11 Pokok Bahasan Kedelapan final
Pokok Bahasan VIII
MENERAPKAN PROGRAM KEBIJAKAN PUBLIK
Sub Pokok Bahasan Halaman
8.1. Penerapan Program Kebijakan Publik 76
8.2. Model-model Kebijakan Publik 81
(2)
Pokok Bahasan VIII Judul Pokok Bahasan
Menerapkan Program Kebijakan Publik Tujuan Interaksional
Pada akhir materi, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan mengenai : (1) Penerapan Program Kebijakan Publik, dan (2) Model-model Kebijakan Publik
Sub Pokok Bahasan
8.1. Penerapan Program Kebijakan Publik
Pembahasan mengenai penerapan program kebijakan publik pada hakekat memahami bagaimana hakikat implementasi kebijakan itu sendiri dan menjelaskan hubungan antara proses implementsi dan perumusan kebijakan.
Pelaksanaan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuat kebijaksanaan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan berupa impian atau rencana yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan". Karena implementasi kebijakan bukan hanya sekedar bersangkut paut dangan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijaksanaan.
Pada masa sebelumnya, implementasi kebijakan tidak terlalu mendapat perhatian dari para ahli. Mereka lebih memperhatikan perumusan kebijakan dan membiarkan masalah-masalah praktis dan rinci mengenai implementasi kebijakan itu (hanya) menjadi urusan para administrator sendiri. Sehingga tidak heran jika selama puluhan tahun dalam studi kebijakan negara terdapat semacam mata rantai yang hilang (missing link) antara tahap perumusan kebijaksanaan dengan tahap evaluasi hasil akhir (outcames) kebijakan negara. Ketertarikan mengenai implementasi kebijaksanaan karena ktidakefektifan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah yang kemudiaan dinamakan dengan implementation gap atau suatu istilah yang bertujuan menjelaskan suatu keadaan dimana proses kebijaksanaan selalu akan dimungkinkan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijaksanaan dengan apa yang senyatanya dicapai. Tingkat perbedaan tersebut sangat tergantung dari implementation capacity dari keompok organisasi/aktor yang dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijaksanaan tersebut.
(3)
Dalam kaitan seperti ini Hogwood dan Gunn membagi kegagalan kebijaksanaan (policy failure) ke dalam 2 kategori : (1) Non implementation (tidak terimplementasikan), artinya bahwa kebijaksanaan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, dan (2) Unsuccesful implementation, adalah dimana kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (misal bencana alam) kebijaksanaan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Resiko kegalalan dalam kebijkasanaan biasanya disebabkan oleh faktor-faktor berikut: pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy) atau kebijakan itu memang bernasib jelek (bad luck).
Proses implementasi kebijakan, khususunya program-program pemerintah yang melibatkan banyak organisasi/institusi dapat dilihat dari 3 sudut pandang, yakni: 1) pemrakarsa kebijaksanaan/pembuat kebijaksanaan; 2) pejabat-pejabat pelaksana lapangan; dan 3) aktor-aktor perorangan di luar badan-badan pemerintahan kepada siapa program itu ditujukan, yakni kelompok sasaran (target group). Selain itu menurut Jones, untuk melakukan suatu pekerjaan dibutuhkan tenaga kerja, uang dan kemampuan organisasional. Karenanya membutuhkan sumberdaya tambahan agar dapat diukur apa-apa yang telah dikerjakan, seperti yang diperlihatkan tabel 8.1.
Tabel 8.1.
Konsep dan Alat Analisis Terhadap Penerapan Program
Kegiatan-kegiatan
Fungsional Dikategorikan DalamPemerintahan Dengan suatu produkpotensial Penerapan :
Organisasi, Penafsiran, Penerapan
Pemerintah ke
permasalahan Bervariasi (pelayanan, pembayaran, kemudahan,
pengawasan) Sumber : COJ, 1994 : 293
(1) Organisasi
Pada tabel 12.1. organisasi dipahami sebagai pembentukan atau penataan kembali sumberdaya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan. Oleh karenanya organisasi dibentuk untuk tujuan menjalankan program-program yang dirancang. Namun dalam kenyataan tujuan tersebut bertambah karena muncul motivasi-motivasi lainnya, seperti: niat untuk mengembangkan diri sendiri (untuk menambah kekuatan suatu instansi ataupun hanya sekedar untuk bertahan yang selanjutnya dapat mengendalikan. Seperti yang dijelaskan pada pokok bahasan VII, organisasi dalam sistem politik atau sistem pemerintahan yang dilegitimasi dipahami sebagai : (1) Legeslatif, (2) Eksekutif, dan (3) Yudikatif, serta yang terakhir adalah (4) Birokrasi. Legitimasi yang dimaksud adalah suatu tertib sosial yang ingin dibentuk atau dipertahankan sesuai dengan
(4)
patokan-patokan tertentu maka harus ada pengesahan agar warga masyarakat yang bersangkutan mengakui dan menaatinya.
Pengertian birokrasi secara teoritis dapat mengacu pada tulisan Weber yang mengartikan bahwa birokrasi adalah : (1) hal yang rutin dalam kehidupan sehari-hari, dan (2) kepemimpinan yang mewakili kehidupan sehari-hari atau kepemimpinan yang kharismatik berkaitan dengan hal-hal yang luar biasa. Karenanya birokrasi secara ideal adalah pengaktifan tatanan rasional dari segala sesuatu yang ditata oleh aturan-aturan (hukum-hukum dan aturan-aturan administrasi), sehingga birokrasi memiliki otoritas, berkaitan dengan :
a. Kegiatan-kegiatan teratur, yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan birokrasi pemerintahan, untuk didistribusikan sebagai cara yang tetap dari pelaksanaan kewajiban resmi;
b. Penguasa, untuk memberikan perintah yang diperlukan untuk mempertanggungjawabkan kewajiban-kewajiban tersebut dan kemudiaan dibagikan dalam cara yang tetap serta secara ketat oleh aturan-aturan yang berhubungan dengan cara-cara paksaan dan sejenisnya, yang akan dikenai sanksi berupa pemecatan atau pembuangan bagi para pejabat yang melakukannya;
c. Ketetapan metodis dibuat untuk keteraturan dan kesinambungan pemenuhan kewajiban tersebut, serta pelaksanaan hak-hak yang sesuai; sehingga hanya orang-orang yang berkualifikasi baik sajalah yang pantas ditugasi.
