PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM SURAT AN-NUUR.

(1)

PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM SURAT

AN-NU<<>R

Skripsi:

Disusun untuk memenuhi tugas akhir guna memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) dalam Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Oleh :

WAHYUNI NINGSIH (E33212097)

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Wahyuni Ningsih, Pencemaran Nama Baik Ibrah Kisah ‘Aisyah

Fokus masalah yang akan di teliti adalah pelajaran yang dapat diambil dari kisah ‘Aisyah mengenai pencemaran nama baik kasus tuduhan zina prespektif al-Aqur’a>n. Di

dalam al-Qur’a>n terdapat ayat-ayat pencemaran nama baik yang memberikan gambaran

secara implisit mengenai hukum bagi orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang suci dengan tuduhan bahwa mereka telah melakukan penyelewengan. Bahkan, al-Qur’a>n juga memberikan penjelasan mengenai tata cara penyelesaian kasus pencemaran nama baik tersebut beserta sanksi yang diberikan kepada pelaku pencemaran.

Skripsi ini membahas tentang bagaimana penafsiran ayat-ayat al-Qur’a>n

pencemaran nama baik dan bagaimana kontekstualis tafsir ayat al-Qur’a>n tentang

pencemaran nama baik.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif melalui

kajian-kajian literatur yang terkait topik pencemaran nama baik (library Research).

Merujuk pada karya-karya tafsir data di himpun dan di analisis sesuai prosedur dalam

metode mawdu>i dengan corak adabi Ijtima’i yakni setting sosial.

Tuduhan zina adalah kasus pencemaran Nama baik, di dalam al-Quran terdapat cara menanggulanginya secara bijak dan tanpa emosi yang berlebihan dengan kepala dingin dan tergesa-gesa dalam menyimpulkan gosip, ketika seseorang menuduh zina maka ia diharuskan mempunyai saksi, jika tidak mendapat saksi maka mendapat tiga knsekuensi dari tuduhan tersebut, pertama dikenai dera 80 kali, kedua kesaksiannya tidak diterima selamanya, ketiga dianggap sebagai orang fasik (tidak adil menurut Allah dan Manusia). Jika suami yang menuduh istrinya dan tidak bisa membuktikannya adengan

saksi-saksi maka dikenakan sumpah Li’an. Jika istri diam tidak membantah tuduhan

suaminya maka dikenai tuduhan zina. Ayat 8-10 memberikan kesempatann istri untuk membela diri ketika dituduh suaminya berzina. Ia harus bersaksi yakni empat kesaksian yakni dengan empat kali sumpah dengan menyebut nama Allah bahwa suaminya msuk ke Dalam kelompok orang-orang yang dusta.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

ABSTRAK .. ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 5

E. Kerangka Teoritik ... 5

F. Kajian Pustaka ... 6

G. Metode Penelitian ... 7

H. Sistematika Pembahasan ... 10

BAB II : PENCEMARAN NAMA BAIK, TEORI ASBA<B AL-NUZU<L, DAN


(8)

A. Pencemaran Nama Baik ... 12 B. Asba>b Nuzu>l dalam penafsiran al-Qur’an ... 15 C. Munasabah ... 22

BAB III :

PENAFSIRAN SURAT AN-NUR TENTANG

PENCEMARAN NAMA BAIK

A.... Pe nafsiran ayat pencemaran Nama Baik ... 29 B. ... K

otekstual ayat Pencemaran Nama Baik ... 46

BAB IV : ANALISIS SOLUSI PENCEMARAN NAMA BAIK DALAMKEHIDUPAN MODERN

A... A

nalisis penafsiran Ayat Pencemaran Nama Baik. ... 63

B. ... A nalisis Kontekstual surat an-Nu>r. ... 68

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 73 B. Saran ... 75


(9)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Al-Qur’a>n menyediakan suatu dasar yang kokoh, kuat dan tidak akan berubah. Di dalam al-Qur’a>n terselip pelajaran, perinsip etik dan moral yang diperlukan manusia untuk membentuk karakter tingkah laku manusia yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan individual maupun sosial.1 Tujuan tersebut dicapai jika terdapat pemahaman yang bisa mengungkap, mamahami, serta mengetahui prinsip-prinsip yang dikandungnya. Upaya memahami maksud-maksud firman Allah sesuai kemampuan manusia itulah yang disebut tafsir.2

Allah telah mengatur seluruh aspek kehidupan makhluk-Nya di dalam al-Qur’a>n. Mulai dari aspek tauhid, akidah, syariah, akhlak beserta seluruh cabang -cabangnya. Aspek-aspek tersebut sudah mencakup hubungan antara manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya. Bahkan al-Qur’a>n juga memberikan solusi untuk permasalahan yang ada, salah satu permasalahan tersbut adalah tentang pencemaran nama baik.

Secara umum Pencemaran nama baik defamation adalah tindakan mencemarkan nama baik seseorang dengan cara menyatakan sesuatu, baik melalui lisan maupun tulisan yang berakibat nama baik dan kehormatan seseorang tercemar. Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantara kehormatan

1Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan amsalah kenegaraan: studi tentang peraturan dalam

konstituante(Jakarta: LPES, 1985), 11.

2 Quraish Shihab, membumikan al-Qur’an:fungsi dan peran Wahyu dalam kehidupan


(10)

dan nama baik sudah cukup dijadikan alasan untuk menuduh seseorang telah melakukan penghinaan.

Beberapa kasus pencemaran nama baik yang terjadi, khususnya di Indonesia ini antara lain pada tahun 2009 pengadilan umum Jakarta pusat menggelar sidang kasus pencemaran nama baik, dimana mantan wakil ketua dewan perwakilan rakyat (DPR) Zaenal Ma’arif sebagai tersangka utama dan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pihak penggugat. Akibat pernyataan Zaenal Ma’arif bahwa presiden Susilo BambangYudhoyono telah menikah sebelum masuk Akademi Militer, oleh jaksa Penuntut Umum (JPU) Jakarta pusat Noor Rachmad ia divonis hukuman penjara selama satu tahun karena tidak bisa memberikan bukti dan dianggap telah melakukan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam pasal 311 ayat (1) kitab Undan-Undang Hukum pidana (KUHP). Pernyataan yang dilontarkan oleh Zaenal Ma’arif kepada kepala Negara ini dinilai sebagai tindakan yang merugikan dan merusak kehoratannya sebagai pemimpin negeri ini.3

Al-Qur’a>n secara tegas, dalam beberapa ayatnya memberikan gambaran secara implisit mengenai hukum bagi orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang suci dengan tuduhan bahwa mereka telah melakukan penyelewengan. Bahkan, al-Qur’a>n juga memberikan penjelasan mengenai tata cara penyelesaian kasus pencemaran nama baik tersebut beserta sanksi yang diberikan kepada pelaku pencemaran.4

3

http://news.liputan6.com/read/145296/zaenal-maarif-menyerahkan-bukti-pernikahan-sby.diakses tanggal 29/12/2015.


(11)

Di sini Allah mengemukakan suatu kasus serupa yang terjadi terhadap keluarga Nabi Muhammad SAW. Ayat ini mengecam mereka yang menuduh isteri beliau ‘A>isyah ra tanpa bukti-bukti. Allah berfirman dalam surat an-Nu>r ayat 11

ا

ِِ

ن

ا

ٍئِرْما ِّلُكِل ْمُكَلٌرْ يَخ َوُ ْلَب ْمُكَلاًرَش ُوُبَسَََْا ْمُكِْم ٌةَبْصُع ِكْفِاِِاوُءاَج َنيِذ ل

ٌمْيِظَعُ باَذَع َُل ْمُه ِم َُرْ بِك ََوَ ت ْيِذ لاَو ِِْْااَِم َبَسَتْكااَم ْمُهْ ِم

:رو لا(

۱۱

)

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar5

M. Quraish Shihab dalam tafsirnya Tafsir al-Misbah memaknai ayat ini sebagai berita bohong yang tertuju kepada istri Rasulullah saw, ‘A<>isyah ra setelah perang dengan bani Mushtaliq bulan sya’ban 5 H dan merupakan ancaman untuk mereka yang menyebar kebohongan , bahwa mereka akan menuai balasan atas apa yang telah di lakukannya.6

Dari peristiwa ini dapat dijadikan ibrah bagaimana Allah memberi jalan keluar dan kebahagiaan setelah ujian dan masa sulit. Allah mendidik manusia dengan penegakkan hukum had atas mereka, peringatan bagi orang-orang yang suka menyebar keburukan. Zamakhsyari juga menerangkan bahwa ayat yang turun sebanyak delapan belas yang masing-masing mempunyai makna tersendiri, ini semua adalah penghormatan kepada Rasulullah SAW dan sebagai hiburan bagi beliau, serta penyucian Ummul mukminin atas pembersihan untuk

5 Departemen Agama, Alquran dan Tafsir, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), 242. 6 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta:lentera hati, 2002), 295.


(12)

keluarganya, sekaligus sebagai peringatan bagi siapa saja yang membicarakannya. Serta peringatan kembali untuk membaca pedoman dari Allah, di samping berbagai pelajaran agama, hukum-hukum dan etika yang harus diketahui7

Kasus pencemaran nama baik dengan cara menyerang kehormatan orang lain seperti menuduh berselingkuh tanpa bukti yang benar adalah realitas social yang kini marak di Indonesia. Hal yang harus kita lakukan ketika mendengar tuduhan yang dilontarkan seseorang kepada fihak lain adalah bangun sikap husnuzhan atau berbaik sangka kepada yang di tuduh itu sebelum adanya bukti yang nyata.

Melalui ibrah dari kisah ‘A<isyah dalam al-Quran memberikan pandangan bahwa permasalahan pencemaran nama baik dapat di selesaikan secara bijak dan tanpa emosi yang berlebihan. Dengan pendekatan asba>b Nuzul dan Munasabah tersebut penulis ingin mengetahui penerapan cabang ulu>m al-Qur’a>n yang digunakan mufasir dalam melakukan ayat-ayat pencemaran nama baik agar kontribusi dan peran al-Qur’a>n dalam sehari-hari tampak nyata dan benar-benar diamalkan. maka ini seharusnya menjadi motivasi bagi pengkaji al-Qur’a>n untuk mengkaji lebih jauh.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana Penafsiran ayat-ayat pencemaran nama baik?

