BOOK Mediamorfosa Mubarok Otonomi Individu Jurnalis

Otonomi Individu Jurnalis dalam Pengambilan
Keputusan Etis Peliputan Bencana
Mubarok
Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Sultan Agung Semarang
� mubarok@unissula.ac.id

Pendahuluan
Indonesia adalah negara dengan potensi kekayaan alam melimpah
yang terkandung di perut bumi, lautan, maupun potensi lainnya. Letak
Indonesia secara geograis dalam perlintasan pelayaran internasional
menjadikan keuntungan tersendiri secara geopolitik. Demikian halnya
keberadaan ring of ire berupa deretan gunung api yang masih aktif
memberikan berkah sekaligus menjadikan kita untuk selalu waspada
akan hadirnya bencana. Gempa bumi menjadi bencana yang sering
terjadi di negara ini. Tanah longsor juga akrab terjadi ketika musim
penghujan. Letusan gunung berapi seperti gunung Merapi dan
Sinabung rutin terjadi dalam periode tertentu.
Dalam konteks inilah kajian komunikasi kebencanaan menjadi
penting untuk dikembangkan di negara ini. Bencana bagi sebagian
penduduk justru seringkali dinikmati sebagai magnitude peristiwa
yang mengundang berbagai media massa untuk meliputnya. Televisi,

radio, media cetak dan siber berlomba untuk memberitakan peristiwa
bencana. Ilustrasi berikut menggambarkan bagaimana ritme kerja
media dan dinamisasi pergolakan etis dalam peliputan bencana.
“Teknologi SMS bisa menyelamatkan korban gempa di Padang”,
Demikian judul berita berbagai media massa untuk menggambarkan
proses evakuasi korban gempa Padang yang cukup dramatis. Setelah
gempa di Padang, Sumatra Barat pada 30 September 2009, sebuah
247

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

pesan pendek (SMS) diterima dari korban yang masih tertimbun
reruntuhan hotel Ambacang. Di tempat bencana juga terdengar
tanda  ketokan dari korban yang masih hidup. Tim penyelamat
memperkirakan setidaknya ada delapan orang yang masih hidup
tertimbun reruntuhan hotel Ambacang.
Setelah gempa, saluran telpon terputus tetapi hubungan lewat SMS
masih berhasil. Seorang lelaki dan perempuan berhasil diselamatkan
dari timbunan puing-puing rumah mereka setelah mengirim SMS

meminta bantuan. Keluarga yang menerima SMS kemudian meminta
tim penyelamat untuk menghentikan pencarian memakai alat berat
karena khawatir justru akan melukai para korban. Alat berat dihentikan
selanjutnya pencarian dilakukan secara manual hingga korban
ditemukan. Dari layar kaca penonton memantau proses evakuasi
tersebut layaknya drama yang berakhir mengharukan.
Di tempat lain sekelompok tim penyelamat memberikan
telepon genggam kepada korban yang masih terjebak reruntuhan
bangunan. Meskipun lokasi telah ditemukan namun tidak mudah
untuk mengavakuasi korban. Reruntuhan bangunan yang menutup
akses masuk membuat proses evakuasi mengalami kendala. Melalui
telepon genggam tim penyelamat bisa berkomunikasi dengan korban,
memberikan semangat agar tetap sabar dan meyakinkan bahwa bantuan
akan segera datang. Demikian sekelumit kisah takjub dibalik proses
evakuasi korban gempa di Padang. Kejadian yang hampir serupa juga
terjadi di Yogyakarta, ketika beberapa korban gempa yang tertimbun
reruntuhan berhasil mengirim pesan singkat ke keluarganya sehingga
proses evakuasi bisa dilakukan. Gempa berkekuatan 5,9 skala richter
mengguncang Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah.
Dari layar televisi nampak usaha dari para relawan untuk

mengeluarkan korban yang masih selamat terus dilakukan.
Perkembangan proses evakuasi dilaporkan per detik, sehingga
penonton bisa mengikuti proses tersebut dengan rinci. Wartawan dari
berbagai media berlomba untuk mendapatkan informasi terkini dari
regu penyelamat, tim medis dan tentu saja korban yang selamat. Ketika
salah satu korban selamat bernama Suci berhasil di keluarkan dari
reruntuhan bangunan maka para jurnalis berebut untuk mendapatkan
gambar pertama, memperoleh pernyataan pertama dari korban,