Ketiga hal di atas perlu dilakukan karena birokrasi yang terbentuk merupakan struktur sosial yang sulit dihancurkan. Selain itu birokrasi adalah alat yang mendatangkan “tindakan kemasyarakatan” yang berubah secara rasional sehingga tersusun menjadi “peristiwa kemasyarakatan” yang selanjutnya dapat menjadi alat kontrol. Ideal birokrasi menurut Weber pada kenyataannya sulit terealisasi karena : (1) adanya tekanan yang bersifat politis, (2) implementasi membutuhkan sebuah proses yang sifatnya dinamis yang dapat bervariasi pada berbagai permasalahan sehingga menimbulkan keraguan tentang sesuatu yang ideal membawa tindakan masyarakat menjadi peristiwa sosial yang teratur, dan (3) birokrasi yang diharapkan menjadi instrumen kekuasaan utama bagi pengawasan aparat birokrasi sulit dijalankan karena tidak ada aparat birokrasi yang tunggal.
Biro pemerintahan pada kenyataannya adalah sebuah unit yang sangat tergantung dan harus memantau maksud pembuat peraturan sekaligus tuntutan dari klien mereka. Karenanya pikiran Weber mengenai citra mekanisme dari birokrasi berada jauh dari harapannya mengingat dalam perkembangannya birokrasi lebih banyak bersifat dinamis-politis. Secara politis, birokrasi membutuhkan dukungan sehingga program-programnya dapat dipopulerkan untuk mempertahankan kekuatan instansinya dimana di dalamnya dapat mengandung konflik antar klien dan antar instansi.
(5)
Selain organisasi yang di dalamnya berkaitan dengan birokrasi, masalah interpretasi juga menjadi penekanan. Menurut Jonse interpretasi adalah menafsirkan agar program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan. Apa yang akan dilakukan sekarang? Merupakan pertanyaan yang harus dijawab dalam menerapkan keputusan dimana haruslah tahu apa yang seharusnya dilakukan (interpretasi terhadap kebijakan yang sudah diputuskan). Hal ini menjadi penting karena dalam pelaksanaan birokrasi sering menghadapi adanya hukum tidak tertulis yang menyatakan kian rumit suatu permasalahan sosial, kian mendua pula kebijakan sosial sehingga ada kecenderungan permasalahan khusus yang sulit untuk dijawab. Karenanya tertib hukum yang diharapkan Weber tidak sepenuhnya dapat terlaksana.
Terlepas dari persoalan di atas, ada kebutuhan untuk memperjelas patokan sehingga para pelaksana (birokrasi) lebih mudah menghadapi tanggungjawab. Patokan yang dimaksud dapat diurutkan : (1) dukungan politik, dan (2) ketersediaan sumber daya. Kejelasan patokan dalam penafsiran sangat ditentukan dari; ketelitian, konsistensi, penyusunan prioritas, sumberdaya yang cukup dan lain sebagainya. Analisis penerapan (penafsiran) mutahir menggunakan beberapa variabel, seperti : sosial, politik, legalitas dan kondisi organisasi. Lebih rinci variabel tersebut dirumuskan sebagai berikut :
a. Variabel yang mudah dikendalikan mencakup tingkah laku kelompok, ukuran kelompok, perubahan tingkah laku yang dibutuhkan serta kesulitan-kesulitan teknis lainnya.
b. Variabel yang dikaitkan dengan bidang yang mana undang-undang akan membentuk/mempengaruhi pelaksanaan. Variabel yang dimaksud adalah : tujuan-tujuan yang jelas dan konsistensi, teori sebab akibat yang memadai (bagaimana b mengikuti a), dana awal yang cukup, integrasi diantara badan-badan pelaksana, ketentuan dari peraturan keputusan, komitmen terhadap sasaran-sasaran tujuan yang ditetapkan oleh statuta, serta akses formal dari orang luar.
c. Variabel-variabel non-hukum dasar (non-statuta) yang memberikan dampak pada pelaksanaan: “Keluaran kebijakan dari badan-badan pelaksana pada dasarnya adalah sebuah fungsi interaksi antara struktur sah dengan proses politik. Variabel disini mencakup kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan teknologi, dukungan masyarakat, sikap dan sumberdaya klien, dukungan dari atas, serta komitmen dan keahlian para pejabat pelaksana.
Selama ini tidak ada metode yang seragam, sehingga dalam analisis penafsiran tergantung pada cara yang digunakan pelaksana dalam menafsirkan, kepada siapa para pelaksana berorientasi? Siapa yang saja yang dianggap memiliki otoritas? Karenanya implementasi membutuhkan waktu yang lama, dan jika berhasil tentunya memerlukan tahapan. Kadang-kadang terdapat mata rantai yang hilang sehingga penafsiran pada tahapan penerapan dibutuhkan untuk mengisi mata rantai tersebut. Karenanya interpretasi adalah suatu varian dengan konsep administrasi umum yang
(6)
lebih tradisional serta ilmu manajemen yang menekankan pada terciptanya tujuan kebijakan yang efektif dan efisien serta dilaksanakan oleh suatu pelayananan sipil yang objektif.