2. Bagaimana kontekstualisai tafsir ayat al-Qur’a>n tentang pencemaran Nama baik?


(13)

C.Tujuan

1. Menjelaskan tentang penafsiran ayat-ayat pencemaran nama baik

2. Menjelaskan kontekstualisasi tafsir ayat al-Qur’a>n tentang pencemaran nama baik

D.Kegunaan Penelitian

Penelitian ini digunakan untuk menganalisis penerapan cabang ulumul Qur’a>n yang digunakan oleh mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat pencemaran nama baik. Dari sini, dapat diketahui sejauh mana dan bagaimana para mufasir menggunakan ulu>m al-Qur’a>n sebagai alat untuk menafsirkan ayat tema tersebut.

secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan penegetahuan, serta pemahaman kepada masyarakat dan segenap pembaca tafsir ahkam khususnya dalam permasalahan pencemaran Nama baik.

E. Kerangka Teoritik

Penelitian ini akan membahas ayat-ayat al-Qur’a>n tentang pencemaran nama baik yang berkaitan dengan kisah tuduhan untuk ‘A>isyah yang menyebabkan tercorengnya nama baik beliau dan untuk mengetahui sejauh mana para mufasir memerankan ulu>m al-Qur’a>n dalam suatu proses penafsiran, maka perlu dipahami terlebih dahulu tentang cabang-cabang ulu>m al-Qur’a>n khususnya yang digunakan oleh mufasir yang cenderung menafsirkan ayat-ayat yang — secara implisit—mengandung solusi masalah pencemaran nama baik sebagai prinsip dasar hubungan baik dengan manusia. Dalam penelitian ini, cabang ulu>m al-Qur’a>n yang digunakan adalah asba>b al-nuzu>l dan munasabah. apakah para mufasir yang ada telah menggunakan ilmu ini secara keseluruhan ataukah parsial


(14)

sehingga menghasilkan produk tafsir yang menginformasikan bahwa ayat-ayat yang terkait dengan tema tersebut adalah prinsip dasar hubungan baik antar manusia untuk mendapat ridho dari sang pencipta.

F. Kajian Pustaka

Kajian terhadap masalah-masalah pencemaran nama baik banyak dilakukan namun diantanranya belum ada yang membahas melalui pendekatan kisah dalam al-Qur’a>n. beberapa penelitian terkait pencemaran nama baik yang ditemukan yaitu.

Tulisan Arifin dengan judul pencemaran nama baik menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia tahun 2009. Skripsi ini menjelaskan bahwa hukum pidana Islam memandang pencemaran nama baik sebagai tindak pidana, dengan macam perbuatannya seperti, memfitnah, menuduh zina, menghina, mencela, dan sebagainya. Sedangkan menurut hukum pidana Indonesia, pencemaran nama baik merupakan perbuatan dengan jalan menuduh melakukan suatu perbuatan baik secara lisan maupun tulisan dan gambar.

MI Hanafi dengan skripsinya yang berjudul penerapan sanksi pidana pencemaran nama baik pasal 27 (3) jo pasal 45 (1) undang-undang No 11 tahun 2008 tentang ITE ditinjau dari maqasid al-Syariah menjelaskan tinjauan Maqa>si{d al-Sya>ri’ah terhadap penerapan sanksi pidana pencemaran nama baik dan penerapan sanksi pidana pencemaran nama baik dengan pasal yang ada.

L Masfiyah dengan skripsinya yang berjudul sanksi pidana pencemaran nama baii oleh pers menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang pers dan Fiqih


(15)

Jinayah membahas sanksi pidana yang dilkukan pelaku pencemaran nama baik oleh pers menurut fiqih jinayah dan UU. No 40 Tahun 1999 tentang pers.

G.Metode Penelitian 1. Model Penelitian

Penelitian ini merupakan model penelitian kualitatif merupakan proses penelitian yang ingin menghasilkan data bersifat deskriptif, yaitu berupa hasil ucapan, tulisan, dan perilaku individu atau kelompok yang dapat diamati berdasarkan subyek itu sendiri8, bertujuan untuk mengungkap suatu konsep dari al-Qur’a>n tentang ibrah dari kisa ‘a>isyah dalam masalah pencemaran nama baik melalui riset kepustakaan melalui prosuk-produk tafsir yang sudah ada.

Penelitian ini menggunakan metode Maudhu’i, metode tersebut mempunyai dua bentuk yakni:

1. Pembahasan pengenai suatu surat secara menyeluruh dan utuh atau dengan beberapa ayat dengan kesatuan tema dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga dalam surat itu terdapat satu pemahaman yang utuh dan cermat.9

2. Menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu, ayat-ayat tersebut disusun

8 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,

2010), 9. 9

Abd. Al Hayy al Farmawi, Bidayah Fiy al-Tafsir al-Maudhu’i (kairo: Hadrat


(16)

sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan dan selanjutnya dikaji secara mau’dhu’i.10

2. Metode Pengumpulan data

Metode Pengumpulann Data dilakukan dengan cara menelaah literatur-literatur dan mengumpulkan berbagai data yang terkait dengan tema permasalahan, kemudian mengklarifikasi sesuai dengan sub bahasan dan penyusunan yang akan digunakan dalam penelitian berdasarkan konsep kerangka penulisan yang telah dipersiapkan sebelumnya

3. Sumber Data

Data yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari dokumen perpustakaan, yang terdiri dari dua jenis sumber yakni primer dan sekunder:

1. Sumber primer adalah rujukan utama yang dipakai yaitu: a. Hamka, Tafsir al-Azhar

b. Sayyid Qutb, Tafsir fi zilalil Qur’a>n, c. Musthafa al-Maraghi, Tafsir al Maraghi. d. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah

2. Sumber sekunder sebegai rujukan pelengkap, antara lain: a. Kementrian Agama RI, al-Qur’a>n dan Tafsirnya b. Abdul Rahman al-Maliki, sistem dan sanksi Islam c. Manna Khalil al-Qattan, studi ilmu-ilmu al-qur’a>n

d. Abd. Al Hayy al Farmawi, Bidayah Fi al-Tafsir Maudhu’i

10 Abd. Al Hayy al Farmawi, Bidayah Fiy al-Tafsir al-Maudhu’i (kairo: Hadrat


(17)

4. Metode Analisis Data

Data yang terkumpul baik data primer maupun sekunder dianalisis berdasarkan sub bahasan masing-masing. Setelah itu dilakukan telaah mendalam terkait ayat-ayat yang telah dihimpun dalam suatu tema pencemaran Nama Baik dengan menggunakan prosedur dalam metode tafsir

mawdu>’i. Metode tafsir tematik adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu yang dalam hal ini adalah tentang Pencemaran Nama Baik. Lalu mencari pandangan al-Qur’a>n tentang tema tersebut dengan jalan mengumpulkan semua ayat yang membicarakan tantang pencemaran Nama Baik, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat, lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum dikaitkan dengan yang khusus, yang muthlaq digandengkan dengan yang muqayyad dan lain-lain. 11

Adapun langkah-langkah metode tematik kontekstual adalah sebagai berikut

:pertama, menetapkan Tema yang

akan dibahas, yakni tema Pencemaran Nama Baik. Kedua menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah

tema tersebut. Ketiga, menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan cermat serta aspek asba>b Nuzulnya untuk menemukan

makna relevan kontekstual. Disamping itu, penulis juga mencari aspek hubungan atau kolerasi ayatayat yang

ditafsirkan untukk menemukan akurasi makna yang hendak dicari, disinilah teori munasabah menjadi sangat penting.

Keempat, menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna sesuai problem akademis. Kemudian membuat

kesimpulan-kesimpulan.12

Dengan orientasi pada sastra budaya kemasyarakatan atau ditinjau dari setting sosial, maka penelitian ini menggunakan corak adabi Ijtima’i dengan

11M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 385.

12 Abdul Mustaqim, MetodePenelitiann al-Qur’a>n dan Tafsir, (Yogyakarta: Tim Idea


(18)

merujuk karya-karya tafsir yang menggunakan corak penafsiran Adabi

Ijtima’i.

Corak adabi Ijtima’i berusaha menjelaskan makna yang dimaksud

al-Qur’a>n yang mengandung hukum-hukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan. Berusaha mempertemukan antara ajaran al-Qur’a>n dan teori ilmiah yang benar.

H. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab dan sub bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan. Bab pertama adalah pendahuluan yang mana membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoretik, kajian pustaka, metode penelitian serta sistematika pembahasan.

Bab kedua membahas tentang pengertian pencemaran Nama Baik, Teori asba>b Nuzul, dan teori munasabah sebagai wujud dari landasan teori yang merupakan asas dalam penelitian ini.

Bab ketiga mengandung penafsiran oleh para mufassir terhadap ayat-ayat tentang pencemaran Nama Baik terkait penafsiran dari mufassir-mufassir yang ada. Sub-sub bab yang dibahas dalam bab ketiga ini antara lain kontekstualisasi ayat yang ditafsirkan dalam kehidupan sekarang.

Bab keempat berisi Analisis Pencemaran Nama Baik dalam kehidupan modern yang berisi sub bab tentang analisis tafsir yang dikaitkan asba>b Nuzul dan teori dan Analisis kontekstualisasi ayat yang ditafsirkan.


(19)

Bab kelima berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan pembahasan serta saran untuk penelitian selanjutnya demi kesempurnaan karya-karya selanjutnya.


