Analisa terhadap pemikiran mazhap Syafi'i tentang hukum kesaksian dalam akad nikah

(1)

ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

NUR ADILAH BINTI MUSTAFA NIM : 107044103849

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh :

NUR ADILAH BINTI MUSTAFA NIM : 107044103849

Pembimbing :

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. NIP : 150 169 102

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH D AN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 2009M/1430H


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 29 April 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Ahwal Syakhsiyah (Peradilan Agama).

Jakarta, 29 April 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,

Prof. DR. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM. NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua: Drs.H.A. Basiq Djalil, SH,MA. (...)

NIP. 150 169 102

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH. (...)

NIP. 150 285 072

3. Pembimbing: Drs.H.A. Basiq Djalil, SH,MA. (………..)

NIP. 150 169 102


(4)

4 Penguji I : Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, MA (………..)

NIP. 150 326 896

5 Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag. (...)


(5)

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yaang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 7 April 2009


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah saw serta iringi doa untuk keluarga, sahabat dan seluruh pengikut yang selalu setia sampai akhir zaman. Penulis bersyukur kepada Illahi Rabbi yang telah memberikan hidayah serta taufiq-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini yang berjudul: “ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH” telah terselesaikan.

Masa begitu cepat berlalu sehingga tidak terasa perjalanan panjang menempuh studi di Universiti Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullh Jakarta telah berakhir. Satu tahap perjalanan akademis yang merupakan perjalanan yang telah telusuri, yang akhirnya penulis tersadar bahwa perjalanan menyelesaikan skripsi ini telah memberikan perjalanan hidup yang melekat dalam sanubari, sekecil apapun pekerjaan yang kita lakukan dengan penuh keikhlasan, maka tidak akan menghasilkan kesia-siaan dan tidak akan terasa sulit.

Untuk menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat petunjuk dari berbagai pihak, baik secara langsung atau tidak langsung. Dalam hal ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM. Dekan Fakultas Syariah


(7)

dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

2. Drs. H.A. Basiq Djalil SH., MA. dan Drs. Kamarusdiana Sag, MA, masing-masing selaku ketua dan sekretaris jurusan Ahwal Syakhsiyyah yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis.

3. Drs. H.A. Basiq Djalil SH., MA. selaku dosen bimbingan yang dengan penuh kesabaran dalam memberi arahan dan masukan kepada penulis dan telah memberikan perhatian, bimbingan, kritik, saran dan motivasi yang besar dalam proses penulisan skripsi ini hingga tuntasnya sudah skripsi ini, hanya Allah saja yang selayaknya membalas jasanya.

4. Seluruh staff pengajar (dosen) jurusan Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum, serta kepada karyawan dan staff perpustakaan.

5. Seluruh pihak Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia yang banyak membantu penulis hingga tuntasnya skripsi ini.

6. Dosen Akademi Pengajian Islam dan Dakwah terutama Bapak Rektor Al-Fadhil Ustaz Edeey Ameen, Ustaz Tarmizi, Ustaz Ibrahim, Ustaz Roslan, Ustaz Fuzi, Ustaz Baharuddin, Ustazah Masyitah dan Ustazah Zuraidah yang telah banyak memberikan sokongan dan dukungan kepada penulis hingga dapat meneruskan pengajian di bumi Indonesia ini.

7. Teristimewa buat tatapan ayahanda Mustafa Bin Ismail dan Ibunda Zaini Binti Salleh yang amat disayangi. Terima kasih atas perhatian segala doa dan kesabaran atas jerih payah dan segala pengorbanan yang tidak terbalas serta senantiasa memberikan semangat dan harapan tanpa jemu hingga anakanda


(8)

dapat menyelesaikan pengajian, segala jasa pengorbanan kalian senantiasa terpahat di ingatan. Tiada apa yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan hanya dengan sebuah kejayaan.

8. Khas buat suami tersayang Zulkifli bin Mat Nor, yang segala pengorbanan telah memberikan curah kasih sayang yang tidak terhingga, dan memberi dorongan yang sangat berharga sehingga penulis dapat mencapai sebuah kejayaan yang diimpikan, dan penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah swt membalas segala perbuatan amal kebaikan yang telah dilakukan.

9. Keluargaku yang tercinta, Mohd Syaifullah, Mu’adz Arrodzy, Nurul Shuhada, Khairulanuar Naim, Rabiatul Adawiyah, Farah Nasuha dan Jalilah Badriah yang telah mendukung penulis dalam menyiapkan skripsi.

10. Kepada bapak mertua dan Ibu mertua yang disayangi, Mat Nor Bin Ismail dan Rohani binti Abdul Rahman, serta adik ipar, Nor Hafiza, Rosli, Nor Azlina, Aminah, Mailatul Sa’diah, Nurul Huda dan anak saudaraku, Mohd Danish Islam yang telah memberi semangat kepada penulis dalam menuntut ilmu. 11. Kepada bapa saudara, emak saudara dari pihak ayah maupun ibu yang telah

banyak memberikan pertolongan dan dorongan dalam menuntut ilmu di bumi indonesia ini dari berbagai aspek sehingga penulis dapat menyiapkan skripsi ini.

12. Buat sahabat-sahabat seperjuangan dalam menuntut ilmu yang dikasihi Nur Shuhada, Khairulneza, Surina, Noor Baizura, Nurul Huda, Habibah, Erni Nadia, Nor Bakyah, dan teman-teman se-Malaysiaku dari Akademi Pengajian


(9)

Islam Dan Dakwah (APID) dan teman-teman dari Kolej Universiti Darul Quran Islamiyyah (KUDQI), terima kasih atas semangat dan dorongan kalian semua.

13. Tidak lupa juga buat saudara-saudaraku di Malaysia yang setia menanti kepulangan penulis membawa kejayaan untuk semua.

14. Teman-teman dari muslimin dan muslimat seangkatan 2007/2009 jurusan Ahwal Syakhshiyah. Terima kasih atas kebersamaanya selama penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

15. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini sehingga selesai.

Terakhir, semoga kehadiran skripsi ini dapat mendatangkan manfaat dan memberikan kontribusi positif dalam mencari ilmu. Untuk mereka semua, penulis pribadi tidak bias membalas kecuali dengan ucapan ”Jazakumullah Khaira al-Jaza”. Semoga Allah swt memberi keberkatan kepada semua dalam mengharungi tribulasi dalam kehidupan.

-Amin Ya Rabbal A’lamin-

Jakarta, 7 April 2009 M 11 Rabiul Awal 1430 H


(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...v

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...3

C. Tujuan dan Manfaat penelitian...5

D. Review Studi Terdahulu... 5

E. Metode Penelitian...7

F. Definisi Oferasional...9

G. Sistematika Penulisan...33

BAB II IMAM SYAFI’I DALAM LINTASAN SEJARAH………...35

A. Profil Imam Syafi’i...35

1. Nama Imam Syafi’i dan Nasabnya...35

2. Latar Belakang Pendidikannya...36

B. Guru-guru Imam Syafi’i dan Murid-Muridnya...38


(11)

D.Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Imam Syafi’i Dalam Menetapkan Hukum

Islam...44

BAB III EKSISTENSI HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH...55

A. Pengertian Saksi dan Dasar Hukumya...55

B. Kedudukan Saksi Dalam Akad Nikah...58

C. Syarat Sahnya Saksi Dalam Akad Nikah...61

BAB IV PENDAPAT HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH...77

A. Pendapat Ulama Secara Umum...77

B. Pendapat Mazhab Syafi’i...82

C. Dalil-dalil Yang Digunakan Serta Pemahamannya...84

D. Akibat Hukum...87

BAB V PENUTUP...90

A. Kesimpulan...90

B. Saran-saran...92


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam telah mensyariatkan pernikahan serta meletakkan peraturan-peraturan yang jelas dan tepat. Peraturan-peraturan ini diasaskan di atas prinsip-prinsip kukuh yang menjamin kesejahteraan masyarakat, kebahagiaan rumah tangga, penyebaran kebaikan, penjagaan akhlak serta pengekalan keturunan manusia. Allah SWT telah mencipta manusia serta membekalkan dengan keinginan kepada wanita. Fitrah ini juga dibekalkan kepada wanita-wanita.

Oleh karena Islam merupakan agama fitrah, maka Islam telah mensyariatkan perkawinan untuk menyahut seruan fitrah yang ada pada jiwa manusia.1 Perkawinan menurut agama Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghaliidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.2

Ketika membicarakan masalah perkawinan, banyak hal yang harus diperhatikan antara lain adalah saksi dalam akad nikah, karena ia merupakan salah satu rukun

1 Mustofa Al-Khin, Kitab Fikah Mazhab Syafie Menghuraikan Bab Undang-undang kekeluargaan: Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Menentukan Keturunan, Anak Buangan,(Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn. Bhd. 2005), Cet I, h. 572

2 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo 2007), Cet IV, h. 114


(13)

nikah. Saksi merupakan peranan yang penting dalam akad nikah. Walaupun akad nikah sama dengan akad-akad lain yang mensyaratkan keredaan, ijab dan qabul, tetapi Islam amat memuliakan akad nikah. Islam menjadikannya sebagian daripada agama dan pengabdian diri kepada Allah SWT. Oleh itu, melakukannya dikira sebagai melakukan ketaatan kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya serta mendapat pahala kepada siapa yang melakukannya.

