Konsep maslahah mursalah pada kasus Presiden wanita menurut Imam Malik Dan Imam Najmuddin Al-Thufi

(1)

KONSEP MASLAHAH MURSALAH PADA KASUS

PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK

DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THUFI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

ABDUL HALIM MAHMUDI

NIM: 104043101305

KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H/ 2009 M


(2)

KONSEP MASLAHAH MURSALAH PADA KASUS

PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK

DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THU

FI”

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

ABDUL HALIM MAHMUDI

NIM: 104043101305

Pembimbing:

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, MA.,SH.,MM. NIP. 150 210 422

KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H/ 2009 M


(3)

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul ”KONSEP MASLAHAH MURSALAH PADA KASUS PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI” telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 03 Maret 2009 M yang bertepatan dengan 06 Rabiul Awwal 1430 H. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh (PMF).

03 Maret 2009 M 06 Rabiul Awwal 1430 H Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR.H.Muhammad Amin Suma,SH.,MA.,MM. NIP. 150 210 442

Panitia Ujian

1. Ketua : Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, MA.,SH.,MM. ( ... )

NIP. 150 210 422

2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. ( ... )

NIP. 150 290 159

3. Pembimbing: Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma,SH.,MA.,MM. ( ... )

NIP. 150 210 442 Jakarta,


(4)

4. Penguji I : H. Abd. Wahab Abd Muhaimin, Lc, MA. ( ... )

NIP. 150 238 774

5. Penguji II : Asmawi, M.Ag. (

... )

NIP. 150 282 394

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli, saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

03 Maret 2009 M 06 Rabiul Awwal 1430 H

Abdul Halim Mahmudi Jakarta,


(5)

ﹺﻢﻴﺣﺮﻟﺍ ﹺﻦﻤﺣﺮﻟﺍ ِﷲﺍ ﻢﺴﹺﺑ

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt., atas segala rahmat, hidayah, dan inayah-Nya yang telah terlimpahkan, sehingga penulisan skripsi ini selesai, berjalan dengan baik, sesuai dengan waktunya. Salawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw., hamba Allah pilihan yang telah diutus untuk mengangkat derajat manusia dengan ilmu pengetahuan, amal dan takwa.

Dari relung hati yang paling dalam penulis menyadari, bahwa suksesnya penulisan skripsi ini tidaklah begitu saja dapat terselesaikan dengan mudah, dan bukan semata-mata atas usaha dan perjuangan penulis sendiri, namun juga karena bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menghaturkan ucapan terima kasih terutama sekali kepada Bapak/Ibu:

1. Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus Dosen Pembimbing, yang telah memberikan perhatian penuh, bimbingan, serta motivasi yang besar kepada penulis selama penulisan skripsi ini. 2. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji., MA.,MH. dan Bapak Dr. Muhammad Taufiqi,

M.Ag., masing-masing Ketua dan Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dengan penuh keikhlasan dan dedikasi yang tinggi telah mencurahkan ilmu pengetahuan dan pengalaman hidupnya yang perlu dicontoh oleh penulis selama masa studi.

4. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, serta Perpustakaan Umum Iman Jama, yang telah memberikan fasilitas yang terbaik kepada penulis untuk mencari dan mengumpulkan data.

5. Ayahanda Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA.,MH. dan ibunda Hj. Siti Manis Falahiyah, yang sangat penulis hormati dan sayangi, yang telah memberikan curahan kasih, dukungan, dan motivasi dengan tulus ikhlas, sejak penulis di masa balita hingga penulis menjalani pendidikan di Perguruan Tinggi terutama dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah swt. selalu memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada keduanya. Amin.

6. Kakakku penulis tercinta, Syarifah Gustiawati Mukri, SHI.,MEI., dan H. Nur Rohim Yunus, SHI., LLM., M.Phil. serta adik-adik penulis Ahmad Sofwan Fauzi, dan Ahmad Farhan Habib yang selalu menemani, memotivasi dan membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.

7. Adinda Latifa Hanum, dengan tulus hati dan ikhlas membantu dan menemani penulis dalam suka dan duka. Terimakasih atas segalanya, semoga Allah membalas segala amal shaleh yang telah diberikan.


(7)

8. Para dewan guru Yayasan Pendidikan Islam An-Na’imuniyyah (YAPIA) Darunna’im, Lembaga Pendidikan Al-Qur’an (LPQ) Nurul Hikmah, Ikatan Guru Taman Al-Qur’an (IGTA) Kec. Parung, Persatuan Pemuda Parung ”Riyadhusy Syabaab”, Pengajian Pemuda ”PERPUNJAS” yang telah banyak membantu menyemangati penulis.

9. Keluarga Besar FCC@Net dan Farhan Copy Center (Ayud, Fa2t, Zie, Noeng2, Nani, Aldy, Dian S.) yang telah membantu penulis dalam penyediaan sarana dan prasarana, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

10. Rekan-rekan Tim Debat Bahasa Arab Tingkat ASEAN Tahun 2007 (Hisnu Shobar, Lesmi Cahyani, Devita, Fajriati El-Jabhati, Furqon, Niwwari) Semoga prestasi yang kita raih bermanfaat bagi kita semua.

11. Seluruh Ikhwani dan Akhwati fillah. Khususunya Edi Sumantri, Mukhtar Wijaya, Dani Arsyad, Arif Rahman, Hidayatullah, dsb. semoga kebersamaan kita akan tetap terjaga.

12. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum, konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh (PMF) A & B serta Perbandingan Hukum PH angkatan 2004 Fakultas Syariah dan Hukum, Khususnya: B’dul, Vie, Inang, Tipah, Jefi, Domen, Anas, Dzue, Rusli, Bdur, Ndar, Habibie, Roby, Edi, Dien, Ntonk, Muly, nDre, Jay, thofe, Fahrul, Adi, Jay, Ram, Eeng, H. Abul, Chay, Syarki, Oneng, Delly, Romli, Fhitrie, Dayat, Indra, Dian S, dan semua teman yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan kepada


(8)

penulis dalam masa studi dan dalam menyelesaikan skripsi ini. Jazakumullah kairan katsiran.

Akhirnya atas segala jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril maupun materil, kiranya penulis tidak sanggup membalasnya, hanya kepada Allah swt. jualah, penulis serahkan untuk membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah surut mengalir pahalanya. Sekali lagi penulis ucapkanjazakumullah kairan katsiran.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak, khususnya bagi para pembaca ataupun peneliti yang ingin mengkaji tulisan penulis ini. Amin.

03 Maret 2009 M

06 Rabiul Awwal 1430 H

Penulis Jakarta


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Metode Penelitian... 11

E. Review Kajian Terda hulu ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II : PANDANGAN UMUM MASLAHAH MURSALAH A. Pengertian Maslahah Mursalah ... 15

B. Kehujjahan Maslahah Mursalah ... 20

C. Syarat-Syarat Keabsahan Maslahah Mursalah ... 25

BAB III : RIWAYAT HIDUP IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI SERTA KONSEP MASLAHAH MURSALAHNYA A. Biografi Imam Malik bin Anas r.a. ... 28

B. Biografi Imam al-Thufi ... 42


(10)

BAB IV : APLIKASI MASLAHAH MURSALAH TERHADAP

PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM AL-THUFI

A. Prinsip-prinsip Hukum Islam dalam Pemilihan Kepala Negara ... 65 B. Presiden Wanita Perspektif Fiqh Siyasah ... 67 C. Presiden Wanita Perspektif Imam Malik dan

Imam Al-Thufi ... 77 D. Persamaan dan Perbedaan Kedua Pendapat ... 83

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 91 B. Saran-saran ... 93


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan utama disyariatkannya suatu hukum oleh Allah swt. - tidak ada maksud lain - kecuali hanya untuk merealisir dan mewujud nyatakan kemaslahatan bagi manusia di dunia dan kebahagian di akhirat kelak.1Setiap perintah atau larangan yang telah dituangkan oleh perumusnya (al-Syari`) melalui teks-teks hukum ( al-nusus al-tasyri`iyyah) dapat diketahui dan dipahami oleh para pelakunya (mukallaf) tentang dampak positifnya yang mengacu kepada kepentingan dan kebutuhan mereka itu sendiri.2 Kepentingan dan kebutuhan tersebut bertitik tolak kepada tiga kategori tujuan syari`at (maqasid al-syari`ah) berdasarkan urutan prioritasnya, yaitu:

daruriyyat,hajjiyyat, dantahsiniyyat.3

Dalam rangka mewujudkan eksistensi maqasid al-syari`ah pada diri setiap individu mukallaf, maka setiap tindakan mereka mesti berdasar kepada sumber-sumber pokok (al-masadir al-asliyyah), yaitu: al-Qur`an dan al-Sunnah.4 Di samping itu, dinamika perubahan sosial dan strukturnya dari masa ke masa terus berkembang dengan munculnya berbagai kasus dan perstiwa hukum yang jawabannya tidak terdapat secara tegas dan khusus dalam sumber pokok tersebut. Hal ini memerlukan

1

Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwāfaqāt fī usūl al-Syari`ah, tahqīq: Abdullah Darraz, (Beirut: Dar al-Fikr,t.th.), vol. II, h. 6.

2

Ibn Qayyim al-Jauziyyah,I`lām al-Muwaqqi`īn, vol III, (Beirut: t.tp.,t.th.) h. 14.

3

Abu Ishak Al-Syatibi,al-Muwāfaqāt, h.8.

4

Muhammad Adib Salih, Masādir al-Tasyrī` al-Islāmī wa Manāhij al-Istimbāt, (Damsyiq: Maktabah at-Ta`awuniyah, 1967), h. 437.


(12)

metode lain untuk menjawab kasus hukum tersebut dengan menggunakanmasadir al-far`iyyah antara lain melalui metode istihsan, istihsab, al-`urf, madzhab al-sahabi; danmaslahat al-mursalah.5

Di dalam kitab suci al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad saw., baik secara eksplisit maupun implisit, banyak sekali postulat yang menjelaskan bahwa tujuan Allah swt. menurunkan hukum syari’at ke muka bumi adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hidup bagi umat manusia dan menghindarkan mereka dari kerusakan. Kemaslahatan yang dimaksud bukan saja kemaslahatan duniawi, tetapi juga kemaslahatan ukhrawi atau dalam istilah Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya

Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah: “Li Masālih al-‘Ibād fi al-‘Ajil wa al-Ajīl”, artinya untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.6

Dalam konteks hukum Islam hal itu berarti hukum-hukum yang disyariatkan Allah melalui al-Qur’an dan Hadist bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia. Pemberlakuan hukum-hukum tersebut betujuan untuk menciptakan harmonisasi interaksi sosial manusia dalam kehidupan dunia dan keselamatan akhirat

Meskipun kemaslahatan manusia merupakan tujuan utama diturunkannya hukum ke muka bumi, namun tidak semua maslahat yang ada di tengah-tengah umat manusia sejalan dengan hukum syari’at dan tidak semua maslahat yang berkembang

5

Muhammad Adib Salih,Masādir al-Tasyrī`,h. 437.

