Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Pesan Lesbianisme Dalam Film “Yes Or No” dan Kaitannya dengan Penerimaan Masyarakat (Studi Semiologi Roland Barthes) T1 362009097 BAB II

(1)

BAB II

TINJAUAN TEORETIS

Bab ini akan didahului dengan penelusuran pustaka terhadap hasil-hasil penelitian dengan topik yang terkait dengan penelitian ini. Penelusuran ini diperlukan untuk mengetahui pendekatan teori dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian-penelitian tersebut. Pengetahuan itu perlu untuk mendapatkan inspirasi dalam menyusun kerangka teori dan metode penelitian ini atau memperkuat pilihan teori dan metode yang ditetapkan oleh penulis. Sesudah penelusuran pustaka, akan disajikan kerangka teori untuk penelitian ini dan dilanjutkan dengan pengertian dari konsep-konsep yang digunakan.

2.1. Penelusuran Pustaka Tentang Penelitian Yang Terkait

Penelitian dalam perspekti ilmu komunikasi terhadap karya-karya komunikasi massa yang bertemakan lesbian telah dilakukan oleh banyak sarjana. Beberapa dari antaranya akan diuraikan dibawah ini.

1) Lesbianisme dalam Novel (Studi Semiotika tentang Makna Lesbianisme dalam Novel Gerhana Kembar Karya Clara Ng)

Oleh : Ayu Abriyani Kusuma Pertiwi (Pertiwi, 2010)

Novel Gerhana Kembar mengisahkan kisah percintaan lesbianisme yang berasal dari ketulusan hati. Lewat simbol-simbol, penulis penelitian ini ingin memaknai bagaimana makna lesbianisme direpresentasikan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan kajian semiotika komunikasi dan memberikan pengetahuan bahwa lesbian juga mempunyai sisi lain yang baik dan tidak selalu identik dengan kelakuan yang buruk. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala, atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat. Pengumpulan data dilakukan melalui buku-buku dan studi pustaka. Analisa data dilakukan dengan metode semiotika


(2)

komunikasi melalui tahap proses pemaknaan Pierce untuk mengetahui apa saja makna yang terkandung dalam Novel Gerhana Kembar yang terkait dengan makna lesbianisme berdasarkan kategori percintaannya, perasaannya, dan perilakunya. Validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik triangulasi sumber.

Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa dalam novel ini lesbian digambarkan sebagai manusia biasa yang mempunyai impian dan harapan. Percintaan yang terjadi pada pasangan lesbian terlihat dari rasa ketertarikan, kekaguman dan ungkapan perasaan cinta pada pasangannya. Perasaan lesbian sama halnya dengan perasaan orang biasa, dalam novel ini terlihat dari rasa bahagia, rasa kecewa, dan rasa takut. Terkadang mereka juga mempunyai perasaan bersalah karena telah menyalahi kodrat dan mencintai sesama jenis. Perilaku lesbian yang terlihat dalam novel ini antara lain saling mencium, merangkul, berdekapan, jalan bergandengan, duduk bersanding, saling membelai, dan saling menghibur.

2) Krisis Identitas Seorang Lesbian (Analisis Semiotika Film Boy’sDon’t Cry)

Oleh: Miranti Saputri (Saputri, 2011)

Film Boys Don’t Cry merupakan salah satu film yang salah satu bagian didalamnya menceritakan tentang cinta Lesbian dan konfliknya serta optimismenya dalam hidupnya. Krisis identitas Lesbian yang akhirnya digolongkan menjadi Transeksual dalam tokoh utama film ini serta banyaknya sorotan media dewasa ini tentang Lesbian dan Transeksual tidak hanya menjadi subjek, namun juga sebagai objek komoditi atau marjinalisasi Lesbian serta Transeksual dalam film, membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui krisis identitas seorang Lesbian dimaknai melalui tanda-tanda dalam film Boys Don’t Cry. Penelitian ini berorientasi pada komunkasi sebagai produksi dan pembangkitan makna. Pencarian makna pada film harus menggunakan metode yang tepat, yang nantinya


(3)

akan membantu peneliti mengungkap makna yang tersembunyi di balik tanda-tanda dalam sebuah film. Karena film dikonstruksi oleh tandatanda, maka pemaknaan ini dirasa tepat dengan menggunakan metode semiotik. Penelitian ini menggunakan metode semiotik Roland Barthes karena peta tanda Roland Barthes mengenai tanda konotatif dan denotatif juga mitos sebagai modus pertandaan, dirasa lengkap dan tepat untuk meneliti audio visual dalam film Boys Don’t Cry. Proses pemaknaan pada tanda melalui tanda konotatif dan denotatif sebagai proses semiosis. Analisis tanda nantinya akan mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh bagaimana subJek dan obJek bisa dimaknai secara bersamaan dan memberikan kesan atau pesan. Menggunakan metode semiotik dalam penelitian pada dasarnya adalah sebuah metodologi kualitatif-intrepetatif. Dengan tujuan untuk mengetahui representasi krisis identitas Lesbian, maka plot-plot yang dipilih adalah yang memunculkan tandatanda yang mengandung krisis identitas Lesbian. Pemaknaan dua elemen penting dalam film, yaitu audio (meliputi dialog/monolog/voice over, ilustrasi musik,sound effect) dan visual (meliputi teknik pengambilan gambar,lighting, visualisasi, warna) akan dijadikan sebagai unit analisis data.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa krisis identitas Lesbian yang dikonstruksikan dalam film Boys Don’t Cry ditampilkan melalui representasi tokoh utama yaitu Teena Brandon. Kriris identitas lesbian dalam film Boys Don’t Cry dikonstruksikan secara dinamis melalui dua struktur yang membentuk film yaitu audio dan visual. Sedangkan makna krisis identitas lesbian, diidentifikasikan menjadi tiga, yaitu merujuk pada identifikasi melalui elemen konsep diri yaitu proses pengembangan kesadaran diri. Proses pengembangan kesadaran diri diperoleh melalui tiga cara, yaitu cermin diri, pribadi sosial dan perwujudan diri. Tokoh Brandon mempressentasikan cermin diri sebagai sikap optimis tentang krisis identitasnya. Dimana ia menjadi subyek dan objek dimana ia merupakan subyek sebagai pelaku utama dan obyek


