Analisis hukum islam terhadap pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita.

ABSTRAK
Skripsi ini berjudul: ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Pemikiran Amina
Wadud Tentang Kesaksian Wanita‛. Penulis menemukan surat al-Baqara>h ayat
282 yang membahas masalah keuangan dengan mendatangkan penulis dan saksi,
di mana jika dipahami secara tekstual, akan terdapat permasalahan berupa saksi
seorang laki-laki diseimbangkan dengan dua orang perempuan. Amina Wadud,
salah satu aktifis feminis muslim yang konsentrasi dibidang gender, dan sepak
terjangnya dipandang kontroversial, karena mendekonstruksi terhadap doktrinasi
agama, dan akan menjadi menarik ketika meninjau penafsirannya mengenai
gender dalam al-Qur’an. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan
masalah yaitu: pertama, bagaimana pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian
wanita? Kedua, bagaimana relevansi pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian
wanita dengan hukum Islam? Sebagai sebuah penelitian kualitatif berupa
kepustakaan (library research), yang bersumber dari bahan-bahan primer yang
berupa bahan hukum yang mengikat yakni al-Qur’an dan KHI. Kemudian bahan
sekunder berupa tulisan-tulisan Amina Wadud, buku, jurnal, tesis, dan karrya
tulis ilmiah lainnya. Dan bahan tersier berupa KBBI, dan kamus Arab-Indonesia.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan metode content analysis
dengan pola pikir deduktif.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Amina Wadud menganggap
hasil kajian para fukaha dan mufasirin tentang masalah kesaksian wanita

mengandung bias laki-laki, karena menempatkan wanita pada posisi yang tidak
setara dengan laki-laki. Menganggap wanita zaman dulu lemah akal, pelupa, dan
tidak bisa memimpin. Menurut Amina tidak demikian, melainkan karena adanya
pertimbangan konteks kehidupan saat itu, yang membatasi gerak wanita dalam
bidang sosial kemasyarakatan. Dua orang perempuan yang dihadirkan sebagai
saksi itu memiliki fungsi yang berbeda, satu sebagai saksi dan yang lain sebagai
pengingat apabila lupa. Nyatanya menurut Amina, wanita sekarang mampu
terjun ke ranah publik, mendapat pendidikan tinggi, dan bahkan menjabat
sebagai kepala negara. Sudah sepantasnya diakui setara dengan saksi laki-laki.
Dalam masalah saksi akad nikah misalnya, Pasal 25 KHI memuat syarat saksi
harus laki-laki, ini akan menimbulkan pola diskriminatif, ketika dihadapkan pada
masalah kontemporer. Ulama Syafii dan Hanbali sepakat melarang wanita
menjadi saksi dalam masalah akad nikah, h}udu>d, dan talak dengan dalil hadits
yang diriwayatkan Abu Ubaid. Sebaliknya Imam Hanafi membolehkan wanita
menjadi saksi akad nikah bersama laki-laki, atas argumen akad nikah diqiyaskan
dengan akad jual beli. Sedangkan Amina wadud berpendapat wanita dapat
menjadi saksi dalam segala bidang, jika memiliki kemampuan dalam bersaksi.
Pembaruan hukum Islam menjadi penting khususnya mengenai
kedudukan perempuan dalam rangka penyesuaian pemikiran-pemikiran hukum
Islam dengan perkembangan kontemporer dan keindonesiaan di bidang hukum

keluarga. Upaya ini menjadi penting agar kemaslahatan yang menjadi tujuan
hukum Islam dapat terwujud dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat, lakilaki maupun perempuan.

v

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ....................................................................................................i
PERNYATAAN KEASLIAN ...................................................................................ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................iii
PENGESAHAN .........................................................................................................iv
ABSTRAK .................................................................................................................v
KATA PENGANTAR ...............................................................................................vi
DAFTAR ISI ..............................................................................................................ix
DAFTAR TABEL......................................................................................................xi
DAFTAR TRANSLITERASI ...................................................................................xii
MOTTO .....................................................................................................................xiv
PERSEMBAHAN ......................................................................................................xv
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .........................................................................1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ...........................................................8
C. Rumusan Masalah ...................................................................................9
D. Kajian Pustaka ........................................................................................9
E. Tujuan Penelitian ....................................................................................14
F. Kegunaan Penelitian ...............................................................................14
G. Definisi Operasional ...............................................................................15
H. Metode Penelitian ...................................................................................16
I.

Sistematika Pembahasan ........................................................................20

BAB II TEORI KESAKSIAN DAN HAKIKAT MAS}LAH}AH
A. Tinjauan Umum Tentang Kesaksian
1. Definisi Kesaksian ..............................................................................22
2. Syarat-syarat Saksi .............................................................................24
3. Dasar Hukum Kesaksian .....................................................................29
4. Kesaksian Wanita dalam Islam ...........................................................33

i


digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

B. Teori Mas}lah}ah dalam Hukum Islam
1. Definisi Mas}lah}ah ...............................................................................36
2. Macam-Macam Mas}lah}ah ...................................................................37
BAB III AMINA WADUD DAN PEMIKIRANNYA TENTANG KESAKSIAN
WANITA
A. Biografi Amina Wadud ............................................................................41
B. Karya Intelektual Amina Wadud .............................................................43
C. Metodologi Tafsir Feminis Amina Wadud Tentang Kesaksian Wanita .45
D. Konstruksi Pemikiran Amina Wadud ......................................................50
E. Pemikiran Amina Wadud Tentang Kesaksian Wanita ............................53
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMIKIRAN AMINA
WADUD TENTANG KESAKSIAN WANITA
A. Kualitas Wanita Sebaga Syarat Menjadi Saksi .......................................58
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pemikiran Amina Wadud Tentang
Kesaksian Wanita ......................................................................................61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................75

