PERANCANGAN JALAN LINGKAR DALAM TIMUR KOTA SURAKARTA (Design of Surkarta Eastern Inner Ringroad ) - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

(1)

II-1

BAB II

STUDI PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum

Dalam suatu perancangan sebuah proyek diperlukan adanya aturan-aturan dan ketentuan yang mengacu pada standar yang berlaku. Standar yang dimaksud berupa teori-teori dasar yang memuat dan mengatur tata cara dan hal-hal yang berhubungan dengan perencanaan tersebut. Materi studi pustaka pada umumnya digunakan untuk memecahkan masalah yang ada, baik untuk menganalisis faktor– faktor dan data pendukung maupun untuk merencanakan konstruksi. Oleh karena itu, pada bagian ini kami menguraikan secara global pemakaian persamaan-persamaan yang akan digunakan untuk memecahkan masalah yang ada.

2.2. Aspek Lalu-Lintas

2.2.1. Kendaraan Rencana

Kendaraan rencana adalah kendaraan yang merupakan wakil dari kelompoknya yang digunakan untuk merencanakan bagian–bagian dari jalan raya. Untuk perencanaan geometrik jalan, ukuran lebar kendaraan rencana akan mempengaruhi lebar lajur yang dibutuhkan. Sifat membelok kendaraan akan mempengaruhi perencanaan tikungan dan lebar median dimana kendaraan diperkenankan untuk memutar. Kemampuan kendaraan akan mempengaruhi tingkat kelandaian yang dipilih, dan tinggi tempat duduk pengemudi akan mempengaruhi jarak pandangan pengemudi (Silvia Sukirman, 1994).

Kendaraan rencana dikelompokkan menjadi 8 kategori menurut Bina Marga antara lain:


(2)

II-2

1) Golongan 1:

Sepeda motor (MC) dengan 2 atau 3 roda (meliputi sepeda motor dan kendaraan roda 3 sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).

2) Golongan 2:

Sedan, jeep dan station wagon (sesuai sistem klasifikasi Bina Marga) 3) Golongan 3:

Opelet, pick-up oplet, combi dan minibus (sesuai sistem klasifikasi Bina Marga)

- Kecuali combi, umumnya sebagai kendaraan penumpang umum, maksimum 12 tempat duduk, seperti : mikrolet, angkot, minibus

- Pick-up yang diberi penaung, kanvas/ pelat dengan route dalam kota atau angkutan pedesaan

4) Golongan 4:

Pick-up, micro truck dan mobil hantaran atau pick-up box (sesuai sistem klasifikasi Bina Marga)

- Umumnya sebagai kendaraan barang, maksimal beban sumbu belakang 3,5 ton dengan bagian belakang sumbu tunggal roda tunggal (STRT)

5) Golongan 5a: Bus Kecil

- Sebagai kendaraan penumpang umum dengan tempat duduk 16-26 buah seperti : kopaja, metromini, elf dengan bagian belakang sumbu tunggal roda ganda (STRG), panjang kendaraan maksimal 9 m, dengan sebutan bus ¾


(3)

II-3

Golongan 5b: Bus Besar

Sebagai kendaraan penumpang umum dengan tempat duduk 30-56 buah seperti : bus malam, Bus Kota, Bus Antar Kota dengan bagian belakang sumbu tunggal roda ganda (STRG)

6) Golongan 6a: Truck 2 sumbu 4 roda

- Kendaraan barang dengan muatan sumbu terberat 5 ton (MST-5, STRT) pada sumbu belakang dengan as depan 2 roda dan as belakang 2 roda

Golongan 6b: Truck 2 sumbu 6 roda

- Kendaraan barang dengan muatan sumbu terberat 8-10 ton (MST 8-10, STRG) pada sumbu belakang dengan as depan 2 roda dan as belakang 4 roda

7) Golongan 7a: Truck 3 sumbu

- Kendaraan barang dengan 3 sumbu yang tata letaknya STRT (Sumbu Tunggal Roda Tunggal) dan SGRG (Sumbu Ganda Roda Ganda)

Golongan 7b: Truck gandengan

- Kendaraan nomor 6 atau 7 yang diberi gandengan bak truck dan dihubungkan dengan batang besi segitiga disebut juga Full Trailler Truck

Golongan 7c: Truck semi trailler

- Atau disebut truck tempelan, adalah kendaraan yang terdiri dari kepala truck dengan 2-3 sumbu yang dihubungkan secara sendi dengan pelat dan rangka bak yang beroda belakang, yang mempunyai 2 atau 3 sumbu pula


(4)

II-4

8) Golongan 8:

Kendaraan bertenaga manusia atau hewan di atas roda (meliput sepeda, becak, kereta kuda dan kereta dorong sesuai sistem klasifikasi Bina Marga). Catatan: dalam hal ini kendaraan bermotor tidak dianggap sebagai unsur lalu-lintas, tetapi sebagai unsur hambatan samping.

2.2.2. Kecepatan Rencana (VR)

Kecepatan rencana pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman secara menerus. Kecepatan rencana sesuai dengan klasifikasi fungsi dan klasifikasi medan jalan dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2. 1 Kecepatan Rencana (VR)

Kecepatan Rencana, VR

Fungsi (km/jam)

Datar Bukit Pegunungan

Arteri 70-120 60-80 40-70

Kolektor 60-90 50-60 30-50

Lokal 40-70 30-50 20-30

Sumber : Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota, 1997 2.2.3. Volume Lalu Lintas

2.2.3.1. Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR)

Lalu lintas harian rata-rata adalah jumlah rata-rata lalu lintas kendaraan bermotor yang dicatat selama 24 jam sehari untuk kedua jurusan. Ada dua jenis LHR yaitu LHR tahunan (LHRT) dan LHR (Silvia Sukirman, 1994).

LHRT =

365

tahun 1 dalam lintas lalu jumlah


(5)

II-5 LHR =

pengamatan lamanya

pengamatan selama

lintas lalu jumlah

... 2- 2

2.2.3.2. Pertumbuhan Lalu Lintas (i)

Volume lalu lintas adalah banyaknya kendaraan yang melintas atau melewati suatu titik pada suatu ruas jalan pada interval waktu tertentu yang dinyatakan dalam satuan kendaraan atau satuan mobil penumpang (smp) (Silvia Sukirman, 1994). Sedangkan volume lalu lintas rencana (LHR) adalah perkiraan volume lalu lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dan dinyatakan dalam smp/hari. Hasil perhitungan besarnya LHR digunakan sebagai dasar perencanaan jalan, observasi tentang segala kecenderungan-kecenderungan dengan evaluasi volume pada masa yang akan datang. Untuk menghitung perkembangan lalu lintas tiap tahun ada beberapa metode antara lain:

1. Menurut F. D. Hobbs, regresi linier sederhana adalah :

Y = a + bX ... 2- 3

Keterangan:

Y : Besarnya nilai yang diketahui A : Konstanta

B : Koefisien variabel X

X : Data sekunder dari periode awal

Sedangkan harga a dan b dapat dicari dari persamaan :

∑X = n.a + ∑X ... 2- 4

∑XY = a. ∑X + b. ∑X² ... 2- 5

2. Metode eksponensial

Perhitungan pertumbuhan lalu lintas dengan metode eksponensial dihitung berdasarkan LHRn, LHR0.


(6)

II-6

Rumus umum yang digunakan adalah:

( )

n

n LHR i

LHR = 0.1+ ... 2- 6

Keterangan:

LHRn = lalu lintas harian tahun yang dicari

LHR0 = lalu lintas harian tahun awal perencanaan

i = laju pertumbuhan lalu lintas n = umur rencana

2.2.3.3. Volume Jam Perencanaan (VJP)

Volume jam perencanaan adalah perkiraan volume lalu lintas pada jam sibuk tahun rencana lalu lintas dan dinyatakan dalam smp/jam.

VJP = LHRT . Faktor k ... 2- 7

Keterangan :

LHRT = lalu lintas harian rata-rata tahunan (kend/hari) Faktor k = faktor volume lalu lintas pada jam sibuk

Untuk penentuan faktor k dapat dilihat pada Tabel 2.2

Tabel 2. 2 Faktor k

VLHR (smp/hari) Faktor k (%)

> 50000 4 – 6 30000 – 50000 6 – 8 10000 – 30000 6 – 8 5000 – 10000 8 – 10

1000 – 5000 10 – 12 < 1000 12 – 16


(7)

II-7 2.2.4. Arus dan Komposisi Lalu Lintas

Arus lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melalui suatu titik pada ruas jalan tertentu persatuan waktu, yang dinyatakan dalam kend/jam (Qkend)

atau smp/jam (Qsmp). Semua nilai arus lalu lintas (per arah dan total)

dikonversikan menjadi satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan ekivalensi mobil penumpang (emp) yang diturunkan secara empiris utuk berbagai tipe kendaraan sesuai keterangan pada pembagian tipe kendaraan sebelumnya.

2.2.5. Nilai Konversi Kendaraan

Perhitungan nilai LHR dilakukan dengan menghitung jumlah kendaraan yang lewat berdasarkan jenis dan nilai konversi kendaraan. Nilai konversi jenis kendaraan terhadap ekivalensi mobil penumpang (emp) berdasarkan MKJI (1997) dapat dilihat pada Tabel 2.3. sampai dengan Tabel 2.4.


(8)

II-8 Tabel 2. 3 Nilai EMP Jalan Dua Lajur – Dua Arah Tak Terbagi (2/2 UD)

Tipe Alinyemen

Arus Total (kend/jam)

EMP

MHV LB LT MC

Lebar Jalur Lalu Lintas (m) < 6 6 - 8 > 8

Datar

0 1,2 1,2 1,8 0,8 0,6 0,4

800 1,8 1,8 2,7 1,2 0,9 0,6

1350 1,5 1,6 2,5 0,9 0,7 0,5

≥1900 1,3 1,5 2,5 0,6 0,5 0,4

Bukit

0 1,8 1,6 5,2 0,7 0,5 0,3

650 2,4 2,5 5,0 1,0 0,8 0,5

1100 2,0 2,0 4,0 0,8 0,6 0,4

≥1600 1,7 1,7 3,2 0,5 0,4 0,3

Gunung

0 3,5 2,5 6,5 0,6 0,4 0,2

450 3,0 3,2 5,5 0,9 0,7 0,4

900 2,5 2,5 5,0 0,7 0,5 0,3


(9)

II-9 Tabel 2. 4 Nilai EMP Jalan Empat Lajur–Dua Arah Terbagi & Tak Terbagi

Tipe Alinyemen

Arus Total (kend/jam) EMP

Jalan terbagi per-arah (kend/jam)

Jalan tak terbagi total

(kend/jam)

MHV LB LT MC

Datar

0 0 1,2 1,2 1,6 0,5

1000 1700 1,4 1,4 2,0 0,6

1800 3250 1,6 1,7 2,5 0,8

≥ 2150 ≥ 3950 1,3 1,5 2,0 0,5

Bukit

0 0 1,8 1,6 4,8 0,4

750 1350 2,0 2,0 4,6 0,5

1400 2500 2,2 2,3 4,3 0,7

≥ 1750 ≥ 3150 1,8 1,9 3,5 0,4

Gunung

0 0 3,2 2,2 5,5 0,3

550 1000 2,9 2,6 5,1 0,4

1100 2000 2,6 2,9 4,8 0,6

≥ 1500 ≥ 2700 2,0 2,4 3,8 0,3

Keterangan:

• EMP Kendaraan Ringan (LV) selalu 1,0

• EMP Bus Besar (LB) adalah 2,5 untuk arus <1000 kend/jam dan 2,0 untuk keadaan lainnya

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

2.2.6. Analisis Kecepatan Arus 2.2.6.1. Kecepatan Arus Bebas

Persamaan untuk penentuan kecepatan arus bebas mempunyai bentuk umum sebagai berikut:

(

FVO FVW

)

FFVSF FFVRC

FV = + . . ... 2- 8

Keterangan:


(10)

II-10

kondisi lapangan (km/jam)

FVO = kecepatan arus bebas dasar kendraan ringan pada

jalan dan alinyemen yang diamati

FVW = penyesuaian kecepatan akibat lebar jalan (km/jam)

FFVSF = faktor penyesuaian akibat hambatan samping dan

lebar bahu

FFVRC = faktor penyesuaian akibat kelas fungsi jalan dan

guna jalan

2.2.6.2. Kecepatan Arus Bebas Dasar Kendaraan Ringan

Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan adalah kecepatan arus bebas segmen jalan untuk suatu kondisi ideal yang telah ditentukan sebelumnya. Berdasarkan MKJI (Manual Kapasitas Jalan Indonesia) tahun 1997, nilai kecepatan arus dasar dapat dilihat melalui Tabel 2.5.