(20)

BAB II

PENCEMARAN NAMA BAIK, TEORI ASBA<B AL-NUZU<L, DAN MUNASABAH

A.Pencemaran Nama Baik

Pencemaran nama baik merupakan suatu tindakan yang dilakukan seseorang untuk menyerang kehormatan orang lain. Tindakan ini termasuk dalam tindakan kriminal. Di Indonesia, kasus-kasus pencemaran nama baik masih marak terjadi. Padahal, hukum tentang pencemaran nama baik sudah dengan tegas diberlakukan. Ketentuan dalam KUHP yang fokus mengatur tentang penghinaan yakni pada bab XVI pasal 310 dan pasal 311 KUHP.1

Pasal 310 menyatakan:

1. Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah

2. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiatkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umun, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah

1Hariandi, Pencemaran Nama Baik menurut KUHP, Kamis, 27 Februari 2014 dalam


(21)

3. Tidak merupakan encemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepeningan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.2

Sedangkan pasal 311 KUHP sebenarnya menjelaskan tentang fitnah. Pasal 311 KUHP menyatakan:

Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dana tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakuakn fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun

Al-Qur’a>n sebagai pedoman hidup dan petunjuuk bagi manusia, telah mengatur aturan-aturan dan hukum-hukum kehidupan. Termasuk hal-hal yang terkait tentang pencemaran nama baik yang telah disebutkan di atas. Ayat keempat hingga kesepuluh dari surat al-Nu>r memberikan informasi tentang pencemaran nama baik, cara penyelesaiannya serta tuntutan hukumnya. Hal ini dikemukakan oleh salah satu pakar tafsir di Indonesia yakni M. Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya al-Mishbah. Quraish Shihab memberikan penjelasan bahwa ayat keempat dan kelima dari surat al-Nu>r mengandung peringatan tentang keburukan serta sanksi hukum terhadap mereka yang menuduh dan mencemarkan nama baik seorang wanita terhormat. Berikut redaksi ayat al-Qur’>n surat al-Nu>r ayat empat dan lima:


(22)

اَََ ْمُوُدِلْجاَف َءاَدَهُش ِةَعَ بْرَِِ اوُتََْ ََْ ُُ ِتاَنَصْحُمْلا َنوُمْرَ ي َنيِذلاَو

اَو ًةَدْلَج َنِن

ُ َنوُقِساَفْلا ُمُ َكِئَلوُأَو اًدَبَأ ًةَداَهَش ْمََُ اوُلَ بْقَ ت

٤

َكِلَذ ِدْعَ ب ْنِم اوُبََ َنيِذلا اِإَ

ُ ٌميِحَر ٌروُفَغ ََا نِإَف اوُحَلْصَأَو

٥

َ

Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.3

Untuk melindungi harkat dan martabat manusia maka syariat islam di turunkan. Allah SWT meralang Setiap perilaku yang merendahkan harkat dan martabat manusia, baik secara pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.4 Segala Perbuatan tercela seperti menggunjing, mengadu domba,memata-matai, mengumpat, mencaci maki, memanggil dengan julukan yang tidak baik, dan perbuatan-perbuatan yang menyentuh kehormatan atau kemuliaan manusia dilarang Islam karena itu islam menghinakan segala jiwa yang melakukan dosa ini, juga mengancam mereka dengan janji yang pedih pada hari kiamat, dan memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang fasik.5

1. Pengertian pencemaran nama baik

Menurut al-Gha>zali pencemaran nama baik adalah menghina atau merendahkan orang lain di depan manusia atau di depan umum.6 Menurut

3Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2012), 4 Zainuddin Ali, Hukum pidana Islam, (Jakarta: sinar grafika, 2007), 60.

5 Ibid., 60


(23)

imam jalaluddin dalam kitab tafsirnya Tafsir jalalain membagi tiga model pencemaran nama baik, yaitu:

a. Sukhriyyah: yaitu meremehkan atau menganggap remeh orang lain sebab sesuatu

b. Lamzu: menjelek-jelekkan dengan cacian atau hinaan atau dengan kejelekan orang lain

c. Tanabuz: model cacian atau penghinaan dengan menyebut atau memanggil lawan bicara dengan sebutan yang jelek, dan sebutan yang paling buruk adalah memnaggil wahai fasik atau wahai yahudi kepada orang islam.7 Sementara Abdul Rachman al-Maliki membagi penghinaan menjadi tiga:

a. Al-Zammu: penisbahan sebuah perkara tertentu kepada seseorang berbentuk sindiran halus yang menyebabkan kemarahan dan pelecehan manusia.

b. Al-Qadhu: segala sesuatu yang berhubungan dengan reputasi dn harga diri tanpa menisbahkan sesuatu hal tertentu.

c. Al-Tahqir: setiap kata yangbersifat celaan atau mengindikasikan pencelaan atau pelecehan.8

B.Asba>b Nuzul dalam penafsiran al-Qur’a>n

Al-Qur’a>n diturunkan dengan bertahap dan tidak seluruh ayatnya mempunyai asba>b Nuzul. Al-Ja’bari menyebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan

7 Imam jalaluddin, Tafsir jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), 428. 8Abdul Rahman al-Maliki, sistem sanksi dan Islam, (Terj Samsuddin), (Semarang: CV


(24)

dalam dua bagian. Bagian pertama berupa prinsip-prinsip yang tidak terikat dengan sebab-sebab khusus, yakni semata sebagai petunjuk bagi manusia. Sementara bagian kedua diturunkan berdasarkan suatu sebab tertentu yang kemudian disebut dengan asbab al-nuzul.9

Ayat yang tidak mempunyai sebab husus jumahnya lebih banyak daripadda ayat yang mempunyai asba>b Nuzul.10 Misalnya ayat-ayat yang mengisahkan umat terdahulu, ayat-ayat yang menerangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau atau menceritakan hal-hal ghaib, yang akan terjadi, atau menggambarkan keadaan hari kiamat beserta nikmat surga dan siksaan neraka.11 Sementara ayat-ayat yang mempunyai asbab al-nuzul jumlahnya lebih sedikit, dalam hal ini ayat-ayat tasri’iyah atau ayat-ayat hukum merupakan ayat-ayat yang mempunyai sebab turun. Dikatakan jarang sekali ayat-ayat-ayat-ayat hukum yang turun tanpa suatu sebab. 12

1. Pengertian asba>b al-Nuzu>l

Secara bahasa Asba>b al-Nuzu>l berasal dari kata سا عمج س 13 berarti sebab atau alasan. sedangkan Nuzu>l bentuk masdar dari لزني -لزن yang berarti turun atau jatuh.14. adapun menurut istilah, Dr Musa Rahim Ibrahim dalam

9 Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an (Riyad: Mansyurat al- ‘Asr al-

Hadis, t. t.), hlm. 78.

10 Fahd Bin Abdur Rahman al-Rumi, ‘Ulumul Qur’an: Studi kompleksitas Al-Qur’an,

terj. Amirul Hasan dan Muhamad Halabi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997). hlm. 179

11Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, edisi revisi (Surabaya: Karya Abdi Tama,

1997), hlm. 38.

12 Fahd Bin Abdur Rahman al-Rumi, Ulumul Qur’an…, hlm. 179. Lihat juga Masjfuk

Zuhdi, ibid., hlm. 36.

13 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia. (Jakarta: PT Hidakarya Agung), 161 14 Ibid., 161


(25)

bukunya Buhuts Manhajiyyah fi Ulu>m al-Qur’a>n al-Kari>m Medefinisikan Asba>b al-Nuzu>l yaitu:

رق لزن ام

أن

أشب

ؤسوأ هتداحك هعوقو تقو ن

ال

suatu hal yang menerangkan status (hukumnya) al-Qur’a>n pada masa itu

terjadi, baik berupa peristiwa atau pertanyaan.15

Asba>b al-Nuzu>l terdapat banyak pengrtian, diantaranya:

1. Menurut az-Zarqani mendefinisikanAsba>b al-Nuzu>l merupakan suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan turunnya suatu ayat.16

2. Subhi Shalih menyatakan bahwa asba>b al-Nuzu>l berkenaan dengan sesuatu yang menjadi sebab trunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.17

3. Quraish shihab berpendapat Asba>b al-Nuzu>l bukanlah dalam artian hukum sebab akibat yang menyebabkan seakan-akan tanpa adanya suatu peristiwa ayat tersebut tidak akan di turunkan. Pemakaian kata asba>b bukanlah dalam arti sebenarnya. Tanpa adanya suatu peristiwa, al-Qur’a>n tetap di turunkan

oleh Allah SWT sesuai dengan iradat-Nya. Emikian pula kata al-Nuzu>l, bukan berarti turunnya al-Qur’a>n dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah,

karena al-Qur’a>n tidak terbentuk fisik dan materi. Penegertian turun menurut

15 Musa ibrahim, Buhuts manhajiyyah fi ulum al-Qur’an karim, (Oman: Dar Ammar,

1996), 30.

16 Abu Anwar, Ulumul quran ‚sebuah pengantar‛, (Pekan Baru: Amzah, 2009),29. 17 Subhi Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’a>n, (terj Nur Rakhim dkk), (Jakarta:


(26)

mufasir mengandung penyampaian atau penginformasian dari Allah SWT kepada utusan-Nya, Muhammad SAW kea lam nyata melalui malaikat jibril.18 1. Urgensi dan kegunaan Asba>b al-Nuzu>l

a. Mengungkap sebab turunnya ayat al-Qur’a>n melalui kisah salah satu cara

menerangkan yang jelas mengenai sesuatu yang bernilai tinggi.19 b. Kita bisa memahami makna suatu ayat secara lebih mendalam

c. Mengetahui hikmah pemberlakuan suatu hukum, dan perhatian syariat terhadap kemaslahatan umum dalam menghadapi segala peristiwa sebagai rahmat bagi umat.20

d. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata,‛Mengetahui sebab turunnya

Al-Qur’an membantu pemahaman ayat.Sebab pengetahuan tentang sebab

akan menghasilkan pengetahuan tentang Aqidah.21

e. Mengetahui sebab turunnya ayat adalah cara terbaik untuk memahami

Al-Qur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa pengetahuan sebab turunNya.

Al-Wahidi menjelaskan, ‚ Tidak mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa

mengetahui sejarah dan penjelasan sebab turunnya.‛ Ibnu Daqiq Al-Id

berpendapat, ‚Keterangan tentang sebab turunnya ayat adalah cara yang

tepat untuk memahami makna Al-Qur’an. Menurut Ibnu Taimiyah,

18 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’a>n cet VII, (Bandung: Mizan, 1994), 89. 19 Subhi As Shalih, Membahas ilmu-ilmu al-Qur’a>n, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996),

157.

20 Imam Jalaluddin As-Suyuti, Studi al-Qur’a>n komperhensif, (Surakarta: indiva pustaka,

2008), 124.

21 YusufAl-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka


(27)

Mengetahui sebab turunnya ayat akan membantu dalam memahami ayat, karena mengetahui sebab akan mengantarkan pengetahuan kepada musababnya (akibat).22

f. Untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an, terutama ayat-ayat Al-Qur’an,

terutama ayat-ayat yang khusus diturunkan untuk menjawab kasus-kasus tertentu yang tidak boleh hukum yang dikandunginya digeneralisai untuk semua kasus, seperti firman Allah dalam Surah Al-Ma’idah (5) ayat 93 dan

Surah Al-Baqarah (2) ayat 115. Yang terakhir ini adalah:

مَثَ ف اولَوُ ت اَمَنْ يَأَف ُبِرْغَمْلاَو ُقِرْشَمْلا ََِِو

ُ ٌميِلَع ٌعِساَو ََا نِإ َِا ُهْجَو

١١٥

َ

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.

