Mengajar serta manajemen mengajar Nilai

Sebuah Pendekatan Analitik Sebuah Pendekatan Analitik Sebuah Pendekatan Analitik Sebuah Pendekatan Analitik Sebuah Pendekatan Analitik

Jack R. Fraenkel Jack R. Fraenkel Jack R. Fraenkel Jack R. Fraenkel Jack R. Fraenkel San Francisco State University San Francisco State University San Francisco State University San Francisco State University San Francisco State University Penerjemah: Sarbaini dan Fatimah Penerjemah: Sarbaini dan Fatimah Penerjemah: Sarbaini dan Fatimah Penerjemah: Sarbaini dan Fatimah Penerjemah: Sarbaini dan Fatimah

Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Dan Unit Mikro Teaching FKIP Universitas Lambung Mangkurat

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

FRAENKEL, Jack R Bagaimana Mengajar Tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

Jack R.Fraenkel;

Penerjemah, Sarbaini dan Fatimah

Penerbit: Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Unit Microteaching FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin.

Cetakan Pertama. 2012 x + 206 hlm; 15,5 cm x 23 cm ISBN: 602-7762-01-2 ISBN 13: 978-602-7762-01-5

Judul Asli: How To Teach About Values: An Analytic Approach Terbitan Prentice-Hall, Inc.Englewood Cliffs, New Jersey 07632. Cetakan 10. Tahun 1977 ISBN 0-13-435-446-X

All right reserve Hak penerjemah dan penerbit dilindungi oleh undang-undang. Dilarang

mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, tanpa izin tertulis dari penerbit

Rancang Sampul : Agvenda Penata Isi: Lusiana Susanti

Penerbit: Laboratorium Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Unit Mikroteaching FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Jalan H. Hasan Basry Kayutangi Banjarmasin. Telp/Fax.(0511) 3304914. Email: fkip@unlam.ac.id, sarbainiunlamnjm292@gmail.com, imahpswunlam_21@yahoo.com

Dicetak oleh: ASWAJA PRESSINDO YOGJAKARTA Anggota IKAPI

SEKAPUR SIRIH SEKAPUR SIRIH SEKAPUR SIRIH SEKAPUR SIRIH SEKAPUR SIRIH PENERJEMAH PENERJEMAH PENERJEMAH PENERJEMAH PENERJEMAH

Alhamdulillah, Puji Syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala Rahmat, Karunia dan Ridha-Nya. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikut beliau yang konsisten dalam menjalankan sunnahnya. Mudah- mudahan segala karya kita di muka bumi ini menjadi bukti jejak-jejak kedirian kita sebagai manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Buku ini terjemahan dari buku “How to Teach about Values: An Analytic Approach”. Buku tersebut ditulis oleh Jack R.Fraenkel dan diterbitkan oleh Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs.N.J. Buku yang diterjermahkan ini adalah buku cetakan ke 10 pada tahun 1977. Dalam menerjemahkan diupayakan sebisa mungkin agar dapat dimengerti para mahasiswa dan guru, serta pada halaman tertentu kadangkala menggunakan nama-nama Indonesia, demi mengakrabkan pembaca dengan materi buku.

Penerjemahan dan penerbitan buku ini dimaksudkan, selain untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa sebagai buku referensi dalam mata kuliah Dasar-dasar Pendidikan Moral dan Strategi Belajar Mengajar, juga untuk memenuhi kebutuhan para guru terhadap langkanya buku-buku referensi yang diperlukan untuk pembelajaran berbasis afektif, terutama dalam upaya pembinaan karakter yang terintegrasi dalam materi pelajaran. Karena dalam pembentukan dan pembinaan serta pendidikan karakter, tidak bisa dipisahkan dari pendidikan nilai, moral dan norma sebagai landasannya yang esensial.

Materi dalam buku ini sebagian mengutip dan menerjemahkan dari beberapa referensi. Pada bab I, materinya sebagian bersumber dari terjemahan Nilai (Value) dari www.wikipedia.com, dan juga mengutip

Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

kata pengantar Prof.Dedi Supriadi yang berjudul ‘Pendidikan Nilai; Sebuah Megatrend?’, dalam buku Rohmat Mulyana, “Mengartikulasikan Pendidikan Nilai”. Selain itu, secara keseluruhan dari buku ini, yakni dari Bab II-VII adalah terjemahan dari buku “How to Teach about Val- ues: An Analytic Approach”, tulisan Jack R.Fraenkel, terbitan Prentice- Hall, Inc. Englewood Cliffs.N.J pada tahun 1977. Namun demikian pembelajaran yang didesain dalam buku ini masih sarat dengan nilai, moral dan norma yang bernuansa Barat (Amerika). Karena itu diperlukan sikap kritis dan selektif, tetapi secara arif menyikapi dan bijaksana untuk menarik “ibrah” (pelajaran) dari pembelajaran yang ditawarkan, untuk kemudian secara kreatif berupaya mendesain pembelajaran berbasis nilai, moral dan norma yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama dan kebudayaan dari bangsa Indonesia sendiri.

Semoga buku hasil terjemahan ini dapat berguna bagi pembentukan nilai, moral dan norma, sebagai basis pembentukan dan pembinaan karakter peserta didik dan generasi muda, sehingga terwujud akhlak mulia yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan adil dan beradab, Menjunjung Persatuan dan Kesatuan, Berorientasi pada Kerakyatan atas dasar hikmah, musyawarah dan mufakat, serta mewujudkan Keadilan bagi seluruh rakyat Indone- sia.

Banjarmasin, Ramadhan 1433H/Juli 2012M

SARBAINI-FATIMAH

KA KA KAT KA KA T T T TA PENG A PENG A PENG A PENGANT A PENG ANT ANT ANT ANTAR AR AR AR AR

Buku ditulis untuk para guru, yang ingin menjadi guru, pengembang kurikulum, profesor pendidikan, atau siapa pun yang mungkin berkepentingan dalam pembelajaran tentang nilai-nilai. Saya bermaksud untuk menyampaikan penjelasan yang sederhana dan terus terang tentang beberapa prosedur dan teknik yang saya yakini termasuk dalam pendidikan nilai-nilai. Beberapa prosedur dan teknik itu adalah berlandaskan pada keyakinan dapat mengidentifikasi, menganalisis dan menaksir (menilai) pilihan kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur, dan berkaitan dengan konsekuensi-konsekuensinya, secara cerdas, yakni secara rasional, adalah kemampuan penting untuk dimiliki oleh seluruh orang. Untuk kemampuan itu, seseorang adalah tidak secara sadar terhadap pilihan-pilihan tertentu yang mungkin dikejar dalam suatu situasi yang khusus, atau untuk kemampuan itu, ia dibatasi dalam pilihan-pilihan yang dibuat, di mana pilihan adalah mungkin. Ide-ide dan strategi-strategi yang dikemukakan dalam buku ini, oleh karena itu, didasarkan pada asumsi bahwa analisis yang berkelanjutan dan penaksiran (assessment) terhadap alternatif-alternatif di sekolah-sekolah dapat membantu untuk mengembangkan kemampuan itu.

Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa identifikasi dan analisis terhadap pilihan-pilihan dan konsekuensi-konsekuensi adalah semuanya untuk pendidikan nilai-nilai. Prosedur-prosedur dan teknik-teknik yang lain, termasuk beberapa yang dianjurkan oleh beberapa orang yang terutama ingin “clarify”(menjelaskan) nilai-nilai dan mengembangkan “moral reasoning” (penalaran moral) adalah ber manfaat untuk dipertimbangkan. Tetapi sedikit, jika tidak beberapa, dari prosedur- prosedur dan teknik-teknik yang dikembangkan oleh pendukung

Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

pendekatan-pendekatan itu berupaya untuk menghadapi beberapa pilihan dengan cara berkelanjutan dan jelas dengan penggalian (exploration) dan penaksiran (assessment) terhadap konsekuensi-konsekuensi. Pengalian dan penaksiran adalah penting untuk kecerdasan memilih dari sejumlah alternatif (pilihan), sejak masa lalu, masa kini atau akibat-akibat yang mungkin dari suatu tindakan yang menentukan, kepada suatu yang luas sekali dari hal-hal yang diinginkan.

Tujuan utama dari buku ini, seperti setiap hal yang saya tulis, adalah untuk membuat kamu sedikit berpikir. Jika ia berhasil sekaitan dengan itu, buku ini akan memenuhi tujuannya, dan saya akan memper- silahkannya.

Jack R. Fraenkel San Francisco, California

B B B B BAB I AB I AB I AB I AB I PEND PEND PEND PEND PENDAHUL AHUL AHUL AHUL AHULUAN UAN UAN UAN UAN

A. Keberadaan Nilai

Dalam kehidupan manusia, tidak bisa lepas dari nilai-moral-norma. Di mana ada kehidupan manusia, di situ sarat dengan muatan nilai-moral- norma. Nilai-moral-norma dapat dilihat dari perspektif sosiologis, antropologis, politis dan ekonomis. Pada setiap bangsa, masyarakat, suku dan keluarga ditemui beragam nilai-moral-norma. Lazim setiap nilai- moral-norma bersumber pada agama, budaya, hukum, ilmu, dan metafisis yang bersumber dari bangsa, masyarakat, suku dan keluarga yang bersangkutan. Karena itu, untuk Indonesia khususnya, dalam kehidupan manusianya, eksistensi nilai-moral-norma yang dianut dan diyakini, tidak selalu berpijak pada nilai-moral-norma melulu hanya pada rasionalitas, yang mengacu kepada prinsip-prinsip logika, ilmu dan ilmiah. Tetapi pada masyarakat tertentu, nilai-moral-norma juga bersumber pada agama, budaya, hukum dan metafisis masih dominan dianut. Idealnya basis nilai- moral-norma dalam hidup adalah agama, berikut kebudayaan, hukum dan ilmu serta metafisis.

Nilai-nilai memang sukar untuk dipelajari dan tetap melahirkan pertanyaan, seperti apakah mereka “nyata”, apakah mereka sesungguhnya dapat menunjukkan penyebab pengaruh terhadap perilaku. Masih banyak dalam kehidupan sehari-hari memberikan istilah terhadap nilai-nilai dari etika, hukum, religi, politik, seni, membesarkan anak, dan banyak lagi. Keputusan nilai abstrak nampaknya terwujud dalam reaksi-reaksi yang berani bahwa sesuatu adalah benar, moral, atau kelaziman versus salah, immoral, atau tidak lazim. Cara yang lain untuk ”melihat” nilai-nilai dalam tingkah laku adalah pada kultur-kultur atau sub-sub kultur yang

Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

berlawanan terhadap apa yang dipandang sebagai benar, kelaziman, atau moral.

Secara implisit atau eksplisit kita mengevaluasi dan menentukan nilai untuk setiap hal - menganggap sesuatu sebagai hal yang baik atau buruk, benar atau salah, kebaikan atau keburukan. Bagaimana kita mengetahui? Satu cara yang penting adalah melalui nilai-nilai. Nilai-nilai dapat dipikir sebagai prioritas, batas atau batu loncatan internal untuk tingkah laku - kewajiban-kewajiban. Dengan cara itu, nilai-nilai atau adat-istiadat adalah panduan-panduan implisit atau eksplisit untuk tingkah laku. Naskah-naskah umum membingkai tentang apa yang seharusnya dan apa yang dihindari.

B. Definisi Nilai

Teori-teori modern dari nilai-nilai adalah lahir dari kerja Kohn (kelas dan nilai-nilai), Rokeach (sistem-sistem nilai general), dan Kluckhohn (level kelompok). Nilai-nilai dapat dikonseptualissi pada level individual dan kelompok. Pada level individual, nilai-nilai diinternalisasi perwakilan- perwakilan-perwakilan sosial atau keyakinan-keyakinan moral yang menyeru orang agar pada akhirnya berpikir mengenai alasan bagi tingkah- tingkah mereka. Walaupun para individu dalam masyarakat kemungkinan relatif untuk berbeda penting untuk memberikan nilai-nilai khsus; nilai- nilai adalah internalisasi dari tujuan-tujuan sosiokultural yang memberikan cara-cara untuk mengendalikan diri dari dorongan-dorongan yang akan berakibat memberikan individu-individu dalam konflik dengan kebutuhan-kebutuhan dari kelompok-kelompok dan struktur-struktur di mana mereka hidup. Jadi, pembahasan dari nilai-nilai adalah bertalian yang dekat sekali dengan kehidupan sosial. Pada level kelompok, nilai- nilai adalah naskah-naskah atau ide-ide kultural yang dianggap kebiasaan oleh anggota-anggota dari kelompok; ‘pikiran sosial’ kelompok. Perbedaan-perbedaan dalam berbagai ide-ide kultural, khususnya dengan komponen-komponen moral, menentukan dan membedakan sistem- sistem sosial. Dalam pengertian Protestan Weber ’etika’ dan ‘spirit’ dari kapitalisme yang melukiskan sistem-sistem nilai.

Nilai-nilai, yang individu-individu rasakan, mereka memberikan kesetiaan sebagai anggota dari kelompok sosial atau masyarakat tertentu, dilihat sebagai perekat yang membuat kehidupan sosial mungkin dalam kelompok-kelompok. Namun, mereka juga merupakan serangkaian tahapan bagi pergesekan-pergesekan dan konsensus yang kurang

Pendahuluan

harmonis dalam interaksi interkelompok. Nilai-nilai dengan demikian adalah inti dari kegiatan manusia; dilekatkan dalam sistem sosial, mereka adalah apa yang membuat tatanan sosial menjadi mungkin dan tetap berubah. NIlai-nilai bukan sifat-sifat individu yang khas; mereka adalah kesepatakan-kesepakatan sosoal tentang mengenai apa yang benar, baik, untuk menjadi dihargai, diharapkan, diinginkan, diyakini dan dipatuhi.