(4)

pengembangan dirinya. Pribadi sosial ditampilkan melalui penolakan, hinaan, permaluan, pemerkosaan, pukulan serta pembunuhan yang di alami Brandon oleh Tom dan John. Yaitu juga diperlihatkan relasinya kepada Lana yang mencintainya apa adanya serta Candance, ibu Lana. Perwujudan diri Brandon ditampilkan dari keseharian yang dilakukan Brandon. Perwujudan diri ini bukan terjadi secara drastis, namun karena kebiasaan seseorang.

3) Representasi Lesbianisme dalam Film Detik Terakhir Oleh: Vony Maria (Maria, 2008)

Film ini menawarkan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan manusia dan merupakanrepresentatif dari realitas yang terjadi di masyarakat. Hal yang tabu untuk dipertontonkan, kini sudah bebas diperlihatkan di depan umum, mulai dari menggunakan obat-obatan terlarang di tempat umum sampai memperlihatkan adegan mesra dengan sesama jenis. Dunia lesbian dalam film “Detik Terakhir” merupakan realitas yangfenomenal, bahkan tak dipungkiri menimbulkan p r o d a n k o n t r a . F i l m i n i sangat menarik untuk diangkat karena merupakan hal yang tabu dan bertolak belakang dengan budaya timur masyarakat Indonesia. Para kaum lesbian yang tertutup, kini sudah berani lebih terbuka memperkenalkan identitas dirinya sebagai lesbian kepada masyarakat umum. Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah penulis adalah untuk melihat realitas mengenai kaum lesbian dan untuk mengetahui gejala pada kaum lesbian.

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa seserang dapat menjadi seorang lesbian adalah kaena pengaruh lingkungan, dalam film ini digambarkan melalui kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, lesbian dalam film ini juga diceritakan sebagai pintu yang membawa pelakunya untuk lebih dekat dengan kehidupan malam, narkoba, dan minum-minuman keras.


(5)

Dari penelitian-penelitian yang telah dipaparkan diatas dapat dilihat bahwa penelitian-penelitian tersebut lebih menekankan kepada representasi realitas sosial mengenai kaum lesbian yang ada dalam masyarakat. Dalam penelitian yang pertama menggambarkan sisi humanisme dimana kaum lesbian menjalani kisah cintanya sama seperti kaum heteroseksual meskipun ada konflik batin dalam diri pelaku. Penelitian kedua lebih menekankan dari aspek psikologis tokoh utama yang mengalami krisis identitas dan bagaimana diskriminasi yang didapat oleh tokoh utama sebagai seorang transgender. Penelitian ketiga lebih melihat realitas kehidupan kaum lesbian yang digambarkan dalam film tersebut dekat dengan kehidupan malam, minuman keras, dan narkoba. Dengan demikian, maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa tujuan dari penelitian yang akan penulis lakukan adalah lebih mengarah kepada analisis konstruksi pesan melalui tanda-tanda verbal dan non verbal yang diwakili oleh judul film, tokoh-tokoh utama dan pembantu utama, setting dan isi cerita, serta soundtrack film, untuk melihat bagaimana film yang mengangkat tema yang tabu dalam masyarakat ini dapat diterima oleh masyarakat, tidak hanya di Thailand, tapi juga di negara lain seperti Taiwan, Filipina, China, Hongkong, dan bahkan di Indonesia sendiri.

2.2. Kerangka Teori

1) Teori Penyimpangan Sosial

Teori ini digunakan untuk melihat mengapa homoseksualitas, khususnya lesbian, masih dianggap sebagai salah satu bentuk penyimpangan sosial dan menjadi hal yang tabu untuk diperbincangkan. Teori ini juga melihat bagaimana sang komunikator berusaha mengubah pandangan masyarakat dengan cara memperbesar rasa toleransi melalui film Yes Or No ini.

Penyimpangan (deviation) adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat. Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang, sejauh mana


(6)

penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat.

Pengertian Penyimpangan Sosial menurut James W. Van Der Zanden merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi. Sedangkan Robert M. Z. Lawang berpendapat bahwa perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang (Kusnarto, 2010).

Terdapat dua bentuk penyimpangan sosial, yaitu penyimpangan primer, yaitu penyimpangan yang bersifat sementara dan tidak dilakukan secara berulang, dan penyimpangan sekunder, yaitu penyimpangan yang secara umum sering dilakukan atau sering disebut perbuatan menyimpang dan dilakukan secara berulang. Penyimpangan sosial juga dibedakan menjadi dua jenis, yaitu penyimpangan individual, yaitu suatu perilaku pada seseorang dengan melakukan pelanggaran terhadap suatu norma pada kebudayaan yang telah mapan akibat sikap perilaku yang jahat atau terjadinya gangguan jiwa pada seseorang, dan penyimpangan kolektif, yaitu suatu perilaku yang menyimpang yang dilakukan oleh kelompok orang secara bersama-sama dengan melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga menimbulkan keresahan, ketidakamanan, ketidaknyamanan serta tindak kriminalitas lainnya. Bentuk penyimpangan sosial tersebut dapat dihasilkan dari adanya pergaulan atau pertemanan sekelompok orang yang menimbulkan solidaritas antar anggotanya (in-group) yang seringkali menimbulkan konflik dengan kelompok lain (out-group). Selain itu, dalam suatu masyarakat juga dapat ditemukan bentuk-bentuk penyimpangan budaya, yaitu suatu bentuk-bentuk ketidakmampuan seseorang menyerap budaya yang berlaku sehingga bertentangan dengan budaya yang ada di masyarakat.