Ayat ini, secara umum tanpa melihat asba al-nuzul-nya, berarti

‚bahwa seseorang,dalam shalatnya, boleh dan sah menghadap kemana saja, karena semua yang ada kepunyaan Allah‛. Jika ayat ini dipahami

seperti itu, maka ia terlihat kontradiktif dengan Surah Al-Baqarah ayat 143-144, yang memerintahkan umat Islam agar dalam shalat menghadap

kiblat, yaitu Ka’bah. Sebenarnya ayat di atas hanya berlaku pada kasus

tertentu yang sama dengan asba>b nuzul-nya.

Mengenai asbab al-nuzul Surah Al-Baqarah ayat 155 tersebut, At-Tirmidzi mengatakan; Amir berkata, kami pernah melakukan perjalanan bersam Nabi SAW dalam malam yang gelap. Kami tidak tahu dimana


(28)

arah kiblat.Maka setiap orang dari kami shalat menghadap ke suatu arah sesuai perkiraannya.Setelah pagi tiba, kami menyampaikan hal itu kepada Nabi.Maka selanjutnya turunlah ayat di atas.Dengan demikian, hukum yang terkandung dalam ayat ini hanya berlaku pada kasus tersebut dan kasus-kasus yang serupa dengannya.23

2. Cara mengetahui asbabun nuzul

1. Berupa pernyataan tegas bahwa itu adalah asbab al-nuzul ayat. Dalam hal ini asbab al-nuzul disebutkan dengan ungkapan yang jelas, seperti saba>b nuzuli haz}ihil aya>ti kaz}a (sebab turun ayat ini adalah begini), atau sabab nuzul tidak ditunjukkan dengan lafaz sebab, tetapi dengan mendatangkan

lafaz ‚fa‛ yang masuk kepada ayat yang dimaksud secara langsung setelah

pemaparan suatu peristiwa atau kejadian. Ungkapan seperti ini juga menunjukkan bahwa peristiwa itu adalah sebab bagi turunnya ayat tersebut. Jika redaksinya berbentuk demikian maka secara definitif dianggap menunjukkan sabab al-nuzul dan tidak mengandung kemungkinan makna lain.24

2. sabab al-nuzul tidak disebutkan dengan ungkapan sebab secara jelas juga

tidak dengan mendatangkan ‚fa‛ yang menunjukkan sebab, tetapi dengan redaksi: ‚naza>lat hazihil aya>t fi kaz}a‛ ( ayat ini turun mengenai ini), atau

ahsibu hazihil ayata fi kaza (aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini), atau ma ahsibu hazihil ayata nazalat illa fi kaza (aku tidak mengira

23 Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an (Jakarta:Amzah, 2009), 11-12

24Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’a>n, (Jakarta: Lentera antar Nusa,


(29)

ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini). Dengan bentuk redaksi seperti ini perawi tidak memastikan sabab al-nuzul. tetapi dianggapnya mengandung suatu kemungkinan, mungkin menunjukkan sebab, mungkin menunjukkan hukum atau lainnya.25 Al-Zarkasyi menyebutkan bahwa telah

dimaklumi dari kebiasaan para sahabat dan tabi’in bahwa jika salah seorang mereka berkata: ‚ayat ini turun tentang demikian‛, maka yang dimaksud

adalah hukum suatu ayat, bukan sebab bagi turunnya ayat tersebut.26 Sementara menurut al-Zarqani, satu-satunya jalan untuk menentukan salah satu dari dua makna yang terkandung dalam ungkapan itu adalah konteks pembicaraannya.27

3. Kaidah asbabun nuzul

Ulama tafsir dan ushul fiqh mengatakan bahwa ada dua kaidah yang terkait dengan masalah asbabunnuzul yang membawa implikasi cukup luas dalam pemahaman kandungan ayat tersebut, yakni:

a. سلا صوصخ ا ظف لا ومع ر علا ( yang menjadi patokan adalah keumuman lafadz, bukan karena sebab yang khusus ), ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama.

b. ظف لا ومع ا سلاصوصخ ر علا ( yang menjadi patokan adalah sebab khusus, bukan keumuman lafadz ). Kaidah ini berkaitan dengan permasalahan apakah ayat yang diturunkan Allah SWT berdasarkan sebab yang khusus

25 Ibid., 121

26Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkazsyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’a>n. juz

2, (Beirut: Daarul Kutub Ilmiyah, 2006), 31-32.


(30)

harus dipahami sesuai dengan lafal umum ayat tersebut atau hanya terbatas pada khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat itu.28

C.

Muna>sabah

1. Pengertian

Secara etimologi, istilah muna>sabah berasal dari akar kata بسن yang mengandung arti berdekatan atau mirip. Dari segi etimologi tersebut diperoleh sebuah gambaran bahwa muna>sabah terjadi antara dua hal yang mempunyai hubungan atau pertalian baik dari segi fisik maupun maknanya.29 Al-Alma’i mendefinisikan muna>sabatsebagai “pertalian antara dua hal dalam aspek apa pun

dari berbagai aspeknya.” Demikian berdasarkan ungkapan Nashruddin Baidan. Sedangkan menurut Manna>’ al-Qat}t}a>n muna>sabah mengandung pengertian ada aspek hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat lain dalam himpunan beberapa ayat, ataupun hubungan surat dengan surat yang lain.30 Quraish Shihab mendefinisikan

muna>sabah dengan kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’a>n baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.31

Dari definisi yang ada, dapat disimpulkan bahwa muna>sabah adalah keterkaitan dan keterpaduan hubungan antara bagian-bagian ayat, ayat-ayat, dan

28 Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an.Cetakan VII, ( Mizan. Bandung, 1994),

89-90.

29Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),

183.

30Manna>’ Khalil al-Qat}t}an, Maba>his fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, terj. Mudzakir AS. (Bogor:

Pustaka Litera antarnusa, 2011), 138.


(31)

surah-surah dalam al-Qur’a>n. Dalam rangka memahami ayat, diperlukan

muna>sabah agar dapat diketahui keterkaitan dan keterpaduan antara ayat sebelum dan sesudahnya begitu juga antara satu surat dengan surat yang lain.32

2. Sejarah Perkembangan Muna>sabah

Ilmu muna>sabah merupakan salah satu kajian yang cukup penting dalam ruang lingkup ulu>m al-Qur’a>n. Karena itu, banyak ulama tafsir terdahulu yang mencurahkan segenap perhatianya pada kajian ini. Awal mula munculnya kajian tentang muna>sabah ini tidak dapat diketahui secara pasti, namun –berdasarkan penuturan Nashruddin Baidan– “dari literatur yang ditemukan, para ahli cenderung berpendapat bahwa kajian ini pertama kali dimunculkan oleh Abu> Bakr

Abdullah bin Muhammad al-Naysabu>ri di kota Baghdad sebagaimana diakui oleh

Abu> al-Hasan al-S{ahraba>nni> seperti dikutip al-Alma’i.”33 Al-Suyu>t}i juga mengutarakan pendapat yang serupa. Dari pendapat tersebut dapat diambil sebuah informasi bahwa kajian tentang ilmu muna>sabah sudah berkembang sejak abad ke-4 H. Ini bersamaan dengan berkembangnya ilmu-ilmu keislaman yang lain yakni pada abad-abad I sampai dengan abad IV.

Benih-benih ilmu muna>sabah ini sudah ada sejak zaman Nabi, jadi para ulama tafsir terdahulu pasti sudah paham bagaimana ilmu muna>sabah ini. Pada masa diturunkannya al-Qur’a>n, Nabi telah memberikan mengisyaratkan adanya keserasian antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam al-Qur’a>n. seperti penafsiran Nabi pada kata zhulm dalam ayat 82 dari surat al-An’a>m dengan syirik

32Kementerian Agama RI, Mukadimah al-Qur’a>n dan Tafsirnya, (Jakarta:

Lentera Abadi, 2010), 242.


(32)

yang terdapat dalam ayat 13 dari surat Luqma>n.34 Penafsiran Nabi yang demikian dapat ditemukan dalam kitab tafsir bi al-ma’thu>r seperti tafsir al-Thabari. Dalam kitab tafsir tersebut –seperti yang dijelaskan oleh al-Zarqa>ni dan dikutip oleh Nashruddin Baidan– dijelaskan bahwa kata Dza>limi>ndalam ayat 124 dari surat

al-Baqarah ditafsirkan dengan “antek-antek (ahl)penganiayaan dan syirik”35

Pada abad-abad ke I sampai dengan III hijriah, ilmu muna>sabahini belum dibahas secara khusus dan sistematis oleh para ulama. Satu karya yang kemudian muncul dengan pembahasan ilmu muna>sabah secara khusus dan sistematis adalah

Durrat al-Tanzi>l wa Ghurrat al-Ta’wi>lkarya al-Khatib al-Iskafi (w.420 H), karya ini dikategorikan kitab tafsir tertua dalam bidang muna>sabah ini. Setelah itu diikuti oleh karya Ta>j al-Qurra>’ al-Karma>ni> (w. 505 H) yang berjudul al-Burha>n fi

Tawji>h Mutasya>bi>h al-Qur’a>n. pada periode berikutnya muncul kitab al-Burha>n fi

muna>saba>t Tarti>b Suawar al-Qur’a>n karya Abd Ja’far ibn al-Zubayr al-Andalu>si>. Kemudian Burha>n al-Di>n al-Biqa’i> menulis pula kitab khusus tentang muna>sabah yang berjudul Nazhm al-Durar fi tana>sub al-A>yat wa al-Suwar. Dari sekian kitab yang ada, para ulama cenderung berpendapat bahwa karya al-Biqa’i> lah yang tampak lebih lengkap.