B. Saran ........................................................................................................75
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................77
LAMPIRAN-LAMPIRAN.........................................................................................81

ii

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam literatur Islam, masalah kesaksian wanita telah menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari kajian sistematis tentang qad{a> (peradilan).
Bahkan, dapat dikatakan bahwa masalah kesaksian wanita telah setua literatur
Islam, karena literatur fikih tertua yang masih bisa kita simak sampai saat ini,
seperti Al-Muwat}t}a’ dan Al-‘Umm, maupun tafsir telah memuat masalah
kesaksian wanita.1
Penafsiran QS. al-Baqara>h ayat 282 menyatakan kehadiran saksi baik
laki-laki maupun wanita selain diperintahkan al-Qur’an kepada para pihakpihak yang melakukan sebuah akad atau transaksi untuk menghadirkan saksi,
juga sebagai upaya preventif. Apabila pada masa yang akan datang terjadi

perselisihan antara orang-orang yang mengakadkan akad atau transaksi, maka
dengan adanya saksi pada waktu akad atau transaksi dahulu saksi tersebut
dapat memberikan keterangan.2 Hadits Nabi Muhammad saw:

‫بد‬

‫بد‬
‫ر‬

3

(

‫)ر ه‬

‫د‬

‫د‬
‫ر‬


‫د‬

‫ب‬

‫د‬

:

‚Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; aku
bacakan di hadapan Malik; dari Abdullah bin Abu Bakar dari ayahnya
Sri Suhandjati Sukri, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender, (Yogyakarta: Gama
Media, 2002), 67.
2
Ibnu Elmi AS Pelu dan Abdul Helim, Konsep Kesaksian, (Malang: Setara Press, 2015), 68.
3
Abu al-Husain ibn al-Hujjaj ibn Muslim al-Qusyairy an-Naisabury, al-Ja>mi’u as}-S}ah}i>h}, Juz V,
Ttp: Tth, 133.
1

1


digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

dari Abdullah bin Amru bin Utsman dari Ibnu Abu ‘Amrah al-Anshai
dari Zaid Ibnu Kholid al-Juhany bahwa Nabi saw bersabda: ‚maukah
kalian aku beritahu sebaik-baik persaksian? Yaitu orang yang datang
memberi saksi sebelum diminta persaksiannya.‛ (H.R Muslim)
Dalam hal tersebut pada dasarnya saksi harus mengetahui dengan baik
persoalan yang dihadapi dan dikenal juga tingkat keadilan serta kejujurannya.
Pandangan yang tampak berbeda dari doktrin dan aturan di atas adalah
mazhab Hanafi lebih memperluas ruang lingkup saksi yakni dua orang lakilaki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, tidak hanya berhak
menjadi saksi terkait dengan berbagai macam bisnis, tetapi berhak pula
menjadi saksi terkait dengan akad nikah, talak dan rujuk. Artinya mazhab
Hanafi lebih memperluas objek kesaksian yang tidak hanya pada kesaksian
transaksi bisnis, melainkan memperluas makna objek kesaksian ke wilayah
hukum keluarga kecuali kasus hukum yang berkaitan degan kasus h}udu>d dan

qis}a>s}.4

Kedudukan saksi semakin terlihat sangat penting karena menjadi unsur
yang harus ada dalam suatu akad khususnya akad nikah. Sehingga apabila
ketinggalan mengakibatkan tidak sahnya akad nikah.5 Berdasarkan hadits
Nabi saw:

‫د‬

‫د‬

‫و‬

‫رو‬

:
( ‫ب‬

6

‫ى‬


‫)ر ه د ر‬

‚Aisyah berrkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak sah suatu
pernikahan tanpa adanya seorang wali dan dua orang saksi laki-laki
yang adil (H.R Daruquthni dan Ibnu Hibban)‛.
Ibnu Elmi AS Pelu dan Abdul Helim, Konsep Kesaksian.., 79-80.
Ibid., 69.
6
Maktabah al-Syamilah, Sunan al-Daruquthni no 3580
4

5

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

Berdasarkan hadits di atas, dapat dipahami bahwa pada intinya saksi
adalah sebagai rukun akad nikah, bahkan menjadi rukun pula dalam suatu
perbuatan hukum. Hal ini sebagaimana pada firman Allah swt Q.S al-Baqara>h

ayat 282 bahwa walaupun objek kesaksian pada firman tersebut hanya
berkaitan dengan perkara muamalah (bisnis), tetapi yang mesti ditangkap
adalah adanya perintah untuk mencari dan mendatangkan saksi. Perintah dari
Allah pada awalnya selalu dapat dipahami sebagai hal yang wajib dilakukan.7
Dalam fikih Indonesia yakni Kompilasi Hukum Islam menganut bahwa
saksi juga termasuk rukun. Hal tersebut telah diatur sebagaimana pada Pasal
24 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang tertulis ‚Saksi dalam perkawinan
merupakan rukun pelaksanaan akad nikah‛.8 Selanjutnya pada ayat berikutnya
yaitu ayat (2) disebutkan ‚setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang
saksi‛. Dua orang saksi yang dimaksudkan di sini tentu adalah dua orang saksi
yang memenuhi persyaratan dan yang jelas adalah dua orang saksi laki-laki,
sebagaimana bunyi Pasal 25 ‚Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad
nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan
dan tidak tunarungu atau tuli‛. Persyaratan laki-laki dalam saksi akad nikah
menjadi dilema besar manakala dihadapkan pada masalah kontemporer. Ini
akan menimbulkan pola diskriminatif.9

7

Ibnu Elmi AS Pelu dan Abdul Helim, Konsep Kesaksian.., 69.
Departemen Agama RI, Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam,
2004), 171.
9
Abdul Malik Syafe’i, ‚Dekontruksi Pasal 25 Kompilasi Hukum Islam Tentang Kesaksian
Perempuan dalam Perkawinan‛, Medina-Te, Jurnal Studi Islam, Vol XIV, No. 2 (2 Desember,
2016), 202.
8

