PERBEDAAN PERILAKU PROSOSIAL REMAJA DITINJAU DARI GENDER.
PERBEDAAN PERILAKU PROSOSIAL REMAJA DITINJAU DARI GENDER
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata
Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
Izzati Khoirina B07211013
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA 2015
(2)
(3)
(4)
(5)
x INTISARI
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari gender. Penelitian ini merupakan penelitian komparasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala perilaku prososial. Subjek penelitian diambil dengan persentase maksimum yakni 25% dari jumlah populasi sebanyak 267 orang remaja yang tinggal didesa Brangkal kecamatan Sooko kabupaten Mojokerto, maka subjek yang diambil berjumlah 66 orang remaja yang terdiri dari 33 orang remaja perempuan dan 33 orang remaja laki-laki melalui teknik pengambilan sampling yaitu simple random sampling. Dan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari gender.
(6)
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine differences in prosocial behavior of adolescents in terms of gender. This study is a comparative study using data collection techniques such as prosocial behavior scale. Subjects were taken wiyh the maximum percentage of 25% of total population of 267 teenagers who live in villages Brangkal Sooko Mojokerto, then the subjects were taken totaling 66 teenagers consisting of 33 girls and 33 boys, the sampling technique is simple random sampling. And the result showed that there are differences in prosocial behavior of adolescents in terms of gender. Keywords : Prosocial Behavior, Adolescents, Gender.
(7)
v DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PENGESAHAN ...ii
HALAMAN PERNYATAAN ...iii
KATA PENGANTAR ...iv
DAFTAR ISI ...v
DAFTAR TABEL ...vii
DAFTAR GAMBAR ...viii
DAFTAR LAMPIRAN ...ix
INTISARI ...x
ABSTRACT ...xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Keaslian Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Prososial ... 10
1. Pengertian Perilaku Prososial ... 10
2. Aspek-Aspek Perilaku Prososial ... 11
3. Teori-Teori Perilaku Prososial ... 13
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial ... 16
5. Perilaku Prososial pada Remaja ... 21
B. Gender ... 24
1. Pengertian Gender ... 24
2. Stereotip Gender ... 27
3. Perspektif Teoritis tentang Gender ... 28
C. Perbedaan Perilaku Prososial ditinjau dari Gender ... 32
D. Kerangka Teoritis ... 34
E. Hipotesis ... 37
BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan definisi Operasional ... 38
1. Variabel ... 38
2. Definisi Operasional ... 38
B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ... 39
C. Teknik Pengumpulan Data ... 40
D. Validitas dan Reliabilitas ... 43
E. Analisis Data ... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek ... 46
B. Deskripsi dan Reliabilitas Data ... 47
1. Deskripsi Subjek ... 47
2. Reliabilitas Data ... 48
(8)
1. Uji Normalitas ... 49
2. Uji Homogenitas ... 50
3. Uji Hipotesis Mann-Whitney U ... 50
D. Pembahasan ... 51
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 55
B. Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 57
(9)
vii DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Blue Print Perilaku Prososial ... 42
Tabel 2 : Blue Print Skala Perilaku Prososial (Valid) ... 44
Tabel 3 : Hasil Uji Reliabilitas ... 45
Tabel 4 : Deksriptif Statistik Skor ... 48
Tabel 5 : Deskriptif Statistik Rataan dan Std.Deviasi ... 48
Tabel 6 : Hasil Uji Reliabilitas ... 49
(10)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain di sekitarnya. Dalam kehidupannya, manusia pasti membutuhkan bantuan orang lain baik orang terdekat seperti keluarga ataupun orang yang tidak dikenal, seperti halnya pada saat melihat orang yang kesusahan dijalan, maka orang yang melihatnya akan senantiasa menolong orang tersebut walaupun orang tersebut tidak saling mengenal satu sama lain.
Namun, dengan berkembangnya zaman pada saat ini, membuat rasa kepedulian terhadap orang lain mulai menurun. Manusia pada zaman sekarang lebih mementingkan dirinya sendiri dari pada orang lain dan lebih menggunakan konsep hidup menyenangkan diri sendiri dahulu baru orang lain. Oleh karena itu manusia menjadi individu yang egois dan individual, tidak memperdulikan apa yang dialami orang lain saat membutuhkan bantuan walaupun sebenarnya mampu untuk membantunya.
Menurut Hamidah (2003, dalam Frisnawati 2012) banyak orang cenderung egois dan berbuat untuk mendapatkan suatu imbalan (materi). Sikap ini menimbulkan ketidak pedulian terhadap lingkungan sosialnya. Di kota–kota besar, Individu menampakkan sikap materialistik, acuh pada lingkungan sekitar dan cenderung mengabaikan norma–norma yang tertanam sejak dulu. Terutama pada remaja-remaja zaman sekarang yang tidak lagi memperdulikan nilai–nilai dan norma–norma yang ada.
(11)
2
Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Remaja tidak termasuk golongan anak, tetapi remaja tidak pula termasuk golongan orang dewasa. Remaja ada diantara anak dan orang dewasa (Monks, 2006). Oleh karena itu, masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak–kanak ke masa dewasa. Remaja juga merupakan golongan masyarakat yang mudah terkena pengaruh dari luar. Hal ini tampak pada kecenderungan untuk lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Jadi, tidaklah mengherankan apabila di kota–kota besar nilai–nilai pengabdian, kesetiakawanan dan tolong menolong mengalami penurunan sehingga yang nampak adalah perwujudan kepentingan diri sendiri dan rasa individualis. Ini memungkinkan orang tidak lagi mempedulikan orang lain dengan kata lain enggan untuk melakukan tindakan prososial.
Baron & Byrne (2005) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong.
Faktor yang mempengaruhi perilaku prososial salah satunya yaitu gender. Zahn–Waxler dan Smith (2000, dalam Retnaningsih, 2005) mengatakan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan lebih banyak menunjukkan perilaku prososial dan empati terhadap orang lain dibandingkan anak laki–laki. Pada usia sekolah, dibandingkan anak laki–laki, anak perempuan mengalami peningkatan perilaku prososial dan penalaran moralnya, yang menunjukkan lebih banyak memiliki kapasitas untuk bersikap empati. Bentuk pertolongan yang
(12)
3
dilakukan perempuan adalah memberi perawatan. Secara umum, peran sosial perempuan cenderung menekankan bentuk perilaku prososial pengasuhan, seperti merawat anak kecil, menghibur teman, atau berbicara dengan orang jompo di klinik. Riset menemukan bahwa perempuan lebih cenderung memberikan bantuan personal kepada kawan dan cenderung memberi nasihat untuk mengatasi problem personal. Studi–studi juga telah meneliti dukungan sosial, bantuan, nasihat dan dorongan emosional kepada kawan dan relasi. Secara umum, perempuan lebih mungkin ketimbang laki–laki untuk memberi dukungan sosial. Terakhir, perempuan lebih mungkin ketimbang laki–laki untuk memberi perawatan pada keluarga, mengambil tanggung jawab merawat anak dan orang tua (Taylor, 2009).
Namun berdasarkan hasil observasi, peneliti menemukan bahwa laki–laki cenderung lebih banyak melakukan perilaku prososial daripada perempuan, seperti ketika terjadi kecelakaan motor yang di serempet oleh bus mandala yang terjadi dijalan raya Brangkal kecamatan Sooko kabupaten Mojokerto, kebanyakan orang yang menolong korban kecelakaan tersebut adalah orang laki–laki padahal tidak sedikit perempuan yang berada dilokasi kecelakaan tersebut. Dan dari data yang terdapat pada koran Radar Mojokerto pada hari selasa tanggal 1 April 2014, juga terdapat kecelakaan yang terjadi di Desa Sendi, Kecamatan Pacet. Pada kejadian tersebut yang menjadi relawan SAR adalah seorang laki–laki bernama Didik Sudarsono (rudi/niki, 2014). Selain menolong secara fisik laki–laki juga bisa menolong seseorang secara psikis, dari hasil pembicaraan peneliti dengan beberapa orang, menyatakan bahwa tidak sedikit laki–laki yang mampu memberikan bantuan secara emosional berupa nasihat, dukungan social, ataupun
(13)
4
memberikan solusi–solusi untuk sebuah masalah baik secara personal atau organisasi. Melihat fenomena tersebut dapat dijadikan bukti bahwa kecenderungan melakukan perilaku prososial ada pada seorang laki–laki. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Latane (1975, dalam Taylor, 2009), ditemukan secara konsisten menunjukkan bahwa laki–laki lebih cenderung memberi pertolongan pada perempuan yang mengalami kesulitan, meskipun perempuan pada semua umur mempunyai empati yang lebih tinggi daripada laki– laki. Ada kalanya laki–laki lebih cenderung menolong perempuan seperti ketika dijalan terlihat perempuan mengalami kesuliatan karena motor yang dikendarai mogok, maka kebanyakan yang menolong adalah laki–laki dan ada kalanya perempuan lebih cenderung menolong laki–laki seperti ketika mengerjakan tugas– tugas sekolah atau kuliah laki–laki cenderung meminta bantuan pada perempuan jadi kecenderungan berperilaku prososial tersebut tergantung pada suasana dan kondisi lingkungan.
Dari beberapa penelitian yang ada, menjelaskan bahwa perempuan lebih cenderung melakukan perilaku prososial. Selain itu, pada penelitian lainnya juga dijelaskan bahwa laki–laki lebih banyak berperilaku prososial, namun pada fenomena–fenomena yang terjadi, laki–laki cenderung lebih banyak melakukan perilaku prososial. Hal tersebut juga terjadi pada remaja–remaja di Desa Brangkal Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto, terutama anggota karang taruna didesa Brangkal sebagian besar anggotanya didominasi oleh laki-laki, karang taruna Brangkal mempunyai agenda baksos yaitu dengan turut membantu dalam kerja bakti desa dan melakukan penggalangan dana yang diberikan kepada orang-orang
(14)
5
tidak mampu baik dalam atau luar desa dan yang banyak membantu dalam merencanakan atau melakukan kegiatan tersebut adalah laki-laki sedangkan perempuan hanya sebagian kecil yang ikut andil dalam kegiatan tersebut.