(11)

II-11 Tabel 2. 5 Kecepatan Arus Bebas Dasar (FVO)

Tipe Jalan/ Kecepatan Arus Bebas Dasar (km/jam)

Tipe Alinyemen LV MHV LB LT MC

6 lajur terbagi

•datar 83 67 86 64 64

•bukit 71 56 68 52 58

• gunung 62 45 55 40 55

4 lajur terbagi

• datar 78 65 81 62 64

• bukit 68 55 66 51 58

• gunung 60 44 53 39 55

4 lajur tak terbagi

• datar 74 63 78 60 60

• bukit 66 54 65 50 56

• gunung 58 43 52 39 53

2 lajur tak terbagi

• datar 68 60 73 58 55

datar SDC B 65 57 69 55 54

datar SDC C 61 54 63 52 53

• bukit 61 52 62 49 53

• gunung 55 42 50 38 51

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

2.2.6.3. Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Lebar Efektif Jalur Lalu Lintas

Berdasarkan MKJI tahun 1997 nilai dari faktor ini dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut ini:


(12)

II-12 Tabel 2. 6 Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Lebar Efektif Jalur

Lalu Lintas

Tipe Jalan

Lebar Efektif jalur Lalu Lintas (Wc)

(m)

(FVW)

(km/jam)

Datar: SDC = A,B •Bukit: SDC = A,B,C

•Datar: SDC = C Gunung

4 lajur dan 6 lajur terbagi

per lajur

3,00 -3 -3 -2

3,25 -1 -1 -1

3,50 0 0 0

3,75 2 2 2

3,00 -3 -3 -1

3,25 -1 -1 -1

3,50 0 0 0

3,75 2 2 2

2 lajur tak terbagi

total

5 -11 -9 -7

6 -3 -2 -1

7 0 0 0

8 1 1 0

9 2 2 1

10 3 3 2

11 3 3 2

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

2.2.6.4. Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Hambatan Samping

Adalah faktor penyesuaian untuk kecepatan arus bebas dasar akibat hambatan samping dan lebar bahu jalan. Berdasarkan MKJI tahun 1997 nilai dari faktor ini dapat dilihat pada Tabel 2.7 berikut ini:


(13)

II-13 Tabel 2. 7 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Hambatan

Samping (FFVSF)

Tipe Jalan

Kelas Hambatan

Samping (SFC)

Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping dan Lebar Bahu

Lebar bahu Efektif WS (m)

≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥ 2 m

4 lajur terbagi 4/2 D

Sangat rendah 1,00 1,00 1,00 1,00

Rendah 0,98 0,98 0,98 0,99

Sedang 0,95 0,95 0,96 0,98

Timggi 0,91 0,92 0,93 0,97

Sangat tinggi 0,86 0,87 0,89 0,96

Tipe Jalan

Kelas Hambatan

Samping (SFC)

Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping dan Lebar Bahu

Lebar bahu Efektif WS (m)

≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥ 2 m

4 lajur tak terbagi

4/2 UD

Sangat rendah 1,00 1,00 1,00 1,00

Rendah 0,96 0,97 0,97 0,98

Sedang 0,92 0,94 0,95 0,97

Tinggi 0,88 0,89 0,90 0,96

Sangat tinggi 0,81 0,83 0,85 0,95

2 lajur tak terbagi

2/2/UD

Sangat rendah 1,00 1,00 1,00 1,00

Rendah 0,96 0,97 0,97 0,98

Sedang 0,91 0,92 0,93 0,97

Timggi 0,85 0,87 0,88 0,95

Sangat tinggi 0,76 0,79 0,82 0,93

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

Untuk jalan dengan 6 lajur dapat ditentukan dengan menggunakan nilai FFVSF bagi jalan 4 lajur dalam Tabel 2.7 dengan modifikasi sebagai

berikut:

(

SF

)

SF FFV

FFV6, =1−0,8.1− 4, ... 2- 9

Dimana:

FFV6,SF = faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk 6 lajur


(14)

II-14 2.2.6.5. Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Kelas Fungsional

Adalah faktor penyesuaian untuk kecepatan arus bebas dasar akibat kelas fungsional jalan (arteri, kolektor, atau lokal) tata guna lahan. Berdasarkan MKJI tahun 1997 nilai dari faktor ini dapat dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2. 8 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Kelas Fungsional Jalan (FFVRC)

Tipe Jalan

Faktor penyesuaian (FFVRC)

Pengembangan Samping Jalan (%)

0 25 50 75 100

4 lajur terbagi

Arteri 1,00 0,99 0,98 0,96 0,95

Kolektor 0,99 0,98 0,97 0,95 0,94

Lokal 0,98 0,97 0,96 0,94 0,93

4 lajur tak terbagi

Arteri 1,00 0,99 0,97 0,96 0,945

Kolektor 0,97 0,96 0,94 0,93 0,915

Lokal 0,95 0,94 0,92 0,91 0,895

Tipe Jalan

Faktor penyesuaian (FFVRC)

Pengembangan Samping Jalan (%)

0 25 50 75 100

2 lajur tak terbagi

Arteri 1,00 0,98 0,97 0,96 0,94

Kolektor 0,94 0,93 0,91 0,90 0,88

Lokal 0,90 0,88 0,87 0,86 0,84

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997 2.2.7. Kapasitas

Kapasitas adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan per satuan jam yang melewati suatu titik di jalan pada kondisi yang ada. Kapasitas jalan dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp), dalam MKJI (1997) dapat diperoleh dengan menggunakan rumus :


(15)

II-15

Keterangan :

C = kapasitas jalan (smp/jam) Co = kapasitas dasar (smp/jam) FCW = faktor penyesuaian lebar jalan

FCSP = faktor penyesuaian pemisah arah ( hanya jalan tak terbagi) FCSF = faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan dari

kerb

2.2.7.1. Kapasitas Dasar

Kapasitas dasar adalah kapasitas suatu segmen jalan untuk suatu kondisi yang ditentukan sebelumnya (geometrik, pola arus lalu lintas dan faktor lingkungan). Menurut MKJI (1997) nilai dari faktor ini dapat dilihat pada Tabel 2.9. berikut ini:


(16)

II-16 Tabel 2. 9 Nilai Kapasitas Dasar (Co)

Tipe Jalan / Tipe Alinyemen Kapasitas Dasar Total Kedua Arah (Smp/Jam/Lajur) 4 Lajur Terbagi

Datar 1900 Bukit 1850 Gunung 1800

4 Lajur Tak Terbagi

Datar 1700 Bukit 1650 Gunung 1600

2 Lajur Tak Terbagi

Datar 3100 Bukit 3000 Gunung 2900 Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

2.2.7.2. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas

Merupakan faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat lebar jalur lalu lintas, menurut MKJI (1997) faktor ini dapat dilihat pada Tabel 2.10. berikut ini:


(17)

II-17 Tabel 2. 10 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas

Tipe Jalan

Lebar Efektif Jalur Lalu

Lintas (Wc) FC

W

(m)

4 Lajur Terbagi Per Lajur

6 Lajur Terbagi 3,0 0,91

3,25 0,96

3,50 1,00

3,75 1,03

4 Lajur Tak Terbagi

Per Lajur

3,0 0,91 3,25 0,96 3,50 1,00 3,75 1,03

2 Lajur Tak Terbagi

2Lajur Tak Terbagi

Total Kedua Arah

5 0,69 6 0,91 7 1,00 8 1,08 9 1,15 10 1,21 11 1,27 Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

2.2.7.3. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisah Jalan

Merupakan faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat pemisah arah dan hanya diperuntukkan untuk jalan 2 arah tak terbagi, menurut MKJI (1997) nilai dari faktor ini dapat dilihat pada Tabel 2.11.


(18)

II-18 Tabel 2. 11 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisah Arah (FCSP)

Pemisahan Arah SP %-% 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30

FC

2 Lajur

2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88

4 Lajur

4/2 1,00 0,975 0,95 0,925 0,90

Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

2.2.7.4. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping

Merupakan faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat hambatan samping sebagai fungsi dari lebar bahu, menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) nilai dari faktor ini dapat dilihat pada Tabel 2.12.

Tabel 2. 12 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping (FCSF)

Tipe Jalan Kelas Hambatan Samping (SFC)

FCSF

Lebar Bahu Efektif Ws (m)

≤ 0,5 m 1 m 1,5 m ≥ 2 m

4/2 D

VL 0,99 1,00 1,01 1,03

L 0,96 0,97 0,99 1,01

M 0,93 0,95 0,96 1,99

H 0,90 0,92 0,95 0,97

VH 0,88 0,90 0,93 0,96

2/2 UD dan VL 0,97 0,99 1,00 1,02

4/2 UD L 0,93 0,95 0,97 1,00

M 0,88 0,91 0,94 0,98

H 0,84 0,87 0,91 0,95

VH 0,80 0,83 0,88 0,93


(19)

II-19

Faktor penyesuaian kapasitas untuk 6 lajur dapat ditentukan dengan menggunakan nilai FCSF untuk jalan 4 lajur, kemudian dimodifikasi dengan menggunakan persamaan berikut:

FC6,SF = 1 – 0,8 . ( 1 - FFV4,SF ) ... 2- 11

Dimana :

FC6,SF = faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan 6 lajur FC4,SF = faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan 4 lajur

Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997 2.2.8. Tingkat Pelayanan

Tingkat pelayanan jalan adalah kemampuan suatu jalan untuk melayani lalu lintas yang lewat. Sedangkan volume pelayanan adalah volume maksimum /kapasitas yang dapat ditampung oleh suatu jalan sesuai dengan tingkat pelayanan. Untuk menganalisis tingkat pelayanannya, dapat digunakan MKJI (1997) yang menggunakan istilah kinerja jalan dengan indikator Derajat Kejenuhan atau Degree of Saturation (DS), kecepatan dan waktu tempuh. Menurut MKJI (1997), besarnya Derajat Kejenuhan adalah :

DS =

C Q

... 2- 12

Keterangan:

Q = volume kendaraan (smp/jam) C = kapasitas jalan (smp/jam)

Bila Derajat Kejenuhan (DS) yang didapat < 0,75, maka jalan tersebut masih memenuhi/ layak ( tidak terjadi kemacetan). Sedangkan apabila Derajat Kejenuhan yang didapat > 0,75 maka harus dilakukan kajian lebih lanjut agar tidak terjadi kemacetan.


