Kasus Hukum Pidana Pencemaran Nama Baik

Kasus Hukum Pidana Pencemaran Nama Baik

Pencemaran nama baik merupakan salah satu contoh kasus hukum pidana yang juga sudah
sangat sering terjadi. Salah satu contoh kasus pencemaran nama baik adalah kasus hukum
Prita Mulyasari yang menyebarkan email yang berisi cerita mengenai sesuatu yang tidak
benar kepada orang lain.
Prita dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, dengan sanksi pidana penjara maksimum 6 thn dan/atau denda
maksimal 1 milyar rupiah. Pasal 27 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP”.
Pasal 27 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Pasal 310 KUHP
(1) “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam
karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
(2) “Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan

atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.”
(3) “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan
demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.”
Pasal 311 KUHP
(1) “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk
membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan
bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.”

Kasus Hukum Pidana Penipuan

Kasus penipuan sudah sering terjadi. Ini merupakan salah satu contoh kasus hukum pidana.
Kasus penipuan ini biasanya dilakukan dengan modus meminta uang di depan sebelum
barang atau jasa diberikan kepada seseorang. Pada akhirnya, uang telah diserahkan namun
barang atau jasa tidak dilaksanakan oleh pihak penerima uang.
Kasus penipuan ini dapat dijerat dengan pasal 378 KUHP :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam
karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”

Kasus Hukum Pidana Pornografi

Dewasa sering kita menemukan adanya situs yang berisi konten porno di internet sehingga
dapat diakses dengan mudah oleh umum. Penyebaran konten yang berisi pornografi juga
merupakan hal yang ilegal dan termasuk dalam contoh kasus hukum pidana yang dapat
dijerat dengan pasal 282 ayat (1) , (2), dan (3) KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan,
gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barang siapa
dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin
tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya,
mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara
terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau
menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.”
(2) “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan,

gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa dengan maksud
untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke
dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun
barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta,
menawarkan, atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya
untuk menduga bahwa tulisan, gambazan atau benda itu me!anggar kesusilaan, dengan
pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.”
(3) “Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai
pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.”

Kasus Hukum Pidana Kekerasan Seksual

Salah satu contoh kasus kekerasan seksual terjadi di salah satu Sekolah yang bertaraf
Internasional yang berada di Jakarta, Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), perbuatan yang dikenal sebagai pedofilia adalah perbuatan cabul yang dilakukan

seorang dewasa dengan seorang di bawah umur. Dahulu, sebelum diberlakukannya
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), perbuatan

cabul, termasuk terhadap anak di bawah umur, diatur dalam Pasal 290 KUHP yang berunyi:
“Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumnya belum
lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan
belum waktunya untuk dikawin;
3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau
umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin,
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau
bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.”
Sedangkan, ancaman pidana bagi orang yang melakukan perbuatan cabul dengan anak yang
memiliki jenis kelamin yang sama dengan pelaku perbuatan cabul, diatur dalam Pasal 292
KUHP yang berbunyi:
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama
kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Namun, sejak diberlakukannya UU Perlindungan Anak yang merupakan langkah pemerintah

untuk meningkatkan jaminan perlindungan terhadap anak, mengenai tindak pidana perbuatan
cabul terhadap anak diatur lebih spesifik dan lebih melindungi kepentingan bagi anak. Dalam
UU Perlindungan Anak, seseorang dikategorikan sebagai anak apabila belum berusia 18
tahun (Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak).
Ketentuan mengenai pencabulan terhadap anak terdapat dalam Pasal 81 dan Pasal 82 UU
Perlindungan Anak yang berbunyi:

Pasal 81
(1) “ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).”
(2) “ Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain.”
Pasal 82
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”

Kasus Hukum Pidana Pencurian dengan Kekerasan
Kasus hukum pidana pencurian bisa dikembangkan lagi apabila disertai dengan tindakan
kekerasan atau ancaman kekerasan. Sehubungan dengan penggunaan ancaman kekerasan,
maka dalam pasal 365 KUHP ayat (1), disebutkan bahwa:
(1) “Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang
didahului, disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang,
dengan maksud untuk mempersiap atau mempermudah pencurian, atau dalam hal
tertangkap tangan, atau memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, dan atau
untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.”