3. Bentuk-bentuk Muna>sabah

Ada beberapa bentuk muna>sabah yang masing-masing ulama mempunyai pemikiran yang berbeda-beda. Secara umum, bentuk-bentuk muna>sabah dibagi menjadi tiga, antara lain:

1. Muna>sabah antara bagian-bagian dalam satu ayat

34Ibid., 186. 35Ibid., 186


(33)

2. Muna>sabah antara ayat-dengan ayat, yaitu kaitan ayat dengan ayat sebelumnya

3. Muna>sabah antara surah dengan surah

Sedangkan, Manna> al-Qat}t}a>n menjelaskan bahwa muna>sabah itu terjadi antara ayat dengan ayat. Setiap ayat mempunyai aspek hubungan dengan ayat sebelumnya. Terkadang muna>sabah juga terletak pada perhatiannya terhadap keadaan lawan bicara. Selain itu, muna>sabahjuga terjadi antara satu surah dengan surah yang lain dan antara awal surah dengan akhir surah.36

Selanjutnya, Quraish Shihab dalam karya disertasinya yang berjudul Nazm

ad-Durar li al-Biqa’i tahqi>q wa dirasah Membagi bentuk-bentuk muna>sabah menjadi tujuh bagian, yang kemudian dikutip oleh Nashruddin Baidan sebagai berikut:

1. Muna>sabah antara surat dengan surat, seperti muna>sabah antara surat al-Fatihah, al-Baqarah dan ali-Imran. Ketiga surat ini ditematkan secraa berurutan dan menunjukkan bahwa ketiganya mengacu pada satu tema sentral yang santara satu sama lain saling menyempurnakan dalam tema tersebut. Hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Suyu>t{i> bahwa al-Fatihah mengandung tema sentral ikrar ketuhanan, perlindungan kepada Tuhan, dan terpelihara dari agama Yahudi dan Nasrani. Sedangkan surat al-Baqarah mengandung tema sentral pokok-pokok (akidah) agama,


(34)

sementara ali-Imran mengandung tema sentral menyempurnakan maksud yang terdapat dalam pokok-pokok agama itu.37

2. Muna>sabah antara nama surat dengan tujuan turunnya. Keserasian itu merupakan inti pembahasan surat tersebut serta penjelasan menyangkut tujuan surat itu. Sebagaimana diketahui dalam surat al-Baqarah yang berarti lembu betina. Cerita tentang lembu betina yang terdapat dalam surat itu pada hakikatnya menunjukkan kekuasaan Tuhan dalam membangkitkan orang-orang yang sudah mati sehingga, dengan demikian, tujuan dari surat al-Baqarah adalah menyangkut kekuasaaan Tuhan dan keimanan kepada hari kemudian.

3. Muna>sabah antara kalimat dengan kalimat dalam satu ayat. Muna>sabah antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat dapat dilihat dari dua segi. Pertama, muna>sabah antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat yang menggunakan huruf athf. Kedua, muna>sabah antara satu kalimat dengan kalimat yang lain dalam satu ayat tanpa menggunakan huruf athf.

4. Muna>sabah antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surat. 5. Muna>sabah antara penutup ayat dengan isi ayat tersebut.

6. Muna>sabah awal uraian surat dengan akhirnya.

7. Muna>sabah antara akhir suatu surat dengan awal surat berikutnya

4. Urgensi Muna>sabah

37Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rahma>n al-Suyu>t}i>, Asra>r Tarti>b al-Qur’a>n, ed. ‘Abd al


(35)

Pengetahuan tentang muna>sabah atau korelasi antara ayat-ayat itu bukanlah hal yang tawqifi (tidak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan oleh Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan al-Qur’a>n, rahasia retorika dan segi keterangannya yang mandiri. Apabila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteksnya dan sesuai dngan asas-asas kebahasaan dalam ilmu bahasa arab maka

korelasi tersbut dapat diterima. ‘Izz Ibn ‘Abdus Salam mengatakan bahwa “muna>sabah adalah ilmu yang baik, tetapi dalam menetapkan keterkaitan antar kata-kata secara baik itu disyaratkan hanya dalam hal yang awal dan akhirnya memang bersatu dan berkaitan. Sedang, dalam hal yang mempunyai sebab berlainan, tidak disyaratkan adanya hubungan antara yang satu dengan yang

lain.”38

Melihat uraian tersebut, dapat digambarkan bahwa pembahasan tentang

muna>sabah dalam al-Qur’a>n sangat penting. Apalagi bagi mereka-mereka yang mencurahkan segenap perhatiannya untuk mendalami makna ayat-ayat al-Qur’a>n. berikut urgensi diketahuinya ilmu muna>sabah:

1. Untuk memahami secara mendalam bahwa al-Qur’a>n adalah satu kesatuan yang utuh dalam untaian kata-kata yang harmonis dengan makna yang kokoh, tepat dan akurat sehingga sedikitpun tidak ada cacat

2. Agar seseorang semakin yakin bahwa al-Qur’a>n adalah benar-benar kalam Allah, tidak hanya teksnya melainkan susunan dan urutan ayat-ayat dan suratnya pun atas petunjk-Nya


(36)

3. Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami dan menafsrikan al-Qur’a>n 4. Agar seseorang dapat merasakan suatu mukjizat yang luar biasa dalam

susunan ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’a>n.39


(37)

BAB III

PENAFSIRAN

SURAT AN-NUR

TENTANG PENCEMARAN

NAMA BAIK

Dari beberapa ayat dalam al-Qur’a>n terdapat sebuah kesinambungan antar

ayat dalam suatu tema yakni konsep hukum pencemaran Nama baik. A.Penafsiran ayat Pencemaran Nama Baik

َ نيِذَلاََنِإ

َِّلُكِلَْمُك لَررْ ٌ خَ وَُْل بَْمُك لَار شَُوُب سْ ََاَْمُكْنِمَرة بْصُعَ ِكْفإَِِاوُءا ج

(َرمٌِظ عَربا ذ عَُه لَْمُهْ نِمَُ رْ بِكَ ََ و تَيِذَلا وَُِْإاَ نِمَ ب س تْكاَا مَْمُهْ نِمٍَئِرْما

٨٨

)

َ

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.

Kata al-Ifku adalah bentuk mas}dar (kata jadian) dari afaka – ya’fiku –

afkan, yang berarti berbohong. Jadi kata al-Ifku terambil dari kata al-afku yang berarti keterbaliakan, baik material seperti akibat gempa yang menjungkirbalikkan negeri, maupun immaterial seperti keindahan bila di lukiskan dengan keburukan atau sebaliknya. Yang dimaksud dalam ayat ini adalah kebohogan besar, karena kebohongan adalah pemuterbalikkan fakta, seperti yang terjadi atas diri Aisyah sebagai korban kebohongan berita yang diebaarkan Ubay bin Salul.1

Kata صع ‘usbah terambil dari kata بصع ‘ashaba yang pada mulanya

berarti mengikat dengan keras. Dari akar kata yang sama lahir kata بّصعتم

muta’ashib yakni fanatik, juga kata باصع ‘isha>bah yakni kelompok


(38)

pembangkang. Kata yang digunakan al-Qur’a>n ini dipahami dalam arti kelompok

yang terjalin kuat satu ide, dalam hal ini negatif itu yang jumlah mereka antara sepuluh sampai empat puluh orang, diperoleh kesan dari kata ini bahwa ada di antara mereka telah berkelompot untuk melalkukan fitnah besar guna mencemarkan nama baik keluarga Nabi dan merusak rumah tangga beliau.2

Berdasarkan Sayyid Quthb, Ayat di atas mengandung cerita tentang kisah teladan tuduhan zina untuk ummul mukminiin yang terekam dalam asba>b ayat tersebut. Contoh pencemaran nama baik yang berkaitan langsug dengan menyentuh Rumah tangga Rasulullah, menyentuh Sahabat yang palingg dekat dengan Rasulullah yakni Abu Bakar as-Shiddiq ayahanda Aisyah, menyentuh

Shafwan Ibnul Mu’til r.a. di mana Rasulullah telah bersaksi bahwa

sesunggguhnya dia orang yang diliputi kebaikan.3

Sebab diturunkan ayat ini adalah ketika Rasulullah saw. hendak keluar dalam suatu perjalanan selalu mengadakan undian di antara para istri beliau dan siapa di antara mereka yang keluar undiannya, maka Rasulullah saw. akan berangkat bersamanya dan kesempatan ini Aisyah adalah yang beruntung.4

Pada suatu malam ketika Rasulullah saw. selesai berperang lalu pulang dan telah mendekati Madinah, beliau memberikan aba-aba untuk berangkat. Aisyah pun segera bangkit setelah mendengar mereka mengumumkan keberangkatan lalu berjalan sampai jauh meninggalkan pasukan tentara. Seusai melaksanakan hajat, aisyah hendak langsung menghampiri unta tunggangannya

2 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (jakarta, Lentera Hati, 2002), 296.

3Sayyid Quthb, Tafsir Fi zilalil Qur’a>n, jilid. 8, (jakarta: Gema Insani Press, 2004) 4Ibid., 214.


(39)

namun saat meraba dada, ternyata kalungnya yang terbuat dari mutiara Zifar putus. Aisyah pun kembali untuk mencari kalung, sehingga tertahan karena pencarian itu. Sementara orang-orang yang bertugas membawanya mereka telah mengangkat sekedup itu dan meletakkannya ke atas punggung untanya yang biasa di tungganginya karena mereka mengira aisyah telah berada di dalamnya.5 (Kaum wanita pada waktu itu memang bertubuh ringan dan langsing tidak banyak ditutupi daging karena mereka hanya mengkomsumsi makanan dalam jumlah sedikit sehingga orang-orang itu tidak merasakan beratnya sekedup ketika mereka mengangkatnya ke atas unta. Apalagi ketika itu aisyah anak perempuan yang masih belia. Mereka pun segera menggerakkan unta itu dan berangkat.)

Setelah lama mencari, Aisyah baru menemukan kalung itu setelah pasukan tentara berlalu. Kemudian aisyah mendatangi tempat perhentian mereka, namun tak ada seorang pun di sana. Lalu aisyah menuju ke tempat yang semula dengan harapan mereka akan merasa kehilangan dan kembali menjemputnya. Ketika ia sedang duduk di tempat, rasa kantuk mengalahkannya sehingga aisyah pun tertidur. Ternyata ada Shafwan bin Muaththal As-Sulami Az-Dzakwani yang tertinggal di belakang pasukan sehingga baru dapat berangkat pada malam hari dan keesokan paginya ia sampai di tempatnya.6

Dia melihat bayangan hitam seperti seorang yang sedang tidur lalu ia mendatangi dan langsung mengenali ketika melihat Aisyah karena ia pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab. Aisyah terbangun oleh ucapannya, ‚inna

lillaahi wa inna ilaihi raji`uun‛ pada saat Shafwan mengenalinya. Ia segera

5 Ibid., 214. 6 Ibid., 214.


(40)

menutupi wajah dengan kerudung dan demi Allah, Shafwan sama sekali tidak mengajaknya bicara sepatah kata pun dan aisyah pun tidak mendengar satu kata

pun darinya selain ucapan ‚inna lillahi wa inna ilaihi raji`uun‛. Kemudian ia

menderumkan untanya dan memijak kakinya, sehingga Aisyah dapat menaikinya. Dan Shafwan pun berangkat sambil menuntun unta yang di tunggangi Aisyah hingga kami dapat menyusul pasukan yang sedang berteduh di tengah hari yang sangat panas.7

Secepat kilat, tersebar berita dari mulut ke mulut, Aisyah telah berlaku serong dengan Shafwan karena mereka telah berjalan berdua dan menghianati Rsulullah, dan sebagainya. Berita itu diatur demikian rupa, diterima dari mulut ke mulut dan pindah ke mulut lain, sehingga menjadi rahasia umum. Yang menyebarkan berita ini adalah Abdullah bin Ubay.8

Bisik berantai terjadi yang ditimbulkan oleh musuh islam untuk menimbulkan kekacauan pikiran, dan dalam keadaan seperti ini orang tidak sempat melakukan penyelidikan atau mempertimbangkan dengan akal sehat,

inilah dalam bahasa sekarang dinamai ‚Propokasi‛.9

Maka celakalah orang-orang yang telah menuduh Aisyah di mana yang paling besar berperan ialah Abdullah bin Ubay bin Salul. Sampai kami tiba di Madinah dan aisyah pun segera menderita sakit setiba di sana selama sebulan. Sementara orang-orang ramai membicarakan tuduhan para pembuat berita bohong padahal aisyah sendiri tidak mengetahui sedikit pun tentang hal itu.

