BOOK Mediamorfosa Bestian N Benteng Daerah

Benteng Daerah : Persaingan Grup Koran Nasional
dan Lokal pada Pasar Pembaca Daerah
Bestian Nainggolan
Universitas Indonesia
� bestian.nainggolan@gmail.com

Pendahuluan
Karakteristik pasar industri media cetak daerah tidak hanya diisi
oleh para pelaku industri yang berskala usaha lokal, namun ditandai
pula oleh kehadiran dua pelaku utama industri media berskala nasional
yang berekspansi secara masif. Pertama, kehadiran grup media cetak
Jawa Pos yang semula berskala penerbitan lokal Jawa Timur, namun
berkembang menjadi penguasa pasar media cetak berskala nasional.
Kedua, grup Kompas Gramedia yang semenjak awal kehadirannya
berskala penerbitan nasional dan dalam perjalanan bisnisnya gencar
berekpansi kapital ke berbagai daerah. Kedua grup korporasi media
cetak tersebut semenjak era liberalisasi media 1998 semakin masif
berekspansi kapital dengan mengintegrasikan kepemilikannya secara
horisontal, vertikal, maupun diagonal, hingga mampu membentuk
pasar media cetak yang semakin bersifat oligopolistik (Nainggolan,
2015:45-46).

Pergerakan kapital ataupun pola ekspansi kapital yang dilakukan
kedua grup media tersebut menunjukkan bagaimana format
pengelolaan media cetak di negeri ini lebih banyak bersandar pada
hakikat media sebagai komoditas industrial. Kondisi demikian dapat
dijelaskan dalam pergerakan kapital (capital movement) kedua grup
korporasi media nasional tersebut. Grup Jawa Pos, misalnya, merupakan
pelaku pasar industri koran terbesar yang kini mengelola sekitar 195
penerbitan. Koran Jawa Pos, awal kehadirannya bernama Djava Post
(1949), merupakan pijakan dimulainya ekspansi bisnis. Pada tahun
1982 oleh PT Graiti Pers, perusahaan yang terlebih dahulu tergolong
101

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

sukses menerbitkan Majalah Tempo, mengambil alih kepemilikan
Jawa Pos yang dimiliki oleh Suseno Tedjo (he Chung Sen). Sosok
Eric Samola, pebisnis media ambisius sebagai pemegang saham Tempo
dari Jaya Raya, menjadi kunci awal dari pencapaian spektakuler Jawa
Pos. Samola semenjak awal beranggapan bahwa surat kabar tidak lebih

dari sebuah komoditas, seperti layaknya makanan dalam restoran
(Dhakidae, 1991:354).
Kendali profesional bisnis Samola mendapat pijakan riil tatkala
ia menunjuk Dahlan Iskan, kordinator Tempo di Jawa Timur, untuk
mengelola sisi editorial Jawa Pos. Dahlan Iskan selanjutnya menjadi
sentral keberhasilan pertumbuhan kapital Jawa Pos, terutama sepak
terjang di dalam mengangkat Jawa Pos dari posisi “koran kuning”
menjadi “koran rujukan” Surabaya. Dalam dua tahun, pencapaian Jawa
Pos spektakuler. Selanjutnya, posisi Dahlan Iskan menjadi semakin
dominan.
Perubahan makro politik 1998 dan bergulirnya era otonomi daerah
menjadi contoh bagaimana kepiawaian strategi kapital Jawa. Periode ini,
Grup Jawa Pos masif merambah ke berbagai wilayah. Beragam strategi
dilakukan diantaranya, pengakuisisian kepemilikan media cetak daerah
yang secara bisnis tidak lagi sehat dan melalui strategi pendirian surat kabar
baru. Sebagai contoh, Harian Fajar (1981) di Makassar, setelah bersatu
dengan Jawa Pos tahun 1988, berkembang pesat. Begitu pun surat kabar
Riau Pos (1991) menguasai Provinsi Riau.
Ekspansi Jawa Pos juga di Semarang, Jawa Tengah, dan sekitarnya
(PT Perintis Meteor Sejahtera), di Sumatera melalui Sumatra Ekspres

(PT Citra Bumi Sumatera) yang meliputi Palembang dan sekitarnya,
Akcaya (PT Akcaya Utama Press) di Kalimantan Barat, grup Manado
Post (PT Wenang Cemerlang Press) di Sulawesi Utara dan sekitarnya,
serta grup Manuntung (PT Duta Manuntung) di Kalimantan, Radar
Bogor (PT Bogor Ekspress Media) dengan wilayah Bogor, Cianjur,
Sukabumi, Lombok Post (PT Suara Nusa Media Pratama) dengan
wilayah Lombok, NTB, wilayah Papua dengan Cendrawasih Post
(PT Cendrawasih Arena Intim Press), dan berbagai media di wilayah
rintisan (PT Perintis Media Utama).
Tidak hanya berpijak pada pendirian media cetak sejenis, namun
grup Jawa Pos juga menerapkan pola integrasi vertikal berupa
102

Bestian Nainggolan, Benteng Daerah :...

pendirian usaha pendukung yang menjadi fokus produksi grup ini.
Dalam pemenuhan kebutuhan kertas, tahun 1996 dibangun percetakan
PT Temprina Media Graika di Gresik dan kini juga tersebar di
wilayah-wilayah pusat produksi surat kabar grup Jawa Pos. Selain itu,
Jawa Pos membangun pabrik kertas PT Adiprima Suraprinta di tahun

1994 dan sebagai pemasok energi listrik bagi pabrik tersebut grup ini
melengkapinya dengan pengoperasian pembangkit listrik di Sidoarjo
dalam naungan PT Prima Elektrik Power (2002). Bahkan, selepas
1998 perluasan bisnis ke berbagai bidang usaha media (cross media
integration) juga dilakukan grup Jawa Pos. Pendirian jaringan televisi
Jawa Pos TV di tahun 2002 menjadi penanda keberadaan grup ini.
Hingga akhir 2015 sekitar 46 stasiun lokal dikelola.
Apabila Grup Jawa Pos diawali oleh kemunculan koran Jawa
Pos, Grup Kompas Gramedia dimulai dari kehadiran koran Kompas.
Semula, tidak pernah terencanakan jika Kompas yang didirikan oleh
Yayasan Bentara Rakjat, 28 Juni 1965, berkembang menjadi suatu grup
korporasi media dengan pengakumulasian kapital di berbagai jenis
usaha media maupun di luar industri media. Para pendiri yang berlatar
belakang aktivis berbagai organisasi Katolik itu menggagas kehadiran
suatu surat kabar sebagai penanding semakin kuatnya pengaruh
berbagai media Partai Komunis Indonesia dalam membentuk opini
publik maupun kebijakan-kebijakan negara (Dhakidae, 1991:237-238).
Pengelolaan kapital Kompas semenjak awal persiapan pembentukkan surat kabar hingga pengelolaannya dilakukan oleh duet
kepemimpinan Auwjong Peng Koen (PK Ojong) dan Jacob Oetama,
sosok berlatar belakang guru dan wartawan.