6


(13)

di tengah-tengah masyarakat mempunyai dasar hukum yang akurat. Karena itu para ulama membagi maslahat kepada beberapa bentuk.

Hujjatul Islam, Imam Ghazali membaginya kepada empat macam7:

1. Maslahat yang diakui nau’-nya oleh Syari’ karena ada kesamaan nau’ tersebut denganashldanfar’.

2. Maslahat yang diakui jins-nya oleh Syari’ karena ada kesamaan jins tersebut denganashldanfar’.

3. Maslahat yang bertentangan dengan syariat yang disebut dengan istilahmaslahat bathilahataumaslahat mulghah.

4. Maslahat yang tidak disebut-sebut oleh syariat’, tidak ada nas yang mendukungnya dan tidak ada pula yang menentangnya. Maslahat semacam ini disebutmaslahat gharibah.

Dari keempat pembagian di atas, Imam Ghazali memasukkan al-maslahat al-mursalah, ke dalam pembagian yang kedua, yaitu maslahat yang diakui jins-nya oleh syara’ dan ini dapat diterima sebagai hujjah atau dalil hukum. Sedangkan al-maslahat al-gharibah, dan al-maslahat al-bathilah atau al-maslahat al-mulghah

ditolak secara mutlak.8

Dari pembagian di atas nampaklah bahwa ada maslahat yang tidak disinggung sama sekali oleh nash, baik al-Qur’an maupun Hadis. Dalam hubungan ini, kemaslahatan tersebut tidak ditetapkan oleh syari’at hukum untuk

7

Husein Hamid Hassan, Nazāriyat al-Maslahat fī al-Fiqh al-Islāmī, (Cairo: Al-Mutanabbī, 1981), h. 18-19.

8


(14)

mewujudkannya dan tidak terdapat pula dalil yang memerintahkan untuk memperhatikan dan mengabaikannya. Maslahat tersebut dikenal dalam istilah ilmu ushul al-fiqh dengan sebutan maslahat mursalah. Karena maslahat ini tidak disinggung sama sekali oleh dalil maka para ahli ushul pun berbeda pendapat mengenai keabsahan penggunaannya sebagai dalil ijtihad.9

Walaupun demikian di kalangan ahli Ushul terjadi beberapa perbedaan pandangan tentang substansi darimaslahat mursalah, bagaimana keabsahanmaslahat mursalah sebagai salah satu sumber hukum dan bagaimana aplikasinya dalam legislasi hukum Islam. Di antara ahli Ushul tersebut berbeda tersebut adalah Imam Malik dan Imam Al-Thufi.

Imam Malik sebagai founding father teori maslahat mursalah ini10, mengatakan bahwa maslahat mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ada pembatalannya dari nash dan juga tidak disebutkan secara jelas oleh nash11. Akan tetapi, pengambilan hukum berdasarkan maslahat mursalah, ini tidak boleh bertentangan dengan nash sebagai sumber pokok. Beda halnya dengan Imam al-Thufi, beliau menyatakan bahwa maslahat mursalah merupakan hujjah terkuat yang secara mandiri dapat dijadikan landasan hukum sekali pun bertentangan dengan nash.12

9

Yusuf al-Qaradhawi, Madkhal li Dirāsah al-Syarī’ah al-Islāmiah, (Cairo: Maktabah Wahbah, tth.), h. 20.

10

Muhammad Abu Zahrah,Ushul Fiqh,(Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.), h. 279

11

Wahbah al-Zuhaili,Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), h. 95.

12

Mustafa Zaid, al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islâmi wa Najamuddin at-Tufi, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1954), h. 34.


(15)

Al-Thufi yang terkenal dengan konsep maslahatnya ini, bagi kalangan peneliti Hukum Islam saat ini, bergerak sangat progresif dan inovatif yaitu mempergunakan maslahat mursalah sebagai landasan hukum meskipun harus mendahulukannya dari nash dan ijma jika terjadi pertentangan dengan nash dan ijma'. Jadi maslahat menduduki tempat terkuat dalam berhujjah13.

Dari pemikiran dan konsep maslahat mursalah versi al-Thufi ini, akhirnya melahirkan banyak polemik dalam kancah epistimologis, yang pada akhirnya konsep

maslahat mursalah al-Thufi ini dikategorikan oleh sebagian besar ulama sebagai konsep yang terlalu liberalis dan bertentangan dengan ulama pada zamannya.

Pandangan al-Thufi mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang maslahat.14 Dia berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat membatasi (takhsis) Al-Qur’an, sunnah dan ijma' jika penerapan nas Al-Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma' itu akan menyusahkan manusia.15 Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya pola maslahat tersebut hanyalah pada bidang muamalat dan adat istiadat.16

Maka dari paparan di atas jelas, bahwa maslahat mursalah adalah salah satu landasan pengambilan (istinbat) hukum Islam yang hampir tiap-tiap ulama madzhab memanfaatkannya. Namun ternyata, menurut sebagian ulama ushul, metodologi istinbat hukum ini dieksplorasi secara bebas oleh Imam Najamuddîn

al-13

M. Zainal Abidin, “Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi Dinamisasi Hukum Islam”, Syariah; Jurnal Ilmu Hukum VII, no. 1 (Juni 2007) h: 25.

14Ibid.,26.

15Najmuddin at-Tufi,Syarh, h. 46. 16Ibid,h. 48.


(16)

Thufi yang pada akhirnya melahirkan suatu konsep yang kini banyak diikuti cendikiawan kontemporer.

Betapa urgennya kedudukan maslahat sebagai tujuan, kalau tidak malah merupakan inti dari seluruh konstruksi legislasi Islam. Hal ini dapat dibuktikan dari buku-buku ushul al-fiqh yang ditulis baik sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, masa-masa pertengahan maupun pada masa akhir-akhir ini, dapat dipastikan buku-buku tersebut memuat pembahasan tentang maslahat sebagai tujuan tasyri' sekalipun porsi pembahasannya sangat bervariasi.

Tulisan ini secara khusus akan membahas tentang pandangan Imam al-Thufi dan Imam Malik tentang aplikasi maslahat mursalah yang mereka usung, dengan inti uraian, sekilas riwayat hidup Imam Najamuddîn al-Thufi dan Imam Malik bin Anas, pengertian dan pandangannya tentang konsep maslahat mursalah, serta yang paling pokok adalah bentuk dari penerapannya “ijtihad tathbiqi” dan analisi kedua pendapat tersebut. Sebab konsep maslahat mursalah yang dibawa kedua ahli ushul tersebut terkesan saling bertentangan satu sama lainnya.

Salah satu aplikasi maslahat mursalah yang diangkat pada tulisan ini adalah status presiden wanita dalam Islam. Presiden wanita atau kepala negara dari kalangan wanita merupakan salah satu pembahasan yang masih kontroversial di tengah-tengah para ulama, baik ulama klasik maupun ulama kontemporer. Kitab-kitab


(17)

fiqih politik (fiqh al-siyasah) klasik dan kitab-kitab fiqh kontemporer masih banyak mempersoalkannya.17

Wahbah al-Zuhaili, seorang ahli fiqih modern dalam bukunya, Nidzam Al-Islam, menyebutkan tujuh syarat untuk menjadi kepala pemerintahan. Ketujuh syarat adalah: seorang Imam harus memiliki jiwa kepemimpinan sempurna, muslim, merdeka, baligh, berakal, dan terakhir laki-laki.18 Menurut Al-Zuhaili, adanya syarat laki-laki (

ﹸﺓ

ﺭ

ﻮ

ﱡﺬﻟﺍ) semata-mata karena beban menjadi Imam membutuhkan

kemampuan yang besar yang tidak mungkin ditanggung seorang perempuan. Selain itu, perempuan tidak mampu menanggung tugas-tugas berat lainnya, seperti ikut serta dalam perang atau hal-hal lain yang beresiko tinggi. Di samping itu, ia mendasarkan pendapatnya ini berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah,

ًةَأَ ﺮْ

ﻣِا ْ ﻢُھَﺮ

ْﻣَأ اْﻮﱠﻟَو ٌمْﻮ َﻗ َﺢِﻠْﻔُﯾ ْﻦ

)

يرﺎﺨﺒﻟا هاور

(

Artinya:“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan semua persoalannya kepada perempuan.”(H.R. Bukhari)19

Presiden wanita sering dipahami secara subyektif dan hitam putih. Hal ini misalnya, tampak pada kasus Benazir Bhutto. Ketika Benazir Bhutto naik menjadi Perdana Menteri Pakistan, banyak ulama di sana yang mengecam kedudukannya. Oleh karena itu, ketika Nawaz Syarif berhasil menggulingkan kedudukan Benazir Bhutto pada Pemilu 1997 di Pakistan, hal ini dijadikan senjata ampuh bagi kelompok

17

Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanan

dalam Islam(Bandung: Mizan, 2001) h. 201.

18

Wahbah Zuhaili, Nidzām Al-Islām, (Beirut: Dar Qutaibah, 1993), cet. III, h. 19. Lihat pula Al-Mawardi,Al-Ahkām al-Sulthāniyyah, ttp. H. 42.

19


(18)

fundamentalis Islam untuk menyerang kemampuan perempuan dalam memegang tampuk kepemimpinan20.

Di Indonesia pembahasan ini sempat mencuat kepermukaan menjelang pemilihan umum (pemilu) tahun 1999 lalu dan beberapa saat sebelum Sidang Umum MPR tahun 1999 lalu yang diwarnai oleh penolakan keras khususnya dari kalangan parpol-parpol Islam tentang kemungkinan wanita menjadi presiden21.

Walaupun kalah pada Sidang Umum MPR dengan Abdurrahman Wahid alias Gusdur, Megawati Soekarno Putri akhirnya terpilih juga menjadi presiden RI periode 2001 – 2004.22 Kecaman demi kecaman dari para ulama pun datang silih berganti. Namun Lain halnya dengan tokoh-tokoh parpol, yang pada mulanya menolak mentah-mentah pencalonan Megawati, akhirnya ketika itu mereka mulai merevisi kebijakan-kebijakan politisnya.23 Pada saat itu banyak pro dan kontra di kalangan ulama dalam negeri. Para ulama yang menolak menyatakan bahwa dalam ajaran Islam wanita tidak bisa menjadi seorang kepala negara. Sebagian yang mendukungnya mendasarkan bahwa larangan tersebut hanya berlaku pada negara Islam saja, adapun Indonesia bukanlah negara Islam atau khilafah akan tetapi negara yang berasaskan Pancasila.24

20

Wahbah Zuhaili,Nidzam Al-Islam,Ibid.,h. 20.