Oleh karena akad nikah dan kesannya amat besar dan berat yaitu menghalalkan kehidupan suami isteri, wajibnya memberikan mas kahwin kepada isteri, nafkah, dan sebagainya. Islam telah mengambil langkah berjaga-jaga dengan mewajibkan adanya saksi untuk menyaksikan akad nikah yang akan dilansungkan. Disamping meletakkan beberapa syarat pada saksi yang melayakkannya menjadi tempat kepercayaan untuk memperakui kesan-kesan tersebut apabila diperlukan yaitu ketika difitnah dan berlaku kekecokan antara suami isteri atau salah seorang enggan melaksanakan hak-hak dan tanggungjawab. Dengan demikian jelaslah bahwa perkawinan yang berlansung tanpa ada saksi akan menimbulkan permasalahan dan sukar dalam menyelesaikan masalah yang telah berlaku dalam pernikahan.3

Jumhur ulama sepakat bahwa saksi sangat penting dalam pernikahan. Apabila tidak dihadiri oleh para saksi, maka hukum pernikahan menjadi tidak sah walaupun diumumkan oleh khalayak ramai dengan cara lain. Karena saksi


(14)

merupakan syarat sahnya pernikahan, bahkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa saksi dalam akad nikah termasuk rukun pernikahan.4 Dua orang saksi tersebut diisyaratkan mengetahui bahasa yang dipergunakan oleh calon suami dan isteri5 Pendapat tersebut berbeda dengan imam Malik dan para sahabatnya bahwa

saksi dalam akad nikah itu tidak wajib dan cukup diumumkan saja. Mereka beralasan bahwa jual beli yang di dalamnya disebut soal mempersaksikan ketika berlansungnya jual beli sebagaimana tersebut di dalam Al-Quran bukan merupakan bagian dari syarat-syarat yang wajib dipenuhi.

Menyedari bahwa masih banyak lagi yang perlu diketahui dan diselidiki tentang kesaksian dalam akad nikah, dan berdasarkan pengamatan inilah penulis merasa terpanggil untuk membuat kajian dengan judul “ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG HUKUM KESAKSIAN DALAM AKAD NIKAH”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah:

Dalam penelitian untuk tidak melebar pembahasan, penulis memfokuskan penelitian tentang analisa terhadap pemikiran mazhab Syafi’i tentang hukum kesaksian dalam akad nikah.

4ibid., h. 99


(15)

2. Rumusan Masalah:

Imam Syafi’i mengatakan hukum kesaksian dalam akad nikah merupakan rukun pernikahan. Saksi merupakan rukun yang ke lima. Ternyata dikalangan mereka Imam empat mazhab berbeda pendapat tentang kehadiran saksi dalam akad nikah. Hal ini yang ingin penulis selusuri dalam penulisan skripsi ini.

Rumusan tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut; 1. Apakah konsep saksi dalam akad nikah menurut ulama fiqih?

2. Bagaimanakah pendapat mazhab Syafi’i mengenai hukum kesaksian dalam akad nikah?

3. Apakah dalil yang digunakan oleh mazhab Syafi’i terhadap hukum kesaksian dalam akad nikah dan persepsi kehadiran saksi dalam akad nikah menurut Kompilasi Hukum Islam?

4. Faktor apakah yang mewajibkan saksi dalam akad nikah mengikut mazhab Syafi’i?


(16)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Subjek aktivitas yang ditulis oleh seseorang pasti mempuyai tujuan tersendiri, demikian juga halnya dalam pembahasan judul ini di mana penulis mempunyai tujuan yang tertentu pula. Berdasarkan uraian terdahulu, maka penelitian ini bertujuan untuk;

1. Mengetahui konsep saksi dalam akad nikah menurut ulama fikih.

2. Mengetahui pendapat mazhab Syafi’i mengenai hukum kesaksian dalam akad nikah.

3. Mengetahui dalil apakah yang digunakan oleh mazhab Syafi’i terhadap hukum kesaksian dalam akad nikah dan mengetahui persepsi kehadiran saksi dalam akad nikah menurut Kompilasi Hukum Islam.

4. Mengetahui faktor apakah yang mewajibkan saksi dalam akad nikah mengikut mazhab Syafi’.

D. Rewiew Studi Terdahulu No

1

Nama penulis/ Judul / Tahun Abdul Azis, Kedudukan Saksi

dalam Perkawinan Menurut Tinjauan Imam Syafi’i dan Imam Hanafi, 2003. Fakultas Syariah dan Hukum

Subtansi

Dalam skripsi ini, penulisnya ingin mengtahui

tentang

bagaimana saksi

Keterangan

Di sini, al-Imam asy-Syafi’i

mensyaratkan saksi yang menghadiri dan


(17)

dalam akad perkawinan menurut al-Imam asy-Syafi’i dan al-Imam Abu Hanifah.

Bahwasanya kedua imam ini menyepakati dalam beberapa hal tentang saksi,

namun ada

perbedaan akan kehadiran saksi pada

perlaksanaan akad perkawinan yaitu dalam hal harus ada atau tidaknya sifat adil pada saksi, dan

menyaksikan akad pernikahan harus memiliki sifat adil sehingga akad pernikahan itu menjadi sah, selain itu agar dapat diterima kesaksian atau pemberitahuan para saksi itu kepada khalayak ramai. Kemudian al-Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan saksi yang menghadiri dan menyaksikan akad pernikahan harus memiliki


(18)

dihadiri atau disaksikan oleh saksi laki-laki atau wanita dalam menyaksikan proses akad perkawinan tersebut. Dengan adanya perbedaan

ini akan

mengakibatkan sah tidaknya akad perkawinan.

sifat adil, maka dengan demikian akad pernikahan itu sah karena hadirnya saksi dalam akad pernikahan hanya untuk

pemberitahuan

saja pada

khalayak ramai.

Dari judul skripsi di atas, terdapat persamaan pembahasannya dengan skripsi yang akan dibahaskan oleh penulis. Penulis akan mencoba membahas secara mendalam tentang Analisa Terhadap Pemikiran Mazhab Syafi’i Tentang Hukum Kesaksian Dalam Akad Pernikahan.

E. Metode Penelitian

Untuk memperolehi sesuatu hasil yang maksimal dari suatu karangan ilmiah, maka penggunaan metode pengumpulan data yang diperlukan untuk penulisan


(19)

tersebut akan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini yang sangat mempengaruhi sampai tidaknya isi penulisan itu kepada tujuan yang ingin dicapai. Dengan demikian penggunaan metode pembahasan bagi suatu penulisan merupakan suatu hal yang menentukan bermutu atau tidaknya dari penulisan yang bersangkutan.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Penentuan Jenis Data

Dalam kajian ini data yang diteliti adalah data yang berhubung dengan topik yang dikaji, yaitu Analisa Terhadap Pemikiran Mazhab Syafi’i Tentang Hukum Kesaksiaan Dalam Akad Nikah

2. Sumber Data

a) Data Primer yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertama adalah dari kitab-kitab Syafi’iyyah.6 Data Sekunder merupakan data pelengkap yang terdiri daripada majalah, jurnal, ensiklopedia, kamus dan sebagainya.

3. Pengumpulan Data

Merupakan library research yaitu melakukan penelitian kepustakaan dan mengumpulkan data seperti kitab-kitab yang muktabar antaranya: Kitab Fiqih mazhab Syafi’i, Fiqih Munakahat, Bidayatul Mujtahid, Panduan Keluarga Muslim, Fikih Lima Mazhab, Kompilasi Hukum Islam dan lainya.

6 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1983), cet. 1, hal. 39


(20)

4. Teknik Analisis Data

Yaitu pengumpulan data-data melalui bacaan, penelusuran kitab-kitab dan lain-lain yang mempunyai kaitan dengan masalah yang akan dibahaskan dan kemudian dianalisis terhadap masalah yang ada sehingga menjadi suatu karya tulisan yang rapi dan utuh.

5. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis berpandukan pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2007.

F. Definisi Oferasional 1. Definisi Nikah

Kata “nikah” atau “zawaj” yang berasal dari bahasa Arab. Dilihat secara makna etimologi (bahasa) berarti “berkumpul dan menindih”, atau dengan ungkapan lain bermakna “akad dan bersetubuh” yang secara syara’ berarti akad pernikahan. Secara terminologi (istilah) makna “nikah” atau “zawaj” adalah :

a) Akad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis dari seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh.

b) Akad yang ditetapkan Allah SWT bagi seorang lelaki atas diri seorang perempuan atau sebaliknya untuk menikmati secara biologis antara keduanya.7


(21)

Kata banyak terdapat dalam Al-Quran dengan arti kawin, hal tersebut dijelaskan di dalam QS. Al-Nisa (3): 3

!"

#$ %&""$'

" (

)"$

+ %$!

,-.(

- /"0 -.1!"

234 5 (

67 89

:

6;

<=

>$'

?:A

!-B

$

C36B-8D

$'

).

/

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja.”

Kata dalam Al-Quran adalah :

"EF89$'

202$G

2B H6I

"JK 7-.(

LM$

"6N$% 31O4P 6I

Q $R-!

S

% H

8

U-V-( $#F !"