(7)

2) Teori Norma Budaya

Teori ini digunakan untuk melihat bagaimana film ini digunakan sebagai sarana untuk mengukuhkan keberadaan kaum lesbian di dalam masyarakat Thailand serta sebagai sarana untuk menumbuhkan norma baru dalam masyarakat yang tidak homophobic dan mau menerima keberadaan kaum lesbian di tengah-tengah masyarakat.

Dalam teori yang di perkenalkan oleh Melvin DeFleur ini disebutkan bahwa media massa melalui kontennya, dapat menguatkan budaya atau bahkan sebaliknya media massa menciptakan budaya baru dengan caranya sendiri. Teori norma budaya menurut Melvin DeFleur hakikatnya adalah bahwa media massa melalui penyajiannya yang selektif dan penekanan-penekanannya pada tema tertentu dapat menciptakan kesan-kesan pada khalayak dimana norma-norma budaya umum mengenai topik yang diberi bobot itu, dan dibentuk dengan cara-cara tertentu. Oleh karena itu perilaku individual biasanya dipandu oleh norma-norma budaya mengenai suatu hal tertentu, maka media komunikasi secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku. Media massa melalui informasi yang disampaikannya dengan cara-cara tertentu dapat menimbulkan kesan yang oleh khalayak disesuaikan dengan norma-norma dan nilai-nilai budayanya.

Fungsi media massa dalam kaitannya dengan norma budaya dalam masyarakat adalah sebagai berikut; pesan-pesan yang disampaikan media massa memperkuat budaya yang ada, media massa telah menciptakan pola baru tetapi tidak bertentangan bahkan menyempurnakan budaya lama, dan media massa mengubah budaya lama dengan budaya baru yang berbeda dengan budaya lama (Sutaryo, 2005: 106). Menurut teori ini komunikasi massa memiliki efek yang tidak langsung atas perilaku melalui kemampuannya dalam membentuk norma-norma baru. Norma-norma ini berpengaruh terhadap pola sikap untuk pada akhirnya akan mempengaruhi pola-pola perilakunya. Media massa melalui penyajiannya yang selektif dan menekankan pada tema-tema tertentu mampu menciptakan kesan yang


(8)

mendalam pada khalayaknya, ketika norma-norma budaya yang mengenai topik-topik yang ditekankan itu disusun dan diidentifikasikan dengan cara-cara tertentu. Oleh karena perilaku individu biasanya terbina melalui norma-norma budaya dengan cara memperhatikan topik atau situasi yang diberikan, maka media massa akan bertindak secara tidak langsung dalam mempengaruhi perilaku (Al-gifary, 2010).

3) Teori Perubahan Sosial

Teori ini digunakan untuk melihat upaya-upaya melalui simbol apa sajakah yang digunakan oleh sang komunikator untuk mengubah norma dan nilai yang sudah ada dalam masyarakat, terkait dengan lesbianisme. Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan-perubahan itu dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, dan lain sebagainya. Perubahan dalam suatu masyarakat adalah salah satu gejala yang umum dan salah satu pendorong terjadinya perubahan tersebut adalah media.

Definisi dari perubahan sosial menurut Selo Soemardjan adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. (Soekanto, 2007: 218) Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan maupun perubahan dalam bentuk aturan-aturan sosial.

Terdapat tiga bentuk perubahan sosial, yaitu:

1. Perubahan yang terjadi secara lambat dan perubahan yang terjadi secara cepat

Perubahan yang lambat atau evolusi dibagi menjadi beberapa kategori yaitu, Unilinear theories of evolution yang mengatakan bahwa manusia berkembang dari bentuk sederhana ke bentuk yang lebih kompleks dan


(9)

akhirnya pada bentuk yang sempurna. Universal theory of evolution yang mengatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak melalui tahap-tahap yang tetap dimana masyarakat homogen berkembang menjadi masyarakat heterogen. Multilinear theories of evolution yang mengatakan bahwa perkembangan masyarakat melalui tahap-tahap tertentu dalam evolusi masyarakat. Sedangkan perubahan yang cepat atau revolusi mencakup perubahan-perubahan mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dari kehidupan masyarakat. Revolusi dapat terjadi apabila terdapat keinginan dalam masyarakat yang dapat ditampung oleh seorang pemimpin serta memiliki tujuan yang jelas dan momentum yang tepat.

2. Perubahan yang berpengaruh besar dan yang berpengaruh kecil

Perubahan berpengaruh kecil adalah perubahan sosial yang tidak membawa pengaruh secara langsung atau pengaruh yang berarti dalam masyarakat, contohnya perubahan mode pakaian. Sebaliknya, perubahan berpengaruh besar memiliki dampak yang cukup besar dalam masyarakat, contohnya adalah sistem ekonomi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri.

3. Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan dan perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan

Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan adlaah perubahan yang diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan dalam masyarakat (agent of change). Sedangkan perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan adalah perubahan yang tidak diperkirakan sehingga dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan oleh masyarakat.

Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sosial dalam masyarakat di antaranya adalah fluktuasi jumlah penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan atau konflik dalam masyarakat baik antar individu maupun antar kelompok, terjadinya revolusi atau pemberontakan dalam tubuh masyarakat itu sendiri yang dapat disebabkan oleh faktor


(10)

lingkungan, peperangan, atau kebudayaan masyarakat lain. Perubahan juga didorong oleh beberapa hal diantaranya adalah kontak dengan kebudayaan lain, difusi antar masyarakat, sistem pendidikan yang maju, toleransi terhadap perilaku menyimpang, keterbukaan sistem dalam masyarakat, penduduk yang heterogen, dan ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu. Sedangkan faktor yang menghambat terjadinya perubahan adalah kurangnya hubungan dengan masyarakat lain, perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat, sikap masyarakat yang tradisional, adanya kepentingan yang tertanam kuat dalam masyarakat, rasa takut akan terjadi kegoyahan integrasi kebudayaan, prasangka terhadap hal baru, ideologi dalam masyarakat, dan adt atau kebiasaan.

