sini Pakepung 1790, Penggagalan Syariat Islam di Keraton Surakarta

PAKEPUNG 1790

Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam
di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya
K. Subroto

Laporan Khusus

SYAMINA

Edisi 14 / Oktober 2016

PAKEPUNG 1790
Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam
di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya
K. Subroto

Laporan Khusus
Edisi 14 / Oktober 2016

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga
kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk
kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua
elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media
yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi
corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan
peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan
gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal.
Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing
penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,
kirimkan e-mail ke:
lk.syamina@gmail.com.
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:

www.syamina.org

2


SYAMINA

Laporan Khusus

DAFTAR ISI

EXECUTIVE SUMMARY

Daftar Isi — 3

Sunan Paku Buwono IV naik takhta pada usia
20 tahun. Usia yang begitu muda dan belum
matang kalau dibandingkan dengan kondisi
pemuda 20 tahun pada zaman ini. Namun, pada
usia yang begitu muda ia mempunyai keberanian
dan idealisme yang tinggi sebagai seorang raja dan
pemimpin yang berilmu karena ia telah dididik
oleh para ulama yang mumpuni. Ia berusaha
meluruskan berbagai penyelewengan dan penyimpangan dari ajaran Islam yang terjadi di Keraton
Surakarta. Ia juga berusaha menerapkan aturanaturan Islam di Keraton Surakarta.


Executive Summary — 3

PAKEPUNG 1790
Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam — 5
di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya
—5
Kondisi Politik pada Masa Pakubuwana IV — 6
1.

Habisnya Kedaulatan Mataram Digerogoti
VOC — 6

2.

Bangkrutnya
VOC,
Berkuasanya
Pemerintah Belanda dan Kedatangan
Inggris — 9


Menyadari berbagai kekurangannya sebagai
seorang raja muda, Sunan meminta beberapa
ulama untuk mendampinginya. Ulama yang dipilih
adalah yang mereka yang mumpuni ilmunya dan
juga zuhud dalam kesehariannya. Harapannya,
ulama bisa mendampingi dan menjadi penasihatnya dalam memimpin Kasunanan Surakarta sebagai sebuah kerajaan islami penerus Mataram.

Biografi dan Tulisan Karya Pakubuwana IV — 10
Pengaruh Ulama di Sekitar Raja — 13
Usaha Penerapan Hukum Islam — 14
Pengadilan Agama (Surambi) Menjadi Pengadilan
Tertinggi — 15

Setelah naik takhta Sunan berusaha meluruskan arah kebijakan sesuai dengan syariat Islam.
Sunan membuat berbagai aturan—baik berupa
kebijakan maupun aturan tertulis—untuk
merombak tata kelola di Keraton. Para pejabat
yang melanggar aturan yang dibuat Sunan akan
dimutasi atau bahkan dipecat. Hal itu membuat

beberapa pejabat yang tersingkir dari jabatannya
berusaha melawan Sunan.

Hukum Kisas dan Hudud — 16
Bukti-Bukti Pelaksanaan Syariat Islam pada Masa
Pakubuwana IV — 17
Pengepungan Keraton oleh Pasukan Belanda dan
Sekutunya — 18
Perjuangan Bersenjata Pakubuwana IV dan Kerja
Sama dengan Hamengkubuwana II — 20
Gagal dengan Perlawanan
Perlawanan Pena — 20

Fisik,

Edisi 14 / Oktober 2016

Beralih

ke


Kebijakan Sunan yang bernuansa Islam
juga tidak disukai Penjajah Belanda. Belanda
memandang bahwa para ulama yang ada di
sekitar Sunanlah yang menjadi penyebabnya.

Kesimpulan — 21

3

Laporan Khusus

SYAMINA

Belanda kemudian berkolaborasi dengan para
pejabat Keraton yang tidak menyukai kebijakan
Sunan untuk melawan Sunan. Mereka kemudian
melontarkan berbagai isu yang memojokkan Sunan
untuk memperoleh dukungan dari Kasultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegara. Usaha

mereka membuahkan hasil setelah hasutan dari
musuh-musuh. Sultan Yogyakarta dan Mangkunegaran kemudian sepakat untuk melakukan
kerja sama atau persekutuan dengan Belanda.
Koalisi tersebut membuat pasukan sekutu
untuk mengepung Karaton Surakarta. Mereka
sepakat bahwa para ulama yang menjadi penasihat
Sunan adalah orang yang jahat dan mempengaruhi
raja untuk menerapkan aturan-aturan Islam.
Pengepungan dilakukan dengan ribuan pasukan
untuk mengepung Keraton Surakarta yang hanya
berisi beberapa ratus orang saja. Setelah terjadi
pengepungan Belanda mengultimatum Sunan. Ia
diminta menyerahkan para ulama penasihatnya
atau Keraton akan diserang dan Sunan diturunkan
dari takhta secara paksa. Pengepungan ini dikenal
dengan peristiwa Pakepung.
Sunan berusaha untuk menerapkan aturanaturan hukum Islam secara damai, tidak ada usahausaha yang signifikan untuk membangun kekuatan
militer yang kuat. Hal itu karena Sunan terikat
perjanjian dengan Belanda dalam membangun
militernya dan merekrut para prajuritnya. Saat itu

kekuatan militer Keraton ada dalam kontrol Belanda.
Namun, walau Sunan berusaha menerapkan aturan
syariat Islam di negerinya sendiri, bahkan di dalam
keratonnya sendiri, tetapi Belanda dan sekutunya
menganggap itu sebagai ancaman yang serius
yang akan membahayakan kepentingan mereka.
Walaupun Sunan Pakubuwana IV berusaha
menegakkan syariat Islam secara damai, tetapi
musuh-musuhnya tetap menganggapnya sebagai
ancaman dan kejahatan yang harus dicegah dan
dihentikan sebelum tumbuh dan berkembang.

4

Edisi 14 / Oktober 2016

SYAMINA

Laporan Khusus


Edisi 14 / Oktober 2016

PAKEPUNG 1790
Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam
di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya

S

tidak terbatas dan segala
keputusannya tidak dapat
ditentang karena dianggap
kehendak dari Tuhan.2

ejarah
Kerajaan
Mataram pada masa
lampau
banyak
diwarnai
oleh

sengketa
di antara para pangeran,
lebih-lebih jika menyangkut
persoalan suksesi. Walaupun
raja yang sedang memerintah
telah menyiapkan calon
penggantinya, tetapi sesudah
raja mangkat, pergantian
tahta sering berlangsung
secara tidak mulus.

Posisi
raja
yang
sedemikian penting dan
“menguntungkan” membuat
setiap
raja
berusaha
dengan

sekuat
tenaga
untuk
mempertahankan
kedaulatannya.
Sering
terjadi perang saudara di
antara keluarga kerajaan
sendiri. Saat itulah VOC
Banyak
faktor
yang
tampil
seolah-olah
menyebabkan
terjadinya
1
Gb. Sunan Paku Buwono IV
menjadi penengah. Melalui
peristiwa di balik pergantian
perjanjian-perjanjian yang
takhta tersebut. Namun,
difasilitasi oleh VOC, konflik antarkeluarga kerajaan
faktor yang sangat menonjol adalah konsep
ini tampak mulai reda. Namun, di balik itu mulai
kekuasaan dalam pemikiran kebudayaan Jawa.
muncul pihak-pihak yang mulai memanfaatkan
Konsep kekuasaan yang berdasarkan Wahyu
situasi tersebut untuk mencari keuntungan pribadi,
Cakraningrat atau Wahyu Keraton masih berakar
termasuk VOC sendiri.
kuat dalam memilih calon yang dapat menjadi
pengganti raja.
Perjanjian Giyanti menandai babak baru dalam
perjalanan sejarah Dinasti Mataram. Wafatnya
Pakubuwana II, dilanjutkan dengan pengangkatan
putra mahkota menjadi Pakubuwana III, ternyata
memunculkan persoalan baru di kalangan istana.
Hal ini dikarenakan sebelum upacara penobatan
putra mahkota menjadi Pakubuwana III, pengikut
Pangeran
Mangkubumi
telah
mengangkat

Di kalangan masyarakat tradisional Jawa,
kekuasaan itu berkaitan dengan turunnya wahyu
sehingga raja merupakan pengejawantahan dari
Tuhan, sebagaimana disinyalir oleh Dr. Purwadi
(2003). Akibatnya raja memiliki kekuasaan

2
1

Diambil dari: http://rodvoid.org/1/10/P.B.IV.jpg

5

Purwadi, Membaca Sasmita Jaman Edan Sosiologi Mistik R. Ng.
Ronggowarsito, Jogjakarta: Persada, 2003, hlm. 5-6.