2W M6X

Y

ZWD

I

Q+ N\/" - ]

$^

Q S_$G

E,`K 7-(

LM$

abGcd

M (

e/"

V

(

Artinya: “Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” QS. Al-Ahzab (33): 37

7 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Mazhab,


(22)

Definisi lain tentang nikah adalah:

Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntutan agama.8 Ada juga yang mengartikan suatu perjanjian atau akad (ijab qabul) antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan badaniah sebagaimana suami isteri yng sah yang mengandung syarat-syarat dan rukun yang ditentukan oleh syariat Islam.9

Nikah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan cara yang diredhoi oleh Allah SWT.10

Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan menjalin hubungan baru dengan bersuami atau istri, menikah, melakukan hubungan seksual, dan bersetubuh.11

Dalam bahasa Melayu (terutama di Malaysia dan Berunei Darussalam), digunakan istilah kahwin. Kahwin ialah “perikatan yang sah antara lelaki dengan

8Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Elsas (Jakarta: 2008), cet 1, h. 3

9Ibid., h. 3

10 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang perkawinan, Undang-Undang No 1 thn 1974 Tentang Perkawinan, (Yokyakarta: Liberty, 1986), cet 2, h. 8


(23)

perempuan menjadi suami istri, nikah”. Berkahwin maksudnya sudah mempunyai istri (suami).12

Pendapat Ulama Tentang Nikah

Nikah menurut golongan As-Syafi’iyyah yaitu:

!" # "$ " "%&'"( )* +'" ,-./0! 123 4-5"( $ 6"

13

Artinya: “Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha dengan lafaz nikah atau tazwij yang semakna keduanya”.

Golongan Malikiyyah mendefinisikan nikah sebagai:

7 -89"( :0.8; "<"=> ?8@ "7-8" A "( "BC1'0 "7 0 "A-?9 D'3 123 4- "( $ E

14

"

Artinya: “Nikah merupakan akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan watha bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh menikah dengannya”.

Menurut golongan imam Hanafiyyah makna nikah sebagai:

F1GH "7 0. +'" 18"&! 123 4- "( $ E

15

Artinya: “Nikah itu adalah akad yang berfaedah memiliki, bersenag-senang dengan sengaja”.

12 Dewan Bahasa dan Pustaka, KamusDewan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998), h. 588

13 Djama’an Nur, FiqhMunakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), h.3

14Ibid., h. 3 15Ibid., h.3


(24)

Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Kenapa nikah harus dilakukan, karena nikah salah satu yang harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan.16 Bila kita urutkan, ada tiga sumber alasan pokok kenapa pernikahan harus

dilakukan yaitu: a. Menurut Al-Qur’an17

Ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini, pertama dalam surat al-A’raf :189 menyatakan bahwa tujuan perkawinan itu adalah untuk bersenang-senang yaitu:

f

g-Gh/"

+ %$ 89$i

,-.(

jk

l&

m36B-8D

Sn6

64

"JK 7-(

"6N64

6I

, %?

]-!

"JKQo$!

"EF89$'

"6Npqr ?$

Os896F6X

CcOF6X

"V

-

6

O+kM6F$'

t-X <

/"EF89$'

s89$

:

P]

h/"

"6F#Nu<

v$!

"31

]$

"x$

9 0y

P $z

% Vh!

,-(

a{}M % qr!"

)

I ?3

/

:

JKL

(

Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur”.

16 A.Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, (Jakarta: Qalbun Salim,2006) Cet, 1, h. 86


(25)

Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga dilarang bersenang-senang tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya, karena memang diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani.18 Dan kedua, dalam surat Al-Rum (30): 21

O,-(

t-X-

H

~896i

< %$!

O,-.(

Q+ %

&

Gx,D

I

Y V %?

A-€!

"6N ]$!

Sn6

64

+•• V ‚ <

V3P]

P(

DJ6FOX

P

6ƒ-!D$^

ms

H„6

R…Q $ -€!

Mh%c

H

)

M ?

/

N

:

(

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Dalam ayat tersebut terkandung makna ada tiga yang dituju satu perkawinan yakni:

1) Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang/diam. Akar kata taskunu dan yang sepertinya adalah sakana, sukun, sikin. Yang semuanya berarti diam.


(26)

Sebab itulah pisau dinamakan sikin, karena bila diarahkan keleher hewan ketika menyembelih, hewan tersebut akan diam.

2) Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah wadda yang berarti meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah pasangan-pasangan muda dimana rasa cintanya sangat tinggi, termuat kandungan cemburu, sedang rahmah/sayangnya masih rendah, banyak terjadi benturan karena tidak mampu mengontrol rasa cinta yang memang terkadang sulit dikontrol. Karena intensitasnya tinggi dan sering meluap-luap.

3) Rahmah, yang berarti sayang. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian rendah, sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa cinta/sayang. Dalam perjalanan hidupnya, semakin bertambahnya usia pasangan, maka rahmahnya semakin naik, sedangkan mawaddahnya semakin turun. Itulah sebabnya kita lihat kakek-kakek dan nenek-nenek kelihatan mesra berduaan, itu bukanlah gejolak ujud cinta (mawaddah) yang ada pada mereka, tetepi rahmah (sayang).19

b. Menurut Hadits20

Ada dua hal yang dituju perkawinan menurut hadits, yaitu:

19Ibid., h. 87 20Ibid., h. 88


(27)

1) Untuk menundukkan pandangan dan menjaga farj (kemaluan). Itulah maknanya nabi saw menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materiil belum memungkinkan. Haditsnya berbunyi:

O-P ?P

!

" ?&'" , Q "?GO'" CR@Q 4-"S; - 08'; T O

" U V0ﺱ"X ,

4-"S; "M>G "( "48' ; Y"V0 ! Z"S;

4

="

21

Artinya: “Hai sekalian pemuda siapa yang punya kemampuan diantara kalian maka hendaklah ia menikah, karena yang demikian lebih menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan, apabila tidak punya kemampuan maka hendaklah ia berpuasa karena yang demikian dapat meredam (keinginan)”.

2) Sebagai kebanggaan Nabi SAW di hari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan umat islam melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual nabi menyatakan jumlah (kuantitas) yang banyak itu Nabi SAW harapkan, karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Namun demikian, walau jumlah besar jika kwalitas rendah tetap saja Nabi SAW mencelanya.22

c. Menurut Akal

Menurut akal sehat yang sederhana, ada tiga yang dituju suatu perkawinan23:

21Ibid., h. 89 22Ibid., h. 89


(28)

1) Bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedang garis tengahnya atau diameternya ada 12.500 KM, wilayah yang demikian luas tentunya harus diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah SWT nyatakan dibuat untuk kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang tersia-sia. Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan perkawinan/pernikahan.

2) Bila manusia banyak tentunya harus diwujudkan ketertiban/keteraturan, terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib tentu akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A anak siapa dan si B anak siapa. Bila nasab tidak tertata rapi tentu semua akan tidak menentu, tentu ini menjadi awal dari sebesar-besar bencana.

3) Untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan memiliki barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya sekeping papan atau sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu ada ahli waris yang menerima atau menampung harta peniggalan tersebut. Nah untuk tertibnya para ahli waris, tentunya harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yakni dengan pernikahan. 24

Dalam Islam nikah merupakan salah satu syariat yang dianjurkan oleh Rasulullah saw. Pernikahan merupakan syariat Allah untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan dalam suatu perkumpulanan kekeluargaan yang penuh

23Ibid., h. 89 24Ibid., h. 89


(29)

kasih sayang dan berkah. Islam menyebut perkumpulan yang penuh cinta dan kasih sayang itu dengan ungkapan bahasa mawaddah wa rahmah.25 Dengan nikah, baik laki-laki maupun perempuan, bisa melaksanakan apa saja yang sebelunya dilarang oleh agama, misalnya seksual.26 Oleh karena itu, konsep pernikahan seharusnya juga dipahami sebagai penghargaan atas harkat dan martabat kemanusiaan. Isteri milik suami, demikian juga sebaliknya suami milik isteri.

Wahbah al-Zuhaili membuat definisi nikah sebagai ikatan yang ditentukan oleh pembuat hukum (syari’) yang memungkinkan laki-laki untuk istimta’ (mendapat kesenangan seksual) dari isterinya dan demikian juga, bagi perempuan untuk mendapatkan kesenangan seksual dari pihak suaminya27.

Kaidah fiqh tentang pernikahan adalah:

" ( ," [ Y"&0 ! Z "+8"'.# " ( ," $ E

"7 & . "+8"'.#

28

Artinya: “Nikah adalah salah satu dari cara kepemilikan yang saling memanfaatkan, bukan salah satu dari sebab milik manfaat”.

25 Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikiran Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001), Cet 1, h. 149

26Ibid., h. 149 27Ibid., h. 151

28 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet 1, h. 89


(30)

Kaedah di atas memperlihatkan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan. Sebab dua pihak yang menikah, laki-laki dan perempuan mempunyai hak saling manfaat (bukan milik manfaat yang biasanya difahami sebagai milik bagi suami).29

Pengertian nikah menurut Slamet Abidin dalam kitab Fikih Munakahat 1 adalah30:

Merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya. Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dan pernikahan itu sendiri. Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. An-Nisa (3): 1

"JKaB †l

H

=P"PV!"

