Mengajar Teater Mengajar Berbudaya

Mengajar Teater Mengajar Berbudaya
Oleh:
Eka Budiantara
(Guru Teater SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta)
Mengajarkan seni peran pada anak usia remaja, menurut saya adalah tantangan
yang penuh dinamika. Kendati demikian sesungguhnya untuk mengajarkan teatermungkin juga materi kesenian yang lain- tetap saja dapat dikembalikan pada asas klasik:
Bahwa Seni itu indah dan Bermanfaat.
Dalam konsep inilah pendidikan seni selayaknya megambil porsi yang seimbang.
Konsep kesetimbangan yang dimaksud adalah: Bagaimana siswa merasa enjoy dengan
materi yang saya berikan disisi lain siswa juga tidak terganggu dengan kewajiban
akademik lainnya.
Teori pengajaran teater sangat

mungkin berbeda dengan realitas ketika saya

mengaplikasikanya dalam sebuah pementasan. Dalam kapasitas pertama, sebagai guru
dapat saja berbagai macam kaidah dan teori tersebut saya catatkan dibangku sekolah,
akan tetapi dalam praktek lapangan, nampaknya feeling sebagai sutradara lebih signifikan
kita gunakan apabila kita berkeinginan mentrasformasikan ilmu tetaer itu lebih bermakna
luas.
Dua hal yang menjadi landasan filosofis ketika melibatkan siswa dalam

berkesenian ini adalah pertama pengkayaan terhadap pengalaman estetis, kedua
pengalaman artistik. Pengalaman estetik lebih bersifat membangkitkan kesadaran siswa
dalam mengapresiasi sebuah produk kesenian. Sementara pengalaman artistik lebih pada
pengalaman yang dilakoni di lapangan oleh para siswa ketika memproduksi ataupun
sedang berproses kesenian. Prakteknya, hal ini juga tidak dapat dipilah-pilah begitu saja,
akan tetapi sebisa mungkin holistic.
Di awal proses, jika seseorang memasuki sebuah komunitas teater, biasanya
diadakan work shop. Istilah Work shop ini kami ganti dengan wisata kesenian, hal ini
tidak lain dan tidak bukan untuk membuat imej, bahwa kesenian bukan sesuatu yang
jlimet, tetapi sesuat yang asik aja. Materi-materi Wisata Kesenian selanjutnya saya
kemas mirip dengan game-game, tetapi secara subtansial harus memenuhi; olah vokal,
olah tubuh, komposisi, harmonisasi, gesture, ilustrasi musik dan sebagaianya. Meski

demikian istilah-istilah “berat” tersebut secara verbal kami hindari, kami ganti dengan
istilah dan praktek lapangan yang lebih nyaman bagi siswa.
Dalam setiap tahun biasanya kami jadwalkan satu kali pentas produksi. Pada
kesempatan inilah segala sesuatu yang bersifat teoritis tersebut kita aplikasikan. Yah
memang tidak semuanya dituntut menjadi aktor maupun aktris. Akan tetapi keterlibatan
banyak siswa dalam produksi tesebut tentu merupakan pengalaman yang sangat
bermanfaat. Maka tim artistik dan tim produksi dibuat dengan porsi sesuai kondisi siswaintinya menurut saya lebih siswa banyak yang terlibat lebih bagus, asal diberi arahan

yang tepat.
Dapat proses pementasan inilah biasanya segala persoalan akan muncul baik
yang bersifat estetis, artistik, produksi bahkan personal. Maka sekali lagi, Guru sebagai
dinamisator sekaligus sutradara dan juga teman, dituntut kemahirannya

guna

menyelesaikan masalah yang muncul tersebut. Dalam fase-fase inilah sesungguhnya
proses dialogis sedang intens terjadi. Meski dengan fokus -jangka pendek- yang jelas
yaitu sebuah panggung pementasan teater. Sementara target jangka panjang yang lain
yaitu memahami dunia seni dengan benar tetap saja harus kita sisipkan.
Seperti yang baru kami lakukan dengan naskah “Bila Malam Bertambah Malam”
karya Putu Wijaya, tanggal 29 Mei 2004 di Auditorium IAIN Sunan Kalijaga. Kendala
pertama yang saya hadapi adalah materi naskah yang sesungguhnya hanya pas untuk
orang dewasa. Karena bercerita tentang perselingkuhan. Untuk itu saya antisipasi dengan
pengadaptasian- agar prespektif siswa dapat nyambung: Bahwa dalam masyarakat kita
terdapat juga tindakan yang melanggar agama maupun norma lainnya. Kemudian unsur
edukasi justru kami tonjolkan -bahwa hal tersebut harus dihindari, karena menimbulkan
persoalan yang berlanjut-. Dan alhamdulillah, pementasan yang melibatkan 4 aktor
( Leli, Susi, Gunawan, Ridwan ), serta puluhan tim artistik dan produksi tersebut, dapat

diapresiasi dengan bagus oleh penonton dan pelakunya.
Dari perbagai pementasan tetaer yang kami lakukan sejak 1996 ternyata hasilnya
tidak mengecewakan. Terbukti tahun 2002 kami menyabet penghargaan sebagai
sutradara, penyaji, artistik, aktor dan aktris terbaik dalam Festival Teater Remaja se DIYJateng di ISI Yogyakarta.

Kesadaran akan pentingnya seni teater tersebut nampaknya tidak boleh terhenti
di event festival. Karena kalau kita tarik lebih dalam, pada seni teater tersebut juga
terdapat unsur-unsur yang lain seperti; seni musik, seni lukis, seni suara, seni tata
panggung, cinematografi dan sebagainya. Dan sedapat mungkin potensi ini bisa tergali
meskipun baru bersifat elementer. Dengan demikian potensi siswa dapat dioptimalkan.
Dan kami telah berusaha mencobanya terbukti dari event pentas “Dalam Rangka”
(demikian kami sering menyebutnya) prestasi kamipun juga cukup lumayan: dari juara
membaca puisi, juara presenter, nominator Festival Film Tingkat Pelajar FKY 2003,
sampai 10 besar Nasional Festival Video oleh British Council Jakarta tahun 2003.
Meskipun demikian kendala yang kami hadapi juga tidak sedikit; seperti
benturan jadwal siswa dengan jadwal kegiatan lainnya, ujian dan sebaginya, Fasilitas
gedung yang belum sebanding dengan jumlah peminat. Maupun mengatasi imej anak
tetaer yang cenderung dianggap urakan dan semaunya(padahal realitanya tidak begitu).
Tetapi semuanya adalah tantangan bagi saya dan siswa. Langkah yang paling tepat
adalah


berusaha terus berproses dalam wilayah edukasi yang berkaitan dengan

pengalaman estetis maupun pengalaman artistis. Sehingga sekali lagi pelajaran seni
teater tetap menjadi sesuatu yang “ Indah dan Manfaat.” bagi kebudayaan.

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 21-04