4) Teori Fungsional Struktural

Teori ini digunakan sebagai teori pendukung untuk melihat mengapa lesbianisme masih sulit untuk diterima dalam masyarakat serta melihat bagaimana upaya komunikator mencoba mengubah sistem yang sudah ada dalam masyarakat melalui simbol-simbol verbal dan non verbal yang ada dalam film ini.

Menurut Talcott Parsons, teori fungsional dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistem tindakan, yang terkenal dengan skema AGIL. Suatu fungsi (function) adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Dengan menggunakan definisi ini, Parsons yakin bahwa ada empat fungsi penting diperlukan semua sistem. Pertama, adaptation (A), dimana sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya. Kedua, goal attainment (G), dimana sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. Ketiga, integration (I), dimana sebuah sistem harus mengatur antarhubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Keempat,


(11)

latensi (L) atau pemeliharaan pola dimana sebuah sistem harus memperlengkapi memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi (Nurwahid, 2011: 3).

Menurut Robert K. Merton, teori ini lebih menekankan pada keteraturan (order), mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat dimana konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest, dan keseimbangan. Masyarakat merupakan suatu sistem sosial, yang terdiri atas bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian lainnya. Setiap struktur dalam sistem sosial berfungsi terhadap sistem yang lainnya (fungsional). Sebaliknya kalau struktur itu tidak fungsional maka akan hilang atau tidak ada dengan sendirinya (Nurwahid, 2011: 4).


(12)

1.3.Kerangka Berpikir

2.4. Konsep yang Digunakan 1) Film

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka (KBBI, 1990 : 242), film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop). Film juga diartikan sebagai lakon (cerita) gambar hidup. Pengertian lebih lengkap dan mendalam tercantum jelas dalam pasal 1 ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman di mana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronika, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan

Konstruksi Pesan sehingga dapat diterima oleh masyarakat

Tahap denotatif Tahap konotatif

Film Yes Or No

Pengukuhan eksistensi kaum lesbian dalam masyarakat Thailand

(Teori Norma Budaya)

Usaha menumbuhkan nilai dan norma baru dalam masyarakat

(Teori Norma budaya + Teori Perubahan sosial)


(13)

dan/atau ditayangkan dengan sistem mekanik, elektronik dan/atau lainnya. Film atau gambar bergerak merupakan suatu proses perekaman gambar fotografi dengan kamera atau menciptakan gambar dengan menggunakan teknik animasi atau efek visual. Film terbentuk sebagai artefak budaya karena diciptakan oleh budaya, menggambarkan budaya, serta mempengaruhi budaya itu sendiri. Film adalah sebuah proses sejarah atau proses budaya suatu masyarakat yang disajikan dalam bentuk gambar hidup. Sebagai sebuah proses, banyak aspek yang tercakup dalam sebuah film. Mulai dari pemain atau artisnya, produksi, bioskop, penonton, dan sebagainya. Film juga identik sebagai hasil karya seni kolektif yang melibatkan sejumlah orang, modal, dan manajemen. Dalam proses pembuatannya, pada dasarnya film merupakan komoditi jasa kreatif untuk dinikmati masyarakat luas. Dinilai dari sudut mana pun, film adalah acuan otentik tentang berbagai hal, termasuk perkembangan sejarah suatu bangsa. Film merupakan karya cipta manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan (Naibaho, 2008).

Fungsi film diantaranya adalah sebagai media informasi dan merupakan media sosial karena melalui film masyarakat dapat melihat secara nyata apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tertentu pada masa tertentu. Selain itu, film juga dapat berfungsi sebagai alat penghibur, pendidik, serta dapat mendoktrinasi pemikiran orang yang menyaksikannya. Film juga merupakan dokumen sosial, karena melalui film masyarakat dapat melihat secara nyata apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tertentu pada masa tertentu. Melalui film kita tidak hanya dapat melihat gaya bahasa atau mode pakaian masyarakat, tapi juga dapat menyimak bagaimana pola pikir dan tatanan sosial masyarakat pada era tertentu.

2) Budaya Penyimpangan Orientasi Seksual

Kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan


(14)

sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. (Soekanto, 2007: 150). Budaya mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan, dan bertindak. Budaya merupakan proses belajar. Oleh karena itu, Koentjaraningrat berpendapat bahwa hampir semua tindakan manusia itu adalah budaya karena diperoleh dari hasil belajar. Budaya adalah seperangkat nilai, gagasan, artefak, dan simbol bermakna lain yang membantu individu berkomunikasi, membuat tafsiran, dan melakukan evaluasi sebagai anggota masyarakat. (Engel, 1994: 69).

Pada umumnya, masyarakat cenderung mengikuti budaya mayoritas, yang dalam penelitian ini adalah heteroseksual. Dengan mindset masyarakat yang demikian, maka kelompok homoseksual yang relatif minoritas dianggap sebagai suatu penyimpangan sosial.

Penyimpangan orientasi seksual ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang lain mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender yang sama dimana perilaku seksualnya melingkupi aktivitas untuk menemukan dan menarik perhatian pasangan, interaksi antar individu, kedekatan fisik atau emosional, dan hubungan seksual dengan gender yang sama tidak peduli orientasi seksual atau identitas gender, identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual. Aspek ini mengarah pada identitas seksual sebagai gay atau lesbian.