Semenjak tahun 1970, pergerakan kapital Kompas menjadi lebih
signiikan. Sebagaimana generasi industri media saat itu, pergerakan
kapital Kompas ditopang pula oleh perubahan makro politik
Indonesia. Perubahan politik dalam kepemimpinan Orde Baru lebih
menunjukkan pada orientasi pembangunan perekonomian dengan
mendukung segenap kegiatan industri. Dukungan negara terwujud
dalam pemberian fasilitas serta subsidi terhadap industri pers. Tahun
1972, Kompas berinvestasi dengan membangun kapital percetakan
PT Gramedia. Dengan kepemilikan percetakan, sirkulasi Kompas
meningkat pesat. Apabila tahun 1972 angka sirkulasi masih di kisaran

103

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

100 ribu eksemplar, tahun-tahun selanjutnya meningkat hingga
mencapai angka 500 ribu eksemplar.
Pertumbuhan sirkulasi menjadi pendorong semakin banyaknya
surplus nilai produksi yang dihasilkan. Tahapan selanjutnya mendorong

proses pengakumulasian kapital grup ini. Dimulai pendirian toko buku
Gramedia (1970), percetakan Gramedia (1972), Radio Sonora (1972),
penerbitan Gramedia (1973), penerbitan majalah Bobo (1973) serta
beberapa majalah lainnya hingga mengukuhkan diri sebagai suatu
grup korporasi media Kompas Gramedia.
Ekspansi kapital menjadi semakin berwarna era 1980. Pola
konsentrasi kepemilikan horizontal, vertikal, ataupun diagonal dilakukan.
Secara horizontal, pendirian berbagai surat kabar daerah dilakukan,
membentuk jaringan media lokal dalam kendali Grup Tribun (Indo Persda
Primamedia). Koran daerah Sriwijaya Post (1987); Serambi Indonesia
(1988); Surya (1988); Pos Kupang (1992); Banjarmasin Post (1994); Warta
Kota (1999); Metro Banjar (1999); Bangka Pos (1999); Pos Belitung (2001),
Tribun Batam (2004); Tribun Timur (2004); Tribun Jabar (2006); Prohaba
(2007); Tribun Pekanbaru (2007); Tribun Pontianak (2008); Tribun Medan
(2009), Tribun Lampung (2009); Tribun Jambi (2009); Tribun Menado
(2009); Tribun Jogya (2011), Tribun Sumsel (2012); Tribun Jateng (2013);
dan Tribun Bali (2014) diterbitkan.
Pengembangan media cetak diikuti oleh dukungan vertikal berupa
pendirian unit-unit usaha percetakan yang juga tersebar di berbagai
daerah dalam jaringan percetakan Gramedia ataupun Indo Persda.

Pola distribusi pemasaran dilakukan dengan pendirian perusahaan
distribusi Jasatama Pola Media.
Ekspansi kapital Kompas Gramedia dan Jawa Pos ke seluruh
pelosok negeri menjadi persoalan krusial. Bagaimana kondisi grup
korporasi media yang berpusat operasi di berbagai daerah dapat terlepas
dari ancaman penetrasi kedua grup korporasi media nasional tersebut?
Apakah pola persaingan yang terbentuk berimplikasi ketersingkiran
korporasi media lokal? Masih adakah ruang dimana pasar pembaca
koran masih dikuasai oleh korporasi media lokal?
Pertanyaan dan permasalahan demikian menarik dikaji,
terutama dalam mencermati dan memahami masa depan pengelolaan
persuratkabaran lokal serta keberadaan pelaku industrinya. Sejauh ini,
104

Bestian Nainggolan, Benteng Daerah :...

inventarisasi terhadap keberadaan media cetak berskala penerbitan
lokal (daerah) menunjukkan, tidak kurang 10 grup korporasi media
cetak, dengan perjalanan industri yang tergolong panjang. Di pulau
Jawa, terdapat Grup Pikiran Rakyat (1966), Grup Suara Merdeka

(1950), Grup Kedaulatan Rakyat (1945), Grup Pos Kota (1970), dan
Grup Solo Pos (1985). Sementara di luar Jawa, terdapat Grup Bali
Post (1971), di Sumatera di antaranya terdapat Grup Waspada (1947),
Grup Analisa (1972), Sinar Indonesia Baru (1970), Grup Singgalang
(1969), dan Grup Haluan/Basko (2010). Pergulatan industrial dalam
mengantisipasi persaingan dan masa depan pengelolaan media tengah
dihadapi setiap korporasi media.

Kajian Teori
Bagaimana suatu perubahan terjadi di dalam kehidupan industri,
termasuk industri media, seringkali merujuk pada jalannya proses
evolusi dalam kehidupan mahkluk hidup. Dimmick (2003) menguatkan
hal ini dengan memaparkan bahwa upaya memahami organisasi media
tidak lepas dari keberadaan pola-pola dalam hukum alam yang bersifat
universal.
Rujukan pandangan dominan terkait perjalanan hidup organisme
tertuju pada rumusan evolusi Charles Darwin. Bagi Darwin, bentukbentuk baru spesies makhluk hidup saat ini disebabkan dari hasil
suatu seleksi alam. Seleksi alam merujuk pada suatu proses yang dilalui
dimana terdapat kemunculan mahluk hidup yang baru dan di sisi lain
terdapat mahluk hidup yang punah, yang semua terjadi akibat pola

perbedaan adaptasi (Cohen, 1985:281 dalam Rogers, 1997). Dalam
kehidupan sosial (selanjutnya dipraktikkan dalam kehidupan industri
media), konsep Darwin selaras dengan Herbert Spencer. Spencer
memunculkan terminologi evolusi sosial, sebagai suatu pola kompetisi
“survival of the ittes” di antara anggota masyarakat yang berlangsung
sebagai bagian dari proses bertahan dalam seleksi alam (Rogers, 1997).
Persaingan dalam industri media menjadi bagian yang tidak
terlepaskan dari upaya penguasaan pasar. Keberhasilan dalam
penguasaan pasar identik dengan memenangkan persaingan dalam
memperebutkan sumber daya bagi kehidupan media. Sebaliknya,
kekalahan dalam persaingan berimplikasi pada ketersingkiran,