21

Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel ”Pemimpin Wanita Ditinjau dari Perspektif Islam, Psikolog, dan Aktivis”, diselenggarakan oleh UKM FKSM (Forum Kajian dan Studi Mahasiswa) Universitas Janabadra, makalah diakses pada tanggal 10 September 2008 dari

http://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam 22

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/soeharto/mti/24/depthnews_13.shtml 23

Ibid., http://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam

24


(19)

Imam Malik dalam kasus ini, secara eksplisit tidak memasukkannya ke dalam ranah maslahat mursalah. Sebab kasus ini sudah bertentangan dengan nash dan ijma sahabat. Apabila suatu kasus yang sudah ditetapkan dalam nash dan ijma ahl madinah, kemudian terjadi pergesekan antara maslahat dan nash maka yang didahulukan adalah nash. Sehingga dalam kasus ini, Imam Malik bisa dan lebih cenderung melarang presiden dari kaum wanita, jikalau dilihat metode ijtihad Imam Malik.

Lain halnya Imam al-Thufi, beliau menganggap apabila maslahat atau hajat orang banyak ini bertentangan dengan nash atau ijma sahabat dan hal tersebut bukan termasuk masalah ibadah, maka maslahat tersebut dapat didahulukan dari pada nash dan ijma sekalipun. Sehingga dengan demikian konsepmaslahat mursalahnya Imam Al-Thufi dapat melegitimasi presiden wanitasecara syar’i.

Oleh sebab itu, penulis merasa terpanggil untuk mengungkap sekilas konsep maslahat mursalah menurut Imam Najamuddîn al-Thufi dan Imam Malik dalam memahami kasus presiden wanita, dengan judul skripsi “KONSEP MASLAHAT MURSALAH PADA KASUS PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari judul skripsi, “Konsep Maslahat Mursalah Pada Kasus Presiden Wanita Menurut Imam Malik Dan Imam Najamuddin Al-Thufi” dapat dibatasi pada beberapa hal, yaitu:


(20)

1. Konsep maslahat mursalah menurut Imam Malik dan Imam Najamuddîn al-Thufi.

2. Aplikasi maslahat mursalah Imam Malik dan Imam al-Thufi pada salah satu ijtihad tathbiqi, yaitu pengangkatan presiden wanita.

3. Analisis pemikiran Imam Malik dan Imam al-Thufi dalam aplikasi maslahat mursalahdalam pemilihan dan pengangkatan presiden wanita.

Setelah mempertimbangkan kemampuan penulis dan waktu yang terbatas, sangat sulit apabila mengesplorasi semua masalah diatas. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk memilih permasalahan mana yang menjadi fokus penulisan skripsi ini. Lebih jelasnya dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep maslahat mursalah dalam istinbat hukum Islam menurut Imam Al-Thufi dan Imam Malik ?

2. Bagaimana kedudukan maslahat mursalah menurut Imam Najamuddin al-Thufi dan Imam Malik ?

3. Bagaimana aplikasi maslahat mursalah menurut kedua Imam tersebut dalam pemilihan dan pengangkatan presiden wanita?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengkaji konsep pemikiran Imam Najamuddin al-Thufi dan Imam Malik tentang kedudukanmaslahat mursalahsebagai metode istinbath hukum Islam.

2. Mengesplorasi faktor-faktor yang melatar belakangi konsep maslahat mursalah


(21)

3. Meneliti pengaruh konsep maslahat mursalah dalam penerapan hukum Islam (Ijtihad Al-Tathbiqi)

Manfaat khusus dari penulisan skripsi ini adalah untuk memperkaya

khazanah keilmuan di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum. Selain itu, manfaatnya secara umum adalah sebagai kontribusi pemikiran dalam khazanahilmu kajian Islam.

D. Metode Penelitian

Metode penulisan skripsi ini murni berdasarkan kajian penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu sebuah kajian yang mencari data-data yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian ini di dalam dokumen atau bahan pustaka, kegiatan ini dapat pula disebut sebagai studi dokumen atauliterature study.25 Penulis berusaha mengumpulkan data sebanyak mungkin baik yang bersumber dari buku maupun internet untuk kemudian dijadikan sebagai objek pembahasan.

Langkah selanjutnya adalah penulis berusaha untuk menganalisa masalah-masalah yang ada dengan menggunakan metode deskriptif analitik. Diawali dengan menguraikan konsep maslahat maslahat mursalah sebagai metodologi istinbath hukum Islam secara umum, biografi Imam Malik dan Imam Najamuddîn al-Thufi, konsep maslahat mursalah menurut Imam Malik dan Imam Najamuddîn al-Thufi. Kemudian penulis berusaha menganalisa pengaruh yang muncul dari konsep

25


(22)

maslahat mursalah keduanya dalam ijtihad tathbiqi di zaman modern. Diantaranya adalah pemilihan serta pengangkatan presiden wanita.

Selain itu, perlu dikemukakan pula bahwa yang menjadi pedoman dalam penulisan skripsi ini adalah buku"Pedoman Penulisan Skripsi" yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cetakan tahun 2007. E. Review Kajian Terdahulu

Dalam kajian ini penulis, mengangkat maslahat mursalah yang diusung oleh Imam Malik bin Anas dan yang kemudian dimodifikasi oleh Imam Al-Thufi. Di antara kedua maslahat ini saling kontradiktif dalam penerapannya pada ranah legislasi hukum. Sehingga penulis terpanggil untuk mencari letak persamaan dan perbedaan di antara kedua pandangan tentang maslahat tersebut. Serta aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti pemilihan dan pengangkatan presiden wanita yang nota bene, diharamkan oleh para ulama.

Sebenarnya tulisan mengenai maslahat mursalah ini telah banyak dibahas oleh peneliti atau mahasiswa. Di antaranya adalah tesis dari Wahidul Kahhar (UIN Syarif Hidayatullah, 2003), dengan judul “Efektifitas Maslahat Mursalah dalam

Penetapan Hukum Syara’”, dan tesis Iim Fahimah (UIN Syarif Hidayatullah, 2003) dengan judul“Konsep Maslahat Mursalah Imam Malik”. Kemudian terdapattulisan yang dimuat di jurnal hukum “Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi Dinamisasi Hukum Islam” oleh M. Zaenal Abidin (Syariah: Journal Ilmu Hukum, IAIN Antasari, 2005).


(23)

Selain itu penulis juga mereview kajian tentang presiden wanita, yaitu tesis Afrizal Moetwa (UIN Syarif Hidayatullah, 2004) dengan judul “Presiden Perempuan dalam Perspektif Fiqh Siyasah; Studi Terhadap Megawati Soekarno Putri Menjadi Presiden Republik Indonesia.. Adapun karya ilmiah berupa skripsi, yang membahas maslahah mursalah atau presiden wanita, sampai saat ini penulis belum menemukannya di wilayah Universitas Islam Negeri. Dan dari beberapa judul karya ilmiah tersebut, belum ada yang menjelajahi tema yang penulis angkat dalam skripsi ini. Yaitu Aplikasi maslahat mursalah Imam Malik dan Imam al-Thufi dalam menyikapi pengangkatan presiden wanita.

Penulis menyadari bahwa Imam al-Thufi dan Imam Malik belum ataupun tidak pernah membahas secara khusus tentang presiden wanita. Akan tetapi dari konsep maslahat yang dia wariskan ke generasi di bawahnya, pemikirannya kini menjadi acuan untuk menjawab dinamisasi hukum Islam.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini kurang lebih penulis uraikan sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan

Bab satu ini berisi tentang pokok pikiran penulis yang akan dirumuskan dan dicari pemecahannya. Selain itu, penulis juga berusaha untuk menjelaskan langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk memecahkan semua permasalahan tersebut serta faktor-faktor apa saja yang mendukung penulisan skripsi ini. Semua itu terdapat di dalam Latar Belakang Masalah, Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat


(24)

Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Review Kajian Terdahulu serta Sistematika Penulisan.

Bab II: Pandangan Umum Konsep Maslahat Mursalah

Pada bab ini, penulis memaparkan secara umum pengertian linguistik dan terminologi dari maslahat mursalah. Kehujjahan dan perbedaan pendapat dalam memahamimaslahat mursalah. Serta syara-syarat keabsahannya. Bab III : Riwayat Hidup Imam Najamuddin Al-Thufi Dan Imam Malik

Bab ini memberikan ikhtisar hal ihwal biografi sang tokoh yang diteliti, yang meliputi tentang: latar belakang sosial dan intelektual, pendidikan, pengalaman, kegiatan, karir dan karya-karyanya. Dan juga konsep maslahah mursalahnya. Selain itu dipaparkan pula sisi persamaan dan perbedaan kehidupan kedua tokoh tersebut.

Bab IV : Aplikasi Maslahat Mursalah Terhadap Presiden Wanita Menurut Imam Malik Dan Imam Najamuddin Al-Thufi

Penulis menyajikan hal ihwal presiden wanita; pandangan politik Islam dan pandangan umum tentang presiden wanita. Kemudian Menganalisa pendapat Imam Najamuddin al-Thufi, dan Imam Malik tentang presiden wanita ditinjau dari maslahah mursalah. Selain itu disajikan pula sisi persamaan dan perbedaan kedua pendapat tersebut.

Bab V : Penutup

Berisi tentang kesimpulan penulisan skripsi ini dan beberapa saran dari penulis.


(25)

BAB II

PANDANGAN UMUM MASLAHAH MURSALAH

G. PengertianMaslahah Mursalah

1. DefinisiMaslahah Mursalahsecara etimologis

Secara etimologis term “Maslahah Mursalah” terdiri atas dua suku kata: yaitu masalahahdanmursalah. Menurut Louis Ma`luf kata “Maslahah” berasal dari akar kata salaha, yasluhusalahansuluhan - salahiyyah; artinya: Sesuatu yang mendorong kepada kebaikan atau kelayakan; atau bisa juga diartikan: Sesuatu yang mendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi kelompoknya.26 Ahmad Warson Munawwir, mengartikan kata maslahah sebagai faedah, kepentingan, kemanfaatan, kemaslahatan27. Dari sudut pandang ilmu sharaf (morfologi), kata “Maslahah” satu wazan (pola) dan makna dengan kata manfa’ah. Kedua kata ini (maslahah dan manfa’ah) telah diindonesikan menjadi “maslahat” dan “manfaat.”28

Dalam buku Kamus Besar Indonesia disebutkan bahwa maslahat artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah, dan guna. Sedangkan kata “kemaslahatan” berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan. Sementara kata “manfaat”, dalam buku tersebut, diartikan dengan: guna, faedah. Kata “manfaat” juga

26

Louis Ma`luf,Kamus Munjid, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 528.

27

Ahmad Warson Munawwir,Al-Munawwir: Kamus ArabIndonesia, Yogyakarta: Unit Pengadaan buku-buku Ilmiah Keagamaan, 1984), h. 844.

28


(26)

diartikan sebagai kebalikan atau lawan kata “mudharat” yang berarti rugi atau buruk.29

Katamaslahahadalah bentuk tunggal dari katamashalih; selain itu dikenal pula istilah istishlah yang berarti mencari maslahat, memandang maslahat atau baik, mendapatkan maslahat atau kebaikan, dan kebalikannya adalah al-istisfad atau memandang buruk atau rusak, mendapatkan keburukan atau kerusakan30. Maslahah sama akarnya dengan kata shalih yang berarti “baik” menurut agama. Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan kata shalih, kata shalih ini pada umumnya berarti kebaikan pada hakikatnya menguntungkan.31

Sedangkan kata “mursalah” merupakan bentuk isim maf`ul dari akar kata:

arsala - yursilu - irsal; artinya: `adam at-taqyid (tidak terikat); atau berarti: al-mutlaqah(bebas atau lepas).32

2. Definisimaslahat mursalahsecara terminologis

Secara terminologis, para ulama usul fiqh telah memberikan beberapa definisi dengan versi yang berbeda, antara lain:

a. DR. Muhammad Adib Salih:

29

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 634.

