T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelayanan Publik di Desa Pasca Pemekaran: Studi terhadap Pelayanan Publik pasca Pemekaran Desa di Desa Dewa Jaraecamatan Katiku Tanaabupaten Sumba Tengah T1 BAB II
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Desa
Desa adalah satuan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai
kesatuaan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah dan langsung di bawah camat, serta
berhak menyelenggarakan rumah tangga diri sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuaan Republik Indonesia (Satria ddk, 2011; 12). Istilah desa berasal dari
bahasa India swadesi yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal atau
tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup dengan kesatuan norma
serta memiliki batas yang jelas (Sumpeno, 2011;3). Antonius T, (2011, dalam
Sumpeno, 2011;3) mengatakan bahwa konsep perdesaan dan perkotaan mengacu
kepada karakteristik masyarakat sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu
satuan wilayah administrasi atau teritorial, dalam hal ini perdesaan mencakup
beberapa desa.
Koentjaraningrat (1977, dalam
Sumpeno, 2011;3) mendefinisikan desa
sebagai komunitas kecil yang menetap di suatu daerah, sedangkan Bergel (1995,
dalam Sumpeno, 2011;3) mendefinisikan bahwa desa sebagai setiap pemukiman
para petani. Pengertian desa dalam tiga aspek; (1) analisis statistik, desa
didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduk kurang dari 2500 orang,
(2) analisis sosial psikologis, desa merupakan suatu lingkungan yang
penduduknya memiliki hubungan akrab dan bersifat informal diantara sesama
warganya, dan (3) analisis ekonomi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan
dengan penduduknya tergantung kepada pertanian (Sumpeno, 2011;3).
Zakaria (2000, dalam Sumpeno, 2011;3) menyatakan, desa adalah
sekumpulan manusia yang hidup bersama atau suatu wilayah, yang memiliki
suatu organisasi pemerintahan dengan serangkaian peraturan-peraturan yang
ditetapkan sendiri, serta berada di bawah pimpinan desa yang dipilih dan
ditetapkan sendiri. Definisi ini, menegaskan bahwa desa sebagai satu unit
7
kelembagaan pemerintahan mempunyai kewenangan pengelolaan wilayah
perdesaan.
Wilayah
perdesaan sendiri
diartikan sebagai
wilayah
yang
penduduknya mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan
sumberdaya alam, dengan susunan fungsi wilayah sebagai pemukiman perdesaan,
pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Sumpeno,
2011;3).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa desa merupakan
suatu kesatuan masyarakat yang dibangun berdasarkan sejarah, nilai-nilai, budaya,
hukum dan keistimewaan tertentu yang diakui dalam sistem kenegaraan kesatuan
Republik Indonesia yang memiliki kewenangan untuk mengatur, mengorganisir
dan menetapkan kebutuhan masyarakatnya secara mandiri.
2.2. Pelayanan Publik
2.2.1. Pengertian Pelayanan Publik
Menurut Kotler dalam Sampara Lukman, Pelayanan adalah setiap
kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan
menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terlihat pada suatu produk
secara fisik (Sinambela, 2008; 4). Selanjutnya Sampara berpendapat,
pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam
interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara
fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan (Sinambela, 2008; 4).
Sementara itu, istilah publik berasal dari Bahasa Inggris Public yang
berarti umum, masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima
menjadi Bahasa Indonesia Baku menjadi publik yang berarti umum, orang
banyak, ramai. Padanan kata yang tepat digunakan adalah praja yang
sebenarnya bermakna rakyat sehingga lahir istilah Pamong Praja yang
berarti pemerintah yang melayani kepentingan seluruh masyarakat. Syafiie
(2006, dalam Sinambela, 2008; 5) mendefinisikan publik adalah sejumlah
manusia yang memiliki kebersamaan berfikir, perasaan, harapan, sikap dan
tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang merasa
memiliki.