248

Mubarok, Otonomi Individu Jurnalis...

bahkan rekaman gambar tentang kondisi korban yang sedang payah
menjadi berita utama di berbagai media.
Seolah para jurnalis tidak peduli apakah kondisi korban dalam
keadaan siap untuk menerima serentetan pertanyaan, apakah korban
dalam kondisi isik yang memungkinkan untuk diwawancarai,
bagaimana dengan kondisi psikologisnya serta kondisi lain bagi korban
yang baru saja diselamatkan. Warawan tetap berkerumun menyodorkan

kamera, rekaman, bahkan menutup jalan keluar bagi proses evakuasi
sehingga korban semakin lama untuk dikeluarkan.
Praktek seperti ini seolah kelaziman yang dilakukan oleh wartawan
ketika meliput sebuah bencana atau proses penyelamatan yang memiliki
unsur dramatisasi. Tahun 2004 lalu sebuah pesawat dari maskapai
LION Air terjatuh di Solo, diantara penumpang maskapai tersebut ada
seorang penumpang yang merupakan wartawan stasiun televisi. Ketika
pesawat terjatuh ia menjadi bagian dari korban yang selamat dan
mampu untuk memberikan pertolongan kepada penumpang lainnya.
Satu hal yang menarik adalah keputusan pertama yang dia pilih antara
menyelamatkan korban lainnya atau dia mengambil gambar dari
peristiwa tersebut.
Ada sebuah kecelakaan pesawat terbang, memakan korban cukup
banyak, dia adalah bagian dari korban, dia seorang wartawan yang
pertama kali berada di lokasi. Berita yang dia laporkan tentu akan
menjadi berita utama di stasiun televisi dan atas nama aktualitas
maka semua unsur itu terpenuhi. Keputusan pertama yang dia pilih
adalah tetap mengambil gambar peristiwa tersebut, kemudian baru
berikir untuk menolong korban lainnya. Beberapa saat kemudian hasil
rekamannya telah tampil di televisi dan mendapat apresiasi dari banyak

pihak. Sosoknya menjadi bintang tamu di berbagai acara talkshow guna
membeberkan kesaksian atas jatuhnya pesawat tersebut.
Keputusan untuk terlebih dahulu mengambil gambar sebelum
membantu korban lain merupakan keputusan etis individu yang
mampu untuk mempengaruhi perilakunya. Pada saat yang bersamaan
redaktur di pusat kendalai siar stasiun televisinya akan memberikan
pemakluman jika dia tidak mengambil gambar tersebut. Terlebih
tujuan utama perjalanannya bukan untuk meliput peristiwa tersebut.
Sedikitnya nampak ada otonomi individu secara etis apakah dia akan
249

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

mengambil gambar terlebih dahulu atau memutuskan menolong
korban.
Kejadian yang hampir serupa akan banyak dijumpai oleh
seorang wartawan misalnya ketika menghaapi kecelakaan, korban
penganiayaan, pertarungan antar warga atau kondisi darurat lain
yang memungkinkan otonomi individualnya secara etis mampu

membuat keputusan yang benar. Ada semacam nilai-nilai yang telah
terinternalisasi dalam dirinya sehingga dia mengambil keputusan
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Permasalahan
Berita yang hadir di media berasal dari formulasi kerja berjenjang
dimulai dari wartawan di lapangan sampai dengan pemimpin
redaksi. Dalam mengambil keputusan untuk meliput suatu peristiwa
tertentu, para jurnalis dihadapkan pada persoalan-persoalan etis yang
melingkupinya. Dalam peristiwa musibah baik dalam bentuk bencana
alam maupun kecelakaan transaportasi ada pertanyaan etis yang harus
dijawab oleh segenap jurnalis ketika meliput peristiwa tersebut.
Proses pengambilan keputusan etis ternyata melibatkan banyak
pertentangan baik dari personal individu maupun lingkungan
eksternalnya.Ada pertentangan antara kepentingan ekonomi politik
dari industri media dengan keputusan etis yang harus diambil ketika
berhadapan dengan peristiwa tersebut. Berhdapan dengan kenyataan
bahwa suatu peristiwa layak dan menarik untuk diberitakan tidak
hanya berbicara masalah aktualitas sebuah pemberitaan melainkan
bagaimana keputusan etis memiliki otonomi pada individu seseorang.