Pada sebuah penelitian pada orang-orang kembar di tahun 2008, ternyata 35 persen perilaku homoseksual pada pria dipengaruhi oleh gen, sementara 65 persen merupakan pengaruh lingkungan dan pendidikan orang tua. Sedangkan pengaruh gen pada penyimpangan orientasi seksual pada perempuan (lesbian), hanya 18 persen. Dominasi hormon prestogen dan testosteron juga turut memengaruhi. Contohnya, bila seorang laki-laki memiliki hormon presetogen lebih dari batas normal, maka akan menyebabkan penampilannya kewanita-wanitaan. Dari tinjuan psikologis, minimal ada 3 hal yang dapat merubah orientasi seksual seseorang menjadi seorang homoseksual. Pertama, kehilangan figur ayah atau ibu, sehingga ia


(15)

tidak mendapatkan kasih sayang. Kedua, pengalaman. Ketiga, dari kecil merasa berbeda.

Para pakar masih berpendapat bahwa homoseksual bersifat multifaktorial. Terjadinya homoseksual termasuk lesbian dapat terjadi karena berbagai faktor, yaitu, faktor biologi berupa terganggunya struktur otak kanan dan kiri serta adanya ketidakseimbangan hormonal; faktor psikologis, pada suatu penelitian yang membandingkan antara 100 lesbian dan perempuan heteroseksual menunjukkan hasil adanya penolakan terhadap ibu dan tidak adanya peran seorang ayah. Selain itu, pengkondisian psikologis dihubungkan dengan reinforcement atau punishment pada awal perilaku seksual, termasuk juga pikiran dan perasaan menyangkut seksualitas yang mengontrol proses terbentuknya orientasi seksual.

3) Penerimaan Masyarakat

Penerimaan masyarakat adalah cara masyarakat untuk menciptakan keseimbangan sehingga sistem masyarakat dalam saling mengisi dan berfungsi dengan baik. Dengan demikian, individu dalam kelompok dapat merasakan suatu ketentraman karena tidak adanya pertentangan dalam norma-norma dan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat. Ketika terdapat gangguan terhadap ketidakseimbangan itu,, maka masyarakat dapat menolak atau mengubah sistem dalam masyarakat dengan maksud menerima unsur yang baru. Apabila unsur baru dan unsur lama bertentangan, maka seringkali mempengaruhi norma dan nilai yang kemudian juga berpengaruh pada masyarakat itu sendiri. (Soekanto, 2007: 239)

Dalam upaya mendorong perubahan sosial, maka diperlukan saluran perubahan sosial yang harus dilalui oleh suatu proses perubahan dalam masyarakat. Saluran-saluran ini antara lain adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemerintah, ekonomi, pendidikan, agama, dan media. Dalam penelitian ini, Film Yes Or No dianggap sebagai suatu bentuk lembaga media yang berperan sebagai saluran perubahan sosial yang berupaya untuk mengubah norma dan nilai dalam masyarakat pada umumnya, sehingga dapat


(16)

menerima kaum lesbian yang memang ada dalam masyarakat. Untuk itu, konsep penerimaan masyarakat dalam penelitian ini akan menjadi batasan penulis dalam meneliti dan menganalisis data-data yang dipilih sehingga penelitian ini dapat lebih fokus dan terarah sehingga tujuan dari penelitian ini dapat tercapai.

4) Pesan dalam Komunikasi

Pesan dalam komunikasi dapat dituangkan dalam bentuk tanda, simbol, bahasa, serta bentuk-bentuk non verbal. Bentuk-bentuk tersebut dapat dikatakan pesan selama komunikan sebagai penerima pesan dapat memaknai pesan tersebut. Tanda merupakan stimulus yang menandai keadaan atau sesuatu hal, sedangkan simbol lebih kompleks yaitu instrumen pemikiran manusia dan menandai sesuatu bukan dari sesuatu yang ada atau nampak. Simbol dapat mengkomunikasikan gagasan, pengetahuan, pola ataupun bentuk-bentuk tertentu. Makna merupakan relasi antara simbol, objek dan manusia dimana makna dibagi menjadi dua yaitu makna denotatif (makna logis) dan konotatif (makna psikologis, bersifat subjektif). Orang cenderung melakukan abstraksi terhadap simbol yaitu suatu proses membentuk gagasan umum yang didasarkan atas berbagai pengalaman dan dibangun atas makna denotasi dan konotasi dari simbol

Muatan pesan dalam komunikasi yaitu isi pesan itu sendiri (spesific domain knowledge) dan cara menyampaian pesan agar mengarah pada tujuan (general domain knowledge). Setiap orang memiliki cara komunikasi dan isi pesan yang berbeda serta logika berpikir yang berbeda dalam menyampaikan suatu pesan terhadap seseorang dalam situasi tertentu. Pesan dalam komunikasi juga memiliki tiga desain logis, yaitu The expressive logic yang melihat komunikasi sebagai cara seseorang mengekspresikan perasaan dan pemikirannya, The conventional logic yang melihat komunikasi sebagai hal yang harus “dimainkan” dengan mengikuti aturan-aturan tertentu, The rhetorical logic yang memandang komunikasi sebagai cara yang fleksibel,


(17)

memiliki perspektif terhadap pihak yang diajak berkomunikasi (person centered) (Littlejohn, 2005).

Pesan yang terkandung dalam sebuah film sebagai salah satu media komunikasi tentu saja memiliki fungsi-fungsi komunikasi. Fungsi-fungsi komunikasi tersebut menurut Wiliam I. Gorden di antaranya adalah sebagai komunikasi sosial dimana komunikasi penting untuk membangun konsep-konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan. (Mulyana, 2006: 5). Konsep diri adalah pandangan individu mengenai siapa dirinya dan itu dapat diperoleh melalui informasi yang diberikan orang lain. Komunikasi juga berfungsi untuk menunjukan bahwa diri individu eksis. Dengan berkomunikasi, orang lain akan menyadari keberadaan kita. Fungsi kedua adalah komunikasi ekspresif yaitu komunikasi sebagai alat untuk menyampaikan perasaan individu. Fungsi komunikasi yang berikutnya adalah sebagai komunikasi ritual yang biasa dilakukan dalam suatu komunitas yang erat kaitannya dengan budaya dan adat istiadat serta komunikasi instrumental yang bertujuan untuk menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan, dan mngubah perilaku atau menggerakan tindakan serta menghibur.