Selain itu, di jalan raya Brangkal tersebut juga sering sekali terjadi kecelakaan baik kecelakaan besar atau kecelakaan kecil dan yang selalu siap menolong korban tersebut adalah warga dari desa Brangkal walaupun terkadang kecelakaan tersebut ada diperbatasan desa. Dari permasalahan tersebut dan adanya perbedaan pendapat dari beberapa penelitian yang ada tentang kecenderungan berperilaku prososial apabila dilihat dari gender, maka peneliti ingin meneliti tentang “Perbedaan Perilaku Prososial Remaja ditinjau dari Gender”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang dijadikan rumusan masalah adalah “Apakah terdapat perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari gender?”.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari gender.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu psikologi, khususnya Psikologi Sosial mengenai perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari gender.
(15)
6
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada masyarakat terutama remaja agar tidak melihat pada gender seseorang ketika akan melakukan perilaku prososial.
E. Keaslian Penelitian
Dari Hasil penelitian yang terdapat pada jurnal berjudul Perilaku Prososial ditinjau dari Empati dan Kematangan Emosi oleh Asih & Shinta (2010) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan skor prososial antara laki-laki dan perempuan, sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan stereotype tidak menyebabkan perbedaan dalam perilaku prososial. Perilaku prososial antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda karena dalam hal-hal tertentu perempuan lebih mudah memberikan pertolongan, namun pada situasi yang lain perempuan lebih mudah bereaksi untuk memberikan pertolongan.
Berbeda dengan hasil penelitian Retnaningsih (2005) yang berjudul Peranan Kualitas Attachment, Usia dan Gender pada Perilaku Prososial yang menyatakan bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam perilaku berbagi dan menolong antara perempuan dan laki–laki ini, sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya. Menurut meta analisis terhadap sejumlah penelitian yang dilakukan, perbedaan gender dalam perilaku prososial sangat tergantung pada bentuk perilaku prososial yang ingin dilihat. Dan adanya perbedaan yang signifikan dalam bekerjasama antara laki–laki dan perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan laki–laki, kemungkinan dikarenakan masih kuatnya tuntutan peran gender yang ada pada masyarakat terhadap perempuan dan laki–laki.
(16)
7
Dan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Utomo (2010) pada jurnal yang berjudul Intensi Perilaku Prososial Anak ditinjau dari Gaya Pengasuhan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan, terutama pada pengasuhan otoritatif dengan pengasuhan otoriter, sedangkan pengasuhan permisif indeferen dan pngasuhan permisif indugen berada di atas pengasuhan otoriter namun masih dibawah pengasuhan otoritatif.
Pada jurnal penelitian yang berjudul Hubungan antara Intensitas Menonton Reality Show dengan Kecenderungan Perilaku Prososial pada Remaja yang ditulis oleh Fisnawati (2012), menyatakan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara antara intensitas menonton reality show dengan kecenderungan perilaku prososial pada remaja.
Jurnal penelitian yang berjudul Kematangan Emosi, Religiusitas dan Perilaku Prososial Perawat di Rumah Sakit oleh Haryati (2013) mendapatkan hasil penelitian sebagai berikut : Pertama, ada hubungan positif dan signifikan antara kematangan emosi dan religiusitas dengan periaku prososial perawat di Rumah Sakit. Kedua, ada hubungan positif dan signifikan antara kematangan emosi dengan perilaku prososial perawat di Rumah Sakit. Ketiga, ada hubungan positif dan signifikan antara religiusitas dengan perilaku prososial perawat di Rumah Sakit.
Sedangakan hasil penelitian dari jurnal Hapsari & Herdiana (2013) dengan judul Hubungan antara Self–Esteem dengan Intensitas Perilaku Prososial Donor Darah pada Donor di Unit Donor Darah PMI Surabaya, diperoleh hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan yang signifikan
(17)
8
antara self-esteem dengan intensi perilaku prososial donor darah pada donor di Unit Donor Darah PMI Surabaya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prot, Gentile, dan Anderson (2014) dalam jurnal penelitian yang berjudul Long–Term Relations Among Prososial– Media Use, Empathy, and Prososial Behavior menyatakan bahwa penggunaan video game mempunyai pengaruh yang signifikan dalam perilaku membantu, dan hubungan antara penggunaan video game dengan perilaku menolong dimediasi oleh sikap empati.
Jurnal penelitian yang berjudul Influence of Gender, Spiritual Involvement/Belief and Emotional Stability on Prosocial Behavior among Some Nigerian Drivers oleh Ayooluwa dan Oyetunji (2014), menyatakan penelitian ini meneliti sejauh mana stabilitas emosional (Tinggi dan Rendah), keterlibatan spiritual dan keyakinan (Tinggi dan Rendah) dan perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan Perempuan) mempengaruhi perilaku prososial antara driver di Ondo Negara. Hasil dari menelitian ini menunjukkan bahwa driver yang mempunyai keyakinan spiritual yang tinggi mempunyai perilaku prososial yang tinggi dibandingkan dengan yang mempunyai tingkat keyakinan spiritual rendah. Kestabilan emosi juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku prososial. Namun, jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku prososial antara Drivers. Tidak ada efek interaksi yang signifikan antara variabel– variabel ini dan perilaku prososial.
Dan pada jurnal penelitian yang berjudul Prosocial Behavior in Different Situations among Men and Women yang dilakukan oleh Iqbal (2013),
(18)
9
menghasilkan bahwa lebih banyak orang akan membantu secara tidak langsung dari pada langsung dan hanya beberapa orang tidak akan membantu dalam semua situasi. Hal itu juga menunjukkan bahwa perilaku menolong akan berbeda dari situasi ke situasi yang lain. Sedangkan tidak ada perbedaan yang ditemukan antara laki-laki dan perempuan (menikah atau belum menikah) yang akan membantu secara langsung maupun tidak langsung.
Dari beberapa penelitian yang sudah ada tentang perilaku prososial, maka peneliti tertarik untuk meneliti kembali tentang perbedaan perilaku prososial apabila ditinjau dari gender. Namun yang membedakan antara penelitian– penelitian yang sudah ada dengan penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu dari subjek penelitian, lokasi penelitian dan juga metode yang digunakan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan alat ukur berupa skala yang akan diberikan kepada beberapa subjek yang berusia antara 15–18 tahun atau pada usia remaja tengah.
(19)
10 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Perilaku Prososial
1. Pengertian Perilaku Prososial
Sears, Jhonathan, Anne (1994), berpendapat perilaku prososial adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan sendiri tanpa mengharapkan sesuatu dari si penolong itu sendiri. Perilaku prososial merupakan bagian dari kehidupan sehari–hari. Tingkah laku prososial adalah tindakan yang memiliki sifat–sifat positif bagi orang lain. Psikolog biasanya menggunakan istilah tingkah laku yang mementingkan orang lain, selain istilah itu tindakan yang membantu orang lain juga menunjukkan bantuan yang diberikan pada orang lain tanpa mengharapkan keinginan–keinginan untuk diri sendiri.
Definisi dalam konteks psikologi sosial menyebutkan definisi prososial sebagai suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut. Istilah altruisme sering digunakan secara bergantian dengan prososial, tapi altruisme yang sebenarnya adalah hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri (Sarwono, 2002).
Selain itu, William (1996, dalam Dayakisni & Hudaniah, 2001) membatasi perilaku prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensitas untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis
(20)
11
penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis.
Taylor (2009) mengungkapkan bahwa perilaku prososial mencakup setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong. Perilaku prososial dipengaruhi oleh tipe relasi antar–orang, antara lain keran suka, merasa kewajiban, memiliki pamrih, atau empati, seseorang biasanya lebih sering membantu orang yang dikenal daripada orang yang tidak dikenal. Meskipun demikian, memberi pertolongan kepada orang asing juga bukanlah hal yang jarang terjadi.
Menurut Baron & Byrne (2005), tingkah laku prososial adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan mlibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong.
Berdasarkan uraian diatas, penulis mengambil sebuah pengertian bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong tanpa mengharapkan imbalan yang dapat menguntungkan orang lain dan dimotivasi oleh kepentingan sendiri, sehingga memiliki sifat–sifat positif bagi orang lain baik secara fisik maupun secara psikis.
2. Aspek–Aspek Perilaku Prososial
Menurut Mussen (1989, dalam Asih, 2010) menyatakan bahwa aspek-aspek perilaku prososial meliputi : (1) Berbagi, kesediaan untuk
(21)
12
berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka dan duka. (2) Kerjasama, kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan. (3) Menolong, kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang berada dalam kesulitan. (4) Bertindak jujur, kesediaan untuk melakukan sesuatu seperti apa adanya, tidak berbuat curang. (5) Berderma, kesediaan untuk memberikan sukarela sebagian barang miliknya kepada orang yang membutuhkan.
Bringham (1991, dalam Asih, 2010) menyatakan aspek–aspek dari perilaku prososial adalah : (1) Persahabatan, kesediaan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan orang lain. (2) Kerjasama, kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain demi tercapai suatu tujuan. (3) Menolong, kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang berada dalam kesulitan. (4) Bertindak jujur, kesediaan untuk melakukan sesuatu seperti apa adanya, tidak berbuat curang. (5) Berderma, kesediaan untuk memberikan sukarela sebagian barang miliknya kepada orang yang membutuhkan.
Jadi, aspek–aspek perilaku prososial adalah berbagi, kerjasama, menolong, bertindak jujur, menderma, dan persahabatan. Dan aspek–aspek yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah aspek-aspek yang dikemukakan oleh Mussen antara lain: berbagi, kerjasama, menolong, bertindak jujur, dan menderma.
(22)
13
3. Teori–teori Perilaku Prososial
Perilaku prososial mencakup kategori yang lebih luas. Ia dapat mencakup segala bentuk tindakan yang dilakukan atau di rencanakan untuk menolong orang lain, tanpa memerdulikan motif–motif si penolong. Beberapa teori untuk menjawab pertanyaan diatas telah di kemukakan oeh para ahli.
a. Teori Sosiobiologi
Teori ini mengemukakan bahwa keputusan untuk menolong merupakan bagian dari warisan genetik seseorang yang evolusioner, oleh karena itu teori ini disebut juga teori evolusi. Teori ini digagas pertama kali oleh Charles Darwin. Darwin (dalam Mahmudah, 2011) mengemukakan bahwa kelinci akan membuat keributan dengan kaki belakangnya untuk memperingatkan hewan lain tentang adanya predator.