Meski ketika berhadapan dengan suatu realitas individu berpotensi
untuk memiliki otonomi etis yang luas namun kenyatannya tidaklah
semudah yang dibayangkan. Begitu kuat konstrain yang menghalangi
atau setidaknya mempengaruhi keputusan dan otonomi etis individu.
Kondisi tersebut melahirkan banyak pertanyaan seputar etonomi
individu dalam mengambil keputusan etis. Pertanyaannya adalah
sejauh mana otonomi individu dalam mengambil keputusan etis
menjadi penting bagi seorang jurnalis? Bagaimana pertentangan
antara otonomi individu dengan kepentingan ekonomi politik industri
media? Bilamanakah otonomi individu dalam pengambilan keputusan
etis mampu menghasilkan produk jurnalistik yang etis?
250

Mubarok, Otonomi Individu Jurnalis...

Kajian Pustaka
Etika secara bahasa berasal dari kata Yunani ethos dalam bentuk
tunggal memiliki sejumlah arti: tempat tinggal yang biasa; padang
rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara
berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) berarti: adat kebiasaan. Dari

asal-usul kata-kata ini, “etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan1. Etika berkaitan dengan
persoalan bagaimana kita seharusnya memberi makna terhadap
kehidupan kita2. Kata yang cukup dekat dengan “etika” adalah “moral”,
yang berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores), yang juga bermakna:
kebiasaan, adat.
1. Teleology
Etika teleologi memperhatikan hasil perbuatan. Teleology berasal
dari kata Yunani telos [tujuan, akhir] dan logos [wacana atau doktrin]).
Memiliki pemikiran yang sama dengan teori etika konsekuensi.
Konsekuensi dari tindakan yang dilakukan menjadi perhitungan yang
harus diutamakan.
Bersifat teleologis (terarah pada tujuan). Teleologi menganjurkan
keputusan etis didasarkan pada akibat yang ditimbulkannya dan
memberikan kriteria substantif seperti kesenangan atau kebahagiaan.
he greatest good for society dideinisikan sebagai manfaat untuk
semua orang3. Menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada
kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk
sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak
mungkin orang. Bentham mengajukan prinsip tersebut menjadi

norma untuk tindakan-tindakan pribadi maupun pemerintah4. he
journalistic hedonist menegaskan bahwa kebenaran atau kesalahan
dari suatu tindakan jurnalistik tergantung pada kenikmatan atau
ketidaknikmatan yang diperolehnya.
Jika jurnalis mendapatkan kenikmatan dari aktivitas
yang dilakukannya, maka ia telah melakukan hal yang benar.
1
2
3

4

Bertens, 2007:4
Jaksa & Pritchard, 1994: 3
Penulis banyak terbantu untuk memahami etika deontology dan teleology dari
artikel berjudul “Menghukum mati pelaku korupsi”, karya Triyono Lukmantoro
yang dimuat Koran Wawasan 20/9/2008.
Bertens, 2007:247-248

251


Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Konsekuansialistis baik-tidaknya perbuatan dianggap tergantung
pada konsekuensinya. Seperti dalam situation ethics, wartawan
dapat menyimpulkan bahwa pengumpulan informasi penting secara
“tersembunyi” akan lebih menguntungkan banyak orang daripada
merugikan mereka. Contoh: penggunaan alat perekam tersembunyi
untuk mendokumentasikan praktik-praktik berbahaya.
2. Deontology
Deontology berasal dari kata Yunani deon (keharusan, kewajiban),
yang dapat diartikan “teori tentang kewajiban. Deon secara hariah
dapat diartikan apa yang harus dilakukan (kewajiban)5. Deontologi
menyatakan bahwa sistem ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi
perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-mata wajib tidaknya
perbuatan dan keputusan tersebut. Kehendak baik terwujud dalam
pelaksanaan kewajiban yang tanpa pamrih. Perspektif deontology
memperhatikan syarat dan proses yang memungkinkan untuk mencari
kebaikan atau keutamaan. Nilai moral suatu tindakan mendasarkan

