T1__BAB VI Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transformasi Komunitas Punk di Condong Catur Yogyakarta dalam Prespektif Modal Sosial T1 BAB VI

BAB VI
PENUTUP

6.1

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dapat di ambil kesimpulan bahwa
Pertama , para Punkers menyadari adanya sumber daya dan peluang-

peluang yang sekiranya dapat mereka gunakan untuk memecahkan masalah
mereka ketika berada dijalan dalam bentuk membangun usaha Kedai
Keblasuk.Hal tersebut menjadi langkah awaal mereka dalam proses transformasi
dari kehidupan di jalanan yang keras dan penuh dengan stigma negatif dari
masyarakat hingga bisa membangun sebuah Kedai Keblasuk, sebagai upaya
defensif sekaligus sebagai media perjuangan baru mereka, keuntungan dari hasil
berkedai yang mereka dapatkan digunakan secara kolektif dan untuk kepentingan
kolektif. Usaha kolektif mereka dalam membangun kedai dimulai dari
ketidakadaan dan kemandirian, hingga bisa mendapatkan izin menempati tanah,
membangun kedai, hingga megandeng rekan diluar komunitas yang mereka
anggap bagian dari Network Of Friend bermodalkan modal social.

Kedua , transformasi yang terjadi dari jalanan menjadi pengusaha kedai

keblasuk yang tak bertuan hanya sebatas pada cara hidup saja, namun hal-hal
esensial yang mereka pegang teguhkan seperti kebersamaan, rasa kekeluargaan,
semangat gotong royong, solidaritas, norma D.I.Y (Do It Yourself) dan equality
(kesetaraan) masih tetap sama, demikian pula dengan ciri khas mereka yang hadir
untuk membrontak sebuah sistem yang mereka anggap bobrok menggunakan
karya. Seperti ketidakadilan yang kerap terjadi dalam dimensi sosial, politik,
ekonomi, stigma negatif tentang mereka, bahkan impian untuk memecah rantai
distribusi pasar yang dirasa sangat tidak adil.
Ketiga , terlibat didalam kegiatan ekonomi berarti terkait pula dengan

konsep kapitalisme yang mendarah daging dalam sistem ekonomi, para
74

Punkerssecara rasional mampu memposisikan diri dan kedainya sebagai ruang

menyambung hidup sekaligus ruang karya mereka, sebagai media kritik atas
ketidakadilan dari Negara ataupun imbas kapitalisme. Menggunakan pendekatan
yang berbeda dalam mengelola kedai, seperti menekankan prinsip keadilan

berbentuk sama rasa sama rata dan untuk kepentingan bersama merupakan
langkah antisipatif mereka, agar tidak terjebak kedalam imbas kompetisi pasar
yang cenderung membangun kelas dalam bidang pekerjaan ataupun interaksi
sosial. Kedai Keblasuk bagi mereka juga merupakan suatu bentuk kritikan
terhadap ketidak mampuan Negara dalam memberdayakan orang-orang yang
termarjinalkan.
Keempat, perjuangan panjang para Punkers dari jalanan menjadi

pengusaha kedai keblasuk menunjukan bahwa telah terjadi transformasi dari
modal sosial menjadi modal ekonomi yang adil dan merata bagi kelompok
mereka. Namun, jika di sorot lebih jauh modal social menjadi sumber kekuatan
utama bagi berjalanya kegiatan usaha Kedai Keblasuk. Modal social yang tecipta
diantara hubungan-hubungan antar Punkers dengan rekan-rekan usahanya yang
mereka sebut sebagai Network Of Friend yaitu Trust (Kepercayaan) yang menjadi
fondasi utama yang memperkuat kerjasama satu sama lain. Hubungan kerjasama
yang terjadi di kedai Kedai Keblasuk memperlihatkan bahwa kegiatan-kegiatan
transaksi ekonomi tidak selamanya hanya memprioritaskan keuntungan pribadi,
namun pentingnya membangun dan menjaga hubungan kekerabatan dan
persaudaraan menjadi bekal utama dalam keberlangsungan menjalankan kegiatan
usaha demi keuntungan bersama.

Kelima , modal sosial pun turut di implementasikan kepada dimensi

eksternal mereka seperti pelanggan, pembeli, ataupun tetangga berupa sopan
santun, membangun keakraban, dan lainya,hal tersebut merupakan wujud dari
transformasi para Punkers yang dahulunya ekslusif hingga menjadi inklusif.
Modal sosial dijadikan sebagai senjata untuk memutar balikan anggapan negatif
yang telah lama terbangun tentang mereka, sekaligus menjadi alat bagi mereka

75

untuk mengaktualisasikan diri dan membuktikan bahwa mereka juga secara
positif dapat menjadi produktif tanpa bergantung pada siapapun.
6.2.

Saran
Alangkah lebih baik jika kita sebagai masyarakat umumoptimis dalam

memperhatikan, menghargai, mempedulikan, dan memanusiakan keberadaan
masyarakat ataupun komunitas yang termarjinalkan. Berpijak pada sebuah hasil
peneletian diatas, bahwa seseorang maupun sebuah komunitas dapat menjadi

produktif secara positif ketika mendapatkan ruang dan media yang cocok
untuknya, apalagi jika Negara dan masyarakat pada umumnya memberi hak dan
kesempatan yang sama.
Perlunya pengarahan tepat sasaran tanpa melakukan kekerasan fisik
ataupun hal-hal yang kurang manusiawi lainya dari aparat Negara yang
melakukan penertiban sesuai dengan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 yang menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh negara”. Serta pemaksaan yang terjadi semasa pelatihan menjadi tidak efektif
karena pelatihan dilakukan secara terpaksa oleh para peserta, alangkah lebih baik
jika mereka yang terjaring razia dibina menggunakan pendekatan komunikatif
berdasarkan potensi apa yang ia bisa kembangkan, seperti contohnya karya seni
dan lainnya.

76