105

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

yang sekaligus mengindikasikan ketidakmampuan pelaku industri
beradaptasi pada pasar persaingan yang terbentuk.
Keberhasilan dalam persaingan dan penguasaan pasar merupakan

orientasi masyarakat dalam sistem produksi kapitalisme. Dalam sistem
produksi masyarakat kapitalistik, Karl Marx (1867, 1997) menegaskan
bahwa kapital menjadi konsep sentral dari suatu cara produksi (mode
of production). Dalam hal ini, penguasaan kapital merupakan penentu
dari relasi produksi yang ditujukan sebagai penciptaan “surplus
nilai” (proit). Surplus nilai yang dihasilkan, selain digunakan untuk
konsumsi para penguasa kapital, sebagian akan dikembalikan menjadi
bentuk kapital, direproduksi, dan menghasilkan surplus nilai baru.
Berdasarkan konsep kapital, produksi, reproduksi, surplus
nilai itulah pemahaman kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi
dikenalkan. Intinya, kapitalisme merujuk pada suatu sistem ekonomi
yang bersandar pada upaya penciptaan surplus nilai berulang.
Penopang kondisi tersebut dikarakteristikkan adanya pengakuan
terhadap kepemilikan privat, kebebasan dalam persaingan pasar, dan
rasionalitas. Namun, sebagaimana yang ditambahkan Luxemberg
(1913, 2003), bahwa skema reproduksi kapitalisme murni Marx
tersebut harus bersifat terbuka dan mengkaitkan berbagai elemen lain
di luar sistem produksi yang berlangsung sehingga proses kapitalisme
(ekspansi kapital) semakin meluas, bahkan mengglobal.
Dengan konsep demikian, maka dalam sistem kapitalisme, kapital

harus bergerak dan bekerja dalam berbagai usaha-usaha produktif agar
surplus nilai diperoleh. Kapital yang tidak diproduktikan merupakan
kapital “mati” yang dinilai tidak hanya membahayakan para pemilik kapital
namun juga bagi sistem ekonomi serta masyarakat (Knoche, 1999).
Perkembangan media sebagai institusi ekonomi juga tidak lepas
dari prinsip kapitalisme (Schiller, 1969; Kellner, 1990; Murdock, 1990;
McChesney, 2008; Suarez-Villa, 2015). Penciptaan suplus nilai dalam
industri media dihasilkan dari rangkaian proses produksi informasi
yang melibatkan kapital media, tenaga kerja, dan alat kerja. Sirkuit
perputaran kapital media berlangsung, tatkala surplus nilai yang
dihasilkan kembali direproduksi sebagai kapital media selanjutnya
digunakan untuk menciptakan kembali surplus nilai melalui ekspansi
usaha.
106

Bestian Nainggolan, Benteng Daerah :...

Dalam pendekatan ekonomi politik, pola ekspansi kapital
dilakukan secara terintegrasi yang sejalan dengan apa yang disebut
sebagai proses spasialisasi (Mosco, 1996, 2009). Proses spasialisasi
merujuk pada berbagai upaya yang dilakukan oleh kapitalis industri
media dalam menghadapi hambatan-hambatan ruang (spasial) dan
waktu.
Spasialisasi berlangsung sebagai suatu strategi gerak
pengkonsentrasian kapital yang ditujukan dalam penguasaan pasar
industri. Penguasaan pasar industri dapat dilihat dari corak konsentrasi
pasar industri media yang terbentuk, yaitu bagaimana konsentrasi
kepemilikan (concentration of ownership) yang berlangsung (Picard,
1991; Albaran, 1996). Semakin terkonsentrasi kepemilikan media pada
sebagian kecil para pemilik kapital maka struktur pasar yang terbentuk
semakin bersifat oligopolistik. Bagi penguasa kapital, dengan motif
pencapaian surplus nilai maksimal, penciptaan pasar yang semakin
terkonsentrasi menjadi tujuan. Hal semacam inilah menjadi strategi
para pemilik kapital untuk terus-menerus menggerakan kapitalnya
melalui ekspansi, yang dilakukan secara horisontal (horizontal
integration), integrasi vertikal (vertical integration), dan integrasi
diagonal (cross-media integration).
Integrasi horisontal dilakukan dengan upaya penguasaan kapital
pada jenjang produksi yang sama. Dalam hal ini, suatu korporasi
media cetak akan melakukan ekspansi kapital ke berbagai bidang usaha
media cetak sejenis. Berbeda dengan pola pengintegrasian vertikal,
pada pola demikian ekspansi kapital ditujukan pada lini produksi yang
berjenjang. Suatu korporasi media cetak berintegrasi secara vertikal
jika pengembangan kapital ditujukan dalam pendirian usaha yang
mendukung produksi media cetak (kapital media-oriented), seperti
pendirian percetakan, pendirian pabrik kertas, ataupun pembangunan
infrastruktur media cetak (kapital media-infrastucture). Sementara
dalam pola pengintegrasian diagonal (cross-media integration)
perluasan kapital dilakukan baik secara horisontal maupun vertikal.
Semenjak liberalisasi ekonomi dan politik 1998 berlangsung di
negeri ini, pola ekspansi terintegrasi secara horizontal, vertikal, hingga
diagonal menjadi pilihan bagi pelaku industri. Sebagai hasil, terbentuk
13 grup konglomerasi media nasional (Lim, 2012; Nugroho,dkk, 2012).

107

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Dari keseluruhan grup korporasi konglomerasi media nasional tersebut,
terdapat dua grup korporasi, yaitu Jawa Pos dan Kompas Gramedia
yang tergolong signiikan penguasaannya dalam pasar industri media
cetak (Nainggolan, 2015). Di sisi lain, gerak kapital grup konglomerasi
media nasional tersebut berhadapan pula dengan 10 grup korporasi
media cetak lokal, yang sama-sama menggerakkan kapital media
yang dimilikinya guna penciptaan surplus nilai berkelanjutan. Dalam
lingkup pasar pembaca yang tersebar di berbagai daerah itulah, grup
korporasi media nasional maupun grup korporasi media lokal saling
bersaing, berkontestasi, dan mempraktikkan strategi kapital masingmasing guna menguasai pangsa pasar.