(20)

II-20 2.3. Konsep Permodelan Transportasi

Model merupakan penyederhanaan realita untuk mendapatkan tujuan tertentu, yaitu penjelasan dan penertian yang lebih mendalam serta untuk kepentingan peramalan. (Tamin, O. Z., 2000)

Beberapa model dapat mencerminkan realita secara cepat. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin mirip suatu model dengan realitanya, semakin sulit membuat model tersebut. Model yang canggih belum tentu merupakan model yang baik, kadang – kadang model sederhana dapat menghasilkan keluaran yang jauh lebih baik dan sesuai untuk tujuan tertentu dengan situasi dan kondisi tertentu pula. (Tamin, O. Z., 2000)

2.3.1. Metode Konvesional A. Metode Langsung

Pendekatan dengan metode ini sangat tergantung dari hasil pengukuran data dan survey lapangan. Berikut ini merupakan beberapa kesulitan yang dihadapi dalam penggunaan metode ini:

’ Membutuhkan sumber daya yang sangat besar baik itu sumber daya manusia, biaya maupun waktu.

’ Sangat tergantung pada ketersediaan dan ketelitian dari surveyor Galat yang terjadi baik itu teknis dan galat yang timbul akibat faktor manusia (galat mencatat atau menaksir) cukup besar. (Tamin, O. Z., 2000)

B. Metode Tidak Langsung

Pendekatan dengan menggunakan metode tidak langsung dilakukan dengan membentuk suatu model dari faktor – faktor yang dipertimbangkan mempunyai hubungan yang erat dengan pola pergerakan yang hendak diketahui.


(21)

II-21

Sampai saat ini beberapa prosedur matematis telah dikembangkan, secara umum dikelompokkan menjadi dua bagian utama (Bruton, 1981; dalam Tamin, O. Z., 2000):

B.1. Metode analogi

Pada metode ini digunakan satu nilai tingkat pertumbuhan terhadap pergerakan saat ini untuk mendapatkan pergerakan pada masa yang akan datang. Beberapa metode telah dikembangkan oleh beberapa peneliti, dan setiap metode menggunakan asumsi bahwa pola pergerakan pada saat sekarang dapat diproyeksikan ke masa yang akan datang dengan menggunakan nilai tingkat pertumbuhan zona. Semua metode dalam metode analogi mempunyai persamaan umum sebagai berikut:

Tid = tid . E

... 2- 13

Dimana:

Tid = pergerakan masa mendatang dari zona i ke zona d

tid = pergerakan masa sekarang dari zona i ke zona d

E = tingkat pertumbuhan (Tamin, O. Z., 2000)

B.1.1. Metode Seragam

Metode tanpa batas atau metode seragam adalah metode tertua dan paling sederhana, yang secara matematis dapat dijelaskan sebagai berikut:


(22)

II-22

Dimana :

T = Total pergerakan pada masa mendatang di dalam daerah kajian

t = Total pergerakan pada masa sekarang di dalam daerah kajian E = Tingkat pertumbuhan

Seperti contoh matriks berikut:

Tabel 2. 13 MAT pada Masa Sekarang dan Tingkat Pertumbuhan Setiap Zona

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei

1 10 60 80 50 200 300 1.5

2 80 20 100 50 250 250 1 3 20 130 10 50 210 420 2

4 100 80 60 20 260 650 2.5

dd 210 290 250 170 920

Dd 420 435 250 515 1620

Ed 2 1.5 1 3.03 1.76

Sumber: Tamin, O. Z., 2000

Jika pergerakan lalulintas di daerah kajian diperkirakan meningkat sebesar 76% pada masa mendatang, maka secara sederhana maka semua sel MAT (tid) dikalikan faktor 1,76 untuk mendapatkan MAT masa

mendatang:

Tabel 2. 14 MAT pada Masa Mendatang dengan E = 1,76

Zona 1 2 3 4 oi Oi

1 18 106 141 88 353 300 2 141 35 176 88 440 250 3 35 229 18 88 370 420

4 176 141 106 35 458 650

dd 370 511 441 299 1620

Dd 420 435 250 515 1620


(23)

II-23 B.1.2. Metode Rata–Rata

Metode rata – rata adalah usaha pertama untuk mengatasi adanya tingkat pertumbuhan daerah yang berbeda–beda. Metode ini menggunakan tingkat pertumbuhan yang berbeda untuk setiap zona yang dapat dihasilkan dari permalan tata guna lahan dan bangkitan lalu lintas. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:

Tid = tid .

2

Ed Et+

,

ti Ti

Ei= dan

td Td

Ei= ... 2- 15

Dimana:

Ei , Ed = Tingkat pertumbuhan zona i dan d

Ti , Td = Total pergerakan pada masa mendatang yang

berasal dari zona asli i atau menuju zona tujuan d

ti , tid = Total pergerakan pada saat ini yang berasal dari

zona asal i atau yang menuju zona tujuan d Secara umum, total pergerakan masa mendatang yang dihasilkan tidak sama dengan total pergerakan yang didapatkan dari hasil analisis bangkitan lalu lintas. Akan tetapi diharapkan adalah:

Dimana:

Ti = Total pergerakan masa mendatang dengan zona asal i

Ti(G) = Total pergerakan masa mendatang (dari analisis bangkitan

lalu lintas) dengan zona asal i.

Jadi, proses pengulangan harus dilakukan untuk meminimumkan besarnya perbedaan tersebut dengan mengatur nilai Ei dan Ed sampai Ti = Ti(G),


(24)

II-24 Ei dan Ed

Tabel 2. 15 MAT pada Masa Mendatang dengan Metode Rata–Rata (hasil pengulangan ke–1)

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei

1 17.5 90 100 113.2 320.7 300 0.935 2 120 25 100 100.7 345.7 250 0.723

3 40 227.5 15 125.7 408.2 420 1.029

4 225 160 105 55.3 545.3 650 1.192

dd 402.5 502.5 320 394.9 1619.9

Dd 420 435 250 515 1620

Ed 1.043 0.866 0.781 1.304 1.001

Sumber: Tamin, O. Z., 2000

Tabel 2. 16 MAT pada Masa Mendatang dengan Metode Rata – Rata (hasil pengulangan ke–12)

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei

1 16 66 74 144 300 300 1

2 85 14 54 98 250 250 1

3 41 189 13 178 420 420 1 4 279 166 110 95 650 650 1 dd 421 435 250 515 1620

Dd 420 435 250 515 1620

Ed 0.999 1 1 1 1


(25)

II-25  

B.1.3. Metode Fratar

Secara sistematis, metode Fratar dapat dinyatakan sebagai:

Tid = tid . Ei . Ed

. ... 2- 16

Li =

Ld

=

B.1.4. Metode Detroid

Secara matematis, metode Detroid dapat dinyatakan sebagai berikut:

Tid = tid .

... 2- 17 (Tamin, O. Z., 2000)

Tabel 2. 17 MAT pada Masa Mendatang dengan Metode Detroit (hasil pengulangan ke–1)

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei

1 17 76.7 68.1 129 290.8 300 1.031

2 90.9 17 56.8 86 250.7 250 0.997

3 45.4 221.5 11.4 172 450.3 420 0.933 4 284 170,4 85.2 86 625.5 650 1.039 dd 437.3 485.6 221.5 473.1 1617.2

Dd 420 435 250 515 1620

Ed 0.96 0.896 1.129 1.089 1.002

Sumber: Tamin, O. Z., 2000

Seperti halnya dengan metode rata – rata dan fratar, proses diulang sampai dicapai tingkat kesesuaian yang diinginkan (Ti = Ti(G)). Hal


(26)

II-26 tersebut tercapai pada pengulangan ke – 8, sehingga dihasilkan MAT akhir sebagai berikut:

Tabel 2. 18 MAT pada Masa Mendatang dengan Metode Detroid (hasil pengulangan ke–8)

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei

1 16 68 75 141 300 300 1

2 82 15 61 92 250 250 1

3 40 189 12 180 421 420 0.999

4 283 164 101 102 650 650 1 dd 421 436 249 515 1620

Dd 420 435 250 515 1620

Ed 0.999 0.999 1.001 1 1.002

Sumber: Tamin, O. Z., 2000

B.1.5. Metode Furness

Secara matematis, metode Detroid dapat dinyatakan sebagai berikut:

Tid = tid . Ei ... 2- 18

Tabel 2. 19 MAT pada Masa Mendatang dengan Metode Furness (hasil pengulangan ke–1)

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei

1 15 90 120 75 300 300 1 2 80 20 100 50 250 250 1 3 40 260 20 100 420 420 1 4 250 200 150 50 650 650 1 dd 385 570 390 275 1620

Dd 420 435 250 515 1620

Ed 1.091 0,763 0.641 1.873 1.002

Sumber: Tamin, O. Z., 2000

Selanjutnya, pada pengulangan ke–2, sel MAT yang dihasilkan pada pengulangan ke–1 dikalikan dengan tingkat pertumbuhan zona tujuan (Ed)untuk menghasilkan MAT pengulangan ke–2, sebagai berikut:


(27)

II-27 Tabel 2. 20 MAT pada Masa Mendatang dengan Metode Furness

(hasil pengulangan ke – 2)

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei

1 16.4 68.7 76.9 140.5 302.4 300 0.992 2 87.3 15.3 64.1 93.6 260.3 250 0.961 3 43.6 198.4 12.8 187.3 442.2 420 0.95 4 272.7 152.6 96.2 93.6 615.1 650 1.057 dd 420 435 250 515 1620

Dd 420 435 250 515 1620

Ed 1 1 1 1 1

Sumber: Tamin, O. Z., 2000

Hal tersebut dilakukan terus menerus secara bergantian sehingga total sel MAT yang dihasilkan (baris maupun kolom) sesuai dengan total sel MAT yang digunakan.

