HAK DAN KEWAJIBAN INDONESIA DI LANDAS KONTINEN

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 4:49:39 2017 / +0000 GMT

HAK DAN KEWAJIBAN INDONESIA DI LANDAS KONTINEN
LINK DOWNLOAD [27.03 KB]
HAK DAN KEWAJIBAN INDONESIA DI LANDAS KONTINEN
1. Hak melakukan explorasi dan eksploitasi
Berdasarkan pasal 2 Konvensi Hukum Laut 1958 tentang Landas Kontinen dan pasal 77 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982,
Indonesia mempunyai hak eksplorasi dan exploitasi di landas kontinen atas sumber kekayaan alamnya. Dalam hal ini landas
kontinen tidak dianggap sebagai wilayah negara Indonesia. Hak Indonesia di landas kontinen bersifat eksklusif, dalam arti apabila
Indonesia tidak mengeksplorasi dan mengeksploitasinya, tidak seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan tegas
dari Indonesia (KHL, 1982, pasal 7 ayat 2).
Untuk pengelolaan SDA di landas kontinen dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (4) KHL 1958 dan pasal 77 ayat (4) KHL 1982. Dalam
pasal 77 ayat (4) KHL 1982 secara lengkap menyatakan sumber kekayaan alam di landas kontinen sebagai berikut
? ? sumber kekayaan alam terdiri dari sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan non hayati lainnya pada dasar laut dan tanah
di bawahnya, bersama dengan organisme hidup yang tergolong jenis sedenter, yaitu organisme hidup yang pada tingkat yang sudah
dapat dipanen dengan tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak phisik tetap dengan dasar laut atau tanah di bawahnya?.
Menurut D.J. Harries, yang termasuk kepada sumber kekayaan mineral, seperti minyak dan gas bumi, sedangkan termasuk sumber
organisme hidup yang tergolong jenis sedenter, antara lain termasuk batu koral, bunga karang, tripang, tiram mutiara, kulit mutiara,
sacred dari India dan Ceylon, rumput laut dan trocus (D.J. Harris, Cases .., 1979, 383).
2. Hak membangun dan mempergunakan pulau-pulau buatan, instalasi- instalasi dan bangunan

Pasal 60 UNCLOS 1962 mengenai pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan di zona ekonomi eksklusif berlaku secara
mutatis mutandis di landas kontinen. Hak tersebut dinyatakan sebagai hak eksklusif negara pantai. Termasuk kedalam hak-hak ini,
yaitu yuridiksi (kewenangan) yang berkaitan dengan perundang-undangan bea cukai dan fiskal, kesehatan, keselamatan dan
imigrasi.
Selain hak berdaulat dan yuridiksi (kewenangan) tersebut, dalam pelaksanaan membangun dan mempergunakan pulau-pulau buatan,
instalasi- instalasi dan bangunan, negara pantai berkewajiban memperhatikan perlindungan lingkungan laut dan hak-hak serta
kewajiban negara lain, seperti pemasangan dan pemeliharaan pipa dan kabel bawah laut, instalasi dan juga untuk keselamatan
pelayaran maupun keselamatan pulau- pulau buatan. Untuk menjaga keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau- pulau
buatan, instalasi-instalasi dan bangunan dilandas kontinen, negara pantai berhak untuk menetapkan zona keselamatan di sekeliling
pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan. Penetapan zona keselamatan tidak boleh mengganggu penggunaan alur laut
yang diakui penting untuk pelayaran internasional.
Pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut tidak mempunyai status pulau dan tidak mempunyai laut teritorial sendiri. Apabila
ditinggalkan dan tidak dipakai lagi, untuk keselamatan pelayaran, negara pantai berkewajiban untuk membongkar pulau-pulau
buatan dan instalasi-instalasi dan bangunan itu. (pasal 60 ayat 7 dan 8). Demikian juga mengenai kewenangan eksklusif negara
pantai yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan bea-cukai dan fiskal, kesehatan, keselamatan dan keimigrasian tidak
berlaku untuk seluruh landas kontinen, tetapi hanya terbatas pada pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan di landas
kontinen
3. Kewajiban untuk menetapkan batas landas kontinen bagi negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan
Bagi negara-negara yang landas kontinennya berhadapan dan atau berdampingan dalam menetapkan garis batas landas kontinennya
harus ditetapkan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional sebagaimana tercantum dalam pasal 38 Statuta Mahkamah

Internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil (pasal 83 ayat 1). Konvensi memberikan pedoman persetujuan penetapan
garis batas tersebut harus dilandasi oleh pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, yang secara umum diakui sebagai sumber hukum
internasional, yaitu :
a. Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui
secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa;
b. Kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum;
c. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;
d. Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan
bagi penetapan kaedah-kaedah hukum.
Urutan ini biasanya diikuti dalam praktek. Perjanjian internasional yang bersifat umum maupun khusus, kebiasaan dan azas-azas
hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab lebih utama dibanding dengan keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 1/2 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 4:49:39 2017 / +0000 GMT

sarjana-sarjana hukum yang secara tegas dinyatakan sebagai sumber hukum tambahan. Diantara ketiga jenis sumber hukum yang

utama, biasanya yang diberi tempat pertama adalah perjanjian internasional umum maupun khusus yang secara tegas diterima oleh
negara-negara yang bersangkutan, tetapi jika tidak ada perjanjian internasional umum maupun khusus, maka akan dipakai hukum
kebiasaan, dan apabila tidak ada maka dipakai azas prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab. Jika ketiga kategori
tidak ada yang bisa diterapkan untuk menyelesaikan suatu persoalan maka akan digunakan keputusan-keputusan pengadilan.
Adakalanya terjadi tumpang tindih dalam penerapan instrumen, misalnya apabila suatu konvensi atau perjanjian internasional
memuat suatu ketentuan yang menyatakan hukum kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
bangsa-bangsa yang beradab sekaligus dikukuhkan oleh suatu perjanjian internasional atau hukum kebiasaan (Starke, In.., 979, 62).

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 2/2 |