Menurut Batson (1999, dalam Taylor, 2009) pendapat bahwa tindakan membantu orang lain secara genetik adalah bagian dari sifat manusia merupakan pendapat yang masih kontroversial. Belum jelas bagaimana teori ini bisa diaplikasikan untuk manusia. Meskipun demikian, teori ini menunjukkan kemungkinan bahwa pemeliharaan diri tidak selalu merupakan motif utama. Disposisi ke arah sikap mementingkan diri dan agresi mungkin berdampingan dengan disposisi biologis ke arah sikap membantu dan merawat orang lain.
(23)
14
b. Teori Sosiokultural
Donald Campbell juga menamai teori ini dengan teori evolusi sosial yaitu perkembangan histori kultur manusia. Campbell (dalam Sears, dkk., 1994) mengemukakan bahwa evolusi genetik bisa membantu menjelaskan beberapa perilaku prososial dasar seperti pengasuhan orang tua, namun tidak berlaku untuk contoh ekstrim seperti aksi membantu orang asing yang sedang kesulitan. Menurut pandangan ini, secara bertahap dan selektif masyarakat manusia mengembangkan keterampilan, keyakinan, dan teknologi yang menunjang kesejahteraan kelompok tersebut. Karena pada umumnya bermanfaat bagi masyarakat, perilaku prososial menjadi bagian dari aturan atau norma sosial. Tiga norma yang penting bagi perilaku prososial adalah :
1) Norma tanggung jawab sosial
Norma tanggung jawab sosial menentukan bahwa seharusnya seseorang membantu orang lain yang bergantung pada seseorang. 2) Norma saling ketimbal balikan
Norma timbal balik menyatakan bahwa seseorang harus menolong orang yang menolong seseorang tersebut.
3) Keadilan sosial
Kelompok manusia juga mengembangkan norma keadilan sosial. Salah satu prinsip keadilan adalah kesamaan. Menurut
(24)
15
prinsip ini, dua orang yang memberikan andil yang sama dalam suatu tugas harus menerima ganjaran yang sama.
c. Teori Belajar
Teori belajar menjelaskan bahwa perilaku sosial dapat disebabkan oleh adanya proses belajar. Dalam masa perkembangan, misalnya anak mempelajari norma masyarakatnya tentang tindakan menolong. Hal ini juga diungkapkan oleh Fischer (dalam Sears, dkk., 1994) bahwa anak akan membantu dan member labih banyak bila anak tersebut mendapatkan ganjaran karena melakukan perilaku prososial.
Dalam konteks pembelajaran ini, hal yang penting adalah faktor efek reward. Albert Bandura mengaplikasikan pendekatan ini ke perilaku sosial dengan nama social learning theory (teori belajar sosial). Terdapat tiga mekanisme umum pada terjadinya proses belajar, yaitu asosiasi atau pengkondisian klasik, reinforcement (penguatan), dan observational learning (belajar observasional).
Orang juga belajar melalui modeling yaitu mengamati orang lain yang memberi pertolongan seperti seorang anak yang sering melihat orang tua memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan maka anak tersebut akan melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh orang tua tersebut (Taylor, 2009).
Seseorang melakukan perilaku prososial berdasarkan pada beberapa teori, yang pertama yaitu teori sosiobiologi atau disebut juga teori evolusi yaitu suatu tindakan timbul karena gen, kedua yaitu teori
(25)
16
sosiokultural atau teori evolusi sosial yang artinya segala perilaku ada karena kultural atau budaya, dan yang ketiga yaitu teori belajar merupakan teori yang menekankan pada efek reward (imbalan) dan punishment (hukuman), selain itu proses belajar juga dilakukan melalui modeling (mengamati orang lain dan kemudian diikuti).
4. Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku prososial di dalam masyarakat, antara lain seperti yang diungkap oleh Sears, dkk. (1994) bahwa faktor yang mempengaruhi tingkah laku prososial, yaitu :
a. Faktor situasi, meliputi : 1) Kehadiran orang lain
Kehadiran orang lain kadang–kadang dapat menghambat usaha untuk menolong, karena kehadiran orang yang begitu banyak menyebabkan terjadinya penyebaran tanggung jawab.
2) Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan juga mempengaruhi kesediaan untuk membantu. Keadaan lingkungan fisik ini meliputi : cuaca, ukuran kota dan derajat kebisingan.
3) Tekanan waktu
Penelitian Darley dan Batson (1999) membuktikan bahwa kadang–kadang seseorang berada dalam keadaan tergesa untuk menolong. Keadaan ini menekan subyek untuk tidak melakukan
(26)
17
tindakan menolong, karena memperhatikan keuntungan dan kerugian.
b. Faktor karakteristik penolong, meliputi : 1) Kepribadian
Kepribadian tiap individu berbeda–beda, ada yang mempunyai kebutuhan tinggi untuk dapat diakui oleh lingkungannya, dan ada yang mempunyai kebutuhan untuk menjadi pengasuh.
2) Suasana hati
Bila suasana hati yang buruk menyebabkan seseorang memusatkan perhatian pada diri sendiri dan kebutuhan diri sendiri, maka keadaan itu akan mengurangi kemungkinan untuk membantu orang lain.
3) Rasa bersalah
Rasa bersalah merupakan perasaan gelisah yang timbul bila seseorang melakukan sesuatu yang di anggap salah.
4) Distress diri dan rasa empatik
Distress diri adalah reaksi pribadi seseorang terhadap penderitaan orang lain, perasaan cemas, prihatin, tidak berdaya, atau perasaan apapun yang di alami.
Empatik adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagai pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.
(27)
18
c. Faktor orang yang membutuhkan pertolongan, meliputi : 1) Menolong orang yang disukai
Sebenarnya rasa suka individu terhadap orang lain dipengaruhi oleh beberapa factor seperti daya tarik fisik dan kesamaan.
2) Menolong orang yang pantas ditolong
Individu lebih cenderung menolong orang lain bila individu yakin bahwa penyebab timbulnya masalah berbeda diluar kendali orang tersebut.
Jadi faktor yang mempengaruhi perilaku prososial ada tiga, yaitu faktor situasi, faktor karakteristik penolong, dan faktor orang yang membutuhkan pertolongan.
Menurut Sarwono (2002) mengungkapkan bahwa faktor–faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, yaitu :
a. Pengaruh faktor situasional
1) Bystander
Orang–orang yang berada disekitar kejadian mempunyai peran sangat besar dalam memengaruhi seseorang saat memutuskan antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan darurat.
(28)
19
2) Daya tarik
Seseorang mengevaluasi korban secara positif (memiliki daya tarik) akan memengaruhi kesediaan orang untuk memberikan bantuan.
3) Atribusi terhadap korban
Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain bila ia mengasumsikan bahwa ketidak beruntungan korban adalah di luar kendali korban.
4) Ada model
Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain.
5) Desakan waktu
Orang yang sibuk dan tergesa–gesa cenderung tidak menolong, sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar kemungkinannya untuk memberikan pertolongan kepada yang memerlukannya.
6) Sifat kebutuhan korban
Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejellasan bahwa korban benar–benar membutuhkan pertolongan, korban memang layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan, dan bukanlah tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan bantuan dari orang lain.
(29)
20
b. Pengaruh Faktor dalam Diri 1) Suasana hati
Emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungannya untuk menolong. Emosi positif secara umum dapat meningkatkan tingkah laku menolong, dan sebaliknya emosi negative atau seseorang yang sedang sedih kemungkinan menolong lebih kecil. 2) Sifat
Karakteristik seseorang dapat mempengaruhi kecenderungan menolong orang lain. Beberapa penelitian membuktikan terdapat hubungan antara karakteristik seseorang dengan kecenderungan untuk menolong.
3) Jenis kelamin/gender
Peranan gender (jenis kelamin) terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki cenderung terlibat untuk menolong dalam situasi yang membahayakan, misalnya menolong kebakaran. Sedangkan perempuan cenderung menolong pada situasi yang bersifat member dukungan emosi, merawat, dan mengasuh. Jadi, laki–laki dan perempuan mempunyai kecenderungan masing-masing untuk memberikan pertolongan terhadap korban.
(30)
21
4) Tempat tinggal
Orang yang tinggal didaerah pedesaan cenderung lebih penolong daripada orang yang tinggal di daerah perkotaan.
5) Pola asuh
Pola asuh yang demokratis secara signifikan memfasilitasi adanya kecenderungan anak untuk tumbuh menjadi seorang yang mau menolong.
Dari beberapa pendapat para ahli tentang faktor–faktor yang meempengaruhi perilaku prososial diatas, terdapat dua faktor yaitu faktor situasional yang terdiri dari bystander, daya tarik, atribusi terhadap korban, ada model, desakan waktu, sifat kebutuhan korban. Dan juga faktor dalam diri antara lain suasana hati, sifat, jenis kelamin/gender, tempat tinggal, pola asuh. Dari beberapa faktor tersebut peneliti memfokuskan penelitian ini pada fakor gender karena dalam menolong seseorang akan melihat situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan, oleh karena itu faktor gender berpengaruh dalam hal menolong.
5. Perilaku Prososial pada Remaja
Remaja merupakan suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi kedalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar (Ali & Asrori, 2006). Gunarsa dan Gunarsa (1991) membatasi usia remaja antara 11–21 tahun. Rentang usia tersebut dikelompokkan dalam tiga tahap perkembangan, yaitu :
(31)
22
a. Usia 11–15 tahun merupakan masa persiapan fisik atau masa pubertas.
b. Usia 15–18 tahun merupakan masa persiapan diri atau masa remaja tengah.
c. Usia 18–21 tahun merupakan masa persiapan dewasa atau masa remaja akhir.