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

Hukum Islam adalah sebuah hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan
sunnah Nabi. Ia diyakini sebagai hukum yang mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia dan bersifat universal. Hukum Islam tersebut memiliki
sifat elastis dengan beberapa penggerak atau dasar-dasar pokok yang terus
berlaku mengikuti dinamika perubahan zaman. Seperti yang seringkali
dikatakan bahwa tujuan diterapkannya hukum dalam arti seluas-luasnya
adalah untuk kemaslahatan umat manusia, kontekstual dan harus sesuai
dengan prinsip-psrinsip keadilan dan kebersamaan.10 Firman Allah swt:
     
aynitrA: Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)

rahmat bagi semesta alam.‛ (QS. al-Anbiya>: 107)11
Prinsip-prinsip tersebut seringkali gagal memaknai sebagai pesan yang
terkandung dalam al-Qur’an, sehingga seringkali nash-nash hukum dipahami
secara tekstual sebagaimana tersurat tanpa memahami konteks sosiohistorisnya.12
Posisi

wanita

yang

ditempatkan

sebagai

subordinat

laki-laki

sesungguhnya muncul dan lahir dari sebuah bangunan masyarakat atau
peradaban yang dikuasai laki-laki, yang secara populer dikenal dengan sebagai
peradaban patriarki. Pada masyarakat seperti ini, wanita tidak diberi
kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya berperan dalam posisi-posisi

10

Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2007), 25.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Cordoba Internasional
Indonesia, 2012), 331.
12
Yuslam Chanafi, ‚Saksi Perempuan Menurut Al-Qardhawi dan Amina Wadud‛ (Skripsi—UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007), 4.
11

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

yang lebih luas. Sudah menjadi watak al-Qur’an bahwa ia memusatkan segala
sesuatunya berdasarkan langkah-langkah tertentu yang strategis, dan ini hanya
bisa dilakukan secara gradual. Oleh karena itu, akan menjadi kesalahan besar
apabila kita selalu memposisikan wanita dalam setting budaya seperti itu ke
dalam setting sosial dan budaya modern seperti sekarang ini. Hal ini juga
berlaku pada kondisi sebaliknya. Artinya, wanita dalam masyarakat modern
tidak selalu dapat diberikan legitimasi hukum sebagaimana yang diberikan
kepada masyarakat kala itu. Yang menjadi tuntutan al-Qur’an

adalah

kemaslahatan dan keadilan. Kemaslahatan dan keadilan adalah apabila kita
mampu memposisikan sesuatu secara proporsional dan kontekstual.13
Dalam kajian tentang kesaksian wanita, baik para ulama klasik (fuqaha
dan mufasirin) maupun para feminis14 sama-sama mendasarkan pendapatnya
pada al-Qur’an, khususnya dalam QS. al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi
sebagai berikut:
            ....
....          
Artinya: ‚...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orangorang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: LKIS, 2002), 147.
14
Feminis berasal dari bahasa latin, yaitu femina yang dalam bahasa inggris diterjemahkan
menjadi feminine, artinya memiliki sifat-sifat keperempuanan. Kemudian kata itu ditambah ism
menjadi feminisme, berarti paham keperempuanan yang ingin mengusung isu-isu gender
berkaitan dengan nasib perempuan yang belum mendapatkan perlakuan secara adil di berbagai
sektor kehidupan, baik sektor domestik, politik, social, ekonomi, maupun pendidikan. Lihat di
Lisa Tuttle, Encyclopedia Feminism, (New York: Fact off File Publication), 1986, 107.
13

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang
lagi mengingatkannya...‛ (QS. al-Baqara>h :282)15
Ayat ini menjadi sangat penting dalam kajian kesaksian karena
memasukkan faktor jenis kelamin dalam kualitas kesaksian, sah atau tidaknya
kesaksian, dan selanjutnya diterima atau tidaknya kesaksian. Sementara ayatayat lain yang lebih banyak, seperti dalam surat QS. an-Nisa>: 15 tentang
pendatangan empat orang saksi terhadap perbuatan keji. QS. at-Thala>q: 2
dalam masalah iddah. QS. an-Nu>r: 6, an-Nu>r: 4, QS. An-Nur: 8, tentang
mendatangkan saksi dalam perzinahan. QS. al-Maida>h: 106, tentang
mendatangkan saksi dalam wasiat dan QS. al-Maida>h: 107, tentang perintah
mendatangkan saksi dalam waris. Dari beberapa ayat al-Qur’an mengenai
kesaksian yang telah disebutkan ternyata lebih menekankan pada kualitas
kejujuran, keadilan dan persentuhan langsung saksi dengan kejadian sebagai
penentu kesaksian, tidak menjadikan jenis kelamin sebagai faktor penentu.16
Ada dua pertanyaan muncul dari aturan tentang kesaksian dalam ayat di
atas. Pertama, kenapa apabila tidak ada dua saksi laki-laki harus diganti
dengan satu laki-laki dan dua wanita? Kenapa tidak satu laki-laki satu wanita
saja? Apakah ketentuan tersebut tidak berarti merendahkan nilai wanita?