8
Menurut Dwiyanto (2008; 136), pelayanan publik dapat di definisikan
sebagai serangkaian aktifitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk
memenuhi kebutuhan warga pengguna. Lebih lanjut menurutnya, pelayanan
publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap
sejumlah
manusia
yang memiliki
setiap
kegiatan
yang
menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan
kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
Dengan demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan
kebutuhan masyarakat oleh penyelenggaraan negara. Negara didirikan oleh
publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pada hakikatnya negara dalam hal ini pemerintah
(birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan
dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual akan tetapi berbagai
kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat, misalnya
kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.
Namun demikian, pelayanan publik sebagai salah satu upaya
menjadikan demokrasi bermakna tidak selalu berjalan lancar. Menurut
Davis (1999, dalam Pamerdi, 2015; 39-55) negara demokratik dengan
birokrasi pemerintahannya merupakan pelaku pelayanan publik, akan tetapi
pada kenyataannya ada jarak antara pemerintah sebagai pelaku pelayanan
dan masyarakat (publik). Walaupun ide desentralisasi atau otonomi daerah
adalah berupaya mendekatkan pelayanan publik kepada aspirasi publik,
tetapi berbagai jenis jarak antara pemberi pelayanan (negara/pemerintah)
dan publik (masyarakat) selaku penerima pelayanan masih seringkali terjadi,
dan jarak tersebut tentu menghalangi idealisme kualitas pelayanan publik
(Pamerdi, 2015; 49-53).
Davis (1999, dalam Pamerdi, 2015; 49-53) mengatakan sedikitnya ada
4 (empat) jarak antara birokrasi dan masyarakat dalam kerangka pencapaian
kualitas pelayanan publik. Pertama, geographic source of distance,
merupakan jarak yang berkaitan dengan ruang fisik yang membentang
antara lokasi pelayanan pemerintah dan lokasi tempat tinggal warga
9
masyarakat selaku penerima pelayanan. Berbagai cara yang bisa ditempuh
untuk mendekatkan kedua belah pihak adalah : (1) melalui pemekaran suatu
daerah yang mencoba mendekatkan secara fisik antara lokasi pelayanan
publik dengan tempat tinggal masyarakat; (2) menciptakan infrastruktur
fisik jalan yang baik sehingga jarak fisik antara lokasi pelayanan pemerintah
dan tempat tinggal warga dapat ditempuh ditempuh dengan transportasi
cepat dan lancar; (3) menciptakan infrastruktur sarana media komunikasi
digital yang mendekatkan pelayanan pemerintah kepada warga masyarakat
selaku penerima pelayanan (Pamerdi, 2015; 49-53). Pendek kata,
infrastruktur transportasi dan komunikasi yang baik akan mendekatkan
pelayanan publik. Infrastruktur transportasi dan komunikasi yang hancur
akan menjauhkan pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53).
Kedua, institutional source of distance, merupakan jarak yang
berkaitan
dengan
pelembagaan
lembaga-lembaga
pelayanan
publik
(Pamerdi, 2015; 49-53). Jika birokrasi pemerintahan sudah menghayati diri
sebagai pamong praja pelayan publik maka lembaga-lembaga pelayanan
publik akan terbentuk kuat sehingga mendekatkan pelayanan publik dengan
kebutuhan sehari-hari masyarakat (Pamerdi, 2015; 49-53). Namun, jika
birokrasi masih berjiwa pangreh praja, maka lembaga pelayanan publik
tidak mungkin terbentuk, organisasi birokrasi tak akan bertumbuh
melembaga menjadi lembaga pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53).
Dengan kondisi semacam ini, berarti pelayanan publik masih jauh dari
aspirasi masyarakat secara kelembagaan.
Ketiga, social class positional source of distance, merupakan jarak
yang berkaitan dengan perbedaan strata sosial (-ekonomi) antara aparat
birokrasi tata pemerintahan yang menyediakan pelayanan publik dengan
warga masyarakat penerima pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53).
Masyarakat yang tak berpunya yang berpenghasilan rendah, berpendidikan
rendah, dan tak punya kekuatan politik apapun mengalami kesulitan
memperoleh akses pelayanan publik yang dilakukan birokrat yang
berpenghasilan tinggi, berpendidikan baik dan berkekuatan politis. Dalam
10
kondisi sosial-ekonomi seperti ini, aspirasi masyarakat masyarakat berjarak
jauh dari akses pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53).