pada suatu prinsip yang mengkondisikan tanpa mempedulikan apapun
konsekuensinya6.
Di sini maksud si pelaku dalam melaksanakan suatu perbuatanlah
yang dinilai secara etis. Sistem ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih
bagi perbuatan atau keputusan manusia melainkan semata-mata
wajib tidaknya perbuatan dan keputusan tersebut dilakukan. Contoh:
wartawan seharusnya menghindari kecurangan dalam menjalankan
aktivitasnya agar peristiwa yang disampaikan “bermanfaat” untuk
kepentingan publik.
Menurut Kant (1724-1804), yang disebut baik dalam arti
sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Kehendak menjadi
baik, jika bertindak karena kewajiban. Belum cukup suatu perbuatan
dilakukan sesuai dengan kewajiban, seharusnya perbuatan dilakukan
berdasarkan kewajiban. Kehendak menjadi baik jika bertindak karena
kewajiban. Imanuel Kant juga mengajukan konsep imperative kategoris
dan hipotesis. Imperatif kategoris: imperatif (perintah) yang mewajibkan
begitu saja, tanpa syarat. Imperatif hipotetis selalu melibatkan sebuah
syarat: “kalau engkau ingin mencapai suatu tujuan, maka engkau
5
6

Bertens, 2007:254
Haryatmoko, 2007:160

252

Mubarok, Otonomi Individu Jurnalis...

harus menghendaki juga sarana-sarana yang menuju ke tujuan itu.
Jika hukum moral harus dipahami sebagai imperatif kategoris, maka
dalam bertindak secara moral kehendak harus otonom dan bukan
heteronom. Kehendak bersifat otonom bila menentukan dirinya
sendiri, bersifat heteronom jika membiarkan diri ditentukan oleh
faktor luar (kecenderungan atau emosi). Pandangan William David
Ross (1William David Ross (1877-1971) menerima teori deontologi,
tapi ia menambahkan nuansa yang penting7.
3. Otonomi individu dalam kerangka teleology dan deontology
Dari kedua pandangan etika tersebut nampak bahwa sumber keputusan
etis ada pada individu sang jurnalis. Keputusan untuk tetap meliput berita
dalam kondisi bencana dan kecelakaan merupakan pilihan yang diambilnya.
Pertanyaannya benarkah individu jurnalis memiliki kemampuan untuk
membuat keputusan etis secara otonom? Seberapa pentingkah otonomi
individu bagi praktisi media dalam mengambil keputusan etis?
Carol Reuss mengajukan argument bahwa nilai-nilai individual
dari pekerja media menjadi kekuatan yang potensial dalam
pengambilan keputusan etis terkait dengan isi media. Nilai-nilai
individual dari praktisi media membentuk keputusan etis mereka dan
isi dari media. Media tidak dapat dikatakan sebagai etis atau tidak etis
karena isi media merupakan hasil dari keputusan yang diambil oleh
pekerja media. Konten media tidak bisa disebut sebagai sesuatu yang
tidak etis atau etis karena konten tersebut merupakan hasil keputusan
etis pembuatnya, jadi para pekerja media yang sepantasnya mendapat
penilaian etis. Keputusan kolektif yang dibuat oleh jurnalis merupakan
hasil dari nilai individual yang diyakini8. Pandangan lain yang juga
menarik untuk membahas otonomi individu dikemukakan oleh David
Gordon. Ia menyatakan bahwa kekuatan social, ekonomi, dan politik
menjadi penghalang yang berpengaruh pada otonomi individual
dalam mengambil keputusan etis. Tekanan pemerintah dan kekuatan
politik menjadi factor yang lebih penting dari keputusan individu dan
nilai-nilai yang mereka anut.
7

8

Uraian tentang konsep etika deontology banyak penulis ambil dari buku Etika,
karya K Bertens,
Tulisan mengenai otonomi individu dalam megambil keputusan etis dapat dibaca
secara lengkap dalam bab “Individual Autonomy and Ethical Decisions”, dalam
buku Controversies of Ethic hal 45-78