• ‡ "

+ %u<

g-Gh/"

< %$ 89$i

,-.(

jk

l&

m36B-8D

~896

"JK 7-(

"6N64

6I

E7 <

"

`K 7-(

V G6,

VoM-5cd

x /"0

ˆ

Artinya: “Wahai manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (adam) dan (Allah) menciptakan pasangannya

29Ibid., h. 89

30 Slamet Abidin, Aminuddin, Fikih Munakahat 1 Untuk Fakultas Syari’ah Komponen MKDK, h.9


(31)

(hawa) dari diri-Nya dan dari keduanya Allah berkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”

Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anargik atau tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, maka Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut.31

Dengan demikian, hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan kerelaan dalam sesuatu ikatan berupa pernikahan. Bentuk pernikahan ini memberikan jalan yang aman pada naluri seksual untuk memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri wanita agar ia tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak manapun dengan seenaknya. Pergaulan suami isteri diletakkan di bawah naungan keibuan dan kebapaan, sehingga nantinya dapat menumbuhkan keturunan yang baik dan hasil yang memuaskan.32

Peraturan pernikahan semacam inilah yang diredhoi oleh Allah SWT dan diabdikan di dalam Islam untuk selamnya. Ulama Syafi’iyyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafaz nikah

$ "

atau zauj

(

).

33

31Ibid., h. 9

32Ibid., h. 9


(32)

2. Definisi Hukum

Hukum adalah merupakan suatu ketetapan Allah SWT dan (Rasul-Nya) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dengan perintah, pilihan atau ketetapan. Atau perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, baik perintah untuk mengerjakan sesuatu atau perintah untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan atau larangan, atau menerangkan kebolehan (mubah) mengerjakan sesuatu atau sebagai suatu anjuran, untuk mengerjakannya atau meninggalkannya.34 Tentang hukum, Al-Quran menyebutkan: surat Al-An’am (6):57

Qn

G

3‰

8

ƒJ VŠ.‚ <

,-.(

8‹k

:AQ<q SŒ

t-X <

" (

•-BV-

" (

ab

9ŠŽ

? 8n

t-X

<

v

+%# !"

\/

‚v•

H

P~6$ !"

f

oQM6

~

• c

!"

M

Artinya: “Katakanlah: "Sesungguhnya Aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik”.

33Ibid., h. 9

34 M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), cet 2, h. 106


(33)

Hukum menurut mazhab Syafi’i terbagi kepada lima bagian yaitu35 :

1) Wajib. Menurut istilah ahli ushul ialah khitab (kalam) Allah SWT yang menurut pekerjaan dengan tuntutan pasti. Sedangkan wajib menurut pengertian fiqh ialah sesuatu (hukum) yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan mendapat dosa. Misalnya melaksanakan solat lima waktu, menutup aurat dan sebagainya.

2) Haram. Sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’. Berdosa jika mengerjakannya dan mendapat pahala apabila meniggalkannya, dan sebagai lawan halal. Misalnya memakan bangkai binatang, memakan makanan yang bukan hasilnya yaitu dari hasil mencuri.

3) Sunnah. Menurut bahasa adalah jalan atau tradisi yang sudah dibiasakan. Sedangkan menurut istilah ahli hadits adalah segala yang dinukilkan oleh Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan atau takrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik yang sebelum beliau diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya. Menurut istilah ahli ushul fiqih ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan maupun takrir (pengakuan) yang mempunyai hubungan dengan hukum. Misalnya berpuasa sunat pada hari senin. 36

35Ibid., h. 106


(34)

4) Makruh. Yaitu sesuatu perkara yang dibenci, tidak disukai, dan tidak disenangi. Menurut istilah adalah sesuatu yang diberi pahala karena meniggalkannya dan tidak disiksa karena mengerjakannya. Dengan kata lain adalah merupakan sesuatu yang lebih baik ditinggalkan, meskipun dikerjakan tidak dianggap salah atau berdosa. Misalnya makan makanan yang berbau busuk bagi orang yang akan menghadiri jama’ah.37

5) Mubah. Adalah hukum yang berhubungan dengan perkara-perkara yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Artinya, jika perkara tersebut dikerjakan. Tidak berdosa atau berpahala, demikian pula jika ditinggalkan. Misalnya di dalam al-quran surat al-Jumu’ah ayat 10 artinya, ”apabila telah ditunaikan solat, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah kurnia Allah dan ingatlah Allah SWT banyak-banyak agar kamu beruntung”. Setelah mengerjakan solat apakah kita duduk saja di rumah, ini merupakan perbuatan mudah. Perbuatan mubah merupakan lapangan yang luas dalam kehidupan manusia. Diperbuat ataupun ditinggalkan mempunyai status hukum yang sama, yaitu tidak mendapat pahala atau disiksa seperti makan, minum, dan lain-lainya. 38

3. Definisi Saksi

37Ibid., h. 106


(35)

Saksi secara etimologi adalah merupakan sebuah benda yang memiliki arti orang yang melihat atau mengetahui sesuatu peristiwa tertentu.39 Saksi dalam Ensiklopedia Islam adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri sendiri suatu peristiwa (kejadian), saksi orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk menyaksikan atau mengetahui agar suatu ketika bila diperlukan ia dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh terjadi.40

Dalam kamus istilah fikih mengatakan saksi merupakan orang atau orang-orang yang mengemukakan keterangan untuk menetapkan hak atas orang lain. Dalam pengadilan, pembuktian dengan saksi adalah penting, apalagi ada kebiasaan didalam masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan itu tidak dicatat. Agar dapat menjadi alat bukti yang sah, pembuktian harus mengenai hal-hal yang dilihat dan didengar sendiri oleh saksi sendiri, yang disebut persaksian atas dasar yakin. Ada pula persaksian yang cukup dengan hal-hal yang diketahui atas dasar persangkaan umum, karena saksi hanya mendengar sahaja, tetapi yakin akan kebenaran kesaksian (syahadah) adalah keterangan orang yang dapat dipercayai di depan sidang pengadilan. Perkara yang tidak dapat menerima

39 WJS Poerwadarminto, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h.826

40 Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), Cet 6, h. 202


(36)

pembuktian kecuali dengan dua orang saksi laki-laki. Yaitu perkara tindak pidana dan perkara yang umumnya disaksikan kaum laki-laki, seperti hakim dan talak.41 Imam Muhali mengatakan:

"X

/2 "\"'9 D"; "TA :-P "%&'"( ]^ "_ O`"a b1"ﺹ d Oe

42

"

Artinya: “ Pemberitahuan yang benar untuk menetapkan sesuatu hak dengan ucapan kesaksian di depan sidang pengadilan”.

Saksi menurut Imam Syafi’i yaitu seseorang diberikan tanggungjawab untuk menyaksikan sesuatu peristiwa yang diketahui secara pasti. Saksi tersebut mestilah bersifat adil (jujur). Saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa atau kejadian. Saksi adalah orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk melihat, menyaksikan atau mengetahuinya agar sesuatu ketika bila diperlukan ia dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh terjadi.43

4. Definisi Akad nikah

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama. Sedangkan makna qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.

41 M.Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, h. 106

42 Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahali, Qalyubi Wa Umairah, (Riyadh: Maktabah Ar-Riadkil Haditsh, t.th), jilid IV, h. 316


(37)

Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya : “saya kawinkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-Quran”. Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya : “Saya terima mengawini anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al-Quran”.

Dalam hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh akad perkawinan itu bukanlah sekadar perjanjian yang bersifat keperdataan . Ia dinyatakan sebagai perjanjian yang kuat yang disebut dalam Al-Quran dengan ungkapan

Ff8"'@ FH g8"

yang mana perjanjian itu bukan hanya disaksikan oleh dua orang saksi yang ditentukan atau orang banyak yang hadir pada waktu berlangsungnya akad perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT.44

Terdapat dua rukun di dalam akad nikah, yaitu ijab dan qabul. Ijab adalah ungkapan pertama yang dinyatakan oleh pelaku akad nikah sebagai tanda penawaran untuk membuat ikatan hidup berkeluarga. Bila pernyataan itu sudah dikeluarkan, maka dikatakan bahwa orang itu telah melakukan ijab. Adapun qabul adalah ungkapan dari pihak kedua yang melakukan akad (perjanjian) nikah, sebagai pernyataan bahwa dia rela dan sepakat atas penawaran pihak pelaku akad yang pertama. Bila pernyataan itu telah terjadi, maka dikatakan kepadanya bahwa ia telah menerima atau melakukan qabul. Jika ijab dan qabul telah dinyatakan sesuai syarat sahnya, maka akad nikah telah terlaksana dan telah memenuhi

44 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kecana, 2006), cet 1, h. 61


(38)

syaratnya. Kemudian mereka boleh melakukan pekerjaan yang dihalalkan karena akad nikah itu termasuk hubungan seksual secara langsung.45

Ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul sebagai rukun perkawinan. Untuk sahnya suatu akad pernikahan disyaratkan beberapa syarat. Di antara syarat tersebut ada disepakati oleh ulama dan di antaranya diperselisihkan oleh ulama. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1) Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki seperti ucapan wali pengantin perempuan: “saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-Quran”. Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki:“saya terima menikahi anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab suci al-Quran”.

2) Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti menyebutkan nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.

3) Ijab dan qabul haruslah diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat. Ulama Malikiyah memperbolehkan terlambatnya ucapan qabul dari ucapan ijab, bila keterlambatan itu hanya dalam waktu yang pendek.

45 Mahmud al Shabagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), Cet 1, h. 50


(39)

4) Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup.

5) Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. Tidak boleh menggunakan ucapan sindiran, karena untuk penggunaan lafaz sindiran itu diperlukan niat. Sedangkan saksi yang harus dalam perkawinan itu tidak akan dapat mengetahui apa yang diniatkan seseorang. 46

Ulama Syafi’iyah mengatakan akad nikah adalah :

" !" 0

"$ a "%&'"( " h> 7 (" ,-./0! 123

47

Artinya: “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz atau .