Apakah yang lazim dari semua fenomena nilai? Pada level individu, nilai-nilai berisi elemen-elemen kognitif dan afektif dan bersifat selektif serta berhubungan dengan kualitas; mereka diinternalisasi. Pilihan, keputusan dan tingkah laku dijelaskan secara lazim dalam istilah nilai- nilai. Para individu menempatkan nilai-nilai sebagai bagian dari sosialisasi dalam keluarga, kelompok dan masyarakat. Nilai-nilai adalah diasumsikan secara relatif berkembang sepanjang waktu. Memang, nilai- nilai secara individual diabsahkan dan sangat diterima oleh individu untuk memprediksi bahwa perilaku individual. Sebaliknya, bahkan secara per- sonal menyokong nilai-nilai yang tidak akan mempengaruhi tingkah laku ketika nilai-nilai tidak menonjol bagi individu pada waktu bertingkah laku. Selain itu, dalam berbagai situasi yang diberikan lebihdari atu secara personal menyokong nilai yang mungkin dilakukan, dan kepantasan pilih berperilaku untuk satu nilai mungkin berlawanan dengan kepantasan pilihan berperilaku terhadap nilai yang lain.

Nilai-nilai adalah prinsip-prinsip ketentuan atau umum yang memandu tingkah laku, mereka bukanlah tindakan-tindakan itu sendiri atau daftar pedoman khusus dari apa yang dilakukan dan kapan dilakukan. Jadi, dua masyarakat dapat memiliki nilai tetapi amat berbeda dalam norma mereka sebagai apa yang mereka miliki, bagaimana untuk memilikinya, dan kapan mengejar untuk memilikinya secara pantas. Nilai-nilai mendasari sanksi-sanksi untuk beberapa pilihan berperilaku dan memberikan ganjaran terhadap orang-orang lain. Sistem nilai menyediakan apa yang diinginkan dan diharapkan untuk, apakah diwajibakan atau dilarang. Hal itu bukan laporan dari perilaku sesungguhnya, tetapi sistem dari kriteria melalui mana perilaku dinilai dan sanksi-sanksi diterapkan.

Nilai-nilai bagi suka dan tidak suka, apa yang dirasa menyenangkan dan tidak menyenangkan, dana apa yang dianggap sukses atau kegagalan. Nilai-nilai dan sistem-sistem nilai sering dilahirkan sebagai alasan-alasan untuk bertingkah laku; sebagai contoh, nilai-nilai dari kemerdekaan dan

Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

persamaan dibangkitkan untuk memperoleh dukungan orang Amerika untuk gerakan-gerakan Hak-hak Sipil. Nilai-nilai berbeda dari tujuan di mana nilai-nilai diberikan rasional umum untuk tujuan-tujuan yang lebih spesifik dan motivasi pencapaian dari tujuan-tujuan melalui metode- metode yang khusus.

C. Sejarah dan Perkembangan Nilai

Dipandang pada awalnya dengan kecurigaan oleh para saintis sosial Barat sebagai hal yang amat subjektif untuk studi saintifik, konsep dari nilai-nilai ditemukan meningkat digunakan mulai dengan The Polish Peas- ant in Europe and America (Thomas and Znaniecki, 1921. Dorongan untuk mempelajari nilai-nilai kultural muncul dari kerja Alfred Kroeber, Cylde Kluckhohn, Talcott Parsons, Charles Morris, Robert Redfield, Ralph Linton, Raymond Firth, A.I.Hallowell, dan yang lebih mutakhir Milton Rokeach dan ShalomSchwartz.

Kluckhohn dan Strodtbeck (1961) mengusulkan bahwa sistem nilai kultural merupakan variasi-variasi himpunan orientasi-orientasi nilai dasar yang mengalir dari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dasar tentang: (a) Apakah sifat dasar manusia - buruk, netral, campuran, atau baik? (b) Bagaimana kita berhubungan dengan alam atau super- natural - takluk, harmoni, atau menguasai? (c) Apakah sifat dasar dari waktu - masa lalu, masa kini, masa depan? (d) Apakah sifat dasar dari aktivitas manusia - ada, ada-menjadi, berbuat? (e) Apakah sifat dasar dari hubungan kita dengan orang lain - bekerja sama secara vertikal, horisontal atau kita sama sekali terpisah secara individual? Kluckhohn dan Strodtbeck (1961) juga menyusun sistem untuk membanding nilai- nilai dalam istilah-istilah level mereka untuk generalisasi dan fungsi dalam wacana ilmiah dan perilaku, mengusulkan bahwa nilai-nilai cocok ke dalam piramida generalisasi yang menaik. Untuk setiap masyarakat, beberapa nilai pokok dan lisan diusulkan untuk diangkat sebagai himpunan saling ketergantungan dari apa yang membuat untuk “kehidupan yang baik”. Hal itu termasuk dasar-dasar pikiran yang tidak perlu dipertanyakan, mengabsahkan sendiri terhadap sistem nilai dan definisi-definisi dasar dn istilah-istilah nilai secara umum; sebagai contoh, kebahagiaan, kebaikan, kecantikan, dan moralitas.

Sejak orang peneliti-peneliti Amerika mendominasi penelitian nilai- nilai, banyak kerja awal difokuskan untuk mendokumentasikan nilai-

Pendahuluan

nilai Amerika. Kebutuhan untuk berprestasi sebagai nilai-nilai Amerika, dan perhatian terhadap kemunduran di tengah orientasi yang muncul lebih awal tahun 1944 (Spates, 1983). Studi-studi nilai mendokumentasi pengaruh dari pendidikan, usia, tipe dari pekerjaan, dan status sosio- ekonomi terhadap pilihan-pilihan nilai dari orang Amerika, ditambahkan oleh tesis Weber terhadap pengaruh religi (Protestan versus Katolik) terhadap nilai prestasi dan kerja di Erofah. Kohn (1977) yang bertanggungjawab untuk sejumlah survai-survai nilai-nilai yang penting mendokumentasikan bahwa dalam berbagai negara Erofah dan Amerika Serikat, para orang tua dari status sosioekomi yang lebih tinggi nilai pengendalian diri dari anak-anak lebih dari para orang tua yang tingkat pekerjaan dan pendidikan yang lebih rendah. Beberapa temua telah diverifikasi secara lintas-nasional dari 122 masyarakat.

Memperpanjang dokumentasi nilai-nilai Amerika, Rokeach (1973) secara empirik memvalidasi 36 nilai-nilai yang berkaitan dengan pernyataan-pernyataan yang akhirnya dipilih dan cara-cara yang dipilih untuk berperilaku. Menggunakan skala Rokeach, perbedaan-perbedaan nilai berkaitan dengan kelas, usia, ras, subkultur, dan level dari perbedaan-perbedaan telah didokumentasi di banyak negara. Dibangun dari Rokeach, Schwartz (1922) menggambarlan nilai-nilai sebagai cara- cara untuk mengartikulasikan syarat-syarat universal dari keberadaan manusia - untuk bertahan hidup secara fisik, perubahan wadah sosial, dan memberikan keberlanjutan kelompok. Bagi Schwartz, nilai-nilai menggambarkan operasionalisasi-operasionalisasi dari berbagai kebutuhan seperti tujuan-tujuan yang pantas bersama dalam kelompok- kelompok yang penuh arti (prestasi, pengendalian diri, stimulasi, hedonisme, universalisme, kebajikan, tradisi, konformitas, keamanan, dan kekuatan). Beberapa kelompok adalah harmonis (seperti stimulasi dan hedonisme), dan yang lain bersaing (seperti, pengendalian diri dan konformitas).