Kedua, apakah ketentuan tersebut berlaku khusus untuk kesaksian dalam
urusan transaksi kredit saja atau untuk semua urusan yang memerlukan
kesaksian seperti akad nikah, h}udu>d dan lain-lain?17

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya ..., 48.
Sulistyowati, Hukum dan Perempuan:Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan
Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 156.
17
Yunahar Ilyas, Feminisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 92
15

16

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

Meskipun demikian, masalah tersebut tetap merupakan salah satu topik
yang menjadi fokus perhatian para feminis muslim. Hal ini karena para
feminis berpendapat bahwa hasil kajian para fukaha dan mufasirin tentang
masalah tersebut mengandung bias laki-laki karena menempatkan wanita pada
posisi yang tidak setara dengan laki-laki. Hasil kajian tersebut mereka anggap
tidak sesuai dengan semangat dasar al-Qur’an yang tidak membedakan
manusia atas dasar jenis kelamin, tetapi atas dasar iman dan takwa. Atas dasar
pertimbangan tersebut, para feminis mengkaji ulang masalah itu dan
menghasilkan kesimpulan yang berbeda.18
Adapun dalam skripsi ini, penulis fokus pada Amina Wadud yakni salah
satu tokoh feminis yang menitikberatkan pada masalah eksistensi, dan hakhak perempuan. Hal penting dari Amina adalah ide kesetaraan dan keadilan
gender

yang

dibawanya

tidak

berhenti

dalam

wacana,

tetapi

diimplementasikan dalam praktek. Amina pernah menjadi imam sholat dengan
makmum lak-laki dan perempuan, yang selama ini dipandang haram dan telah
menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam. Sedangkan titik fokus yang
akan dikaji penulis dalam skripsi ini adalah konsep kesaksian wanita menurut
Amina Wadud, lantaran penafsiran ulama klasik terhadap QS. al-Baqara>h ayat
282 terkesan bias laki-laki.
Amina Wadud salah satu tokoh feminis yang fokus pada kesetaraan dan
keadilan gender, hadir dengan mereformulasi hukum kesaksian wanita. Amina
berpendapat bahwa surat al-Baqara>h ayat 282 hanya berkaitan dengan
18

Sri Suhandjati Sukri, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender.., 67.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

perjanjian keuangan dan dua orang wanita yang dihadirkan sebagai saksi itu
memiliki fungsi yang berbeda, satu sebagai saksi dan yang lain sebagai
pengingat apabila lupa. Amina juga mengemukakan alasan lain perlunya dua
saksi, yakni untuk menghindari adanya kecurangan. Jika salah seorang
melakukan kesalahan atau dibujuk atau dipaksa memberikan kesaksian palsu,
ada saksi lain yang mendukung persaksian itu.19
Berdasarkan penjelasan di atas yaitu kesaksian seorang laki-laki
diseimbangkan dengan dua orang wanita yang selalu mendatangkan
perdebatan, serta sekiranya dapat menghasilkan hukum yang relevan untuk
masalah kesaksian wanita. Dengan maksud apakah kesaksian wanita menurut
Amina Wadud dapat dilakukan pembaruan hukum sebagai implikasi dari
perkembangan zaman dan perubahan sosial masyarakat. Maka penulis tertarik
untuk mengkaji dan meneliti dengan mengangkat judul : Analisis Hukum
Islam Terhadap Pemikiran Amina Wadud Tentang Kesaksian Wanita.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka
dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut:
a. Penafsiran ulama klasik mengenai kesaksian wanita.
b. Kesaksian wanita menurut pemikiran Amina Wadud.

19

Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

c. Perbedaan pemikiran Amina Wadud dengan fukaha tentang kesaksian
wanita.
d. Kontroversi pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita.
e. Keberlakuan pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita dalam
hukum Islam.
f. Relevansi pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita dengan
hukum Islam.
2. Batasan Masalah
Batasan masalah pada penulisan skripsi ini adalah:
a. Konsep kesaksian wanita menurut Amina Wadud.
b. Relevansi pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita dengan
hukum Islam

C. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan
dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita?
2. Bagaimana relevansi pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita
dengan hukum Islam?

D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka bertujuan untuk menarik perbedaan mendasar antara
penelitian yang dilakukan dengan kajian atau penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya. Sejauh ini belum banyak literatur yang membahas

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

pemikiran Amina Wadud. Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan,
ada beberapa penelitian serupa yang meneliti tentang ‚Analisis Hukum Islam
Terhadap Pemikiran Amina Wadud Tentang Kesaksian Wanita‛. Penelitian
tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Skripsi berjudul ‚Studi Komparatif Tentang Kesaksian Wanita Menurut

Pemikiran Mahmud Syaltut dan Amina Wadud‛. Dalam skripsi ini
dijelaskan perbedaan secara metodologis tentang pandangan mereka
terhadap konsep kesaksian. Syaltut memandang bahwa ayat ini adalah
berlatar belakang sosiologis, yakni reaksi terhadap kondisi sosial saat di
mana ayat tersebut diturunkan. Dan ayat ini tidak bisa dijadikan sebagai
landasan teologis. Sedangkan Amina, lebih pada reaksi sebagai seorang
feminis yang merasa ‘tidak puas’ dengan ketidak setaraan pemahaman
tekstual ayat ini.20
2. Skripsi yang berjudul ‚Kesaksian Perempuan Dalam Al-Qur’an (Suatu

Tinjauan Pendapat Mufasir)‛. Dalam skripsi ini dibahas bahwa menurut
sebagian pendapat Mufassir, kesaksian dua orang perempuan itu
sebanding dengan satu laki-laki dalam hak-hak duniawi. Adapun dalam
perkara-perkara agama seperti periwayatan dan fatwa, maka seorang
wanita satu derajat (sama dengan laki-laki). Perbedaan itu sangatlah jelas
sekali. Sekiranya seorang saksi bila melupakan kesaksiannya namun saksi
yang lainnya mengingatkannya lalu dia teringat kembali, maka kelupaan

M. Imron Hamid, ‚Studi Komparatif Tentang Kesaksian Wanita Menurut Pemikiran Mahmud
Syaltut dan Amina Wadud‛ (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2006)