Keempat, cultural source of distance, merupakan jarak yang berkaitan
dengan perbedaan budaya (Pamerdi, 2015; 49-53). Dalam hal ini budaya
dimengerti sebagai pola pikir, mindset, yang berbeda antara pola pikir
aparat birokrasi tata pemerintahan selaku penyedia pelayanan publik dengan
pola pikir warga masyarakat selaku penerima pelayanan publik. Jarak
budaya ini akan meminggirkan warga masyarakat dari pelayanan publik.
Faktor identitas budaya yang berbasis kebahasaan, kesukuan, serta gender,
sering meminggirkan warga dari pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53).
Birokrat pemberi pelayanan publik merasa sebagai pihak yang punya kuasa,
sedangkan warga merasa tak punya kuasa apa-apa, powerless. Warga
merasa jauh dari sang penguasa.
Menurut perspektif teoritik, telah terjadi pergeseran paradigma
pelayan publik dari model administrasi publik tradisional (old public
administration)
ke
model
managemen
publik
baru
(new
public
management), dan akhirnya menuju model pelayanan publik baru (new
public service) (denhardt and denhardt, 2000, dalam Sinambela, 2008; 138140). Dalam model new public service, pelayanan publik berdasarkan Teori
demokrasi yang mengajarkan adanya egaliter dan persamaan hak di antara
warga negara (Sinambela, 2008; 138-140). Dalam model ini, kepentingan
publik dirumuskan sebagai hasil dialog dari berbagai nilai yang ada di
dalam masyarakat. Kepentingan publik bukan dirumuskan oleh elite politik
seperti yang tertera dalam aturan. Birokrasi yang memberikan pelayanan
publik harus bertanggung jawab kepada mayarakat secara keseluruhan.
peran pemerintah adalah melakukan negosiasi dan menggali berbagai
kepentingan dari berbagai warga negara dan berbagai kelompok komunitas
yang ada. Lebih lanjut, menyatakan bahwa demokrasi publik bukan hanya
sekedar harus akuntabel pada berbagai aturan hukum, melainkan juga harus
akuntabel pada nilai-nilai yang ada dalm masyarakat, norma politik yang
berlaku, standar profesional, dan kepentingan warga negara. Dasar teoritis
11
pelayanan publik yang ideal menurut paradigma pelayanan publik (baru),
sebagaimana yang didiskusikan di atas yaitu bahwa pelayanan publik harus
responsif terhadap berbagai kepentingan dan nila-nilai publik (Sinambela,
2008; 138-140). Tugas pemerintah adalah melakukan negosiasi dan
mengelaborasi
berbagai
kepentingan warga
negara dan kelompok
komunitas.
Pelayanan publik model baru harus bersifat non-diskriminatif
sebagaimana dimaksud oleh dasar teoritis yang digunakan, yaitu teori
demokrasi yang menjamin adanya persamaan warga tanpa membedakan
asal usul, suku, ras, etnik, agama, dan latar belakang kepartaian (Sinambela,
2008; 140). Ini berarti setiap warga negara diperlakukan secara sama ketika
berhadapan dengan birokrasi publik dalam menerima layanan sepanjang
syarat-syarat yang dibutuhkan terpenuhi. Hubungan yang terjalin antara
birokrat publik dengan warga negara adalah hubungan impersonal sehingga
terhindar dari sifat nepotisme dan primordialisme.
2.2.2. Bidang Pelayanan Publik
Dalam undang-undang Republik Indonesia No 25 Tahun 2009
Tentang
Pelayanan
Publik
menyebutkan
asas-asas
penting
dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Asas-asas tersebut antara lain:
a.
Berdasarkan pada kepentingan umum
b.
Memiliki kepastian hukum
c.
Kesamaan hak
d.
Keseimbangan hak dan kewajiban
e.
Keprofesionalan
f.
Partisipatif
g.
Persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif
h.
Keterbukaan
i.
Akuntabilitas
j.
Pemberian fasilitas dan perlakuan kusus bagi kelompok rentan
k.
Ketepatan waktu
12
l.
Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan
Selain itu, dalam peraturan pemerintah No 96 Tahun 2012 Tentang
pelaksanaan UU No 25 Tahun 2009 Tentang pelayanan publik menyatakan
bahwa ruang lingkup pelayanan publik meliputi :
a.
Pelayanan barang publik
b.
Pelayanan jasa publik
c.
Pelayanan administratif
Kewenangan lokal berskala desa berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2015 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa pada pasal 34 ayat 2 adalah sebagai berikut:
a.
Pengelolaan tambatan perahu;
b.
Pengelolaan pasar desa;
c.
Pengelolaan tempat pemandian umum;
d.
Pengelolaan jaringan irigasi;
e.
Pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat desa;
f.
Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos
pelayanan terpadu;
g.
Pengembangan dan pembinaan sanggar seni dan belajar;
h.
Pengelolaan perpustakaan desa dan taman bacaan;
i.
Pengelolaan embung desa;
j.
Pengelolaan air minum berskala desa;
k.
Pembuatan jalan desa antarpermukiman ke wilayah pertanian.
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal
7 terdapat tugas penataan yang mesti dilakukan oleh desa, salah satunya
adalah
mempercepat
peningkatan
kualitas
pelayanan
publik.
Ini
mengartikan bahwa desa tidak lagi berurusan saja dengan maslah
adminitratif, tetapi desa mesti berupaya melaksanakan pembangunan dalam
bingkai pelayanan publik.
13
2.2.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Pelayanan Publik
Kualitas pelayan publik yang diberikan oleh birokrasi dipengaruhi
oleh berbagai faktor, seperti tingkat kompetensi aparat, kualitas peralatan
yang digunakan untuk memproses pelayanan, budaya birokrasi, dan
sebagainya (Sinambela, 2008; 138-140). Kompetensi aparat birokrasi
merupakan
bersumber
dari
tingkat
pendidikannya,
jumlah
tahun
pengalaman kerjanya, dan variasi pelatihan yang telah diterima. Sedangkan
kualitas dan kuantitas peralatan yang digunakan akan mempengaruhi
prosedur, kecepatan proses, dan kualitas keluaran (out-put) yang akan
dihasilkan.
Secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah
memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas
pelayanan prima yang tercermin dari (Sinambela, 2008; 141-142):
1. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan
dapat diakses oleh
semua pihak yang membutuhkan dan
disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan
kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap
berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas.
4. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta
masyarakat dalam penyelanggaraan pelayanan publik dengan
memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
5. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi
dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan,
status sosial, dan lain-lain.
6. Keseimbangan hak dan kewajiban,
yaitu pelayanan
yang
mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dam penerima
pelayanan publik.
14
2.3. Kerangka Pikir Teoritis
DESA
FAKTOR
PENDUKUNG
PEMEKARAN
DESA
PELAYANAN
PUBLIK
FAKTOR
PENGHAMBAT
Sesuai Kewenangan Lokal
Desa (PP 47 Tahun 2015) :
1. Bidang Kesehatan
2. Bidang Air Minum
3. Bidang Infrastruktur
Jalan Desa
Bagan 2.1.
Kerangka Pikir Penelitian
Dalam konteks pemerintahan di Indonesia, pemerintah desa tidak lagi
sekedar menjadi perpanjangan tangan administratif pemerintah daerah. Salah satu
kewenangan penting desa adalah melaksanakan pelayanan publik. Sesuai dengan
kewenangan lokal desa yang termasuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2015, pelayanan air bersih desa, pelayanan jalan pemukiman dan jalan
desa, serta pelayanan kesehatan, merupakan tiga dari tujuh kewenangan yang
dapat dilakukan oleh desa saat ini.
Pemekaran desa di Indonesia yang meningkat dari tahun ke tahun
menandakan bahwa pemerintah serius untuk memperpendek rentang kendali
pelayanan publik. Ini juga mengartikan bahwa terdapat kondisi yang penting di
desa
yang perlu dibenahi. Oleh karena
itu, menjadi signifikan jika
menggambarkan kondisi pelayanan publik di desa setelah pemekaran itu terjadi.