7 Ibid., 214-215.

8 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz XVIII, (Jakarta: pustaka panjimas, 1982), 151. 9 Ibid., 151.


(41)

Yang membuatnya gelisah selama sakit adalah bahwa Ia tidak lagi merasakan kelembutan Rasulullah saw. yang biasanya dirasakan ketika sakit.10

Rasulullah saw hanya masuk menemuiku, mengucapkan salam, kemudian bertanya: Bagaimana keadaanmu?11

Hal itu membuatnya gelisah, tetapi aisyah tidak merasakan adanya keburukan, sampai ketika aku keluar setelah sembuh bersama Ummu Misthah ke tempat pembuangan air besar di mana kami hanya keluar ke sana pada malam hari sebelum kami membangun tempat membuang kotoran (WC) di dekat rumah-rumah kami. Kebiasaan kami sama seperti orang-orang Arab dahulu dalam buang air. Kami merasa terganggu dengan tempat-tempat itu bila berada di dekat rumah kami.12

Aisyah berangkat dengan Ummu Misthah, seorang anak perempuan Abi Rahm ibnul Mutthalib bin Abdi Manaf dan ibunya adalah putri Shakhor bin Amir, bibi Abu Bakar Sidik. Putranya bernama Misthah bin Utsatsah bin Abbad bin Muththalib. Aku dan putri Abu Rahm langsung menuju ke arah rumahku sesudah selesai buang air. Tiba-tiba Ummu Misthah terpeleset dalam pakaian yang menutupi tubuhnya sehingga terucaplah dari mulutnya kalimat: Celakalah Misthah!.13

Aisyah berkata kepadanya : Alangkah buruknya apa yang kau ucapkan! Apakah engkau memaki orang yang telah ikut serta dalam perang Badar?, Ummu Misthah berkata : Wahai junjunganku, tidakkah engkau mendengar apa yang dia

10 Ibid., 151 11 Ibid., 151 12 Ibid., 151


(42)

katakan?, Aisyah menjawab : Memangnya apa yang dia katakan?, Ummu Misthah lalu menceritakan kepadaku tuduhan para pembuat cerita bohong sehingga penyakit Aisyah semakin bertambah parah.14

Ketika Aisyah kembali ke rumah, Rasulullah saw masuk menemuinya, beliau mengucapkan salam kemudian bertanya : Bagaimana keadaanmu?, Aisyah berkata : Apakah engkau mengizinkan aku mendatangi kedua orang tuaku ? Pada saat itu Aisyah ingin meyakinkan kabar itu dari kedua orang tuanya. Begitu Rasulullah saw. memberiku izin, aku pun segera pergi ke rumah orang tuaku.15

Sesampai di Rumah Ibunnya, Aisyah bertanya kepada ibu : Wahai ibuku, apakah yang dikatakan oleh orang-orang mengenai diriku?, Ibu menjawab : Wahai anakku, tenanglah! Demi Allah, jarang sekali ada wanita cantik yang sangat dicintai suaminya dan mempunyai beberapa madu, kecuali pasti banyak berita kotor dilontarkan kepadanya. Aisyah berkata : Maha suci Allah! Apakah setega itu orang-orang membicarakanku?16

Aisyah menangis malam itu sampai pagi air matanya tidak berhenti mengalir dan tidak dapat tidur dengan nyenyak. Pada pagi harinya, aisyah masih saja menangis.17

Beberapa waktu kemudian Rasulullah saw memanggil Ali bin Abu Thalib dan Usamah bin Zaid untuk membicarakan perceraian dengan istrinya ketika wahyu tidak kunjung turun. Usamah bin Zaid memberikan pertimbangan kepada Rasulullah saw. sesuai dengan yang ia ketahui tentang kebersihan istrinya (dari

14 Qutb, fi Zilalil Qur’a>n, 215. 15 Ibid., 215

16 Ibid., 215. 17Ibid., 215


(43)

tuduhan) dan berdasarkan kecintaan dalam dirinya yang ia ketahui terhadap keluarga Nabi saw.18

Usamah berkata : Ya Rasulullah, mereka adalah keluargamu dan kami tidak mengetahui dari mereka kecuali kebaikan. Sedangkan Ali bin Abu Thalib berkata: Semoga Allah tidak menyesakkan hatimu karena perkara ini, banyak wanita selain dia (Aisyah). Jika engkau bertanya kepada budak perempuan itu (pembantu rumah tangga Aisyah) tentu dia akan memberimu keterangan yang benar.19

Lalu Rasulullah saw memanggil Barirah (jariyah yang dimaksud) dan bertanya : Hai Barirah! Apakah engkau pernah melihat sesuatu yang membuatmu ragu tentang Aisyah? Barirah menjawab : Demi Dzat yang telah mengutusmu membawa kebenaran! Tidak ada perkara buruk yang aku lihat dari dirinya kecuali bahwa Aisyah adalah seorang perempuan yang masih muda belia, yang biasa tidur di samping adonan roti keluarga lalu datanglah hewan-hewan ternak memakani adonan itu.20

Sebagai seorang muslim maka tak ada alasan lagi untuk mempersoalkan masalah ini. Karena Allah langsung telah mensucikan dan membersihkan nama

‘Aisyah ra sampai 10 ayat berturut-turut. Seandainya Al Quran ini adalah ciptaan Muhammad saw, tentulah Beliau dapat dengan segera menghapus berita bohong (fitnah) tersebut dengan mengatasnamakan wahyu, dan bila itu terjadi, tidaklah seorang muslim pun meragukannya. Alangkah indah perangai Rasulullah

18 Ahmad Musthafa al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz XVIII, (semarang: toha putera,

1974), 142.

19 Ibid., 142 20 Ibid., 142


(44)

saw, Ia terpaksa harus hidup menderita, menanggung beban kegelisahan yang begitu lama hanya untuk menunggu turunnya wahyu yang membenarkan. Kita tak usah peduli fitnah dari non muslim yang hanya mencari-cari kejelekan Rasulullah dan keluarganya, pembelaan mana lagi yang bisa mengalahkan kesaksian Allah dalam QS An Nuur ayat 11-20. Ayat ini diabadikan dan terus kita baca hingga akhir zaman guna menunjukkan bahaya fitnah yakni:

1. Jangan langsung percaya dengan berita yang baru kita dengar (petunjuk hati nurani)

َرنِبُمَ ركْفِإَا ذ َاوُلا ق وَاًرْ ٌ خَ ْمِهِسُفْ ن َِِ ُتا نِمْؤُمْلا وَ نوُنِمْؤُمْلاَ َن ظَُوُمُتْعِ ََ ْذِإَاْو ل

(

٨ٕ

)

َ

Mengapa di waktu kamu mendengarnya orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka dan berkata : ‚ ini adalah suatu berita bohong yang nyata.‛

Ketika isu itu tersebar luas, ada diantara kaum muslimin yang terdiam, tidak membenarkan dan tidak pula membantah. Ada juga yang membicarakannya sambil bertanya-tanya tentang kebenarannya, atau sambil menampakkan keheranannya, dan ada lagi yang sejak semula tidak mempercayainya dan

menyatakan kepercayaannya tentang kesucian ‘Aisyah ra.21

Seperti contoh yang dilakukan oleh Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Anshari dan Isterinya r.a. sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Muhammad bin Ishaq. Dan Imam Mahmud bin Umar az-Zamakhsari dalam kitabnya al-Kasyaf meriwatnkan bahya sepasang suami isteri itu menggunakan


(45)

hati nuraninya dan meminta fatwa kepada hati nuraninya. Karena mereka yakin

bahwa ‘Aisyah tidak akan elakukan hal seperti itu.22

Dalam ayat ini diberikan tuntunan hidup bagi orang-orang yang beriman,

agar mereka berbaik sangka kepada saudaranya mu’min. Bahkan hendaklah

orang-orang yang beriman itu hendaklah memandang orang mu’min lainnya

sebagai dirinya sendiri. Buruk sangka terhadap sesama Islam, apalagi sesama

Mu’min tidak layak bagi yang menganut agama islam, karena baik sangka adalah tanda orang yang memiliki Iman.23

Selain sebagai petunjuk Ayat ini juga mengancam mereka yang diam seakan-akan membenarkan apalagi yang membicarakan sambil bertanya-tanya tentang kebenaran isu itu. Ayat ini menganjurkan mereka mengambil langkah positif bahwa: Mengapa di waktu kamu mendengar bohong itu, kamu selaku orang-orang mikminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap saudara-saudara mereka yang dicemarkan namanya, padahal yang dicemarkan namanya itu adalah bagian dari diri mereka sendiri, bahkan menyangkut Nabi mereka dan keluarga beliau, dan mengapa juga mereka tidak berkata: ‚ini adalah suatu berita

bohong yang nyata karena kami mengenal mereka sebagai orang-orang mukmin

apalagi mereka adalah istri Nabi bersama sahabat terpercaya beliau.‛24

Surat al-Hujurat ayat 11 menyeru untuk berperasangka baik terhadap orang yang dituduh bohong, sebab keimanan seharusnya mendorong kalian untuk

22 Ibid., 222

23 Hamka, al-Azhar, 157


(46)

berperasangka baik dan mencegah kalian menyakiti diri kalian sendiri, yakni orang mukmin bagaikan satu tubuh yang tak terpisahkan:

َ يَ

ا ه ي أ

َ

َ نيِذَلا

َ

اوُن مآ

َ

ا

َ

َْر خْس ي

َ

َرمو ق

َ

َْنِم

َ

ٍَمْو ق

َ

ى س ع

َ

َْن أ

َ

اوُنوُك ي

َ

اًرْ ٌ خ

َ

َْمُهْ نِم

َ

ا و

َ

َرءا سِن

َ

َْنِم

َ

ٍَءا سِن

َ

ى س ع

َ

َْن أ

َ

ََنُك ي

َ

اًرْ ٌ خ

َ

ََنُهْ نِم

َ

ا و

َ

اوُزِمْل ت

َ

َْمُك سُفْ ن أ

َ

ا و

َ

اوُز با ن ت

َ

َِبا قْلأِِ

َ

َ سْئِب

َ

َُمْساا

َ

َُقوُسُفْلا

َ

َ دْع ب

َ

َِنا مإا

َ

َْن م و

ََْ ََ

َْبُت ي

َ

َ كِئ لوُأ ف

َ

َُمَُ

َ نوُمِلاَظلا

َ(

٨٨

)

َ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiridan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah imandan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.