30

Ahmad Warson Munawwir,Al-Munawwir,h. 532.

31

Kuntowijoyo,Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, h. 100.

32


(27)

ا

ْﻟ

َﻤ

ْﺼ

َﻠ

َﺤ

ُﺔ

ْﻟا

ُﻤ

ْﺮ

َﺳ

َﻠ

ُﺔ

ِھ

َﻲ

ﱠﻟا

ِﺘ

ْﻲ

َﺗ

ْﺪ

ُﺧ

ُﻞ

ِﻓ

ْﻲ

َﺗ

َﺼ

ﱡﺮ

َﻓ

ِت

ﱠ ﺸﻟا

ِرﺎ

ِع

َو

َﻣ

َﻘ

ِ ﺻ

ِﺪ

ِه

َو

َ ﻟ

ْﻢ

َﯾ

ُﻘ

ْﻢ

َد

ِﻟ

ْﯿ

ٌﻞ

ِﻣ

َﻦ

ﱠﺸ

ﻟا

ْﺮ

ِع

َﻋ

َﻠ

ْﻋ

ا ﻰ

ِﺘ

َﺒ

ِرﺎ

َھ

َﺑ ﺎ

ُﺨ

ُﺼ

ْﻮ

ِﺻ

َﮭ

َأ ﺎ

ْو

ِﺑ

ِﺈ

ْﻟ

َﻐ

ِﺋﺂ

َﮭ

.

33

Maslahat mursalah adalah kemaslahatan yang termasuk ruang lingkup tindakan/kebijaksanaan dan tujuan Syari`; sementara tidak ditemukan dalil syara` secara khusus baik yang mendukungnya maupun yang menolaknya”. a. Muhammad Said Ramadan al-Buti:

Maslahat mursalah itu adalah setiap manfaat yang termasuk di dalam ruang lingkup tindakan/kebijaksanaan Syari` tanpa ada dalil yang mendukungnya atau menolaknya”.34

b. Al-Syatibi (salah seorang pengikut Madzhab Maliki)berpendapat:

Maslahat Mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ditunjang oleh satu nash tertentu; akan tetapi, kemaslahatan tersebut sesuai dengan jenis tindakan syara`”.

c. Al-Khawarizmi memberikan pengetian:

ِﻦ

َ ﻋ ِﺪِﺳ

ﺎَﻔ َﻤْﻟا ِﻊْﻓَﺪِﺑ ِعِر

ﺎﱠﺸ

ﻟا ِدْﻮُﺼ

ْ ﻘَﻣ ﻰَﻠ

َ ﻋ

ُﺔَﻈَﻓﺎ

َﺤُﻤْﻟَا َﻲ

ِ ھ ُﺔَﻠَﺳْﺮ

ُ ﻤْﻟا ُﺔَﺤَﻠْﺼ

َ ﻤْﻟا

ِﻖ

ْ ﻠ َ ﺨْ

ﻟا

.

35

Maslahat Mursalah adalah kemaslahatan (yang berusaha) untuk memelihara tujuan syara` dengan jalan menolak unsur kemafsadatan”.

d. Abdul Wahab Khallaf memberikan pengertian:

ُع

ِرﺎﱠﺸﻟ ا عَﺮْﺸ

َ ﯾ ْﻢَﻟ ُ ﺔَﺤَﻠْﺼ

َﻤْﻟا َﻲ

ِ ھ

ُﺔَﻠَﺳْ

ﺮُﻤْﻟا ُﺔَﺤَﻠْﺼ

َﻤْﻟا

ُﺣ

ْﻜ

ًﺎﻤ

ِﻟ

َﺘ

ْﺤ

ِﻘ

ْﯿ

ِﻘ

َ ﮭ

,

َو

َ ﻟ

ْﻢ

َ ﯾ

ُﺪ

ﱠل

َد

ِﻟ

ْﯿ

ٌﻞ

َﺷ

ْﺮ

ِﻋ

ﱞﻲ

َﻋ

َﻠ

ْﻋ

ا ﻰ

ِﺘ

َﺒ

ِرﺎ

َھ

َأ ﺎ

ْو

ِإ

ِﺋﺎَﻐْ ﻟ

َﮭ

.

36

Maslahat Mursalah adalahkemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syari’

dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan”.

33

Muhammad Adib Salih, Masadir at-Tasyri` al-Islami wa-Manahij al-Istimbath, Damsyid: Maktabah at-Ta`awujniyyah, 1967, h. 463.

34

Muhammad Said Ramadan al-Buti, Dhawabit al-Maslahat fi al-Syariat al-Islamiyyat, Damsyiq: 1967, h . 330.

35

Wahbah al-Zuhaili,Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), h. 36.

36


(28)

e. Muhammad Abu Zahrah

ا َﻲ

ِھ ُﺔَﻠ َﺳْﺮُ

ﻤْﻟا ُﺔَﺤ َﻠْﺼَﻤْﻟا

ْﻟ

َﻤ

ْﺼ

َﻠ

َﺤ

ُﺔ

ْﻟا

ُﻤ

َﻼ

ِﺋ

َﻤ

ُﺔ

ِﻟ

َﻤ

َﻘ

ِﺻﺎ

ِﺪ

ﱠﺸ

ﻟا

ِرﺎ

ِع

ِْﻹا

ْﺳ

َﻼ

ِﻣ

ﱢﻲ

َو

َﻻ

َﯾ

ْ ﺸ

َﮭ

ْﺪ

َﻟ

َﮭ

َأ ﺎ

ْﺻ

ٌﻞ

َﺧ

ٌصﺎ

ِﺎﺑ

ِْﻻ

ْﻋ

ِﺘ

َﺒ

ِرﺎ

َأ

ْو

ِْﻹا

ْﻟ

َﻐ

ِءﺎ

.

37

“Maslahah mursalah menurut Abu Zahrah, “Maslahat-maslahat yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan syariat Islam dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus, baik bersifat melegitimasi atau membatalkan maslahat tersebut”.

Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat ditemukan beberapa unsur yang terdapat dalam maslahat mursalah, yaitu:pertama: kemaslahatan tersebut berada di dalam ruang lingkup tindakan/kebijaksanaanAl-Syari`;kedua: kemaslahatan tersebut berada di dalam ruang lingkup maqasid al-syari`ah; ketiga: kemaslahatan tersebut tidak ditunjang oleh dalil atau syahid; baik yang mendukungnya maupun yang menolaknya; keempat: kemaslahatan tersebut ditempuh dengan maksud untuk menghilangkan berbagai kemafsadatan.

Pada perkembangan selanjutnya penggunaan term maslahat mursalahtelah terjadi perbedaan di kalangan para ulama ushul fiqh, untuk term maslahat mursalah

sendiri dikenalkan oleh golongan Malikiyah. Selain itu Sebagian ulama ada yang menyebutkannya dengan istilah: al-istislah oleh Imâm Ghazali, al-munasib al-mursal al-mula’im oleh golongan Mutakallimin al-Ushuliyyin, al-istidlal oleh Imâm

37

Muhammad Abu Zahrah,Ushul Fiqh,(Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.), h. 279. Lihat pula: Wahbah al-Zuhaili,Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), h. 36.


(29)

Haramain dan Ibn Samani, al-istidlal al-mursal sebagian ulama ushul; sedang Imâm Al-Tûfi menyebutnya dengan nama“Maslahah Al-Tûfi”.38

Berdasarkan definisi secara etimologis dan terminologis di atas, maka telah diketahui bahwa maslahat mursalah atau istislah merupakan metode penetapan hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis. Sehubungan dengan metode ini dalam ilmu ushul fiqh dikenal ada tiga macam

maslahah, yaitumaslahah mu’tabarah,maslahah mulgah, danmaslahat mursalah.39

Maslahah pertama adalah maslahah yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Sedangkan maslahah kedua adalah maslahah

yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber tersebut Di antara kedua maslahah tersebut, ada yang disebut maslahah mursalah, yakni

maslahah yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut, dan tidak pula bertentangan dengan keduanya.40

H. Kehujjahan Maslahah Mursalah

Menurut Yusuf Qaradhawi, jumhur ulama fiqih menganggap maslahat adalah dalil syari’i yang menjadi pondasi utama dalam legislasi hukum Islam,

38

Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, tth.), h. 85. Lihat pula: Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz; Antara Konsep dan Implementasi

(Surabaya: Khalista, 2007), h. 288.

39

Amir Mu’allim dan Yusdani,Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam(Yogyakarta: UII Press Indonesia, 1999), h. 72.

40


(30)

pemberian fatwa, dan juga dalam ruang lingkup peradilan41. Menurutnya para sahabat Rasulullah saw.-lah yang banyak memahami dan menggunakan maslahat sebagai patokan dan sandaran utama legislasi hukum Islam42.

Selain itu, para ulama pun sepakat bahwa tidak ada peluang bagi qiyas,

istihsan, istishlah dalam masalah ibadah, karena ibadat adalah dikategorikan hukum ta’abbudi43, sehingga akal tidak memiliki peluang untuk menentukan maslahat yang rinci terhadap setiap hukumnya. Sama halnya dengan hukum ibadat, ialah semua hukum had, hukum kafarat, batas prosentase warisan, iddah bulanan setelah meninggal suami atau karena thalaq dan semua hukum yang ditetapkan batas tertentu, karena Syari’ sendiri mengetahui maslahat apa yang terdapat pembatasan itu.44

Adapun kehujjahan maslahat mursalah terdapat tiga pendapat para ulama yang berbeda.

1. Mayoritas ulama berpendapat maslahah mursalah tidak bisa diambil sebagai hujjah secara mutlak. Ibnu Hajib mengatakan ini adalah pendapat terpilih. Imam Amudi berkata, pendapat ini benar, sesuai dengan kesepakatan para ulama fiqh.45

41

Yusuf Qaradhawi, Madkhal li Dirasah al-Syari’ah al-Islamiah (Kairo: Maktabah Wahbah, tth.) h. 158.

42

Ibid., h. 158.

43

Ta’abbudidiartikan sebagai hukum-hukum dalam ibadah kepada Allah; seperti shalat, puasa,dsb. yang mana rasio kita tidak mampu untuk memahami makna dibalik amaliah ritual tersebut, karean hanya Allah yang berhak mengetahuinya. Dengan demikian, qiyas serta maslahah mursalah dalam penentuan ibadahmahdahtersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Beda halnya dengan maslahah mu’amalah; dimana masih bisa ada kemungkinan untuk diperdebatkan. Wahbah al-Zuhaili,

Ushul al-Fiqh ..., h. 39.

44

Ibid., h. 158.