Akad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan bagi kedua belah pihak (suami dan isteri), dimana status kepemilikan akibat akad nikah tersebut bagi laki-laki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkait itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh yang lainnya, dalam fiqh disebut istilah “ Milku al-Intifa”, yaitu hak memiliki penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (isteri) yang digunakan untuk dirinya sendiri.48

46 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kecana, 2006), cet 1, h. 61

47Ibid., h.81

48Hak memiliki (milkun) dalam kajian fiqih ada tiga macam. Pertama : Milk al-Intifa’


(40)

Bagi perempuan (isteri) sebagaimana si suami ia pun berhak memperoleh kenikmatan biologis yang sama, akan tetapi tidak bersifat khusus untuk dirinya sendiri, dalam hal ini si isteri boleh menikmati secara biologis atas diri sang suami bersama perempuan lainya (isteri suami yang lain). Sehingga kepemilikan di sini merupakan hak berserikat antara para isteri.49

Akad nikah juga merupakan rukun yang pokok dalam pernikahan adalah keredhoan laki-laki dan permpuan serta persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena perasaan ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tidak dapat dilihat dengan kasatmata, maka harus ada simbolisasi yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan suami isteri. Simbolisasi itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad. Pernyataan pertama sebagai pertanyaan kemauan untuk membentuk hubungan suami isteri disebut “ijab”. Dan pernyataan kedua yang dinyatakan oleh pihak yang mengadakan akad berikutnya untuk menyatakan rasa ridha dan setujunya, disebut “qabul”. Para fikih mengatakan bahwa syarat pernikahan adalah ijab dan qabul.

penuh, seperti memperoleh benda tersebut dengan jalan membeli atau mewarisinya dari keluarga. Terhadap benda yang didapatkan melalui jalan ini dapat saja dijual atau digadai oleh si pemilik.Ketiga : Milkal-Manfa’ah yaitu hak memiliki manfaat atau kegunaan atas suatu benda dengan jalan menyewa atau meminjam.

49 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), cet 2, juz 7, h. 29


(41)

Syarat ijab qabul untuk terjadinya akad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami isteri haruslah memenuhi syarat-syarat berikut50:

1) Kedua belah pihak sudah tamyiz. Jika salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil dan belum tamyiz (dapat membedakan benar dan salah) maka pernikahannya tidak sah.

2) Ijab dan qabul dilaksanakan dalam satu majelis dan waktu, yaitu ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselangi dengan kata-kata lain. Artinya, antara ijab dan qabul tidak dipisahkan oleh suatu pembicaraan, yang menurut kebiasaan boleh menganggu pelaksanaan ijab dengan masalah yang lain. 3) Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab kecuali kalau lebih

baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuan yang lebih tegas. Jika pengijab mengatakan “ aku nikahkan kamu dengan anak perempuanku (fulanah) dengan mahar Rp100.000”, misalnya, lalu qabil menjawab “aku menerima nikahnya dengan Rp200.000”, maka nikahnya sebab qabulnya mengandung hal yang lebih baik (lebih tinggi nilainya) dari yang dinyatakan peng-ijab.

4) Pihak-pihak yang melakukan akad haruslah dapat mendengarkan pernyataan masing-masing dengan kalimat yang maksudnya menyatakan terjadinya perlaksanaan akad nikah. Sekalipun kata-katanya ada yang tidak dapat

50 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah: Nor Hasanuddin (Kohirah: Darl Fath, 2004), jilid 2, h. 542


(42)

difahami, karena yang dipertimbangkan disini adalah maksud dan niat, bukan mengerti setiap kata-kata yang dinyatakan dalam ijab dan qabul. 51 Akad nikah dapat dilaksanakan dengan bahasa yang difahami oleh semua orang,

selama maksud yang disampaikan adalah adanya keinginan untuk mengadakan ikatan perkawinan, tanpa ada tipu daya atau ada sesuatu yang disembunyikan. Isyarat yang dipakai oleh orang yang bisu untuk menyatakan akad nikahnya adalah sah, selama isyarat itu menunjukkan adanya keinginan untuk melaksanakan perkawinan. Jika tidak, maka akad nikahnya tidak sah, karena perjanjian (akad) yang terjadi di antara dua orang harus benar-benar difahami oleh kedua belah pihak.

Ada juga yang mengatakan boleh menikahkan orang yang sedang tidak ada ditempatnya (ghaib). Misalnya jika ada seseorang yang ingin melakukan akad nikah, tetapi ia hanya mengutus seseorang, atau menulis pesan kepada pihak kedua bahawa ia ingin menikahinya. Maka pihak kedua, jika berkenaan menerima tawaran itu, harus menghadirkan saksi-saksi untuk memperdengarkan kapada mereka maksud pesan tertulis itu, kemudian menyelenggarakan kesaksian dalam suatu majlis bahwa ia menerima tawaran pernikahan itu. Majlis yang diselenggarakannya dianggap sebagai syarat sahnya akad nikah.52

51Ibid., h. 542

52Mahmud al Shabagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), Cet 1, h. 53


(43)

Akad nikah menurut kompilasi hukum islam (KHI) pasal 27 adalah ijab qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Pasal 28, akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat diwakilkan kepada orang lain. Pasal 29 mengatakan bahwa yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.53

Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria di wakili, maka akad nikah tidak dilangsungkan.54

Akad adalah ungkapan yang terang-terangan (jelas) tentang keinginan untuk melaksanakan suatu komitmen denga serius, dengan makna tertentu dan keharusan menggunakan pengucapan lafaz tertentu terhadap pihak lain yang menjalin kesepakatan dengan pihak yang pertama, dimana kedua pihak yang melakukan akad akad benar-benar menghormati makna akad tersebut di hadapan Allah dan di hadapan masyarakat.55

53 Abdurrahman, KompilasiHukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), Cet, 5, h. 119

54Ibid., h. 119

55 Sayid Muhammad Husain Fadhlullah, Dunia Wanita Dalam Islam, (Jakarta: Lentera, 2000), Cet 1, h. 219


(44)

Di dalam akad perkawinan tidak boleh ditentukan batas waktu perkawinan, karena akad perkawinan merupakan perbuatan hukum yang membawa pengaruh yang sangat besar dan mendalam bagi orang yang melakukan perkawinan itu sendiri. Dalam akad nikah, terdapat banyak solal hukum yang terkait dengannya, mulai dari dari mas kahwin, nafkah sampai tempat tinggal. Akad di dalam perkawinan ini juga memiliki sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi supaya dapat terselenggara dengan benar dan baik dalam sebuah perkawinan.56

Syarat dalam akad nikah terbagi kepada tiga, yaitu:

1) Syarat-syarat yang halal, maka wajib dilaksanakan, diantaranya adalah bila seorang wanita mensyaratkan kepada suaminya agar mempergauli dirinya dengan lembut atau bila sesuatu saat terdapat ketidakcocokkan, maka harus menceraikannya dengan baik.

2) Syarat-syarat yang tidak boleh dilaksanakan, seperti seorang wanita mensyaratkan kepada suaminya agar tidak menyetubuhinya. Syarat seperti ini menurut ijma ulama tidak wajib dipenuhi.

3) Syarat-syarat di antara kedua syarat di atas, seperti jika ia memberi syarat kepada suaminya agar tidak menikah lagi, atau tidak membawanya keluar dari daerah asalnya, dan sejenisnya. Maka tentang wajib dan tidaknya memenuhi syarat ini, terdapat perbedaan pendapat diantara ulama. Yang kuat adalah ia

56 Muhammad Ali al-Shabuni, al Zawaj al Islam al Mubakir: Sa’adah Wa Hasanah (Kawinlah Selagi Muda) penerjemah Muhammad Nurdin, (Jakarta: PT Serambu Ilmu Semesta, 2002), Cet 3, h. 69


(45)

boleh mensyaratkan hal itu dan suami wajib menjalankan syarat tersebut, selama tidak menyelisihi kitabullah dan sunah Rasulullah saw.57

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan dan memudahkan para pembaca dalam memahami tata aturan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan seperti berikut:

Bab pertama penulis mengenegahkan gambaran pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, rewiew studi terdahulu, metode penelitian, definisi operasional, dan sistematika penulisan.

Bab kedua mendeskripsikan tentang imam Syafi’i dalam lintasan sejarah berisikan profil mazhab Syafi’i, nama imam Syafi’i dan nasabnya, latar belakang pendidikannya, guru-guru imam Syafi’i dan murid-muridnya, karya-karya imam Syafi’i dan perkembangan mazhabnya, pola pemikiran, metode istidlal dan faktor-faktor yang mempengaruhi imam Syafi’i dalam menetapkan hukum Islam.

Bab ketiga penulis menguraikan tentang eksistensi hukum kesaksian dalam akad nikah yang berisikan sub bahasan pengertian, dasar hukumnya, kedudukan saksi dalam akad nikah dan syarat sahnya saksi dalam akad nikah.


(46)

Bab keempat penulis menguraikan tentang pembahasan pendapat mengenai hukum kesaksian dalam akad nikah dengan sub bahasan, pendapat para ulama secara umum, pendapat mazhab Syafi’i, dalil-dalil yang digunakan serta pemahamannya dan akibat hukum.

Bab kelima Merupakan bab terakhir dari penulisan ini, meliputi kesimpulan dari pembahasan, serta beberapa saran-saran berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini yang di harapkan dapat dijadikan bahan masukan dan sumbangan penulis pada pihak-pihak terkait.