5) Konstruksi Pesan 1. Tanda

Tanda adalah sesuatu yang berdiri pada sesuatu yang lain atau menambahkan dimensi yang berbeda pada sesuatu dengan memakai segala apapun yang dapat dipakai untuk mengartikan sesuatu hal lainnya. Menurut Umberto Eco, sebuah tanda adalah segala sesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai pergantian yang signifikan untuk sesuatu yang lainnya dimana sesuatu tersebut tidak begitu mengharuskan akan adanya atau untuk mengaktualisasikan adanya tempat entah dimanapun pada saat suatu tanda memaknainya. (Berger, 2005: 4) Saussure mengatakan bahwa tanda dibentuk dari penanda dan petanda yang bersifat arbitrer yang tidak


(18)

bermotif, yakni arbitrer dalam pengertian penanda tidak mempunyai hubungan alamiah dengan petanda.(Berger, 2005: 11)

Dalam tatanan pertandaan terdapat dua makna yang menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, yaitu makna denotatif yang bersifat langsung menggambarkan petanda dan makna konotatif yang menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya.(Fiske, 2006, 118-119). Tanda-tanda juga memiliki dua arti dan fungsi, yaitu yang tersembunyi (latent) dimana tanda ini memiliki arti yang terpendam dan dalam ketidaksadaran pembuat tanda sendiri ataupun bagi yang menyaksikan tanda tersebut dan yang tampak (manifest) dimana tanda ini akan dipertimbangkan sebagai salah satu dari arti yang bersifat umum dan hasil yang ditentukan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pembuat tanda tersebut. (Berger, 2005:165)

2. Semiologi

Semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai hal-hal yang berarti objek tanda tidak hanya membawa informasi tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Kurniawan, 2001: 53). Tanda adalah basis dari seluruh komunikasi. Kajian semiologi terbagi dalam dua jenis, yaitu semiologi komunikasi dan semiologi signifikasi. Semiologi komunikasi memberikan tekanan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima tanda, pean, saluran komunikasi, dan acyan, sedangkan semiologi signifikansi memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya pada konteks tertentu (Sobur, 2009: 15). Semiologi komunikasi lebih melihat pada tujuan dan proses komunikasi. Sebaliknya semiologi signifikansi lebih mengutamakan segi pemahaman suatu tanda dan proses kognisi pada penerima tanda. Salah satu aspek kajian semiologi komunikasi adalah film


(19)

dimana film dibangun dengan tanda-tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan (Sobur, 2009: 128).

3. Semiologi Roland Barthes

Semiologi yang dikembangkan oleh Roland Barthes berangkat dari linguistik yang dibangun Ferdinand de Saussure. Dalam tradisi linguistik Saussurean dikenal konsep-konsep dikotomis seperti langue, parole, penanda/petanda, sintagmatik, dan paradigmatik. Roland Barthes mengembangkan semiotika altematif yang bertumpu pada parole, tindak wicara (the act of speaking) yaitu apa yang disebut sebagai wacana.

Dalam pengembangan tersebut, Barthes melakukan peninjauan terhadap lima kode, yaitu kode hermeneutik yang berkisar pada harapan khalayak untuk mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang muncul dalam wacana, kode semik yang menekankan pada kode-kode konotatif, kode simbolik yang merupakan aspek penhkodean fiksi yang paling khas dan bersifat struktural, kode proaretik yang adalah kode tindakan sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca, dan kode gnomik atau kode kultural (Sobur, 2009: 65-66)

Pendekatan semiotika Roland Barthes terhadap wacana terarah secara khusus kepada apa yang disebut dengan mitos (myth). Pengertian mitos di sini adalah sebagai tipe tuturan (a type of speech). Mitos secara etimologis berarti suatu jenis tuturan, merupakan suatu sistem komunikasi atau sesuatu yang memberikan pesan (message). Penuturan, pesan tersebut bukan sebagai objek pesan, tetapi bentuk wacana. Sebagai sistem semiologi, mitos menghadirkan tanda (sign) untuk menghubungkan secara asosiatif antara petanda (signified) dan penanda (signifier). Barthes mengatakan apa yang disebutnya sebagai wacana adalah parole dalam pengertian yang seluas-luasnya. Barthes menegaskan bahwa cara penuturan mitos tidak hanya berbentuk penuturan oral, tetapi bisa berbentuk segala sesuatu yang mempunyai modus representasi, antara lain: tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, dan seni pertunjukan,


(20)

iklan, dan berbagai bentuk karya seni lainnya. Setiap tuturan mitos rnempunyai arti (meaning) bagi penerima pesan. Agar tuturan tersebut dapat dipahami dan mudah diterima akal, maka diperlukan interpretasi melalui proses signifikasi.

Dalam menafsirkan mitos, Roland Barthes lebih cenderung mengacu pada konsep-konsep yang diterima secara khas dalam kebudayaan atau berdasarkan konsepsi yang dibuat anggota masyarakat dari pengalaman sosial dalam suatu kebudayaan. Proses pemaknaannya dilakukan secara bertahap. Pertama, unsur penanda dalam tahapan pertama dapat menjadi suatu penanda dalarn sistem tanda tahapan kedua (makna denotatif). Kedua, penanda ini dapat mempunyai penanda lain yang bersifat lebih mendalam (makna konotatif).


(1)

tidak mendapatkan kasih sayang. Kedua, pengalaman. Ketiga, dari kecil merasa berbeda.