Selain pelayanan publik yang terjadi, tentu akan tergambarkan pula faktor-faktor
yang mendukung dan menghambat pelayanan publik itu sendiri.
15
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Desa
Desa adalah satuan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai
kesatuaan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah dan langsung di bawah camat, serta
berhak menyelenggarakan rumah tangga diri sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuaan Republik Indonesia (Satria ddk, 2011; 12). Istilah desa berasal dari
bahasa India swadesi yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal atau
tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup dengan kesatuan norma
serta memiliki batas yang jelas (Sumpeno, 2011;3). Antonius T, (2011, dalam
Sumpeno, 2011;3) mengatakan bahwa konsep perdesaan dan perkotaan mengacu
kepada karakteristik masyarakat sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu
satuan wilayah administrasi atau teritorial, dalam hal ini perdesaan mencakup
beberapa desa.
Koentjaraningrat (1977, dalam
Sumpeno, 2011;3) mendefinisikan desa
sebagai komunitas kecil yang menetap di suatu daerah, sedangkan Bergel (1995,
dalam Sumpeno, 2011;3) mendefinisikan bahwa desa sebagai setiap pemukiman
para petani. Pengertian desa dalam tiga aspek; (1) analisis statistik, desa
didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduk kurang dari 2500 orang,
(2) analisis sosial psikologis, desa merupakan suatu lingkungan yang
penduduknya memiliki hubungan akrab dan bersifat informal diantara sesama
warganya, dan (3) analisis ekonomi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan
dengan penduduknya tergantung kepada pertanian (Sumpeno, 2011;3).
Zakaria (2000, dalam Sumpeno, 2011;3) menyatakan, desa adalah
sekumpulan manusia yang hidup bersama atau suatu wilayah, yang memiliki
suatu organisasi pemerintahan dengan serangkaian peraturan-peraturan yang
ditetapkan sendiri, serta berada di bawah pimpinan desa yang dipilih dan
ditetapkan sendiri. Definisi ini, menegaskan bahwa desa sebagai satu unit
7
kelembagaan pemerintahan mempunyai kewenangan pengelolaan wilayah
perdesaan.
Wilayah
perdesaan sendiri
diartikan sebagai
wilayah
yang
penduduknya mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan
sumberdaya alam, dengan susunan fungsi wilayah sebagai pemukiman perdesaan,
pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Sumpeno,
2011;3).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa desa merupakan
suatu kesatuan masyarakat yang dibangun berdasarkan sejarah, nilai-nilai, budaya,
hukum dan keistimewaan tertentu yang diakui dalam sistem kenegaraan kesatuan
Republik Indonesia yang memiliki kewenangan untuk mengatur, mengorganisir
dan menetapkan kebutuhan masyarakatnya secara mandiri.
2.2. Pelayanan Publik
2.2.1. Pengertian Pelayanan Publik
Menurut Kotler dalam Sampara Lukman, Pelayanan adalah setiap
kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan
menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terlihat pada suatu produk
secara fisik (Sinambela, 2008; 4). Selanjutnya Sampara berpendapat,
pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam
interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara
fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan (Sinambela, 2008; 4).
Sementara itu, istilah publik berasal dari Bahasa Inggris Public yang
berarti umum, masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima
menjadi Bahasa Indonesia Baku menjadi publik yang berarti umum, orang
banyak, ramai. Padanan kata yang tepat digunakan adalah praja yang
sebenarnya bermakna rakyat sehingga lahir istilah Pamong Praja yang
berarti pemerintah yang melayani kepentingan seluruh masyarakat. Syafiie
(2006, dalam Sinambela, 2008; 5) mendefinisikan publik adalah sejumlah
manusia yang memiliki kebersamaan berfikir, perasaan, harapan, sikap dan
tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang merasa
memiliki.
8
Menurut Dwiyanto (2008; 136), pelayanan publik dapat di definisikan
sebagai serangkaian aktifitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk
memenuhi kebutuhan warga pengguna. Lebih lanjut menurutnya, pelayanan
publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap
sejumlah
manusia
yang memiliki
setiap
kegiatan
yang
menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan
kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
Dengan demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan
kebutuhan masyarakat oleh penyelenggaraan negara. Negara didirikan oleh
publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pada hakikatnya negara dalam hal ini pemerintah
(birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan
dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual akan tetapi berbagai
kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat, misalnya
kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.
