KEBERMAKNAAN DALAM acara indonesia MENGAJAR

Kebermaknaan dalam Mengajar
Oleh : Muqorobin
(Kepala SMA Avicenna Cinere)
Dimuat di HU Republika edisi 21 Oktober 2013
Abraham Maslow dalam teori psikologinya membagi kebutuhan manusia menjadi
lima yaitu kebutuhan fisiologis, keamanan dan keselamatan, sosial, penghargaan dan
aktualisasi diri. Berpijak dari teori itu, maka pantaslah kalau ada ungkapan yang mengatakan
bahwa “manusia tidak akan pernah puas”. Domain kebutuhan yang seringkali ditemukan
adalah kepuasaan dalam dunia kerja termasuk mengajar, karena memang kelima bagian
kebutuhan itu merupakan aspek yang saling terkait dalam menjalankan tugas profesional guru
yakni mengajar. Dalam konsep agama pencapaian kepuasan mewujudkan kebermaknaan
dalam mengajar tentunya tidak terbatas pada aspek material-duniawi tetapi juga menyentuh
pada aspek spiritual-ukhrawi yang memiliki nilai ibadah.
Kebermaknaan dalam mengajar adalah mengandung konotasi kepuasan kebatinan
atau sesuatu “yang hakiki” dalam menjalankan tugas profesional pengajaran guru pada
siswanya. Parameternya bukan hanya kepuasan tingginya pendapatan materi dan prestasi
yang diperoleh guru, tetapi lebih dari itu adalah adanya kepuasan batin terhadap apa yang
dilakukan dalam proses pengajaran. Dengan demikian, kebermaknaan dalam mengajar
merupakan sesuatu yang bersifat kepuasan kebatinan yang didasarkan pada nilai-nilai
ketauhidan dalam menjalankan tugas mengajar sebagai sesuatu ibadah.
Kebermaknaan dalam mengajar memberikan manfaat sebagai: Pertama, pencarian

makna dalam kehidupan merupakan bagian setiap manusia. Dengan menemukan makna,
seseorang merasakan pemenuhan akan hidupnya, menerima kondisi apa pun atau memiliki
keberanian dalam menghadapi segala situasi tugas profesional pengajarannya. Kedua,
penemuan makna memiliki manfaat riil bagi sekolah tempat guru mengabdi. Guru yang
dalam menjalankan tugas mengajarnya dilandasi kebermaknaan, maka guru akan merasa
lebih puas, berdedikasi dan berusaha melakukan yang terbaik untuk meningkatkan kinerja
dan hasil pengajaran yang dilakukan. Ketiga, guru yang memiliki kebermaknaan akan
senantiasa bersabar dalam mengajar dan pandai bersyukur atas segala kondisi sosial yang
dihadapinya, karena guru sadar bahwa semua ada ketentuan dari Allah SWT.
Secara implementatif upaya pemenuhan dan penemuan kebermaknaan dalam
mengajar dapat dilakukan dalam bingkai pemberdayaan potensi seutuhnya oleh guru,
sehingga makna dapat memberikan stimulan untuk menjalankan tugas profesional mengajar
lebih totalitas dengan berdasarkan hati (heart), intelektualitas (head), dan keterampilan
(hand).
Mengajar dengan hati (heart) akan mendorong kemauan lebih kuat dalam melakukan
hal positif. Pikiran dan perilaku akan semakin terarah untuk menghasilkan sesuatu yang
produktif sesuai dengan tujuan pendidikan. Dari hati inilah yang dapat mendorong gerak
pikiran, kemauan dan tindakan seseorang. Segala tindakan yang dilakukan dengan
berdasarkan pada pertimbangan batiniah yang logis dan tidak emosional negatif sesaat.
Mengajar dengan hati akan mengurangi rasa kecewa, keluh kesah dan tidak puas secara

berlebihan. Sebaliknya yang ada akan memunculkan sikap optimisme, semangat berbuat
positif dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan. Ketika kita bekerja
dengan hati, kemauan kita akan lebih kuat. Pikiran kita akan semakin tajam, sehingga akan
lebih produktif dibanding bekerja tanpa hati. Dorongan hatilah yang menggerakkan pikiran,
kemauan dan tindakan kita.
Ketika mengajar dengan kebermaknaan, pikiran akan lebih tajam karena guru
memiliki kesadaran untuk selalu meng-update dengan kemauan untuk belajar (continous
learning) bukan hanya sekedar mengajar. Dengan begitu, guru yang bersangkutan akan

semakin lebih produktif dan adaptif terhadap perubahan zaman yang terjadi disekitarnya.
Inilah satu sisi menarik dan bisa menjadi seni tersendiri dalam menjalankan fungsi tenaga
pendidikan di sekolah, manakala dialektika keilmuan selalu diupdate, berubah dan bukan
menjadikannya sebagai barang mati yang ancountable. Kesalahan yang paling fatal dan
sering terjadi pada guru didalam menjalankan tugas profesional mengajar adalah “kepuasan
sesaat” terhadap hasil pendidikan dunia perguruan tinggi, serasa setelah guru lulus dari
perguruan tinggi dan manakala dia bekerja sebagi pendidik, semua proses belajar berakhir
dan berhenti. Padahal tidak, dalam dunia pendidikan (sekolah) proses belajar harus senantiasa
dilakukan setiap individu yang terlibat (siswa, guru dan kepala sekolah), dimana saja dan
kapan saja. Dari proses itulah, penciptaan iklim dan budaya belajar bagi warga sekolah akan
terwujud.

Sedang bekerja dengan potensi keterampilan (hand) akan mendorong kesadaran
seorang guru mau untuk “ringan tangan” dalam membuat upaya kreatif, tersentuh untuk
membantu dengan sesama dan mampu mendorong terciptanya kerjasama tim antar guru.
Guru yang memiliki kebermaknaan potensi keterampilan dalam mengajar tidak selalu
mengandalkan kelengkapan fasilitas pembelajaran yang serba ada. Akan tetapi dalam kondisi
serba kekurangan dan keterbatasan guru selalu siap dan mampu bertahan kreatif dengan
mencari solusi dan memberdayakan fasilitas seadanya dengan penuh makna.
Dalam konteks perubahan dan transformasi dinamika zaman yang serba cepat seperti
pada saat ini, kebermaknaan mengajar bagi guru sangat dibutuhkan. Gemerlapnya tawaran
teknologi yang serba instan, gaya hidup yang serba mudah dan pola interaksi yang semakin
bebas merupakan tantangan nyata bagi guru dalam menjalankan tugas profesional mengajar.
Semua tantangan kita tentu tidak bisa ditolak ataupun diterima secara utuh, tetapi yang
dibutuhkan adalah bekal kebermaknaan dalam menjalankan tugas mengajar, sehingga guru
akan tetap mengikuti alur perubahan zaman namun tidak terbawa arus perubahan zaman yang
bisa mengarah ke dampak yang negatif dan tetap produktif untuk mencerdaskan anak
bangsa.! Waallahu a’lam bil shawab.