Analisis Maqasid al Syariah terhadap pendapat Imam Malik dan Imam Syafi'i tentang 'iddah wanita yang haid tidak teratur.

ABSTRAK
Skripsi yang berjudul Analisis Maqās}id Al-Syarī‘ah Terhadap Pendapat
Imam Malik Dan Imam Syafi’i Tentang ‘Iddah Wanita Yang Haid Tidak
Teratur, merupakan hasil penelitian pustaka (library research) yang bertujuan
untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut: pertama, Bagaimana Pendapat
Imam Malik dan Imam Syafi’i Tentang ‘Iddah Wanita yang Haid Tidak
Teratur. Kedua, Bagaimana Analisis Maqās}id Al-Syarī‘ah Terhadap Pendapat
Imam Malik dan Imam Syafi’i Tentang‘Iddah Wanita yang Haid Tidak
Teratur.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dihimpun melalui dokumentasi
dan selanjutnya dianalisis dengan metode deskriptif analitis dan dengan pola
pikir deduktif untuk memperoleh kesimpulan yang khusus dan dianalisis
menurut maqās}id al-syarī‘ah.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Pendapat Imam Malik tentang
‘Iddah Wanita yang Haid Tidak Teratur adalah menunggu selama sembilan
bulan, jika tidak hamil maka ‘iddah selama tiga bulan. Sedangkan Pendapat
Imam Syafi’i tentang ‘Iddah Wanita yang Haid Tidak Teratur adalah
berdasarkan ‘iddah haid (tiga kali quru’) walaupun jaraknya saling berjauhan,
bahkan selamanya berada dalam masa ‘iddah, hingga mencapai usia putus haid
(menopause) ketika sampai usia putus haid (menopause), maka ber‘iddah
sesuai ‘iddahnya orang yang putus haid (menopause) yakni tiga bulan. Dalam

maqa>s}id al-syari>’ah, pendapat Imam Malik tentang‘iddah wanita yang haid
tidak teratur sesuai dengan kebutuhan daru>riyah yakni memelihara keturunan
(hifz al-nasl), memelihara jiwa (hifz al-nafs), dan memelihara harta benda
(hifz al-‘ma>l), sedangkan Pendapat Imam Syafi’i tentang‘iddah wanita yang
haid tidak teratur belum memenuhi tujuan maqa>s}id al-syari>’ah dalam hal
kebutuhan ha>jiyah memelihara jiwa (hifz al-nafs), jika dilihat dari satu sisi
apabila jaraknya lama antara haid satu dengan haid selanjutnya, namun
apabila melihat dari sisi yang lain yaitu ternyata haidnya rutin kembali, maka
tidak menyulitkan pihak wanita, bahkan lebih ringan. Sehingga kemaslahatan
bisa tercapai.
Bagi wanita yang mengalami keadaan tersebut, yakni menjalani ‘iddah
dalam keadaan haid tidak teratur, lebih ringan mengikuti pendapat Imam
Malik yaitu menunggu selama sembilan bulan, namun jika haidnya rutin
kembali atau jarak antara haid sampai tiga kali quru’ adalah tidak sampai
sembilan bulan, maka lebih ringan mengikuti pendapat Imam Syafi’i. Bagi
bagi pihak yang berwenang dalam menetapkan hukum diharapkan adanya
ketentuan khusus yang mejelaskan tentang ‘iddah bagi wanita yang haid tidak
teratur demi kemaslahatan. Dan bisa mempertimbangkan lagi mengenai alat
medis atau kedokteran tes (USG) sebagai salah satu cara mengetahui
kehamilan sesorang, yang merupakan salah satu tujuan dari ditetapkannya

‘iddah.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM................................................................................................ i
PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... iii
PENGESAHAN..................................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x
DAFTAR TRANSLITERASI ................................................................................ xiii
MOTTO ................................................................................................................ xv
PERSEMBAHAN.................................................................................................. xvi
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ........................................................ 7

C. Rumusan Masalah ............................................................................... 8
D. Kajian Pustaka..................................................................................... 8
E. Tujuan Penelitian ................................................................................ 12
F. Kegunaan Hasil Penelitian................................................................... 12
G. Definisi Operasional ............................................................................ 13
H. Metode Penelitian ............................................................................... 15
I.

BAB II

Sistematika Pembahasan ..................................................................... 19

MAQĀS}ID AL-SYARĪ‘AH DAN ‘IDDAH DALAM HUKUM

ISLAM

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

A. Maqās}id al-Syarī‘ah ............................................................................ 21
1. Pengertian Maqās}id al-Syarī‘ah ..................................................... 21

2. Kategori Maqās}id al-Syarī‘ah ........................................................ 24
3. Tujuan Maqāsid al-Syarī‘ah ............................................................ 35
B. ‘Iddah Dalam Hukum Islam................................................................. 38
1. Pengertian ‘Iddah ........................................................................... 38
2. Macam-macam ‘Iddah .................................................................... 39
BAB III PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI’I TENTANG
‘IDDAH WANITA YANG HAID TIDAK TERATUR
A. Imam Malik ........................................................................................ 41
1. Biografi Imam Malik ..................................................................... 41
2. Metode Istinba>t Hukum Imam Malik ............................................. 45
3. Pendapat Imam Malik tentang ‘Iddah Wanita yang Haid Tidak
Teratur ........................................................................................... 52
B. Imam Syafi’i ....................................................................................... 55
4. Biografi Imam Syafi’i .................................................................... 55
5. Metode Istinba>t Hukum Imam Syafi’i ............................................ 60
6. Pendapat Imam Syafi’i tentang ‘Iddah Wanita yang Haid Tidak
Teratur ........................................................................................... 64
BAB IV ANALISIS MAQĀS}ID AL-SYARĪ‘AH TERHADAP PENDAPAT
IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI’I TENTANG ‘IDDAH WANITA
YANG HAID TIDAK TERATUR