253

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Pandangan Reuss dan Gordon mendapat komentar dari Merril yang
memberikan catatan terhadap kedua pendapat tersebut. David Gordon
menurut Merril memberikan argument yang benar ketika menyatakan
bahwa keputusan etis dalam media sangat dipengaruhi oleh kekuatan
yang beroperasi dalam masyarakat yang lebih luas. Pernyataan bahwa
individu mampu membat keputusan etis berdasar nlai-nilai etis mereka
sesungguhnya terlalu menyederhanakan persoalan.
Pendapat Carol Reuss yang meletakkan penekanan penting pada
moral dan nilai-nilai individu dalam pengambilan keputusan etis
tidak sepenuhnya keliru. Menurutnya apa yang diungkapkan Reuss
bukanlah suatu yang naïf larena seorang jurnalis sesungguhnya bersifat
individuals dan kelompok. Pertanyaan tentang premis etis, memberikan
solusi atas permasalahan etis dan mengambil tanggungjawab tentang
tindakan etis. Hasil studi dari David Weaver and G. Cleveland Wilhoit
mengindikasikan bahwa otonomi nilai dari jurnalis semakin sulit
ditemukan di dalam kerja media yang kompleks. Penggunaan teknolog
yang semakin rumit dan rutinitas kerja media yang kompleks membuat
otonomi individu menjadi semakin sulit dilakukan.
Libois mengajukan tiga prinsip utama deontology jurnalisme
yaitu: pertama, hormat dan perlindungan atas hak warga negara akan
informasi dan sarana-sarana yang perlu untuk mendapatkannya.
Kedua, hormat dan perlindungan atas hak individual lain dari warga
negara. Termasuk di dalamnya hak akan martabat dan kehormatan,
hak keseahatan isik dan mental, hak konsumen, dan hak jawab. Ketiga,
ajakan untuk menjaga harmoni masyarakat. Di dalamnya termasuk
larangan untuk melakukan provokasi atau dorongan yang akan
membangkitkan kebencian atau ajakan pada pembangkangan sipil.
Dimensi subyek dalam etika komunikasi menurut menjadi penting
dan dia mengelaborasi tiga prinsip yang termuat dalam dimensi subyek
etika komunikasi. Ketiganya adalah (a) hormat dan perlindungan
atas hak warga negara akan komunikasi dan sarana yang perlu untuk
mendapatkannya; (b) hormat dan perlindungan atas hak individual
lain dari warga negara; dan (c) menjaga harmoni masyarakat. Ketiganya
adalah prinsip deontologi jurnalisme yang dianggap penting untuk
mempertajam makna tanggung jawab9.
9

Haryatmoko,2007 hal 45-47, 160-168

254

Mubarok, Otonomi Individu Jurnalis...

Pembahasan
Pada makalah ini penulis akan menguraikan otonomi individu
dalam mengambil keputusan etis dari perspektif etika teleologi dan
deontologi. Persepekti etika tersebut akan digunakan untuk menganalisa
berbagai persoalan etis yang dihadapi oleh seorang jurnalis ketika
meliput berita. Penulis menggunanakan contoh kasus terkait berita
bencana atau peristiwa tragis lainnya sebagaimana terungkap dalam
pendahuluan untuk menjabarkan persepektif etika tersebut kaitannya
dengan otonomi individu.
Kembali pada contoh kasus yang penulis ungkapkan di latar belakang.
Ketika para jurnalis memilih untuk tetap meliput para korban bencana
di Padang yang baru saja diselamatkan sesungguhnya telah terjadi
keputusan etis yang diambil oleh jurnalis tersebut. Dalam pandangan
teleologis keputusan tersebut memiliki konsekuensi yang berpotensi untuk
menyenangkan kelompok besar pemirsa televise dan keluarga korban yang
mengikuti proses evakuasi. Dalam sudut pandang teleology keputusan
untuk tetap meliput para korban tersebut harus dilihat dari aspek tujuannya.
Para jurnalis bermaksud memberikan informasi tercepat,
terlengkap, dan membantu para keluarga korban di rumah agar
mengetahui proses evakuasi tersebut. Dilihat dari aspek tujuan ini,
tindakan para jurnalis tersebut secara etis benar, karena membawa
kebahagiaan dan manfaat bagi kelompok besar pemirsa dan keluarga
korban. Pemirsa di rumah merasa senang dan puas karena mendapatkan
informasi cepat, lengkap, terkini dan langsung. Secara umum audiens
media menghendaki hadirnya informasi yang cepat, akurat, langsung
dan terkini. Dengan memberikan informasi tersebut seorang jurnalis
telah melakukan tugasnya dengan benar.
Tujuan para jurnalis untuk memberikan informasi terbaik kepada
audiens tersebut merupakan keputusan etis yang dari sudut pandang
teleologis dapat dibenarkan. Ketika kru televise yang berada dalam
pesawat LION Air tersebut memilih tetap merekam kecelakaan agar
segera diketahui para pemirsa di rumah, maka keputusan etis tersebut
menghasilkan kemanfaatan besar bagi proses evakuasi. Tayangan berita
yang hanya beberapa menit setelah kejadian membuat kecelakaan
tersebut segera diketahui oleh aparat berwenang dan keluarga.
Akhirnya proses evakuasi dapat dilaksanakan secepatnya.
255