(3) Penerapan
Penerapan adalah ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan. Atas dasar tabel 12.1., Jones menyatakan bahwa penerapan pada dasarnya adalah proses interaktif dari penafsiran terhadap kegiatan-kegiatan kebijakan yang sudah dirancang sebelumnya, kesiapan organisasi untuk melaksanakannya, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan kebijakan tersebut. Singkatnya penerapan adalah proses memindahkan suatu keputusan (kebijakan) ke dalam kegiatan atau pengoperasian dengan cara tertentu. Proses penerapan merupakan jejaring atau hubungan-hubungan dalam rangkaian sebab-akibat untuk mencapai suatu tujuan dari kebijakan. Karenanya perlu dilakukan aktifitas untuk pendefisinian dan pengidentifikasian kembali proses kebijakan, diantaranya : (1) Permasalahan dan tuntutan didefinisikan, (2) Partisipasi masyarakat dan antarpemerintah perlu diidentifikasikan, dan (3) Perlu belajar dari kegagalan sebelumnya untuk memperoleh masukan.
Selain pendefisinian dan pengidentifikasian kembali proses kebijakan, hal penting lainnya yang perlu perhatikan adalah : (1) Tidak seorangpun bertanggungjawab dalam penerapan. Persoalan ini muncul karena penerapan program pada dasarnya menyangkut antarpemerintah (pusat, propinsi, kabupaten dan desa) dan juga antarinstansi (sektoral). Hal ini yang kemudiaan memunculkan konsep tentang perencanaan terpadu, dan (2) Program-program bersifat domestik tidak pernah mencapai semua hasil yang diharapkan. Perhatian terhadap persoalan penerapan kebijakan lokal (desa) umumnya tidak menjadi perhatian untuk didukung karena sistem birokrasi yang digunakan sangat tergantung pada pemerintahan di atasnya.
Berkaitan dengan hal di atas, yang perlu dilakukan dalam menerapkan program adalah siapa yang terlibat dalam penerapan: (1) Kaum birokrat dalam fungsi keeksekutifannya secara fungsional bertanggungjawab, (2) Selain birokrat, keterlibatan penting lainnya adalah : legislatif, yudikatif, LSM, dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya serta orang-perorang.
Penerapan mengacu pada pelaksanaan pekerjaan yaitu penyediaan barang dan jasa sebagaimana tujuan-tujuan yang bersifat pragmatis lainnya. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut tentunya dibutuhkan suatu proses pekerjaan mempertimbangkan konsepsi alternatif tentang politik dan administrasi (pemerintahan). Di dalamnya membutuhkan pedoman program maupun patokan-patokan yang mengarahkan pelaksana pada suatu proses dinamis sesuai dengan perkembangan kondisi aktual.
Penilaian atau pertimbangan konsepsi alternatif ditentukan kadarnya dalam penerapan perbaikan yang sah atas suatu permasalahan haruslah sama akuratnya dengan pemahaman mengenai perbaikan itu sendiri.
(7)
Namun sejauh ini adanya kompromi politik diantara para administrator dengan ikut membenarkan premis-premis kelompok yang berkekuatan politis adalah yang secara implisit membiarkan penghindaran dan secara eksplisit menetapkan hukuman.
Politik pada dasarnya selalu melibatkan konflik sehingga menimbulkan ambivalensi dimana pengawas dan pelaksanaan diawasi sama-sama mengasumsikan peran pelanggar yang potensial maupun peran korbannya. Diluar ada saling berperan sehingga terdapat peraturan yang tidak dijalankan; sepesifikasi jalan penyelesaian, serta hukuman dan pengharagaan yang mencerminkan pertimbangan atau penyesuaian yang dapat diterima terhadap peranan yang saling bertentangan tersebut. Bila pemerintah pusat memiliki kebijakan domestik, maka dibutuhkan kemitraan antarlembaga pemerintah, seperti adanya bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menutupi defisit anggaran yang dihadapi pemerintah daerah.
8.2. Model-model Kebijakan Publik
Model Kebijakan (Policy models) adalah representasi sederhana mengenai aspek- aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu.. Persis seperti masalah-masalah kebijakan yang merupakan bangunan mental yang berdasarkan pada konseptualisasi dan spesifikasi elemen-elemen kondisi masalah, model-model kebijakan merupakan rekonstruksi artifisial dari realitas dalam wilayah yang merentang dari energi dan lingkungan sampai ke kemiskinan, kesejahteraan, dan kejahatan. Model kebijakan dapat Dinyatakan sebagai konsep, diagram, grafik, atau persamaan matematika. Mereka dapat digunakan tidak hanya untuk menerangkan, menjelaskan, dan memprediksikan elemen-elemen suatu kondisi masalah melainkan juga untuk memperbaikinya dengan merekomendasikan rangkaian tindakan untuk memecahkan masalah-masalah tertentu. Model kebijakan tidak pernah merupakan deskripsi literal tentang situasi masalah. Seperti halnya masalah kebijakan, model kebijakan merupakan alat artifisial untuk menyusun secara imajinatif dan menginterpretasikan pengalaman kita tentang situasi masalah.
Model kebijakan bermanfaat dan bahkan harus ada. Model kebijakan merupakan penyederhanaan sistem masalah (messes) dengan membantu mengurangi kompleksitas dan menjadikannya dapat dikelola oleh para analis kebijakan. Model-model kebijakan dapat membantu membedakan hal-hal vang esensial dan yang tidak esensial dari situasi masalah, mempertegas hubungan di antara faktor-faktor atau variabel-variabel penting, dan membantu menjelaskan dan memprediksikan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan. Model-model kebijakan juga dapat memainkan peran kreatif dan kritis di dalam analisis kebijakan dengan mcndorong para analis untuk membuat asumsi-asumsi eksplisit mereka sendiri dan untuk menantang ide-ide konvensional maupun metode-metode analisis. Terakhir, penggunaan model-model kebijakan bukanlah masalah pilihan, karena setiap orang menggunakan
(8)
beberapa model. Setiap orang menggunakan model secara konstan dalam kehidupan pribadinya dan biasanya secara naluriah menggunakan model-model untuk membuat keputusan. Citra mental tentang dunia di sekeliling anda yang anda bawa ke dalam pikiran adalah model. Seseorang tidak mempunyai kota atau pemerintah atau negara di dalam kepalanya. Dia hanya mempunyai konsep yang terseleksi dan hubungan yang dia gunakan untuk menampilkan sistem nyata.