A. Analisis Maqās}i} d Al-Syarī‘ah terhadap Pendapat Imam Malik
tentang ‘Iddah Wanita yang Haid Tidak Teratur ................................ 67

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

B. Analisis Maqās}i} d Al-Syarī‘ah terhadap Pendapat Imam Syafi’i
tentang ‘Iddah Wanita yang Haid Tidak Teratur ................................ 70
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN .................................................................................. 74
B. SARAN .............................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 76
LAMPIRAN

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan

(perkawinan). Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun
keluarga yang sakinah mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan
keturunan yang sholih solihah. 1 Tujuan perkawinan dalam Islam tidak dapat
lepas dari pernyataan Al-Quran yang menjelaskan:
           

         

Artinya: ‚Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir‛. (Q.S.
Ar-Rum: 21).2
Ayat tersebut di atas mengungkapkan tujuan dasar dari setiap
pembentukan rumah tangga, yaitu selain mendapatkan keturunan yang sah
adalah untuk dapat hidup tenteram dan adanya suasana sakinah yang disertai
rasa kasih sayang.

1


Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga (Surabaya:Gita Media Press, 2006),
8.
2
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: Penerbit J-ART, 2005), 406.

1
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

Dalam kehidupan rumah tangga, walaupun pada awal mulanya penuh
dengan rasa kasih sayang seolah-olah tidak akan terjadi pertengkaran
ataupun suatu permasalahan, tetapi pada kenyataannya jika rasa kasih
sayang itu tidak dibina maka menjadi pudar. Jika suami istri sulit mencari
jalan keluar, baik karena tidak adanya rasa pengertian, maupun tidak ada
rasa peduli terhadap pernikahan mereka, maka berujung pada perceraian,
putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.
Menurut ajaran Islam, perceraian diakui atas dasar ketetapan hati
setelah mempertimbangkan secara matang, serta dengan alasan yang bersifat

darurat atau sangat mendesak. Perceraian diakui secara sah untuk
mengakhiri hubungan perkawinan berdasarkan petunjuk syariat. Namun
demikian, Rasulullah saw memperingatkan dalam sabdanya:

ِ
ِ
‫ض‬
َ َ‫ق‬: ‫ال‬
َ َ‫َع ِن ابْ ِن ُع َمَر َر ِض َي اللَ ُ َعْ ُه َما ق‬
ُ َ‫صلَى اللَ ُ َعلَْي َو َسلَ َم اَبْ غ‬
َ َ‫ال َر ُس ْو ُل الل‬
‫ رواه ابو داود‬. ُ َ َ‫اَِ َ ِل اِ َ اللَ ِ الل‬
ْ

Artinya: Diceritakan dari Ibn Umar, Rasulullah saw bersabda: ‚Tidak
ada sesuatu yang halal yang dibenci Allah selain daripada thalak ‛.
(HR. Abu Dawud).3
Dengan demikian secara tersirat Rasulullah mengajarkan agar
keluarga muslim sedapat mungkin menghindarkan perceraian. Dan dibalik
kebencian Allah itu terdapat suatu peringatan bahwa perceraian itu sangat

berbahaya dan berdampak negatif terhadap keluarga.
Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri, maka berlaku
atas istri yang dicerai ketentuan ‘iddah. Kewajiban menjalani masa ‘iddah
3

Abi Dawud Sulaiman Ibn Al Asy’ab, Sunan Abi Dawud (Indonesia : Maktabah Dahlan), 255.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

bagi istri yang yang diceraikan suaminya hukumnya wajib. Firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 228:
             
 
Artinya:‚Perempuan-perempuan yang ditalak oleh suaminya
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak halal
perempuan itu menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya‛(Al-Baqarah:228).4
Secara singkat ‘iddah dapat dirumuskan sebagai masa lamanya

perempuan (isteri) menunggu dan tidak boleh menikah setelah kematian
suaminya atau setelah cerai dari suaminya.5‘Iddah adalah bahasa Arab yang
berasal dari akar kata ‘adda ya’uddu-‘idatan dan jamaknya adalah ‘idad yang
secara arti kata (etimologi) berarti: menghitung atau hitungan. Kata ini
digunakan untuk maksud ‘iddah karena dalam masa itu si perempuan yang
ber‘iddah menunggu berlalunya waktu.6

‘iddah diwajibkan karena perceraian yang dijatuhkan suami masih
hidup atau sudah meninggal, pernah menggauli (ba’da dukhul), akan tetapi
lain halnya jika suami itu belum pernah menggauli, maka tidak wajib ‘iddah.

‘Iddah baik bagi wanita yang cerai hidup atau cerai mati adakalanya ia masih
mengalami haid ada juga yang sudah putus haid ( menopause) dan terkadang
juga wanita tersebut sedang hamil.