Ancaman ayat di atas amat terasa dengan penyebutan kedudukan mereka sebagai orang mukmin pria dan wanita, padahal ayat ini dapat saja bahkan

‚sewajarnya‛ menggunakan kata kamu sebagai kata ganti orang-orang mikminin dan mukminat. Itu semua mengisyaratkan bahwa konsekuensi keimanan adalah pembelaan terhadap kaum beriman, paling tidak pembeklaan pasif dengan berkata: isu itu sangat diragukan kebenarannya bahkan dia adalah kebohongan karena ia ditujukan kepada orang-orang mukmin.25

Ketersebaran isu itu adalah dalam kelompok orang-orang mukmin serta terhadap orang-orang yang selama ini sangat terpercaya, maka sungguh wajar ayat ini mengecam mereka. Di sisi lain, seorang mukmin mestinya sangat


(47)

berhati-hati dalam menerima dan membedakan isu, apalagi jika penyebarnya seorang fasiq QS> al-Hujurat [49]: 6. 26

َاوُحِبْصُت فٍَة لا ه َِِاًمْو قَاوُبٌِصُتَْن أَاوُنَ ٌ ب ت فٍَإ ب نِبَرقِسا فَْمُك ءا جَْنِإَاوُن مآَ نيِذَلاَا ه ي أَ ي

(َ نِمِد ََْمُتْل ع فَا مَى ل ع

٦

)

َ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.27

Mereka seharusnya memperhatikan indicator-indikator peristiwa. Dalam konteks isu ini, mereka misalnya harus dapat memperhatikan bahwa kedatangan

‘Aisyah ra bersama Shafwan justru terjadi di siang bolong dan di tengah

kerumunan pasukan. Seandainya mereka melakukan sesuatu yang buruk pastilah mereka tidak akan datang bersama. Dari sini sungguh sangat wajar dan pada tempatnya, jika ayat ini menuntut kaum beriman menyatakan bahwa hadza ifkum mubin/ ini adalah berita bohong yang nyata.

2. Meminta bukti nyata dan fakta yang terjadi

َُبِذا كْلاَُمََُِّاَ دْنِعَ كِئ لوُأ فَِءا د هشلَِِاوُتْ ََْ ََْذِإ فَ ءا د هُشَِة ع بْر َِِِهٌْ ل عَاوُءا جَاْو ل

َ نو

(

٨ٖ

َْمُتْض ف أَا مَ َِِ ْمُكَس م لَِة رِخآا وَا ٌْ ندلاَ َُِِهُت ْْ ر وَْمُكٌْ ل عََِّاَُلْض فَاْو ل و)

َ

َِهٌِف

(َرمٌِظ عَربا ذ ع

٨٤

)

َ

Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta. (13) Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu (14).

26 ibid


(48)

Dapatlah dirasakan sendiri dalam zaman modern ini intisari ayat ini, dalam satu masyarakat teratur, keamanan dan ketentraman umum wajib dijaga. Dan disamping itu, kehormatan kepala Negara wajib pula dipelihara dan dibela. Sutu dosa besar jika merusak kehormatan Rasulullah, Nabi, dan Rasul, pahlawan, an pemimpin, pembentuk agama, dan Masyarakat agama, diganggu ketentramannya ddengan mencemarkn nama baik sang istri. Tetapi, karunia Tuhan masih ada, rahmat-Nya masih menyelimuti alam.28

Di zaman modern ini hal ini dapat dijadikan perbandingan. Kita menegakkan demokrasi, kebebasan menyatakan perasaan dan fikiran. Tetapi demokrasi yang menjamin dunia adalah demokrasi yang berbudi luhur. Sifat hasad, dengki, sombong, benci, dn dendam memakai alasan demokrasi untuk melepasakan hawa nafsu. Maka penguasa berhak membungkam demokrasi yang salah arti itu.29

Dua langkah merujuk segala urusan kepada hati nurani dan langkah pembuktian dengan persaksian barang dan bukti dilalaikan oleh orang-orang yang beriman dalam berita bohong ini. Mereka membiarkan orang-orang yang terlibat di dalamnya menyiarkan dan menghina martabat Rasulullah. Seandainya tidak ada rahmat Allah akan dijatuhi hukuman yang pantas. Maka ari itu, Allah memperingatkan agar tidak mengulanginya lagi.30

3. Kemudian Allah menjelaskan waktu terjadinya Adzab yang mereka berhak menerimanya kalau saja tidak ada karunia dan rahmat Allah:

28 Hamka, al Azhar.. 159-160 29 Ibid, 160


(49)

َ وُ وَاًنٌِّ َُه نوُب سْ َ وَرمْلِعَِهِبَْمُك لَ سٌْ لَا مَْمُكِا وْ ف َِِ نوُلوُق ت وَْمُكِت نِسْل َُِِه نْوَق ل تَْذِإ

َ

(َرمٌِظ عََِّاَ دْنِع

٨٥

)

َ

(ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal Dia pada sisi Allah adalah besar.

Mereka digambarkan telah telah melakukan dosa yang karenanya berhak mererima azab yang besar. Ketiga dosa itu adalah31:

a. Menerima berita bohong dengan lisan. Sehingga, apabila seseorang

bertemu dengan saudaranya, maka dia bertanya, ‚berita apa yang kamu bawa?‛ lalu saudaranya itu menceritakan berita bohong, maka

tersebarlah berita itu, sehingga tidak ada satu rumah pun yang sepi darinya. Mereka telah berusaha sekuat tenaga untuk menyebarkannya.32

b. Berita itu hanya merupakan perkataan tanpa pikiran, perkataan lisan yang tidak lahir dari sanubari, karena tidak didasarkan atas pengetahuan yang menguatkannya, tidak pula atas kondisi dan bukti yang membenarkannya.33

c. Mereka menganggap kecil perkara itu dan memndangnya sebagai persoalan yang tidak perlu diperhatikan, padahal di sisi Allah merupakan dosa besar yang karenanya seseorang berhak mendapat siksaan yang sangat berat.34

31 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, 149 32 Ibid., 149

33 Ibid., 149 34 Ibid., 149-150.


(50)

4. Larangan menyebar berita bohong

َرمٌِظ عَرنا تْهُ بَا ذ َ ك نا حْبُسَا ذ َِِ مَل ك ت نَْن أَا ن لَُنوُك يَا مَْمُتْلُ قَُوُمُتْعِ ََْذِإَاْو ل و

(

٨٦

)

Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar."

Maha suci Allah yang meridhai dan melarang untuk menyebarkan berita seperti itu disebabkan berbagai hal. Yaitu: karena ia menyakiti hati Nabi SAW, padahal Allah berfirman35:

ًَنٌِهُمَ ًِا ذ عَ ْمُ ََ َد ع أ وَِة رِخآا وَا ٌْ ندلاَ ََُِِّاَُمُه ن ع لَُه لوُس ر وَ َّاَ نوُذْؤُ يَ نيِذَلاَ َنِإ

َا

(

٥٧

)

َ

Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.

Menyakiti Allah dan rasul-rasulNya, Yaitu melakukan perbuatan- perbuatan yang tidak di ridhai Allah dan tidak dibenarkan Rasul- nya; seperti kufur, mendustakan kenabian dan sebagainya. Karena, ia menyebarkan kekejian

yang diperintahkan Allah untuk ditutupi36.

5. Allah memperingatkan para hambaNya yang beriman untuk tidak melakukan hal ini lagi

(َ نِنِمْؤُمَْمُتْ نُكَ ْنِإَاًد ب أَِهِلْثِمِلَاوُدوُع تَ ْن أََُّاَُمُكُظِع ي

٨٧

)

ََُّاَُِّن بُ ي و

َ ِت يآاَُمُك لَ

(َرمٌِك يَرمٌِل عََُّا و

٨٨

)

َ

35 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, 150 36 Ibid., 150.


(51)

Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Pesan dalam ayat 17 adalah Cukuplah kisah ‘Aisyah yang terjadi dan jangan sampai terulang lagi, ayat-ayati ini adalah Kurnia Ilahi dan RahmatNya, cara kasarnya Allah turun tangan membersihkan nama ‘Aisyah.37

6. Balasan bagi yang suka menyebarkan kekejian di tengah kaum mukminin

َا ٌْ ندلاَ َِِرمٌِل أَ ربا ذ عَْمُ ََاوُن مآَ نيِذَلاَ َُِِة شِيا فْلاَ عٌِش تَ ْن أَ نوبَُُِ نيِذَلاََنِإ

ََُّا وَِة رِخآا و

(َ نوُم لْع تَاَْمُتْ ن أ وَُم لْع ي

٨ٜ

)

َ

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang Amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.

Pada ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa orang-orang yang senang menyiarkan perbuatan keji dan memalukan seperti perbuatan zina di kalangan orang-orang mukmin muhsan baik laki-laki maupun perempuan, mereka akan mendapat hukuman had di dunia ini, juga kutukan dun cercaan dari manusia dan di akhirat nanti mereka akan dimasukkan dan diazab di dalam neraka, sejahat-jahat tempat tinggal. sabda Nabi saw:

Orang Islam yang sebenarnya, ialah orang yang selamat sesamanya orang Islam dari perbuatan jahat lidah dan tangannya, dan orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan larangan Allah. (H.R. Bukhari, Daud dan Nasai).38

Dan Sabdanya: Tidaklah seorang hamba mukmin, menutupi cacat seorang hamba mukmin kecuali ditutupi juga cacatnya oleh Allah SWT di hari akhirat.