Tabel 2. 21 MAT pada Masa Mendatang dengan Metode Furness (hasil pengulanagn ke – 6)

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei

1 16 68 75 141 300 300 1

2 82 15 61 92 250 250 1

3 40 188 12 180 421 420 0.999

4 282 164 102 102 649 650 1.001 dd 420 435 250 515 1620

Dd 420 435 250 515 1620

Ed 1 1 1 1 1

Sumber: Tamin, O. Z., 2000

B.2. Metode Sintetis

Metode ini dilakukan dengan membentuk suatu permodelan yang menggambarkan hubungan antarpola bangkitan dan tarikan lalu lintas, kemudian diproyeksikan untuk memperoleh pergerakan pada masa yang akan datang. (Tamin, O. Z., 2000)


(28)

II-28 Metode sintetis (interaksi spasial) yang paling terkenal dan sering digunakan adalah metode gravity (GR) karena sangat sederhana sehingga mudah dimengerti dan digunakan. Model ini menggunakan konsep

gravity yang diperkenalkan oleh Newton pada tahun 1686 yang

dikembangkan dari analogi hukum gravitasi. Dalam bentuk matematis model ini dinyatakan dalam persamaan:

Tid = Ai . Oi . Bd . Dd . f (Cid) ... 2- 19

Dimana:

Tid = pergerakan antar zona

Ai , Bd = konstanta faktor penyeimbang

Oi = pergerakan yang berasal dari zona ke – i

Dd = pergerakan yang menuju ke zona ke – d

f (Cid) = fungsi hambatan yang dianggap sebagai ukuran

aksesibilitas (fungsi jarak)

Ai = dan Bd = (Tamin, O. Z., 2000)

Hal yang penting untuk diketahui adalah fid harus dianggap sebagai

ukuran aksesibilitas (kemudahan) antara zona i dengan zona d. Hyman (1969) menyarankan tiga jenis fungsi hambatan yang dapat digunakan dalam model GR:

, fungsi pangkat

, fungsi eksponensial - negatif


(29)

II-29 B.2.1. Model UCGR

Pada model ini sedikitnya mempunyai satu batasan, yaitu total pergerakan yang dihasilkan harus sama dengan total pergerakan yang diperkirakan dari tahap bangkitan pergerakan. Model ini bersifat tanpa – batasan, dalam arti bahwa model tidak diharuskan menghasilkan total yang sama dengan total pergerakan dari dan ke setiap zona yang diperkirakan oleh tahap bangitan pergerakan. Model tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:

Tid = Ai . Oi . Bd . Dd . f (Cid) ... 2- 20

Dimana:

Ai = 1, untuk seluruh i

Bd = 1, untuk seluruh d

(Tamin, O. Z., 2000)

Tabel 2. 22 Bangkitan dan Tarikan Pergerakan pada Setiap Zona

Zona 1 2 3 4 Oi

1 200

2 300

3 350

4 150

Dd 300 200 150 350 1000

Sumber: Tamin, O. Z., 2000

Selain itu, terdapat juga informasi mengenai aksebilitas antar zona yang dapat berubah jarak, waktu tempuh dan biaya perjalanan antar zona seperti terlihat sebagai berikut:


(30)

II-30 Tabel 2. 23 Matriks Biaya (Cid)

Zona 1 2 3 4

1 5 20 35 50

2 15 10 50 25 3 55 25 10 30 4 25 15 45 5

Sumber: Tamin, O. Z., 2000

Dengan menganggap fungsi hambatan mengikuti fungsi eksponensial – negatif, didapatkan matriks exp (-βCid) seperti terlihat pada

tabel berikut, dengan menganggap nilai β = 0.095. Tabel 2. 24 Matriks exp (-βCid)

Zona 1 2 3 4

1 0.621145 0.148858 0.035674 0.008549 2 0.239651 0.385821 0.008549 0.092462 3 0.00531 0.092462 0.385821 0.057433 4 0.092462 0.239651 0.013764 0.621145

Sumber: Tamin, O. Z., 2000

Dengan menggunakan persamaan model UCGR, maka didapatkan matriks sebagai berikut:

Tabel 2. 25 MAT Akhir Hasil Model UCGR

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei Ai

1 209 33 6 3 252 200 0.794 1

2 121 130 2 54 307 300 0.976 1

3 3 36 114 39 192 350 1.818 1

4 23 40 2 183 248 150 0.604 1

dd 356 240 124 280 1000

Dd 300 200 150 350 1000

Ed 0.842 0.834 1.215 1.249

Bd 1 1 1 1

Sumber: Tamin, O. Z., 2000

B.2.2. Model PCGR

Dalam model ini, total pergerakan global hasil bangkitan pergerakan harus sama dengan total pergerakan yang dihasilkan dengan


(31)

II-31 pemodelan. Begitu juga, bangkitan pergerakan yang dihasilkan model harus sama dengan hasil bangkitan pergerakan yang didiinginkan. Akan tetapi, tarikan pergerakn tidak perlu sama. Sehingga syarat batas yang dipergunakan adalah sebagai berikut:

Bd = 1untuk seluruh d danAi = untuk seluruh i Tabel 2. 26 MAT Akhir Hasil Model PCGR

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei Ai

1 166 27 5 3 200 200 1 0.00446

2 118 127 2 53 300 300 1 0.00547

3 6 66 207 72 350 350 1 0.0102

4 14 23 1 110 150 150 1 0.00339

dd 304 244 214 238 1000

Dd 300 200 150 350 1000

Ed 0.987 0.821 0.699 1470

Bd 1 1 1 1

Sumber: Tamin, O. Z., 2000

B.2.3. Model ACGR

Dalam model ini, total pergerakan secara global harus sama dan juga tarikan pergerakan yang didapat dengan pemodelan harus sama dengan hasil tarikan pergerakan yang diinginkan. Sebaliknya, bangkitan pergerakan yang didapat dengan pemodelan tidak harus sama. Sehingga syarat batas yang digunakan adalah sebagai berikut:

Ai = 1 untuk seluruh i dan Bd = untuk seluruh d


(32)

II-32 Tabel 2. 27 MAT Akhir Hasil Model ACGR

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei Ai

1 176 28 7 4 215 200 0.929 1

2 102 108 3 68 281 300 1.069 1

3 3 30 138 49 220 350 1.59 1

4 20 34 2 228 284 150 0.528 1

dd 300 200 150 350 1000

Dd 300 200 150 350 1000

Ed 1 1 1 1

Bd 0.00472 0.00468 0.00681 0.00701

Sumber: Tamin, O. Z., 2000

B.2.4. Model DCGR

Dalam model ini, bangkitan dan tarikan pergerakan harus selalu sama dengan yang dihasilkan oleh tahap bangkitan pergerakan. Sehingga syarat batasnya adalah sebagai berikut:

Ai = , untuk seluruh nilai i

Bd = , untuk seluruh nilai d

(Tamin, O. Z., 2000)

Tabel 2. 28 Nilai Ai dan Bd yang didapat pada Setiap Pengulangan

Pengulangan A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4 Pengulangan

1 0.00446 0.00547 0.0102 0.00339 1 1 1 1 0

3 0.00462 0.00547 0.01152 0.00258 0.98725 0.82103 0.69935 1.47032 2 5 0.00467 0.00542 0.01186 0.00243 0.97645 0.80892 0.62177 1.58355 4 7 0.00468 0.0054 0.01194 0.0024 0.97532 0.80843 0.60477 1.60505 6 9 0.00467 0.00539 0.01196 0.0024 0.97599 0.80849 0.60088 1.60844 8 11 selesai selesai selesai selesai 0.97663 0.80853 0.59983 1.60876 10


(33)

II-33 Tabel 2. 29 MAT Akhir Hasil Model DCGR

(setelah pengulangan ke – 10)

Zona 1 2 3 4 oi Oi Ei Ai

1 170 22 3 4 200 200 1 0.00467

2 114 101 1 84 300 300 1 0.00539

3 7 63 145 135 350 350 1 0.01196

4 10 14 0 126 150 150 1 0.0024

dd 300 200 150 350 1000

Dd 300 200 150 350 1000

Ed 1 1 1 1

Bd 0.97663 0.80853 0.59983 1.60876

Sumber: Tamin, O. Z., 2000

2.4. Karakteristik Jalan 2.4.1. Klasifikasi Jalan

Klasifikasi fungsional seperti dijabarkan dalam Undang – Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan Pasal 7 dan 8, (Standar Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, 1992) dibagi dalam dua sistem jaringan yaitu:

1. Sistem jaringan jalan primer

Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti ketentuan peraturan tata ruang dan struktur pembangunan wilayah tingkat nasional, yang menghubungkan simpul - simpul jasa distribusi sebagai berikut:

- Dalam kesatuan wilayah pembangunan menghubungkan secara menerus kota jenjang ke satu, kota jenjang kedua, kota jenjang ketiga, dan kota jenjang dibawahnya.

- Menghubungkan kota jejang kesatu dengan kota jenjang kesatu antar satuan wilayah pengembangan.


(34)

II-34 Fungsi jalan dalam sistem jaringan primer dibedakan sebagai berikut:

a. Jalan Arteri Primer

Jalan arteri primer menghubungkan kota jenjang kesatu yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua.

Persyaratan jalan arteri primer adalah:

- Kecepatan rencana minimal 60 km/jam - Lebar jalan minimal 8 meter

- Kapasitas lebih besar dari volume lalu lintas rata – rata - Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu

lintas ulang alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal - Jalan masuk dibatasi secara efisien

- Persyaratan teknis jalan masuk ditetapkan oleh mentri b. Jalan Kolektor Primer

Jalan kolektor primer menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga.

Persyaratan jalan kolektor primer adalah: - Kecepatan rencana minimal 40 km/jam - Lebar jalan minimal 7 meter

- Kapasitas sama dengan atau lebih besar daripada volume lalu lintas rata –rata.

- Jalan masuk dibatasi, direncanakan sehingga tidak mengurangi kecepatan rencana dan kapasitas jalan. - Tidak terputus walaupn memasuki kota.

c. Jalan Lokal Primer

Jalan lokal primer menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan persil atau menghubungkan kota jengang ketiga


(35)

II-35 dengan dibawahnya, kota jenjang ketiga dengan persil atau dibawah kota jenjang ketiga sampai persil.

Persyaratan jalan lokal primer adalah: - Kecepatan rencana minimal 20 km/jam - Lebar jalan minimal 6 meter

- Tidak terputus walaupun melewati desa 2. Sistem jaringan jalan sekunder

Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan – kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, dan seterusnya sampai perumahan.

Fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder dibedakan sebagai berikut:

a. Jalan Arteri Sekunder

Jalan arteri sekunder menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.

Berikut persyaratan jalan arteri sekunder: - Kecepatan rencana minimal 30 km/jam - Lebar badan minimal 8 meter

- Kapasitas sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata – rata

- Lalu lintas cepat tidak boleh terganggu lalu lintas lambat - Persimpangan dengan pengaturan tertentu, tidak


(36)

II-36 b. Jalan Kolektor Sekunder

Jalan kolektor sekunder menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawsan sekunder ketiga.

Berikut persyaratan jalan kolektor sekunder: - Kecepatan minimum 20 km/jam

- Lebar badan jalan minimal 7 meter c. Jalan Lokal Sekunder

Jalan lokal sekunder menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, menghubungkan kawasan sekunder ketiga dengan kawasan perumahan dan seterusnya.