4

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya ..., 37.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid 8 (Bandung: Al-Ma’arif, 1997), 140.
6

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 303.
5

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

Apabila suami yang mentalak istrinya yang semula tidak pernah haid
kemudian di dalam masa ‘iddah ia haid, maka masa suci tempat ditalaknya
tidak terhitung quru’. Sebab tidak berada di antara dua periode haid, tetapi
harus ber’iddah tiga kali masa suci setelah haid yang disambungkan dengan
masa suci ditalaknya tersebut. Bila istri mengalami haid setelah habis masa

‘iddahnya, maka tidak perlu memulai masa ‘iddahnya dengan hitungan
quru’.7
Istri yang mempunyai haid, merdeka dan teratur masa haidnya, maka

‘iddahnya adalah tiga kali quru’ (yakni tiga kali suci atau tiga kali haid). Istri
yang sedang hamil ‘iddahnya adalah sampai melahirkan kehamilannya. Dan
istri yang sudah menopause (putus haidnya) ‘iddahnya adalah tiga bulan.
Ketentuan-ketentuan ini tidak diperselisihkan lagi dikalangan fuqaha, karena
telah ditegaskan pada Firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat 228 dan Q.S. AtThalaq ayat 4.8
             
 
Artinya:‚Perempuan-perempuan yang ditalak oleh suaminya hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak halal perempuan itu
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya‛(AlBaqarah:228).9

7

Zainuddin Bin Abdul Azis Al Malibari, Terjemahan Fathul Mu’in, jilid II (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 1994), 1405-1406.
8
Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid, jilid ll (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), 533.
9
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya ..., 37.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

Dan Firman Allah Q.S At-Thalaq ayat 4:
            
              
  
Artinya:"Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause)
di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
‘iddahnya), Maka masa ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuanperempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. dan barang siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya."10
Akan tetapi bagaimanakah ‘iddah bagi wanita yang haid tidak
teratur? Apakah hitungannya sama dengan ‘iddah bagi wanita yang
mengalami haid atau ‘iddah pada wanita yang hamil, ataukah wanita yang
sudah putus haid?
Haid adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang perempuan
setelah umur 9 tahun, dengan sehat (tidak karena sakit), tetapi memang
watak/kodrat wanita, dan tidak setelah melahirkan.11 Haid tidak teratur
merupakan siklus haid yang tidak pasti setiap bulan, tanda-tandanya adalah
haid yang maju atau mundur sehingga datangnya haid tidak bisa dipastikan.
Terkadang 2 bulan baru mendapatkan haid, atau 3 bulan, bahkan 1 tahun
sekali baru mendapatkan haid.12

10

Ibid., 558.
Muhammad Ardani Bin Ahmad, Risalah Haid Nifas & Istihadlah (Surabaya: Al-Miftah, 2011),
11.
12
http://anorectal.blogdetik.com/2013/12/29/pengertian-haid-tidak-teratur/, Diakses pada 8
November 2016.

11

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

Istri yang diceraikan kemudian tidak mengalami haid, sedang ia
masih berada dalam usia haid, dan tidak ada keraguan tentang adanya
kehamilan atau sebab-sebab lain, seperti menyusui atau sakit, maka Imam
Malik berpendapat bahwa istri tersebut harus menunggu selama sembilan
bulan. Jika selama masa itu istri tersebut tidak juga mengalami haid, maka ia
menjalani ‘iddah selama tiga bulan. Jika ia mengalami haid sebelum
sempurna masa tiga bulan, maka haid tersebut dihitung dan menunggu
kedatangan haid berikutnya. Apabila telah berlau masa sembilan bulan,
tetapi belum datang haid yang kedua, maka ia ber ’iddah selama tiga bulan.
Jika ia mengalami haid sebelum selesai tiga bulan dari tahun yang kedua,
maka ia menunggu haid yang ketiga. Jika ia sudah berlalu sembilan bulan
sebelum datangnya haid, maka ia ber’iddah tiga bulan. Jika ia mengalami
haid yang ketiga kalinya pada masa tiga bulan, maka telah sempurnalah

‘iddah haidnya dan telah sempurna pula ‘iddahnya. Dan bagi suami boleh
merujukinya selama istri tersebut belum lepas dari ‘iddahnya.13
Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya mengatakan bahwa, wanita
tersebut selamanya berada dalam ‘iddah hingga ia mengalami haid atau
memasuki usia menopause, dan sesudah itu ber’iddah selama tiga bulan.14
Berawal dari pendapat Imam Malik dan pendapat Imam Syafi’i
tersebut, maka penulis merasa perlu untuk melakukan kajian terhadap
permasalahan ini karena wanita yang mengalami siklus haid tidak teratur
terkadang bingung dengan apa yang harus ia lakukan dalam hal ibadah
13
14

Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid ..., 537-538.
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Madzab (Jakarta: Lentera, 2000), 468.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

apalagi ketika ia ditalak oleh suaminya dalam keadaan haidnya tidak teratur.
Alasan penulis di antara pendapat empat Imam Maz|hab memilih pendapat
Imam Syafi’i karena pendapat beliau yang paling moderat dan muslim di
Indonesia pada umumnya mengikuti ajaran atau Madzhab Syafi’i. Begitupun
pendapat Imam Malik yang berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i.
Sehingga Penulis berkeinginan untuk mengetahui lebih jauh tentang
pendapat-pendapat tersebut dengan harapan bahwa hal itu bisa menjadi
kontribusi positif dan menambah wacana serta memperkaya khazanah
keilmuan kita, oleh karena itu penulis mendeskripsikannya dalam sebuah
penelitian yang berjudul ‚Analisis MaqƗs}id Al-SyarƯ‘ah Terhadap Pendapat
Imam Malik dan Imam Syafi’i Tentang ‘iddah Wanita Yang Haid Tidak
Teratur‛.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas akan timbul permasalahanpermasalahan sebagai berikut:
1. Pengertian ‘iddah
2. Tujuan dan Manfaat ‘iddah
3. Macam-macam ‘iddah
4. Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid
tidak teratur

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

5. Analisis maqās}id al-syarī‘ah terhadap pendapat Imam Malik dan Imam
Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur
Kemudian untuk menghindari penjelasan yang akan keluar dari
pembahasan maka peneliti membatasi masalah sebagai berikut:
1.

Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang
haid tidak teratur

2.

Analisis maqās}id al-syarī‘ah terhadap pendapat Imam Malik dan Imam
Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan tersebut
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah
wanita yang haid tidak teratur?
2. Bagaimana analisis maqās}id al-syarī‘ah terhadap pendapat Imam Malik
dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur?

D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/ penelitian
yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

pengulangan atau duplikasi dari kajian/ penelitian yang telah ada.
Berdasarkan deskripsi tersebut, posisi penelitian yang akan dilakukan harus
dijelaskan.15
1. ‚Analisis Komparatif Tentang Metode Penetapan Masa ‘Iddah dalam

KHI dan UU No. 1 Tahun 1974‛, skripsi yang ditulis M. Ramadhanul
Akhir, Sarjana Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Ahwal AlSyakhsiyah UIN Sunan Ampel Surabaya (2013). Dalam skripsi ini
menjelaskan didalam KHI masa ‘iddah dimulai sejak ada keputusan yang
tetap dari Pengadilan Agama sebagaimana Pasal 153 ayat 4, sedangkan
menurut UU No. 1 Tahun 1974 masa ‘iddah dimulai sejak perceraian
dinyatakan didepan sidang pengadilan, hasil komparasi memberikan
kesimpulan bahwa masa ‘iddah sebaiknya dimulai setelah adanya
keputusan

pengadilan

tentang

terjadinya

perceraian

yang

telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.16
2. ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Pernikahan dalam Masa ‘Iddah: Studi

Kasus di Desa Sepulu Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan‛, skripsi
yang ditulis oleh A Solakhuddin, Sarjana Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah UIN Sunan Ampel Surabaya (2013).
Dalam skripsi ini menjelaskan pernikahan dilakukan dalam masa ‘iddah di
desa tersebut dilakukan dikediaman mempelai perempuan dengan bantuan
tokoh agama daerah tersebut, dengan berbagai alasan di antaranya
15

Tim penyusun Fakultas Syariah dan Hukum, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya:
UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016), 8.
16
M. Ramadhanul Akhir, ‚Analisis komparatif tentang metode penetapan masa iddah dalam KHI
dan UU No. 1 Tahun 1974‛, Skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

kebutuhan biologis, ekonomi, minimnya pengetahuan tentang masa

‘iddah dan pemikiran warga desa bahwasannya menikah dalam masa
‘iddah lebih baik dibanding berhubunga dengan laki-laki yang belum
menjadi suami. Dan pernikahan ini jelas telah melanggar hukum Islam
dan UU perkawinan.17
3. ‚Studi Analisis Terhadap Ketentuan KHI Pasal 153 Ayat 5 Tentang

‘Iddah Bagi Perempuan yang Berhenti Haid Ketika Menjalani Masa
‘Iddah Karena Menyusui‛, skripsi yang ditulis oleh Abdul Ghofur,
Sarjana Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang (2012). Dalam
skripsi ini menjelaskan perempuan yang sedang menyusui kaitannya
dengan masalah ‘iddah dianalogikan sebagai wanita yang berpenyakit,
bukan berarti susu itu adalah penyakit. menyusui yang mengakibatkan
berhentinya haid itulah yang menjadikan wanita ini disamakan dengan
wanita yang memiliki penyakit (illat), dalam KHI pasal 153 ayat 5
mengandung ketentuan bahwa jika wanita haidnya berhenti karena
menyusui atau sebab penyakit itu telah mencapai usia monopause, maka
ber’iddah 3 bulan. ketentuan ‘iddah dalam KHI tersebut berdasar pada
pendapat ulama yang bermadzhab syafi’i yaitu syaikh sulaiman.18
4. ‚Analisis Pendapat Imam Malik Tentang ‘Iddah Bagi Wanita yang

Istihadah‛, skripsi yang ditulis oleh Ulya Mukhiqqatun Ni’mah, Sarjana
17

A Solakhuddin, ‚Analisis hukum Islam terhadap pernikahan dalam masa iddah: studi kasus di
desa Sepulu Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan‛, Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya,
2013.
18
Abdul Ghofur, ‚Studi analisis terhadap ketentuan KHI pasal 153 ayat 5 tentang iddah bagi
perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui‛, Skripsi Fakultas
Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2012.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