20

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

itu tidaklah mengapa bila dapat dihindarkan dengan adanya pengingatan
tersebut.21
3. Tesis

yang

berjudul

‚Perempuan Dalam Hukum Islam (Studi

Epistemologi Pemikiran Amina Wadud‛. Dalam tesis ini dijelaskan
bahwa dalam pemikiran Amina Wadud, faktor penafsir merupakan poin
paling segnifikan dalam melihat sejauhmana sebuah penafsiran bersifat
obyektif. Hal ini tercermin dari pernyataan Amina Wadud bahwa ajaran
al-Qur’an mengenai perempuan hanya bisa diadaptasi apabila ditafsirkan
sendiri oleh perempuan.22
4. Skripsi yang berjudul ‚Studi Analisis Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Tentang Saksi Satu Orang Perempuan Dalam Perkara Susuan‛. Dalam
skripsi ini dipaparkan Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang wanita
dapat dijadikan saksi dalam perkara susuan, karena hal itu menyangkut
peristiwa yang hanya dapat dilihat, dialami dan dirasakan wanita.
Seorang wanita asalkan diketahui bahwa ia wanita yang bukan tergolong
pendusta maka keterangannya dapat diterima. Berbeda halnya jika wanita
tersebut sebagai orang yang kurang baik dalam arti diketahui sering
berdusta maka hal itu harus dikuatkan oleh bukti lain. Sedangkan

21

Zamzami, ‚Kesaksian Perempuan Dalam Al-Qur’an (Suatu Tinjauan Pendapat Mufasir)‛
(Skripsi--Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau, 2011)
22
Fikria Najitama, ‚Perempuan Dalam Hukum Islam (Studi Epistemologi Pemikiran Amina
Wadud‛ (Tesis—Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

pendapatnya hanya layak dijadikan sebagai bukti tambahan atau
pelengkap.23
5. Skripsi yang berjudul ‚Studi Analisis Hukum Islam Terhadap Pemikiran

Amina Wadud Tentang Tidak Diperbolehkannya Poligami‛. Dalam
skripsi tersebut disimpulkan bahwa pemikiran Amina Wadud tentang
tidak diperbolehkannya poligami karena dia berpendapat bahwa alasanalasan yang selama ini diyakini, tidak pernah ada dalam al-Qur’an. Dalam
konteks hukum Islam di Indonesia, pemikiran atau konsep hukum Amina
Wadud ada kesamaan dengan tujuan pembaharuan hukum yang
didasarkan prinsip-prinsip persaudaraan, kesetaraan, dan keadilan di
masyarakat khususnya Islam.24
6. Skripsi yang berjudul ‚Studi Komparasi Antara Hukum Perdata dan

Hukum

Islam

Tentang

Kesaksian

Perempuan‛.

Skripsi

ini

membandingkan konsep kesaksian perempuan menurut hukum Islam dan
hukum Perdataa. Dan hasil penelitian nya mengatakan bahwa pada
dasarnya laki-laki dan perempuan diberikan hak yang sama menjadi saksi,
bahkan menjadi wajib jika mereka mengetahui sesuatu persoalan yang
membutuhkan pembuktian dengan saksi.25
7. Skripsi yang berjudul ‚Saksi Perempuan Menurut Yusuf Al-Qardhawi dan

Amina Wadud‛. Skripsi ini membandingkan pendapat Yusuf al-Qardhawi
Siti Mustaqfiroh, ‚Studi Analisis Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Tentang Saksi Satu
Orang Perempuan Dalam Perkara Susuan‛ (Skripsi—IAIN Walisongo, Semarang, 2008)
24
Nur Chabiba, ‚Studi Analisis Hukum Islam Terhadap Pemikiran Amina Wadud Tentang Tidak
Diperbolehkannya Poligami‛ (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2009)
25
Robiatul Adawiyah, ‚Studi Komparasi Antara Hukum Perdata dan Hukum Islam Tentang
Kesaksian Perempuan‛ (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2005)

23

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

dan Amina Wadud tentang saksi perempuan dan relevansinya terhadap
keadilan gender. Menurut Yusuf al-Qardhawi kedudukan saksi perempuan
adalah tidak menyebutkan bahwa formulasi bobot saksi perempuan yakni
satu banding dua (satu laki-laki dan dua perempuan), tapi lebih cenderung
kepada arti teks al-Qur’an yang menyatakan ‚jika tidak ada dua saksi
laki-laki maka satu laki-laki dan dua orang perempuan‛, namun dalam hal
ini Yusuf al-Qardhawi tidak bermaksud merendahkan kaum perempuan
tapi justru ingin memuliakannya. Sedangkan menurut Amina Wadud
saksi perempuan bukan disebut sebagai saksi, tetapi saksi perempuan
dalam hal ini adalah sebagai penguat, walaupun disebutkan bahwa
kesaksian seorang perempuan separuh dari laki-laki. Menurut Amina, ada
beberapa pertimbangan kontekstual yang menyebabkan pada awalnya
dibutuhkan lebih dari satu perempuan. Tujuannya adalah untuk menjaga
supaya tidak ada kesalahan baik yang disengaja atau tidak berkenaan
dengan ketentuan-ketentuan perjanjian.26
Dari ketujuh penelitian yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui
perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis, adalah dalam hal objek
penelitian yang digunakan ialah pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian
wanita. Yang hasil dari pemikiran Amina kemudian di analisis berdasarkan
konsep hukum Islam, apakah kondisi perempuan sekarang tidak cukup
memenuhi syarat untuk berdiri sendiri menjadi saksi dalam artian 1:1 dengan
laki-laki? Kemudian sumbangan apa yang bisa diberikan pemikiran Amina
26

Yuslam Chanafi, ‚Saksi Perempuan Menurut Al-Qardhawi dan Amina Wadud‛ (Skripsi—UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

bagi kemajuan perempuan dan fikih di bidang hukum keluarga. Dengan
demikian Penelitian yang penulis lakukan tidak pernah dilakukan oleh
peneliti terdahulu.