Berikut persyaratan jalan lokal sekunder: - Kecepatan rencana minimal 10 km/jam - Lebar badan jalan minimal 5 meter

- Persyaratan teknik diperuntukkan bagi kendaraan beroda tiga atau lebih

- Lebar badan jalan tidak diperuntukkan bagi kendaraan beroda tiga atau lebih, minimal 3,5 meter. (Sumber: Standar Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, 1992) Tabel 2. 30 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan

VLHR (smp/hari)

Arteri Kolektor Lokal

Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum

Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m) Lebar Jalur (m) Lebar Bahu (m)

<3000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0

3000-10000 7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0

10001-25000 7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 **) **) - - - -

>25000 2n x 3,5*) 2,5 2 x 7,0*) 2,0 2n x 3,5*) 2,0 **) **) - - - -


(37)

II-37 2.4.2. Tipe Jalan

Tipe jalan ditentukan sebagai jumlah lajur dan arah pada suatu ruas jalan dimana masing – masing memiliki karakteristik geometrik jalan yang digunakan untuk menentukan kecepatan arus bebas dan kapasitas jalan sebagai berikut:

1. Jalan Satu Arah (1 – 3/1) -Lebar jalan 7 meter

-Lebar bahu paling sedikit 2 m pada setiap sisi -Tanpa median

-Hambatan samping rendah -Ukuran kota 1 – 3 juta penduduk -Digunakan pada alinyemen datar 2. Jalan Dua Lajur – Dua Arah (2/2 UD)

-Lebar jalan 7 meter

-Lebar bahu paling sedikit 2 meter pada setiap sisi -Tanpa median

-Pemisah arus lalu lintas adalah 50 – 50 -Hambatan samping rendah

-Ukuran kota 1 – 3 juta penduduk -Digunakan untuk alinyemen datar 3. Jalan Empat Lajur – Dua Arah (4/2) a. Tanpa Median (Undevided)

- Lebar lajur 3,5 meter (lebar lajur lalu lintas total 14 meter) - Jarak antara kerb dan penghalang terdekat pada trotoar ≥ 2

meter dari rintangan jalan - Tanpa median

- Pemisah arus lalu lintas adalah 50 – 50 - Hambatan samping rendah

- Ukuran kota 1 – 3 juta penduduk - Digunakan pada alinyemen datar


(38)

II-38 b. Dengan Median (Devided)

- Lebar lajur 3,5 meter (lebar lajur lalu lintas total 14 meter) - Jarak antara kerb dan penghalang terdekat pada trotoar ≥ 2

meter dari rintangan jalan - Dengan median

- Pemisah arus lalu lintas adalah 50 – 50 - Hambatan samping rendah

- Ukuran kota 1 – 3 juta penduduk - Digunakan pada alinyemen datar

4. Jalan Enam Lajur – Dua Arah dengan Median (6/2 D) -Lebar lajur 3,5 meter (lebar lajur lalu lintas total 21 meter) -Kerb (tanpa bahu)

-Jarak antar penghalang terdekat pada trotoar ≥ 2 meter -Median pemisah arus lalu lintas adalah 50 – 50

Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

2.5. Aspek Geometrik Jalan 2.5.1. Alinyemen Horizontal

Merupakan proyeksi sumbu jalan tegak lurus bidang horizontal yang terdiri dari susunan lurus (tangen) dan garis lengkung (busur, lingkaran, spiral). Bagian lengkung merupakan bagian yang perlu mendapat perhatian, karena pada bagian tersebut dapat terjadi gaya sentrifugal yang cenderung dapat melemparkan kendaraan keluar jalan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan tikungan pada alinyemen horizontal adalah:

1) Superelevasi (e)

Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang berfungsi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat berjalan melalui tikungan pada kecepatan rencana.


(39)

II-39 2) Jari-Jari Tikungan

Jari-jari tikungan minimum (Rmin) ditetapkan sebagai berikut:

Rmin =

) .(

127

) (

max max

2

f e

VR

+ ... 2- 21

Keterangan :

Rmin = jari-jari tikungan minimum (m)

R

V = kecepatan rencana (km/jam)

max

e = superelevasi maksimum (%)

max

f = koefisien gesek maksimum untuk perkerasan aspal (f = 0,14 – 0,24)

3) Lengkung Peralihan

Lengkung peralihan adalah lengkung transisi pada alinyemen horizontal dan sebagai pengantar dari kondisi lurus ke lengkung penuh secara berangsur-angsur. Pada lengkung peralihan, perubahan kecepatan dapat terjadi secara berangsur-angsur serta memberikan kemungkinan untuk mengatur pencapaian kemiringan (perubahan kemiringan melintang secara berangsur-angsur).

2.5.2. Jenis Tikungan pada Perencanaan Alinyemen Horizontal

Terdapat 3 jenis tikungan pada perencanaan alinyemen horizontal, yaitu Full Circle (FC), Spiral-Circle-Spiral (SCS) dan Spiral-Spiral (SS). Uraian dari ketiga jenis tikungan tersebut adalah sebagai berikut:


(40)

II-40 TC CT LC PI E Rc T

+ e max

TC CT

en 3/4 Ls' 1/4 Ls'

- e max

1 2

3

Sisi Luar Perkerasan

Sisi Dalam Perkerasan

en en ex en

emax emax BAG. LURUS (TANGEN) BAG. LURUS (TANGEN) BAG. LENGKUNG (CIRCLE) 1/2 3/4 Ls' 1/4 Ls'

Ls fiktif (Ls') Ls fiktif (Ls')

POTONGAN 1 POTONGAN 2 POTONGAN 3 en T JALUR JALUR

SISI LUAR SISI DALAM

∆ ∆

C L

C L

L C

1) Full Circle (FC)

Gambar 2. 1 Lengkung Full Circle Keterangan :

Rc = jari-jari lingkaran (m) PI = titik perpotongan tangen TC/CT = Tangent Circle / Circle Tangent

T = jarak antara TC dan PI atau PI dan CT (m)


(41)

II-41 Lc = panjang bagian lengkung circle

E = jarak PI ke lengkung circle Rumus yang digunakan :

T = Rc . tan 1/2∆ ... 2- 22

E = Rc . tan 1/4∆ ... 2- 23

E = (R2 +T2) - Rc ... 2- 24

E = R .(sec 1/2∆ – 1) ... 2- 25

Lc = 0,01745 ∆ . Rc ... 2- 26

Lt = Lc ... 2- 27

Jenis tikungan ini dapat digunakan pada tikungan dengan jari - jari besar dan sudut tangen (∆) relatif kecil. Pada umumnya tipe tikungan ini dipakai pada daerah dataran, tetapi juga tergantung pada besarnya kecepatan rencana dan radius tikungan.


(42)

II-42 TS Ls SC CS ST PI E Rc T

SC + emax CS

TS ST

- emax LS

x

1 2

3 4 5

Lc

en

Sisi Luar Perkerasan

Sisi Dalam Perkerasan

Rc + ?Rc

en

POTONGAN 1

POTONGAN 2

POTONGAN 3

en

e

n

en

0%

e

n

e

n

e

x

e

x

POTONGAN 4

POTONGAN 5

e

max

e

max

JALUR JALUR

SISI LUAR SISI DALAM

Xc XL Xm Rc Tk Yc Yi ∆

Θs α Θs

Θs

Θs α

∆ C C C C C L L L L L

2) Spiral–Circle–Spiral (SCS)


(43)

II-43 Keterangan :

PI = titik perpotongan tangen

TS = titik perubahan dari tangen ke spiral SC = titik perubahan dari spiral ke circle CS = titik perubahan dari circle ke spiral Rc = jari-jari lengkung lingkaran Lc = panjang busur lingkaran Ls = panjang busur spiral T = panjang tangen utama

E = panjang eksternal total dari PI ke tengah busur lingkaran

∆Rc = jarak dari busur lingkaran tergeser terhadap jarak tengah Xm = jarak dari TS ke titik proyeksi pusat lingkaran pada tangen

∆Rc = sudut pertemuan antara tangen utama

θs = sudut spiral

θsi = sudut spiral ke titik sembarang pada spiral

XC,YC = koordinat SC atau CS terhadap TS – PI atau PI – TS

Rumus yang digunakan :

ik T

T V

Ls R 1 3det

6 ,

3 ⇒ = −

= • ... 2- 28

C e V C R V L R C R s • − ×

=0,022. 3 2,727. ... 2- 29

(

)

ik m m re jam km V ik m m re jam km V r V e e L R R e R n S det / / 025 , 0 80 det / / 035 , 0 70 6 , 3 max = → ≥ ⇒ = → ≤ ⇒ ⋅ ⋅ − =


(44)

II-44 Yc =

Rc Ls

6

2

;( dengan Ls minimum ) ... 2- 31

θs = Rc Ls

2 = 28,648Ls/Rc → dalam (˚) ... 2- 32

∆Rc = Y + Rc (cos θs – 1) ... 2- 33

Xm = Ls – Rc sin θs ... 2- 34

ω = (Rc + ∆Rc) tg ∆/2 ... 2- 35

T = Xm + ω ... 2- 36

Lc = Rc πθS / 180˚ ... 2- 37

Untuk lengkung S-C-S sebaiknya Lc ≥ 20m

Lt = Lc + 2 Ls ... 2- 38

E = (

2 / cos∆

∆ + Rc Rc

) – Rc ... 2- 39

Pada tikungan jenis ini, dari arah tangen ke arah circle memiliki spiral yang merupakan transisi dari bagian luar kebagian circle. Adanya lengkung spiral adalah lengkung transisi pada alinyemen horizontal. Lengkung spiral sebagai pengantar dari kondisi lurus ke lengkung penuh secara berangsur-angsur. Pada bagian ini terjadi gaya sentrifugal dari 0 sampai dengan maksimum ketika kendaraan memasuki dan meninggalkan lengkung tersebut.


(45)

II-45 SC CS PI ES Rc Rc TS TS K YC P ST

e = 0% Sisi Luar Tikungan

Sisi Dalam Tikungan

1 2 3 e normal

Xc

X Y

en en

en emax emax POTONGAN 1 POTONGAN 2 POTONGAN 3 0% JALUR JALUR

SISI LUAR SISI DALAM

+ e max

- e max

∆ ∆ Θs C C C L L L

3) Spiral–Spiral (SS)

Gambar 2. 3 Lengkung Spiral – Spiral

“Seluruh notasi adalah seperti yang telah dijelaskan pada sub bab SCS” Rumus yang digunakan :

∆Rc= 0 →∆ = 2θs ... 2- 40

Lc = 0 → Lt = 2Ls ... 2- 41

Ls = 648 , 28 2 360

2 s Rc

Ls s Rc × = → × ° θ θ π

... 2- 42

T = (Rc + P) tg ∆/2 + K ... 2- 43

E = (Rc + P) sec ∆/2 – Rc ... 2- 44

Jenis tikungan Spiral-Spiral digunakan pada tikungan tajam dengan sudut tangen (∆) yang sangat besar. Pada Spiral-Spiral, dimana Lc = 0, merupakan tikungan yang kurang baik. Sebab tidak ada jarak tertentu dalam menempuh tikungan yang sama kemiringannya. Pada lengkung yang


(46)

II-46

berbentuk Spiral-Spiral, prinsipnya hampir sama dengan tipe Spiral-Circle-Spiral, hanya di sini tidak digunakan lengkung Circle, Lc=0 hingga Lt = 2Ls. 2.5.3. PelebaranPerkerasan Pada Lengkung Horizontal

Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju tikungan, seringkali tak dapat mempertahankan lintasannya pada lajur yang disediakan. Hal ini disebabkan karena :

1. Pada waktu membelok yang memberi tanda belokan pertama kali hanya roda depan, sehingga lintasan roda belakang agak keluar lajur (Off Tracking).

2. Jejak lintasan kendaraan tidak lagi berhimpit, karena bemper depan dan belakang kendaraan akan mempunyai lintasan yang berbeda dengan lintasan roda depan dan roda belakang kendaraan.

3. Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan lintasannya tetap pada lajur jalannya terutama pada tikungan-tikungan tajam atau pada kecepatan yang tinggi.

Untuk menghindari hal itu maka pada tikungan-tikungan yang tajam perkerasan jalan perlu diperlebar. Pelebaran perkerasan ini merupakan faktor dari jari-jari lengkung, kecepatan kendaraan, jenis dan ukuran kendaraan rencana yang dipergunakan sebagai dasar perencanaan.

Pada umumnya truk tunggal digunakan sebagai jenis kendaraan dasar penentuan tambahan lebar perkerasan yang dibutuhkan. Tetapi pada jalan-jalan dimana banyak dilewati kendaraan berat, jenis kendaraan semi trailer merupakan kendaraan yang cocok dipilih untuk kendaraan rencana.