Menggunakan sebagian besar data dari para guru dan mahasiswa perguruan tinggi terutama di 20 negara Barat. Schwartz menunjukkan bahwa dengan pengecualian terhadap Cina, nilai-nilai spesifik sebagian besar diharapkan dilakukan secara “kelompok” dan “lengkap”. Hingga, “kejujuran”, “pemaaf ”. “suka menolong” kelompok bersama sebagai “kebajikan”, dan “pengendalian diri” dan “stimulasi” kelompok yang jauh dari “konformitas”, “tradisi” dan “keamanan”. Beberapa data

Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

menyatakan penting secara universal untuk bagaimana nilai-nilai ditata secara lintas-kultural dan bahwa masyarakat-masyarakat berbeda dalam kelompok-kelompok dari nilai-nilai yang menonjol dalam kehidupan publik.

D. Kontroversi Nilai

Kunci ketegangan dalam literatur nilai-nilai berfokus pada kondisi- kondisi di dalam mana mereka mempengaruhi perilaku, dan tingkat yang pantas untuk menganalisis nilai-nilai yang nampak dalam perilaku. Minat penelitian yang terfokus pada nilai-nilai berkurang pada masa lalu seperti setiap paradigma untuk mempelajari nilai-nilai yang dikritisi untuk kurang spesifiknya penemuan-penemuan, sebagai seharusnya untuk nilai-nilai an bukan norma-norma sosial, sikap-sikap atau paksaan-paksaan situasional. Psikologi kultural mutakhir memfokuskan perhatian pada struktur sosial sebagai gudang dari nilai-nilai seperti kemerdekaan pribadi, keharmonisan kelompok, kebahagiaan pribadi, dan kewajiban atau berhubungan dengan kealiman.

Bagaimanakah kita mengetahui bahwa nila-nilai ada? Sejumlah pilihan-pilihan tersedia: (a) Kesaksian individu - orang mengatakan apa nilai-nilai yang mereka anut. Namun, laporan-laporan diri dari nilai-nilai adalah subjek untuk menyatakan akibat-akibat konteks (lihat Sikap-sikap dan Perilaku), (b) Pilihan-pilihan perilaku - apakah dalam suasana alamiah atau laboran, perbedaan-perbedaan nilai mungkin dikaitkan dengan perilaku. Akan tetapi, perilaku adalah dipengaruhi oleh berbagai variabel lain selain nilai-nilai. Pada tingkat individu, nilai-nilai itu sendiri diasumsikan berjalinkait dengan perilaku-perilaku melalui pengaruh mereka dari norma-norma dan sikap-sikap, tetapi orang mungkin menyimpulkan nilai-nilai mereka dari perilaku mereka, membalikkan hubungan sebab-akibat, (c) Struktur sosial dan kultural - pengeluaran dari sumber-sumber, waktu, energi dan struktur dari lingkungan alamiah; produk-produk kultural dapat dilihat sebagai sisa kongkrit dari pilihan- pilihan berbasis nilai, (d) Perubahan wadah sosial - pengamatan terhadap perilaku dalam situasi-situasi dari konflik, dan pengamatan secara lebih umum dari apa yang telah diganjar dan dihukum, dipuji atau dijelekkan memberikan data untuk mengidentifikasi apa yang dinilai secara sosial. Di sini, banyak, pertanyaan yang tepat muncul untuk membuktikan. Untuk tingkat apakah hal itu pantas berasumsi bahwa perbedaan dalam

Pendahuluan

berbagai masyarakat dan struktur sosial adalah bukti dari perbedaan- perbedaan nilai. Secara politik dan ekonomi berpengaruh dan benar- benar lembam mungkin himpunan tahapan dari perilaku-perilaku, tanpa pengaruh sebab-akibat yang memerlukan nilai-nilai.

E. Arah Masa Depan Nilai

Pandangan-pandangan lintas-kultural sekarang ini menjadi meningkat di tengah diskusi nillai-nilai. Sebagai contoh, Inglehart (1990) mendokumentasi nilai-nilai dan nilai berubah dalam studi multinasional yang luas, dan jumlah besar dari studi perbandingan dua bangsa telah tumbuh. Topik penting yang lain dari penelitian adalah hubungan antara nilai-nilai dari individu-individu, nilai-nilai dari kelompok-kelompok subkultural, dan nilai-nilai dari sistem kultural yang lebih luas dan metode- metode untuk mengidentifikasi dan mempelajari setiap nilai-nilai itu. Barangkali ditambahkan untuk mengidentifikasi perbendaharaan nilai pada setiap level, adalah waktu untuk mengawali pertanyaan apakah nilai-nilai tepat dipelajari sebagai sifat-sifat yang menentukan terahdap individu-individu atau ditanamkan oleh kelompok-kelompok, dan untuk apakah tingkat penelitian nilai-nilai adalah sinonim dengan penelitian kultural dan lintas-kultural.

Telah dikemukakan beberapa perilaku tertentu penting dipengaruhi melalui efek-efek suasana yang membuat informasi penting yang dapat dipercaya pada waktu bertindak, hal itu bukan kejutan bahwa efek-efek dari nilai individual mengabsahkan perilaku yang ‘kadang-kadang kamu melihatnya, kadang-kadang kamu tidak’ memiliki sifat tentang mereka. Tetapi memfokuskan pada dukungan individu terhadap nilai-nilai mungkin banyak melalaikan kekuatan dari sistem-sistem nilai yang mempengaruhi kehidupan setiap hari. Ini membuat individu-individu mungkin tidak membutuhkan dukungan secara personal atau nilai-nilai tertentu yang penting agar pengaruh mereka dirasakan. Pengaruh yang amat dasar dari nilai-nilai yang melalui cara-cara, yakni mereka mempengaruhi peraturan-peraturan, norma-norma, prosedur dalam masyarakat, dan pilihan-pilihan struktur cara hidup setiap hari dari individu-individu dalam masyarakat.

Jika para peneliti sebelumnya mendokumentasi nilai-nilai menggunakan teknik-teknik survei untuk menilai tingkatan beberapa nilai individu-individu yang penting untuk mereka, maka di masa depan

Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

menaksir nilai-nilai mungkin membutuhkan pertimbangan pendekatan- pendekatan yang lebih tidak langsung, seperti apakah layanan-layanan masyarakat yang diberikan kepada anggotanya, perilaku-perilaku apakah yang diberikan ganjaran atau diberi sanksi dan seterusnya.