Selanjutnya terdapat ancaman hukuman yang jauh lebih berat apabila dalam perbuatan
tersebut terdapat kondisi sebagaimana dimaksud dalam pasal 365 KUHP ayat (2), yang
menyebutkan bahwa:
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:

1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan
tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang
sedang berjalan;
2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3. jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau memanjat atau
denganmemakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu;
4. jika perbuatan mengakibatkan luka- luka berat;

Kasus Hukum Perdata Tentang Warisan

Salah satu contoh kasus hukum tentang warisan adalah banyaknya orang yang mengaku di
belakang hari merupakan keturunan atau anak dari orang tua yang meninggal. Misalnya saja,
ada seorang bernama Agus, pria, menikah dengan Fitri yang dikaruniai satu orang anak.
Kemudian suatu hari, ada seorang laki-laki bernama Wawan datang menemui Agus, dan
mengaku sebagai anaknya. Akhirnya belakangan diakuilah bahwa Wawan adalah anaknya
Agus yang dilahirkan mantan pacarnya dahulu Tina, sebelum Agus mempersunting Fitri.
Beberapa tahun setelah pertemuan mereka, Agus meninggal, dan meninggalkan seorang istri
dan seorang anak kandung serta Wawan sebagai anak yang diakuinya lahir di luar nikah.
Dalam kasus ini, merujuk Pasal 272 KUH Perdata anak luar kawin adalah:
“Anak di luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan darah,

disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari bapak dan ibu mereka, bila sebelum
melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu,
atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta”
Anak luar nikah dapat mewaris sepanjang anak tersebut memiliki hubungan hukum dengan
pewaris. Hubungan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah pengakuan dari si pewaris,
sehingga dengan demikian anak luar nikah tersebut akan disebut dengan anak luar nikah
diakui. Sebab anak luar nikah yang mendapat warisan hanya anak luar nikah yang diakui oleh
ayahnya. Maka dalam kasus ini, Wawan memiliki hak waris karena telah diakui Agus,
ayahnya. Dalam pembagian warisan, anak luar nikah yang diakui mewaris sama dengan
semua golongan ahli waris. Maka Wawan dalam pewarisan berada pada golongan pertama,
karena anak luar kawin diakui dari Agus. Sehingga berdasarkan Pasal 863 KUHPerdata ia
mewarisi 1/3 bagian.
Pasal 863 KUHPerdata :

“Bila yang meninggal itu meninggalkan keturunan sah menurut undang-undang atau
suami atau isteri, maka anak-anak di luar kawin itu mewarisi sepertiga dan bagian yang
sedianya

mereka


terima,

seandainya

mereka adalah

anak-anak

sah

menurut

undangundang; mereka mewarisi separuh dan harta peninggalan, bila yang meninggal
itu

tidak meninggalkan

keturunan,suami atau istri, tetapi

meninggalkan


keluarga

sedarah dalam garis ke atas, atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunanketurunan mereka, dan tiga perempat bila hanya tinggal keluarga sedarah yang masih hidup
dalam derajat yang lebih jauh lagi.
Bila para ahli waris yang sah menurut undangundang bertalian dengan yang meninggal
dalam derajat-derajat yang tidak sama, maka yang terdekat derajatnya dalam garis
yang satu, menentukan besarnya bagian yang harus diberikan kepada anak di luar kawin
itu, bahkan terhadap mereka yang ada dalam garis yang lain”

Dokumen yang terkait

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN DAN PENDAPATAN USAHATANI ANGGUR (Studi Kasus di Kecamatan Wonoasih Kotamadya Probolinggo)

52 472 17

ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN PENGANGKUT SAMPAH KOTA MALANG (Studi Kasus : Pengangkutan Sampah dari TPS Kec. Blimbing ke TPA Supiturang, Malang)

24 196 2

PENERAPAN METODE SIX SIGMA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS PRODUK PAKAIAN JADI (Study Kasus di UD Hardi, Ternate)

24 208 2

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Partisipasi Politik Perempuan : Studi Kasus Bupati Perempuan Dalam Pemerintahan Dalam Kabupaten Karanganyar

3 106 88

Pengaruh Rasio Kecukupan Modal dan Dana Pihak Ketiga Terhadap Penyaluran Kredit (Studi Kasus pada BUSN Non Devisa Konvensional yang Terdaftar di OJK 2011-2014)

9 104 46

KAJIAN ASPEK HYGIENE SANITASI TERHADAP KONDISI KANTIN MAKANAN JAJANAN ANAK SEKOLAH DASAR (Studi Kasus di Sekolah Dasar Kota Bandar Lampung)

40 194 64

ANALISIS SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN TAX PLANNING TERHADAP LABA KENA PAJAK DAN PPH TERUTANG PADA PERUSAHAAN PT. IER (Studi Kasus Pada PT. IER)

16 148 78