Metode Penelitian
Kajian ini bersifat eksploratif yang menelusuri gerak ekspansi
kapital industri media cetak (surat kabar) nasional dan daerah. Picard
(1989:17) menunjukkan di dalam industri media sekalipun di dalam
proses produksi media menghasilkan satu produk industri (one
product) berupa konten informasi atau hiburan, namun produk tersebut
beroperasi pada dua pasar produk (dual product market) yaitu pasar
audiens (audiences market) dan pasar pengiklan (advertiser market).
Kajian ini memfokuskan analisisnya pada pasar audiens, pembaca
koran semenjak tahun 2008 hingga kini.
Terdapat 8 daerah (ibukota provinsi) yang dijadikan lokasi kajian
pasar media cetak, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,
Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Medan. Pertimbangannya, kotakota tersebut menjadi pusat persaingan antara grup korporasi media
cetak nasional dan grup korporasi media cetak berskala penerbitan
lokal. Grup media cetak nasional yang dikaji yaitu Grup Jawa Pos dan
Grup Kompas Gramedia. Di sisi lain, grup korporasi media cetak lokal:
Grup Bali Post, Grup Pikiran Rakyat, Grup Kedaulatan Rakyat, Grup
Pos Kota, Grup Waspada, Grup Analisa, Sinar Indonesia Baru, dan grup
Suara Merdeka. Di luar korporasi di atas, terdapat pula beberapa grup
media nasional ataupun daerah yang terpantau namun tidak signiikan
pola penguasaan pasarnya.
Seluruh pelaku industri media dikaji dengan bersandar pada
analisis Industrial Organization (IO theory). Analisis ekonomi media
semacam ini dilakukan untuk mencermati kondisi Market Structure108

Bestian Nainggolan, Benteng Daerah :...

Market Conduct-Market Performance (SCP). Dalam model analisis ini,
fokus kajian pada bagaimana suatu satuan bisnis (korporasi media)
sebagai pelaku industri media menentukan strategi dan kebijakan
industrialnya (market conduct) dalam merespons struktur pasar
industri yang terbentuk (market concentration dan market competition),
dan bagaimana strategi dan kebijakan yang diterapkan pada akhirnya
turut membentuk struktur pasar industri media (Albarran, 1996, 2002;
2010: 29-41; Young, 2000; Wirth & Bloch, 1995).
Analisis yang digunakan menitikberatkan pada analisis struktur
pasar (market structure), khususnya pencermatan terhadap gerak
ekspansi kapital industri yang terkonsentrasi pada berbagai bentuk
integrasi kepemilikan kapital (horisontal, vertikal, maupun diagonal)
maupun pola persaingan dan penguasaan pasar pembaca yang
terbentuk di antara para pelaku pasar. Besaran penguasaan pasar
dihitung berdasarkan proporsi market share dari tiap-tiap pelaku
industri. Sebagai pembanding, digunakan juga model pengukuran
ceruk pasar yang didasarkan pada perhitungan niche overlap untuk
mengetahui pola kompetisi yang berlangsung di dalam memperebutkan
sumber daya yang sama di antara masing-masing pelaku industri media
(Dimmick, 2003). Data yang digunakan bersandar pada pencatatan
survey pembaca koran (audience survey) yang dilakukan Nielsen Media
secara berkala (1997-2015).

Hasil dan Pembahasan
Pencermatan terhadap pasar pembaca koran di berbagai daerah
ibukota provinsi menunjukkan derajat persaingan dan pola penguasaan
pasar pembaca yang berbeda-beda di antara grup korporasi media cetak.
Pola ekspansi kapital media nasional yang secara masif memasuki pasar
pembaca media cetak daerah sejauh ini tidak semua berhasil terkuasai.
Sekalipun kecenderungan pola penguasaan pasar yang semakin
meningkat dari waktu ke waktu, namun terdapat sebagian daerah yang
masih terkuasai oleh grup korporasi media cetak lokal. Pola persaingan
dan penguasaan pasar yang terjadi pada akhirnya memilah dua jenis
wilayah persaingan, yaitu daerah yang menjadi wilayah penguasaan
grup korporasi media cetak nasional dan daerah yang masih berhasil
dikuasai oleh korporasi media lokal.

109

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Daerah Penguasaan Media Nasional
Di daerah pusat kehadiran kedua grup korporasi media cetak
berskala penerbitan nasional, dapat dipastikan tidak tersedia ruang
bagi korporasi media cetak lain dalam menguasai pembaca koran. Kota
Surabaya, tempat kemunculan Koran Jawa Pos, lebih tiga perempat
bagian pembaca terkuasai grup Jawa Pos. Dari waktu ke waktu,
kekuatan grup Jawa Pos dalam menjaga wilayah penguasaannya relatif
tidak berkurang, sangat dominan (Tabel 1).
Jika di Surabaya sebelumnya terdapat pelaku utama pasar pembaca
koran, Surabaya Pos, namun semenjak kemunculan Jawa Pos dan
berbagai konlik internal yang dihadapinya, membuat koran lokal
ini tidak lagi berdaya. Berbagai upaya dilakukan, seperti pergantian
manajemen pengelolaan, dukungan permodalan baru, tidak mampu
mengatasi persoalan yang dialami. Bahkan kini, Surabaya Post tidak
tampak dalam pasar persuratkabaran.
Sebaliknya, Jawa Pos berkembang menjadi grup korporasi media
yang menasional dan tetap mempertahankan basis pasar Surabaya dan
Jawa Timur. Berbagai upaya dilakukan grup koran nasional lainnya
seperti Grup Kompas Gramedia, Grup MNC, ataupun korporasi surat
kabar nasional lain yang mencoba menguasai pasar Surabaya dan Jawa
Timur tergolong gagal.
Tabel 1.
Pola Persaingan dan Penguasaan Pasar Pembaca Koran di Surabaya dan sekitarnya
No

Korporasi Media Cetak
 

Penguasaan Pasar Pembaca (%)
2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

1

Grup Kompas Gramedia

2,3

13,2

12,5

18,8

18,5

12,9

13,4

2

Grup Jawa Pos

96,9

82,8

84,4

79,0

80,1

83,3

83,8

3

Media Nasional Lainnya

0,3

0,7

1,5

0,8

0,5

0,9

1,8

4

Surabaya Post (Lokal)

0,5

3,4

1,6

1,3

1,0

3,0

1,0

Total

100

100

100

100

100

100

100

Apabila Surabaya dan Jawa Timur menjadi basis penguasaan
Grup Jawa Pos, Jakarta dan sekitarnya menjadi wilayah penguasaan
Grup Kompas Gramedia. Dua surat kabar grup ini, Kompas dan
Warta Kota mampu mengambil hampir separuh pasar pembaca koran.