Fakultas Syari’ah jurusan Al-Ahwal Al-Syahsiyah IAIN Walisongo
Semarang (2008). Dalam skripsi ini menjelaskan menurut pendapat Imam
Malik ‘iddah bagi wanita yang istihadhah adalah satu tahun, apabila
wanita tersebut tidak bisa membedakan antara dua darah apabila bisa
membedakan antara dua darah maka wanita tersebut ber ’iddah dengan
hitungan quru’.19
5. ‚’Iddah Wanita Karena Khuluk (Studi Pemikiran Imam Malik dan Ibnu

Taimiyyah)‛, skripsi yang ditulis oleh Cahyo Muhammad Yusuf, Sarjana
Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Perbandingan Madzhab UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta (2014). Dalam skripsi ini menjelaskan menurut
Imam Malik khuluk mempunyai kedudukan sebagai talak, sehingga
khuluk mempunyai sifat mengurangi jumlah talak yang dimiliki suami.
konsekuensi lain dari hal tersebut adalah khuluk tidak boleh lebih tiga
kali. jika lebih dari tiga kali maka suami tidak dapat rujuk kembali kepada
mantan istrinya sebelum adanya muhallil. pendapat Imam Malik berbeda
dengan pendapat Ibn Taimiyyah yang menyatakan khuluk berkedudukan
sebagai fasakh, khuluk tidak mengurangi jumlah talak yang tiga, maka
khuluk dapat dijatuhkan meskipun lebih dari tiga kali tanpa adanya

19

Ulya Mukhiqqatun Ni’mah, ‚Analisis pendapat Imam Malik tentang Iddah bagi wanita yang
istihadah‛, Skripsi Fakultas Syari’ah jurusan Al-Ahwal Al-Syahsiyah IAIN Walisongo Semarang
, 2008.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

muhallil. Ibnu Taimiyyah memberika waktu ‘iddah bagi wanita yang
khuluk selama satu kai haid untuk mengetahui kosongnya rahim.20
Secara singkat, bahwa dari beberapa karya tulis ilmiah di atas,
penulis melakukan penelitian yang berbeda. Penulis melakukan penelitian
kepustakaan yaitu analisis maqās}id al-syarī‘ah terhadap pendapat Imam
Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur,
sehingga tidak mengulangi penelitian-penelitian yang sudah ada.

E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang

‘iddah wanita yang haid tidak teratur.
2. Untuk mengetahui analisis maqās}id al-syarī‘ah terhadap pendapat Imam
Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur.

F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat dan
berguna dalam dua aspek:
1. Aspek keilmuan (teoritis)
Kegunaan toeritis dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat
menambah ilmu pengetahuan, memperkaya dan mengembangkan
20

Cahyo Muhammad Yusuf, ‚ ’Iddah wanita karena khuluk (studi pemikiran Imam Malik dan
Ibnu Taimiyyah)‛, Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Perbandingan Madzhab UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta , 2014.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

wawasan keilmuan bidang kajian hukum keluarga Islam, memberikan
sumbangsi ataupun solusi bagi wanita yang mengalami haid tidak
teratur (dalam masa ‘iddah), serta memberi kontribusi kepada pembuat
perundang-undangan dari hasil penelitian dapat dijadikan pertimbangan
ataupun dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan, seperti
dalam KHI agar terdapat kejelasan ataupun spesifikasi mengenai
ketentuan ‘iddah bagi wanita yang haid tidak teratur.
2. Secara terapan (praktis)
a.

Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan
masyarakat muslim (pembaca) sebagai informasi, masukan dan
solusi yang tepat untuk mengatasi ‘iddah wanita yang haid tidak
teratur.

b.

Sebagai pedoman dan dasar bagi peneliti lain dalam mengkaji yang
lebih mendalam.

G. Definisi Operasional
Berdasarkan judul skripsi yang telah diangkat oleh penulis yaitu
‚Analisis maqās}id al-syarī‘ah terhadap pendapat Imam Malik dan Imam
Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur, maka dapat diberikan
suatu pendefinisian yang lebih terperinci jelas guna menghindari kerancuan,
sehingga spesifikasi masalah tampak jelas.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

1. Analisis: menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti penyelidikan
terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.21
Sedangkan dalam kamus hukum analisis secara sederhana berarti
penyelidikan terhadap peristiwa.22
2. Maqa>si} d Al- Syari>’ah: merupakan tujuan hukum Islam yang terdiri atas al

maqa>si} d al-khamsah yakni Memelihara agama (hifdz al- din),
pemeliharaan jiwa (hifdz al-nafs), pemeliharaan akal (hifdz al-‘aql),
pemeliharaan keturunan (hidz al-nasl), pemeliharaan harta (hifdz al-mal-

wa al-‘irdh).
3. Imam Malik: mempunyai nama asli Abu Abdullah Malik bin Anas bin
Malik bin Abi Amir bin Amr bin Harits bin Ghaaiman bin Kutail bin
Amr bin Harits al-Ashbahi lahir di Madinah pada tahun 94 H/716 M,
dan meninggal pada tahun 179 H/795 M. Ia adalah pakar ilmu fikih dan
hadits, serta pendiri Maz|hab Maliki.
4. Imam Syafi‛i: mempunyai nama asli Abu Abdullah Muhammad ibn Idris
bin Abbas bin Usman bin Syafi’i, lahir pada tahun 150 H, bisa baca dan
hafal al-Quran pada umur 7 tahun dan hafal al-Muwatta’ karya Imam
Malik pada umur 10 tahun, dan dijadikan mufti pada umur 15 tahun H.
Ia wafat pada tahun 204 H. dan juga pendiri maz|hab Syafi’i.
5. ‘Iddah: masa menunggu atau tenggang waktu (belum boleh menikah) bagi
seorang perempuan yang berpisah dengan suami, baik karena perceraian
atau mati, untuk memberikan kesempatan kepada suami untuk rujuk
21
22

Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 43.
Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 32.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

kembali dengan mantan istrinya, menentukan hamil atau tidaknya
perempuan setelah ditinggal mati atau ditalak oleh suaminya.
6. Haid tidak teratur: siklus haid yang tidak pasti setiap bulan, tandatandanya adalah haid yang maju atau mundur sehingga datangnya haid
tidak bisa dipastikan. Terkadang 2 bulan baru mendapatkan haid, atau 3
bulan, bahkan 1 tahun sekali baru mendapatkan haid.

H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) yaitu
penelitian yang dilakukan terhadap pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i
tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur. Penelitian ini berbentuk
penelitian deskriptif, yaitu suatu bentuk penelitian yang memaparkan dan
menafsirkan data-data yang telah terkumpul.23 Artinya, penelitian ini akan
memaparkan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita
yang haid tidak teratur. Kemudian pendapat tersebut akan dianalisis dengan

maqās}id al-syarī‘ah. Adapun metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Dalam penelitian ini, peneliti telah mengumpulkan data yang
dapat mendukung penelitian yang akan dilakukan. Peneliti mendapatkan
data tentang maqās}id al-syarī‘ah dan ‘iddah wanita yang haid tidak
teratur menurut pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i didalam kitab

23

Moh. Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 54-55.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

karangan beliau. Selain itu peneliti mengumpulkan kitab-kitab atau
buku-buku, yang berhubungan dan berkesesuaian dengan pembahasan
tersebut yaitu ‘iddah wanita yang haid tidak teratur.
2. Sumber Data
Untuk mendapatkan data yang valid dan kongkrit dalam
penelitian ini, maka sumber data yang digunakan sebagai bahan rujukan
pencarian data adalah sumber data primer dan skunder.
a.

Sumber Data Primer
Sumber Data Primer adalah sumber yang bersifat utama dan
penting

yang

memungkinkan

untuk

mendapatkan

sejumlah

informasi yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian.24
Sumber data primer antara lain:
1) Al-Umm yang disusun oleh Muhammad ibn Idris bin Abbas bin
‘Utsman bin Syafi’ lebih dikenal dengan Imam Syafi’i.
2) Al-Muwatta’ yag disusun oleh M lik ibn Anas bin Malik bin
Abi ‘ mir al-Asbahi atau yang lebih dikena dengan Imam
Malik
b.

Sumber Data Sekunder
Sumber Data Sekunder dalam penelitian adalah kitab-kitab,
buku-buku, dokumen yang berkaitan dengan penelitian serta bahan
pustaka lainnya yang dapat menunjang penelitian seperti karya

24

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), 116.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

ilmiah, data atau sumber lain yang ada hubungannya dengan
penelitian.25 Sumber data sekunder antara lain:
1) Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid jilid ll
2) Zainuddin Bin Abdul Azis Al Malibari, Terjemahan Fathul

Mu’in jilid II
3) Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Madzab
4) Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka mendapatkan data yang akurat untuk mendukung
penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang dipakai dalam
penelitian ini adalah secara dokumentasi, yaitu dengan mencari,
membaca dan mempelajari serta mencatat data yang diperoleh dari
kitab, buku, dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini
menurut pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i.
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah data yang diperlukan terkumpul, maka penulis menggunakan
teknik berikut ini untuk mengolah data, adapun teknik yang digunakan
adalah:
a.

Editing, Yaitu kegiatan memeriksa atau meneliti data yang
diperoleh dengan memilih dan menyeleksi data tersebut dari
berbagai segi yang meliputi kesesuaian, keselarasan satu dengan
yang lainnya, keaslian, kejelasan serta relevansinya dengan

25

Ibid., 117.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

permasalahn.26 Penulis memeriksa data-data yang diperoleh dari
kitab-kitab maupun buku-buku, kemudian di edit maupun dipilahpilah, disesuaikan mana yang berkaitan dengan pendapat Imam
Malik tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur dan pendapat
Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur.
b.

Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa
sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan
masalah. Penulis menyusun data mengenai pendapat Imam Malik
tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur dan pendapat Imam
Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur, yang mana
data tersebut disesuaikan dengan permasalahan yang dibahas.

5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan upaya untuk menganalisis dan menata
secara sistematis seluruh hasil pengumpulan data yang diperoleh.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan penelitian
pustaka. Sehingga teknis analisis data yang digunakan adalah deskriptif
analitis yaitu menggambarkan dan menguraikan secara menyeluruh
mengenai objek yang diteliti. Dengan menggunakan pola pikir deduktif,
yaitu dengan cara mengemukakan teori-toeri yang bersifat umum
kemudian selanjutnya dikemukakan suatu pendapat bersifat khusus.
Memanfaatkan sejumlah perangkat untuk menarik kesimpulan dari

26

Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004),
91.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

sebuah dokumen atau bahan pustaka.27 Penulis menjelaskan pendapat
Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid tidak
teratur, kemudian dikaitkan dengan teori maqās}id al-syarī‘ah dan ‘iddah
dalam hukum Islam yang terdapat dalam literatur sebagai analisis,
sehingga mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.