Laporan Khusus

SYAMINA

Edisi 14 / Oktober 2016

Perundingan damai antara
Raden Mas Said dengan Belanda
berlangsung pada tanggal 24
Persoalan
ini
membuat
Februari 1757 di Grogol, sebelah
VOC
segera
mengambil
selatan Surakarta. Kemudian
keputusan
untuk
mencoba
dilanjutkan dengan perundingan
dan
merundingkan
suatu
kedua pada tanggal 17 Maret 1757
penyelesaian
sebagai
upaya
di Salatiga. Dalam perundingan
melepaskan diri dari peperangan
tersebut diperoleh kesepakatan,
yang
berpotensi
membuat
bahwa Raden Mas Said mendapat
VOC
bangkrut.
Pangeran
wilayah kekuasaan yang meliputi
Mangkubumi pun siap untuk
Matesih, Keduwang, Nglaroh,
mengadakan
perundingan.
dan Surakarta bagian tenggara.
Akhirnya pada tanggal 13
Akhirnya perjuangan panjang
Februari 1755 Perjanjian Giyanti
4
Raden Mas Said membuahkan
Gb. Sultan Hamengku Buwono
ditandatangani. VOC mengakui
hasil yang ditandai dengan
Pangeran Mangkubumi sebagai
berdirinya Pura Mangkunegaran.
Sultan Hamengkubuwana I yang menguasai
setengah wilayah Mataram.3
Pangeran Mangkubumi menjadi
raja.

Kondisi Politik pada masa Pakubuwana IV

Pengakuan Pemerintah Hindia Belanda atas
kedudukan Sultan Hamengkubuwana I belum
menyelesaikan persoalan di kalangan istana.
Salah satu keturunan Pangeran Mangkunagara
(putra tertua Amangkurat IV), yaitu Raden Mas
Said, belum menghentikan perlawanan terhadap
Belanda.

1. Habisnya Kedaulatan Mataram Digerogoti VOC
Kasunanan Surakarta merupakan kelanjutan
dari Kasunanan Kartasura. Kasunanan Kartasura
merupakan kelanjutan dari Kasultanan Mataram.
Kasultanan Mataram berdiri pada tahun 1588 M
dengan Sutawijaya sebagai Sultan yang bergelar
Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama yang
bermakna ‘Panglima Perang dan Ulama Pengatur
Kehidupan Beragama’.

Gb. Peta Wilayah Kekuasaan Mataram Islam5
3
4

Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terjemahan Dharmono
Hardjopuspito, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm.
148-149.
Diambil dari: https://galeriilmiah.files.wordpress.com/2012/01/hb1.
jpg

5

6

Diambil dari: http://4.bp.blogspot.com/-Tbesh3L0K8k/
VVlh8g8JMUI/AAAAAAAAArE/qN_yX_be8uI/s1600/ markijar.
com%2B-%2Bwilayah%2Bmataram%2Bislam.png

Laporan Khusus

SYAMINA

Kasultanan
Mataram
runtuh
akibat
pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677.
Kemudian ibu kotanya dipindahkan ke Kartasura
oleh Sunan Amangkurat II. Pada masa Sunan
Pakubuwana II (1742) Mataram mendapat serbuan
dari orang-orang Tionghoa yang mendapat
dukungan dari orang-orang Jawa anti-VOC.
Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura
itu pun mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura
berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati
Cakraningrat IV, penguasa Madura Barat—yang
merupakan sekutu VOC—dalam keadaan rusak
parah. Kemudian Sunan Pakubuwana II yang
menyingkir ke Ponorogo memutuskan untuk
membangun istana baru di desa Sala sebagai
ibukota Kerajaan Mataram yang baru.6

Sunan menyerahkan Madura, Sumenep,
dan Pamekasan.

3.

Sunan menyerahkan Sedayu kepada salah
seorang keturunan Pangeran Cakraningrat
dari Madura dan Sedayu berada di bawah
pengawasan Kompeni.

4.

Sunan menyerahkan daerah-daerah Bang
Wetan, yaitu: Gresik, Panarukan, dan
sekitarnya, Surabaya, Rembang, serta
Semarang.

6.

Sunan memberikan hak monopoli dagang
di daerah Mataram kepada Kompeni.

Pada waktu itu, dalam keadaan sakit, sambil
dibangunkan dari tempat pembaringan, Sunan
dipaksa menyerahkan mahkota dan kedaulatan
Kerajaan Mataram kepada Kompeni serta
menyerahkan nasib putranya, Pangeran Adipati
Anom. Sejak saat itulah Kompeni berkuasa penuh
atas Kerajaan Mataram sebab tidak lama kemudian
Sunan Pakubuwana II meninggal dunia dan
dimakamkan di Laweyan.8
Pada saat perlawanan Pangeran Mangkubumi
semakin bersemangat dan memperoleh beberapa
7

8
6

Sunan memberi gaji kepada 4.000
orang Kompeni yang bertugas menjaga
keamanan di Kartasura sebesar 24.000 real
setahun; 10.000 real dan 1000 koyan beras
kepada Kompeni, juga 500 koyan kacangkacangan.

Pada tahun 1749 kondisi kesehatan Sunan
memburuk sejak perginya Pangeran Mangkubumi
dari Keraton. Sebaliknya, situasi ini justru digunakan
Kompeni untuk melaksanakan ambisinya. Pada
saat Sunan jatuh sakit datanglah Hegendrop ke
Surakarta dengan membawa surat perjanjian.

Patih dan para bupati daerah Pesisiran,
sebelum mereka memegang kekuasaan,
harus sepengetahuan dan mendapat
persetujuan Kompeni.

2.

5.

Selain perjanjian di atas, sesudah pindah ke
Surakarta (1746), Sunan juga menandatangani
perjanjian dengan Gubernur Jenderal Van
Imhoff. Dalam hal ini Belanda meminta seluruh
daerah pesisiran. Perjanjian ini dianggap sebagai
pembaruan perjanjian tahun 1743 di atas. Surat
ini dibuat pada tanggal 18 Mei 1746. Sejak saat
itu seluruh daerah Pesisiran diberikan kepada
Kompeni. Daerah-daerah tersebut adalah Brebes,
Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal,
Demak, Juwana, Kudus, Pati, Tuban, Sedayu, Gresik,
Lamongan, Sidoarjo, Bangil, Pasuruan, sebagian
daerah Malang, Jepara, Rembang, Surabaya, dan
Madura.7

Sebagai imbalan karena telah membantu
merebut Kartasura dari pemberontak, VOC
menginginkan penandatanganan perjanjian. Isi
perjanjian itu sangat merugikan pihak Keraton.
Namun, karena kondisi Kasunanan yang lemah,
akhirnya Sunan dengan terpaksa menyetujui
perjanjian itu. Hal itu terjadi ketika Sunan kembali
menduduki tahta Kerajaan Kartasura (1742).
Perjanjian itu dilakukan Sunan dengan Komisaris
Kompeni Hoego Verijssel. Isi perjanjian itu antara
lain:
1.