Dari uraian diatas, dapat diambil pengertian bahwa remaja adalah masa transisi dari anak–anak menjadi dewasa yang berlangsung dari usia 11–21 tahun. Kategori remaja yang dipakai dalam penelitian ini adalah remaja tengah yang dalam teori ditunjukkan pada usia 15–18 tahun. Pada masa ini mereka cenderung untuk memilih teman yang sifat–sifatnya sama dengan dirinya.
Selain dalam hal memilih-milih teman, remaja juga cenderung berfikir dua kali untuk menolong orang lain karena pada umumnya remaja mempunyai sifat yang egois, berbeda halnya pada masa anak-anak atau dewasa. Pada masa anak-anak, seorang anak berperilaku prososial berdasarkan reward dan panisment yang diberikan oleh orang tua atau berdasarkan pada model yang dilihatnya, sedangkan pada masa dewasa, seseorang akan merasa lebih mempunyai tanggung jawab dalam berperilaku menolong orang lain.
Walaupun remaja seringkali digambarkan sebagai seseorang yang egois atau mementingkan diri sendiri, namun tingkah laku prososial pada remaja cukup banyak seperti remaja-remaja yang melakukan
(32)
23
penggalangan dana untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Selain itu, banyak organisasi-organisasi remaja di Indonesia yang bertujuan untuk menghimpun tenaga remaja dan menyalurkan ke dalam kesibukan yang produktif yaitu dengan memberikan sumbangan dalam pembangunan negara, juga berfungsi sebagai pengembangan sikap sosial remaja (Monks, 2006).
Adapun kondisi yang biasanya melibatkan perilaku prososial oleh remaja adalah emosi empati atau simpati terhadap orang lain yang membutuhkan atau adanya hubungan yang dekat antara si pemberi dan penerima. Selain itu, timbal balik juga mendorong remaja melakukan sesuatu yang remaja tersebut ingin orang lain juga melakukan hal yang sama terhadap remaja tersebut. Remaja juga merupakan individu yang yang dipengaruhi oleh orang lain terutama teman sebaya termasuk dalam hal menolong, dalam suatu penelitian menemukan bahwa pertolongan yang datang dari luar, terutama dari teman-teman, akan membantu orang yang terluka melihat suatu masalah dengan lebih jelas dan kemudian mau memaafkan.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Emerson bahwa pengertian mengenai yang baik, buruk, lebih baik, dan lebih buruk tak lebih dari sekedar menolong atau menyakiti. Dengan mengembangkan kapasitas remaja dalam empati dan perilaku prososial, Amerika menjadi sebuah negara yang berisi orang-orang baik yang menolong daripada menyakiti (Santrock, 2003).
(33)
24
Berdasarkan pembahasan diatas, maka peneliti menyatakan bahwa perilaku prososial pada remaja adalah suatu tindakan menolong tanpa mengharapkan imbalan yang dapat menguntungkan orang lain dan dimotivasi oleh kepentingan sendiri yang dilakukan oleh remaja usia 11– 21 tahun dan dipengaruhi oleh adanya hubungan dekat antara si pemberi dan penerima, hubungan timbal balik, dan juga tekanan dari teman sebaya, sehingga mempunyai sifat–sifat yang positif bagi orang lain baik secara fisik maupun secara psikis.
B. Gender
1. Pengertian gender
Menurut Baron & Byrne (2003) gender adalah atribut, tingkah laku, karakteristik kepribadian, dan harapan yang berhubungan dengan jenis kelamin biologis seseorang dalam budaya yang berlaku.
Taylor, (2009) menyatakan bahwa gender adalah salah satu kategori paling dasar dalam kehidupan sosial. Proses mengkategorisasikan orang dan sesuatu menjadi maskulin atau feminim dinamakan gender typing (penjenisan gender). Proses ini biasanya secara otomatis, tanpa banyak pemikiran mendalam. Petunjuk tentang gender dapat dengan mudah dikenali dari karakteristik fisik seperti rambut di wajah, dada, atau gaya busana. Orang biasanya menampilkan gendernya sebagai bagian utama dari presentasi diri.
Menurut Fakih (2001) gender dibangun berdasarkan konstruksi sosial maupun kultural manusia. Perbedaan gender disosialisasikan dan
(34)
25
dikuatkan melalui pembelajaran lingkungan. Pembelajaran tersebut dibentuk, diperkuat, disosialisasikan bahkan dikontruksikan secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Adapun inti dari pembelajaran sosial itu adalah menempatkan laki–laki dan perempuan dalam wilayah yang berbeda, sehingga dicitrakan dalam penampilan berbeda pula. Laki–laki dicitrakan dalam sifat maskulin sementara perempuan dalam penampilan feminin. Pembelajaran sosial tersebut merupakan konstrusi sosial yang secara terus menerus terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama dan terjaddi dalam semua bidang kehidupan.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, misalnya laki– laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina. Artinya secara biologis alat–alat tersebut tidak dapat dipertukarkan antara laki–laki dan perempuan.
Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki–laki maupun perempuan yang dikonstrusi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan, sedangakn laki–laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat–sifat yang dapat dipertukarkan dalam artian ada laki–laki
(35)
26
yang emosional, lemah lembut, keibuan, dan ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa (Fakih, 2001).
Istilah jenis kelamin dan gender sering kali digunakan bergantian, namun pada hakikatnya kedua istilah tersebut berbeda. Jenis kelamin didefinisikan sebagai istilah biologis berdasarkan perbedaan anatomi dan fisik antara laki–laki dan perempuan. Gender merujuk pada segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin individu, termasuk peran, tingkah laku, kecenderungan, dan atribut lain yang mendefinisikan arti menjadi seorang laki–laki atau perempuan dalam kebudayaan yang ada. Barbara Mackoff menyatakan “…perbedaan terbesar antara perempuan dan laki– laki adalah dalam cara kita memperlakukan mereka”. Seluruh atribut lainnya mungkin berdasarkan determinan biologis (seperti ada atau tidak adanya kumis).
Setiap orang memiliki identitas gender (gender identity) yaitu bagian kunci dari konsep diri dalam label sebagai “laki–laki” atau “perempuan”. Pada sebagian besar orang, jenis kelamin biologis dan identitas gender berkorespondensi, walaupun proporsinya kecil dalam populasi, identitas gender mereka berbeda dari jenis kelamin mereka. Walaupun telah lama diyakini bahwa perbedaan paling nyata antara laki– laki dan perempuan adalah faktor biologis, berbagai penelitian menunjukkan secara meyakinkan bahwa berbagai karakteristik tipikal maskulin dan feminin ternyata dipelajari. Teori skema gender (gender
(36)
27
untuk mengorganisasikan informasi tentang self atas dasar definisi budaya pada atribut laki–laki dan perempuan yang sesuai (Baron & Byrne, 2003).
2. Stereotip Gender
Menurut Waters dan Ellis (2001, dalam Widyatama, 2006) gender merupakan kategori dasar dalam budaya, yaitu sebagai proses dengan identifikasi tidak hanya orang, tapi juga perbendaharaan kata, pola bicara, sikap dan perilaku, tujuan, dan aktifitas seperti maskulinitas atau feminitas. Berbagai perbedaan itu akhirnya memunculkan stereotip tertentu yang disebut dengan stereotip gender. Selain itu, Soemandoyo juga menyatakan bahwa kata stereotip berarti citra baku. Citra baku merupakan gambaran atau imajinasi yang seolah–olah menetap, khas, dan tidak berubah–ubah.
Stereotip gender juga bisa diartikan sebagai gambaran laki–laki dan perempuan yang khas, tidak berubah–ubah, klise, seringkali timpang, dan tidak benar. Stereotip tersebut bersumber dari pola piker manusia.
Menurut Baron & Byrne (2003) stereotip gender adalah keyakinan tentang atribut khas laki–laki dan perempuan. Semua stereotip, apakah berdasarkan jenis kelamin, bangsa, suku bangsa, atau pengelompokan lainnya, memberikan gambaran mengenai ciri–ciri dari anggota suatu kategori sosial. Di samping itu, terdapat suatu pembedaan yang bermanfaat antara stereotip budaya dan pribadi.
a. Stereotip budaya
Keyakinan tentang jenis kelamin yang dikomunikasikan melalui media massa, agama, seni, dan literature (sastra) disebut
(37)
28
stereotip budaya. Riset yang dilakukan oleh Deaux & LaFrance (1998, dalam Sears, dkk., 1994) menunjukkan bahwa pria umumnya dinilai lebih tinggi ketimbang wanita dalam hal ciri–ciri yang berhubungan dengan kompetensi dan keahlian, seperti kepemimpinan, objektivitas, dan independensi. Sebaliknya, wanita biasanya dinilai lebih tinggi dalam ciri–ciri yang berhubungan dengan kehangatan dan ekspresi, seperti kelembutan dan kepekaan terhadap perasaan orang lain.
b. Stereotip pribadi
Stereotip pribadi adalah keyakinan unik seseorang tentang atribut kelompok orang, seperti kelompok perempuan dan laki-laki. Individu membentuk stereotip pribadi, paling tidak melalui dua cara yang berbeda, yaitu :
1) Cara dimana individu berpikir tentang gender adalah dalam hubungannya dengan sifat–sifat kepribadian umum yang merupakan kekhasaan masing–masing jenis kelamin. Pada umumnya seseorang memiliki keyakinan mengenai gambaran menyeluruh yang membedakan laki-laki dan perempuan.
2) Cara kedua yang digunakan orang berpikir mengenai gender adalah dengan mengembangkan gambaran–gambaran tentang bermacam– macam tipe laki-laki dan perempuan.