I.

Sistematika Pembahasan
Agar penelitian ini terarah dan sistematis, serta untuk mempermudah
memahami tulisan ini, maka penulis mengatur sitematika pembahasan terdiri
dari lima bab, sebagai berikut:
Bab pertama, Pendahuluan, menggambarkan keseluruhan isi skripsi
yang terdiri dari: latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah,
rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian, definisi operasional, metode penelitian (meliputi data yang
dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan dan
analisis data), dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, berisi kajian teoritis tentang maqa>si} d al- syari>’ah,
meliputi pengertian maqās}id al-syarī‘ah, kategori maqās}id al-syarī‘ah, tujuan

maqās}id al-syarī‘ah, dan ‘iddah dalam hukum Islam, meliputi pengertian
‘iddah, macam-macam ‘iddah.
Bab ketiga, berisi tentang pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i
tentang ‘iddah wanita yang haid tidak teratur, dalam bab ini membahas
27

S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik; Kualitatif (Bandung: Tarsito, 1998), 126.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

biografi Imam Malik dan Imam Syafi’i, metode istinba>t hukum Imam Malik
dan Imam Syafi’i, serta pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang

‘iddah wanita yang haid tidak teratur.
Bab keempat, dalam bab ini analisis maqās}id al-syarī‘ah terhadap
pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang ‘iddah wanita yang haid
tidak teratur.
Bab kelima, merupakan hasil paling akhir dalam pembahasan
penelitian ini yang berkaitan dengan kesimpulan dan kemudian ditutup
dengan saran-saran.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II

MAQƖS}ID AL-SYARƮ‘AH DAN ‘IDDAH DALAM HUKUM ISLAM

A. MaqƗs}id al-SyarƯ‘ah
1. Pengertian MaqƗs}id al-SyarƯ‘ah
Sebagai sumber ajaran, Al-Quran tidak memuat pengaturanpengaturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah, hanya terdapat
368 ayat dalam Al-Quran yang berkaitan dengan aspek-aspek hukum. Hal
ini mengandung arti bahwa sebagian besar masalah-masalah hukum dalam
Islam oleh Allah hanya diberikan dasar-dasar atau prinsip-prinsip dalam
Al-Quran. Bertitik tolak dari dasar atau prinsip ini, dituangkan pula oleh
Nabi penjelasan melalui hadis-hadisnya. Berdasarkan atas dua sumber
inilah kemudian aspek-aspek hukum dikembangkan oleh para ulama
diantaranya adalah Al-Syatibi yang telah mencoba mengembangkan
pokok atau prinsip yang terdapat dalam dua sumber ajaran Islam itu
dengan mengaitkannya dengan maqās}id al-syarī‘ah.1

Maqās}id al-syarī‘ah terdiri dari dua kata, yakni maqās}id dan alsyarī‘ah. Maqās}id adalah bentuk jamak dari maqs}u>du yang berarti
kesengajaan atau tujuan. Al-Syarī‘ah secara bahasa berarti ( ‫المواضع تحدر‬
‫ )الى الماء‬yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini
dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.2 Dari

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi (Jakarta: Pt Raja Grafindo
Persada, 1996), 60.
2
Ibid., 61.

1

21
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

segi bahasa maqās}id al-syarī‘ah berarti maksud atau tujuan disyariatkan
hukum Islam. Maqās}id al-syarī‘ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya
dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri
dalam ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis
bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat
manusia.3
Kajian tentang tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan
kajian dalam bidang ushul fiqh, dan dalam perkembangan berikutnya,
kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam, sehingga
dapat dikatakan bahwa istilah maqās}id al-syarī‘ah identik dengan istilah
filsafat hukum Islam.4

Maqās}id al-syarī‘ah secara istilah sebenarnya tidak didefinisikan
secara khusus oleh para ulama ushul fiqh klasik, boleh jadi hal ini sudah
maklum di kalangan mereka. Al-Syatibi mempergunakan kata yang
berbeda-beda berkaitan dengan maqās}id al-syarī‘ah. Kata-kata itu ialah

maqās}id al-syarī‘ah, al-maqās}id al-Syar’iyya>h fi al-Syarī‘ah, dan maqās}id
min syar’i al-hu>km. Walau dengan kata-kata yang berbeda, mengandung
pengertian yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah
SWT.5 Menurut Al-Syatibi sebagai yang dikutip dari ungkapannya
sendiri:

3

Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 233.
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 123.
5
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah ..., 64.

4

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

ِِ
ِ ِ ‫اَ َن ِذهِ ال َش ِري ع ِة وضع‬
ِِ
‫صاِِِ ِه ْم ِِ الدِيْ ِن َوالدنْيَا‬
ْ ََ َ َْ
َ
َ ‫ت لتَ ْحقْي ِق َم َقاصد الشَا ِرِع ِِ قيَام َم‬
‫َم ًعا‬

‚Sesungguhnya syariat itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan
manusia di dunia dan di akhirat‛.6