Atas dasar pemahaman di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model adalah penyederhanaan dari keberadaan beberapa aspek di dalam kehidupan nyata. Model yang digunakan dalam studi kebijakan adalah model konseptual (conceptual models). Model ini mencoba untuk:
(a) menyederhanakan dan menjelaskan pemikiran politik dan kebijakan publik.
(b) mengindentifikasikan aspek-aspek penting dari permasalahan-permasalahan kebijakan.
(c) membantu untuk berkomunikasi dengan pihak yang lain dengan memfokus pada bentuk-bentuk yang esensial dari kehidupan politik. (d) mengusahakan secara langsung untuk memahami kebijakan publik
dengan baik, dengan menyarankan mana yang penting dan yang tidak penting.
(e) menyarakan penjelasan kebijakan publik dan memprediksikan konsekuensi-konsekuensinya.
Beberapa kebijakan-kebijakan publik dari perspektif model-model di bawah ini: (1) Institusional Model, (2) Proses Model, (3) Rasional Model, (4) Incramental Model, (5) Grop Model, (6) Elite Model, (7) Public Choice Model, dan (8) Game Theory Model. Jelasnya akan dipaparkan lebih lanjut dibawah ini
(1) Institusional: Kebijakan sebagai Hasil
Kelembagaan
Hubungan antara kebijakan publik dan institusi pemerintah sangatlah dekat. Kebijakan tidak dapat menjadi kebijakan publik apabila belum diadopsi, diterapkan dan dilaksanakan oleh beberapa institusi pemerintah. Institusi-institusi pemerintah menunjukkan 3 karateristik kebijakan publik: (a) Pemerintah memberikan pinjaman legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan, (b) Kebijakan-kebijakan pemerintah berjalan secara universal, dan (c) Pemerintah memonopoli coercion dalam masyarakat, karena hanya pemerintah yang dapat melegitimasi kebijakan-kebijakan tersebut.
Dampak dari pengaturan institusional dalam kebijakan publik adalah sebuah pertanyaan empirik yang harus ditelaah. Secara frequent, para pembaharu antusias menyatakan bahwa suatu perubahan tertentu pada struktur institusional dapat membuat perubahan-perubahan dalam kebijakan publik tanpa adanya penelaahan hubungan antara struktur dan kebijakan. Dapat diungkapkan bahwa struktur dan kebijakan banyak ditentukan oleh
(9)
kekuatan sosial dan kekuatan ekonomi sehingga para pemikir bersama dengan aparat pemerintah akan mempunyai kebebasan yang terbatas.
(2) Proses: Kebijakan sebagai Aktivitas Politik
Satu set proses-proses kebijakan yang ditemukan oleh para ilmuwan-ilmuwan politik, biasanya secara umum mencakup garis besar di bawah ini:
(a) Identifikasi masalah. Mengidentifikasikan masalah-masalah kebijakan melalui tuntutan-tuntutan terhadap tindakah pemerintah. (b) Setting Agenda. Memfokuskan pada perhatian media massa
dan staff pemerintah pada masalah-masalah publik yang spesifik untuk memutuskan apa yang harus diputuskan.
(c) Formulasi kebijakan. Perkembangan dari proposal-proposal kebijakan oleh kelompok kepentingan
(d) Legitimasi kebijakan. Pemilihan dan pelaksanaan dari kebijakan-kebijakan melalui tindakan politik oleh kongres, presiden dan pengadilan.
(e) Implementasi kebijakan. Penerapan kebijakan-kebijakan melalui birokrasi-birokrasi, pengeluaran-pengeluaran publik, dan aktivitas dari aparat pemerintah.
(f) Evaluasi kebijakan. Evaluasi kebijakan oleh aparat pemerintah sendiri, konsultan-konsulatan luar, press, dan publik,
Contoh umum dari pendekatan proses ditunjukkan pada tabel 8.2. Tabel 8.2.
Proses Suatu Kebijakan: Satu Framework untuk Analisis Aktivitas
Fungsional Kategori dalamPemerintah Dan sebagaiSistem Dampak Persepsi
Definisi Agregasi Organisasi Representasi
Problems to
Government Problem Identification Problem to Demand
Formulation Legitimation Appropriation
Action to
Geverment Program Development
Proposal to Budgeted Program Organization
Interpretation
Aplication Government to Problem
Program
Implementation
Varies (service, payments, facilities, controls, dan lain-lain) Spesification
Measurement Analysis
Program to
Government Program Evalution Varies (justification, recommendation
(10)
, dan lain-lain) Resolution/
Termination
Resolusi Permasalahan atau Perubahan
Program Termination
Jalan keluar atau Peubahan
(3) Rasionalisme: Kebijakan sebagai Pendapat Sosial Maksimum
Rasional kebijakan adalah berkaitan dengan “pendapatan sosial maximum”; yaitu, pemerintah harus memilih kebijakan dalam menghasilkan pendapatan kepada masyarakat yang melebihi biaya oleh jumlah yang besar, dan pemerintah harus menghentikan kebijakan apabila biayanya tidak melibihi dari pendapatan. Ada 2 garis besar yang sangat penting dalam definisi pendapatan sosial maksimum; (a) Tidak ada kebijakan yang harus diadopsi bila biayanya melebihi keuntungan, dan (b) Didalam alternatif-alternatif kebijakan, keputusan yang dibuat harus memilih kebijakan yang menghasilkan keuntungan yang jauh lebih besar dari biayanya.
Dengan kata lain, kebijakan dapat dikatakan rasional pada saat perbedaan antara nilai yang dicapai dan nilai yang dikorbankan positif dan lebih bagus/menguntungkan dibanding alternatif kebijakan yang lain.