Edisi 14 / Oktober 2016

Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830—1939,
Yogyakarta: Penerbit Taman Siswa, 1989, hlm. 66.

7

“Serat Perjanjian Dalem Nata”, Surakarta: Radyapustaka, No. 297/D,
hlm. 26-43, dalam: Edy S. Wirabhumi, Pemberdayaan Hukum
Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Studi tentang Kemungkinan
Terbentuknya Provinsi Surakarta, Disertasi Program Doktor Ilmu
Hukum, Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro,
2007, hlm. 70.
Edy S. Wirabhumi, Op. Cit., hlm. 71. Lihat: Buminata, Serat
Kuntharatama, Yogyakarta: t.p., 1932, hlm. 21: “Serat Perjanjian
Dalem Nata”, Op. Cit., hlm. 42—44.

SYAMINA

Laporan Khusus

hasil—seperti penguasaan wilayah pesisiran
kulon—di dalam Keraton terjadi proses pergantian
tahta. Pada hari Senin Wage, 4 Sura, Alip 1675 atau
1749 Masehi, putera mahkota kerajaan Pangeran
Adipati Anom dinobatkan menjadi raja dengan
gelar Sunan Pakubuwana III. Dalam kaitan ini posisi
Sunan adalah “wakil” Kompeni dalam memerintah
Mataram.

nagari diperparah dengan semakin meningkatnya
dominasi pihak pemerintah kolonial terhadap
persoalan intern Keraton Surakarta.
Masalah ini sebenarnya sudah dimulai sejak
pengangkatan Sunan Pakubuwana III sebagai raja
Mataram. Sejak saat itu setiap raja yang dinobatkan
harus menandatangani surat perjanjian yang
di antara isinya menegaskan bahwa tahta yang
diduduki oleh Sunan diakui sebagai jasa baik
Kompeni dan Sunan harus setia pada perjanjianperjanjian yang telah dibuat oleh raja-raja
pendahulunya.11

Setelah acara penobatan diadakan perjanjian
dengan Kompeni tanggal 11 November 1749.
Perjanjian itu berisi butir-butir kesepakatan, antara
lain:
1.

Sunan mengakui bahwa kekuasaannya
diperoleh atas kebaikan hati pemerintah
Kompeni.

2.

Segala isi perjanjian yang dibuat oleh
leluhur Sunan tahun 1707, 1743, 1746, dan
1749 tetap berlaku.9

Edisi 14 / Oktober 2016

Kasunanan Surakarta kembali mengalami
penurunan legitimasi dan kewibawaan akibat
Perjanjian Giyanti 1755. Mulai saat itu Mataram
terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta.

Gb. Peta Mataram Islam setelah Perjanjian Giyanti12

Melihat kondisi tersebut, Sunan Pakubuwana IV
sebagai pewaris tahta Kasunanan Surakarta, wajar
jika mempunyai keinginan untuk mengembalikan
kejayaan Mataram Islam. Menurut pandangan
Sunan Pakubuwana IV, ada dua faktor yang
menyebabkan Kasunanan Surakarta mengalami
penurunan kewibawaan, yaitu pecahnya Mataram
sebagai akibat Palihan Nagari 1755 dan terlalu
dalamnya campur tangan pemerintah kolonial
terhadap urusan intern Keraton.13 Berdasarkan
pandangan Sunan Pakubuwana IV tersebut maka
dapat dipahami jika kebijakan politik diarahkan
untuk menyatukan kembali Mataram dengan

Gb. Naskah Perjanjian Giyanti10

Penurunan kewibawaan Kasunanan Surakarta
sangat dirasakan oleh Sunan PB IV sebagai pewaris
tahta Kasunanan Surakarta. Kondisi turunnya
kewibawaan Kasunanan Surakarta akibat palihan

11

9

12

10

Soekanto, Sekitar Yogyakarta (1755—1825), Djakarta: t.p., 1952,
hlm. 178.
Diambil dari: http://image.slidesharecdn.com/
kratonsurakartahadiningrat-131223212855-phpapp02/95/kotasolokraton-surakarta-hadiningrat-4-638.jpg?cb=1387834174

13

8

Supariadi, Kyai dan Priyayi di Masa Transisi, Surakarta: Pustaka
Cakra, 2001, hlm. 226.
Diambil dari: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/8/83/
Jawa_Setelah_Perjanjian_Giyanti.png/ 640px-Jawa_Setelah_
Perjanjian_Giyanti.png
Supariadi, Kiyai dan Priyayi di Masa Transisi, Surakarta: Pustaka
Cakra, 2001, hlm. 27.

Laporan Khusus

SYAMINA

Edisi 14 / Oktober 2016

merangkul Kasultanan Yogyakarta dan melepaskan
diri dari tekanan pemerintah kolonial.

mempertahankan pulau Jawa agar tidak dikuasai
Inggris.15

Politik untuk menyatukan Mataram yang
jaya dan berwibawa sudah menjadi citacita Pakubuwana III dan mulai dirintis oleh
Pakubuwana IV. Namun, belum terlihat hasilnya,
walaupun pada masa Pakubuwana IV Belanda
sangat lemah. Meski demikian, pihak Mataram juga
belum bisa mengumpulkan kekuatan yang cukup
untuk melawan Belanda, apalagi mengusirnya dari
Tanah Jawa.

Untuk menjalankan pemerintahan di Indonesia
diangkatlah Gubenur Jenderal Daendels. Daendels
tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1808.
Kemudian Daendels mengadakan banyak tindakan.
Salah satu tindakan Daendels yang terkenal adalah
dalam bidang sosial ekonomi. Beberapa tindakan
itu antara lain sebagai berikut.

Pada Pemerintahan Pakubuwana IV (17881820) di pusat pemerintahan kolonial terjadi
peristiwa politik yang signifikan dan berpengaruh
ke Surakarta. Bubarnya VOC (1799), Pemerintahan
Republik Bataaf (1799-1808), Pemerintahan Hindia
Belanda (1808-1811), pendudukan tentara Inggris
(1811-1816), dan kembali kepada Pemerintahan
Kolonial Belanda.14

2. Bangkrutnya VOC, Berkuasanya Pemerintah Belanda
dan Kedatangan Inggris

Meningkatkan usaha pemasukan uang
dengan cara pemungutan pajak.

z

Meningkatkan penanaman tanaman yang
hasilnya laku di pasaran dunia.

z

Rakyat masih diharuskan melaksanakan
penyerahan wajib hasil pertaniannya.

z

Penjualan
swasta.

z

Membangun Jalan Anyer (Jawa Barat)–
Panarukan (Jawa Timur).

tanah-tanah

kepada

pihak

Tindakan Daendels yang dikenal dengan
kerja paksa telah menyebabkan kesengsaraan
rakyat. Kesewenang-wenangan Daendels dan
penderitaan rakyat itu telah menimbulkan protes
dan perlawanan rakyat.

Kejayaan VOC ternyata tidak bertahan lama.
Dalam perkembangannya VOC mengalami masalah
yang besar, yakni kebangkrutan. Kebangkrutan
VOC ini terutama terjadi karena para pegawainya
banyak yang korupsi. Waktu itu VOC sudah sangat
merosot, kas kosong, utang menumpuk, dan
tidak mampu lagi menciptakan pengawasan dan
keamanan atas wilayah Indonesia sehingga pada
tanggal 31 Desember 1799 VOC dibubarkan.

Di Mataram Daendels membuat aturan baru
dalam penyambutan residen di Surakarta dan
Yogyakarta. Residen di kedua kerajaan harus diberi
penghormatan sebagai wakil dari kekuasaan yang
tertinggi dan sejajar dengan raja sehingga kedua
raja menjadi raja bawahan pemerintah kolonial.
Aturan itu ditentang oleh Sultan Hamengkubuwana
II. Tindakan ini menyebabkan sultan dipaksa turun
tahta oleh Dandeles dengan ekspedisi militer.