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka penulisan
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendapatkan gambaran mendalam mengenai pemikiran Amina Wadud
tentang kesaksian wanita
2. Memperoleh gambaran yang lebih mendalam tentang relevansi pemikiran
Amina Wadud tentang kesaksian wanita dengan hukum Islam.

F. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik
secara teoritis maupun praktis yaitu:
1. Kegunaan teoritis

Secara teoritis, menyumbangkan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan
hukum khususnya di bidang hukum keluarga, hukum Islam dan ilmu
pengetahuan dalam bidang ilmu agama khususnya tentang kesaksian
wanita.
2. Kegunaan Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi
penelitian mengenai bagaimana kedudukan saksi wanita dalam hukum
Islam. Juga tidak menutup kemungkinan bisa menjadi pertimbangan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

pembuatan Undang-undang tentang perempuan. Serta pembaruan Hukum
Islam mengenai fikih di bidang Hukum Keluarga.

G. Definisi Operasional
Dari beberapa pemaparan di atas terdapat beberapa istilah yang perlu
dijelaskan untuk memudahkan pemahaman dan dapat memperjelas maksud
dari judul penelitian ini, di antaranya yaitu:
Hukum Islam

: tata aturan yang digali para ulama dari sumber
ajaran agama Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits,
untuk membimbing dan mengarahkan kehidupan
umat Islam agar sesuai dengan tuntunan Islam.27
Dalam penelitian ini, hukum Islam yang digunakan
adalah ilmu fikih, karena bersinggungan langsung
pada konteks hukum keluraga.

Pemikiran

: proses, cara, perbuatan memikir; problem yang
memerlukan pemecahan.28
Yang dimaksud pemikiran dalam penelitian ini
adalah untuk mengetahui metode dan implikasi
pemikiran dari seorang tokoh yang bersangkutan,
dalam hal ini yakni pemikiran Amina Wadud.

Qurrotul Ainiyah, Keadilan Gender Dalam Islam; Konvensi PBB dalam Perspektif Mazhab
Syafi’i, (Malang: Intrans Publishing, 2015), 26.
28
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 1124.
27

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

Amina Wadud

:

adalah

seorang

wanita

muslim

pemikir

kontemporer yang mencoba melakukan rekonstruksi
metodologis tentang bagaimana menafsirkan alQur’an agar menghasilkan sebuah penafsiran yang
sensitif dan berkeadilan gender.29
Dengan

gagasan

yang

kritis,

ia

berusaha

mengaplikasikan metodologi yang dibangunnya
tersebut. Asumsi dasar yang dijadikan kerangka
pemikirannya adalah bahwa al-Qur’an merupakan
sumber tertinggi yang secara adil mendudukkan
laki-laki dan perempuan setara.
Kesaksian Wanita

: adalah pemberitahuan seorang wanita di depan
pengadilan tentang sesuatu yang disaksikannya dan
dilihatnya langsung dengan mata kepala, bukan
dengan pikiran.30

H. Metode Penelitian
Metode merupakan suatu proses atau tata cara untuk mengetahui
masalah melalui langkah-langkah yang sistematis. Penelitian merupakan suatu
kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan
secara metodis (yakni sesuai dengan metode atau cara tertentu), sistematis

Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), 65.
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010),
157.
29

30

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

(berdasarkan suatu sistem) dan konstinten (yakni tidak ada hal-hal yang
bertentangan dalam suatu kerangka tertentu).31
Dari hal tersebut dapat dikemukakan bahwa metode penelitian adalah
suatu tata cara yang digunakan untuk menyelidiki sesuatu dengan hati-hati
dan kritis guna memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu
pengetahuan melalui langkah-langkah yang sistematis. Dalam penyusunan
skripsi ini, penyusun menggunakan metode sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif,
berupa kepustakaan (library research) dengan mempelajari dan menelaah
bahan-bahan yang tertulis, seperti: buku, majalah, jurnal yang ada
hubungannya dengan masalah yang akan dibahas untuk memperoleh data
yang lengkap dengan dukungan sumber-sumber lain yang berkaitan
dengan kesaksian wanita.
2. Sifat penelitian
Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian

deskriptif-analitik.

Deskriptif

adalah

penelitian

yang

menyajikan data-data yang diteliti dengan menggambarkan gejala
tertentu. Metode ini digunakan untuk memaparkan dan menjelaskan
konsep kesaksian dalam berbagai perspektif dan bagaimana pandangan
Amina Wadud dalam hal tersebut. Di samping itu metode analisis

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia-UI
Press, 1986), 42.
31

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

digunakan untuk meninjau konsep kesaksian yang ditawarkan dan
bagaimana perspektif hukum Islamnya.
3. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini meliputi tiga kategori yaitu
bahan primer, bahan sekunder, dan bahan tersier.
a. Bahan primer
Adalah bahan hukum yang mengikat, yaitu:
1) al-Qur’an dan terjemahnya.
2) Kompilasi Hukum Islam.
b. Bahan Sekunder
Yakni bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan buku-buku karya Amina
Wadud dan literatur lain yang menunjang penelitian ini.
1) Qur’an and Woman; Reading the Sacred Text from a Woman’s
Perspective

2) Qur’an Menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan
Semangat Keadilan, Terjemahan Abdullah Ali

3) Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam, (Oxford:
Oneworld, 2006)
4) Fiqh as-Sunnah
5) al-Fiqh al-Islamy> Wa’adilatuhu
6) Tafsir al-Misbah