F. Bebas Nilai atau Sarat Nilai

Pada beberapa dasawarsa terakhir, terjadi kecendrungan baru di dunia, yaitu, tumbunya kembali kesadaran nilai. Kecendrungan ini terjadi secara global yang dapat digambarkan sebagai sebuah titik balik dalam peradaban manusia. Di mana-mana orang berbicara tentang nilai dan dalam banyak kesempatan tema-tema tentang nilai atau yang terkait dengan nilai dibahas. Bahkan untuk bidang yang sebelumnya dianggap “bebas nilai “ (value-free) sekalipun, kedudukan dan peran nilai makin banyak diangkat. Misalnya, orang sekarang hampir tidak pernah lagi berbicara sains yang bebas nilai. Bahkan di kalangan saintis, dalam pengertian ilmu-ilmu alam, sekarang mulai ada rasa malu untuk berbicara tentang ilmu yang bebas nilai, sesuatu yang hingga tahun 1970an masih sering dikatakan.

Sekarang mereka hampir sepakat untuk menyatakan “there is no such thing the so-called ‘value-free science”. Sebaliknya mereka berbicara tentang sains yang bermuatan nilai (values-laden sccience), di titik manapun nilai- nilai melekat. Kalau bukan pada eksperimennya di laboratorium, maka nilai akan muncul pada saat keputusan untuk melakukan eksperimen itu, memilih metode ini, dan apalagi pada saat mengaplikasikan hasil- hasil riset itu dalam teknologi. Riset dalam bidang eugenetika, misalnya, sejak awal sudah bergumul dengan persoalan nilai. Masuknya nilai-nilai memberikan moralitas pada riset ilmiah, sebuah isu yang praktis diabaikan di bawah bendera sekularisasi sains.

Hal yang sama terjadi pada ilmu-ilmu sosial yang memang karakternya sangat kental bermuatan nilai yang melekat pada budaya. Jarang sekali sekarang ilmuwan sosial yang mengklaim bahwa bidang ilmu atau kajiannya bebas nilai atau bebas budaya. Dalam psikologi, misalnya, sulit menemukan lagi ahli pengukuran yang berani mengklaim tes yang bebas budaya (culture-free test), paling-paling yang ada adalah test yang adil budaya (culture-fair test). Sebuah tes psikologi, secara implisit akan selalu membawakan ruh atau nilai budaya dari mana test itu berasal.

Pendahuluan

Sebuah revolusi pemikiran diajukan oleh Fritjof Capra (1998) melalui bukunya, Titik Balik Peradaban (The Turning Point; Science, Tech- nology and The Raising Culture), salah satu di antara sejumlah buku yang sangat berpengaruh saat ini. Capra, seorang fisikawan terkemuka Aus- tria, mengeritik habis paradigma Newtonian yang mekanistik-eksploitatif dan paradigma dualistik Cartesian yang dominan selama lima abad terakhir dan menjadi fondasi bagi sainsme teknologi, ekonomi,kedokteran bahkan psikologi modern.

Bila kedua paradigma tersebut tetap digunakan sebagai jangkar bagi sains dan teknologi masa depan, maka ia melihat adanya bahaya besar bagi masa depan kehidupan manusia di bumi. Karena itu, ia mengusulkan dikembangkannya apa yang disebut ”Visi Realitas Baru”, yang antara lain berintikan pandangan hidup sistem dan keutuhan. Capra mengamati, sejak beberapa tahun terakhir, perubahan ke arah itu secara perlahan- lahan tetapi pasti telah berlangsung, dan makin lama makin dahsyat. Ini merupakan sebuah “titik balik” dalam peradaban manusia yang mewakili tumbuhnya kesadaran baru dalam kehidupan yang sarat nilai.

Kiranya,pengamatan Capra tersebut sejalan dengan teori Stephen Wolfram dalam bukunya, The New Kind of Science (2000). Dalam buku ini, yang juga dianggap salah satu buku paling berpengaruh di dunia saat ini, Wolfram secara mengejutkan menyatakan bahwa sains masa depan tidak akan lagi bertumpu pada kepastian-kepastian dan objektivitas sebagaimana berlaku selama lima abad terakhir, melainkan akan bertumpu pada komppleksitas; bukan pada matematika yang dipahami sekarang, melainkan pada apa yang ia sebut cellurar automata. Di sinilah kita melihat pandangan Capra berjumpa dengan teori Wolfram dan bersua dengan teori kompleksitas dan ketidakpastian yang juga sekarang sedang banyak dibahas di dunia.

Titik balik lain yang menempatkan isu-isu tentang nilai sebagai fokus perhatian adalah populernya kecerdasan emosional (Emotional Intellgence) dan kecerdasan spiritual (Spiritual Intellegence) yang mengambil alih popularitas kecerdasan intelektual atau lazim disebut Intelllegence Quo- tient, yang mendominasi arena psikologi sejak dasawarsa kedua abad ke-20. Dalam beberapa tahun terakhir, bahkan berkembang menjadi kecerdasan majemuk (Multiple Intellegence) yang dipopulerkan oleh Howard Gardner dari bukunya Frames of Mind (1983) sebagai kelahiran teori kecerdasan majemuk. Kecerdasan majemuk tersebut terdiri dari

Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

kecerdasan matematika, kecerdasan bahasa, kecerdasan ruang, kecerdasan kinestika, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan antarpersonal. Bahkan muncul lagi istilah kecerdasan moral, dipublikasikan oleh Michle Borba dalam bukunya “Building Moral Intellegence” (2001). Bahwa kecerdasan-kecerdasan yang telah dikemukakan menunjukkan begitu besarnya potensi otak manusia dengan segala kecerdasannya, dan masih banyak peluang untuk melahirkan bentuk kecerdasan lain-lain, misalnya kecerdasan nilai (Value Intellegence). Perkembangan dari majemuknya kecerdasan pada diri manusia, menunjukkan titik baik pada berpindahnya titik tumpu dari sumbu “semata kecerdasan kognitif” bergeser pada “kecerdasan majemuk” dan khususnya “kecerdasan spiritual”. Orang rindu kembali untuk melihat sebuah titik dalam diri manusia yang oleh Jean Paul Sartre disebut ”God spot”, sebuah ruang yang berisi keyakinan akan Sang Maha Pencipta. Telah terjadi gelombang balik yang dapat disebut sebagai sebuah megatrend dengan kembalinya orang menuju Tuhan. Fenomena ini terjadi pada berbagai agama, di Barat dan di Timur.

Inti persoalannya adalah nilai, yakni tema-tema sentral makna kehidupan yang sering diperbincangkan, tetapi belum digarap serius dalam pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir, memang ada arus pemikiran dan kebutuhan baru dalam dunia pendidikan untuk memberikan perhatian yang proporsional terhadap dimensi-dimensi afektif dari tujuan pendidikan, bersama-sama dengan aspek pengetahuan dn keterampilan. Sejak akhir dasawarsa 1970-an, para ahli pendidikan mulai secara sungguh-sungguh mengembangkan teori pendidikan yang memberikan perhatian pada aspek nilai dan sikap. Dalam referensi Barat, gerakan itu ditandai dengan munculnya teori yang dikenal dengan confluence education, affective education, atau values education. Dalam hal tertentu berkaitan dengan character education, moral education,dan spiritual educa- tion, karena materinya lazim berbasis nilai.