Para pakar masih berpendapat bahwa homoseksual bersifat multifaktorial. Terjadinya homoseksual termasuk lesbian dapat terjadi karena berbagai faktor, yaitu, faktor biologi berupa terganggunya struktur otak kanan dan kiri serta adanya ketidakseimbangan hormonal; faktor psikologis, pada suatu penelitian yang membandingkan antara 100 lesbian dan perempuan heteroseksual menunjukkan hasil adanya penolakan terhadap ibu dan tidak adanya peran seorang ayah. Selain itu, pengkondisian psikologis dihubungkan dengan reinforcement atau punishment pada awal perilaku seksual, termasuk juga pikiran dan perasaan menyangkut seksualitas yang mengontrol proses terbentuknya orientasi seksual.

3) Penerimaan Masyarakat

Penerimaan masyarakat adalah cara masyarakat untuk menciptakan keseimbangan sehingga sistem masyarakat dalam saling mengisi dan berfungsi dengan baik. Dengan demikian, individu dalam kelompok dapat merasakan suatu ketentraman karena tidak adanya pertentangan dalam norma-norma dan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat. Ketika terdapat gangguan terhadap ketidakseimbangan itu,, maka masyarakat dapat menolak atau mengubah sistem dalam masyarakat dengan maksud menerima unsur yang baru. Apabila unsur baru dan unsur lama bertentangan, maka seringkali mempengaruhi norma dan nilai yang kemudian juga berpengaruh pada masyarakat itu sendiri. (Soekanto, 2007: 239)

Dalam upaya mendorong perubahan sosial, maka diperlukan saluran perubahan sosial yang harus dilalui oleh suatu proses perubahan dalam masyarakat. Saluran-saluran ini antara lain adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemerintah, ekonomi, pendidikan, agama, dan media. Dalam penelitian ini, Film Yes Or No dianggap sebagai suatu bentuk lembaga media yang berperan sebagai saluran perubahan sosial yang berupaya untuk


(2)

menerima kaum lesbian yang memang ada dalam masyarakat. Untuk itu, konsep penerimaan masyarakat dalam penelitian ini akan menjadi batasan penulis dalam meneliti dan menganalisis data-data yang dipilih sehingga penelitian ini dapat lebih fokus dan terarah sehingga tujuan dari penelitian ini dapat tercapai.

4) Pesan dalam Komunikasi

Pesan dalam komunikasi dapat dituangkan dalam bentuk tanda, simbol, bahasa, serta bentuk-bentuk non verbal. Bentuk-bentuk tersebut dapat dikatakan pesan selama komunikan sebagai penerima pesan dapat memaknai pesan tersebut. Tanda merupakan stimulus yang menandai keadaan atau sesuatu hal, sedangkan simbol lebih kompleks yaitu instrumen pemikiran manusia dan menandai sesuatu bukan dari sesuatu yang ada atau nampak. Simbol dapat mengkomunikasikan gagasan, pengetahuan, pola ataupun bentuk-bentuk tertentu. Makna merupakan relasi antara simbol, objek dan manusia dimana makna dibagi menjadi dua yaitu makna denotatif (makna logis) dan konotatif (makna psikologis, bersifat subjektif). Orang cenderung melakukan abstraksi terhadap simbol yaitu suatu proses membentuk gagasan umum yang didasarkan atas berbagai pengalaman dan dibangun atas makna denotasi dan konotasi dari simbol

Muatan pesan dalam komunikasi yaitu isi pesan itu sendiri (spesific domain knowledge) dan cara menyampaian pesan agar mengarah pada tujuan (general domain knowledge). Setiap orang memiliki cara komunikasi dan isi pesan yang berbeda serta logika berpikir yang berbeda dalam menyampaikan suatu pesan terhadap seseorang dalam situasi tertentu. Pesan dalam komunikasi juga memiliki tiga desain logis, yaitu The expressive logic yang melihat komunikasi sebagai cara seseorang mengekspresikan perasaan dan pemikirannya, The conventional logic yang melihat komunikasi sebagai hal yang harus “dimainkan” dengan mengikuti aturan-aturan tertentu, The rhetorical logic yang memandang komunikasi sebagai cara yang fleksibel,


(3)

memiliki perspektif terhadap pihak yang diajak berkomunikasi (person centered) (Littlejohn, 2005).

Pesan yang terkandung dalam sebuah film sebagai salah satu media komunikasi tentu saja memiliki fungsi-fungsi komunikasi. Fungsi-fungsi komunikasi tersebut menurut Wiliam I. Gorden di antaranya adalah sebagai komunikasi sosial dimana komunikasi penting untuk membangun konsep-konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan. (Mulyana, 2006: 5). Konsep diri adalah pandangan individu mengenai siapa dirinya dan itu dapat diperoleh melalui informasi yang diberikan orang lain. Komunikasi juga berfungsi untuk menunjukan bahwa diri individu eksis. Dengan berkomunikasi, orang lain akan menyadari keberadaan kita. Fungsi kedua adalah komunikasi ekspresif yaitu komunikasi sebagai alat untuk menyampaikan perasaan individu. Fungsi komunikasi yang berikutnya adalah sebagai komunikasi ritual yang biasa dilakukan dalam suatu komunitas yang erat kaitannya dengan budaya dan adat istiadat serta komunikasi instrumental yang bertujuan untuk menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan, dan mngubah perilaku atau menggerakan tindakan serta menghibur.