Elemen-elemen dari pelebaran perkerasan tikungan terdiri dari:

1. Off Tracking

Untuk perencanaan geometrik jalan antar kota, Bina Marga memperhitungkan lebar B dengan mengambil posisi kritis kendaraan yaitu


(47)

II-47

pada saat roda depan kendaraan pertama kali dibelokkan dan tinjauan dilakukan pada lajur sebelah dalam.

Rumus :

B = RW – Ri ... 2- 45

Ri + b = (Rw2- (p+A)2 ... 2- 46

Rw = (Ri+b)2+(p+A)2 ... 2- 47

Ri = Rw – B ... 2- 48

Rw – B + b = (Rw2- (p+A)2 ... 2- 49 B = Rw + b - (Rw2- (p+A)2. ... 2- 50

Keterangan :

B = Lebar kendaraan rencana

B = Lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan di tikungan pada lajur sebelah dalam

Rw = Radius lengkung terluar dari lintasan kendaraan pada lengkung horizontal untuk lajur sebelah dalam.

Besarnya Rw dipengaruhi oleh tonjolan depan ( A ) kendaraan dan sudut belokan roda depan ( α ).

Ri = Radius lengkung terdalam dari lintasan kendaraan pada lengkung horizontal untuk lajur sebelah dalam. Besarnya Ri dipengaruhi oleh jarak gandar kendaraan ( p ).

Rc = Radius lajur sebelah dalam – 0,5 lebar perkerasan + 0,5b

Rc² = (Ri + 0,5b)² + (p + A)² ... 2- 51 (Ri + 0,5b)² = Rc² - (p + A)² ... 2- 52 (Ri + 0,5b)² = (Rw2- (p+A)2 ... 2- 53


(48)

II-48 Ri = (Rw2- (p+A)2- 0,5b ... 2- 54

2. Kesukaran Dalam Mengemudi di Tikungan

Semakin tinggi kecepatan kendaraan dan semakin tajam tikungan tersebut, semakin besar tambahan pelebaran akibat kesukaran dalam mengemudi. Hal ini disebabkan oleh karena kecenderungan terlemparnya kendaran ke arah luar dalam gerakan menikung tersebut.

Z = 0,105 V/R ... 2- 55

Keterangan :

V = Kecepatan (Km/jam) R = Radius lengkung (m)

Kebebasan samping di kiri dan kanan jalan tetap harus dipertahankan demi keamanan dan tingkat pelayanan jalan. Kebebasan samping (C) sebesar 0,5 m , 1 m, dan 1,25 m cukup memadai untuk jalan dengan lebar lajur 6 m, 7 m, dan 7,50 m.

Pada Gambar 2.4 berikut ini dapat dilihat pelebaran perkerasan pada tikungan:


(49)

II-49

Rc Rl

B Rw a

A P L

b

P A

Bn b

P A

Bt

B

C/2 C/

2

C/2 Z

Gambar 2. 4 Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan

Keterangan :

b = lebar kendaraan rencana

B = lebar perkerasan yang ditempati suatu kendaraan di tikungan pada lajur sebelah dalam

U = B – b

C = lebar kebebasan samping di kiri dan kanan kendaraan Z = lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi di tikungan Bn = lebar total perkerasan pada bagian lurus


(50)

II-50

Bt = lebar total perkerasan di tikungan = n (B + C ) +Z n = jumlah lajur

∆b = tambahan lebar perkerasan di tikungan = Bt – Bn

2.5.4. Kemiringan Melintang Pada Jalan

Diagram ini merupakan cara untuk menggambarkan pencapaian superelevasi dari kemiringan normal sampai dengan kemiringan maksimal. Pada jalan dengan lebar kemiringan badan jalan (e) sebesar 2% merupakan kemiringan minimum, sedangkan kemiringan maksimumnya 10%. Syarat agar konstruksi aman adalah bila (emax + fm) yang lebih besar dari (emax yang didapat dari lapangan). Besarnya fm ini didapat dari grafik koefisien gesekan melintang sesuai dengan AASHTO 1993.

Rumus :

emax + fm = V² / (127 x R) ... 2- 56

Keterangan :

emax = kemiringan melintang jalan (%)

fm = koefisien gesekan melintang V = kecepatan rencana (km/jam) R = jari-jari tikungan (m)

Persyaratan kemiringan jalan maksimal dengan pertimbangan kenyamanan, keamanan, komposisi kendaraan dan variasi kecepatan serta efektifitas kerja dari alat-alat berat pada kemiringan jalan dapat dibagi atas : 1) Untuk jalan rural/ luar kota, maksimum adalah 10%


(51)

II-51 2.5.5. Alinyemen Vertikal

Alinyemen vertikal adalah garis vertikal yang dibentuk oleh bidang vertikal melalui sumbu jalan. Alinyemen vertikal menyatakan bentuk geometri jalan dalam arah vertikal. Dalam perencanaan alinyemen vertikal, biasanya setelah diketahui elevasi dan STA, PVI (Point of Vertical Intersection), kemudian baru dihitungbesaran-besaran sebagai berikut :

1) Panjang PLV (Peralihan Lengkung Vertikal)/ lengkung vertikal (m) 2) Pergeseran permukaan jalan di bawah atau di atas PPV (Pusat

Perpotongan Vertikal)

3) Pergeseran vertikal (E) dalam (m)

4) Elevasi dan Stasioning dari PLV dan PTV (Peralihan Tangen Vertikal) 5) Elevasi permukaan jalan antara PLV, PPV dan PTV pada setiap

stasioning yang terdapat pada setiap alinyemen Rumus yang digunakan :

∆ = g1 - g2 ... 2- 57

Keterangan :

∆ = perbedaan aljabar landai g1, g2 = kelandaian jalan (%)

Jarak antara lengkung vertikal dengan PPV (E) :

E =

800 .L

... 2- 58

Keterangan :

E = jarak antara lengkung vertikal dengan PPV (m) L = panjang lengkung vertikal (m)


(52)

II-52 PLV PTV ELEV. RENCANA EV STA STA STA 1

2 LV

LV

PPV

2.5.5.1. Alinyemen Vertikal Cembung

Alinyemen vertikal cembung terjadi jika terdapat perbedaan kemiringan dari kemiringan yang lebih besar menuju ke kemiringan yang lebih kecil. Dalam perencanaan alinyemen vertikal cembung dapat ditinjau terhadap jarak pandang henti dan syarat drainase. Dimana panjang alinyemen vertikal cembung dapat dikatakan memenuhi syarat, apabila kebebasan pandang henti untuk kecepatan rencana dapat dipenuhi. Gambar alinyemen vertikal cembung dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2. 5 Alinyemen Vertikal Cembung

Pandangan bebas lengkung vertikal cembung jika S < L :

L = 2 2 1 2 ) 2 2 ( . h h S + ∆

... 2- 59

Jika S > L, maka :

L = 2S -

[

]

+ 2

2 1

2 h h

... 2- 60

Keterangan :

L = panjang minimum lengkung vertikal cembung (m) S = jarak pandang (m)


(53)

II-53

PLV

PTV EV

STA STA

STA 1

2 LV

LV

ELEV. RENCANA

PPV

∆ = beda aljabar untuk kelandaian = g1 - g2(%) h1 = tinggi mata terhadap permukaan jalan = 1,25 m h2 = tinggi benda objek terhadap permukaan jalan

1,25 m untuk jarak pandang menyiap 0,10 m untuk jarak pandang henti

2.5.5.2. Alinyemen Vertikal Cekung

Gambar alinyemen vertikal cekung dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2. 6 Alinyemen Vertikal Cekung

Alinyemen vertikal cekung terjadi jika terdapat perbedaan kemiringan dari kemiringan yang lebih kecil menuju ke kemiringan yang lebih besar. Peninjauan panjang alinyemen vertikal cekung minimum berdasarkan pada jarak pandang waktu malam hari atau jarak yang dapat dijangkau oleh lampu besar. Disamping itu memperhatikan juga faktor kenyamanan, dimana perhitungan rumus berdasarkan pada pengaruh gaya berat oleh gaya sentripetal maksimum yang diperbolehkan. Besarnya percepatan sentripetal maksimum yang timbul adalah = 0,3 m/det2 sebagai

syarat keamanan.

1) Rumus berdasarkan penyinaran lampu besar : Pandangan bebas vertikal cekung jika S < L


(54)

II-54 L =

S S

5 , 3 150

2

+ ∆

... 2- 61 Jika S > L, maka :

L = 2S - ∆ +3,5S

150

... 2- 62

2) Rumus berdasarkan kenyamanan :

L =

390

2

V

... 2- 63

Keterangan :

L = panjang minimal lengkung vertikal cekung (m)

∆ = beda aljabar kedua tangen = g1 - g2(%) V = kecepatan rencana landai maksimum (km/jam) S = jarak pandang (m)

2.5.5.3. Landai Maksimum Jalan

Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa menggunakan gigi rendah. Kelandaian maksimum untuk berbagai VR, dapat dilihat pada Tabel 2.31:

Tabel 2. 31 Kelandaian Maksimum Yang Diijinkan

VR(km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 < 40

Kelandaian Maksimal (%) 3 3 4 5 8 9 10 10

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota, 1997

Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sehingga penurunan


(55)

II-55

kecepatan tidak lebih dari separuh VR. lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih dari 1 menit panjang kritis yang ditetapkan dapat dilihat pada Tabel 2.32

Tabel 2. 32 Panjang Kritis (m) Kecepatan Pada Awal

Tanjakan (Km/Jam)

Kelandaian (%)

4 5 6 7 8 9 10

80 630 460 360 270 230 230 200

60 320 210 160 120 110 90 80

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota, 1997

2.5.6. Penampang Melintang Jalan

Penampang melintang jalan merupakan potongan tegak lurus sumbu jalan. Pada potongan melintang jalan dapat dilihat bagian-bagian jalan. Bagian-bagian jalan dapat dikelompokkan sebagai berikut :

2.5.6.1. Jalur Lalu Lintas

Jalur adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan yang secara fisik berupa perkerasan jalan. Jalur lalu lintas dapat terdiri dari beberapa lajur dan tipe :

• 1 jalur – 2 lajur – 2 arah (2/2 UD)

• 1 jalur – 2 lajur – 1 arah (2/1 UD)

• 2 jalur – 4 lajur – 2 arah (4/2 D)

Keterangan : UD = Tidak Terbagi ; D = Terbagi

2.5.6.2. Lajur Lalu Lintas

Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang dibatasi oleh marka. Lajur jalan memiliki lebar yang cukup untuk dilewati oleh suatu kendaraan bermotor sesuai dengan kendaraan rencana. Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, dinyatakan dalam fungsi dan kelas jalan, dapat dilihat pada Tabel 2.33:


(56)

II-56 Tabel 2. 33 Lebar Lajur Ideal

Fungsi Kelas Lebar Lajur Ideal (m)

Arteri I

II, IIIA

3,75 3,5

Kolektor IIIA, IIIB 3

Lokal IIIC 3

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota, 1997

2.5.6.3. Bahu Jalan

Bahu jalan adalah bagian jalan yang terletak pada tepi jalur lalu lintas dan harus diperkeras, yang mempunyai fungsi sebagai lajur lalu lintas darurat, tempat berhenti sementara, ruang bebas samping bagi lalu lintas dan penyangga kestabilan perkerasan jalur lalu lintas. Kemiringan bahu jalan normal antara 2% - 5%.