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

7) The Qur’an Women and Modern Society, terjemahan Agus
Nuryanto.
8) Dll.
c. Bahan Tersier
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan primer dan sekunder, yaitu:
1) Kamus Bahasa Indonesia
2) Kamus Arab Indonesia Terlengkap
3) al-Munjid fi> al-Lughah Wa al-A’la>m
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik
dokumentasi, yaitu cara mengumpulkan data melalui penelusuran,
pembahasan, kajian bahan tertulis, seperti buku-buku yang ada kaitannya
dengan masalah pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita dan
gender yang ada hubungannya dengan masalah tersebut.
5. Teknik Pengolahan Data
Dalam penelitian ini, data-data yang telah didapat dikumpulkan
kemudian dikelompokkan pengertian, interpretasi, dan argumentasi dalam
pembahasan pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita.
Kemudian dianalisis makna-makna apa yang telah diinterpretasi Amina
Wadud dengan metodologi hermeneutika tentang kesaksian wanita yang
kemudian dianalisis berdasarkan hukum Islam.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

6. Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data-data yang telah terkumpul, maka
langkah selanjutnya dilakukan analisis data. Dalam hal ini penulis
menggunakan metode Content Analysis, yaitu sebuah teknik yang
digunakan untuk memahami teks-teks dengan sambil merekonstruksinya
sehingga memperoleh makna dan nuansa uraian yang disajikannya secara
khas.32 Analisis data ini dilakukan sebelum dan sesudah data ditemukan.
Penulis menganalisis isi dari ide, gagasan maupun pemikiran Amina
Wadud tentang kesaksian wanita yang ada dalam bahan primer, kemudian
dikonfrontasikan dengan gagasan dari bahan primer yang lain maupun
bahan sekunder sebagai perbandingan dan hubungan secara kritis.
Selanjutnya untuk memudahkan dalam penarikan kesimpulan, penulis
merasa perlu menggunakan pola berpikir deduktif. Yakni dengan cara
memahami dan menangkap segala pernyataan yang bersifat umum dari
pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita, kemudian ditarik
menuju pada pernyataan yang lebih khusus.

I. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas serta mempermudah
pembahasan, maka penulis membuat penulisan secara sistematis sebagai
berikut:

Anton Bakker & Achmad Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,
1990), 74.
32

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

BAB pertama, berisi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang
masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan
sistematika penulisan. Inti dari semua uraian diatas dimaksudkan untuk
memberi jawaban umum atas pertanyaan-pertanyaan metodologis apa,
mengapa, dan bagaimana penelitian ini dilakukan.
BAB kedua, teori kesaksian dan hakikat mas}lah}ah meliputi: pengertian
kesaksian, dasar hukum kesaksian, macam-macam kesaksian, beberapa
ketentuan hukum kesaksian, syarat-syarat menjadi saksi, teori mas}lah}ah dalam
hukum Islam, pengertian serta macam-macam mas}lah}ah.
BAB ketiga, merupakan data pokok dalam skripsi ini yaitu penjelasan
mengenai sekilas biografi dan latar belakang Amina Wadud, karya intelektual
Amina Wadud, metodologi tafsir feminis Amina Wadud tentang kesaksian
wanita, Konstruksi pemikiran Amina Wadud, dan kesaksian wanita menurut
pandangan Amina Wadud
BAB keempat, merupakan bab analisis pendapat Amina Wadud
mengenai kualitas wanita menjadi saksi. Kemudian relevansi pemikiran
Amina Wadud tentang kesaksian wanita dengan hukum Islam.
BAB kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan akhir dari proses
penelitian skripsi ini, selanjutnya untuk menambah kekayaan dalam penulisan
skripsi ini diberikan saran-saran untuk membangkitkan para pembaca ataupun
penulis

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

75

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
TEORI KESAKSIAN DAN HAKIKAT MAS}LAH}AH
A. Tinjauan Umum Tentang Kesaksian
1. Definisi Kesaksian
Kesaksian adalah keterangan atau pernyataan yang diberikan saksi.1
Artinya, adanya suatu informasi yang disampaikan oleh seseorang yang
disebut sebagai saksi karena ia mengetahui kejadian suatu peristiwa yang
terkait dengan kesaksiannya. Dalam definisi yang lain kesaksian adalah
kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang suatu
peristiwa yang diperkarakan dengan jalan memberitahukan secara lisan
dan secara pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam
berperkara serta ia juga dipanggil dalam persidangan.2
Saksi dalam kitab fiqh cenderung didefinisikan dengan istilah
kesaksian yang diambil dari kata ‫ م شا هدة‬yang artinya melihat dengan mata
kepala, karena lafadz ‫( شاهد‬orang yang menyaksikan) itu memberitahukan
tentang

apa

yang

disaksikan

dan

dilihatnya.

Maknanya

ialah

pemberitahuan seseorang tentang apa yang dia ketahui dengan lafadz ‫ا شهد‬
‚aku menyaksikan atau aku telah menyaksikannya‛.3 Saksi disebut juga
dengan ‫( شاهد‬saksi lelaki) atau ‫( شاهدة‬saksi perempuan) bentuk jamaknya
adalah ‫ شهداء‬terambil dari kata ‫ م شاهدة‬yang artinya adalah menyaksikan

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, 1247.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), 166.
3
Louis Ma’luf al-Yassu’i, al-Munjid fi al-Lughah Wa al-A’lam (Beirut: Da>r al-Masyriq, 1986),
cet ke-17, 406.
1

2

22

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

dengan mata kepala sendiri.4 Para ulama juga memiliki banyak definisi
tentang saksi menurut bahasa, antara lain:
a. Pernyataan atau pemberitaan yang pasti5; dan
b. Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan
penyaksian langsung.6
Dalam bahasa Arab saksi dikenal dengan sebutan syaha>dah. Orang
yang menjadi saksi disebut sya>hid (saksi laki-laki) atau sya>hidah (saksi
perempuan) yang diambil dari timbangan sya>hida – yusya>hadu – syahdan