Sementara itu di Belanda terjadi perubahan.
Pemerintah Raja Williem V digulingkan kaum
republik yang didukung oleh Prancis. Hal ini
membuat Belanda menjadi negara jajahan Prancis.
Akibatnya, Kerajaan Belanda diubah menjadi
Republik Bataaf. Pemerintahan baru ini kemudian
yang membubarkan VOC pd tgl 31 Desember 1799.
Setelah kejadian itu Louis Napoleon Bonaparte—
yang berkuasa di Belanda sebagai wakil Prancis—
menunjuk Herman Williem Daendels (orang
Belanda pro-Prancis) untuk memerintah Hindia
Belanda (Indonesia) dengan tugas utama

Pada tahun 1812 Inggris merebut Jawa dari
tangan Pemerintah Belanda. Dalam Kondisi
seperti itu Raja Surakarta dan Yogyakarta
berusaha memulihkan kekuasaannya seperti
semula. Di Yogyakarta Sultan Hamengkubuwana
II berhasil naik tahta lagi setelah diturunkan
pada masa Daendels. Sultan Hamengkubuwana
II dan Pakubuwana IV Surakarta bersama-sama
15

14

z

Soeprijadi, Reorganisasi Tanah Serta Keresahan Petani dan
Bangsawan di Surakarta (1911—1940), Yogyakarta: Tesis Program
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 1996, hlm. 9.

9

---, Cross-Colonial Cooperation In Nineteenth-Century Java:
Examining The Sepoy Conspiracy of 1815 in A World History
Context, The Middle Ground Journal, Number 6, Spring, 2013, hlm.
8.

Laporan Khusus

SYAMINA

Edisi 14 / Oktober 2016

Gb. Peta Jalan yang dibuat16

berperang melawan Inggris. Tetapi, perlawanan
berhasil dipatahkan Inggris yang kemudian
menyerbu Yogyakarta dan memaksa Sultan turun
tahta kembali serta mengasingkannya. Peristiwa
ini berhasil memaksa Sunan dan Sultan yang baru
untuk menandatangani perjanjian baru pada
tanggal 1 Agustus 1812, yang antara lain berisi
penyerahan Kedu, sebagian Semarang, Rembang,
dan Surabaya kepada Inggris.17

Pakubuwana III yang agak patuh kepada VOC,
penerus tahta Kasunanan Surakarta berikutnya,
yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820),
adalah sosok raja yang membenci penjajah dan
penuh cita-cita serta keberanian.19
Sunan Pakubuwana IV dalam pandangan
masyarakat Surakarta tidak saja dikenal sebagai
pujangga yang mumpuni, tetapi juga dipercaya
sebagai raja dan ulama yang taat menjalankan
ajaran agama Islam. Ketaatan dalam menjalankan
agama Islam, seperti tidak meninggalkan shalat
lima waktu, shalat Jumat dan mengharamkan
minuman keras dan candu sudah terlihat sejak
muda dan masih berstatus sebagai putra mahkota.

Biografi dan Tulisan Karya Pakubuwana IV
Nama kecil Pakubuwana IV adalah Bendara
Raden Mas Sambadya. Ia lahir dari permaisuri
Sunan Pakubuwana III yang bernama Gusti Ratu
Kencana (Rara Beruk), pada hari Kamis Wage, 18
Rabiul Akhir 1694 Saka atau 2 September 1768. Putra
Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun Pakubuwana
III nomer 17 ini memegang pemerintahan selama
32 tahun (1788-1820). Wafat pada hari Senin
Pahing, 25 Besar 1747 Saka atau 2 Oktober 1820.18

Pakubuwana IV dikenal sebagai raja Surakarta
yang paling religius dalam mengamalkan ajaran
Islam dalam kehidupan pribadi maupun kerajaan.
Kegemarannya menimba ilmu agama dari kiai
dan guru agama menjadikan dirinya memiliki
pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang
agama Islam. Keluasan pengetahuan Islam yang
dimiliki oleh raja Surakarta ini dapat dilihat dari
serat-serat piwulang karyanya, seperti Serat
Wulang Reh, Wulang Dalem, dan Wulang Brata
Sunu. Sebagian besar isi Serat Piwulung Sunan
Pakubuwana IV menerangkan ajaran Islam. Tidak
jarang dalam serat karyanya tersebut ia mengutip
langsung ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits demi
memperkuat nasihat yang disampaikannya.

Sri Susuhunan Pakubuwana IV, yang lebih
dikenal dengan sebutan Sunan Bagus, mewarisi
darah kaprabon dan kapujanggan ramandanya.
Ia mendapat gelar demikian karena memang
memiliki wajah yang tampan. Dalam usia 20
tahun, Sunan Bagus naik tahta menggantikan
ayahandanya, Pakubuwana III. Berbeda dengan
16
17
18

Dari: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f7/
Java_Great_Post_Road.svg/1000px-Java_Great_Post_Road.svg.png
Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia IV, Cetakan IV, Jakarta: Penerbit Balai Pustaka,
2010, hlm. 57—58.
Andi Harsono, S.TP., M.Pn., Tafsir Ajaran Serat Wulangreh,
Yogyakarta: Puri Pustaka, 2005, hlm. 9.

19

10

Purwadi, Membaca Sasmita Jaman Edan Sosiologi Mistik R. Ng.
Ronggowarsito, Jogjakarta: Persada, 2003, hlm. 69.

Laporan Khusus

SYAMINA

disimpan di kepustakaan Rekso Pustaka, Istana
Mangkunegaran.22

Pakubuwana IV juga dikenal sebagai
sebagai seorang pujangga. Sejak ia memimpin
di Kasunanan Surakarta telah banyak karyakarya besar yang ia ciptakan, di antaranya: Serat
Wulangreh, Serat Wulangsunu, Serat Wulangputri,
Serat Wulang Tatakrama, Donga Kabula Mataram,
Cipta Waskita, Panji Sekar, Panji Dhadhap, Panji
Raras, Serat Sasana Prabu, dan Serat Polah MunaMuni.20

Serat Wulang Putra karya Susuhunan
Pakubuwana IV ini isinya lebih mengacu pada
Serat Wulangreh, terdiri sembilan pupuh. Seperti
Naskah serat piwulang lainnya, Serat Wulang Putra
mengajarkan nasihat tentang cara memilih Guru
yang baik, pergaulan, menghindari watak Adigang,
Adigung, Adiguna, tata krama, akhlak terpuji
dan akhlak tercela, serta ajaran taat terhadap
agama. Pada tahun 1980 Serat Wulang Putra
dialihbahasakan oleh Surasa dalam huruf Latin dan
disimpan di kepustakaan Rekso Pustaka, Istana
Mangkunegaran.

Serat Wulangsunu adalah karya Pakubuwana
IV yang berisi tentang ajaran moral seperti serat
piwulang lainnya. Bendelan aslinya berada di
kepustakaan Surakarta yang memuat lima pupuh.
Pesan moral dalam Serat Wulangsunu adalah
pemahaman terhadap dharmaning gesang (tugas
kehidupan di dunia) pamedaring wasitaning
ati (lahirnya kata hati/niat). Akan tetapi, Serat
Wulangsunu tidak sepopuler Serat Wulangreh dan
belum banyak yang mengkaji secara luas.