Beberapa hipotesa batasan-batasasn penting dalam membuat keputusan kebijakan yang rasional: (a) tidak ada keuntungan sosial yang biasanya disetujui tetapi hanya keuntungan untuk kelompok-kelompok spesifik dan perorangan, yang biasanya berkonflik; (b) Keuntungan dari banyaknya konflik dan biaya tidak dapat dibandingkan atau ditimbang; contohnya, sangatlah tidak mungkin membandingkan atau menimbang nilai dari martabat seseorang dengan kenaikan pajak, (c) Para pembuat kebijakan tidak termotivasi untuk membuat keputusan dengan didasarkan tujuan-tujuan sosial tetapi mencoba untuk memaksimalkan penghargaan pada diri mereka–kekuasaan, status, pemilihan kembali, uang dan yang lainnya, (d) Para pembuat kebijakan tidak termotivasi untuk memaksimalkan pendapatan bersih sosial tetapi lebih untuk memuaskan tuntutan-tuntutan untuk perkembangan; mereka tidak mencari sampai mendapatkan ”satu jalan yang terbaik”; sebaliknya, mereka menghentikan pencarian pada saat mereka menemukan satu alternatif yang akan berjalan, (e) Investasi-investasi yang besar dalam program-program dan kebijakan-kebijakan yang ada ( biaya yang ditanam) mencegah para pembuat keputusan untuk menimbang ulang alternatif-alternatif yang sudah dicabut pada keputusan sebelumnya, (f) Ada beberapa rintangan untuk mengumpulkan informasi yang diinginkan untuk mengetahui masing-masing kemungkinan dan konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan, termasuk biaya pengumpulan informasi, keberadaan informasi, dan waktu yang dibutuhkan dalam pengumpulan, (g) Tidak ada ilmu prediktif kemampuan social dan tingkah laku atau ilmu fisika dan biologi yang cukup maju untuk membuat para pembuat keputusan mengerti keuntungan penuh atau biaya dari setiap
(11)
alternatif kebijakan, (h) Para pembuat keputusan, bahkan dengan tekhnik analisa komputer yang maju, tidak mempunyai kepintaran yang cukup untuk mengkalkulasikan biaya dan keuntungan dengan akurat pada saat sejumlah besar dari bermacam-macam politik, sosial, ekonomi dan nilai-nilai kebudayaan dipertaruhkan, (i) Ketidak-pastian tentang konsekuensi-konsekuensi dari berbagai alternatif kebijakan memaksa/mendorong para pengambil keputusan untuk bertahan sedekat mungkin dengan kebijakan sebelumnya untuk mengurangi kemiripan gangguan, konsekuensi-konsekuensi yang tidak diantisipasi, dan (j) Segmen dasar dari pembuatan kebijakan dalam birokrasi menyulitkan untuk mengkordinat pengambilan keputusan sehingga input dari semua spesialisasi yang dibawa, menunjang dalam poin keputusan.
(4) Incrementalism: Kebijakan Sebagai Variasi dari yang Sebelumnya
Incrementalism melihat kebijakan publik sebagai lanjutan dari activitas pemerintah yang lalu dengan modifikasi-modifikasi incremental (tambahan) saja. Model incremental mengenal dasar ketidak praktisan dari ”rational-comprehensive” pembuatan kebijakan, dan menggambarkan proses yang lebih conservatif dalam membuat keputusuan. Incrementalism adalah conservatif dalam program yang ada, kebijakan,dan pengeluaran dianggap sebagai dasar, dan perhatian dikonsentrasikan pada program-program dan kebijakan-kebijakan baru dan pada kenaikan, penurunan, atau modifikasi pada program-program yang ada.
Beberapa alasan mengapa para pengambil keputusan biasanya menerima legitimasi dari program yang sudah ditetapkan dan menyetujui untuk melanjutkan kebijakan yang sebelumnya: (a) karena mereka tidak mempunya waktu, informasi, uang untuk menginvestigasi semua alternatif kebijakan yang ada, (b) Para pembuat keputusan menerima legitimasi dari kebijakan-kebijakan yang lalu karena ketidak pastian konsekuensi-konsekuensi yang akan muncul dari kebijakan yang berbeda dan sangat baru, (c) Kemungkinan adanya investasi-investasi berat dalam program yang ada (biaya yang ditanam), yang menghalangi perubahan radical apapun, dan (d) incrementalism secara politic merupakan jalan yang berguna/bijaksana. Incrementalism sangat penting dalam mengurangi konflik, menjaga stabilitas, dan mempertahankan sistem politik itu sendiri.
(5) Group Theory Kelompok: Kebijakan sebagai Keseimbangan Kelompok
Politik merupakan perebutan antara kelompok untuk mempengaruhi kebijakan publik. Tugas dari sistem politik adalah menangani konflik kelompok dengan: (a) menetapkan aturan permainan dalam perebutan kelompok, (b) Mengatur perundingan-perundingan dan menyeimbangkan kepentingan, (c) Membuat perundingan dalam bentuk kebijakan, (d) Menjalankan perundingan-perundingan tersebut.
(12)
Menurut teori kelompok, kebijakan publik pada saat apapun merupakan keseimbangan yang dicapai dalam perebutan kelompok. Keseimbangan tersebut ditentukan oleh pengaruh relative dari kelompok kepentingan manapun. Perubahan dalam pengaruh relative dari kelompok kepentingan manapun dapat diharapkan menghasilkan suatu perubahan dalam kebijakan publik; kebijakan akan bergerak/ pindah kearah yang diinginkan oleh kelompok yang mendapatkan pengaruh dan menjauh dari kelompok yang kehilangan pengaruh.
Seluruh sistem kelompok kepentingan sistem politik itu sendiri diadakan bersama dalam keseimbangan oleh beberapa kekuatan; (a) besar, hampir universal, kelompok latent di Amerika menunjang sistem constitutional dan memberlakukan aturan permainan, (b) kelompok yang beranggotakan lebih (overlapping group membership) membantu untuk menangani keseimbangan dengan mencegah kelompok siapapun yang pindah jauh dari nilai yang berlaku, dan (c) Pemeriksaan dan peyeimbangan yang dihasilkan dari kompetisi kelompok juga membantu menjaga keseimbangan dalam sistem.