110

Bestian Nainggolan, Benteng Daerah :...

Porsi penguasaan grup ini pun semakin membesar beberapa tahun
terakhir (Tabel 2). Sebaliknya, para pesaing, termasuk koran yang
mengkhususkan kota Jakarta sebagai konten penerbitan sekaligus
sebagai basis pasar pembacanya, semakin menyusut.
Tabel 2.
Pola Persaingan dan Penguasaan Pasar Pembaca Koran di Jakarta dan sekitarnya
No

Korporasi Media Cetak
 

Penguasaan Pasar Pembaca (%)
2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

1

Grup Kompas Gramedia

43,4

43,4

39,4

40,0

43,8

44,5

48,7

2

Grup Jawa Pos

11,9

4,8

11,6

11,5

10,9

11,1

12,2

3

Media Nasional Lainnya

26,9

30,5

33,9

34,7

25,4

25,7

23,8

4

Grup Pos Kota (Lokal)

17,7

21,3

15,2

13,8

19,9

18,6

15,3

Total

100

100

100

100

100

100

100

Grup Pos Kota sebelumnya dikenal sebagai penguasa pasar pembaca
koran di Jakarta dan sekitarnya. Koran Pos Kota (PT Media Antar Kota
Jaya) yang terbit sejak 15 April 1970 mengkhususkan materi penerbitan
pada berita-berita kondisi sosial ekonomi kota, secara khusus persoalan
kriminalitas. Semenjak diterbitkan, perkembangan sirkulasi Pos Kota
tergolong spektakuler. Pada era tahun 1988, mampu menembus di atas
450 ribu eksemplar, menyaingi sirkulasi nasional Kompas. Pos Kota
yang didirikan oleh lima jurnalis pendiri, termasuk Harmoko (menteri
penerangan era Orde Baru), berkembang menjadi grup media, berekspansi
mendirikan koran sore Terbit, Metro Pos, Surya, majalah Warna Sari, Pos
Film, majalah Film, majalah Serasih, dan bergerak pada agensi perilman
dan rumah produksi perilman (Dhakidae, 1991:370-375). Di samping itu,
integrasi kepemilikan secara vertikal dilakukan Grup Pos Kota dengan
mendirikan percetakan Media Antar Kota Jaya juga pabrik kertas Gede
Karang (PT Tridaya Kreasi) di kawasan Purwakarta, Jawa Barat.
Namun, upaya Grup Pos Kota mempertahankan penguasaan pasar
pembacanya tidak mulus. Kehadiran koran sejenis, Warta Kota yang
dikendalikan grup Kompas Gramedia, koran Lampu Merah, Lampu
Hijau, dan beberapa koran sejenis yang dikelola oleh Grup Jawa Pos
(Grup Rakyat Merdeka) selepas era 1998, turut menyusutkan porsi
penguasaan pasar pembaca Pos Kota. Kini, Pos Kota tidak lagi tampil
sebagai pemimpin pasar.
111

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Persoalan yang sama juga terjadi pada Grup Pikiran Rakyat,
yang menjadikan Bandung dan Jawa Barat sebagai pusat produksi
sekaligus pembacanya. Grup Pikiran Rakyat diinisiasi oleh kesuksesan
koran Pikiran Rakyat yang terbit 24 Maret 1966. Semula, 30 Mei 1950,
koran ini sudah muncul, namun terhenti karena situasi sosial politik
yang mengharuskan harian ini berailiasi pada salah satu kekuatan
politik. Campur tangan militer (Kodam Siliwangi) dan para wartawan,
Sakti Alamsyah, Atang Ruswita, dan lainnya, terbit koran Angkatan
Bersenjata edisi Jawa Barat, yang selanjutnya menjadi Pikiran Rakyat.
Seperti juga pers industri yang tumbuh di masa Orde Baru,
perkembangan bisnis Pikiran Rakyat pesat. Pada 9 April 1973, badan
hukum berubah dari yayasan menjadi PT. Pikiran Rakyat Bandung.
Berbagai ekspansi dilakukan, secara horisontal dengan mendirikan
edisi Pikiran Rakyat di berbagai daerah. Di wilayah Banten, Pikiran
Rakyat berkembang menjadi Fajar Banten (PT Fajar Pikiran Rakyat).
Harian Galamedia juga menjadi salah satu perluasan usaha. Secara
vertikal, mendirikan percetakan Granesia. Grup Pikiran Rakyat juga
mengambangkan bisnis Radio PR (PT Mustika Parahyangan), dan
memiliki ijin pertelevisian (PT Pikiran Rakyat Televisi).
Namun, posisi bisnis Grup Pikiran Rakyat tidak lepas dari
ancaman pesaing, terutama kehadiran koran-koran yang dikendalikan
oleh Grup Kompas Gramedia dan Grup Jawa Pos. Pada tabel di bawah
ini (Tabel 3), semenjak tahun 2008 hingga 2014 lalu, porsi penguasaan
pasar pembaca Grup Pikiran Rakyat menurun secara signiikan. Jika
pada tahun 2008, melalui koran Pikiran Rakyat dan Gala Media, masih
menguasai hampir tiga perempat pasar pembaca di Bandung dan
sekitarnya, kini merosot menjadi sepertiga bagian saja.
Kehadiran Tribun Jabar dan Kompas (Grup Kompas Gramedia)
menjadi pengganggu utama pasar koran di Bandung. Porsi penguasaan
pasar pembaca grup ini meningkat signiikan, dari sekitar 24 persen
dan kini menjadi 58 persen, sekaligus menempatkan grup ini sebagai
penguasa pasar pembaca terbesar. Sementara itu, keberadaan Grup
Jawa Pos melalui koran Bandung Ekspres dan Radar Bandung, belum
terlalu signiikan. Begitu pun dengan koran-koran nasional seperti
Sindo (Grup MNC), Koran Tempo, Media Indonesia, dan lainnya tidak
mampu mengubah konigurasi penguasaan pasar yang terbentuk.

112

Bestian Nainggolan, Benteng Daerah :...