3. Perspektif Teoritis tentang Gender
Penyebab perbedaan gender dalam hal kemampuan matematika mungkin berbeda dari penyebab perbedaan gender dalam perilaku
(38)
29
menolong orang atau dalam tindak kekerasan fisik. Empat perspektif umum tentang asal usul pada gender berdasarkan pada faktor biologi, sosialisasi, peran sosial, dan stuasi sosial.
a. Biologi
Perbedaan gender dipengaruhi oleh faktor biologis. Jelas ada perbedaan fisik dalam perkembangan otot dan tinggi badan. Dalam hal kemampuan mengasuh anak dan memberi ASI. Dampak dari hormonseks, baik pada janin maupun orang dewasa, dan perbedaan seks di otak, telah menjadi topik penelitian yang menarik. Para psikolog evolusioner menyatakan bahwa evolusi genetik juga mempengaruhi perbedaan gender dalam perilaku manusia.
b. Sosialisasi
Perspektif sosialisasi menekankan pada banyaknya cara orang mempelajari tentang gender dan mendapatkan perilaku “sesuai jenis kelamin” sejak awal kanak–kanak. Gagasan yang penting disini adalah masyarakat mempunyai ekspektasi dan standar berbeda–beda untuk perilaku pria dan wanita. Seiring dengan pertumbuhan anak, mereka mempelajari pelajaran gender ini melalui proses penguatan dan modeling.
Pengaruh lainnya adalah teman sebaya, teman sekelas, dan saudara. Salah satu ciri paling menonjol dari masa kanak–kanak adalah adanya tendensi untuk mengelompokkan diri dalam kubu laki–laki dan
(39)
30
perempuan dan menghindari berkumpul dengan anak berjenis kelamin lain.
Menurut perspektif sosialisasi, beragam pengalaman sosial yang dialami anak perempuan dan laki–laki itu akan menyebabkan banyaknya perbedaan gender dalam sikap minat, keahlian, dan personalitas, bahkan hingga ke masa dewasa.
c. Peran Sosial
Perspektif ketiga menyatakan bahwa perilaku orang sangat dipengaruhi oleh peran social. Kehidupaan orang dewasa ditata berdasarkan berbagai peran seperti anggota keluarga, pekerja, dan anggota komunitas atau masyarakat. Ide utamanya disini adalah bahwa banyak peran social yang penting didefinisikan secara berbeda untuk wanita dan pria. Dalam keluarga, orang biasanya punya ekspektasi berbeda untuk ibu dan ayah, untuk suami dan istri, dan anak perempuan dan anak laki–laki. Dalam dunia pekerja, peran okupasional (pekerjaan) sering didasarkan dapa jeniss kelamin : perawat, juru ketik, dan guru TK atau SD biasanya adalag wilayah perempuan; pengobatan, konstruksi, dan guru olahraga SMA biasanya adalah wilayah laki-laki.
Menurut teori peran sosial, perbedaan perilaku perempuan dan laki-laki terjadi karena dua jenis kelamin itu menempati peran sosial yang berbeda dalam kehidupan sehari–harinya. Orang biasanya
(40)
31
menyesuaikan diri dengan norma yang disosialisasikan dengan peran spesifik dan berperilaku yang tepat secara sosial.
d. Situasi Sosial
Pengaruh lain terhadap perilaku adalah konteks sosial saat ini. Tekanan sosial juga mempengaruhi laki-laki dan perempuan. Dalam sebuah studi, sekelompok mahasiswa dibuat percaya bahwa mereka akan berinteraksi dengan seorang perempuan yang sangat diinginkan (menarik, terbuka, gaul, dan suka bertemu lak-laki) atau perempuan yang kurang diinginkan (tidak peduli pada penampilan, tubuh tidak aduhai, dan tidak suka bertemu laki-laki). Selain itu, setengah dari mahasiswa itu diyakinkan bahwa perempuan ini menganut keyakinan tradisional tentang peran gender; setengah mahasiswa lainnya diyakinkan bahwa perempuan itu menganut pandangan nontradisional. Ketika perempuan itu diinginkan, mahasiswa itu cenderung menyesuaikan diri dengan sikap si perempuan: mereka mendeskripsikan dirinya sebagai laki-laki tradisional saat bertemu perempuan tradisional dan sebagai laki-laki nontradisional saat bertemu perempuan nontradisional. Ketika si perempuan dianggap tidak menarik, tidak ada perbedaan dalam presentasi diri si mahasiswa. Dengan kata lain, laki-laki cenderung menyesuaikan diri dengan sikap peran gender dari seseorang yang ingin mereka dekati (Taylor, 2009).
(41)
32
Jadi, berdasarkan pembahasan tersebut peneliti dapat mengambil keismpulan bahwa faktor yang mendasari tentang asal usul pada gender adalah faktor biologi, sosialisasi, peran sosial, dan stuasi sosial.
C. Perbedaan Perilaku Prososial ditinjau dari Gender
Perilaku prososial adalah kategori yang lebih luas, mencakup setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong (Taylor, 2009).
Secara umum, perilaku prososial diaplikasikan pada tindakan yang tidak menyediakan keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan bahkan mungkin mengandung derajat risiko tertentu (Baron & Byrne, 2005).
Adapun faktor yang mempengaruhi perilaku prososial salah satunya yaitu gender. Zahn–Waxler dan Smith (2000, dalam Retnaningsih, 2005) mengatakan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan lebih banyak menunjukkan perilaku prososial dan empati terhadap orang lain, dibandingkan anak laki–laki.
Gender merujuk pada segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin individu, termasuk peran, tingkah laku, kecenderungan, dan atribut lain yang mendefinisikan arti menjadi seorang laki–laki dan perempuan dalam kebudayaan yang ada.
Kecenderungan menolong pada seorang laki–laki dan perempuan sebenarnya bisa dilihat sesuai dengan bantuan yang dibutuhkan. Sesuai dengan peran tradisional laki-laki sebagai pelindung, laki-laki lebih
(42)
33
mungkin untuk memberi bantuan pada tindakan yang dianggap heroik seperti menyelamatkan orang tenggelam atau menyelamatkan seseorang yang diserang. Kekuatan fisik dan training olahraga mungkin mempengaruhi perbedaan jenis kelamin ini. Dalam setting yang lebih umum, laki-laki juga lebih mungkin ketimbang perempuan untuk membantu orang asing yang sedih atau tertekan. Laki-laki lebih senang membantu korban perempuan, apalagi jika ada yang melihat aksinya.
Tetapi dalam hal lain, laki-laki dan perempuan sama–sama menunjukkan keberanian luar biasa dalam membantu orang lain. Menurut Eagly & Crowley (1986, dalam Taylor, 2009) Bentuk pertolongan penting lainnya adalah memberikan perawatan. Secara umum, peran sosial perempuan cenderung menekankan bentuk perilaku prososial pengasuhan, seperti merawat anak kecil, menghibur teman, atau berbicara dengan orang jompo di klinik. Riset menemukan bahwa perempuan lebih cenderung memberi bantuan personal kepada kawan dan cenderung memberi nasihat untuk mengatasi problem personal. Meski ada banyak pengecualian, laki-laki dan perempuan cendrung terspesialisasi dalam tipe pemberian bantuan yang berbeda–beda.
Jadi, dalam berperilaku prososial juga diperlukan peran gender sebagai salah satu faktor yang mempengaruhinya, karena dalam situasi tertentu diperlukan kemampuan dan keterampilan yang tidak semua orang bisa melakukannya seperti ketika melihat seorang perempuan dipinggir jalan yang bingung karena mobilnya mogok, maka kecenderungan laki–
(43)
34
laki untuk menolong perempuan tersebut karena kebanyakan laki–laki memiliki keterampilan dalam hal mesin.
Berbeda halnya jika seseorang melihat anak kecil yang menangis mencari ibunya karena terpisah ketika jalan–jalan di sebuah super market, maka kecenderungan perempuan untuk menolongnya karena selain mempunyai rasa empati yang lebih tinggi daripada laki–laki, perempuan juga mempunyai jiwa pengasuhan sehingga seorang anak akan lebih nyaman dengan perempuan.
D. Kerangka Teoritis
Menurut Baron & Byrne (2005) perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong.
Dalam melakukan perilaku prososial, seseorang tentunya akan melihat situasi dan kondisi dirinya oleh karena itu peran gender berpengaruh dalam melakukan perilaku prososial.
Adapun yang dimaksud dengan gender menurut Baron & Byrne (2005) adalah atribut, tingkah laku, karakteristik kepribadian, dan harapan yang berhubungan dengan jenis kelamin biologis seseorang dalam budaya yang berlaku.
Perbedaan stereotype laki-laki dan perempuan menyebabkan perbedaan dalam perilaku prososial antara laki-laki dan perempuan.
(44)
35
Eisenberg dan Lennon (1989, dalam Asih, 2010) menyatakan bahwa anak perempuan lebih mudah merasa tidak enak jika melihat orang lain mengalami kesusahan sehingga perempuan lebih cenderung melakukan perilaku prososial. Namun dari hasil penelitian Latane (2000, dalam Taylor, 2009), ditemukan secara konsisten menunjukkan bahwa laki–laki lebih cenderung memberi pertolongan pada perempuan yang kesusahan, meskipun perempuan pada semua usia mempunyai empati yang lebih tinggi daripada laki–laki.
Selain itu, dari hasil observasi peneliti menemukan bahwa dalam hal emosional perempuan lebih sensitif seperti ketika melihat teman yang kesusahan perempuan lebih cepat tanggap daripada laki-laki. Tetapi dalam hal fisik, laki-laki lebih dominan berperilaku prososial seperti ketika terjadi kecelakaan dijalan, sebagian besar yang menolong adalah laki-laki.
Dalam pengamatan Golberg (1995, dalam Sarwono, 2002) menemukan bahwa lebih dari 6300 orang pejalan kaki di Boston dan Cambridge, Amerika Serikat, ternyata 1,6% menyumbang kepada peminta-minta jalanan. Di antara para penyumbang itu, laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
Sebagaimana dijelaskan pada salah satu teori perilaku prososial yaitu teori sosiokultural atau teori evolusi sosial yakni perkembangan historis kultur manusia. Dimana masyarakat perlahan–lahan dan secara selektif mengembangkan keterampilan dan keyakinan yang meningkatkan kesejahteraan kelompok. Karena perilaku prososial umumnya bermanfaat
(45)
36
bagi masyarakat, maka perilaku tersebut menjadi bagian dari aturan dan norma sosial. Selain itu, tindakan yang dilakukan oleh laki–laki atau perempuan tersebut juga dipengaruhi oleh budaya yang berlaku.
Dari penjelasan diatas maka dapat digambarkan kerangka berfikir sebagai berikut :
Gambar 1. Gambaran Perilaku Prososial Remaja ditinjau dari Gender.