(6) Elite Theory: Kebijakan sebagai Pilihan Elit
Elite theory dapat disimpulkan secara singkat sebagai berikut: (a) masyarakat dibagi menjadi beberapa yang mempunyai kuasa dan yang tidak. Hanya sebagian kecil yang mengalokasikan nilai–nilai bagi masyarakat: massa tidak menentukan kebijakan publik, (b) Mereka yang memerintah bukan tipikal massa yang diperintah. Para elit digambarkan secara proporsional dari masyarakat socio-ekonomi tingkat atas, (c) Pergerakan non elit menjadi elit pasti sangat lambat dan berlanjut untuk mempertahankan stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya non elit yang mendapatkan consesus dasar elit yang diakui dapat memerintah dalam lingkaran, (d) Para elit membagi konsesus dalam nilai dasar sistem sosial dan mempertahankannya dari sistem, (e) Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan massa tetapi lebih menetapkan nilai-nilai para elit. Perubahan dalam kebijakan publik akan brsifat incremental dari pada revolusioner, dan (f) Para elit aktif merupakan subjek untuk sedikit pengaruh relatif langsung dari massa apatetic. Para elit lebih mempengaruhi massa dari pada massa mempengaruhi para elit.
(7) Public Choice Theory: Kebijakan sebagai Pengambilan Keputusan Kolektif oleh Pribadi-pribadi
Pilihan publik adalah studi ekonomi dari pembuat keputusan nonmarket, khususnya aplikasi dari analisis ekonomi menjadi kebijakan. Public choice theory mengenal bahwa pemerintah harus menampilkan fungsi-fungsi tertentu yang tidak dapat dikuasai pasar; yaitu, harus dipastikan “market failure”; (a) pemerintah harus menyediakan barang-barang publik, barang-barang-barang-barang dan pelayanan yang harus disuplai kepada setiap orang bila mereka mendapatkan suplai dari seseorang, dan (b)
(13)
Perdagangan luar adalah suatu yang dikenal kegagalan pasar dan dasar pembenaran bagi intervensi pemerintah.
Public choice theory membantu menjelaskan bagaimana partai politik dan candidat-candidat biasanya gagal memberikan alternatif kebijakan yang jelas dalam kampanye pemilihan. Partai politik dan candidat tidak tertarik dalam meningkatkan prinsip-prinsip tetapi lebih pada kemenangan dalam pemilihan. Teori ini juga mengkontribusikan pengertian tentang kelompok kepentingan dan efek-efek mereka dalam kebijakan publik.
(8) Game Theory: Kebijakan sebagai Pilihan Rasional dalam Persaingan
Teori ini merupakan studi dari keputusan rasional dalam situasi dimana 2 atau lebih peserta mempunyai pilihan untuk dibuat dan outcomenya tergantung pada pilihan yang dibuat oleh masing-masing peserta. Game theory adalah model abstract dan deduktif dari pembuatan keputusan. Game theory adalah sebuah bentuk dari rasionalisme, tetapi digunakan dalam situasi persaingan dimana outcomenya tergantung apa yang dilakukan 2 atau lebih peserta.
(9) Model-model: Bagaimana mengatakan jika akan Membantu Atau Tidak
Model merupakan sebuah abstraksi atau perwakilan dari kehidupan politik. Dibawah ini merupakan beberapa kriteria umum untuk mengevaluasi kegunaan konsep-konsep dan model-model; (a) urutan danpenyederhanaan kenyataan, (b) mengidentifikasli apa yang penting, (c) menjadi sama dengan kenyataan, (d) menyediakan komunikasi yang berarti, (e) penyelidikan dan research secara langsung, dan (f) Ajukan penjelasan.
(14)
BAHAN BACAAN UTAMA
Abdul Wahid, Slocihin, 2002, Analisa Kebijaksanaan, Dari Reformulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta, Bumi Aksara, Halaman 59 – 120.
Jones, Charles O, 1994, Pengantar Kebijakan Publik, Jakarta, Raja Grafindo Persada, Halaman 293 – 350.
(1)
kekuatan sosial dan kekuatan ekonomi sehingga para pemikir bersama dengan aparat pemerintah akan mempunyai kebebasan yang terbatas.
(2) Proses: Kebijakan sebagai Aktivitas Politik
Satu set proses-proses kebijakan yang ditemukan oleh para ilmuwan-ilmuwan politik, biasanya secara umum mencakup garis besar di bawah ini:
(a) Identifikasi masalah. Mengidentifikasikan masalah-masalah kebijakan melalui tuntutan-tuntutan terhadap tindakah pemerintah. (b) Setting Agenda. Memfokuskan pada perhatian media massa
dan staff pemerintah pada masalah-masalah publik yang spesifik untuk memutuskan apa yang harus diputuskan.
(c) Formulasi kebijakan. Perkembangan dari proposal-proposal kebijakan oleh kelompok kepentingan
(d) Legitimasi kebijakan. Pemilihan dan pelaksanaan dari kebijakan-kebijakan melalui tindakan politik oleh kongres, presiden dan pengadilan.
(e) Implementasi kebijakan. Penerapan kebijakan-kebijakan melalui birokrasi-birokrasi, pengeluaran-pengeluaran publik, dan aktivitas dari aparat pemerintah.
(f) Evaluasi kebijakan. Evaluasi kebijakan oleh aparat pemerintah sendiri, konsultan-konsulatan luar, press, dan publik,
Contoh umum dari pendekatan proses ditunjukkan pada tabel 8.2. Tabel 8.2.