–syaha>datan ( ‫ شهادة‬- ‫ ) شاهد – ي شاهد – شهدا‬yang berarti menyampaikan
sesuatu sesuai yang ia ketahui melalui kesaksian; memberikan kabar yang
pasti (akurat dan kredibel); dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri.7
Makna lainnya yang dapat dipahami dari pengertian di atas bahwa
saksi adalah orang dipandang memahami dengan baik terhadap apa yang
disaksikannya.8 Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
kesaksian harus memenuhi unsur-unsur berikut:
a. Adanya suatu perkara;
b. Dalam objek tersebut terdapat hak yang harus ditegakkan;
c. Adanya orang yang memberitahukan objek tersebut secara apa
adanya;

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Pogressif,
1997), cet ke-1, 747.
5
Muhammad Thohir M, al-Qada’ fi>> al-Islam, (Beirut: al-Alamiyah, t.h), 51.
6
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.h), cet ke-6, jilid III, 332.
7
Ahmad Mukhtar Umar, al-Mu’jam al-Mausu>’i li alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m wa Qira>’atih,
(Riyadh: Mu’assasah at-Tura>s\, 2002), 976.
8
Ibid.
4

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

d. Orang yang memberitahukan memang melihat atau mengetahui
kebenaran objek tersebut; dan
e. Pemberitahuan tersebut diberikan kepada pihak yang berwenang
untuk menyatakan adanya hak bagi orang yang seharusnya berhak.9

2. Syarat-Syarat Saksi
Agar kesaksian dapat diterima, Islam melalui hasil ijtihad para pakar
hukum Islam menentukan beberapa kriteria yang mesti dipenuhi seseorang
yang menjadi saksi. Beberapa kriteria itu adalah:
a. Dewasa
Jumhur ulama sepakat bahwa kesaksian anak-anak yang belum
baligh tidak diterima kesaksiannya. Karena kesaksian anak-anak
dianggap

tidak

memungkinkan

untuk

bisa

mengantarkan

persaksiannya sesuai dengan yang diharapkan (kebenaran ucapan
dengan fakta).10 Oleh sebab itu, anak kecil tidak boleh menjadi saksi,
walaupun dia bersaksi atas anak kecil yang seperti dia, sebab mereka
kurang mengerti kemaslahatan utuk dirinya, lebih-lebih untuk orang
lain.11

9

Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer.., 153.
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy Wa’adilatuhu, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), Juz VI, 562.
11
Moh Rifa’i, Tarjamah Khulashah Kifayatul Ah}yar, (Semarang: Toha Putra, 1978), 281.
10

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

b. Berakal
Kesaksian orang gila dan orang yang tidak waras tidak dapat
diterima, sebab kesaksian mereka ini tidak membawa kepada
keyakinan yang berdasarkan perkara yang dihukumi.12
c. Beragama Islam
Para ahli fiqih bersepakat bahwa seorang saksi harus beragama
Islam. Dengan demikian kesaksian yang diberikan oleh orang kafir
dalam kasus yang menimpa seorang muslim tidak bisa diterima sebab
orang kafir dicurigai akan melakukan pelanggaran-pelanggaran
berkenaan dengan hak seorang muslim. Ulama mazhab Hanafi dan
Hanbali membolehkan seorang kafir memberikan kesaksian dalam
masalah wasiat yang terjadi dalam perjalanan.13 Dalilnya adalah
firman Allah swt:
           
 ...       
Artinya: ‚Wahai, orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang
(di antara) kamu menghadapi kematian, sedang ia akan
berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh
dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang
berlainan (agama) dengan kamu...‛(QS. al-Ma>idah: 106)14
d. Adil
Para ulama telah sepakat bahwa syarat bagi saksi adalah adil.
Berdasarkan Firman Allah swt:
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987) 56.
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa’adilatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011) Jilid 8, 182.
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya.., 125.
12

13

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

....        
Artinya: ‚....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil
di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian
itu karena Allah.‛ (QS. at-Thala>q: 2)15
Adapun yang dimaksud adil di sini adalah orang yang menjauhkan
dirinya dari berbuat dosa besar dan tidak terbiasa (berkenalan)
berbuat dosa kecil, dosa besar umumnya berzina, membunuh, makan
riba, mencaci ibu bapak, meninggalkan sholat, dan sebagainya. Dosadosa kecil seperti mengeluarkan kata-kata yang kurang sopan
didengar, bersenda gurau.16 Adapun kriteria adil menurut madzhab
Abu Hanifah menetapkan bahwa kriteria adil adalah sisi lahiriah
kemusliman seseorang. Dengan demikian, seorang saksi tidak perlu
ditanyai mengenai keadilan nya kecuali jika lawan perkaranya
mempertanyakan kadilan nya tersebut. Akan tetapi, apabila kasusnya
adalah h}udud dan qis}as}, seorang saksi harus ditanyai mengenai
keadilan nya meskipun perkaranya tidak meminta itu. Dalil yang
menyatakan bahwa untuk menetapkan keadilan seseorang cukup
hanya dengan sisi lahiriah kemuslimannya adalah sabda Nabi
Muhammad saw:

‫ بد د‬:
‫و‬

:

‫رو‬

:

‫و‬

‫د‬

‫ده‬

15

Ibid., 558.
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Edisi Lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i, (Bandung: Pustaka
Setia, 2007), 624.
16

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

17

.

‫د‬

‫د‬

Abu Bakar Ibn Abi Syaibah berkata: bahwa Abu Bakar telah berkata
kepadaku bahwasannya Abdur Rahim bin Sulaiman berkata
kepadanya dari Hajjaj, dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari
kakeknya, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: ‚Semua orang
muslim adalah adil antara sebagian dan sebagia