Namun demikian, pelayanan publik sebagai salah satu upaya
menjadikan demokrasi bermakna tidak selalu berjalan lancar. Menurut
Davis (1999, dalam Pamerdi, 2015; 39-55) negara demokratik dengan
birokrasi pemerintahannya merupakan pelaku pelayanan publik, akan tetapi
pada kenyataannya ada jarak antara pemerintah sebagai pelaku pelayanan
dan masyarakat (publik). Walaupun ide desentralisasi atau otonomi daerah
adalah berupaya mendekatkan pelayanan publik kepada aspirasi publik,
tetapi berbagai jenis jarak antara pemberi pelayanan (negara/pemerintah)
dan publik (masyarakat) selaku penerima pelayanan masih seringkali terjadi,
dan jarak tersebut tentu menghalangi idealisme kualitas pelayanan publik
(Pamerdi, 2015; 49-53).
Davis (1999, dalam Pamerdi, 2015; 49-53) mengatakan sedikitnya ada
4 (empat) jarak antara birokrasi dan masyarakat dalam kerangka pencapaian
kualitas pelayanan publik. Pertama, geographic source of distance,
merupakan jarak yang berkaitan dengan ruang fisik yang membentang
antara lokasi pelayanan pemerintah dan lokasi tempat tinggal warga
9
masyarakat selaku penerima pelayanan. Berbagai cara yang bisa ditempuh
untuk mendekatkan kedua belah pihak adalah : (1) melalui pemekaran suatu
daerah yang mencoba mendekatkan secara fisik antara lokasi pelayanan
publik dengan tempat tinggal masyarakat; (2) menciptakan infrastruktur
fisik jalan yang baik sehingga jarak fisik antara lokasi pelayanan pemerintah
dan tempat tinggal warga dapat ditempuh ditempuh dengan transportasi
cepat dan lancar; (3) menciptakan infrastruktur sarana media komunikasi
digital yang mendekatkan pelayanan pemerintah kepada warga masyarakat
selaku penerima pelayanan (Pamerdi, 2015; 49-53). Pendek kata,
infrastruktur transportasi dan komunikasi yang baik akan mendekatkan
pelayanan publik. Infrastruktur transportasi dan komunikasi yang hancur
akan menjauhkan pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53).
Kedua, institutional source of distance, merupakan jarak yang
berkaitan
dengan
pelembagaan
lembaga-lembaga
pelayanan
publik
(Pamerdi, 2015; 49-53). Jika birokrasi pemerintahan sudah menghayati diri
sebagai pamong praja pelayan publik maka lembaga-lembaga pelayanan
publik akan terbentuk kuat sehingga mendekatkan pelayanan publik dengan
kebutuhan sehari-hari masyarakat (Pamerdi, 2015; 49-53). Namun, jika
birokrasi masih berjiwa pangreh praja, maka lembaga pelayanan publik
tidak mungkin terbentuk, organisasi birokrasi tak akan bertumbuh
melembaga menjadi lembaga pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53).
Dengan kondisi semacam ini, berarti pelayanan publik masih jauh dari
aspirasi masyarakat secara kelembagaan.
Ketiga, social class positional source of distance, merupakan jarak
yang berkaitan dengan perbedaan strata sosial (-ekonomi) antara aparat
birokrasi tata pemerintahan yang menyediakan pelayanan publik dengan
warga masyarakat penerima pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53).
Masyarakat yang tak berpunya yang berpenghasilan rendah, berpendidikan
rendah, dan tak punya kekuatan politik apapun mengalami kesulitan
memperoleh akses pelayanan publik yang dilakukan birokrat yang
berpenghasilan tinggi, berpendidikan baik dan berkekuatan politis. Dalam
10
kondisi sosial-ekonomi seperti ini, aspirasi masyarakat masyarakat berjarak
jauh dari akses pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53).