Proses Suatu Kebijakan: Satu Framework untuk Analisis Aktivitas
Fungsional Kategori dalamPemerintah Dan sebagaiSistem Dampak Persepsi Definisi Agregasi Organisasi Representasi Problems to
Government Problem Identification Problem to Demand
Formulation Legitimation Appropriation
Action to
Geverment Program Development
Proposal to Budgeted Program Organization
Interpretation
Aplication Government to Problem
Program Implementation Varies (service, payments, facilities, controls, dan lain-lain) Spesification Measurement Analysis Program to
Government Program Evalution Varies (justification, recommendation
(2)
, dan lain-lain) Resolution/
Termination
Resolusi Permasalahan atau Perubahan
Program Termination
Jalan keluar atau Peubahan
(3) Rasionalisme: Kebijakan sebagai Pendapat Sosial Maksimum
Rasional kebijakan adalah berkaitan dengan “pendapatan sosial maximum”; yaitu, pemerintah harus memilih kebijakan dalam menghasilkan pendapatan kepada masyarakat yang melebihi biaya oleh jumlah yang besar, dan pemerintah harus menghentikan kebijakan apabila biayanya tidak melibihi dari pendapatan. Ada 2 garis besar yang sangat penting dalam definisi pendapatan sosial maksimum; (a) Tidak ada kebijakan yang harus diadopsi bila biayanya melebihi keuntungan, dan (b) Didalam alternatif-alternatif kebijakan, keputusan yang dibuat harus memilih kebijakan yang menghasilkan keuntungan yang jauh lebih besar dari biayanya.
Dengan kata lain, kebijakan dapat dikatakan rasional pada saat perbedaan antara nilai yang dicapai dan nilai yang dikorbankan positif dan lebih bagus/menguntungkan dibanding alternatif kebijakan yang lain.
Beberapa hipotesa batasan-batasasn penting dalam membuat keputusan kebijakan yang rasional: (a) tidak ada keuntungan sosial yang biasanya disetujui tetapi hanya keuntungan untuk kelompok-kelompok spesifik dan perorangan, yang biasanya berkonflik; (b) Keuntungan dari banyaknya konflik dan biaya tidak dapat dibandingkan atau ditimbang; contohnya, sangatlah tidak mungkin membandingkan atau menimbang nilai dari martabat seseorang dengan kenaikan pajak, (c) Para pembuat kebijakan tidak termotivasi untuk membuat keputusan dengan didasarkan tujuan-tujuan sosial tetapi mencoba untuk memaksimalkan penghargaan pada diri mereka–kekuasaan, status, pemilihan kembali, uang dan yang lainnya, (d) Para pembuat kebijakan tidak termotivasi untuk memaksimalkan pendapatan bersih sosial tetapi lebih untuk memuaskan tuntutan-tuntutan untuk perkembangan; mereka tidak mencari sampai mendapatkan ”satu jalan yang terbaik”; sebaliknya, mereka menghentikan pencarian pada saat mereka menemukan satu alternatif yang akan berjalan, (e) Investasi-investasi yang besar dalam program-program dan kebijakan-kebijakan yang ada ( biaya yang ditanam) mencegah para pembuat keputusan untuk menimbang ulang alternatif-alternatif yang sudah dicabut pada keputusan sebelumnya, (f) Ada beberapa rintangan untuk mengumpulkan informasi yang diinginkan untuk mengetahui masing-masing kemungkinan dan konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan, termasuk biaya pengumpulan informasi, keberadaan informasi, dan waktu yang dibutuhkan dalam pengumpulan, (g) Tidak ada ilmu prediktif kemampuan social dan tingkah laku atau ilmu fisika dan biologi yang cukup maju untuk membuat para
(3)
alternatif kebijakan, (h) Para pembuat keputusan, bahkan dengan tekhnik analisa komputer yang maju, tidak mempunyai kepintaran yang cukup untuk mengkalkulasikan biaya dan keuntungan dengan akurat pada saat sejumlah besar dari bermacam-macam politik, sosial, ekonomi dan nilai-nilai kebudayaan dipertaruhkan, (i) Ketidak-pastian tentang konsekuensi-konsekuensi dari berbagai alternatif kebijakan memaksa/mendorong para pengambil keputusan untuk bertahan sedekat mungkin dengan kebijakan sebelumnya untuk mengurangi kemiripan gangguan, konsekuensi-konsekuensi yang tidak diantisipasi, dan (j) Segmen dasar dari pembuatan kebijakan dalam birokrasi menyulitkan untuk mengkordinat pengambilan keputusan sehingga input dari semua spesialisasi yang dibawa, menunjang dalam poin keputusan.
(4) Incrementalism: Kebijakan Sebagai Variasi dari yang Sebelumnya
Incrementalism melihat kebijakan publik sebagai lanjutan dari activitas pemerintah yang lalu dengan modifikasi-modifikasi incremental (tambahan) saja. Model incremental mengenal dasar ketidak praktisan dari ”rational-comprehensive” pembuatan kebijakan, dan menggambarkan proses yang lebih conservatif dalam membuat keputusuan. Incrementalism adalah conservatif dalam program yang ada, kebijakan,dan pengeluaran dianggap sebagai dasar, dan perhatian dikonsentrasikan pada program-program dan kebijakan-kebijakan baru dan pada kenaikan, penurunan, atau modifikasi pada program-program yang ada.
Beberapa alasan mengapa para pengambil keputusan biasanya menerima legitimasi dari program yang sudah ditetapkan dan menyetujui untuk melanjutkan kebijakan yang sebelumnya: (a) karena mereka tidak mempunya waktu, informasi, uang untuk menginvestigasi semua alternatif kebijakan yang ada, (b) Para pembuat keputusan menerima legitimasi dari kebijakan-kebijakan yang lalu karena ketidak pastian konsekuensi-konsekuensi yang akan muncul dari kebijakan yang berbeda dan sangat baru, (c) Kemungkinan adanya investasi-investasi berat dalam program yang ada (biaya yang ditanam), yang menghalangi perubahan radical apapun, dan (d) incrementalism secara politic merupakan jalan yang berguna/bijaksana. Incrementalism sangat penting dalam mengurangi konflik, menjaga stabilitas, dan mempertahankan sistem politik itu sendiri.