Panji Raras adalah salah satu karya Pakubuwana
IV yang berbentuk buku atau waosan yang
terkenal. Karya-karyanya yang berbentuk waosan
antara lain Panji Sekar, Panji Dadhap, dan Panji
Blitar. Keempat waosan tersebut—yang berupa
tulisan carik—semuanya disimpan di kepustakaan
Radyapustaka nomor carik 189, 190, 191, 192, yang
ditulis pada tahun 1732.23

Berikutnya adalah Serat Cipta Waskitha. Tidak
berbeda dengan serat piwulang lainnya, Serat Cipta
Waskitha terdiri dari tiga pupuh, yang mengajarkan
tentang budi pekerti, memilih guru, pengertian
ilmu dan ngelmu, bawono ageng lan bawono alit.
Menurut Dr. H. M. Muslich, Serat Cipta Waskitha
ini pernah digarap oleh Ki Hudoyo Djoyodipuro
dengan judul Cipta Waskitha Ngelmu Mistik
Terapan. Teks serat ini tersimpan di kepustakaan
Surakarta. Dengan terciptanya Serat Cipta Waskitha
diharapkan manusia dapat memahami hidup, tidak
memandang rendah orang lain, memahami hukum
benar dan salah (halal dan haram).21

Dari beberapa karya besar Sri Susuhunan
Pakubuwana IV, Serat Wulangreh adalah karya
yang paling fenomenal di kalangan masyarakat
Jawa dan pengikut Kasunanan Surakarta. Serat
Wulangreh selesai ditulis oleh Sunan Pakubuwana
IV pada tahun 1735 Jawa yang bertepatan dengan
tahun 1808 Masehi. Serat Wulangreh berasal dari
tiga kata, yaitu serat, wulang, dan reh. Menurut
Dojosantoso dalam bukunya Unsur Religius dalam
Sastra Jawa, Serat berarti surat atau tulisan, Wulang
berarti piwulang atau mengajarkan, sedangkan Reh
mempunyai arti laku atau tingkah laku.24

Serat Wulang Putri karya Susuhunan
Pakubuwana IV berisi lima pupuh. Serat Wulang
Putri ini berisi tentang piwulang yang dipersiapkan
untuk kepentingan putra-putri Sunan. Naskah
Serat Wulang Putri masih tersimpan baik di
kepustakaan Surakarta dan Istana Mangkunegaran;
dijadikan satu dengan Serat Piwulang Pakubuwana
IV yang masih berupa tulisan Jawa. Kemudian
pada tahun 1994 dialihbahasakan oleh Dra.
Darweni dengan kode transkrip naskah A 344 dan
20
21

Edisi 14 / Oktober 2016

22
23

Darusuparta, Serat Wulangreh Angitan Dalem Wedhatama Winardi,
Surabaya, 1982, hlm. 14.
Dr. H. M. Muslich K.S., M.Ag., Moral Islam dalam Serat Piwulang
Pakubuana IV, 2006, hlm. 175.

24

11

Ibid, 28.
Dr. H. M. Muslich K.S., M.Ag., Moral Islam dalam Serat Piwulang
Pakubuana IV, 2006, hlm. 177.
Djojosantosa, Unsur Religius dalam Sastra Jawa, Semarang: Aneka
Ilmu, 1989, hlm. 55.

SYAMINA

Laporan Khusus

Edisi 14 / Oktober 2016

Serat Wulangreh Sunan mengajarkan berbagai hal
tentang memahami kehidupan agar tidak tersesat.
Di antaranya ia menulis bagaimana memilih
seorang guru.
Sunan menulis agar tidak sembarangan
memilih guru. Pilihlah guru yang tidak saja
berilmu tapi juga baik akhlaknya, ibadahnya, serta
zuhud atau sederhana. Jangan memilih guru yang
kelihatannya berilmu tetapi tidak melaksanakan
syariat dengan alasan telah mencapai maqam yang
tinggi karena hal itu akan merusak semua aturan
agama.
Demikian juga pendapat Sunan yang
mencerminkan
pemahaman
keislamannya
yang baik adalah nasihatnya dalam ilmu dan
menghukumi sesuatu. Ia menulis agar jangan
mengambil ilmu yang tidak memenuhi empat
syarat, yaitu Dalil (Al-Qur’an), Al-Hadits, Ijma’, dan
Qiyas.26
Masa pemerintahan Pakubuwana IV (1788)
merupakan masa kebangkitan karawitan Keraton.
Pada masa ini kehidupan karawitan mengalami
kemajuan yang luar biasa, yaitu banyak gending
tercipta, baik gending dengan komposisi yang
panjang (seperti gending ketuk 4 arang, 4 kerep),
sampai gending prenes27 dan gecul.28 Masa
pemerintahan Pakubuwana IV juga ditandai
dengan berkembangnya gending bonang.29 Hal
ini diduga karena pada masa tersebut merupakan
kebangkitan gending Sekaten yang ditandai
dengan pembuatan gamelan Sekaten Kyai Guntur
Madu. Seperti diketahui bahwa gamelan sekaten
menempatkan bonang sebagai main instrument
sehingga dirasa perlu menciptakan gending
bonang untuk keperluan musikal Sekaten maupun
keperluan lainnya.30

Gb. Serat Wulangreh25

Tingkah laku yang dimaksud adalah tingkah
laku dalam hal pergaulan, tingkah laku dalam hal
menghadap Raja atau melaksanakan tugas Istana,
tingkah laku dalam kehidupan dunia, tingkah laku
putra Raja terhadap bawahannya atau orang kaya
terhadap orang miskin. Semua ditulis dalam karya
sastra Serat Wulangreh Sri Susuhunan Pakubuwana
IV.
Sri Susuhunan Pakubuwana IV, dengan Serat
Wulangreh, ingin menyampaikan petuah yang
mengandung nasihat dan unsur-unsur religi
(keagamaan) terhadap putra (anak), wayah (cucu
keturunannya), serta kepada masyarakat umum,
supaya tajam pemikiranya dalam menghadapi
kehidupan dunia serta dalam menangapi kehendak
ilahi. Mampu memilih mana yang baik dan buruk,
benar dan salah, serta haram dan halal, seperti yang
di kehendaki Yang Sukma (Allah). Misalnya, dalam
25

Sunan Pakubuwana IV wafat pada usia 53 tahun,
tepatnya pada Senin Paing, 23 Besar 1747 Jawa atau
1 Oktober 1820, dengan lama jabatan sebagai raja
26
27
28
29
30

Dari: http://4.bp.blogspot.com/-1AAJKPHNkRQ/TkKtwUaotjI/
AAAAAAAAAFk/NA_5xxcvcwI/s1600/ Serat+Wulangreh+150+dpi.jpg

12

Purwadi, Sistem Pemerintahan Jawa Klasik, Medan: Pujakesuma,
hlm. 411.
Bentuk gending yang memiliki karakter dinamis dan lincah yang
ditandai dengan permainan teknik kendang ciblon.
Bentuk gending yang memiliki karakter lucu dengan ekspresi
permainan (improvisasi) “seakan-akan” sekenanya.
Komposisi karawitan dengan main instrument boning.
Bambang Sosodoro, Karawitan Keraton Kasunanan dan Pura
Mangkunegaran Pasca Perjanjian Giyanti, Jurnal Keteg, Vol. 13 No.
1, Mei 2013, hlm. 54.