45


(31)

2. Imam Malik berpendapat, maslahat mursalah bisa dijadikan hujjah secara mutlak. Pendapat ini didukung oleh Imam Haramain. Yang dimaksud Imam Malik adalah maslahah yang manfaatnya lebih banyak dari pada bahayanya.46 Sumbernya dari nash (al-Qur’an dan al-Sunnah) atau dari petunjuk umum nash yang biasa dikatakan maqasid syari’ah (tujuan hukum Islam), seperti firman Allah:

...

َﻣَو

َﻋ َ ﻞَ ﻌَﺟﺎ

ٍج

َ ﺮ َﺣ

ْ ﻦ

ِﻣ ِﻦﯾﱢﺪﻟ ا ﻲِﻓ ْﻢُﻜ ْﯿَﻠ

)...

ّﺞ

ﺤﻟا

/

22

:

78

(

Artinya: “Allah tidak menjadikan padamu dalam masalah agama suatu kesulitan” (Q.S. Al-Hajj/22: 78)

Nabi bersabda:

ﮫﻨﻋ ﷲ ﻲﺿر يرﺪﺤﻟا نﺎﻨﺳ ﻦﺑ ﺪﻌﺳ ﺪﯿﻌﺳ ﻲﺑأ ﻦﻋ

:

ﻰﻠﺻ ﷲ لﻮﺳر نأ

لﺎﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ

:

َﻻ

َﺮَﺿ

َر

اَ ﺮِﺿ

َﻻَو َ ر

)

ﻦﺴﺣ ﺚﯾﺪﺣ

,

ﮫﺟﺎﻣ ﻦﺑا هاور

اﺪﻨﺴﻣ ﺎﻤھﺮﯿﻏو ﻲﻨﻄﻗراﺪﻟاو

.

ﻼﺳﺮﻣ ﺄطﻮﻤﻟا ﻲﻓ ﻚﻟﺎﻣ هاورو

:

ﻦ ﺑ ﺮ ﻤ ﻋ ﻦ ﻋ

ﮫﯿﺑأ ﻦﻋ ﻰﯿﺤﯾ

,

ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا ﻦﻋ

,

ﺪﯿﻌﺳ ﺎﺑأ ﻂﻘﺳﺄﻓ

,

قﺮط ﮫﻟو

ﺎﻀﻌﺑﺎﮭﻀﻌﺑ ىﻮﻘﯾ

(

47

Artinya: “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan”.

Imam Malik menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil karena beberapa argumen sebagai berikut:

Pertama, bahwa para sahabat banyak menggunakan maslahah mursalah di dalam mengambil kebijakan dan istinbath hukum48, misalnya:

a. Pembukuan al-Qur’an menjadi mushaf oleh para sahabat, padahal Nabi tidak memerintahkan kepada mereka untuk membukukannya. Inilah tindakan para

46

Ibid.,288.

47

HR. Ibnu Majah

48


(32)

sahabat yang dikategorikan maslahah yang bertujuan untuk menjaga dan melestarikan al-Qur’an dari kepunahan. Disisi lain banyaknya para huffadz

(penghafal al-Qur’an) yanggugur dalam berbagai peperangan;

b. Khulafa al-Rasyidin yang menerapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang;

c. Umar Ibn Khattab r.a. yang memerintahkan para pejabat agar memisakan harta kekayaan pribadinya dari kekayaan yang diperoleh karena jabatannya;

d. Umar Ibn Khattab yang sengaja menumpahkan susu yang dicampur dengan air guna memberi pelajaran kepada orang-orang yang mencampur susu dengan air; e. Dan para sahabat yang menetapkan hukuman mati terhadap semua anggota

kelompok atau jama’ah yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang jika mereka melakukan pembunuhan itu secara bersama-sama.49

Kedua, Perwujudan kemaslahatan itu sesuai dengan tujuan syari’at. Mengambil maslahat berarti merealisasikan tujuan syari’at. Mengesampingkan maslahat berarti mengesampingkan tujuan syariat.50

Ketiga, Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat selama berada di dalam konteks maslahat syar’iyyah maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan, padahal Allah swt.

49

Ibid.,h. 281.

50


(33)

tidak menghendaki adanya kesulitan itu.51 Sebagaimana difirmankan Allah dalam surat Al-Baqarah 185:

...

َﺮ

ْﺴُﻌْﻟا ُﻢُ ﻜِ

ﺑ ُﺪﯾِﺮُﯾ َﻻ

َ و

َﺮْﺴُﯿْﻟا ُﻢُﻜِﺑ ُﷲ

ُﺪﯾِ ﺮ

ُﯾ

...

)

ةﺮﻘﺒﻟا

/

2

:

185

(

Artinya: ”... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...”(Q.S. Al-Baqarah/2: 185)

dan dalam surat al-Hajj/22: 76.

ُر

ﻮُﻣُﻷ

ْا ُ ﻊَ

ﺟْ ﺮُ

ﺗ ِﷲ

َ ﻟِإَ و ْ

ﻢ ُ ﮭَﻔْﻠَﺧﺎَ ﻣَو ْ ﻢِﮭﯾِﺪْﯾَأ َﻦْﯿَﺑﺎَﻣ ُﻢَﻠْﻌَ

)

ﺞﺤﻟا

/

22

:

76

(

Artinya: “Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka. dan hanya kepada Allah dikembalikan semua urusan .”(Q.S.Al-Hajj/22: 76).

Meskipun Imam Malik merupakan tokoh dan pelopor maslahah mursalah namun di dalam penerapannya, pendiri madzhab Maliki ini menerapkan syarat-syarat adanya persesuaian antara maslahah yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at. Maslahah ini harus masuk akal dan memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional. Penggunaan dalil maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang biasa terjadi. Dalam arti, jika maslahat itu tidak diambil manusia akan mengalami kesulitan.52

Para ulama yang tidak menerima maslahat mursalah sebagian dari syara’ juga mengemukakan alasan maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah kepada salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan hawa nafsu yang cenderung mencari yang enak-enak saja, padahal prinsip Islam tidak demikian. Jika maslahat dapat diterima (mu’tabarah) ia termasuk ke dalam kategori qias dalam arti

51

Ibid.,h. 282.

52


(34)

luas. Tetapi Jika tidak mu’tabarah, ia tidak termasuk qias dan tidak bisa dibenarkan suatu anggapan yang menyatakan bahwa pada suatu masalah terhadap maslahah mu’tabarah, sementara maslahat itu tidak termasuk di dalam nash atau qias. Mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat kepada suatu penyimpangan dari suatu hukum syari’at dan tindakan kelaliman terhadap rakyat dengan dalil maslahat, sebagaimana dilakukan oleh raja-raja yang lalim. Jika maslahat dijadikan sebagai sumber unsur pokok yang berdiri sendiri, niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan negara, bahkan perbedaan pendapat perorangan di dalam suatu perkara.53

Beda halnya dengan Husein Hamid Hasan, ia menyamakan maslahah mursalah ini dengan qiyas Imam Syafi’i, ia menyatakan bahwa sesungguhnya

maslahat mursalah masuk ke dalam pengertian qias menurut pandangan Imam al-Syafi’i r.a.54

Alasan yang dikemukakan Husein Hamid Hasan adalah ia memasukkan

maslahah mursalah atau maslahah mula’imah ke dalam qias. Sebab keduanya memiliki persamaan unsur-unsur. Menurutnya, syarat qias ada 3, (1) adanya peristiwa yang tidak ada nash hukumnya yang jelas; (2) adanya hukum yang dinashkan oleh syar’i yang mungkin dihubungkan dengan peristiwa itu melalui pengertian ma’nawi; (3) peristiwa yang tidak ada nash hukumnya itu terkandung dalam kejadian yang

mansus secara implisit. Ketiga syaratqias ini, menurutnya, sejalan dengan maslahah

53

Ibid.,h. 431-433.

54

Hassan, Husein Hamid, Dr., Nazâriyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Cairo: Al-Mutanabbi, 1981.


(35)

mursalah atau maslahah mula’imah yaitu: (1) peristiwa yang ingin diketahui hukumnya melalui maslahah adalah peristiwa yang tidak ada nashnya yang jelas, seperti jaminan atau ganti rugi para pekerja apabila merusak barang yang dikerjakannya; (2) ada hukum-hukum syari’at yang dinashkan oleh syari’ atas suatu peristiwa yang maknanya dapat ditemukan oleh para mujtahid; (3) peristiwa yang tidak ada nash tersebut memiliki makna yang sama dengan makna yang terkandung di dalam peristiwa yang ada nashnya.55

I. Syarat-Syarat KeabsahanMaslahat Mursalah

Dalam menggunakan maslahat mursalah sebagai hujjah syar’iyyah, para ulama bersikap sangat berhati-hati, sebab ditakutkan akan tergelincir kepada pembentukan syari’at baru, berdasarkan nafsu dan kepentingan terselubung. Berdasarkan hal itu, seperti yang ditulis oleh Abd Wahab Khallaf, dalam bukunya

ushul al-fiqh, ulama menyusun syarat-syarat kebolehan memakai maslahat mursalah.56

Syarat-syaratnya ada tiga macam, yaitu:57

1. Maslahah harus benar-benar nyata dan bukan maslahah yang mengada-ngada. Selain itu maslahah yang dihasilkan, harus sesuai dengan rasio sehingga memudahkan seseorang menerimanya58. Dengan kata lain pengambilan maslahah tersebut bertujuan untuk mengambil manfaat (jalbu manfa’ah) dan mencegah

55

Ibid.,h. 324-325.

56

Abd al-Wahab Khallaf,Ilm Ushul Al-Fiqh, Quwait: Dar al-Qalam, tth., h. 86.

57

Ibid.,h. 86.

58

Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), v. 2., h. 77.


(36)

madharat (daf’u madharrah). Jangan sampai maslahat tersebut hanya memperhatikanjalbu manfa’ah saja tanpa diimbangi dengan aspekmadharatnya. Misalnya menyerahkan hak thalaq kepada hakim yang seharusnya hak suami.59 2. Maslahat itu diciptakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan

perseorangan. Dalam arti kata, maslahat yang dijadikan penyebab ketetapan hukum haruslah mengedepankan aspek sosial dan kepentingan orang banyak bukanlah kepentingan segelintir orang. Sebab hukum syari’ah itu diletakkan untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadi60. Misalnya untuk kepentingan keluarga, pemimpin, saudara, dan lain-lain.

3. Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak berlawanan dengan tata hukum atau dasar yang telah ditetapkan nash dan ijma’. Wahbah Zuhaili menambahkan juga, agar maslahah tersebut sesuai dengan maqashid syari’ah, dan tidak berlawanan dengan nash atau dalil yang qat’i.61 Maka menyamakan ratakan bagian anak laki-laki dan perempuan dalam warisan, adalah bentuk maslahah yang bertentangan dengan syari’ah, dan tidaklah sah pengamalannya.

59

Ibid.,h. 77. Lihat pula Abdul Wahab Khallaf,Ushul al-Fiqh, h. 86.

60

Ibid.,h. 78.