Keempat, cultural source of distance, merupakan jarak yang berkaitan
dengan perbedaan budaya (Pamerdi, 2015; 49-53). Dalam hal ini budaya
dimengerti sebagai pola pikir, mindset, yang berbeda antara pola pikir
aparat birokrasi tata pemerintahan selaku penyedia pelayanan publik dengan
pola pikir warga masyarakat selaku penerima pelayanan publik. Jarak
budaya ini akan meminggirkan warga masyarakat dari pelayanan publik.
Faktor identitas budaya yang berbasis kebahasaan, kesukuan, serta gender,
sering meminggirkan warga dari pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53).
Birokrat pemberi pelayanan publik merasa sebagai pihak yang punya kuasa,
sedangkan warga merasa tak punya kuasa apa-apa, powerless. Warga
merasa jauh dari sang penguasa.
Menurut perspektif teoritik, telah terjadi pergeseran paradigma
pelayan publik dari model administrasi publik tradisional (old public
administration)
ke
model
managemen
publik
baru
(new
public
management), dan akhirnya menuju model pelayanan publik baru (new
public service) (denhardt and denhardt, 2000, dalam Sinambela, 2008; 138140). Dalam model new public service, pelayanan publik berdasarkan Teori
demokrasi yang mengajarkan adanya egaliter dan persamaan hak di antara
warga negara (Sinambela, 2008; 138-140). Dalam model ini, kepentingan
publik dirumuskan sebagai hasil dialog dari berbagai nilai yang ada di
dalam masyarakat. Kepentingan publik bukan dirumuskan oleh elite politik
seperti yang tertera dalam aturan. Birokrasi yang memberikan pelayanan
publik harus bertanggung jawab kepada mayarakat secara keseluruhan.
peran pemerintah adalah melakukan negosiasi dan menggali berbagai
kepentingan dari berbagai warga negara dan berbagai kelompok komunitas
yang ada. Lebih lanjut, menyatakan bahwa demokrasi publik bukan hanya
sekedar harus akuntabel pada berbagai aturan hukum, melainkan juga harus
akuntabel pada nilai-nilai yang ada dalm masyarakat, norma politik yang
berlaku, standar profesional, dan kepentingan warga negara. Dasar teoritis
11
pelayanan publik yang ideal menurut paradigma pelayanan publik (baru),
sebagaimana yang didiskusikan di atas yaitu bahwa pelayanan publik harus
responsif terhadap berbagai kepentingan dan nila-nilai publik (Sinambela,
2008; 138-140). Tugas pemerintah adalah melakukan negosiasi dan
mengelaborasi
berbagai
kepentingan warga
negara dan kelompok
komunitas.
Pelayanan publik model baru harus bersifat non-diskriminatif
sebagaimana dimaksud oleh dasar teoritis yang digunakan, yaitu teori
demokrasi yang menjamin adanya persamaan warga tanpa membedakan
asal usul, suku, ras, etnik, agama, dan latar belakang kepartaian (Sinambela,
2008; 140). Ini berarti setiap warga negara diperlakukan secara sama ketika
berhadapan dengan birokrasi publik dalam menerima layanan sepanjang
syarat-syarat yang dibutuhkan terpenuhi. Hubungan yang terjalin antara
birokrat publik dengan warga negara adalah hubungan impersonal sehingga
terhindar dari sifat nepotisme dan primordialisme.
2.2.2. Bidang Pelayanan Publik
Dalam undang-undang Republik Indonesia No 25 Tahun 2009
Tentang
Pelayanan
Publik
menyebutkan
asas-asas
penting
dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Asas-asas tersebut antara lain:
a.
Berdasarkan pada kepentingan umum
b.
Memiliki kepastian hukum
c.
Kesamaan hak
d.
Keseimbangan hak dan kewajiban
e.
Keprofesionalan
f.
Partisipatif
g.
Persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif
h.
Keterbukaan
i.
Akuntabilitas
j.
Pemberian fasilitas dan perlakuan kusus bagi kelompok rentan
k.
Ketepatan waktu
12
l.
Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan
Selain itu, dalam peraturan pemerintah No 96 Tahun 2012 Tentang
pelaksanaan UU No 25 Tahun 2009 Tentang pelayanan publik menyatakan
bahwa ruang lingkup pelayanan publik meliputi :
a.