Laporan Khusus

SYAMINA

pembuangan bagi tokoh-tokoh perjuangan yang
menentang penjajah Kompeni. Salah satu tokoh
perjuangan yang dibuang ke Cape Town adalah
Syekh Yusuf Al-Makassari, seorang ulama besar
sekaligus guru Tarekat Naqsyabandiyah.33

selama kurang lebih 33 tahun. Sri Pakubuwana IV
mempunyai 24 istri dan meninggalkan putra-putri
yang semuanya berjumlah 56. Kepimpinannya
digantikan putranya yang bergelar Pakubuwana
V yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Handoyo,
putri Bupati Pamekasan Adipati Cakraningrat.
Karya-karya Sri Pakubuwana IV hingga sekarang
masih menyebar dan berakar kuat di lingkungan
kebudayaan Jawa.31

Dalam Babad Pakepung disebutkan bahwa
Pakubuwana IV juga mengangkat empat kiai dan
santri—Kiai Wiradigda, Panengah, Bahman, dan
Nur Saleh—sebagai Abdi Dalem Kinasih (abdi
dalem terpercaya).34 Sumber lain menyebutkan,
para Abdi Dalem Ngulama itu berjumlah enam
orang, yaitu R. Santri, R. Panengah, R. Wiradigda,
R. Kanduruhan, Kiai Balkan, dan Kiai Nur Saleh.35

Pengaruh Ulama di Sekitar Raja
Sunan Pakubuwana IV terkenal sebagai
raja yang taat menjalankan ajaran agama dan
mempunyai hubungan yang akrab dengan santri,
kiai, dan haji. Keakraban hubungan dengan kiai
dan haji menjadikan kolonial selalu menyoroti dan
mengawasi raja Surakarta ini. Ketika Gubernur
Thomas S. Reffles akan mengunjungi Keraton
Kasunanan pada tahun 1812, Residen Surakarta
membuat daftar ulama dan haji di Surakarta yang
diduga mempunyai hubungan yang dekat dengan
Sunan. Dari pendataan ini tercatat 51 ulama dan
24 haji yang perlu mendapatkan perhatian karena
dekatnya hubungan dengan Sunan.32

Pada saat itu, di daerah Surakarta masih
penuh adat istiadat Hindu dan aliran-aliran
animisme. Penyebaran Islam lebih banyak
menghadapi kendala adat istiadat Jawa-Hindu.
Sunan Pakubuwana IV pun mendatangkan para
ulama di Surakarta. Di antara para ulama tersebut
ialah Kiai Jamsari yang datang dari Banyumas,
dan bertempat tinggal di sebelah barat daya dari
Keraton Surakarta. Ia mendirikan sebuah masjid
dan surau-surau serta mengajarkan Islam kepada
masyarakat umum, para bangsawan, dan pejabatpejabat Istana. Ajaran-ajaran Islam dapat diterima
dengan baik, berkembang merata di seluruh
Surakarta dan sekitarnya.

Kiai Imam Syuhodo Apil Quran (1745-1843) dari
Pesantren Wonorejo, Bekonang, Surakarta adalah
salah seorang ulama yang dipercaya sebagai salah
satu guru ngaji (agama) Sunan Pakubuwana IV. Ia
adalah seorang kiai yang menuntut ilmu dari satu
pesantren ke pesantren lainnya. Bahkan, pada saat
Kiai Imam Syuhodo akan mendirikan pesantren,
ia mendapat bantuan dari Sunan Pakubuwana IV
yang berupa umpak (penyangga tiang), soko (tiang),
mustaka (kubah), mimbar, dan lampu katrol.

Kampung kediaman Kiai Jamsari dikenal
dengan nama Kampung Jamsaren hingga sekarang.
Kemaksiatan-kemaksiatan dan kejahatan di
Surakarta semakin berkurang dan akhirnya Kota
Surakarta menjadi sejahtera dan aman. Demikian
seterusnya hingga Kiai Jamsari wafat, kemudian
diganti dan diteruskan oleh putranya Kiai Jamsari
II.36

Ketika masih berstatus putra mahkota,
sikap keagamaan Sunan Pakubuwana IV banyak
dipengaruhi oleh Wiryakusuma, seorang guru
agama yang anti-Kompeni. Wiryakusuma adalah
putra R.M. Kreta yang dilahirkan dan dibesarkan
di Cape Town, yang pada masa itu menjadi tempat
31

32

Edisi 14 / Oktober 2016

Hubungan Pakubuwana IV dengan Yasadipura
I juga mengalami gangguan karena ia tidak setuju
33
34

Widayati, Karya-Karya Sastra Klasik Jawa yang Menyandang
Pendidikan Jender yang Masih Hidup di Masyarakat: Relevansinya
dengan Pendidikan di Tingkat Pendidikan Dasar, Laporan Penelitian
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Surabaya:
Lembaga Penelitian, Universitas Negeri Surabaya, 2001, hlm. 3.
Lihat: Surat Residen Surakarta Kolonel Adams kepada Raffles
tertanggal 17 Juni 1812 dalam Bendel Surakarta No. 28.

35
36

13

Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia,
Bandung: Penerbit Mizan, 1992, hlm. 34—42.
“Serat Babad Pakepung”, alih aksara: Sri Sulistyowati, Museum
Sanapustaka Keraton Surakarta, No. 74 ca-KS# 60 — Reel 101 #2
dalam Babad Pakepung: Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan
Resepsi, Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana, Universitas
Gadjah Mada, 1990.
Dwi Ratna Nurhajarini, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta,
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999, hlm.
133.
Ali Darokah, 1983, Riwayat Berdirinya Pondok Pesantren Jamsaren
Solo, Solo: C.V. Ramadhani, hlm. 2.

Laporan Khusus

SYAMINA

Pemerintahan Pakubuwana IV (1788-1820)
masih mewarisi hasil perjanjian dari pendahulunya,
yaitu sebagai bawahan pemerintah Belanda.
Satu hal yang menarik, pada masa Pakubuwana
IV pengadilan Surambi menjadi pengadilan
tertinggi dan menjadi pengadilan tingkat banding
bagi pengadilan Pradata dan Balemangu.
Sebagai konsekuensinya, hukuman Kisas masih
diberlakukan pada masa itu.40

dengan sikap Pakubuwana IV yang konfrontatif
terhadap Belanda. Yasadipura I lebih dekat
dengan Putra Mahkota (Pangeran Adipati Anom
Mangkunegara III) dan kelompok kasepuhan
lain seperti Pangeran Buminata dan Pangeran
Hangabehi. Anthony Day mensinyalir bahwa
beberapa tulisan Yasadipura I lebih banyak
menyanjung putra mahkota daripada Pakubuwana
IV. Sikap serupa juga ditunjukkan oleh putranya,
yaitu Yasadipura II.37

Pakubuwana IV sebagai penguasa ketika itu
menginginkan Keraton Kasunanan Surakarta
terbebas dari pengaruh penjajahan Belanda dan
tetap menjadi kiblat dari kebudayaan yang berlaku
di Tanah Jawa. Selain itu, Sunan ingin menyatukan
kembali Mataram yang terpecah akibat Perjanjian
Giyanti dan Perjanjian Salatiga. Pakubuwana
IV melihat bahwa potensi besar merespons hal
tersebut dimiliki oleh kaum santri, yang mana ia
sendiri sangat dekat dengan komunitas santri.
Pada masa pemerintahannya, peraturan yang
terkait dengan masalah pengaturan administrasi
kenegaraan yang mengangkat kesejahteraan
masyarakat tinggalan Sultan Agung sungguhsungguh dipertahankan dan dijalankan.