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Kaitanya dengan liputan bencana atau pilihan seorang jurnalis
untuk terlebih dahulu meliput para korban jatuhnya pesawat sebelum
menolong mereka dapat dilihat sebagai sebuah kekeliruan etis.
Semestinya para jurnalis menghormati hak-hak individu para korban
tersebut tersebut termasuk hak untuk mendapatkan pertolongan.
Keinginan untuk memberikan informasi yang terbaik, tercepat,
terakurat, dan terkini kepada semua orang sehingga kondisi bencana
atau kecelakaan dapat segera ditangani sesungguhnya keinginan
yang baik. Meski demikian keinginan yang baik tersebut hanya bisa
dikatakan baik jika dilakukan dengan baik pula. Hasil informasi yang
akurat, cepat, terkini dan membahagiakan pemiersa tidak bisa menjadi
ukuran etis bahwa perbuatan jurnalis tersebut baik.
Para korban bencana dan kecelakaan hanya dapat dan boleh
diberitakan sesuai kadar keadaannya. Atas nama semua standar nilai
berita tidak berarti menghilangkan etika dalam memperolehnya. Ketika
para korban dalam keadaan payah dan membutuhkan pertolongan
maka memilih untuk memperoleh berita terbaik dengan memberitakan
begitu saja kondisi para korban merupakan keputusan etis yang keliru.
Berikut gambaran bagaimana faktor intrinsik dalam diri
komunikator bisa mempengaruhi isi media. Karakteristik komunikator
(gender, etnik, orientasi seksual), latar belakang dan pengalaman
(seperti perkembangan religiusitas dan status sosial ekonomi keluarga)
tidak hanya membentuk sikap personal, nilai-nilai dan kepercayaan
tetapi juga mempengaruhi latar belakang profesional dan pengalaman
komunikator. Pengalaman-pengalaman profesional ini kemudian
membentuk peran profesional dan etika dari komunikator. Kemudian
peran profesional dan etika dari komunikator memiliki efek langsung
pada isi media. Efek dari sikap personal, nilai-nilai dan kepercayaan
pada isi media massa terjadi secara tidak langsung10.
Dalam peliputan bencana dan kecelakaan transportasi, otonomi
individu dalam mengambil keputusan etis ternyata tidak berdiri sendiri.
Ketika sang jurnalis memutuskan untuk tetap meliput para korban
bencana meskipun dalam kondisi payah, apakah ia memiliki kekuatan
otonom untuk mengambil keputusan tersebut?. Marilah kita cermati
dari rutinitas kerja media dalam proses peliputan bencana seperti
10

Dikutip dari Shoemaker dan Reese,1996:6

256

Mubarok, Otonomi Individu Jurnalis...