Pelayanan barang publik
b.
Pelayanan jasa publik
c.
Pelayanan administratif
Kewenangan lokal berskala desa berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2015 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa pada pasal 34 ayat 2 adalah sebagai berikut:
a.
Pengelolaan tambatan perahu;
b.
Pengelolaan pasar desa;
c.
Pengelolaan tempat pemandian umum;
d.
Pengelolaan jaringan irigasi;
e.
Pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat desa;
f.
Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos
pelayanan terpadu;
g.
Pengembangan dan pembinaan sanggar seni dan belajar;
h.
Pengelolaan perpustakaan desa dan taman bacaan;
i.
Pengelolaan embung desa;
j.
Pengelolaan air minum berskala desa;
k.
Pembuatan jalan desa antarpermukiman ke wilayah pertanian.
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal
7 terdapat tugas penataan yang mesti dilakukan oleh desa, salah satunya
adalah
mempercepat
peningkatan
kualitas
pelayanan
publik.
Ini
mengartikan bahwa desa tidak lagi berurusan saja dengan maslah
adminitratif, tetapi desa mesti berupaya melaksanakan pembangunan dalam
bingkai pelayanan publik.
13
2.2.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Pelayanan Publik
Kualitas pelayan publik yang diberikan oleh birokrasi dipengaruhi
oleh berbagai faktor, seperti tingkat kompetensi aparat, kualitas peralatan
yang digunakan untuk memproses pelayanan, budaya birokrasi, dan
sebagainya (Sinambela, 2008; 138-140). Kompetensi aparat birokrasi
merupakan
bersumber
dari
tingkat
pendidikannya,
jumlah
tahun
pengalaman kerjanya, dan variasi pelatihan yang telah diterima. Sedangkan
kualitas dan kuantitas peralatan yang digunakan akan mempengaruhi
prosedur, kecepatan proses, dan kualitas keluaran (out-put) yang akan
dihasilkan.
Secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah
memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas
pelayanan prima yang tercermin dari (Sinambela, 2008; 141-142):
1. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan
dapat diakses oleh
semua pihak yang membutuhkan dan
disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan
kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap
berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas.
4. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta
masyarakat dalam penyelanggaraan pelayanan publik dengan
memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
5. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi
dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan,
status sosial, dan lain-lain.
6. Keseimbangan hak dan kewajiban,
yaitu pelayanan
yang
mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dam penerima
pelayanan publik.
14
2.3. Kerangka Pikir Teoritis
DESA
FAKTOR
PENDUKUNG
PEMEKARAN
DESA
PELAYANAN
PUBLIK
FAKTOR
PENGHAMBAT
Sesuai Kewenangan Lokal
Desa (PP 47 Tahun 2015) :
1. Bidang Kesehatan
2. Bidang Air Minum
3. Bidang Infrastruktur
Jalan Desa
Bagan 2.1.
Kerangka Pikir Penelitian
Dalam konteks pemerintahan di Indonesia, pemerintah desa tidak lagi
sekedar menjadi perpanjangan tangan administratif pemerintah daerah. Salah satu
kewenangan penting desa adalah melaksanakan pelayanan publik. Sesuai dengan
kewenangan lokal desa yang termasuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2015, pelayanan air bersih desa, pelayanan jalan pemukiman dan jalan
desa, serta pelayanan kesehatan, merupakan tiga dari tujuh kewenangan yang
dapat dilakukan oleh desa saat ini.
Pemekaran desa di Indonesia yang meningkat dari tahun ke tahun
menandakan bahwa pemerintah serius untuk memperpendek rentang kendali
pelayanan publik. Ini juga mengartikan bahwa terdapat kondisi yang penting di
desa
yang perlu dibenahi. Oleh karena
itu, menjadi signifikan jika
menggambarkan kondisi pelayanan publik di desa setelah pemekaran itu terjadi.
Selain pelayanan publik yang terjadi, tentu akan tergambarkan pula faktor-faktor
yang mendukung dan menghambat pelayanan publik itu sendiri.
15