Usaha Penerapan Hukum Islam
Pertama kali di Mataram diadakan perubahan
di dalam tata hukum di bawah pengaruh Islam oleh
Sultan Agung (1613-1645). Perubahan itu pertamatama diwujudkan khusus dalam pengadilan Pradata
yang dipimpin oleh raja sendiri. Pengadilan Pradata
diubah namanya menjadi pengadilan Surambi
karena pengadilan ini tidak lagi mengambil tempat
persidangan di Sitinggil, melainkan di serambi
Masjid Agung. Perkara-perkara kejahatan yang
menjadi urusan pengadilan ini dinamakan Kisas,
padahal istilah ini tidak sesuai dengan arti kata
yang sebenarnya di dalam hukum Islam.38

Setiap ibu kota kabupaten, kawedanan, dan
desa harus mempunyai masjid sebagai pusat
perkembangan agama Islam. Masjid Besar di ibu
kota kabupaten dipimpin oleh seorang penghulu
yang bertugas sebagai penyelenggara urusan
agama baik di bidang ibadat dan muamalat. Di
bidang pengadilan kegamaan dia bekerja sama
dengan jaksa yang bertugas sebagai hakim. Dalam
menjalankan tugasnya ia dibantu oleh 40 orang
pembantu. Untuk masjid kawedanan dipimpin oleh
seorang naib dengan 11 pembantunya, sedangkan
untuk masjid desa dipimpin oleh modin dengan
4 orang pembantunya. Pembantu-pembantunya
dibagi menjadi 4 golongan: juru tulis, khatib,
muazin, dan marbot.41

Konsep dewa-raja atau ratu-binathara ini
pada periode kerajaan islami tidak menempatkan
raja pada kedudukan yang sama dengan Tuhan,
melainkan sebagai Khalifatullah, wakil Allah
di dunia. Namun, penurunan derajat ini tidak
mengubah atau mengurangi kekuasaan raja
terhadap rakyat. Dalam hal ini rakyat tetap dituntut
untuk tunduk kepada rajanya.
Kerajaan Mataram mendapat pengaruh
hukum Barat pada tahun 1709 melalui perjanjian
dengan Pemerintah Belanda. Dalam perjanjian
tersebut Sunan Pakubuwana I harus menyerahkan
pelaksanaan pengadilan dan tanah di sebelah timur
Gunung Merapi dan Merbabu kepada Pemerintah
Belanda.39
37
38

39

Edisi 14 / Oktober 2016

S. Margana, Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 208.
Dr. Th.W. Juynball, “Handleiding tot de kennis van de
Mohammedaansche wet” dalam Mr. R. Tresna, Peradilan di
Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hlm.
17.
Serat Perjanjian Dalem Nata, Surakarta: Radya Pustaka, 1940, hlm.
19. Lihat: Sugiarti, Pengadilan Surambi Pasca Palihan Nagari, Op.
Cit., hlm. 52.

14

40

T. Roorda, Wetten de Nawala Pradata, de Angger
Sadasa, de Angger Ageng, de Angger Gunung, de
Angger Aru Biru, Amsterdam: Muler, 1844, hlm. 64.
Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 53.

41

Kusniatun, Dinamika Keraton dalam Pengembangan Budaya Islam
dan Kebudayaan Jawa, Makalah Suplemen Seminar Nasional “
Peran Keraton dalam Pengembangan Islam”, Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2007, hlm. 14.

Laporan Khusus

SYAMINA

Selain harus ada masjid dan pesantren
sebagai tempat ibadah, pengajian kitab juga
harus diselenggarakan. Pimpinan pesantren
diserahkan kepada pengelola masjid dan mereka
mendapatkan gelar sesuai dengan kedudukannya.
Seorang penghulu mendapatkan gelar Kiai Sepuh,
atau Kanjeng Kiai untuk para pembantunya, atau
tingkatan di bawahnya mendapat gelar Kiai Anom.

hanya berwenang mengadili perkara yang berasal
dari kerabat Sunan.43
Pada masa Pakubuwana IV (1788-1820)
pengadilan Surambi menjadi pengadilan tertinggi
dan menjadi bandingan dari pengadilan Pradata.
Pada masa Pakubuwana IV juga didirikan dua
pengadilan bagi kerabat Raja yang bersalah, yaitu
Balemangu dan Kadipaten Anom. Perkembangan
selanjutnya pada tahun 1847 sistem kolonial
masuk dalam tatanan peradilan di Kasunanan yang
mengakibatkan pengadilan Surambi pada masa
Pakubuwana VII (1830-1858) hanya mengurusi
masalah keluarga.44

Banyak tradisi lama yang diganti oleh tradisi
baru. Sunan Pakubuwana IV banyak dipengaruhi
para ulama yang membantu Sunan. Beberapa
perubahan yang dilakukan antara lain:
z

pakaian prajurit bergaya Belanda diganti
dengan pakaian Jawa;

z

setiap hari Jumat Sunan selalu melakukan
shalat Jumat di Masjid Besar;

z

setiap hari Sabtu diadakan latihan
Watangan atau perang-perangan;

z

semua abdi dalem yang menghadap raja
diwajibkan berpakaian santri;

z

Abdi dalem yang dinilai tidak patuh
terhadap syariat agama digeser dan dipecat
serta mengangkat adiknya dengan nama
“Mangkubumi” dan “Buminata”.42

Menurut Rouffaer, pengadilan Surambi pada
masa pemerintahan Sunan Pakubuwana IV (17881820) diperluas lagi menjadi pengadilan tertinggi
yang menangani perkara-perkara rajapati dan
rajatatu, di samping perkara-perkara perkawinan
dan warisan, sebagaimana tampak dalam kutipan
berikut ini:
“…Ananing wong apadu salaki-rabi, kaya
talak, waris, wasiat, mas kawin, nifkah
sapepadhane, lan rajapati miwah tatu,
ingkang sepi saka sabab, iya Si Pengulu
ngukumana, sarta ajakena pepeka, lan
ajakena mamanising ruruba, miwah
anglalawas padu, iku ingsun wangeni
lawas-lawase ing telung sasi,….45

Kebijakan politik Sunan pada waktu itu
memang banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam,
termasuk ketika Sunan Pakubuwana IV menuntut
kepada Kompeni agar semua penghulu yang ada di
Yogyakarta, Semarang, dan daerah Pasisiran tunduk
dan mengikuti kebijakan penghulu Surakarta.

Hal itu juga tampak dari gelar yang dipakai oleh
ketua pengadilan Surambi sejak tahun 1785 sampai
1903 adalah Kanjeng Kyai Mas Pengulu Tafsir Anom
Adiningrat.46

Pengadilan Agama (Surambi) Menjadi Pengadilan
Tertinggi

Karena pengadilan Surambi merupakan
pengadilan
agama,
tempat
pelaksanaan
persidangannya pun masih di lingkup tempat
ibadah, yaitu di serambi (bagian depan) Masjid
Agung. Hari persidangan pengadilan Surambi
dilaksanakan pada hari Senin dan Kamis.

Semenjak tahun 1715 pengadilan formal di
Kasunanan Surakarta adalah (1) pengadilan Bale
Mangu, (2) pengadilan Pradata, dan (3) pengadilan
Surambi. Adapun pengadilan khusus yang
mengadili perkara-perkara dari golongan tertentu
adalah pengadilan Kadipaten Anom. Pengadilan ini

43
44
45
46

42

Edisi 14 / Oktober 2016

Dwi Ratna Nurhajarini dan Tugas Triwahyono, Sejarah Kerajaan
Tradisional Surakarta. Jakarta: C.V. Ilham Bangun Karya, 1999, hlm.
133.

15

Rajiman, Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Hadiningrat,
Krida: Surakarta, 1984, hlm. 180.
Riyanto, Hukum dan Peradilan di Praja Kejawen, Surakarta: Fakultas
Sastra, Universitas Sebelas Maret, 1996, hlm. 20.
T. Roorda, Serat Angger Nawala Padata, Op. Cit., pasal 2. Lihat:
Sugiarti, Op. Cit., hlm. 102.
G.P. Rouffaer, ”Vorstenlanden” dalam Adatrechsbundel Vol.
XXXIV Seri D No. 81. Terjemahan: Muh. Husodo Pringgokusumo,
Surakarta: Rekso Pustaka, 1931, hlm. 86. Lihat: Sugiarti, Op. Cit.,
hlm. 92.

Laporan Khusus

SYAMINA

Hukum Kisas dan Hudud

Edisi 14 / Oktober 2016

“Prakawis kaping 41: Saupami wonten
tiyang ngamuk ngantos kenging kacepeng
gesang,
dene
anggenipun
ngamuk
wau sampun amejahi tetiyang punika
kapatrapan paukuman ing Nagari,
kawedalaken diyatipun gangsal atus reyal.
Yen boten medal diyatipun, kagitika ing
penjalin kaping gangsal atus lajeng kabucal
sajawining Nagari.”