2.5.6.4. Median

Median adalah bagian bangunan jalan yang secara fisik Memisahkan 2 Jalur Lalu Lintas Yang Berlawanan Arah.

2.6. Aspek Perkerasan Jalan

Perkerasan jalan raya adalah bagian dari jalan raya yang diperkeras dengan lapisan konstruksi tertentu, yang berfungsi :

1) Menyebarkan beban lalu lintas sehingga besarnya beban yang dipikul subgrade lebih kecil dari daya dukung subgrade itu sendiri. 2) Menyalurkan air hujan ke samping, sehingga subgrade dapat

terlindung.

3) Mendapatkan permukaan yang rata sehingga kenyamanan dalam perjalanan akan diperoleh.

Salah satu jenis perkerasan jalan adalah perkerasan lentur (Flexible Pavement). Perkerasan lentur adalah perkerasan yang umumnya menggunakan


(57)

II-57

bahan campuran beraspal sebagai lapisan permukaan serta bahan berbutir pada lapisan bawah. Struktur perkerasan lentur terdiri atas :

1) Lapis permukaan (Surface Course) Fungsi lapis permukaan ini adalah :

a) Sebagai bahan perkerasan yang mempunyai kualitas material jauh di atas kualitas material yang berada di bawahnya sehingga dapat memikul sebagian besar beban lalu lintas untuk melindungi lapisan di bawahnya yang lebih rentang terhadap kerusakan akibat beban lalu lintas.

b) Sebagai lapis kedap air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan akibat cuaca

2) Lapis pondasi (Base Course) Fungsi lapis pondasi ini adalah :

a) Menahan beban roda dan menyebarkan ke lapisan di bawahnya b) Sebagai lantai kerja bagi lapis permukaan

c) Sebagai lapis peresapan untuk pondasi di bawahnya 3) Lapis pondasi bawah (Sub Base Course)

Fungsi lapis pondasi bawah ini adalah :

a) Menahan dan menyebarkan beban roda ke tanah dasar b) Mencapai efisiensi penggunaan material

c) Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar

d) Mencegah agar tanah dasar tidak masuk ke dalam struktur perkerasan


(58)

II-58

Tanah dasar adalah permukaan tanah asli atau permukaan galian/ timbunan yang dipadatkan dan merupakan permukaan dasar untuk perletakan bagian jalan lainnya. Pemadatan harus dilaksanakan secara baik agar tidak terjadi penurunan yang tidak merata akibat beban lalu lintas. Lapis perkerasan lentur dapat dilihat pada gambar 2.7. berikut ini:

TANAH D ASAR (SU B G R ADE) LAPIS PO ND ASI BAW AH (SU B BASE C O U RSE) LAPIS PO ND ASI ATAS (BASE C O U RSE) LAPIS PER M U KAAN (SU RFAC E C O UR SE)

Gambar 2. 7 Lapis Perkerasan Lentur 2.6.1. Menghitung Konstruksi Perkerasan Lentur

Penetuan tebal perkerasan lentur jalan didasarkan pada buku “Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987”.

Data-data yang dibutuhkan untuk perencanaan suatu perkerasan lentur adalah:

a. Data LHR b. CBR tanah dasar

c. Data untuk penentuan faktor regional

Dasar perhitungannya berdasar petunjuk buku di atas adalah sebagai berikut :

1. Menentukan Faktor Regional (FR)

Faktor regional adalah faktor setempat yang menyangkut keadaan lapangan dan iklim, yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan, daya


(59)

II-59

dukung tanah dasar dan perkerasan. Dengan memakai parameter curah hujan, kelandaian jalan dan prosentase kendaraan berat maka didapat nilai FR.

2. Menghitung dan menampilkan jumlah komposisi lalu lintas harian rata-rata LHR awal rencana.

3. Menghitung angka ekuivalen

Yaitu angka yang menyatakan jumlah lintasan sumbu tunggal seberat 8,16 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada permulaan umur rencana. Harga masing-masing kendaraan dihitung dengan memakai rumus :

• Angka ekuivalen sumbu tunggal E = (beban 1 sumbu tunggal / 8,16 )4

• Angka ekuivalen sumbu ganda

E = 0,086 ( beban 1 sumbu ganda / 8,16 )4 4. Menghitung lintas ekuivalen permulaan

Jumlah lintas ekuivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada permulaan umur rencana. Rumus :

LEP = C x LHR awal x E ... 2- 64

Keterangan :

C = Koefisien distribusi kendaraan

LHR awal = Lalu lintas harian rata-rata pada awal umur rencana

E = Angka ekuivalen untuk setiap jenis kendaraan 5. Menghitung Lintas Ekuivalen Akhir


(60)

II-60

Jumlah lintas ekuivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada akhir umur rencana. Rumus :

LEA = C . LHRakhir . E ... 2- 65

Keterangan :

C = Koefisien distribusi kendaraan

LHRakhir = Lalu lintas harian rata-rata

E = Angka ekuivalen untuk setiap jenis kendaraan 6. Menghitung Lintas Ekuivalen Tengah

Jumlah lintas ekuivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada tengah rencana.

Rumus :

LET = ½ (LEA + LEP ) ... 2- 66

Keterangan :

LEA = Lintas Ekuivalen Akhir LEP = Lintas Ekuivalen Permulaan 7. Menghitung Lintas Ekuivalen Rencana (LER)

Suatu besaran yang dipakai dalam nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan jumlah lintas ekuivalen rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton pada jalur rencana.

Rumus :

LER = LET . (UR/10) ... 2- 67


(61)

II-61

Keterangan :

FP = Faktor penyesuaian LET = Lintas Ekuivalen Tengah UR = Umur Rencana

8. Menghitung daya dukung tanah dasar (DDT) dan CBR

Daya dukung tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi. Daya dukung tanah dasar diperoleh dari nilai CBR atau Plate Bearing Test, DCP, dll. Seperti pada grafik korelasi CBR dengn DDT berikut ini:

Gambar 2. 8 Grafik Korelasi CBR dan DDT

Dari nilai CBR yang diperoleh ditentukan nilai CBR rencana yang merupakan nilai CBR rata-rata untuk suatu jalur tertentu.


(62)

II-62

Caranya adalah sebagai berikut : a. Tentukan harga CBR terendah.

b. Tentukan jumlah harga CBR nilai CBR.

c. Tentukan jumlah harga CBR yang sama atau lebih besar dari masing-masing nilai CBR.

d. Tentukan CBR yang mewakili (CBR 90%) dengan grafik.

e. Untuk mendapatkan nilai DDT, dengan menggunakan grafik di atas korelasikan nilai CBR yang mewakili atau dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

DDT = 4,3 log CBR + 1,7 ... 2- 68

9. Indeks Permukaan

Indeks Permukaan adalah nilai kerataan/ kehalusan serta kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat.

Dalam menentukan indeks permukaan awal umur rencana (IPo) perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana sebagaimana Tabel 2.34 berikut ini:


(63)

II-63 Tabel 2. 34 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana ( I Po )

Jenis Lapis Perkerasan IPo Roughness *) (Mm/Km)

LASTON ≥ 4

3,9 – 3,5

≤ 1000 > 1000

LASBUTAG 3,9 – 3,5

3,4 – 3,0

≤ 2000 > 2000

HRA 3,9 – 3,5

3,4 – 3,0

≤ 2000 > 2000

BURDA 3,9 – 3,5 < 2000

BURTU 3,4 – 3,0 < 2000

LAPEN 3,4 – 3,0

2,9 – 2,5

≤ 3000 > 3000

LATASBUM 2,9 – 2,5 -

BURAS 2,9 – 2,5 -

LATASIR 2,9 – 2,5 -

JALAN TANAH ≤ 2,4 -

JALAN KERIKIL ≤ 2,4 -

Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen, 1987

10. Menghitung Indeks Tebal Perkerasan (ITP)

Adalah angka yang berhubungan dengan penentuan tebal perkerasan, caranya sebagai berikut:

a. Berdasarkan CBR tanah dasar, dari grafik didapat daya dukung tanah dasar (DDT).

b. Dengan parameter klasifikasi jalan dan besarnya LER, dari Tabel 2.35 didapat indeks permukaan akhir umur rencana sebagai berikut:


(64)

II-64 Tabel 2. 35 Permukaan Pada Akhir Umur Rencana ( IP )

LER*) Klasifikasi Jalan

Lokal Kolektor Arteri Tol

< 10 1,0 - 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -

10 - 100 1,5 1,5 – 2,0 2 -

100 - 1000 1,5 - 2,0 2 2,0 – 2,5 -

> 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen, 1987

Tabel 2. 36 Faktor Regional

Curah Hujan

Kelandaian I (< 6%)

Kelandaian II (6-10%)

Kelandaian III (> 10%) % Kelandaian Berat

≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30% Iklim I

< 900mm/Th 0,5 1,0-1,5 1 1,5-2,0 1,5 2,0-2,5

Iklim II

900mm/Th 1,5 2,0-2,5 2 2,5-3,0 2,5 3,0-3,5

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen, 1987

Berdasarkan data-data yang diperoleh dari nomogram DDT, dan tabel-tabel nilai IP, LER dan FR kemudian menetapkan tebal minimum dengan menggunakan Tabel 2.37- 2.39 dan rumus sebagai berikut ini:

ITP = (a1 . D1) + (a2 . D2) + (a3 . D3) ... 2- 69

dimana :

a1,a2,a3 = koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan

D1, D2, D3 = tebal minimum masing-masing perkerasan.

Nilai ITP dapat dicari dengan menggunakan Nomogram korelasi antara nilai DDT, LER, FR dan ITP sebagaimana yang terdapat pada Gambar 2.9.


(65)

II-65 Tabel 2. 37 Koefisien Kekuatan Relatif ( a )

Koefisien Kekuatan Relatif Kekuatan Bahan

Jenis Bahan

a1 a2 a3

MS

(kg) Kt (kg) CBR (%)

0,4 - - 744 - -

Laston

0,35 - - 590 - -

0,32 - - 454 - -

0,3 - - 340 - -

0,35 - - 744 - -

Lasbutag

0,31 - - 590 - -

0,28 - - 454 - -

0,26 - - 340 - -

0,3 - - 340 - - HRA

0,4 - - 744 - - Laston

0,26 - - 340 - - Aspal Macadam

0,25 - - - Lapen (Mekanis)

0,2 - - - Lapen (Manual)

- 0,28 - 590 - - Laston atas

- 0,26 - 454 - -

- 0,24 - 340 - -

- 0,23 - - - - Lapen (Mekanis)

- 0,19 - - - - Lapen (Manual)

- 0,15 - - 22 - Stab. Tanah dg semen

- 0,13 - - 18 -

- 0,15 - - 22 - Stab. Tanah dg semen

- 0,13 - - 18 -

- 0,14 - - - 100 Batu Pecah (klas A)

- 0,13 - - - 80 Batu Pecah (klas B)

- 0,12 - - - 60 Batu Pecah (klas C)

- - 0,13 - - 70 Sirtu / pitrun (klas A)

- - 0,12 - - 50 Sirtu / pitrun (klas B)

- - 0,11 - - 30 Sirtu / pitrun (klas C)

- - 0,1 - - 20 Tanah / Lempung

kepasiran Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur


(66)

II-66

1. Lapis Permukaan

Tabel 2. 38 Batas-Batas Minimum Pada Lapis Permukaan

ITP Tebal

minimum Bahan

< 3,00 5 Lapis pelindung : (buras/burtu/burda)

3,00 – 6,70 5 Lapen / aspal macadam, HRA, lasbutag, laston 6,71 – 7,49 7,5 Lapen / aspal macadam, HRA, lasbutag, laston

7,50 – 9,99 7,5 Lasbutag, laston

≥ 10,00 10 Laston

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen, 1987 2. Lapis Pondasi

Tabel 2. 39 Batas-Batas Minimum Pada Lapis Pondasi

ITP Tebal

minimum Bahan

< 3,00 15 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,stabilitas tanah dengan kapur

3,00 – 7,49 20

10

Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur

Laston atas

7,50 – 9,99 20

15

Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam Laston atas

10 – 12,14

20

Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam, lapen, laston atas

≥ 12,25 25

Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam, lapen, laston atas

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen,


(67)

II-67

3. Lapis Pondasi Bawah

Pondasi bawah, tebal minimum Untuk setiap nilai ITP bila digunakan adalah 10 cm.