5) Konstruksi Pesan 1. Tanda

Tanda adalah sesuatu yang berdiri pada sesuatu yang lain atau menambahkan dimensi yang berbeda pada sesuatu dengan memakai segala apapun yang dapat dipakai untuk mengartikan sesuatu hal lainnya. Menurut Umberto Eco, sebuah tanda adalah segala sesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai pergantian yang signifikan untuk sesuatu yang lainnya dimana sesuatu tersebut tidak begitu mengharuskan akan adanya atau untuk mengaktualisasikan adanya tempat entah dimanapun pada saat suatu tanda memaknainya. (Berger, 2005: 4) Saussure mengatakan bahwa


(4)

bermotif, yakni arbitrer dalam pengertian penanda tidak mempunyai hubungan alamiah dengan petanda.(Berger, 2005: 11)

Dalam tatanan pertandaan terdapat dua makna yang menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, yaitu makna denotatif yang bersifat langsung menggambarkan petanda dan makna konotatif yang menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya.(Fiske, 2006, 118-119). Tanda-tanda juga memiliki dua arti dan fungsi, yaitu yang tersembunyi (latent) dimana tanda ini memiliki arti yang terpendam dan dalam ketidaksadaran pembuat tanda sendiri ataupun bagi yang menyaksikan tanda tersebut dan yang tampak (manifest) dimana tanda ini akan dipertimbangkan sebagai salah satu dari arti yang bersifat umum dan hasil yang ditentukan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pembuat tanda tersebut. (Berger, 2005:165)

2. Semiologi

Semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai hal-hal yang berarti objek tanda tidak hanya membawa informasi tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Kurniawan, 2001: 53). Tanda adalah basis dari seluruh komunikasi. Kajian semiologi terbagi dalam dua jenis, yaitu semiologi komunikasi dan semiologi signifikasi. Semiologi komunikasi memberikan tekanan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima tanda, pean, saluran komunikasi, dan acyan, sedangkan semiologi signifikansi memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya pada konteks tertentu (Sobur, 2009: 15). Semiologi komunikasi lebih melihat pada tujuan dan proses komunikasi. Sebaliknya semiologi signifikansi lebih mengutamakan segi pemahaman suatu tanda dan proses kognisi pada penerima tanda. Salah satu aspek kajian semiologi komunikasi adalah film


(5)

dimana film dibangun dengan tanda-tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan (Sobur, 2009: 128).

3. Semiologi Roland Barthes

Semiologi yang dikembangkan oleh Roland Barthes berangkat dari linguistik yang dibangun Ferdinand de Saussure. Dalam tradisi linguistik Saussurean dikenal konsep-konsep dikotomis seperti langue, parole, penanda/petanda, sintagmatik, dan paradigmatik. Roland Barthes mengembangkan semiotika altematif yang bertumpu pada parole, tindak wicara (the act of speaking) yaitu apa yang disebut sebagai wacana.

Dalam pengembangan tersebut, Barthes melakukan peninjauan terhadap lima kode, yaitu kode hermeneutik yang berkisar pada harapan khalayak untuk mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang muncul dalam wacana, kode semik yang menekankan pada kode-kode konotatif, kode simbolik yang merupakan aspek penhkodean fiksi yang paling khas dan bersifat struktural, kode proaretik yang adalah kode tindakan sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca, dan kode gnomik atau kode kultural (Sobur, 2009: 65-66)

Pendekatan semiotika Roland Barthes terhadap wacana terarah secara khusus kepada apa yang disebut dengan mitos (myth). Pengertian mitos di sini adalah sebagai tipe tuturan (a type of speech). Mitos secara etimologis berarti suatu jenis tuturan, merupakan suatu sistem komunikasi atau sesuatu yang memberikan pesan (message). Penuturan, pesan tersebut bukan sebagai objek pesan, tetapi bentuk wacana. Sebagai sistem semiologi, mitos menghadirkan tanda (sign) untuk menghubungkan secara asosiatif antara petanda (signified) dan penanda (signifier). Barthes mengatakan apa yang disebutnya sebagai wacana adalah parole dalam pengertian yang seluas-luasnya. Barthes menegaskan bahwa cara penuturan mitos tidak hanya berbentuk penuturan oral, tetapi bisa berbentuk segala sesuatu yang mempunyai modus representasi, antara lain:


(6)

iklan, dan berbagai bentuk karya seni lainnya. Setiap tuturan mitos rnempunyai arti (meaning) bagi penerima pesan. Agar tuturan tersebut dapat dipahami dan mudah diterima akal, maka diperlukan interpretasi melalui proses signifikasi.

Dalam menafsirkan mitos, Roland Barthes lebih cenderung mengacu pada konsep-konsep yang diterima secara khas dalam kebudayaan atau berdasarkan konsepsi yang dibuat anggota masyarakat dari pengalaman sosial dalam suatu kebudayaan. Proses pemaknaannya dilakukan secara bertahap. Pertama, unsur penanda dalam tahapan pertama dapat menjadi suatu penanda dalarn sistem tanda tahapan kedua (makna denotatif). Kedua, penanda ini dapat mempunyai penanda lain yang bersifat lebih mendalam (makna konotatif).


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Pesan Lesbianisme Dalam Film “Yes Or No” dan Kaitannya dengan Penerimaan Masyarakat (Studi Semiologi Roland Barthes) T1 362009097 BAB I

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Pesan Lesbianisme Dalam Film “Yes Or No” dan Kaitannya dengan Penerimaan Masyarakat (Studi Semiologi Roland Barthes) T1 362009097 BAB IV

0 1 70

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Pesan Lesbianisme Dalam Film “Yes Or No” dan Kaitannya dengan Penerimaan Masyarakat (Studi Semiologi Roland Barthes) T1 362009097 BAB V

0 0 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Pesan Lesbianisme Dalam Film “Yes Or No” dan Kaitannya dengan Penerimaan Masyarakat (Studi Semiologi Roland Barthes) T1 362009097 BAB VI

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Pesan Lesbianisme Dalam Film “Yes Or No” dan Kaitannya dengan Penerimaan Masyarakat (Studi Semiologi Roland Barthes)

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konstruksi Pesan Lesbianisme Dalam Film “Yes Or No” dan Kaitannya dengan Penerimaan Masyarakat (Studi Semiologi Roland Barthes)

0 0 39

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika Roland Barthes) T1 362008082 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika Roland Barthes) T1 362008082 BAB II

0 0 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika Roland Barthes) T1 362008082 BAB IV

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari (Kajian Semiotika Roland Barthes) T1 362008082 BAB V

0 0 45