ِ
‫صالِ ِح الْعِبَ ِاد‬
ْ ‫اْأ‬
َ ‫ام َم ْش ُرْو َعةٌ ل َم‬
ُ ‫َح َك‬

‚Hukum-hukum disyariatkan untuk kemaslahatan hamba‛.7

Apabila ditelaah pernyataan Al-Syatibi tersebut, dapat dikatakan
bahwa kandungan maqās}id al-syarī‘ah atau tujuan hukum adalah
kemaslahatan umat manusia. Bertitik tolak dari pandangannya bahwa
semua

kewajiban

(taklif)

diciptakan

dalam

rangka

merealisasi

kemaslahatan hamba. Tak satupun hukum Allah dalam pandangan AlSyatibi yang tidak mempunyai tujuan, hukum yang tidak mempunyai
tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tak dapat dilaksanakan.8
Muhammad Abu Zahrah dalam kaitan ini menegaskan bahwa tujuan
hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Tak satupun hukum yang
disyariatkan baik dalam Al-Quran maupun Sunnah melainkan di
dalamnya terdapat kemaslahatan.9
Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diteliti
terlebih dahulu hakikat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap kasus
yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian
terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya, bahwa
dalam menetapkan nash terhadap satu kasus yang baru, kandungan nash
6

Al-Sha>t}ibiy, al-Muwafaqat fi Us}ul al-Shari’ah, Jilid II (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th), 2-3.

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah ..., 64.
8
Ibid., 65.
9
Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 366.

7

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

harus diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan disyariatkan
hukum tersebut. Tujuan Allah mensyariatkan hukumnya adalah untuk
memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus menghindari mafsadat, baik
di dunia maupun di akhirat.10
Penekanan maqās}id al-syarī‘ah yang dilakukan oleh al-Syatibi
secara umum bertitik tolak dari kandungan ayat-ayat Al-Quran yang
menunjukkan bahwa hukum-hukum Allah mengandung kemaslahatan. AlSyatibi mengatakan bahwa maqās}id al-syarī‘ah dalam arti kemaslahatan
terdapat dalam aspek-aspek hukum secara keseluruhan, artinya apabila
terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang tidak ditemukan secara
jelas dimensi kemaslahatannya, dapat dianalisis melalui maqās}id al-

syarī‘ah yang dilihat dari syariat dan tujuan umum dari agam Islam. AlQuran sebagai sumber ajaran agama Islam memberikan pondasi yang
penting yakni prinsip membentuk lemaslahatan manusia.11
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa maqās}id

al-syarī‘ah adalah makna dan tujuan yang dijaga oleh syar’i dalam
pembentukan hukum Islam untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.12

2. Kategori MaqƗshid al-SyarƯ‘ah
Hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan
umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Abu Ishaq Al-Syatibi
10

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam ..., 124-125.
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah ..., 68.
12
Muhammad Sa’ad bin ahmad bin mas’ud al-yubi, Maqa@sid al-Shari@’ah al islamiyyah wa
‘alaqatuha bi al adillah al-shar’iyyah (Riyadh: da@r al hijrah, 1998), 36.
11

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah bahwa ‚hukum-hukum disyariatkan Allah untuk
mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di
akhirat‛.
Kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok dapat
diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu menurut al-Syatibi
adalah agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Dalam usaha mewujudkan
dan memelihara lima unsur pokok itu, menurut al-Syatibi dikategorikan
menjadi tiga tingkatan, yaitu kebutuhan Daru>riyah, kebutuhan Ha>jiyah,
dan kebutuhan Tahsi>niyah.13
a.

Kebutuhan Daru>riyah
Kebutuhan daru>riyah ialah tingkat kebutuhan yang harus ada, atau
disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak
terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia
maupun di akhirat.14 Kebutuhan primer ini hanya bisa dicapai bila
terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yaitu memelihara agama,
memelihara

jiwa,

memelihara

akal,

memelihara

harta,

dan

memelihara keturunan.
1) Memelihara agama (hifz al-din), manusia disuruh beriman,
mengucapkan dua kalimat syahadat, melaksanakan shalat lima
waktu, mengeluarkan zakat, puasa di bulan ramadhan, serta

13
14

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah ..., 71.
Satria Effendi, Ushul Fiqh ..., 234.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

melakukan ibadah yang pokok lainnya.15 Untuk menjaga agama,
Allah menyuruh manusia untuk berjihad di jalan Allah
sebagaimana banyak ditegaskan dalam Al-Quran yang diantaranya
pada surat At-Taubah ayat 41:
         
      
Artinya: ‚Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa
ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan
dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu, jika kamu Mengetahui‛.16
2) Memelihara jiwa (hifz al-nafs), manusia harus melakukan banyak
hal seperti makan, minum, menutup aurat, mencegah penyakit, dll.
Manusia juga perlu berupaya dengan melakukan segala sesuatu
yang memungkinkan untuk meningkatkan kualitas hidup. Segala
usaha yang mengarah pada pemeliharaan jiwa itu adalah perbuatan
baik, karenanya disuruh Allah untuk melakukannya. Sebaliknya,
segala sesuatu yang dapat merusak jiwa adalah perbuatan buruk
yang dilarang Allah.17
3) Memelihara akal pikiran (hifz al-‘aql) dalam peringkat daru>riyah,
seperti diharamkan minum minuman keras, jika ketentuan ini

15

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995),
101.
16
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: Penerbit J-ART, 2005), 106.
17
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), 234.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

tidak diindahkan, maka berakibat terancamnya eksistensi akal. 18
Akal yang diciptakan Allah khusus bagi manusia, diharuskan
berbuat segala sesuatu untuk menjag