61


(37)

BAB III

RIWAYAT HIDUP IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI SERTA KONSEP MASLAHAT MURSALAHNYA

A. Biografi Imam Malik, r.a. 1. Kelahiran Imam Malik

Imam Malik bin Anas salah satu Imam madzhab fiqh yang empat yaitu madzhab Maliki, dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Dia lahir pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Mulk tepatnya tiga belas tahun sesudah kelahiran Imam Abu Hanifah. dan meninggal pada masa kekuasaan Harun Al-Rasyid (179 H)62. Dia berasal dari Kabilah Yamniah.63 Kedua orang tua beliau adalah keturunan Arab, bapaknya bernama Anas bin Malik bin Abi ‘Amir al-Usbukhi dari Kabilah Yamniah

sedangkan ibunya bernama al-‘Aliyah binti Sariik al-Azdiyah dari keturunan al-Azad.64

Imam Malik hidup pada periode setelah tabi’in dan dikenal sebagai ahli dalam bidang hadis dan fiqih. Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah pergi keluar Madinah. Imam Malik sempat juga merasakan masa Dinasti Umayyah, tetapi lebih

62

Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanan

dalam Islam(Bandung: Mizan, 2001) h. 103.

63

Suparman Usman, Hukum Islam; Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam

dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001) h. 98. Lihat pula Mahmud

Saltuth,Al-Islam; Aqidah wa Syari’ah, (Beirut, Dar al-Qalam, 1966) h. 390.

64


(38)

lama hidup di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Pada saat itu kekuasaan Islam telah mencapai Cina dan Eropa, khususnya Spanyol.65

2. Perjalanan Intelektual

Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majelis-majelis ilmu pengetahuan, sehingga sejak itu pula beliau telah hafal al-Qur’an. Pada mulanya dia belajar fiqih kepada Rabi’ah ibn Abdurrahaman, seorang ulama yang sangat terkenal saat itu. Beliau juga mempelajari ilmu fiqh dari para sahabat66. Selain itu, guru-guru Imam Malik adalah ‘Abdurrahman ibn Hurmûz, Nafi’ Maula ibn ‘Umar dan Ibn Syihab Al-Zuhri.67

Beliau dikenal sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, yang didahuluinya dengan meneliti hadist-hadist Rasulullah SAW., dan bermusyawarah dengan ulama lain. Diriwayatkan, bahwa beliau mempunyai tujuh puluh orang yang biasa diajak bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa.68

Imam Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah, beliau mendengar tiga puluh satu hadis dari Ibn Syihab tanpa menuliskannya. Ketika kepadanya diminta mengulangi seluruh hadis tersebut, tak satupun dilupakannya.69

Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu hadis dan fiqih. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang ilmu itu. Sebagai pengakuan atas kehebatan Sang Imam, Imam Syafi’i pernah

65

Syafiq Hasyim,Hal-hal Yang Tak Terpikirkan, h. 103.

66

Suparman Usman,Hukum Islam,h. 98.

67

Syafiq Hasyim,Hal-hal Yang Tak Terpikirkan,h. 103.

68

Ibid.,h. 104.

69


(39)

melontarkan kata-kata, “Malik adalah guruku, darinya aku menimba ilmu, dia adalah hujjah antara aku dan Allah, dan tidak ada guru yang lebih banyak memberikan ilmu kepadaku dibandingkan dengan Malik. Di tengah para ulama, Malik adalah bintang yang cemerlang”.70

Dengan pemikirannya yang didasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi saw., ijma’ sahabat, amalan-amalan yang dilakukan penduduk Madinah, dan prinsip menjaga kemaslahatan, Imam Malik banyak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang berbagai masalah.71

Murid-muridnya tersebar di pelbagai wilayah Mesir, Afrika, dan Andalusia. Murid-murid yang di Mesir adalah Abu Abdillah ibn Rahman Al-Qasim (w. 191 H), yang belajar kepada Imam Malik selama 20 tahun dan juga belajar fiqh pada Al-Laits ibn Sa’ad. Kemudian, Abu Muhammad Ibn ‘Abdullah ibn Wahab ibn Muslim (120-197 H), Asyhab ibn Abd Al-Aziz Al-Qasi (150-203 H), Abu Muhammad Abdullah ibn Abd Hakim (w. 214 H), Asybagh ibn Faraj, dan Muhammad ibn Ibrahim Al-Iskandari ibn Ziyad (w. 269).72

Imam Malik telah menulis kitab Al-Muwaththa’, yang merupakan kitab hadis dan fiqh. Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Madzhab Maliki,

70

Ibid.h. 104.

71

Abdurrahman al-Syarqawi, A’immah al-Fiqh al-Tis’ah, terj. Al-Hamid al-Husaini, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000). h. 150

72


(40)

tersebar luar, dan dianut di banyak bagian penjuru dunia, seperti di Maroko, al-Jazair, Mesir, Tunisia, Sudan, Kuwait, Qatar dan Bahrain.73

3. Sumber-Sumber Dalil Ijtihad Imam Malik

Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam madzhab Maliki adalah: a. Al-Qur’an;

b. Sunnah;

c. Ijma Ulama Madinah d. Fatwa Sahabat; e. Qiyas;

f. Maslahah Mursalah74

4. Hujjah Imam Malik Dalam Penggunaan Maslahah Mursalah

Dalam menyikapi maslahah mursalah sebagai metode pengambilan hukum (istinbath al-ahkam) para ulama berbeda-beda pandangan, sehingga terpecah menjadi tiga kelompok, yaitu:

Kelompok pertama, berpegang teguh kepada ketentuan nash. Golongan ini memahami nash hanya dari segi lahiriahnya semata (tekstual) dan tidak berani memperkirakan adanya maslahat di balik suatu nash. Mereka yang dikenal dengan julukan madzhabdzahiriyahini juga tidak mau menerima dalil qiyas. Oleh karena itu,

73

Abdurrahman al-Syarqawi,A’immah al-Fiqh al-Tis’ah,h. 154.

74


(41)

mereka menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada maslahat kecuali yang telah jelas disebut oleh nash, dan tidak perlu mencari-cari sesuatu kemaslahatan di luar nash.75

Kelompok kedua, mencari kemaslahatan dari nash yang diketahui tujuan dan illatnya. Karenanya, mereka mengqiyaskan setiap kasus yang jelas mengandung suatu maslahat, dengan kasus lain yang jelas ada ketetapan nashnya dalam maslahat tersebut. Meskipun demikian, mereka tidak sekali-kali mengklaim sesuatu maslahat kecuali apabila didukung oleh bukti dari dalil khas. Dengan demikian tidak terjadi campur aduk antara sesuatu yang dianggap maslahat, karena dorongan hawa nafsu, dengan maslahat yang hakiki (yang sebenarnya). Dengan demikian, tidak ada maslahat yang dipandang mu’tabarah (dapat diterima), kecuali apabila dikuatkan oleh nash khas atau sumber hukum pokok yang khas. Pada umumnya yang dijadikan ukuran untuk menyatakan suatu maslahat ialah‘illat qiyas.76

Kelompok ketiga, menetapkan setiap maslahah harus ditempatkan pada kerangka kemaslahatan yang ditetapkan oleh syariat Islam, yaitu dalam rangka terjaminnya keselamatan jiwa, keyakinan agama, keturunan, akal, dan harta benda. Dalam hal ini tidak didukung oleh sumber dalil yang khusus sehingga bisa disebut qiyas, tetapi dia dapat menjadi dalil yang mandiri, yang dinamakan maslahah mursalah.77

Sementara itu, Imam Malik menjadikan maslahat mursalah sebagai salah sumber dalil dengan alasan yang cukup rasional, yaitu:

75

Muhammad Abu Zahrah,Ushul Fiqh,(Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.), h. 279.

76

Ibid.,h. 279.

77


(42)

Pertama, Realitas obyektif membuktikan penggunaan paradigma pemikiran maslahah mursalah terhadap persoalan yang terjadi, jauh sebelumnya, para sahabat Nabi telah banyak menggunakan maslahat mursalah di dalam mengambil kebijakan danistinbathhukum, di antaranya sebagai berikut:

a. Pembukuan al-Qur’an menjadi mushaf. Ketika itu sahabat Umar r.a. menggagas pembukuan al-Qur’an menjadi mushaf dan kemudian mendapat persetujuan dari Khalifah Abu Bakar r.a.. Persetujuan Abu Bakar r.a. tersebut merupakan ijtihad yang berdasarkan pendekatan maslahah mursalah, dengan pertimbangan akan hilangnya ayat al-Qur’an.78 Ijtihad ini sebelumnya tidak pernah dilakukan Rasulullah saw. namun ijtihad ini merupakan realisasi dari firman Allah:

َﺮ

ْﻛ ﱢ ﺬﻟ

ا ﺎَﻨْﻟﱠﺰَﻧ ُﻦْﺤ

َ ﻧ ﺎﱠﻧِإ

َن

ﻮُ ﻈ

ِ ﻓﺎَﺤَﻟ ُﮫَﻟ ﺎﱠ ﻧِإَو

)

ﺮﺠﺤﻟا

/

15

:

٩

(

Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Q.S. al-Hijr/15: 9).

b. Umar Ibn Khattab pernah membagi atau memisahkan harta para pejabat atau penguasa dengan wilayah kekuasaannya. Karena ada dugaan tercampurnya harta pribadi dengan harta umum, dan juga dengan hartanya yang dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Menurutnya hal ini dilakukan untuk kebaikan bagi para penguasa dan mencegah penumpukan harta oleh penguasa. Tapi sebenarnya yang terbaik adalah harus ada pemaparan harta pribadi agar tidak terjadi kezaliman antara penguasa dan rakyat79.

78

Al-Syatibi,al-I’tisham, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th), h. 115. Lihat pula Abu Zahrah,Ushul al-Fiqh,h. 281

79


(43)

c. Khulafa al-Rasyidin memutuskan adanya (bolehnya) tadhmin al-shanai’ (menanggung ganti rugi) tentang dalil yang mendasarkan amanah, tetapi seandainya tidak ada jaminan mereka pasti meremehkan dan tidak memberikan hak sebagaimana mestinya, dimana harta orang banyak berada dalam kekuasaan mereka. Ali ibn Abi Thalib menerangkan bahwa asas tadmin adalah maslahah. Karena hanya itu yang terbaik, jadi setelah tadhmin al-shana’iditetapkan Ali ibn Abi Thalib, maka bagi para pembuat barang memiliki kewajiban untuk mengganti jika terjadi kerusakan atau kekeliruan pada barang yang dipesan.80

d. Umar Ibn Khattab yang sengaja menumpahkan susu yang dicampur dengan air guna memberi pelajaran dan pendidikan kepada para penipu berselubung penjual susu yang mencampur susu dengan air. Langkah ini merupakan pendekatan maslahah mursalah sebagai upaya preventif dari terjadinya penipuan.81

e. Para sahabat yang menetapkan hukuman mati terhadap semua anggota kelompok atau jama’ah yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang jika mereka melakukan pembunuhan itu secara bersama-sama. Karena menurut tinjauan maslahah saat itu menuntuk demikian. Alasannya, orang yang dibunuh itu ma’sum al-dam (darah yang terjaga).82 Selain itu, menurut penulis apabila sekelompok orang yang membunuh itu tidak dikenakan qishas maka dikhawatirkan bagi mereka yang ingin membunuh orang lain, agar terhindar dari qishas, maka mereka melakukannya secara berjama’ah.