Di Indonesia, dasar dari pendidikan nilai berakar pada UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan dan tanggap terhadap tuntunan perubahan zaman (pasal 1 ayat 2 UU SPN 2003). Sedangkan Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan da membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

Pendahuluan

warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3 UUSPN Tahun 2003). Pendidikan adalah proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik (pasal 4 ayat 3 UUSPN Tahun 2003). Pendidikan nilai berperan dalam membentuk watak dan kehidupan bangsa yang potensial dan bangsa yang bermartabat dan beradab yang berlandaskan 10 nilai luhur budaya bangsa Indonesia (value based and claims), iman, takwa, akhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab.

Kecendrungan ke arah berkembangnya Pendidikan Nilai di Indonesia mulai populer di tahun 1970 an dengan dikembangkannya Pendidikan Humaniora, yang kemudian disusul dengan populernya Pendidikan Nilai (Val- ues Education). Populernya Pendidikan Nilai berkaitan erat dengan berkembangnya paradigma baru dari ahli pendidikan yang ingin memadukan nilai dengan ilmu selaras dengan paradigma ilmu tidak bebas nilai tetapi sarat dengan nilai, bahkan mensintesakannya dengan nilai-nilai agama. Akibatnya terjadi degradasi moral dan nilai dalam perilaku manusia.

Beberapa dasawarsa terakhir, para ahli pendidikan sains mengembangkan teori-teori dan pendekatan yang menghubungkan sains dengan lingkungan yang dikenal dengan Sains, Teknologi dan Masyarakat (Science, Technology, and Society=STS). Di antara strateginya adalah dengan memberikan muatan nilai pada sains. Nilai yang dimaksud dapat berupa nilai budaya dan nilai etik- moral, termasuk nilai moral keagamaan. Hal ini disebabkan karena sains dan teknologi (sebagai penerapannya) mempunyai implikasi sosial dan moral yang luas. Jadi sains dan teknologi tidak lagi bebas nilai, melainkan justru terikat pada nilai (values-laden), bahkan berkaitan dengan budaya (culturally bound). Oleh sebab itu, dikembangkan apa yang disebut dengan “values-laden science educa- tion”, yaitu pendidikan sains yang bermuatan nilai.

Bukan hanya nilai, melainkan nilai keagamaan. Dan sekali lagi, ini merupakan fenomena global. Bahkan di negara yang dianggap sangat sekuler sekalipun, seperti Inggeris, perhatian terhadap pendidikan nilai melalui sekolah semakin tumbuh. Sejak tahun 1978, kurikulum pendidikan sains di negara tersebut mulai memasukkan tema yang disebut “keberagamaan kehidupan” mendahului tentang Teori Evolusi. Di negara-negara maju lainnya, yakni dengan munculnya istilah “spiritual education” atau “spiritual parenting”, kalangan ahli pendidikan mulai secara sungguh-sunguh menoleh peranan pendidikan nilai, khususnya berbasis nilai keagamaan dalam menciptakan dunia yang lebih baik pada hari esok, di tengah-tengah fenomena degradasi moral di kalangan masyarakat.

Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

Untuk menyongsong fenomena demikian, maka dikehendaki para guru berperanserta dalam pendidikan nilai dalam rangka pembinaan karakter peserta didik. Untuk dalam pembelajaran nilai, moral dan karakter, seyogyanya terhadap peserta didik dalam pembelajaran dihadapkan pada berbagai pilihan dengan cara yang komprehensif. Untuk itu tentunya akan membutuhkan beberapa prosedur yang dapat mereka gunakan untuk menolong peserta didik dalam mengembangkan intelektual dan emosional mereka. Materi dalam buku ini akan memberikan beberapa prosedur tersebut.

Bab III, mendiskusikan bentuk dari indikator-indikator nilai. Untuk melihat kelayakan dengan beberapa ide dari apa yang orang nilai. Bab IV, menguraikan pendekatan dari pendidikan nilai yang dikenal sebagai klarifikasi nilai dan membahas kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan. Bab V, menguraikan dan mendiskusikan pendekatan “pertimbangan moral” yang didasarkan pada karya Lawrence Kohberg dan Jean Piaget. Bab VI, kemudian menguraikan beberapa tambahan ide-ide dan strategi untuk para guru agar mempertimbangkan bentuk-bentuk di atas atau melaksanakan di luar dari teknik-teknik yang digambarkan dalam Bab IV dan V. Terakhir, Bab VII memberikan sedikit keterampilan-keterampilan yang para guru akan butuhkan guna melibatkan peserta didik pada prosedur-prosedur dan strategi yang diuraikan pada Bab IV dan VI.

KEPUSTAKAAN

Djahiri, A. Kosasih (1985). Strategi Pembelajaran fektif Nilai Moral dan Games Dalam VCT, Bandung, Lab PMPKN IKIP. Bandung.

Djahiri, A. Kosasih.(1990). Menelusuri Dunia Afektif; Lab.PPKN UPI Djahiri, A. Kosasih (2008), Esensi Pendidikan Nilai Moral dan PKN di

Era Globalisasi. http://gurupkn.wordpress.com. Sauri, Sofyan. (2009). Implementasi Pendidikan Nilai dalam Pedagogik dan

Penyusunan Unsur-unsurnya. Bandung: SPs PU UPI. Supriadi, Dedi. (2004). “Pendidikan Nilai; Sebuah ‘Megatrend?”, dalam

Rohmat Mulyana (2004) Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

B B BAB II B B AB II AB II AB II AB II NILAI-NILAI D NILAI-NILAI D NILAI-NILAI D NILAI-NILAI D NILAI-NILAI DAN PENDIDIKAN AN PENDIDIKAN AN PENDIDIKAN AN PENDIDIKAN AN PENDIDIKAN

DI SEKOLAH DI SEK DI SEK DI SEK DI SEK OLAH OLAH OLAH OLAH

¾ Di Chicago, Illionis, guru biologi membedah seekor katak di depan peserta didik kelas 10. ¾ Di San Francisco, California, guru matematika dalam mengajar di kelasnya meletakkan keindahan dalam membuat bentuk-bentuk geometri.

¾ Di Atlanta, Georgia, guru tingkat 4 mewajibkan peserta didik, agar mengangkat tangan mereka, sebelum mereka berbicara dalam diskusi di Fremont, Nebraska, guru studi sosial meminta dengan tegas agar peserta didik menunjukkan fakta-fakta dalam diskusi mereka tentang sebab akibat dari perang Spanyol-Amerika.

¾ Di Albuquerque, New Mexico, guru SMP menyediakan satu pertemuan dalam seminggu, untuk membahas topik-topik seperti alienasi, kemiskinan, kejahatan dan penyelahgunaan obat-obatan untuk peserta didik kelas 8 dalam literatur Amerika.