Dalam perkara ini dibedakan menjadi
rajapati dan rajatatu. Dalam hukum Islam jenis
pembunuhan dapat dibedakan menjadi tiga
macam, di antaranya pembunuhan secara sengaja,
yang dihukum kisas; pembunuhan yang tidak
disengaja, tetapi mengakibatkan kematian, yang
dihukum denda; serta pembunuhan yang terjadi
karena kesalahan, yang dihukum denda (diyat
mughalalah).

Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa sistem
hukum di kerajaan Jawa masih mengikuti sistem
hukum Islam, dengan adanya istilah cambuk,
diat, real, dinar, dan sebagainya. Untuk membuat
jera para pelaku kejahatan maka pemerintah
memilihkan tempat pembuangan yang membuat
penghuni-penghuninya merasa tidak betah, seperti
di daerah Lodaya, di Blitar Selatan. Tempat-tempat
pembuangan itu biasanya berupa daerah yang
gersang, hutan lebat, atau tempat yang berawa. 47

“Filsun fi ikhkamil jinayat ikilah pasal,
anyatakaken kukume mati. Utawi mateni
iku tetelu: kang dhihin kang mahamaha sawecane, lan kapindho kaluputan
sawecane, lan kaping telu maha-maha
sawecane den kaluputan. Mangka kang den
maha-maha sawecane iku, kaya pepadhane
wong kang amateni wong kalawan borang
kang den gawe mateni, mangka iku iya
wajib den diyat kisas.

Hukum Islam telah berlaku pada masa
Pakubuwana IV walaupun masih banyak
kekurangan yang dapat ditemui. Dalam hal hukum
pidana, misalnya, ada istilah kisas. Namun, istilah
kisas yang diterapkan pada masa itu tidak seperti
pengertian qishash menurut terminologi para
ulama fikih. Hukuman untuk pencuri juga dihukum
dengan hukum kisas.

Lan amung angapura ahli warise kang
pinaten iku wajib diyat mugalalah. Utawi
wong kang kaluputan sawecane iku, kaya
lamun nedya amanah ing beburon, mangka
angenani manungsa, kari-kari mati.
Mangka wong iku ora kena kisas, nanging
wajib diyat mupakakah belaka. Utawi
kang den mahamaha sarta kaluputan iku,
kaya lamun wong iku amukul ing wong
sawiji, kalawan borang kang ora mateni.
Kaprah-kaprahe kaya lamun den pukul ing
teken kang cilik, kari-kari mati, mangka
wong iku ora kisas, nanging wajib diyat
mugalalah belaka lawan artane sanake
kang mateni.”

“Yen ana wong memaling kalebu kisas,
kisasana tugelen tangane tengen. Yen
kongsi ganep pindho, tugelen tangane
tengen kiwa, yen ganep ping telu tugelen
sukune tengen, yen ganep ping pat, tugelen
sukune tengen kiwa.”48
(Kalau ada pencurian termasuk kisas,
kisaslah dengan memotong tangan
kanannya. Kalau diulangi lagi untuk kedua
kalinya, potonglah tangan yang kiri. Kalau
sampai tiga kali, potonglah kaki kanannya.
Kalau diulang lagi yang keempat, potonglah
kakinya yang kiri.)

Hukum kisas adalah hukuman balasan yang
sama dengan perbuatannya. Diyat mugalalah
adalah denda 100 unta dibagi tiga, sedangkan diyat
mupakakah adalah denda 100 unta dibagi lima.
Bila denda tersebut tidak dapat dibayar dengan
unta, wajib dibayar dengan uang seharga unta
tersebut. Dalam Serat Angger Sadasa dari masa
Sunan Pakubuwana IV dijelaskan sebagai berikut:

47

48

16

Katno, Penerapan Hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada Masa
Pakoe Boewono IV (Tahun 1788-1820 M) dalam Jurnal Studi Islam
Profetika Vol. 16, No. 1, Juni 2015, Sukoharjo: Sekolah Pasca
Sarjana, Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm. 60—61.
Serat Sultan Surya Ngalam, Surakarta: Radya Pustaka, 1765, hlm.
15. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 116.

Laporan Khusus

SYAMINA

Dalam terminologi ulama fikih, qishash
hanya berlaku untuk tindak pidana pembunuhan,
sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an.
“Wahai orang-orang yang beriman!
Diwajibkan atas kamu (melaksanakan)
qishash berkenaan dengan orang yang
dibunuh. Orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba sahaya dengan hamba
sahaya, perempuan dengan perempuan.
Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari
saudaranya, hendaklah dia mengikutinya
dengan baik, dan membayar diat (tebusan)
kepadanya dengan baik (pula).” (AlBaqarah: 178).

Edisi 14 / Oktober 2016

2.

Sunan Pakubuwana IV mengharamkan
minuman keras dan opium.51

3.

Pengadilan Surambi menjadi pengadilan
tertinggi
dan
menjadi
bandingan
pengadilan Pradata.

4.

Penerapan hukum kisas
pengadilan Surambi.

“Yen ana wong memaling kalebu kisas,
kisasana tugelen tangane tengen. Yen
kongsi ganep pindho, tugelen tangane
tengen kiwa, yen ganep ping telu tugelen
sukune tengen, yen ganep ping pat, tugelen
sukune tengen kiwa.”53
5.

6.

Dari uraian di atas diketahui bahwa aturan
Islam telah berusaha diterapkan di Kasunanan
Surakarta, baik di peradilan maupun regulasi
(kebijakan) Sunan. Secara ringkas bukti-bukti
pelaksanaan hukum Islam akan diuraikan di bawah
ini:49
Abdi dalem yang tidak patuh pada ajaran
agama ditindak, digeser, dan bahkan ada
yang dipecat.50

51
52

50

Pengadilan Surambi sebagai pengadilan
banding yang berkuasa untuk menangani
perkara pidana.
“Dene yen wong kang oleh parentah, yen
kongsia tatu utawa mati, mangka ahli warise
ora narima, iya mulura padune menyang
Pradataningsun, banjur kaunggahena ing
Surambi, mangka dadi panggugate mau,
iya banjur ukumana saukume rajapati.”54

Bukti-Bukti Pelaksanaan Syariat Islam pada Masa
Pakubuwana IV

49

di

“Anadene wong padu salaki rabi kayata
wasiyat, waris sapadhane lan Raja pati
miwah Raja tatu ingkang sepi saka sabab,
iya si Pangulu (hakim pengadilan surambi)
ingkang ngakimi.”52

“Kami telah menetapkan bagi mereka di
dalamnya (Taurat) bahwa nyawa dibalas
dengan nyawa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada
qishashnya. Barang siapa melepaskan
(hak qishash)nya, maka itu (menjadi)
penebus dosa baginya. Barang siapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itulah
orang-orang zalim.” (Al-Maidah: 45).

1.

(hudud)

Lihat: Katno, Penerapan Hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada
Masa Paku Buwono IV, Tesis Program Pascasarjana, Sukoharjo:
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012.
Dwi Ratna Nurhajarini dan Tugas Triwahyono, Sejarah Kerajaan
Tradisional Surakarta, Jakarta: C.V. Ilham Bangun Karya, 1999,
hlm. 133. Juga dalam: Edy S. Wirabhumi, Pemberdayaan Hukum
Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Studi tentang Kemungkinan
Terbentuknya Provinsi Surakarta, Disertasi Program Doktor Ilmu
Hukum, Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro,
2007, hlm. 89—90.

53
54
55

17

Adanya Abdi Dalem Singanagara bertugas
memotong leher terdakwa yang dijatuhi
hukuman mati dengan keris atau dapat
juga memotong tangan, kaki, menyayat,
dan menyiksa.55

Purwadi, Sistem Pemerintahan Jawa Klasik, Medan: Pujakesuma,
hlm. 409.
Nawala Pradata Pakubuwana IV, hlm. 90. Lihat: Achmad Ridwan