80

Al-Syatibi,al-I’tisham.,h. 119.

81

Ibid.,h. 120.

82


(44)

Kedua, paradigma maslahah seharusnya memiliki relevansi dengan tujuan syara’, dengan asumsi, menggunakan maslahah sama dengan mengaplikasikan tujuan syari’i (maqashid syari’ah), sebaliknya membiarkannya berarti membuangmaqashid

syari’ah. Oleh karena itu, menurut Imam Malik mengambil maslahah sebagai sumber hukum hukumnya wajib. Oleh karena itu, adalah wajib menggunakan dalil maslahah atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber hukum ini tidak keluar dari ushul atau sumber-sumber pokok, bahkan terjadi sinkronisasi antara maslahah danmaqashid syari’ah.83

Ketiga, Kontroversi maslahah sebagai sumber hukum kondisional, akan berimplikasi pada kemandulan ushul al-syari’ah dan prinsip dasar hukum Islam yang sudah disepakati bersama (ijma’), sehingga mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan84, padahal Allah swt. tidak menghendaki adanya kesulitan itu sebagaimana dikemukakan Allah dalam surat Al-Baqarah 185:

...

َﺮ

ْﺴُﻌْﻟا ُﻢُ ﻜِ

ﺑ ُﺪﯾِﺮُﯾ َﻻ

َ و

َﺮْﺴُﯿْﻟا ُﻢُﻜِﺑ ُﷲ

ُﺪﯾِ ﺮ

ُﯾ

...

)

ةﺮﻘﺒﻟا

/

2

:

185

(

Artinya: ”...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” (Q.S. al-Baqarah/2: 185).

dan dalam surat al-Hajj: 76.

َ◌

َأ َﻦْﯿَﺑﺎ َﻣ ُﻢَﻠْﻌ

ُر

ﻮُﻣُﻷ

ْا ُ ﻊَ

ﺟْ ﺮُ

ﺗ ِﷲ

َ ﻟِإَ و ْ

ﻢ ُ ﮭَﻔْﻠَﺧﺎَ ﻣَو ْ ﻢِﮭﯾِﺪْﯾ

)

ﺞﺤﻟا

/

22

:

76

(

Artinya: “Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka. dan hanya kepada Allah dikembalikan semua urusan”. (Q.S. al-Hajj/22: 76).

83

Abu Zahrah,Ushul Fiqh, h. 182.

84


(45)

Menurut penulis, dengan adanya justifikasi dari ayat-ayat diatas setidaknya semakin mengukuhkan posisi maslahah sebagai salah satu sumber penggalian hukum, yang menuntut pengkajian lebih kritis atas penerapannya di bidang hukum. Hal itu disebabkan perkembangan persoalan kekinian di sektor sosial kemasyarakatan selalu variatif dan dinamis, sehingga dibutuhkan jawaban hukum yang sesuai pula dengan kasus hukumnya.

5. Kriteria Maslahah Mursalah Imam Malik

Menurut Imam Malik, maslahah mursalah merupakan dasar istinbath yang berdiri sendiri. Menurutnya ada beberapa syarat untuk dapat dikategorikan sebagai

maslahat mursalahsebagai berikut.

Pertama, maslahah tersebut bersifat reasonable (ma’qul) dan relevan (munasib) dengan kasus hukum yang ditetapkan.85

Kedua,maslahah tersebut dijadikan dasar untuk memelihara sesuatu yang dharuri dan menghilangkan kesulitan (raf’ul haraj), dengan cara menghilangkan

masyaqatdanmadarrat.86

Ketiga, maslahah tersebut harus sesuai dengan maksud disyari’atkan hukum (maqasid al-syari’ah), dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qath’i.87

Dari syarat-syarat konsepmaslahah murslahahImam Malik di atas, penulis memahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode maslahah mursalah dan

85

Al-Syatibi,al-I’tisham,h. 129.

86

Ibid.,h. 133.

87


(46)

maqasid syari’ah. Sehingga untuk menggunakan metode maslahah mursalah ini, seorang ahli hukum Islam harus memperhatikan nilai-nilaimaqasid syari’ah.

Selain menentukan syarat-syarat suatu maslahah mursalah dapat dijadikan sumber, Imam Malik juga memberikan prinsip-prinsip universal dalam berijtihad dengan maslahat mursalah. Husain Hamid Hasan, sebagaimana dikutip Wahbah al-Zuhaili88, menyebutkan sebagai berikut:

a. Berlakunya dugaan kuat dalam hukum.

Artinya menegakkan dugaan kuat pada sesuatu dapat dijadikan sebagai suatu kenyataan sebenarnya. Prinsip pertama inilah menurut Imam Malik sebagai landasan syari’ah atau maslahah universal. Misalnya larangan berkhalwat (berbaur) antar pria dan wanita yang bukan mahramnya. Larangan tersebut mengandung unsur kecurigaan yang kuat terhadap perbuatan zina. Sehingga dugaan kuat pada sesuatu itu menjadi hukum itu sendiri.89

b. Kewajiban mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi. Prinsip kedua ini juga merupakan landasan syari’. Misalnya Larangan Rasulullah terhadap jual beli talq rukban90. Larangan ini bertujuan memelihara kemaslahatan pedagang secara pribadi karena dikhawatirkan akan terjadi ketidak

88

Wahbah al-Zuhaili,Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 85-86.

89

Ibid.,85.

90

Talq Rukban adalah pedagang yang akan berjualan ke satu tempat (pasar) kemudian dihadang oleh pembeli. Transaksi jual beli ini dilarang oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya, yaitu hadis Ibn Abbas dengan lafadz “نﺎﺒﻛﺮﻟاﻮ ﻘ ﻠ ﺗ ﻻ ”(HR. Al-Jama’ah)


(47)

tahuan harga yang berlaku diantara para pedagang, sekaligus menjaga kemaslahatan orang banyak di pasar.91

c. Kebolehan menolak kemudharatan yang terberat diantara dua kemudharatan Prinsip ketiga ini juga merupakan landasan syara’. Misalnya perintah berjihad; walaupun perintah ini beresiko kehilangan nyawa, akan tetapi perintah ini adalah untuk mencegah bahaya musuh yang menyerang untuk menjaga agama dan negara dari serangan. Sebab eksistensi agama dan negara adalah lebih besar mudharatnya dibandingkan nyawa seseorang.92

d. Kewajiban memelihara jiwa, yang termasuk prinsip-prinsipsyara’ universal. Prinsip keempat juga merupakan landasan syara’ yang universal. Misalnya larangan tindakan pembunuhan, kewajiban sanksi qisash bagi pembunuh, penegakan hukum dan peradilan, dan lain-lain,93

6. Contoh-contoh Maslahah Mursalah Imam Malik

Ada beberapa fatwa Imam Malik yang memakai maslahah, atau bahkan digunakan untuk mentakshis al-Qur’an denganmaslahah mursalah, yaitu:

a. Wanita-wanita terhormat tidak diwajibkan menyusui

Menurut Imam Malik, fatwa ini tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an, yaitu:

91

Wahbah al-Zuhaili,Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 86.

92

Ibid.,h. 86.

93


(48)

َﺔَﻋﺎَﺿ

ﱠ ﺮﻟا ﱠﻢ ِﺘُﯾ ْنَأ َداَر

َأ ْﻦَﻤِﻟ ِﻦ

ْ ﯿَﻠِﻣﺎَﻛ ِﻦْﯿَﻟْ ﻮَﺣ

ﱠﻦُھ

َد ﻻ

ْوَ أ َﻦْﻌِﺿ

ْ ﺮُﯾ ُت

اَﺪِﻟاَ ﻮْﻟاَو

...

)

ةﺮﻘﺒﻟا

/

2

:

233

(

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan ....

Menurut pengakuan Imam Malik, pendapat tersebut tidak bertentangan dengan nash, karena ayat tersebut tidak menunjukkan wajib (tidak bermakna perintah), seperti kesepakatan para mufassir. Yang menjadi sandaran Malik adalah ‘urf pada zamannya dimana menyusui tidak diharuskan untuk wanita terhormat, dengan memberikan upah bagi orang yang akan menyusui anaknya.94Dalam hal ini,

terlihat bahwa Imam Malik sangat memperhatikan kedekatan hubungan antara maslahah mursalah dengan ‘urf sehingga mempengaruhinya dalam menetapkan suatu hukum. Hukum yang diputuskan sebaiknya mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu.

b. Diterimanya kesaksian anak kecil dalam kasus pelukaan (al-jarah)

Selain bedasarkan maslahah yang tidak menyalahi Ushul al-Syari’ah, seperti hifdz al-dima’ (menjaga terjadinya pertumpahan darah) ia juga berpegang pada ijma ahl al-madinah dimana ia memposisikan sebagaimana hadist mutawatir. Hal ini telah dilakukannya terhadap kasus diterimanya persaksian anak kecil untuk mencegah terjadinya bahaya yang lebih besar.95

c. Masa iddah bagi wanita monopouse

94

Wahbah al-Zuhaili,Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 89.

95


(49)

Menurutnya, iddah bagi wanita mononopose adalah satu tahun, atau tiga bulan setelah masa suci dari haidh yang diperkirakan sembilab bulan. Dalam hal ini dasar pemikirannya selain maslahah juga menggunakan ijma’ Ahl al-Madinah, dan madzhab sahabat Umar ibn Abdul Aziz. Menurutnya, hal ini tidak berarti mentakhsis ayat:

ٍءوُﺮُﻗ َﺔَ ﺛﻼ

َ ﺛ ﱠﻦِ

ﮭِﺴُ

ﻔْﻧ َ ﺄِﺑ َ ﻦْ

ﱠ ﺑَﺮَ ﺘَﯾ ُ ت

ﺎَﻘﱠﻠَﻄُﻤ

ْ ﻟاَو

)

ةﺮﻘﺒﻟا

/

2

:

228

(

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'”(Q.S. Al-Baqarah/2: 228)

Pendapat Imam Malik ini, jelas lebih banyak melihat aspek kemaslahatan dan ijma’ penduduk Madinah daripada makna dzahir nash tersebut.

d. Membunuh kaum atheis yang berpura-pura

Membunuh penganut atheis yang bersembunyi-sembunyi (pura-pura) masuk Islam dan tidak diterima taubatnya. Fatwanya banyak mengedepankan aspek maslahah, namun maslahah yang tidak bertentangan dengan nash, seperti yang ditegaskan pada hadist:

لﺎﻗ ﮫﻨﻋ ﷲ ﻲﺿر ةﺮﯾﺮھ ﻲﺑأ ﻦﻋ

:

ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﷲ لﻮﺳر لﺎﻗ

اﻮﻤﺼﻋ ﺎھ اﻮﻟﺎﻗ اذﺈﻓ ﷲ ﻻا ﮫﻟإ ﻻ نأ ﺪﮭﺸﯾ ﻰﺘﺣ ﺲﻔﻨﻟا ﻞﺗﺎﻗأ نأ تﺮﻣأ

ﻢﮭﻟاﻮﻣأو ﻢھءﺎﻣد ﻲﻨﻣ

)

ﮫﺟﺎﻣ ﻦﺑا هاور

(

96

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata bahwasanya Rasulullah saw. bersabda

“Saya disuruh untuk membunuh manusia sampai mereka menyaksikan diri dengan mengucap ‘Aku bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah’.