Setelah diperoleh tebal minimum, kemudian dicari nilai ITP dengan menggunakan Nomogram ITP sebagi berikut ini:


(68)

II-68 2.6.2. Menghitung Konstruksi Perkerasan Kaku

Metode-metode untuk perencanaan perkerasan kaku ada bermacam-macam metode, diantaranya adalah menurut Departemen Kimpraswil tahun 2003, adalah sebagai berikut:

1. Besaran-besaran rencana

Menurut rencana didasarkan pada jumlah sumbu kendaraan niaga (Comercial Vehicle) kurang lebih 2 tahun terakhir.

2. Karakteristik kendaraan :

• Jenis kendaraan niaga dengan berat total >5 ton.

• Konfigurasi sumbu

♦ Sumbu tunggal dengan roda tunggal (STRT)

♦ Sumbu tunggal dengan roda ganda (STRG)

♦ Sumbu tandem dengan roda ganda (STRG)

♦ Konfigurasi lain tidak diperhitungkan

3. Prosedur perhitungan tebal perkerasan: • Hitung LHR hingga akhir umur rencana

• Menghitung jumlah kendaraan niaga

JSKN = 365 x JSKNH x R x C ... 2- 70

Keterangan :

JKN : Jumlah Kendaraan Niaga

JSKNH : Jumlah Sumbu Kendaraan Niaga Harian

R : Faktor pertumbuhan lalu lintas yang besarnya tergantung pada faktor pertumbuhan lalu lintas tahunan (i) dan umur rencana (n)


(69)

II-69 i i R UR 1 ) 1 ( + −

= ... 2- 71

Setelah m tahun pertumbuhan lalu lintas tidak terjadi lagi } 1 )^ 1 ){( ( 1 ) 1 ( − + − + − +

= UR URm i URm

i i R

UR

... 2- 72

URm : Waktu tertentu dalam tahun, sebelum UR selesai.

• Hitung prosentase masing-masing kombinasi konfigurasi beban sumbu terhadap jumlah sumbu kendaraan niaga harian (JSKNH).

• Hitung jumlah repetisi komulatif tiap-tiap kombinasi konfigurasi/ beban sumbu pada jalur rencana.

JSKN x % JSKNHi x C x FK ... 2- 73

Keterangan :

JSKN = Jumlah Sumbu Kendaraan Niaga

JSKNH = Jumlah Sumbu Kendaraan Niaga Harian JSKNHi = Kombinasi terhadap JKSNH

C = Koefisien distribusi

FK = Faktor keamanan beban sumbu yang sesuai dengan penggunaan jalan


(70)

II-70 Tabel 2. 40 Koefisien Distribusi

Jumlah Lajur

Kendaraan Niaga 1 Arah 2 Arah

1 Lajur 1 1

2 Lajur 0,7 0,5

3 Lajur 0,5 0,475

4 Lajur 0,5 0,45

5 Lajur 0,5 0,425

6 Lajur 0,5 0,40

ƒ Jalan tol : Fk = 1.20

ƒ Jalan Arteri : Fk = 1.10

ƒ Kolektor/local : Fk = 1.00

Sumber : Petunjuk Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen, 2003

4. Kekuatan beton

Kekuatan beton untuk perancangan tebal perkerasan beton semen dinyatakan dalam kekuatan lentur tarik/ Modulus of Rupture (MR) dengan satuan kg/cm2 (dalam keadaan memaksa, minimum 30 kg/cm2).

Bila dengan standar lainnya :

SNI T-15-1991-03 fr =0,7 f'c (MPa) ... 2- 74 ACI 318-83 fr =0,62 f'c (Mpa) ... 2- 75

r

f = Kuat lentur tarik beton (MPa)

c


(71)

II-71 5. Perencanaan tebal pelat

Prosedur penentuan tebal pelat beton adalah sebagai berikut ini:

Gambar 2. 10 Diagram Alir Penentuan Tebal Pelat Beton

Pilih suatu tebal pelat tertentu (h1) untuk setiap kombinasi dan beban sumbu, dengan menggunakan grafik dan tabel sebagai berikut:


(72)

II-72 Gambar 2. 11 Grafik Perencanaan Tebal Pelat Beton


(1)

II-81 2.7.4. Time of Concentration (Tc)

V L

Tc= ... 2- 85

Keterangan :

Tc = waktu pengaliran (detik) L = panjang pengaliran (m) V = kecepatan aliran (m/dtk) Kecepatan aliran (V)

6 , 0 . 72⎢⎣⎥⎦⎤ =

L H

V ... 2- 86

Keterangan :

V = kecepatan aliran (m/dtk)

H = perbedaan elevasi hulu dengan elevasi hilir (m) L = panjang pengaliran (m)

2.7.5. Debit Banjir Rencana

Debit rencana akibat daerah tangkapan air sungai dengan formula Rational Mononobe :

Q = 6 , 3 CIA

... 2- 87

Q = 0,278 . C . I . A ... 2- 88

Keterangan :

Q = Debit banjir rencana (m³/dtk) C = Koefisien run off


(2)

II-82 A = Luas daerah tangkapan air (km²)

Koefisien run off merupakan perbandingan antar jumlah limpasan dengan jumlah curah hujan. Besar kecilnya nilai koefisien limpasan ini dipengaruhi oleh kondisi topografi dan perbedaan penggunaan tanah.

Berikut ini disajikan besarnya koefisien Run Off menurut keadaan daerah dalam Tabel 2.42.berikut ini:

Tabel 2. 41 Koefisien Run Off

Kondisi daerah pengaliran dan sungai Harga dari f

Daerah pegunungan yang curam 0,75-0,9

Daerah pegunungan tersier 0,70-0,80

Tanah bergelombang dan hutan 0,50-0,75

Tanah dataran yang ditanami 0,45-0,60

Persawahan yang diairi 0,70-0,80

Sungai di daerah pegunungan 0,75-0,85

Sungai kecil di dataran 0,45-0,75

Sungai besar yang lebih dari setengah daerah

pengalirannya terdiri dari dataran 0,50-0,75

Sumber : Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan, 1990

Dengan menggunakan data curah hujan dan hasil perhitungan debit, maka kita dapat melakukan perhitungan dimensi saluran.

Rumus yang digunakan :

Q = V . F ... 2- 89

V = K . R2/3. I 0,5 ... 2- 90

R = O F

... 2- 91

Keterangan :


(3)

II-83 V = kecepatan pengaliran

K = koefisien kekasaran = 40 R = jari-jari hidrolis

I = kemiringan dasar saluran arah memanjang F = luas penampang basah

O = keliling penampang basah 2.7.6. Bangunan Drainase

Sistem drainase berfungsi untuk mengalirkan air dari badan jalan sehingga tidak mengganggu penggunaan jalan dan tidak menimbulkan kerusakan pada badan jalan.

Menurut fungsinya sistem drainase dibagi atas dua macam : a. Drainase permukaan ( Surface Drainage )

Drainase permukaan berfungsi untuk mengalirkan air dari badan jalan. Air tersebut harus segera dialirkan agar tidak meresap ke dalam struktur perkerasan badan jalan. Pengaliran dilakukan kearah samping ke saluran samping jalan yang berada di sebelah kiri dan kanan jalan.

Dalam perencanaan dimensi saluran samping diperlukan :

• Saluran harus mampu menampung seluruh air yang ada di permukaan jalan.

• Saluran memiliki kemiringan memanjang yang tidak menyebabkan erosi namun dapat menghindari pengendapan. • Saluran harus dipelihara secara berkala.

• Saluran dapat juga diberi penutup.


(4)

II-84 Drainase bawah permukaan biasa disebut gorong-gorong. Drainase ini berfungsi untuk menanggulangi air bawah permukaan / air tanah agar tidak merembes masuk ke dalam struktur perkerasan. Drainase biasa dilakukan pada jalan dimana muka air tanahnya tinggi. 2.8. Aspek Bangunan Penunjang Dan Pelengkap

Perencanaan suatu jalan perlu dilengkapi sarana untuk membantu jalan tersebut agar dapat memberikan pelayanan secara optimal.

2.8.1. Marka Jalan

Marka jalan terdiri dari :

a) Garis Terputus, yang meliputi :

• Garis sumbu dan pemisah, untuk jalan dua jalur dua arah dengan warna garis putih.

• Hanya garis sumbu, untuk jalan dua jalur dua arah.

• Garis peringatan, untuk jalur percepatan/ perlambatan dan penghampiran pada penghalang atau pada garis dilarang menyiap di tikungan.

Yield line pada pertemuan tanpa tanda stop dengan warna garis putih.

b) Garis Penuh, yang meliputi :

• Garis sumbu dan pemisah, pada jalur jamak tanpa median dengan warna garis putih.

• Garis tepi, pada perkerasan dalam dengan warna garis putih. • Garis pengarah, untuk pengarah pada simpangan dengan


(5)

II-85 • Garis dilarang pindah/mendahului, pada tempat tertentu atau pada daerah tikungan dengan jarak pandang yang kurang memadai.

• Garis dilarang mendahului. • Garis stop.

• Garis pendekat.

2.8.2. Rambu

Rambu sesuai dengan fungsinya dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu:

1. Rambu Peringatan

• Untuk memberi peringatan kemungkinan adanya bahaya atau tempat berbahaya di bagian jalan depannya.

• Wajib ditempatkan pada jarak 80 meter sebelum tempat bahaya. • Warna dasar kuning dengan lambang atau tulisan warna hitam. 2. Rambu Larangan dan Rambu Perintah

a) Rambu Larangan :

• Untuk menyatakan batasan-batasan yang tidak boleh dilakukan oleh pemakai jalan.

• Ditempatkan sedekat mungkin dengan awal titik larangan.

• Warna dasar putih dengan warna tepi merah, lambang atau tulisan berwarna hitam, kecuali kata-kata tulisan berwarna merah.


(6)

II-86 b) Rambu Perintah :

• Untuk menyatakan sesuatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pemakai jalan.

• Wajib diletakkan sedekat mungkin dengan awal titik kewajiban. • Warna dasar biru dengan lambang atau tulisan berwarna putih. c) Rambu Petunjuk

Untuk memberi informasi mengenai jurusan jalan, situasi, kota, tempat, pengaturan, fasilitas dan lain-lain bagi pemakai jalan.