan pada produk makanan.
2.4

Upaya Pemerintah
Walaupun penyebaran boraks dan formalin di Indonesia sudah luas sekali dan sudah
menjadi umum, pemerintah masih tidak mengambil langkah yang tegas dalam
menangani hal ini. Buktinya bisa didapat, bahwa ternyata penggunaan formalin dan
boraks sebagai bahan pengawet makanan masih merajalela.
Sebenarnya, pemerintah sudah berusaha mengambil tindakan, yaitu dengan melalui
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Beberapa langkah sudah diambil oleh

BPOM, seperti : melarang panganan permen merek white rabbit creamy, kiamboy,
classic cream, black currant, dan manisan plum; mengeluarkan permenkes no. 722/1998
tentang bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam pangan; dan melakukan
sosialisasi penggunaan bahan tambahan makanan yang diizinkan dalam proses produksi
makanan & minuman sesuai UU No. 23/1992 untuk aspek keamanan pangan, & UU No.
71/1996. Tetapi upaya yang dilakukan Badan POM tersebut, hanya dianggap gertakan
oleh para pedagang, karena Badan POM hanya mengeluarkan undang-undang dan
aturan. Tetapi Badan POM tidak melakukan tindakan tegas seperti memberi sanksi tegas
bagi pedagang yang masih menggunakan boraks dan formalin, bahkan badan ini masih
kurang gencar dalam melakukan razia.

BAB III
PENUTUP

3.1

Simpulan
Penggunaan formalin untuk bahan pengawet makanan adalah melanggar peraturan
pemerintah. Karena, dalam jangka panjang pengonsumsinya dapat menderita penyakit
kanker dan gangguan ginjal. Kasus penggunaan formalin, boraks dan sejenisnya pada
makanan mencerminkan kelemahan koordinasi dari tiga instansi bertanggung jawab
menangani peredaran bahan makanan dan minuman. Ketiga instansi tersebut adalah
Departemen Perindustrian (Deperin) yang bertugas membina industri, Departemen
Perdagangan (Depdag) menangani tata niaga, dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) melakukan pengawasan bahkan penyelidikan langsung sampai ke batas-batas
tertentu.Ketiga instansi tersebut diduga kuat tidak berfungsi optimal dalam menindak
produsen pengguna formalin, boraks atau sejenisnya dalam makanan.

3.2

Saran
Semestinya ada semacam catatan (record) atas setiap pembelian bahan kimia dan
peruntukannya sehingga terhindar dari penyimpangan yang membahayakan kesehatan
konsumen atas produk makanan dan minuman tersebut. Kita sangat menantikan kemauan
dan kemampuan BPOM untuk memutus mata rantai perdagangan bahan kimia berbahaya
dari distributor atau penyalur kepada produsen makanan dan minuman.

Tetapi, langkah itu tentu memerlukan kerja sama yang baik dengan Polri, Deperin dan
Depdag. Ada dua instrumen perlindungan yang seharusnya diperhatikan pemerintah. (1)
Perlindungan pra-pasar, yaitu pemeriksaan produk sebelum masuk pasar. Untuk bahan
pangan maupun kemasannya, semua produk itu mestinya melalui proses registrasi. Juga
harus ada proses standarisasi. (2) Kontrol pasca-pasar. Setelah barang itu masuk ke pasar,
seharusnya mekanisme kontrol tetap berjalan. Jika suatu barang yang beredar tidak
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan maka barang itu harus ditarik dari pasar.
Kedua kontrol itu, pra dan pasca-pasar sejauh ini memang tidak berjalan baik di
Indonesia. Padahal mekanisme kontrol yang bagus dari pemerintah akan menjamin
bahwa barang yang beredar di pasaran steril dari bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan
masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

http://asyharstf08.wordpress.com/2009/10/31/penggunaan-formalin-dalam-produkmakanan/
UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan
UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
UU No 23/1992 tentang Kesehatan

Dokumen yang terkait

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84

Efisiensi pemasaran kayu jenis sengon (paraserianthes falcataria) (studi kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor)

17 93 118

Penetapan awal bulan qamariyah perspektif masyarakat Desa Wakal: studi kasus Desa Wakal, Kec. Lei Hitu, Kab. Maluku Tengeha, Ambon

10 140 105

Keabsahan praktik wakaf (studi kasus daerah Pebayuran KM 08 Kertasari-Pebayuran KAB.Bekasi-Jawa

1 43 117

Pengaruh sistem informasi akuntansi dan audit sistem informasi terhadap pengendalian internal :(studi kasus pada PT.Telkom, tbk)

34 203 107