Apabila mereka telah mengucapkan sahadat tersebut maka telah terjaga

darah mereka dan harta mereka”.

96


(50)

Secara tekstual, pada hadist diatas dijelaskan bahwa orang yang telah menyatakan dirinya Islam maka semua hak-haknya dilindungi, dan tidak boleh dibunuh. Akan tetapi, menurut Imam Malik, apabila pernyataan keislamannya hanya pura-pura maka orang tersebut tetap boleh dibunuh.97

Secara pribadi, penulis sangat respek terhadap keberanian Imam Malik dalam memberikan fatwa yang belum pernah dilakukan oleh para mujtahid lainnya, walaupun tidak ada jaminan kebenaran hukum terhadap apa yang telah difatwakan dan diistinbathkan. Namun setidaknya, usaha terhadap penemuan-penemuan prinsip-prinsip hukum baru harus tetap dilakukan, karena perubahan dalam struktur sosial kemasyarakatan akan terus berevolusi dan dengan pola yang selalu berbeda. Jawaban terhadap masalah tersebut adalah ketentuan yang sesuai dengan persoalan hukum, baik keputusan maupun prinsip hukumnya yang telah dimodifikasi.

B. Biografi Imam al-Tufi 1. Kelahiran al-Tufi

Nama lengkap ulama ini adalah Najamuddin Abu ar-Rabi' Sulaiman bin Abd al-Qawi bin Abd al-Karim bin Sa'id at-Tufi as-Sarsari al-Bagdadi al-Hanbali, yang terkenal dengan nama at-Tufi. Kadang juga ia disebut dengan nama Ibn Abbas

97


(1)

97

menjadi pemimpin, yang penting dia mampu dan memenuhi syarat menjadi pemimpin, yang penting dia mampu dan memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin.

Sebab, menurut penulis, kekuasaan umum seperti jabatan kepala negara, menteri, gubernur, bupati dan lain-lain, mengharuskan adanya suatu kompetensi yang khusus, dan sesungguhnya kita tidak bisa menafikan bahwa wanita juga banyak yang memiliki kompetensi tersebut serta berhak untuk mengemban beban tanggungjawab fardu kifayah ini.

Selain itu juga, penulis menilai bahwa makna kekhawatiran kerugian, kegoncangan dan dampak negatif lainnya dari Hadis Abu Bakrah yang mengatakan bahwa kepemimpinan wanita itu akan mengalami kegoncangan atau kerugian, pada saat ini mungkin sudah dapat teratasi dengan baik dalam sistem ketatanegaraan masa kini, sebab jabatan presiden atau kepala negara saat ini, tidaklah menjadi kekuasaan yang tertinggi. Akan tetapi saat ini sudah dikenal lembaga perwakilan rakyat yang dikenal di Indonesia sebagai DPR, yaitu lembaga yang bertugas untuk membentuk Undang-undang, mengontrol roda perjalanan pemerintahan. Disamping itu juga terdapat pembantu-pembantu presiden yaitu menteri-menteri yang telah diamanati untuk memegang salah satu kewajiban-kewajiban presiden.

Sehingga saat ini wanita memungkinkan untuk menjadi sosok top leader atau kepala negara dikarenakan beban amanat yang diserahkan oleh masyarakat kepadanya, kini dikerjakan secara berjama’ah. Dari sinilah nampaknya teori maslahat mursalah Imam al-Thufi sesuai dengan asumsi penulis. Bahwa Imam al-Thufi dengan


(2)

dengan pendekatan teori maslahah mursalahnya membolehkan wanita menjadi seorang pemimpin suatu negara. Sebab al-Thufi menilai bahwa maslahah terbagi menjadi maslahah duniawi dan ukhrawi. Pada maslahah yang duniawi menurut al-Thufi, seorang mujthaid, dapat mendahulukannya walaupun bertentangan dengan nash dan ijma’ seperti pada kasus kepala negara wanita yang merupakan urusan duniawi. Sedangkan urusan ukhrawi atau ibadah, manusia tidak bisa ikut campur tangan dalam menentukan aturan, dan batasan-batasannya, seperti perintah shalat lima waktu, berpuasa di bulan ramadhan, dsb.

Disisi lain, penulis juga setuju dengan pendapat Imam Malik yang tergabung dalam jumhur ulama yang mengatakan bahwa wanita tidak boleh memegang kekuasaan sebagai imamah al-kubra. Hal itu dikarenakan imamah al-kubra’ hanya terdapat pada pemerintahan khilafah; yaitu pemerintahan yang memegang kekuasaan atas negara dan agama. Dan kini pemerintahan dengan sistem khilafah tersebut tidak ada, hanya berupa negara-negara berbasis Islam atau mayoritas Islam, tanpa menggunakan nama khalifah lagi.Wallahu a’alam bisshawab.


(3)

99

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Adi, Rianto,Metode Penelitian Hukum dan Sosial, Jakarta: Granit, 2004.

Asmani, Jamal Ma’mur &, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz; Antara Konsep dan Implementasi, Surabaya: Khalista, 2007.

Asmawi, MA,Perbandingan Ushul Fiqih, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.

Asqalani, Ahmad Ibn Hajar al-, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turast, t.th.) juz. 7.

Buthi, Sa’id Ramadhan Al-, Dr. M., Dawâbit al-Maslahah, cetakan ke-6, Beirut: Muassasah Risalah, 1992.

Buthi, Muhammad Said Ramadhan al- dan Tizini, Tayyib Finding Islam: Dialog Tradisionalisme-Liberalisme Islam, terj. Ahmad Mulyadi dan Zuhairi Misrawi, Jakarta: Erlangga, 2002.

Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (al-Madinah al-Munawwarah: Majma’ Khadim al-Haramain al-Syarifain Malik Fadh li Thiba’ah al-Mushaf al-Syarif, 1971.

Ghazali, Al-,Syifa al-Gazali fi Bayan al-Syibh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil, Baghdad: Matba’ah al-Irsyad, 1971.

Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984.

Harra, Sa’id, Al-Islam; Sistem Bermasyarakat dan Bernegara, Jakarta: Al-Islahy Press,tth

Hassan, Husein Hamid, Dr., Nazâriyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Cairo: Al-Mutanabbi, 1981.

Haroen, Nasrun, Drs.,H., MA.,Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996.

Ibn Ali al-Rabiah, Abd al-Aziz Ibn Abd Rahman, Dr., Adillah Tasyri’ al-Mukhtalaf fi al-Ihtijaj bi ha, Birut: Muassasah al-Risalah, 1979.


(4)

Ibn Abd al-Salam, Izzuddin, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam, Kairo: al-Istiqamat, t.t..

Ibn Rusyd, Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Kairo: Dar al-Hadis, 2004. Imad, Ibnu al-, Syazarat az-Zahab fi Akhbari Man Zahab, Beirut : al-Maktab

at-Tijari,t.t.

Izzat, Hibbah Rauf, Wanita dan Politik Pandangan Islam, terj. Bahruddin Fannani Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997.

Jabiri, M. Abid al-, Post Tradisionalime Islam, terj. Ahmad Baso, Yogyakarta: L-KiS, 2000.

Jauziyyah, Ibn al-Qayyim Al-, I`lam al-Muwaqqi`in, juz III, Beirut: t.tp.,t.th.

Juwaini, Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-, Al-Burhan fi Usul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Ansar,1400 H.

Katsir, Ibn,Tafsir Al-Qur’an al-Azhim,Bairut: Dar al-Fikr, tt.

Khallaf, Abdul Wahhab, Masâdir at-Tasyri'i al-Islâmi fi ma la Nassa fihi, Quwait: Dar al-Qalam,1972.

---,Ilmu Ushul al-Fiqh, Quwait: Dar al-Qalam, tth.

Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah, terj. Anas Mahyuddin, Bandung : Pustaka, 1983.

Kuntowijoyo,Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997. Ma`luf, Louis,Kamus Munjid, Beirut: Dar al-Masyriq, 1977.

Mawardi, Abu al-Hasan al-, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 1978.

Mu’allim, Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press Indonesia, 1999.


(5)

101

Nafis, HM. Cholis, Lc., Fiqh Politik, ed., Fiqh Progresif: Menjawab Tantangan Modernitas, (Jakarta: FKKU, 2003), h. 138.

Qadri, Anwar Ahmad, Islamic Jurisprudence in The Modern World,Pakistan: SH. Muhammad Ashraf Kashmir Bazar Lahore, t.t.

Qardhawi, Yusuf, Madkhal li Dirasah al-Syari’ah al-Islamiah, Cairo: Maktabah Wahbah, tth.

Ridha, Rasyid,Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Fikr, 1973.

Salih, Muhammad Adib, Masadir al-Tasyri` al-Islami wa Manahij al-Istimbat, Damsyid: Maktabah at-Ta`awujniyyah, 1967.

Sayih, Ahmad Abd al-Rahim al-,Risalah fi Ri'ayat al-Maslahah li al-Imam at-Tufi Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993.

Stoddard, Lothrop,Dunia Baru Islam, terjemahan H.M. Muljadi Djojowartono,dkk. Jakarta: Panitia Penerbit,1966.

Syatibi, Abu Ishak Al-,al-I’tisham, Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th ---, Muwafaqat fi Usul Syari`ah, tahqiq: Abdullah Darraz, Beirut: Dar

al-Fikr,t.th. juz II.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Siyasah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990. H. 176.

Syarqawi, Abdurrahman al-, A’immah al-Fiqh al-Tis’ah, terj. Al-Hamid al-Husaini, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000.

Takariawan, Cahyadi,Fiqih Politik Perempuan, Solo: Era Intermedia, 2003

Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta:Paramadina, 1999.

Usman, Suparman, Prof.Dr.H.,SH.,Hukum Islam; Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.


(6)

Zahrah, Muhammad Abu,Ibn Hanbal wa Asaruhu Arauhu wa Fiqhuhu, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.

---,Ushul Fiqh,Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.

Yanggo, Huzaemah Tahido, Prof.Dr.Hj.,MA., Fiqih Perempuan Kontemporer, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001, cet. I.

Zaid, Mustafa, al-Maslahah fi at-Tasyri'i al-Islâmi wa Najamuddin at-Tufi, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1954.

MAKALAH

Nasikun, Bolehkah Wanita Menjadi Pemimpin Pemerintahan, Makalah Diskusi Ilmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, Th. ke-11, 1988/1989, 23 Desember 1988, h.8

SUMBER INTERNET

http://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/soeharto/mti/24/depthnews_13.shtml