kejadian gempa di Padang. Seorang jurnalis yang ditugaskan untuk
meliput berita di Padang berangkat berdasar penugasan yang dilakukan
oleh redaksi. Dia tidak berhadapan dengan realitas yang dijumpai begitu
saja. Ada proses terstruktur dan terencana yan dilakukan oleh media
sebelum menugaskan sang jurnalis untuk meliput. Ada rencana kerja
yang telah disusun, ada target berita yang harus diperoleh, ada tuntutan
eksklusiitas dan akurasi yang harus dijawab oleh sang jurnalis.
Tuntutan lain adalah adanya siaran langsung yang mengharuskan
sang jurnalis memberikan gambaran real time yang sedramatis
mungkin sehingga tayangan televisi akan dilihat banyak pemirsa.
Ada kompetisi antar stasiun televisi yang mengharuskan sang jurnalis
berlomba-lomba untuk memperoleh berita terbaik, tercepat, terakurat.
Di sini nampak bahwa otonomi individu ternyata sulit dilakukan
mengingat sang jurnalis juga menghadapi banyak tekanan kepentingan
baik secara sosial, ekonomi dan politik yang melingkupinya. Secara
individu dia bisa memilih untuk tidak mewawancarai korban yang
sedang dalam kondisi payah, namun telepon dari redaksi tentu akan
mengharuskan dia untuk melakukan hal tersebut. Kondisi ini sejalan
dengan pendapat David Gordon yang menyatakan bahwa kekuatan
social, ekonomi, dan politik menjadi penghalang yang berpengaruh
pada otonomi individual dalam mengambil keputusan etis.
Beda halnya dengan kasus kedua ketika sang jurnalis kebetulan
ada di dalam pesawat Lion Air. Apakah dia lebih otonom?. Ia berangkat
ke Solo dalam rangka untuk meliput acara lain sehingga tidak
menyengaja untuk menghadapai liputan kecelakaan. Pada kondisi
tersebut sebenarnya ia memiliki potensi otonomi individu lebih kuat
karena penugasan liputannya tidak terkait dengan kecelakaan tersebut.
Apabila dia memutuskan untuk tidak meliput kejadian tersebut
sesungguhnya redaksi bisa memaklumi karena dia sendiri menjadi
korban dari kecelakaan tersebut.
Pertanyaan menariknya adalah mengapa dia memilih tetap
meliput kejadian tersebut?. Di sini asumsi dari David Gordon kembali
berjalan, yaitu adanya kekuatan eksternal di luar diri jurnalis yang
justru mempengaruhi keputusan etis yang diambilnya. Meskipun ia
memiliki potensi otonomi individual yang lebih luas namun kekuatan
sosial, ekonomi dan politik media yang elah membentuknya selama

257

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

bekerja secara tidak sadar telah terinternalisasi dan menjadi nilai-nilai
individual baru yang mempengaruhi keputusan etisnya.
Kekuatan tersebut menuntunnya untuk memperoleh berita
tercepat, terkini, terakurat dalam kondisi apapun. Seolah selama nafas
masih dimiliki maka kewajiban untuk memperioleh berita tersebut
tetap harus dilaksanakan. Meski tidak ada pengawasan secara langsung
dari redaksi mekanisme kerja individualnya telah menuntun untuk
mengambil keputusan etis tersebut.

Penutup
Teleologi menganjurkan keputusan etis didasarkan pada akibat
yang ditimbulkannya dan memberikan kriteria substantif seperti
kesenangan atau kebahagiaan. he greatest good for society dideinisikan
sebagai manfaat untuk semua orang. Menurut kodratnya tingkah
laku manusia terarah pada kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat
dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi
kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Bentham mengajukan prinsip
tersebut menjadi norma untuk tindakan-tindakan pribadi maupun
pemerintah. he journalistic hedonist menegaskan bahwa kebenaran
atau kesalahan dari suatu tindakan jurnalistik tergantung pada
kenikmatan atau ketidaknikmatan yang diperolehnya. Deontologi
menyatakan bahwa sistem ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi
perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-mata wajib tidaknya
perbuatan dan keputusan tersebut. Kehendak baik terwujud dalam
pelaksanaan kewajiban yang tanpa pamrih.
Dalam kondisi liputan bencana dan kecelakaan, apa yang
dilakukan oleh jurnalis untuk tetap meliput dapat dipahami dari
kedua perspektif etika tersebut. Otonomi individu yang seolah bisa
menjadi jalan bagi lahirnya keputusan etis ternyata tidak begitu mudah
untuk dilaksanakan. Ada kekuatan social, ekonomi dan politik yang
melingkupi kinerja awak media. Dalam kondisi ketika secara personal
seorang jurnalis memiliki potensi untuk membuat otonomi keputusan
etis ternyata tidak mudah untuk dilaksanakan. Pengaruh dari social,
ekonomi dan politik yang selama ini melingkupi kerja jurnalis
seringkali sudah terinternalisasi sehingga mempegaruhi pengambilan
keputusan etisnya.

258

Mubarok, Otonomi Individu Jurnalis...

Datar Pustaka
Bertens, K (2007). Etika. Jakarta, Gramedia
Haryatmoko (2007). Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan
dan Pornograi. Yogyakarta, Kanisius
Gordon, David, Reuss, Carl, Merril, Jhon C (1996). Controversies in
Media Ethics. New York, Longman Publish
Shoemaker, Pamela J dan Reese, Stephen D. (1996). Mediating he
Message:heories of Inluences on Mass Media Content, Second
edition. New York, Longman

259