37 Hamka, al-Azhar, 161


(52)

Dan barangsiapa menggagalkan kejatuhan seorang muslim, akan digagalkan pula kejahatannaya oleh Allah SWT, di hari akhirat nanti. (H.R. Ahmad bin Hanbal).39

Allah SWT Maha Mengetahui hakikat dan rahasia sesuatu hal yang manusia tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, kembalikanlah segala sesuatunya kepada Allah SWT dan janganlah kita suka memperkatakan sesuatu yang kita tidak mengetahui sedikitpun seluk beluknya, terutama hal-hal yang menyangkut diri atau keluarga Rasulullah saw, karena yang demikian itu akan membawa kepada kebinasaan.

7. Tidak boleh larut dalam kebohongan

(َرمٌِي رَرفوُء رَ َّاََن أ وَُهُت ْْ ر وَْمُكٌْ ل عََِّاَُلْض فَاْو ل و

ٕٓ

)

َ

Dan Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar).

Pada ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa kalau bukan karena karunia dan rahmat-Nya kepada mereka penyebar berita bohong, yang masih memberi kepada mereka hidup dengan segala kelengkapannya. Dan sekiranya Dia tidak Maha Penyantun dan Maha Penyayang, tentulah mereka itu sudah hancur binasa. Tetapi Dia senantiasa berbuat kepada hamba-Nya mana yang mendatangkan muslihat kepada mereka. sekalipun mereka itu telah melakukan pelanggaran-pelanggaran dan dosa serta maksiat kepada-Nya.40

Wahai kaum muslimin dan muslimat sekiranya kita dapat mengambil pelajaran dari bahaya fitnah. Janganlah kita menjadi orang yang suka menyebar

39 Ibid., 153


(53)

fitnah, dan bersabarlah seperti Ibunda ‘Aisyah ra saat kita ditimpa fitnah. Semoga kisah ini bisa kita petik pelajaran agar menambah keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah swt. Hanya kepada-Nya kita berserah diri.

8. Allah memperingatkan para hamba agar tidak mengikuti goaan syetan

ي

َاَاوُن مآَ نيِذَلاَا ه ي أَا َ

َِنا طٌَْشلاَ ِتا وُطُخَْعِبَت يَ ْن م وَِنا طٌَْشلاَ ِتا وُطُخَاوُعِبَت ت

ٍَد ي أَْنِمَْمُكْنِمَا ك زَا مَُهُت ْْ ر وَْمُكٌْ ل عََِّاَُلْض فَاْو ل وَِر كْنُمْلا وَِءا شْح فْلَُِِرُمْ ََُهَنِإ ف

َ

ََُّا وَُءا ش يَْن مَيِّك زُ يَ َّاََنِك ل وَاًد ب أ

(َرمٌِل عَرعٌِ ََ

ٕ٨

)

َ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Al-Qur’a>n sebagai pedoman hidup dan petunjuuk bagi manusia yang mengatur aturan-aturan dan hukum-hukum kehidupan. Termasuk hal-hal yang terkait tentang pencemaran nama baik yang telah disebutkan di atas. Terdapat kesinambungan Ayat keempat hingga kesepuluh dari surat al-Nu>r memberikan informasi tentang pencemaran nama baik, cara penyelesaiannya serta tuntutan hukumnya. Hal ini dikemukakan oleh salah satu pakar tafsir di Indonesia yakni M. Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya al-Mishbah. Quraish Shihab memberikan penjelasan bahwa ayat keempat dan kelima dari surat al-Nu>r mengandung peringatan tentang keburukan serta sanksi hukum terhadap mereka yang menuduh dan mencemarkan nama baik seorang wanita terhormat. Berikut redaksi ayat al-Qur’>n surat al-Nu>r ayat empat dan lima:


(1)

(delapan puluh) kali, kesaksiannya tidak diterima untuk selama-lamanya, dan ia digolongkan ke dalam orang-orang yang fasik.

c. li’an adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu

d. Ketika seorang isteri dituduh suaminya berzina dan dia diam tidak membantah tuduhan suami maka ia dijatuhi sanksi zina. Tetapi ketika ia membela dirinya maka isteri tersebut harus bersumpah dengan empat kesaksian dengan menyebut nama Allah dalam sumpahnya itu bahwa ia yakin suaminya termasuk kelompok orang-orang pembohong, dan sumpah yang kelima ia siap mendapat Murka Allah SWT jika suaminya benar.

e. Jika suami isteri telah saling bersumpah Li’an, maka ada tiga akibat hukum yang ditimbulkannya: Hubungan perkawinan antara keduanya putus, Anak yang dilahirkan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya, dan Si anak hanya memiliki hubungan saling mewarisi dengan ibunya.

Perceraian dengan Li’a>n adalah perceraian yang tidak dapat dicabut untuk selamanya. Artinya, antara keduanya tidak boleh kawin lagi untuk selamanya. Perceraian karena Li’a>n ini hukumnya fasakh, bukan talak.


(2)

B.Saran

Penulis berharap kajian berkenaan dengan tema yang diangkat ini dapat dikaji lebih lanjut, dengan tema yang memunyai subtansinya lebih dalam dan kekinian.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: sinar grafika, 2007.

Anwar, Abu. Ulumul quran ‚sebuah pengantar‛. Pekan baru: Amzah, 2009. al-Baghdadi, Ala’ al-Din Ali bin Muhammad bin Ibrohim. Tafsir al-Khozin:

Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil vol. 4. Beirut Libanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1995.

Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: ichtiar baru van houve, 1996.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro, 2012.

Departemen Agama, Alquran dan Tafsir. Jakarta: Lentera Abadi, 2010.

ad-Dimasyqi, Abul Fida’ Isma’il Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Kasir, terj. Bahrun Abu Bakar . vol. 18. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004.

al-Ghazali, Abdul Hamid, Ihya> Ulumuddin. ciputat: lentera Hati, 2003.

al Farmawi, Abd. Al Hayy Bidayah Fiy Tafsir Maudhu’i (kairo: Hadrat al-Gharbiyyah. 1977.

Ghazaly, Abd. Rahman. fiqh munakahat. Bogor: kencana, 2003. Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ XVIII. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.

Hariandi, Pencemaran Nama Baik menurut KUHP, Kamis, 27 Februari 2014 dalam http://m.gresnews.com, diakses pada tanggal 20 Desember 2015

Ibrahim, Musa. Buhuts manhajiyyah fi ulum al-Qur’an karim. Oman: Dar Ammar, 1996.

Jalaluddin, Imam. Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010. Kadar, M. Yusuf. Studi Al-Qur’an. Jakarta: Amzah, 2009.

Kementerian Agama RI, Mukadimah al-Qur’a>n dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi, 2010.


(4)

Kementerian Agama RI, al-Qur’a>n dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya, 2011 Ma’arif,Ahmad Syafi’i. Islam dan Amsalah Kenegaraan: Studi Tentang

Peraturan dalam Konstituante. Jakarta: LPES, 1985.

al-Maliki, Abdul Rahman. sistem sanksi dan Islam, Terj Samsuddin. Semarang: CV Toha Putra, 1989.

al-Maraghiy, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maraghiy, juz XVIII, terj. Hery Noer Aly. et al. vol. 18. Semarang: Toha Putra Semarang, 1989.

Mustaqim, Abdul. MetodePenelitian al-Qur’a>n dan Tafsir. Yogyakarta: Tim Idea Press, 2014.

an-Naisaburiy, Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairiy. Shohih Muslim, http://www.islamic-council.com, al-Maktabah asy-Syamilah. vol. 4 an-Naisaburiy, Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairiy. Shohih Muslim,

http://www.islamic-council.com, al-Maktabah asy-Syamilah. vol. 4, an-Naisaburi, Nidzomuddin al-Hasan bin Muhammad. Tafsir Ghoro’ib al-Qur’an

vol. 5, Beirut Libanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1996.

al-Rumi, Fahd Bin Abdur Rahman. ‘Ulumul Qur’an: Studi kompleksitas Al -Qur’an, terj. Amirul Hasan dan Muhamad Halabi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.

ar-Rozi, Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimy. Tafsir ar-Rozi: Mafatihu al-Ghoib, http://www.altafsir.com, al-Maktabah as-Syamilah, vol. 11.

al-S}a>bu>ni>, Rawa>i’u al-Baya>n. Damaskus: maktabah al Dakwah Islamiyah, 1980. Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah Juz VII. Bandung: al maarif, 1980.

Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an>, terj Nur Rakhim dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2013. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah, Pesan dan Keserasian al-Qur’a>n, Jakarta: Lentera Hati, 2002.


(5)

Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2010.

As-Suyuti, Imam jalaluddin. Studi al-Qur’a>n Komperhensif. Surakarta: indiva pustaka, 2008.

al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rahma>n. Asra>r Tarti>b al-Qur’a>n, ed. ‘Abd al -Qadir Ahmad At}a>’, T.t: Da>r al-I’tisha>m, 1978.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafwatut tafassir. Jakarta: Pustaka Kautsar, 2011.

As Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’a>n. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.

as-Syaukaniy, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Fath al-Qodir vol. 4. Beirut Libanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1994.

Al-Qaradhawi, Yusuf. Alqur’an dan al-Sunnah : Referensi Tertinggi Umat Islam. Jakarta: Robbani Press, 1997.

Al-Qaradhawi,Yusuf. Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.

al-Qattan, Manna Khalil. Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an. Riyad: Mansyurat al- ‘Asr al- Hadis, t. t.

al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’a>n. Jakarta: litera antar Nusa, 1992.

al-Qat}t}an, Manna>’ Khalil. Maba>his fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, terj. Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera antarnusa, 2011.

Quthb,Sayyid. Tafsir Fi zilalil Qur’a>n. jilid. 8. Jakarta: Gema Insani Press, 2004. Alwahidi, Asbabu Nuzulil Qur’an, http://www.alwarraq.com, al-Maktabah

as-Syamilah.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT Hidakarya Agung, T.H. Az Zamakhsyari, al kasya>f jilid III , Beirut: Dar El Fikr, T.th.

al-Zarkazsyi, Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah. Al-Burhan fi ‘Ulum al -Qur’a>n, juz 2. Beirut: daarul kutub Ilmiyah, 2006.

Zenrif, M.F. Sintesis Paradigma Studi Alqur’an. Malang: UIN –Malang Press, 2008), 51.


(6)

Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur’an, edisi revisi. Surabaya: Karya Abdi Tama, 1997.

Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuh. Damsyik: Dar al-Fikr,1984.