(47)

BAB II

IMAM SYAFI’I DALAM LINTASAN SEJARAH

A. PROFIL MAZHAB SYAFI’I 1. Nama Imam Syafi’i Dan Nasabnya

Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Idris ibn Abbas ibn Syafi’I ibn Said ibn Ubaid ibn Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd al-Manaf ibn Qushay al-Qurasyiy. Beliau dilahirkan di Gazah pada bulan Rajab pada tahun150 H (767 M). Imam Syafi’I wafat di Mesir pada tahun 204 H (819 M).

Ayah Imam Syafi’I meninggal ketika beliau masih kecil ketika baru berusia dua tahun dan dibawa ibunya ke Makkah dan beliau dibesarkan dalam keadaan fakir. Dalam asuhan ibunya beliau dibekali pendidikan dan menghafaz al-Quran. Beliau mempelajari al-Quran dengan Ismail ibn Qastantin. Sebuah riwayat mengatakan bahwa beliau pernah hatam al-Quran dalam bulan Ramadhan


(48)

sebanyak 60 kali. Beliau keluar dari Makkah dan menuju sutu dusun Bani Huzail untuk mempelajari bahasa arab.58

Sebelum menekuni fiqh dan hadits, Imam Syafi’i tertarik pada puisi, syi’ir dan sajak bahasa arab. Beliau mempelajari hadits dari Imam Malik di Madinah. Ketika berusia 13 tahun beliau telah dapat menghafaz al-Muwaththa’.

Pada tahun 195 H. al-Syafi’i pergi ke Baghdad dan menetap disana selama 2 tahun. Setelah itu beliau kembali lagi ke Makkah pada tahun 198 H. Imam Syafi’I mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam bidang lughah dan adab. Dan pengetahuan dalam bidang fiqh meliputi fiqh ashab al-Ra’yi di Irak dan fiqh Ashab al-Hadits di Hijaz. 59

2. Latar Belakang Pendidikan

Dalam usia anak-anak, Asy-Syafi’i ra diikutsertakan belajar pada suatu lembaga pendidikan di makkah, tetapi ibunya tidak mempunyai biaya pendidikan sebagaimana mestinya. Sebenarnya guru yang mengajarkannya hanya terbatas memberikan pelajaran kepada anak-anak yang agak besar. Akan tetapi, setelah ia mengetahui bahwa setiap apa yang diajarkan kepada asy-Syafi’i ra dapat mengerti dan diterima dengan baik, lagi pula setiap kali ia berhalangan ternyata asy-Syafi’i

58Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), Cet 3, h. 120


(49)

ra mampu menggantikan gurunya meneruskan apa yang telah diajarkan kepadanya kepada anak-anak yang lain.60

Akhirnya asy-Syafi’i ra dipandang sebagai murid yang bantuannya lebih besar dari pada bayaran yang diharapkan dari ibunya. Keadaan seperti itu berlangsung hingga asy-Syafi’i ra berkesempatan belajar al-Quran dan mengkhatamkannya dalam usia tujuh tahun. Kemudian beliau belajar menghafal banyak hadits. Untuk itu, beliau turut serta belajar pada guru tafsir dan guru-guru ahli di bidang ilmu hadits. Pada saat itu harga kertas sangat mahal. Untuk mencatat pelajaran, beliau mengumpul kepingan-kepingan tulang yang lebar dan besar, bahkan ia lebih mengandalkan ingatan melalui cara menghafalnya, karena dengan kebiasaan tersebut ia memiliki daya ingat yang amat kuat61.

Kemudian asy-Syafi’i ra meminta izin kepada ibunya hendak berangkat ke Madinah al-Munawwarah untuk belajar kepada al-Imam Malik ibn Anas dan ibunya mengizinkannya. Pada saat itu beliau berusia kurang lebih 20 tahun. Beliau menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk bertemu dengan imam Malik. Untuk keperluan itu, beliau mencari buku “al-Muwaththa”. Dalam buku itulah imam Malik menuangkan semua hasil pemikirannya tentang ilmu fikih dan hadits-hadits Nabi SAW yang dipandang sahih isnadnya. Al-imam asy-Syafi’i ra

60 Abdurrahman Asy-Syarqawi, Al Hamid Al Husaini et.al (terj), Riwayat Sembilan Mazhab Al Imam Mazhab, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), Cet 1. h. 382


(50)

berhasil berhasil menemukan bukunya yang dimaksud dan pada akhirnya beliau mampu menguasai bahkan manghafal buku yang dikarang oleh imam Malik.62 Imam asy-Syafi’i ra yang sejak kecil berada dalam kancah penderitaan, namun

semangat beliau dalam menuntut ilmu tidak terhalang oleh penderitaan yang menyelimuti keluarganya, baik dalam ilmu agama maupun ilmu yang lainnya. Selain itu beliau seorang yang baik budinya, jujur, dan rajin dalam beribadah kepada Allah SWT.63

B) Guru-Guru imam Syafi’i dan Murid-Muridnya

Imam Syafi’i mengambil banyak ilmu dari para ulama di berbagai tempat pada zamannya. Di antaranya di Makkah, Madinah, Kufah, Basrah, Yaman, Syam, dan Mesir. Hal itu telah disebutkan oleh Baihaqi, Ibnu Katsir, Mizzy, dan al-Hafizh Ibnu hajar.

Ibnu katsir berkata: “al-imam asy-syafi’i belajar banyak hadits kepada para syaikh dan para imam. Ia membaca sendiri kitab al-Muwaththa’ dengan hafalan sehinga imam Malik kagum terhadap hafalan dan kemauan kerasnya”.

Di riwayatkan dari imam Malik bahwa imam syafi’i mengambil ilmu dengan ulama Hijjaz, sebagaimana ia mengambilnya dari Syaikh Muslim bin Khalid az-Zanji.

62Ibid., h. 382

63 Moenawar Chalil, Biografi Emapat Serangkai Al-Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet, 11, h. 94


(51)

Al-Hafizh al-Mizzi telah menyebutkan para guru imam Syafi’i. Di antara gurunya yang berasal dari penduduk Makkah adalah:

1. Imam Sufyan bin ‘Uyainah

2. ‘Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Abdullah bin Abu Mulaikah 3. Isma’il bin Abdullah bin Qasthinthin al-Muqri

4. Muslim bin Khalid az-Zanji, dan banyak lagi selain mereka.

Gurunya yang berasal penduduk Madinah adalah: 1. Malik bin Anas bin Abu ‘Amir al-Ashabani 2. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad ad-Darawardi 3. Ibrahim bin Sa’ad bin ‘Abdur Rahman bin ‘Auf

4. Muhammad bin Isma’il bin Abu Fudaik dan banyak lagi selain mereka. Dari negeri lain di antaranya adalah:

1. Hisyam bin Yusuf as-Shan’ani 2. Mutharrif bin Mazin as-Shan’ani 3. Waki’ bin al-Jarrah

4. Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dan banyak lagi selain mereka.64 Murid-murid imam Syafi’i yang paling popular adalah:

1) Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin ‘Abdul Jabbar bin Kamil, Imam al-Muhaddits al-Faqih al-Kabir Abu Muhammad al-Muradi al-Mishri al-Muadzdzin. Ia adalah

64Muhammad bin A. W. al-‘aqil, Manhaj ‘Akidah Imam Asy-Syafi’i, Penerjemah: Nabhani, Saefudin Zuhri, (Saudi Arabi: Maktabah Adhwa as-Salaf Riyadh, 1998) Cet 1, h. 41


(52)

teman imam Syafi’i yang mengambil ilmu-nya, syaikh para muadzdzin di Masjid Fusthath, dan seorang yang diminta oleh para syaikh pada zamannya untuk membacakan atau menyampaikan ilmu. Ar-Rabi’ lahir pada tahun 174 H. Diriwayatkan bahwa imam Syafi’i pernah berkata kepadanya:” jika aku mampu memberimu makanan ilmu, nescaya aku memberikannya”. Imam syafi’i juga berkata: “Ar-Rabi adalah orang yang banyak meriwayatkan tulisan-tulisanku”. Ia wafat pada tahun 270 H65.

2) Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin Ismail bin ‘Amr bin Muslim Muzani al-Mishri, al-Imam al-‘allamah, sangat faham tentang agamanya, pemuka para ahli zuhud, ia lahir pada tahun 175 H. karangannya yang berupa mukhtasar (ringkasan) dalam bidang fikih memenuhi banyak negeri, yang kemudian di syarah (diuraikan) oleh sejumlah imam besar sehingga dikatakan: “seorang anak gadis saja memiliki sebuah naskah mukhtasar al-Muzani yang disimpan di antara barang-barang miliknya”. Imam Syafi’i mengatakan:“Al-Muzani adalah pembela mazhabku”. Imam adz-Dzahabi mengatakan bahwa Amr bin Tamim al-Makki berkata:“ saya telah mendengar Muhammad bin Isma’il at-Tirmidzi berkata: ‘saya telah mendengar al-Muzani mengatakan hal berikut: ‘Tauhid seseorang tidak benar sampai ia mengetahui bahwa Allah SWT


(53)

(bersemayam) di atas ‘Arsy dengan sifat-sifat-Nya.’ Al-Muzani wafat pada tahun 264 H.66

3) Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam bin A’yan bin Lits al-Imam Syaikhul Islam Abu Abdillah al-Mishri al-Faqih, lahir pada 182 H. ia adalah ulama Mesir sezaman dengan al-Muzani. Ketika Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam menaiki kudanya, imam Syafi’i memandangnya seraya berkata: “Alangkah baiknya aku jika mempunyai anak seperti dia, sementara aku menaggung utang 1000 dinar yang aku tidak dapat membayarnya”. Diriwayatkan bahwa terjadi selisih pendapat antara dia (Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam) dengan Buwaithi karena imam Syafi’i memilih al-Buwaithi untuk menggantikannya di majelisnya sehingga Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam meniggalkan madzhab imam Syafi’i dan kembali ke madzhab Maliki67.

4) Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya al-Mishri al-Buwaithi. Al-Imam al-‘Allamah, pemimpin para fuqaha, adalah sahabat imam Syafi’i yang mendampinginya dalam waktu yang lama hingga ia menjadi murid imam Syafi’i yang mengalahkan kawan-kawannya. Al-Buwaithi adalah seorang imam dalam ilmu, teladan dalam amal, seorang yang zuhud, rabbani yang banyak tahajjud, selalu berdzikir, dan menekuni ilmu fiqih. Imam Syafi’i berkata tentangnya: “

66Ibid., h. 46

67Ibid., h. 47


(54)

tidak ada seorangpun dari sahabat-sahabatku yang lebih banyak ilmunya dari pada al-Buwaithi”. Ia di siksa karena menolak pendapat yang mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk. Ia sabar menghadapi ujian itu sampai wafat di penjara. Ia wafat dalam keadaan terbelenggu di penjara Irak pada tahun 231 H.68

C) Karya-karya Imam Syafi’i Dan Perkembangan Mazhabnya

Menurut Abu Bakar al-Baihaqy dalam kitab Ahkam al-Quran, bahwa karya Imam Syafi’i cukup banyak, baik dalam bentuk risalah, maupun dalam bentuk kitab. Al-Qadhi Imam Abu Hasan ibn Muhammad al-Maruzy mengatakan bahwa Imam Syafi’i menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fiqh, adab dan lain-lain.69 Kitab-kitab karya Imam Syafi’i yang dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua

bagian, yaitu :

1) Kitab yang ditulis Imam Syafi’i sendiri, seperti al-Umm dan al-Risalah (riwayat dai muridnya yang bernama al-Buwaithy dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Rabi’ ibn Sulaiman).

2) Kitab yang ditulis oleh murid-muridnya, seperti Mukhtashar oleh al-Muzany dan Mukhtashar oleh al-Buwaithy (keduanya merupakan ikhtisar dari kitab Imam Syafi’i: Al-Imla’ wa al-Amly).

68Ibid., h. 47


(55)

Kitab-kitab Imam Syafi’i baik yang sendiri didiktekan kepada muridnya, maupun dinisbahkan kepadanaya, antara lain sebagai berikut:

a) Kitab al-Risalah, tentang ushul fiqh b) Kitab al-umm, tentang fiqh

c) Kitab al-Musnad, berisi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya

d) Al-Imla’ e) Al-Amaliy f) Harmalah

g) Mukhtashar al-Muzaniy h) Mukhtashar al-Buwaitiy i) Kitab Ikhtilaf al-Hadits70

Kitab-kitab Imam Syafi’i dikutip dan diperkembangkan para muridnya yang tersebar di Makkah, di Iraq, di Mesir, dan lain-lain71.

Perkembangan Mazhabnya72

Penyebaran mazhab Syafi’i ini antara lain di Iraq, lalu berkembang dan tersiar ke khurasan, Pakistan, Syam, Yaman, Persia, Hijaz, India, daerah-daerah Afrika dan Andalusia selepas tahun 300 H. Kemudian mazhab Syafi’i ini tersiar dan

70 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 134

71 Muhammad bin A. W. al-‘aqil, Manhaj ‘Akidah Imam Asy-Syafi’i, Penerjemah: Nabhani, Saefudin Zuhri, h. 46


(56)

berkembang bukan hanya di Afrika, tetapi keseluruh pelosok negara-negara Islam, baik di Barat, maupun di Timur, yang dibawa oleh para muridnya dan pengikut-pengikutnya dari satu negeri ke negeri lain, termasuk ke Indonesia. Kalau kita melihat praktek ibadah dan mu’amalat umat Islam Indonesia, pada umumnya mengikuti mazhab Syafi’i. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, yaitu:

a) Setelah adanya hubungan Indonesia dengan Makkah dan di antara kaum Muslimin Indonesia yang menunaikan ibadah haji, ada yang bermukim di sana dengan maksud belajar ilmu agama. Guru-guru mereka adalah ulama-ulama yang bermazhab Syafi’i dan setelah kembali ke Indonesia mereka menyebarkannya. b) Hijrahnya kaum Muslimin dari Hadhramaut ke Indonesia adalah merupaka

sebab yang penting pula bagi tersiarnya mazhab Syafi’i di Indonesia. Ulama dari Hadrhramaut adalah bermazhab Syfi’i.

c) Pemerintah kerajaan Islam di Indonesia, selama zaman Islam mengesahkan dan menetapkan mazhab Syafi’i menjadi haluan hukum di Indonesia. Keadaan ini diakui pula oleh pemerintah Hindia Belanda, terbukti pada masa-masa akhir dari kekuasaan Belanda di Indonesia, kantor-kantor kepenghuluan dan Pengadilan Agama, hanya mempunyai kitab-kitab fikih Syafi’iyyah, seperti kitab al-Tuhfah, al-Majmu’, al-Umm dan lain-lain.


(57)

d) Para pegawai jawatan dahulu, hanya terdiri dari ulama mazhab Syafi’i karena belum ada yang lainnya.73

D) Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-faktor yang mempengaruhi Imam Syafi’I dalam Menetapkan Hukum Islam74

Aliran kegamaan Imam Syafi’i sama dengan Imam Mazhab yang lainnya dari Imam-imam Mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad bin Hambal adalah termasuk golongan Ahlu Sunnah wa Jama’ah. Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam bidang furu’ terbagi kepada dua aliran, yaitu aliran Ahlu al-Hadits dan aliran ahlu al-Ra’yi. Imam Syafi’i termasuk ahlu al-Hadits. Imam Syafi’i sebagai imam Rihalah fi Thalab al-Fiqh dan pernah pergi ke Hijaz untuk menuntuk ilmu dengan Imam Malik dan beliau pergi ke Irak untuk menuntuk ilmu dengan Muhammad ibn al-Hasan, salah seorang murid imam Abu Hanifah. Karena itu, Meskipun Imam Syafi’i digolongkan sebagai seorang yang beraliran ahlu al-Hadits, namun pengetahuannya tentang fiqh ahlu al-Ra’yi tentu akan memberi pengaruh kepada metodnya dalam menetapkan hukum.75

Di samping itu, pengetahuan Imam Syafi’i tentang masalah sosial kemasyarakatan sangat luas. Bahkan beliau menyaksikan secara lansung

73Ibid., h.136

74 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 123


(58)

kehidupan masyarakat desa (Badwy) dan menyaksikan pula kehidupan masyarakat yang sudah maju peradabannya pada tingkat awal di Irak dan di Yaman. Juga menyaksikan kehidupan yang sudah sangat kompleks peradabannya, seperti yang terjadi di Irak dan Mesir. Ia juga menyaksikan kehidupan orang zuhud dan Ahlu al-Hadits. Pengetahuan imam Syafi’i dalam bidang kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan yang bermacam-macam itu, memberikan bekal baginya dalam ijtihadnya pada masalah-masalah hukum yang beraneka ragam.76

Hal ini memberikan pengaruh pula dalam mazhabnya. Menurut Mushtafa al-Sya’iy bahwa Imam Syafi’ilah yang meletakkan dasar

pertama tentang qaidah periwayatan hadits, dan beliau juga mempertahankan sunnah melebihi gurunya iaitu imam Malik bin Anas. Dalam bidang hadits, imam Syafi’i berbeda dengan Abu Hanifah dan imam Malik bin Anas. Menurut Imam Syafi’i, apabila suatu hadits sudah sahih sanadnya dan mustahil (bersambung sanadnya) kepada Nabi SAW, maka sudah wajib diamalkan tanpa harus dikaitkan amalan ahlu al-Madinah sebagaimana yang disyaratkan imam Malik dan tidak pula perlu ditentukan syarat yang banyak syarat dalam penerimaan hadits, sebagaimana yang di syaratkan oleh imam Abu Hanifah. Karena itu, imam Syafi’i dijuluki sebagai Nashir al-Sunnah (penolong Sunnah).77

76Ibid., 123


(59)

Imam Syafi’i mempunyai dua pandangan yang dikenal sebagai Qaul al-Qadim dan Qaul al-Jadid. Qaul Qadim terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Hujjah, yang di cetuskan di Irak. Qaul jadidnya terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Umm, yang di cetuskan di Mesir.78

Adapun dua pandangan hasil ijtihad itu, maka diperkirakan bahwa situasi tempat pun turut mempengaruhi ijtihad imam Syafi’i. Keadaan di Iraq dan di Mesir memang berbeda, sehingga membawa pengaruh terhadap pendapat-pendapat daan ijtihad imam Syafi’i. Ketika di Irak, imam Syafi’i menela’ah kitab-kitab fiqh Iraq dan memadukan dengan ilmu yang ia miliki yang di dasarkan pada teori Ahlu al-Hadits.79