Bagan diatas merupakan gambaran tentang perilaku prososial ditinjau dari gender. Jadi perilaku prososial di pengaruhi oleh faktor gender/jenis kelamin.
Perilaku Prososial
Pengaruh faktor situasional
Pengaruh faktor dalam diri
Bystander Daya tarik Atribusi terhadap korban
Ada model Desakan waktu Sifat kebutuhan korban
Suasana hati sifat
Pola asuh Tempat tinggal Jenis
(46)
37
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut : terdapat perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari gender.
(47)
38 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel
Variabel–variabel penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :
a. Variabel terikat (Y), yaitu Perilaku Prososial b. Variabel bebas (X), yaitu Gender
2. Definisi Operasional
Adapun definisi operasional variabel–variabel yang akan diteliti adalah :
a. Perilaku Prososial
Perilaku prososial adalah perilaku yang menguntungkan orang lain yang dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri tanpa mengharapkan sesuatu dari orang lain dan mempunyai dampak psitif yang tidak secara langsung didapatkan oleh si penolong baik secara fisik maupun psikologis.
Perilaku prososial tersebut dapat diukur dengan menggunakan skala perilaku prososial yang dilihat dari aspek-aspek perilaku prososial antara lain berbagi (sharing), menolong (helping), kerjasama (cooperating), bertindak jujur (honesty), berderma (donating).
(48)
39
b. Gender
Gender merupakan atribut, tingkah laku, karakteristik, dan harapan yang berhubungan dengan jenis kelamin biologis dalam budaya yang berlaku. Yang dimaksud gender pada penelitian ini yaitu jenis kelamin.
B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling
Menurut Hadi (2000) populasi merupakan sejumlah penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai satu sifat yang sama.
Populasi yang akan diambil dalam penelitian ini adalah remaja di desa Brangkal kecamatan Sooko kabupaten Mojokerto yang berusia 15–18 tahun karena kesediaan remaja desa tersebut dalam menolong korban kecelakaan yang terjadi disekitar desa tersebut, selain itu pada usia tersebut individu masih labil dalam berperilaku sehingga dalam berperilaku prososial pun individu akan berfikir terlebih dahulu untung ruginya oleh karena itu peneliti memilih usia tersebut sebagai subjek penelitian. Jumlah remaja tersebut dalam satu desa adalah 267 orang dengan jumlah remaja laki-laki sebanyak 143 dan remaja perempuan sebanyak 124.
Menurut Hadi (2000) sampel adalah sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi. Cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah peneliti mengambil jumlah subjek sebanyak 25% dari populasi yang ada yaitu 66 orang remaja, karena menurut Arikunto (2002) menyatakan bahwa apabila subjek kurang dari 100 lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya termasuk penelitian populasi, selanjutnya apabila populasinya lebih dari 100 dapat diambil 10%, 15%, atau 20%, 25%, dalam hal ini peneliti
(49)
40
mengambil persentase maksimal yaitu 25% karena semakin banyak subjek yang diambil maka sedikit kemungkinan terjadi kesalahan dalam mengeneralisasikan suatu perilaku. Selain itu, peneliti juga mengelompokkan subjek menjadi dua kelompok yaitu remaja laki–laki dan perempuan dengan jumlah yang sama yaitu 33 orang remaja laki–laki dan 33 orang remaja perempuan, dengan menyamakan subjek laki-laki dan perempuan maka akan lebih mudah untuk mengeneralisasikan perilaku dari kedua kelompok tersebut. Teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling (sampel dipilih secara acak). Teknik tersebut dilakukan agar hasil penelitian mendapatkan data yang dapat mengeneralisasikan keadaan populasi yang ada.
C. Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala yaitu suatu metode penelitian dengan menggunakan kumpulan pernyataan– pernyataan yang harus dijawab oleh subjek. Skala yang digunakan merupakan skala likert, skala ini digunakan untuk mengukur sikap masyarakat dan juga menggunakan aitem pilihan berbentuk multiple choice dengan lima alternatif jawaban, karena semakin banyak alternative jawaban yang diberikan maka akan mengaburkan suatu perbedaan yang diinginkan.
Berkenaan dengan pilihan tengah ini kiranya ada dua hal yang patut diperhatikan :
1. Silang pendapat mengenai perlu-tidaknya menyediakan pilihan tengah dipicu oleh kekhawatiran sementara orang yang berpendapat bahwa bila pilihan tengah atau netral disediakan berpendapat bahwa bila pilihan
(50)
41
tengah atau netral disediakan maka kebanyakan subjek akan cenderung untuk menempatkan pilihannya di kategori tengah tersebut, sehingga data mengenai perbedaan diantara responden menjadi kurang informatif. Sebenarnya, kekhawatiran tersebut kurang bearalasan karena :
a. Kecenderungan subjek untuk memilih pilihan tengah lebih disebabkan kalimat dalam aitem itu sendiri yang tidak cukup sensitif untuk memancing respon yang berbeda dari subjek.
b. Kalau pilihan tengah tidak disediakan, sedangkan subjek memang benar-benar merasa dirinya berada diantara “ya” dan “tidak” atau di antara “setuju” dan “tidak setuju”. Apabila subjek memilih “setuju” berarti subjek menjawab tidak benar, memilih “tidak setuju” pun berarti subjek berbohong.
c. Belum ada bukti empirik yang mendukung kekhawatiran tersebut. 2. Pilihan tengah harus diwujudkan sebagai N (Netral) atau “tidak
menentukan pendapat”. Jangan memberikan pilihan tengah R (Ragu-ragu) karena respon yang diinginkan adalah respon yang diyakini oleh subjek (Azwar, 2013).
Alat ukur atau skala pada penelitian ini terdiri dari satu skala sikap yang dilihat dari aspek-aspek perilaku prososial menurut mussen (1989, dalam Asih, 2010), yaitu berbagi (sharing), menolong (helping), kerjasama (cooperating), bertindak jujur (honesty), berderma (donating). Berikut adalah blue print penyusunan skala dari variabel perilaku prososial, yang didalamnya terdapat indikator dari setiap aspek yang digunakan dalam penelitian.
(51)
42
Tabel 1
Blue Print Perilaku Prososial
Aspek Indikator Aitem F (%)
Berbagi Menolong Kerjasama Bertindak jujur Berderma
a. Merasa puas ketika sudah membantu b. Merasa senang ketika
sudah membantu c. Peka terhadap situasi yang
ada
a. Menawarkan sesuatu b. Meringankan beban orang
lain
a. Mengerjakan tugas secara bersama- sama b. Saling membantu ketika
kesusahan
c. Menyelesaikan masalah bersama-sama a. Berkata apa adanya b. Menjawab pertanyaan
secara tegas
c. Tidak mementingkan untung-rugi
a. Menyumbangkan barang ataupun uang pada orang yang kesusahan
b. Memberikan barang pada orang yang
membutuhkan
F 15, 23
23.3% 13.4% 23.3% 23.3% 16.7% UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF 8, 32 1, 25 16, 42 9, 33, 41 2, 26, 58 17, 43 10, 52 3, 27 18, 44 11, 47 4, 28 19, 45 12, 48 29, 51, 57 20, 46, 54
5, 59 30, 56 13, 37 6, 38 21, 49, 53 14, 50, 34 31, 39, 35 22,36, 60
7, 55 24, 40
Jumlah 60 100%
Skala perilaku prososial terdiri dari : SS (Sangat Setuju), S (Setuju), N (Netral), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju) berupa pernyataan yang berbentuk favorable dan Unfavorable. Pemberian skor untuk pernyataan Favorable, yaitu : SS memperoleh skor 4, S memperoleh skor 3, N memperoleh skor 2, TS memperoleh skor 1, STS memperoleh skor 0. Untuk
(52)
43
Unfavorable, yaitu SS memperoleh skor 0, S memperoleh skor 1, N memperoleh skor 2, TS memperoleh skor 3, STS memperoleh skor 4.
D. Validitas dan Reliabilitas
Dalam penelitian ini perlu diadakannya pengujian instrumen sebelum melakukan pengujian hipotesis yaitu pengujian validitas dan reliabilitas. Pengujian tersebut dengan menggunakan program SPSS for windows dengan melihat kaidah: nilai koefisien corrected item total correlation lebih dari atau sama dengan 0,3 yang artinya apabila nilai korelasi lebih dari atau sama dengan 0,3 maka item tersebut mempunyai tingkat kevalidan yang cukup, namun apabila nilai korelasi kurang dari 0,3 maka item mempunyai tingkat kevalidan yang kurang.
Hasil dari uji validitas yang dilakukan pada hari rabu tanggal 24 Juni 2015 di Desa Brangkal Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto dengan 60 aitem yang sudah diberikan pada 100 orang remaja didesa Brangkal yang bukan termasuk anggota karang taruna namun dengan kriteria usia yang sama yaitu antara usia 15-18 tahun, maka terdapat 38 aitem yang dinyatakan valid yaitu aitem nomor 1, 2, 3, 9, 13, 14, 15, 17, 18, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 39, 40, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 51, 52, 53, 56, 57, dan 58.
Berikut adalah blue print penyusunan skala dari variabel perilaku prososial yang dinyatakan valid, didalamnya terdapat indikator dari setiap aspek yang digunakan dalam penelitian.
(53)
44
Tabel 2
Blue Print Skala Perilaku Prososial (Valid)
Dimensi Indikator Aitem F (%)
Berbagi Menolong Kerjasama Bertindak jujur Berderma
a. Merasa puas ketika sudah membantu b. Merasa senang ketika sudah
membantu
c. Peka terhadap situasi yang ada
a. Menawarkan sesuatu b. Meringankan beban orang
lain
a. Mengerjakan tugas secara bersama- sama b. Saling membantu ketika
kesusahan
c. Menyelesaikan masalah
a. Berkata apa adanya b. Menjawab pertanyaan
secara tegas
c. Tidak mementingkan untung-rugi
a. Menyumbangkan barang ataupun uang pada orang yang kesusahan
b. Memberikan barang pada orang yang membutuhkan
F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF F UF 15, 23 32 1, 25 42 9, 33 2, 26, 58
17, 43 52 3, 27 18, 44 47 48 29, 51, 57
46 30, 56 13, 37 21, 49, 53
14, 34 31, 39, 35
24, 40 23.3% 13.4% 23.3% 23.3% 16.7%
Jumlah 60 100%
Setelah pengujian validitas maka selanjutnya dilakukan pengujian reliabilitas dengan menggunakan SPSS for windows, dengan menggunakan kaidah: (1) Aitem tersebut dapat dinyatakan kurang reliabel jika memiliki nilau koefisiensi kurang dari 0,30. (2) Aitem tersebut dinyatakan reliabel jika memiliki nilai koefisiensi antara 0,30-0,70. Dan (3) Aitem tersebut dinyatakan sangat reliabel jika memiliki nilai koefisiensi diatas 0,70.