Tabel 3.
Pola Persaingan dan Penguasaan Pasar Pembaca Koran di Bandung dan sekitarnya
No

Korporasi Media Cetak
 

Penguasaan Pasar Pembaca (%)
2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

1

Grup Kompas Gramedia

23,9

28,5

40,6

50,1

46,4

56,7

58,1

2

Grup Jawa Pos

0,0

0,0

0,7

2,5

2,2

1,9

1,3

3

Media Nasional Lainnya

4,8

3,1

3,6

1,9

1,0

1,0

4,6

4

Grup Pikiran Rakyat (Lokal)

71,2

68,4

55,1

45,4

50,4

40,4

36,0

Total

100

100

100

100

100

100

100

Sepak terjang Grup Kompas Gramedia dalam penguasaan pasar
pembaca daerah tidak hanya di Bandung dan sekitarnya, namun juga
di Makassar. Pola penguasaan pasar grup ini melalui koran Tribun
Timur dan Kompas mampu menguasai hingga dua pertiga pasar
pembaca kota Makassar. Pesaing terdekatnya, Grup Jawa Pos, melalui
Grup Fajar, mampu menguasai hingga sepertiga bagian (Tabel 4). Pada
pasar kota Makassar, tidak tampak koran-koran lain baik koran lokal di
luar kedua grup konglomerasi media tersebut ataupun koran nasional
yang signiikan kehadirannya.
Tabel 4.
Pola Persaingan dan Penguasaan Pasar Pembaca Koran di Makassar dan sekitarnya
No

Korporasi Media Cetak
 

Penguasaan Pasar Pembaca (%)
2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

1

Grup Kompas Gramedia

39,3

41,1

41,5

56,8

55,3

48,7

69,3

2

Grup Jawa Pos

58,9

56,0

52,7

41,3

38,9

41,7

30,1

3

Media Nasional Lainnya

1,8

2,9

5,8

1,9

5,7

9,6

0,6

Total

100

100

100

100

100

100

100

Kondisi yang agak berbeda terjadi di Medan dan sekitarnya.
Sekalipun dua grup korporasi media nasional berhasil mengambil
alih porsi dominan pasar pembaca koran, namun terdapat beberapa
pelaku industri lokal ataupun media daerah yang tergolong signiikan
porsi penguasaan pasar pembaca koran. Grup koran Analisa (PT.
Media Warta Kencana) yang pertama terbit 23 Maret 1972 ini, menjadi
media lokal yang mampu menguasai hingga seperlima pasar pembaca
koran. Selanjutnya Grup Waspada (terbit sejak 11 Januari 1947) yang
113

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

didirikan Mohammad Said dan Ani Idrus, dan posisi selanjutnya koran
Sinar Indonesia Baru (terbit sejak 9 Mei 1970) yang didirikan oleh
GM Panggabean. Total penguasaan ketiga media tersebut mencapai
sepertiga bagian dari total pasar pembaca koran di Medan. Sisanya,
dikuasai oleh Grup Jawa Pos dan Kompas Gramedia (Tabel 5).
Tabel 5.
Pola Persaingan dan Penguasaan Pasar Pembaca Koran di Medan dan sekitarnya
No

Korporasi Media Cetak
 

Penguasaan Pasar Pembaca (%)
2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

1

Grup Kompas Gramedia

2,4

2,6

2,7

8,5

14,4

17,6

21,4

2

Grup Jawa Pos

40,0

47,6

45,0

42,9

34,8

40,2

40,5

3

Media Nasional Lainnya

4,8

0,5

0,0

0,0

0,0

0,0

3,1

4

Analisa (Lokal)

30,6

29,4

31,6

29,0

25,8

25,2

19,4

5

Waspada (Lokal)

11,6

11,7

16,2

14,1

23,0

14,2

11,9

6

Sinar Indonesia Baru (Lokal) 10,5

8,4

4,4

5,5

2,0

2,8

3,6

Total

100

100

100

100

100

100

100

Kondisi yang mengkhawatirkan, porsi penguasaan ketiga korporasi
media lokal tersebut cenderung menyusut. Dengan menggambil acuan
tahun 2008, saat itu ketiga media lokal masih mampu menguasai
hingga separuh pasar pembaca.
Daerah Penguasaan Media Lokal
Di tengah arus ekspansi kapital grup media cetak nasional dalam
pasar pembaca di berbagai daerah, terdapat beberapa grup korporasi
media daerah yang tetap mampu menjadi pemimpin pasar di daerahnya.
Grup Bali Post, menjadi grup korporasi media yang mempertahankan
dominasinya. Grup media yang diawali oleh kehadiran koran Bali Post
(1972) oleh Ketut Nadha itu semenjak era 1980-an sudah menguasai
pasar media di Bali. Peningkatan kapital membuat grup ini mendirikan
berbagai media cetak, terutama di tahun 1998 dengan menerbitkan
berbagai media cetak, seperti Denpost (1998), Bisnis Bali, Suara NTB
(2004), dan Bisnis Jakarta (2008), tabloid Lintang, Wiyata Mandala,
Tokoh (1998), Bali Travel News (1998).
Sepeninggal pendirinya di tahun 2001 dan beralih dalam
pengelolaan anaknya, ABG Satria Naradha, gerak ekspansi Grup Bali Pos

114

Bestian Nainggolan, Benteng Daerah :...

semakin meluas ke berbagai bidang media, khususnya dalam industri
radio seperti Radio Global (1999), Kini Jani, Suara Besakih, Genta FM
(2002), Singaraja FM (2002), Suara Banyuwangi, Lombok FM, Negara
FM. Dunia pertelevisian pun dimasuki dengan mendirikan Jaringan
BaliTV (2002), BandungTV, JogyaTV, SemarangTV, MedanTV, Aceh
TV, Sriwijaya TV, Makasar TV dan Surabaya TV. Pola ekspansi yang
dilakukan Bali Post ini menunjukkan kekuatan grup korporasi media
daerah yang berkembang secara nasional.
Dalam pasar media nasional, Grup Bali Post memang tidak
menjadi pelaku utama. Namun, dalam pasar lokal, Bali khususnya, grup
ini sangat dominan. Sebagai gambaran, sejak tahun 2008 hingga tahun
2014, porsi penguasaan pembaca di Denpasar dan sekitarnya tergolong
stabil, menguasai hampir 60 persen. Porsi penguasaan yang sangat
dominan tersebut tidak mampu tertandingi media nasional ataupun
lokal lainnya. Grup Jawa Pos yang ikut meramaikan persaingan media
cetak di Bali melalui Radar Bali hanya mampu menguasai hingga
seperempat bagian. Begitupun Grup Kompas Gramedia, menguasai
pasar tidak lebih dari 10 persen (Tabel 6).
Tabel 6.
Pola Persaingan dan Penguasaan Pasar Pembaca Koran di Denpasar dan sekitarnya
No