(5) Group Theory Kelompok: Kebijakan sebagai Keseimbangan Kelompok
Politik merupakan perebutan antara kelompok untuk mempengaruhi kebijakan publik. Tugas dari sistem politik adalah menangani konflik kelompok dengan: (a) menetapkan aturan permainan dalam perebutan kelompok, (b) Mengatur perundingan-perundingan dan menyeimbangkan kepentingan, (c) Membuat perundingan dalam bentuk kebijakan, (d) Menjalankan perundingan-perundingan tersebut.
(4)
Menurut teori kelompok, kebijakan publik pada saat apapun merupakan keseimbangan yang dicapai dalam perebutan kelompok. Keseimbangan tersebut ditentukan oleh pengaruh relative dari kelompok kepentingan manapun. Perubahan dalam pengaruh relative dari kelompok kepentingan manapun dapat diharapkan menghasilkan suatu perubahan dalam kebijakan publik; kebijakan akan bergerak/ pindah kearah yang diinginkan oleh kelompok yang mendapatkan pengaruh dan menjauh dari kelompok yang kehilangan pengaruh.
Seluruh sistem kelompok kepentingan sistem politik itu sendiri diadakan bersama dalam keseimbangan oleh beberapa kekuatan; (a) besar, hampir universal, kelompok latent di Amerika menunjang sistem constitutional dan memberlakukan aturan permainan, (b) kelompok yang beranggotakan lebih (overlapping group membership) membantu untuk menangani keseimbangan dengan mencegah kelompok siapapun yang pindah jauh dari nilai yang berlaku, dan (c) Pemeriksaan dan peyeimbangan yang dihasilkan dari kompetisi kelompok juga membantu menjaga keseimbangan dalam sistem.
(6) Elite Theory: Kebijakan sebagai Pilihan Elit
Elite theory dapat disimpulkan secara singkat sebagai berikut: (a) masyarakat dibagi menjadi beberapa yang mempunyai kuasa dan yang tidak. Hanya sebagian kecil yang mengalokasikan nilai–nilai bagi masyarakat: massa tidak menentukan kebijakan publik, (b) Mereka yang memerintah bukan tipikal massa yang diperintah. Para elit digambarkan secara proporsional dari masyarakat socio-ekonomi tingkat atas, (c) Pergerakan non elit menjadi elit pasti sangat lambat dan berlanjut untuk mempertahankan stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya non elit yang mendapatkan consesus dasar elit yang diakui dapat memerintah dalam lingkaran, (d) Para elit membagi konsesus dalam nilai dasar sistem sosial dan mempertahankannya dari sistem, (e) Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan massa tetapi lebih menetapkan nilai-nilai para elit. Perubahan dalam kebijakan publik akan brsifat incremental dari pada revolusioner, dan (f) Para elit aktif merupakan subjek untuk sedikit pengaruh relatif langsung dari massa apatetic. Para elit lebih mempengaruhi massa dari pada massa mempengaruhi para elit.
(7) Public Choice Theory: Kebijakan sebagai Pengambilan Keputusan Kolektif oleh Pribadi-pribadi
Pilihan publik adalah studi ekonomi dari pembuat keputusan nonmarket, khususnya aplikasi dari analisis ekonomi menjadi kebijakan. Public choice theory mengenal bahwa pemerintah harus menampilkan fungsi-fungsi tertentu yang tidak dapat dikuasai pasar; yaitu, harus dipastikan “market failure”; (a) pemerintah harus menyediakan barang-barang publik, barang-barang-barang-barang dan pelayanan yang harus disuplai kepada setiap orang bila mereka mendapatkan suplai dari seseorang, dan (b)
(5)
Perdagangan luar adalah suatu yang dikenal kegagalan pasar dan dasar pembenaran bagi intervensi pemerintah.
Public choice theory membantu menjelaskan bagaimana partai politik dan candidat-candidat biasanya gagal memberikan alternatif kebijakan yang jelas dalam kampanye pemilihan. Partai politik dan candidat tidak tertarik dalam meningkatkan prinsip-prinsip tetapi lebih pada kemenangan dalam pemilihan. Teori ini juga mengkontribusikan pengertian tentang kelompok kepentingan dan efek-efek mereka dalam kebijakan publik.
(8) Game Theory: Kebijakan sebagai Pilihan Rasional dalam Persaingan
Teori ini merupakan studi dari keputusan rasional dalam situasi dimana 2 atau lebih peserta mempunyai pilihan untuk dibuat dan outcomenya tergantung pada pilihan yang dibuat oleh masing-masing peserta. Game theory adalah model abstract dan deduktif dari pembuatan keputusan. Game theory adalah sebuah bentuk dari rasionalisme, tetapi digunakan dalam situasi persaingan dimana outcomenya tergantung apa yang dilakukan 2 atau lebih peserta.
(9) Model-model: Bagaimana mengatakan jika akan Membantu Atau Tidak
Model merupakan sebuah abstraksi atau perwakilan dari kehidupan politik. Dibawah ini merupakan beberapa kriteria umum untuk mengevaluasi kegunaan konsep-konsep dan model-model; (a) urutan danpenyederhanaan kenyataan, (b) mengidentifikasli apa yang penting, (c) menjadi sama dengan kenyataan, (d) menyediakan komunikasi yang berarti, (e) penyelidikan dan research secara langsung, dan (f) Ajukan penjelasan.
(6)
BAHAN BACAAN UTAMA
Abdul Wahid, Slocihin, 2002, Analisa Kebijaksanaan, Dari Reformulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta, Bumi Aksara, Halaman 59 – 120.
Jones, Charles O, 1994, Pengantar Kebijakan Publik, Jakarta, Raja Grafindo Persada, Halaman 293 – 350.