(54)
45
Hasil uji reliabilitas skala perilaku prososial sebagai berikut : Tabel 3
Hasil Uji Reliabilitas
Variabel Koefisien reliabilitas N of Items
Perilaku Prososial .903 38
Berdasarkan nilai koefisien reliabilitas sebesar 0.903 yaitu lebih besar dari 0.30 sehingga dapat dinyatakan aitem tersebut valid artinya semua aitem tersebut sangat reliabel sebagai instrument pengumpulan data. Dikatakan sangat reliabel karena nilai koefisiensi lebih dari 0.70.
E. Analisis Data
Dalam penelitian ini data yang diperoleh akan dianalisis dengan program SPSS 16.0 menggunakan analisis Uji Mann-Whitney U untuk dua sampel independent.
Uji Mann-Whitney U digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel independent bila datanya berbentuk ordinal.
Bila datanya berbentuk interval (sebenarnya dapat menggunakan t-test), namun bila asumsi t-test tidak terpenuhi (seperti data harus berdistribusi normal, dan lain-lain), maka dapat menggunakan uji Mann-Whitney U (Muhid, 2012).
Sebelum melakukan analisis data, juga perlu adanya uji asumsi yakni uji normalitas dan uji homogenitas dengan menggunakan program SPSS Uji Kolmogorov-Smirnov. Karena data yang diperoleh berupa angka-angka dan metode statistik dapat memberikan hasil yang objektif.
(55)
46 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi subjek
Karang taruna merupakan organisasi yang beranggotakan para pemuda dan merupakan wadah pengembangan generasi muda yang tumbuh atas dasar kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk masyarakat khususnya generasi muda di wilayah Desa/Kelurahan yang bergerak dibidang kesejahteraan sosial.
Karang taruna Tunas Nusa Harapan Bangsa merupakan nama karang taruna yang ada di desa Brangkal kecamatan Sooko kabupaten Mojokerto, yang terdiri dari 80 anggota dengan jenjang usia yang berbeda antara usia 14-30 tahun. Dan terdiri dari 55 orang laki-laki dan 25 orang perempuan.
Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh anggota karang taruna yaitu BAKSOS (Bakti Sosial), dengan mengadakan penggalangan dana yang diberikan kepada orang-orang yang kurang mampu baik yang berteempat tinggal didesa Brangkal atau diluar desa Brangkal, selain itu setiap bulan Romadhan anggota karang taruna mengadakan bagi-bagi takjil gratis, dan setiap ada keja bakti desa, anggota karang taruna juga ikut serta dalam membantu kerja bakti tersebut.
Selain anggota karang taruna, desa Brangkal juga merupakan desa yang cukup luas dan padat. Penduduk desa Brangkal yang jenjang usia 15-18 tahun berjumlah 267 orang, dengan jumlah remaja laki-laki sebanyak 143 orang dan perempuan sebanyak 124 orang.
(56)
47
Dalam penelitian ini subjek yang diambil tidak hanya pada anggota karang taruna tetapi juga penduduk desa Brangkal yang bukan termasuk anggota karang taruna, karena agar bisa lebih mengeneralisasikan suatu perilaku remaja di desa Brangkal.
Penelitian ini dilaksanakan pada hari minggu tanggal 12 Juli 2015 sampai dengan 15 Juli 2015. Penyebaran skala dilakukan selama 3 hari karena subjek yang diambil tidak hanya pada remaja yang termasuk dalam suatu organisasi tetapi juga pada remaja umum yang bertempat tinggal didesa Brangkal jadi dalam pengambilan data tidak bisa dilakukan hanya dalam 1 hari.
B. Deskripsi dan Reliabitas Data
1. Deskripsi Subjek
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 15–18 tahun yang tinggal di desa Brangkal kecamatan Sooko kabupaten Mojokerto, yang terdiri dari remaja karang taruna Tunas Nusa Harapan Bangsa desa Brangkal dan remaja desa Brangkal yang bukan anggota karang taruna. Jumlah remaja di desa Brangkal adalah 267 orang dengan jumlah remaja laki-laki sebanyak 143 orang dan remaja perempuan sebanyak 124 orang. Dan dalam penelitian ini peneliti mengambil subjek 66 orang remaja, dengan 33 remaja laki-laki dan 33 remaja perempuan.
Dari hasil analisis deskriptif statistik maka dapat diketahui skor minimum dan maksimum, sebagai berikut:
(57)
48
Tabel 4
Deskriptif Statistik Skor
N Minimun Maximum Sum Perilaku Prososial 66 102.00 142.00 7937.00 Jenis Kelamin 66 1.00 2.00 99.00
Dan hasil analisis deskriptif statistik maka dapat diketahui rata-rata, standart deviasi, sebagai berikut:
Tabel 5
Deskriptif Statistik Rataan dan Std. Deviasi
Rata-Rata Std. Deviasi Statistik Std. Error Statistik Perilaku Prososial 1.2026 1.36546
Jenis Kelamin 1.5000 0.06202
11.09305 0.50383
2. Reliabilitas Data
Salah satu cirri instrumen ukur yang berkualitas baik adalah reliabel, yaitu mempu menghasilkan skor yang cermat dengan eror pengukuran kecil. Reliabilitas mengacu kepada kepercayaan atau konsistensi hasil ukur, yang mengandung makna seberapa tinggi kecermatan pengukuran (Azwar, 2013).
Sebelum melakukan uji hipotesis, harus dilakukan uji reliabilitas pada aitem yang sudah dinyatakan valid. Kaidah yang digunakan untuk menentukan reliabel atau tidaknya suatu aitem yaitu : (1) Aitem tersebut dapat dinyatakan kurang reliabel jika memiliki nilai koefisiensi kurang dari 0,30. (2) Aitem tersebut dinyatakan reliabel jika memiliki nilai
(58)
49
koefisiensi antara 0,30-0,70. Dan (3) Aitem tersebut dinyatakan sangat reliabel jika memiliki nilai koefisiensi diatas 0,70.
Adapun hasil uji reliabilitas skala perilaku prososial sebagai berikut :
Tabel 6
Hasil Uji Reliabilitas
Variabel Koefisien reliabilitas N of Items
Perilaku Prososial .903 38
Berdasarkan nilai koefisien reliabilitas sebesar 0.903 yaitu lebih besar dari 0.30 sehingga dapat dinyatakan aitem tersebut valid artinya semua aitem tersebut sangat reliabel sebagai instrument pengumpulan data. Dikatakan sangat reliabel karena nilai koefisiensi lebih dari 0.70.
C. Hasil
Penelitian ini menggunakan analisis Uji Mann-Whitney U untuk dua sampel independent. Namun sebelum melakukan analisis data, juga perlu adanya uji asumsi yakni uji normalitas dan uji homogenitas. Dengan hipotesis: Ho : Tidak terdapat perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari gender Ha : Terdapat perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari gender
1. Uji Normalitas
Uji normalitas data bertujuan mengetahui kenormalan distribusi sebesar skor variabel. Apabila terjadi penyimpangan, seberapa jauh penyimpangan tersebut. Kaidah yang digunakan :
(59)
50
2. Jika nilai signifikan > 0,05, maka distribusi adalah normal
Hasil uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan teknik uji Kolmogrov Sminov maka hasilnya diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,012 < 0,05, maka bisa dikatakan sebaran data adalah tidak normal.
Setelah uji normalitas distribusi data perilaku prososial dengan menggunakan teknik uji Kolmogrov Smirnov maka didapatkan hasil distribusi data perilaku prososial yaitu berdistribusi tidak normal.
2. Uji Homogenitas
Setelah uji normalitas, maka tahap selanjutnya adalah melakukan uji homogenitas. Uji honogenitas digunakan untuk mengetahui apakah populasi sampel penelitian adalah homogeny atau sebaliknya. Pengukuran homogenitas dilakukan berdasarkan data tabel test of homogeneity of variance. Adapun kaidah yang digunakan adalah jika nilai signifikansi (p-value) > 0,05 maka kelompok sampel dapat dikatakan homogeni.
Berdasarkan hasil uji homogenitas varian antar kelompok dengan menggunakan varian (ANOVA) satu jalur, diperoleh nilai signifikansi = 0,54 > 0,05, berarti varian antar kelompok adalah homogeny.
3. Uji Hipotesis Uji Mann-Whitney U
Uji Mann-Whitney U digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel independen bila datanya berbentuk ordinal. Setelah melakukan uji normalitas dan uji homogenitas, maka data yang ada menunjukkan bahwa data tersebut sudah memenuhi uji asumsi dasar. Dan
(60)
51
dapat menggunakan uji analisis menggunakan uji analisis Mann-Whitney U.
Adapun hasil analisis uji hipotesis menggunakan program SPSS, sebagai berikut :
Tabel 7
Hasil Analisis Uji Hipotesis
Jenis Kelamin N Rata-Rata Rank Perilaku
Prososial
Laki-laki Perempuan Uji beda Signifikansi
33 33 -2,650 .008
27,24 39,76
Berdasarkan pada tabel tersebut, terdapat 33 data dari subjek laki-laki dan 33 data dari subjek perempuan. Nilai signifikansi sebesar 0,008, karena signifikansi lebih kecil dari 0,05 (0,008 < 0,05) dengan nilai uji beda sebesar -2,650, maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti terdapat perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari gender. Dan Jumlah rata-rata rank untuk laki-laki sebesar 27,24 dan perempuan sebesar 39,76, dari hasil tersebut maka menghasilkan perilaku prososial perempuan lebih tinggi dari laki-laki.