¾ Di Boston, Masschusetts, guru TK memeriksa setiap hari peranan pertemuan-pertemuan di mana peserta didik duduk dalam lingkaran dan mencoba berkata “sesuatu yang manis” terhadap seseorang yang duduk di sebelah kiri dan kanan mereka.

Tiap peristiwa di atas memperlihatkan guru bekerja. Peristiwa- peristiwa tersebut memberikan pandangan singkat kepada kita tentang seseorang, dengan satu atau beberapa cara yang lain, sebagai kegiatan “mengajar”. Setiap peristiwa mengatakan kepada kita tentang seseorang sebagai insan manusia. Tiap individu, sudah pasti, dalam pikiran mempunyai tujuan atau sasaran yang ia coba untuk selesaikan. Tujuan-

Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

tujuan yang dimiliki seseorang, menyatakan pada kita sesuatu hal tentang apa yang disebut “nilai-nilai pribadi”, apa yang seorang anggap penting dalam hidup. Jadi tiap sketsa peristiwa yang telah dikemukakan, mem- berikan kepada kita beberapa ide (meskipun tidak dapat disangkal sebagai sesuatu yang sederhana sekali) dari nilai-nilai yang diajarkan oleh guru.

A. Nilai-nilai dan Sekolah

Mengajar adalah kegiatan yang diorientasikan pada nilai. Mengajar nilai-nilai dalam kenyataan adalah tidak dapat dihindarkan. Semua aktivitas dalam mana para guru terlibat, seperti meminta peserta didik untuk membaca buku-buku mereka, pengaturan dan penentuan tempat duduk, topik-topik yang dipilih untuk didiskusikan, gaya dalam berdiskusi dengan peserta didik, film-film dan rentetan foto film yang dipilih, pembicara-pembicara yang diundang, film-film yang dianjurkan dan dimainkan, tugas-tugas yang guru berikan dan ujian-ujian mereka persiapkan. Semuanya memberi kesan bahwa para guru menggarap beberapa ide, peristiwa, individu dan perilaku lebih penting dari yang lain, serta bagi peserta didik untuk dipertimbangkan.

Nilai-nilai tidak hanya diajarkan, tetapi juga ditumbuhkembangkan, demikian pula di sekolah-sekolah secara keseluruhan. Seperti John Childs (1950, 17-19) pernah mengemukakan bahwa organisasi dari sistem sekolah adalah berada dalam kegiatan moral itu sendiri, untuk menunjukkan upaya sengaja dari masyarakat manusia untuk mengontrol evolusi masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai dengan jelas meresap dalam kurikulum “formal” sekolah adalah direncanakan secara sengaja untuk pengalaman-pengalaman, yang didesain dan diharapkan untuk dilaksanakan, meskipun tidak selalu dinyatakan secara jelas, tujuan-tujuan dari berbagai bidang kurikulum. Bagaimanapun, nilai-nilai juga adalah bagian dari “kurikulum tersembunyi” merupakan pengalaman yang tidak direncanakan dan sering hasilnya tidak seperti diharapkan dan kadang- kadang tidak diharapkan bagi peserta didik untuk pelajari.

Pertimbangkan hal berikut: ¾ Di Des Moines, Iowa, beberapa peserta didik memakai sabuk-sabuk lengan hitam untuk satu hari sebagai simbol protes terhadap perang

Vietnam. Bila diminta untuk melepaskan sabuk-sabuk lengan, peserta didik menolak dan menundanya.

Nilai-nilai dan Pendidikan di Sekolah

¾ Di San Jose, California, peserta didik menggunakan hak untuk men- daftar masuk di sebuah sekolah dari beberapa SMA di kota. Petugas

sekolah memberitahu bahwa peserta didik tersebut tidak dapat didaftarkan hingga panjang rambutnya sesuai dengan ketentuan sekolah yang menyatakan: “Rambut peserta didik tidak jatuh ke bawah di depan mata dan tidak akan menutupi telinga serta tidak akan sampai ke bawah kerah baju di belakang”.

¾ Di Washington DC, guru pembimbing sekolah menegur seorang anak pria dan anak wanita, tidak boleh berjalan melewati ruangan dengan tangan bergandengan, sebab itu tidak baik.

¾ Di Seatle, Washington, guru kelas 4 meminta dua peserta didik untuk lebih berpartisipasi dalam diskusi-diskusi dan “berbicara terus terang di dalam kelas”. Para orang tua peserta didik yang beragama Budha, melakukan protes terhadap anak-anak mereka yang diberi ganjaran di rumah untuk tafakur (berpikir mendalam).

¾ Di Tofeka, Kansas, guru pendidikan jasmani mencegah seorang peserta didik untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan olah raga, sebab peserta didik itu menolak untuk mandi di sekolah. Orang tuanya meminta supaya ia dibebaskan dari keharusan mandi di sekolah, karena peserta didik itu juga melakukannya di rumah. Instruktur pendidikan jasmani menyatakan bahwa sekolah mempunyai kebijakan untuk “tidak ada pengecualian” dalam hal tersebut.

¾ Di Seatle, Washington, guru menyusun kembali meja-meja di kelasnya dalam bentuk lingkaran. Jadi peserta didik akan dapat lebih berperan serta secara mudah dalam diskusi kelas. Esok pagi dia datang ke sekolah dan melihat meja dalam keadaan berderet/lurus lagi. Guru mengeluh mengenai hal tersebut. Kepala sekolah menyuruh bahwa meja tersebut harus dibiarkan dalam keadaan berderet. Sebab itu sukar juga bagi petugas kebersihan untuk membersihkan ruangan kelas, jika meja-meja tidak disusun.

¾ Di New Bronswick, New Jersey, para guru diwajibkan untuk mendaftarkan diri pada alat pencatat waktu pada awal dan akhir hari kerja tiap hari kerja. Mereka diharuskan bertugas pada jam 08.15 dan tetap tinggal pada hingga jam 16.00. kelas dibuka jam 08.45 dan berakhir pada jam 14.45.

Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

¾ Di Canon City, Colorado, guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menulis di dinding, beberapa darinya terdapat

tulisan tidak sopan di papan tulis. Tulisan di dinding merupakan luapan perasaan negatif peserta didik terhadap kepala sekolah.

Apakah yang dilakukan dalam kejadian-kejadian seperti itu membawa pada peserta didik terhadap nilai-nilai dari pembuat kebijakan sekolah pada setiap kejadian? Apakah yang dilakukan mereka memberi kesan tentang macam-macam alat dari pembuat kebijakan yang diharapkan para peserta didik untuk dirinya sendiri terhadap nilai? Hal tersebut merupakan beberapa pertanyaan mendasar di sini untuk seluruh orang yang bekerja dalam sekolah, untuk berpikir tentang hal itu. Adakah konflik antara kurikulum formal dengan kurikulum tersembunyi dalam berbagai hal? Implikasi dari apa yang dilakukan, baik secara formal maupun informal, tidak dapat menolong, tetapi memberikan peserta didik beberapa ide mengenai apa yang dianggap penting oleh pengurus sekolah, para guru dan staf administrasi. Apakah hal tersebut dinyatakan dan/ atau termasuk dari apa yang akan dititik beratkan para guru dan staf administrasi.