Korporasi Media Cetak
 

Penguasaan Pasar Pembaca (%)
2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

1

Grup Kompas Gramedia

1,8

0,5

1,4

0,0

4,4

0,0

9,7

2

Grup Jawa Pos

34,3

39,8

37,0

32,8

37,8

40,6

25,7

3

Media Nasional Lainnya

3,3

1,8

0,7

0,0

0,0

0,0

0,0

4

Grup Bali Post (Lokal)

52,4

50,7

53,6

63,8

51,1

52,9

57,6

5

Nusa Bali (Lokal)

8,1

7,2

7,2

3,4

6,7

6,5

6,9

Total

100

100

100

100

100

100

100

Di samping Grup Bali Post, Grup Suara Merdeka dan Grup
Kedaulatan Rakyat juga tergolong mampu menguasai pasar pembaca
koran di daerah kekuasaannya masing-masing. Di Jawa Tengah,
khususnya Semarang, porsi penguasaan Grup Suara Merdeka tampak
dominan, menguasai separuh dari total pembaca koran. Kondisi yang
tidak jauh berbeda juga di Yogyakarta, lebih dari separuh bagian
pasar pembaca koran terkuasai media cetak yang menjadi bagian dari
115

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Grup Kedaulatan Rakyat. Hanya, agak berbeda dengan Grup Bali Pos,
sekalipun menguasai pasar di daerahnya terjadi tren penurunan porsi
penguasaan Suara Merdeka maupun Kedaulatan Rakyat.
Perjalanan industrial Grup Suara Merdeka diawali kehadiran
koran Suara Merdeka (PT Suara Merdeka Press) yang didirikan H.
Hetami sejak 11 Februari 1950. Sejak 1982, Budi Santoso, menantu
Hetami, mengambil alih kendali dan mengembangkan Suara Merdeka
menjadi grup korporasi media terbesar di Jawa Tengah. Suara Merdeka
mengembangkan sayap bisnisnya dengan berintegrasi secara horisontal
melalui pendirian Koran Wawasan, Tabloid Cempaka, maupun
Ototrack. Grup ini juga mengoperasikan stasiun radio Trax FM. Sejak
2010, generasi kepemimpinan beralih pada putra sulungnya, Kukrit
Suryo Wicaksono.
Sekalipun masih menguasai pasar pembaca Jawa Tengah, jika
dicermati ancaman penurunan porsi penguasaan Grup Suara Merdeka
signiikan terjadi. Sebagai gambaran, di Semarang dan sekitarnya, pada
era sebelum tahun 2012 koran-koran Grup Suara Merdeka masih mampu
menguasai hingga tiga perempat bagian pasar pembaca. Namun, kini
merosot tersisa separuh bagian dari total pembaca (Tabel 7).
Tabel 7.
Pola Persaingan dan Penguasaan Pasar Pembaca Koran di Semarang dan sekitarnya
No

Korporasi Media Cetak
 

Penguasaan Pasar Pembaca (%)
2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

1

Grup Kompas Gramedia

8,8

9,4

6,5

8,4

9,4

21,0

32,9

2

Grup Jawa Pos

18,4

16,2

15,8

15,4

12,5

10,3

9,6

3

Media Nasional Lainnya

1,1

3,2

2,7

1,4

0,0

1,1

2,7

4

Grup Suara Merdeka (Lokal) 71,7

71,2

75,0

74,8

78,1

67,5

54,8

Total

100

100

100

100

100

100

100

Tren penurunan porsi penguasaan pembaca Grup Suara Merdeka
diikuti oleh tren peningkatan porsi penguasaan pasar Grup Kompas
Gramedia. Semenjak kehadiran Tribun Jateng milik Kompas Gramedia
tahun 2013, porsi penguasaan koran-koran Grup Suara Merdeka
menyusut. Pada kesempatan yang sama, penurunan porsi penguasaan
pembaca juga dialami oleh koran milik Grup Jawa Pos di Semarang
seperti Radar Semarang dan Meteor.
116

Bestian Nainggolan, Benteng Daerah :...

Persoalan yang agak mirip juga terjadi pada Kedaulatan Rakyat (PT
BP Kedaulatan Rakyat Yogyakarta). Grup media cetak yang dimotori oleh
kehadiran koran Kedaulatan Rakyat (27 September 1945) oleh pendirinya
HM. Samawi dan M. Wonohito, berkembang menjadi media cetak paling
berpengaruh di Yogyakarta. Secara horisontal, Grup Kedaulatan Rakyat
mendirikan Koran Merapi dan Minggu Pagi. Kini, dalam kepemimpinan
Nugroho Samawi, sekalipun masih menjadi pemimpin pasar di Yogyakarta
dan sekitarnya, Kedaulatan Rakyat bergulat menghadapi ancaman
penurunan porsi pasar pembaca koran (Tabel 8).
Tabel 8.
Pola Persaingan dan Penguasaan Pasar Pembaca Koran di Yogyakarta dan sekitarnya
No

Korporasi Media Cetak
 

Penguasaan Pasar Pembaca (%)
2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

1

Grup Kompas Gramedia

9,5

10,7

9,9

5,9

27,7

37,6

35,2

2

Grup Jawa Pos

9,3

5,7

11,7

3,3

2,9

2,4

3,4

3

Media Nasional Lainnya

1,8

1,6

5,8

1,7

2,0

1,6

4,3

4

Grup Kedaulatan Rakyat
(Lokal)

75,6

77,7

68,5

87,3

65,9

56,8

55,1

5

Bernas (Lokal)

3,8

4,3

4,2

1,7

1,5

1,6

2,1

Total

100

100

100

100

100

100

100

Penurunan porsi pasar Kedaulatan Rakyat juga disebabkan
oleh semakin membesarnya porsi penguasaan pasar Grup Kompas
Gramedia di Yogyakarta. Kehadiran Tribun sejak 11 April 2011, secara
signiikan meningkatkan porsi penguasaan Grup Kompas Gramedia di
Yogyakarta dari sekitar 6 persen (2011) setahun selanjutnya menjadi 27
persen. Saat ini, tidak kurang sudah sepertiga bagian porsi pembaca
koran di Yogyakarta dikuasai Grup Kompas Gramedia. Di sisi lain,
Grup Kedaulatan Rakyat yang sebelumnya mampu menguasai hingga
tiga perempat bagian pasar pembaca kini menyusut, menjadi 55 persen.