D. Pembahasan
Dari hasil uji analisis yang sudah dilakukan maka dapat dilihat perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari gender yang ada di desa Brangkal kecamatan Sooko kabupaten Mojokerto. Perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong tanpa mengharapkan imbalan yang dapat menguntungkan orang lain dan dimotivasi oleh kepentingan sendiri, sehingga
(61)
52
memiliki sifat–sifat positif bagi orang lain baik secara fisik maupun secara psikis.
Adapun salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku prososial adalah gender. Gender merupakan atribut, tingkah laku, karakteristik kepribadian, dan harapan yang berhubungan dengan jenis kelamin biologis seseorang dalam budaya yang berlaku.
Gender merujuk pada segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin individu, termasuk peran, tingkah laku, kecenderungan, dan atribut lain yang mendefinisikan arti menjadi seorang laki–laki dan perempuan dalam kebudayaan yang ada.
Kecenderungan menolong pada seorang laki–laki dan perempuan sebenarnya bisa dilihat sesuai dengan bantuan yang dibutuhkan. Sesuai dengan peran tradisional laki-laki sebagai pelindung, laki-laki lebih mungkin untuk memberi bantuan pada tindakan yang dianggap heroik seperti menyelamatkan orang tenggelam atau menyelamatkan seseorang yang diserang. Laki-laki lebih senang membantu korban perempuan, apalagi jika ada yang melihat aksinya.
Tetapi dalam hal lain, laki-laki dan perempuan sama–sama menunjukkan keberanian luar biasa dalam membantu orang lain. Menurut Eagly & Crowley (1986, dalam Taylor, 2009) Bentuk pertolongan penting lainnya adalah memberikan perawatan. Secara umum, peran sosial perempuan cenderung menekankan bentuk perilaku prososial pengasuhan, seperti merawat anak kecil, menghibur teman, atau berbicara dengan orang jompo di
(62)
53
klinik. Riset menemukan bahwa perempuan lebih cenderung memberi bantuan personal kepada kawan dan cenderung memberi nasihat untuk mengatasi problem personal. Meski ada banyak pengecualian, laki-laki dan perempuan cendrung terspesialisasi dalam tipe pemberian bantuan yang berbeda–beda.
Dari hasil uraian diatas peneliti menjadikan suatu hipotesis terdapat perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari gender. Dan hasil penelitian yang dilakukan menggunakan program SPSS dengan uji analisis Mann-Whitney U menghasil hipotesis dengan signifikansi 0,008<0,05 yang berarti terdapat perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari gender. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa perilaku prososial remaja perempuan lebih tinggi dari pada perilaku prososial remaja laki-laki.
Perempuan mempunyai sifat dan karakteristik yang melekat secara sosial dan kultural, misalnya perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan, dengan sifat-sifat yang melekat tersebut sehingga membuat perempuan mempunyai perilaku prososial yang lebih tinggi. Selain itu, perempuan juga dinilai lebih tinggi dalam ciri-ciri yang berhubungan dengan kehangatan dan ekspresi, seperti kelembutan dan kepekaan terhadap perasaan orang lain.
Hal itu juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Retnaningsih (2005) menyatakan bahwa dalam berperilaku prososial cenderung lebih tinggi dibandingkan laki-laki, dimungkinkan kerena masih kuatnya tuntutan peran gender yang ada pada masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki.
(1)
54
Selain itu, Zahn-Waxler dan Smith (2000) mengatakan bahwa dalam
beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan lebih banyak
menunjukkan perilaku prososial dan empati terhadap orang lain dibandingkan
anak laki-laki. Pada usia sekolah, dibandingkan anak laki-laki, anak
peremmpuan mengalami peningkatan perilaku prososial dan penalaran
moralnya, yang menunjukkan lebih banyak memiliki kapasitas untuk bersikap
empati. Bentuk pertolongan yang dilakukan adalah berupa perawatan.
Menurut Taylor (2009), menyatakan bahwa dalam studi-studi telah
meneliti dukungan sosial, bantuan, nasihat, dan dorongan emosional kepada
kawan dan relasi. Secara umum, perempuan lebih mungkin ketimbang
laki-laki untuk member dukungan sosial. Terakhir, perempuan lebih mungkin
ketimbang laki-laki untuk memberi perawatan pada keluarga, mengambil
tannggung jawab merawat anak dan orang tua.
Dari aspek tingkah laku, perempuan juga lebih cenderung bertindak
menggunakan perasaan, jadi lebih mudah tergerak apabila melihat orang lain
kesusahan, selain itu perempuan juga lebih perhatian dan mempunyai perasaan
yang lebih sensitif terhadap orang lain sehingga perempuan cenderung lebih
mudah berperilaku prososial.
Dari pembahasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat
perbedaan perilaku prososial remaja ditinjau dari gender dan dalam
(2)
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dihasilkan bahwa terdapat perbedaan
perilaku prososial remaja ditinjau dari gender. Dalam penelitian ini juga
dihasilkan bahwa perilaku prososial remaja perempuan lebih tinggi dari pada
perilaku prososial remaja laki-laki.
B. Saran
Di lihat dari hasil analisis penelitian tentang perilaku prososial yang
dilakukan pada remaja di desa Brangkal kecamatan Sooko kabupaten
Mojokerto menyatakan bahwa terdapat perbedaan perilaku prososial remaja
ditinjau dari gender. Oleh karena itu peneliti mengharapkan beberapa hal :
1. Untuk remaja laki-laki agar dapat lebih meningkatkan perilaku prososial
seperti halnya remaja perempuan.
2. Agar bisa lebih meningkatkan perilaku prososial dalam hal berderma,
bertindak jujur dan lebih bisa menjaga kekompakan dengan saling bekerja
sama.
3. Untuk penelitian selanjutnya yang tertarik meneliti dengan tema prilaku
prososial hendaknya dalam pembuatan aitem penelitian harus lebih teliti
dan harus lebih memahami kaidah penulisan aitem karena dalam penelitian
(3)
56
4. Dalam pengambilan jumlah subjek harus benar-benar dilakukan
representatif secara random dan tidak harus dengan jumlah yang sama
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. & Asrori, M. (2006). Psikologi Remaja. Jakarta : Bumi Aksara.
Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rev.ed. V.
Jakarta : Rineka Cipta.
Asih, G.Y. & Pratiwi, M.M.S. (2010). Perilaku Prososial ditinjau dari Empati dan
Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus. Vol. 1. No.
1.
Ayooluwa, O. & Oretunji, E. (2014). Influence of Gender, Spiritual Involvement/Belief and Emotional Stability on Prosocial Behavior among
Some Nigerian Driver. Journal Canadian Social Science. Vol. 10, No. 1,
pp. 121–127.
Azwar, S. (2013). Penyusunan Skala Psikologi. Ed.II. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Baron, R.A. & Byrne, D. (2003). Psikologi Sosial. jilid 1. ed. 10. Jakarta :
Erlangga.
Baron, R.A. & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial. jilid 2. ed. 10. Jakarta :
Erlangga.
Dayakisni, T. & Hudaniah. (2001). Psikologi Sosial. Malang : UMM Press.
Fakih, M. (2001). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Frisnawati, A. (2012). Hubungan antara Intensitas Menonton Reality Show
dengan Kecenderungan Perilaku Prososial pada Remaja. Jurnal Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan. Vol. 1, No. 1.
Gunarsa & Gunarsa, Y.S.D. (1991). Psikologi Remaja. Jakarta : BPK Gunung
Mulia.
Hadi, S. (2000). Statistik. Jilid 2. Ed.15. Yogyakarta : Andi Offset.
Hapsari, N.Y.D. & Herdiana, I. (2013). Hubungan antara Self Esteem dengan Intensi Perilaku Prososial Donor Darah pada Donor di Unit Donor Darah
PMI Surabaya. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial. Vol. 2, No. 1.
Harlock, E.B. (1994). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang
(5)
58
Haryati, T.D. (2013). Kematangan Emosi, Religiusitas dan Perilaku Prososial
Perawat di Rumah Sakit. Jurnal Prikologi Indonesia. Vol. 2, No. 2, hal.
162–172.
Iqbal, F. (2013). Prosocial Behavior in Different Situations among Men and
Women. Journal of Humanities and Social Science. Vol. 8, Issue 6, pp.
31-40.
Mahmudah, S. (2011). Psikologi Sosial : Teori & Model Penelitian. Malang :
UIN–Maliki Press (Anggota IKAPI).
Monks, F. J. (2006). Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam Berbagai
bagian. ed. 16. Rev. 3. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Muhid, A. (2012). Analisis Statistik : 5 Langkah Praktis Analisis Statistik dengan
SPSS for Windows. Sidoarjo : Zifatama.
Prot, S., Gentile, D.A. & Anderson, C.A. (2014). Long-Term Relations Among
Prosocial-Media Use, Empathy, and Prosocial Behavior. Journal of
Assosiation for Psychological Science. Vol. 25 (2). 358–368.
Retnaningsih. (2005). Peranan Kualitas Attachment, Usia, dan Gender pada
Perilaku Prososial. Seminar Nasional PESAT. ISSN : 18582559. Jakarta :
Auditorium Universitas Gunadarma.
Rudi. (2014). Dua Sejoli Nyungsep di Kandang Kambing. Radar Mojokerto.
Santrock, J.W. (2003). Adolescense : Perkembangan Remaja. Ed. 6. Jakarta :
Erlangga.
Sarwono, S.W. (2002). Psikologi Sosial Individu & Teori–Teori Psikologi Sosial.
Jakarta : Balai Pustaka.
Sears, D.O., Jhonathan, L. F., Anne, P.L. (1994). Psikologi Sosial. jilid 2. Jakarta
: Erlangga.
Setyawati, M. (2011). Statistika Nonparametrik. Surabaya : IAIN Press.
Soehartono, I. (1999). Metode Pnelitian Sosial. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
(6)
59
Widyatama, R. (2006). Bias Gender dalam Iklan Televisi. Yogyakarta : Media