Akankah itu mungkin menjauhkan pembelajaran nilai-nilai di sekolah? Jika ya, kamu pikir itu akan terjadi, bagaimana hal seperti itu dapat dihindari?

Hal yang dibahas di sini adalah bahwa “pendidikan nilai-nilai” berlangsung dalam seluruh waktu di sekolah. Tidak hanya pada kurikulum, tetapi juga dalam interaksi sehari-hari antara peserta didik dan staf sekolah. Sebagai contoh, misalnya dalam peristiwa-peristiwa dari tempat bermain, dalam satu macam olahraga yang disenangi dan yang tidak disenangi serta aturan sportivitas, pemuda diajar untuk menentukan perilaku mereka, peran yang sesungguhnya dalam berbagai permainan. Hal itu nampak dalam kehidupan sekolah, dalam seluruh perilaku yang disetujui atau tidak disetujui, sebagai pemuda mereka diajar dengan cara-cara konvensional atau moral untuk orang yang belum dewasa, dari masyarakat mereka. Itu semua kelihatan dalam definisi sekolah terhadap kenakalan dan dalam model perlakuan yang diharapkan terhadap mereka, juga nampak dalam cara anak diajar dalam

Nilai-nilai dan Pendidikan di Sekolah

memperlakukan sesuatu yang berbeda, semisal rasial, religi, jabatan, ekonomi, dan latar belakang nasional, atau dalam sains; dalam metode- metode yang diharapkan akan dipakai dalam pelaksanaan-pelaksanaan eksperimen-eksperimen mereka; dalam laporan-laporan mereka dari apa yang sebenarnya terjadi selama proses percobaan mereka, sama dengan anggapan para guru terhadap sains untuk ketetapan, untuk ketelitian, dan untuk kesimpulan yang didasarkan pada data yang obyektif ketimbang atas dasar impian khayal; nampak pula dalam lapangan studi sosial; dalam problem-problem yang dipilih untuk didiskusikan; dalam bentuk problem-problem yang didiskusikan; dalam dokumen-dokumen yang bersejarah dan peristiwa-peristiwa yang diutamakan, sama halnya dengan pemimpin yang dipilih untuk menggambarkan yang penting dan pantas, tidak penting dan tidak pantas dalam peristiwa-peristiwa manusia, nampak dalam lapangan literatur; dalam novel-novel, puisi-puisi dan drama-drama yang dipilih untuk dipelajari; pada apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk dalam berbagai bentuk dan gaya dari perilaku dan eksperimen manusia. Nampak pula dalam organisasi dan kepemimpinan sekolah; pada peranan pemimpin, pengawas, guru, dan para peserta didik yang diharapkan berperan dalam perbuatan dan pemeliharaan peraturan-peraturan sekolah; nampak dan metode-metode penggolongan, promosi dan distribusi penghargaan di antara peserta didik disekolah; nampak dalam perayaan hari libur nasional; pada peristiwa tertentu yang dirayakan sama seperti pada tokoh-tokoh sejarah dan sekarang yang pilih sebagai contoh kualitas dari warga negara dan warga negara yang berjasa melayani masyarakat; nampak program pertemuan umum di sekolah; dalam aneka ragam pemimpin masyarakat yang menjadi pembicara untuk kalangan peserta didik; nampak dalam cara yang dilakukan guru, kualitas kebebasan dan inisiatif yang mereka lakukan, pada tingkat tertentu para guru diyakinkan untuk ambil bagian dalam kehidupan masyarakat mereka, dan dalam tingkat tertentu pemuda percaya bahwa mereka belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dipatuhi, dalam latihan rutin sebagai orang yang ditugaskan. Nampak dalam cara masyarakat ditata untuk perilaku yang sesuai dengan karakteristik sekolah; dalam ketentuan yang dibuat untuk pekarangan sekolah, bangunan-bangunan dan peralatan, dalam macam orang yang dipilih untuk membantu dewan sekolah, dalam hubungan dengan anggota-anggota dewan untuk staf administrasi dan pengajaran.

Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

Sebagaimana John Childs (1950,17:19) telah telah nyatakan bahwa “Faktor moral kelihatan kapan saja di sekolah, atau pada guru dan pada pengawas

secara individual, adalah dalam hal-hal tertentu dan hal-hal yang lain”. Meskipun demikian, moral mesti diakui, bahwa perhatian yang tegas terhadap isu nilai-nilai dan sumber nilai berdasarkan pilihan-pilihan mendasar secara sistematis jarang terjadi dalam berbgai sekolah dan kelas. Sebagaimana indikasi di atas, diskusi dan analisis terhadap nilai masih nampak terjadi secara implisit (yaitu, melalui seleksi dan penggunaan buku-buku tertentu dan materi-materi yang lain) dari pada dilakukan dengan sengaja sebagai hasil perencanaan dan desain yang cermat oleh para guru dan para pengelola sekolah. Mengapa demikian?

Beberapa alasan dapat diusahakan untuk menyatakan bahwa banyak guru dan sekolah tidak terlibat dalam pendidikan nilai secara sistematis. Banyak guru di USA sekarang tumbuh dalam budaya yang dipandang tradisional, pertanyaan-pertanyaan terhadap nilai sebagai materi pribadi yang esensial, tidak untuk dibahas secara umum. Sering para orang tua dan kelompok yang lain dari warga negara menentang diskusi di sekolah sebagai kontroversi, isu-isu nilai - oleh mereka amat alami - dilibatkan. Selanjutnya, beberapa guru kuatir bahwa usaha yang jelas dalam mengembangkan nilai atau untuk membahas isu-isu nilai dalam kelas, mengurangi indoktrinasi yang menjadi bagian mereka. Beberapa, didorong oleh pengaruh kursus-kursus akademi mereka yang memusatkan “berikan fakta”, menyatakan bahwa memiliki lebih dari cukup untuk mencoba dalam “memberikan materi pelajaran secara padu” tanpa harus cemas terhadap nilai-nilai. Keyakinan yang lain bahwa pendidikan nilai adalah bidang yang lebih pantas bagi keluarga atau tempat ibadah. Dan sedikit diakui bahwa mereka tidak tahu bagaimana untuk mengajar tentang nilai, bahkan jika mereka diharapkan untuk melakukannya.

Meskipun kebenaran-kebenaran dan kekuatiran-kekuatiran dapat dimengerti, mereka tidak membutuhkan, tidak menghalangi para guru dari urusan nilai-nilai dan isu-isu nilai dalam kelas-kelas mereka. Pertama, beberapa isu dan topik suatu kejadian yang dipandang sebagai materi- materi pribadi, sekarang dibahas secara terbuka dalam berbagai surat kabar dan majalah. Kedua, para guru dapat menolong para peserta didik untuk berpikir mengenai dan membahas isu-isu nilai dasar, tanpa menuntut hal-hal yang khusus dari pandangan atau posisi yang didukung atau diterima.

Nilai-nilai dan Pendidikan di Sekolah