Penutup
Kajian ini menyimpulkan di tengah arus penetrasi kapital grup
media cetak nasional ke berbagai pasar pembaca daerah, tidak semua
mampu terkuasai. Beberapa korporasi media lokal di beberapa daerah,
khususnya Bali (Denpasar), Jawa Tengah (Semarang), DI Yogyakarta

117

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

(Yogyakarta), masih mampu menjadi penguasa pasar pembaca.
Namun, apa yang terjadi di Jakarta, Surabaya, Bandung, Makassar,
Medan, menjadi wilayah dimana penetrasi media cetak nasional
mampu mengambil alih penguasaan pasar pembaca lokal.
Dalam perspektif ekonomi politik, kondisi persaingan dan
penguasaan pasar daerah semacam ini memberikan implikasi
berbeda bagi prospek industri media cetak di negeri ini. Di satu sisi,
kemampuan grup korporasi media lokal mempertahankan pasar
pembaca daerah menunjukkan tidak semua kekuatan kapital media
nasional mampu mengambil alih pasar pembaca lokal. Media lokal,
dengan segenap kekuatan dan kelemahannya, masih menjadi bagian
dari sumber-sumber utama informasi di wilayah produksinya.
Masyarakat pembaca daerah sebagai konsumen informasi pun masih
menganggap proksimitas informasi (lokalitas) menjadi sisi penting
dalam pemenuhan kebutuhan informasi.
Pada sisi lain, ketidakmampuan grup korporasi media nasional
dalam menguasai pasar daerah menunjukkan masih terdapat peluang
keragaman produk-produk informasi yang tersedia di daerah. Kondisi
demikian potensial menguatkan terjadinya keragaman kepemilikan
media (external pluralism). Dengan keragaman kepemilikan media,
output (informasi) yang dihasilkan pun potensial menjadi semakin
beragam (internal pluralism), tidak hanya terpaku pada kepentingan
penguasa media. Keragaman semacam ini yang menjadi salah satu
esensi demokratisasi media dalam kehidupan masyarakat (Doyle,
2002).
Sekalipun prospek media lokal masih dapat terasakan, namun
tren peningkatan porsi penguasaan pasar korporasi media nasional
di berbagai daerah signiikan terlihat. Persoalan demikian menjadi
masalah pelik yang secara langsung mengancam eksistensi koran lokal
di negeri ini. Terlebih, dikaitkan dengan arus perubahan teknologi
komunikasi informasi yang signiikan mengubah pola penggunaan
medium informasi. Serikat Perusahaan Pers (SPS) memperkirakan
tahun 2017 ini, anggota SPS diperkirakan menyusut tinggal 400 media
cetak dari sekitar 500 anggota lima tahun lalu (Kompas, 30/6/2017).
Tumbangnya media cetak disebabkan pendapatan iklan media cetak
daerah menyusut hingga 40 persen, dan di sisi lain terjadi peralihan

118

Bestian Nainggolan, Benteng Daerah :...

iklan tersebut pada keberadaan media sosial. Artinya, media cetak
daerah tidak hanya terancam media nasional namun juga ancaman
perubahan medium informasi.
Di tengah berbagai tekanan yang dihadapi, menjadi semakin
menarik untuk diketahui seberapa jauh faktor lokalitas, baik dari sisi
kandungan nilai konten maupun model pengelolaan media yang
selama ini dirujuk sebagai kekuatan utama dari media-media cetak di
berbagai daerah, masih menjadi kekuatan yang signiikan menangkal
berbagai intervensi eksternal nasional maupun global. Pertanyaan
krusial yang menjadi keterbatasan dalam kajian ini membuka peluang
bagi kajian-kajian komprehensif lainnya.

119

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Datar Pustaka
Albarran, B Alan. (1996). Media Economics: Understanding Markets,
Industries and Concepts. Iowa: Iowa State University Press.
Dhakidae, Daniel. (1991). he State, he Rise of Capital and he Fall
of Political Journalism. Political Economy of Indonesian News
Industry. Disertasi Cornell University, tidak diterbitkan.
Dimmick, JW. (2003). Media Competition and Coexistence-he heory
of the Niche. London, Lawrence Erlbaum Associates.
Doyle, Gillian. (2002). Media Ownership: he Economics and Plitics of
Convergence and Concentration in the UK and European Media.
London: Sage Publications.
Fidler, Roger. (1997). Mediamorfosis: Understanding New Media.
housand Oaks, California, Pine Forge Press.
Knoche, Manfred. (1999). he Media Industry’s Structural Transformation
in Capitalism and he Role of the State: Media Economics in the Age
of Digital Communications. Triple C 14 (1): 1-47.
Lim, Merlyna, (2012). he League of hirteen Media Concentration in
Indonesia. Participatory Media Lab, Arizona State University &
Ford Foundation.
Luxemburg (2003). he Accumulation of Capital. London, Routledge.
Marx, Karl. (1992). Capital: A Critique of Political Economy: he Process
of Circulation of
Capital. Penguin Classics
Mosco, Vincent. (1996, 2009). he Political Economy of Communication.
London: Sage.
Nainggolan, Bestian (2015). Konglomerasi Media Nasional: Tipologi,
Konsentrasi, dan
Kompetisi Pasar, dalam Menegakkan Kedaulatan Komunikasi. Jakarta:
ISKI
Nielsen Media (2015, 1997). Media Scene 1997-2015. Jakarta: ITKP
Mediatama Advertising
Nugroho, Y., Putri, DA., Laksmi, S, (2012). Memetakan Lanskap Industri
Media Kontemporer di Indonesia (Edisi Bahasa Indonesia).
Laporan. Jakarta: CIPG dan HIVOS.
120

Bestian Nainggolan, Benteng Daerah :...

Picard, R.G, (1989). Media Economics. Beverly Hills: Sage.
Picard, R.G. (2009, 1988). Measures of Concentration in he Daily
Newspaper Industry.,
Journal of Media Economics, 1:1, 61-74.
Rogers, M.Everett. (1997). A History of Communication Study. A
Biographical Approach. New York:he Free Press.
Sen, Krishna; David T.Hill. (2000). Media, Culture and Politics in
Indonesia. Melbourne: Oxford University Press.
Young, D.P.T. (2000). Modelling Media Markets: How Important is
Market Structure? Journal of Media Economics, 13: 27-44.
Wirtz, BW. (2001). Reconiguration of Value Chains in Coverging Media
and Communication Market. Long Range Planning 34 (4): 489506.

121