Pendapat qadim didiktekan imam Syafi’i kepada murid-muridnya di Irak. Kemungkinan besar yang dimaksud dengan qaul qadim imam Syafi’i adalah pendapat-pendapatnya yang dihasilkan dari perpaduan antara mazhab Iraqy dan pendapat Ahlu al-Hadits. Setelah itu, imam Syafi’i pergi ke Makkah dan tinggal di sana untuk beberapa lama. Makkah pada waktu itu di kunjungi para ulama dari berbagai negara Islam. Di Makkah, imam Syafi’i dapat belajar dari mereka yang datang dari berbagai negara Islam itu dan mereka pun dapat belajar dari imam Syafi’i.80

78Ibid., h. 124 79Ibid., h. 124


(60)

Tampaknya qaul qadim ini didiktekan oleh imam Syafi’i kepada murid-muridnya (ulama Iraq) yang datang kepadanya ketika ia tinggal di Iraq. Sebab imam Syafi’i datang ke Irak sebanyak dua kali. Kedatangannya yang pertama kali ke Irak tidak disebutkan untuk menyampaikan ajaran-ajaran kepada para ulama di sana hanya di sebutkan, bahwa ia bertemu dengan Muhammad ibnu Hasan al-Syaibaniy salah seorang murid imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i sering mengadakan muzakarah (diskusi) dengannya, sehingga menurut Khudary Bek, pemikiran imam Syafi’i penuh dengan hasil diskusi tersebut. Setelah itu, imam Syafi’i kembali ke Hijjaz dan menetap di Makkah. Kemudian kembali lagi ke Iraq dan di sana ia mendiktekan qaul qadimnya kepada murid-muridnya (ulama Iraq).81

Qaul qadim imam Syafi’i merupakan panduan antara fiqh Irak yang bersifat rasional dan fiqh ahl al-Hadits yang bersifat “tradisional”. Tetapi fiqh yang demikian, akan lebih sesuai dengan ulama-ulama yang datang dari berbagai negara Islam ke Makkah. Pada saat itu, mengigat situasi dan kondisi negara-negara yang sebagian ulamanya datang ke Makkah pada waktu itu berbeda-beda satu sama lain. Mereka dapat memilih pendapat yang sesuai dengan kondisi dan situasi negaranya. Itulah pula yang menyebabkan pendapat imam Syafi’i mudah tersebar ke berbagai negara Islam. Kedatangan imam Syafi’i kedua kalinya ke Irak, hanya beberapa bulan saja tinggal di sana, kemudian ia pergi ke Mesir.82


(61)

Di Mesir inilah tercetus qaul jadidnya yang didektekannya kepada murid-muridnya. Qaul jadid imam Syafi’i ini dicetuskannya setelah bertemu dengan para ulama Mesir dan mempelajari fiqh dan hadits dari mereka serta adat istiadat, situasi dan kondisi di Mesir pada waktu itu, sehingga imam syafi’i merubah sebagian hasil ijtihadnya yang telah diwafatkannya di iraq. Jika kandungan qaul jadid imam Syafi’i adalah hasil ijtihadnya setelah pindah ke Mesir. Qaul jadidnya ini ditulis dalam kitab al-Umm. 83

Pegangan Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum adalah al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dalam kitabnya al-risalah sebagai berikut:

i"; "?Oj "7:"= " '" "7:"= ," -[X M?

Q -k

iﺵ D"; F1(Q m>2! ZQ 1

\8

"n 8"2 "U .="a "7-

" 0"

o

Artinya: “Tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum selamanya,ini halal, ini haram kecuali kalau ada pengetahuan tentang itu. Pengetahuan ini adalah kitab suci al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas”.

Pokok-pokok pikiran imam Syafi’i dalam mengistinbatkan hukum adalah84: 1. Al-quran dan al-Sunnah

Imam Syafi’i memandang al-Quran dan sunnah berada dalam satu martabat. Beliau menempatkan al-Sunnah sejajar dengan al-Quran. Karena menurut beliau,

82Ibid., h. 125 83Ibid., h. 126 84Ibid., h. 127


(62)

Sunnah itu menjelaskan al-quran, kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan al-Quran dan hadits mutawatir. Disamping itu, karena al-Quran dan Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti al-Quran.

Dalam perlaksanaannya, imam Syafi’i menempuh cara, bahwa apabila di dalam al-Quran sudah tidak ditemukan dalil yang dicari, ia menggunakan hadits mutawatir. Jika tidak ditemukan dalam hadits mutawatir, ia menggunakan khabar ahad. Jika tidak ditemukan dalil yang di cari dalam kesemuanya itu, maka dicoba untuk menetapkan hukum berdasarkan zhahir al-Quran atau Sunnah secara berturut. Dengan teliti ia coba untuk menemukan mukhashshish dari al-Quran dan Sunnah. Selanjutnya menurut Sayyid Muhammad Musa dalam kitabnya al-Ijtihad, imam Syafi’i jika tidak menemukan dalil dari zhahir nash al-Quran dan Sunnah serta tidak ditemukan dalil dari mukhashshishnya, maka ia mencari apa yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW atau keputusan Nabi SAW. Kalau tidak ditemukan juga, maka ia mencari lagi bagaimana pendapat para ulama sahabat. Jika ditemukan ada ijma’ dari mereka tentang hukum masalah yang dihadapi, maka hukum itulah yang ia pakai.85

Imam Syafi’i walaupun berhujjah dengan hadits ahad, namun beliau tidak menempatkannya sejajar dengan al-Quran dan Hadits mutawatir, karena hanya


(1)

As-Sayyid Salim, Abu Malik Kamal, Sahih Fikih Sunnah, menghuraikan bab pakaian dan perhiasan, Nikah, Talak, Warisan. Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2006, Cet 1.

As’ad, Drs. H. Aliy, Fathul Mu’in, Menara Kudus, Yogyakarta, 1979 M, Jilid 3. Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuhu, Dar al-Fikr: Beirut 1998, cet.

Ke-2, juz ke-7.

Abidin, Slamet. Fiqih Munakahat 1 Untuk Fakultas Syari’ah Komponen MKDK, Bandung: Pustaka Setia, 1999, Cet I.

Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antara Mazhab, PT. Prima Heza Lestari, 2006, cet. I.

Abu Amar, Imron. Fat-Hul Qarib, Menara Kudus, jilid 2.

Ad Daruqutni, Ali Umar. Sunan Ad Daruqutni, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, juz 1.

Al-Imam-Asy-Syafi’i.R.A. Al-Umm Kitab Induk, Kuala Lumpur: Victory Agencie, jilid 7.

Al Shabagh, Mahmud, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991, Cet 1.

A.W. al-‘aqil, Muhammad, Manhaj ‘Akidah Imam Asy-Syafi’i, Penerjemah: Nabhani, Saefudin Zuhri, (Saudi Arabi: Maktabah Adhwa as-Salaf Riyadh, 1998) Cet 1, Chalil, Moenawar, Biografi Emapat Serangkai Al-Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan


(2)

Djalil, A.Basiq, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo Topik-Topik Pemikiran Aktual Diskusi Pengajian, Ceramah, Khutbah, Dan Kuliah Subuh, Jakarta: Qalbun Salim, 2006, Cet 1.

Djaelani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1995. cet. I.

Darajat, Zakiah dkk. Ilmu Fiqih, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departmen Agama, 1984, cet. 2.

Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999, Cet 6.

Ghazaliy, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana 2006, Cet 2.

H.Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, CV. Akademika Pressindo 2007, Cet. IV.

Hosen, Ibrahim, fikih perbandingan, Jakarta: Balai Penerbitan dan Perpustakaan Islam Yayasan Ihya’ Ulumiddin, 1971.

Ibnu Hajar, Asqalani, Fathul Baari Syarh Shahih Al-Bukhari, terjemah : Aminuddin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2005, cet. Ke-1.

Kuzari, Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995, Cet 1.

Ahmad al-Mahali, Jalaluddin Muhammad, Qalyubi Wa Umairah, Riyadh: Maktabah Ar-Riadkil Haditsh, tth, jilid IV.


(3)

Mughniyah,Muhammad Jawad, Fikih Lima Mazhab, Dar al-Jawad, Beirut, 1996, cet. I.

Muhammad A’ud al-Jaziri,Abdul Rahman, Al-Fiqhu Ala Mazahibilarba’ati, Daritturasi, Kairo-Mesir, 2005, jilid keempat, cet. I.

Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, Cet 1.

Mujieb, M. Abdul, Mabruri Tholhah, Syafi’ah Am, Kamus Istilah Fiqih, PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, cet. II

Poewadarminto, WJS Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, jilid 2, Semarang: CV Asy Syiea’,1990, Jilid. II.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kecana, 2006, cet.II.

Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta : Kencana, 2003, cet. II.

Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Elsas Jakarta: 2008, cet-1,

Suemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang perkawinan, Undang-Undang No 1 thn 1974 Tentang Perkawinan, Yokyakarta: Liberty, 1986, cet. Ke-2.


(4)

Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah-Tangga (Keluarga yang Sakinah), Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993, Cet 1.

Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Elsas Jakarta: 1998 cet-1.

Thaha, Nasahruddin. Pedoman Perkawinan Umat Islam, Bulan Bintang, Jakarta 1960, cet. III.

Taimiyah, Ibnu, Hukum-Hukum Perkawinan, Jakarta: Pustaka Kautsar, 1997, Cet 7.

Tahido Yanggo, Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997, Cet 3.

Zain Muhammad, Alshodiq Mukhtar, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversal Itu, Grahacipta: 1995, cet. I


(5)

(6)