Legal Memorandum Perjanjian Perkawinan pada Perkawinan Campuran yang Dilangsungkan di Negara Asing dan Didaftarkan di Catatan Sipil Indonesia.
viii
Universitas Kristen Maranatha LEGAL MEMORANDUM PRENUPTIAL AGREEMENT ON
INTERMARRIAGE WHICH HELD IN FOREIGN COUNTRY AND REGISTERE IN CIVIL REGISTRATION AGENCY
The intermarriage in Indonesia still encountered problems in practices implementation. One of the case is experience by Mr L whereas the prenuptial agreement which was made and registered before marriage should not apply to third party. The join property between Mr L and his wife caused Mr L cannot own freehold tittle and building rights tittle which is of Indonesian citizen rights.
There are two legal issues in this case. First, what legal action that can be taken by Mr L and his wife in order to have freehold tittle and building rights tittle. Second, what kind of legal action can be taken by the intermarriage subject in order to obtain their rights as Indonesian citizens.
The author concluded there are 3 legal actions that can be done by Mr L, first submit court determination appeal to Surabaya District Court in order to instruct Civil Registration Agency to ratify and register prenuptial agreement of marriage certificate, submit the right to use submission to goverment, and naturalization. Legal action that can be done by Mr L is to submit judicial riview to Mahkamah Konstitusi regarding Article 21 verse (1) and (3), Article 36 Verse (1) Act Number 5/1960 Concerning Agrarian and Article 29 verse (1) and Article 35 verse (1) Act Number 1/1974 Concerning Marital Law which are contrary to Constitution of the Republic of Indonesia.
(2)
LEGAL MEMORANDUM PERJANJIAN PERKAWINAN PADA PERKAWINAN CAMPURAN YANG DILANGSUNGKAN DI NEGARA
ASING DAN DIDAFTARKAN DI CATATAN SIPIL INDONESIA ABSTRAK
Pelaksanaan perkawinan campuran di Indonesia masih menemui beberapa masalah dalam praktik pelaksanaannya. Salah satunya adalah masalah yang dialami oleh Tuan L dimana perjanjian perkawinan yang Tuan L buat sebelum perkawinan dan telah didaftarkan tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Adanya pencampuran harta antara Tuan L dan Isteri Tuan L menjadikan Tuan L tidak dapat memiliki hak milik dan hak guna bangunan atas tanah sebagai warga negara Indonesia dengan hak-hak yang melekat terhadapnya.
Terdapat 2 masalah hukum dalam kasus ini. Pertama, bagaimana tindakan hukum yang harus diambil oleh Tuan L dan Isterinya secara khusus untuk dapat memiliki hak milik dan hak guna bangunan di Indonesia dan tindakan hukum apa yang secara umum berguna bagi seluruh pelaku perkawinan campuran di Indonesia yang mengalami masalah yang sama dengan Tuan L yang merasa haknya sebagai warga negara Indonesia tidak dipenuhi.
Penulis menyimpulkan terdapat 3 tindakan hukum yang dapat dilakukan secara khusus berdampak langsung terhadap Tuan L , yaitu membuat permohonan penetapan ke Pengadilan Negeri Surabaya yang memerintahkan agar perjanjian perkawinan tersebut dicatatkan di buku register pencatatan nikah di Kantor Pencatatan Sipil, permohonan hak pakai atas tanah dan pewarganegaraan. Tindakan hukum yang berdampak secara umum adalah uji materil terhadap Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 36 ayat (1)Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3)
x
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PANITIA...iv
LEMBAR MENGIKUTI SIDANG...v
LEMBAR MENGIKUTI REVISI...vi
KATA PENGANTAR...vii
ABSTRACT...viii
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN. ... 1
A. Kasus Posisi ... 1
B. Permasalahan Hukum... 6
BAB II DOKUMEN-DOKUMEN ... 7
A. Undang-Undang Dasar 1945 ... 7
B. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 ... 12
C. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ... 13
D. Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2006 ... 14
E. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ... 16
D. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ... 19
G. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 ... 20
(4)
CAMPURAN DI INDONESIA ... 27
A. Pengertian Perkawinan ... 27
1. Definisi Perkawinan ... 27
2. Asas-Asas Dalam Perkawinan ... 33
3. Sahnya Perkawinan ... 36
4. Akibat Perkawinan ...39
A. Perkawinan Campuran ... 42
1. Menurut (GHR) 158/1898 ... 42
2. Definisi Perkawinan Campuran... 43
3. Tata Cara Perkawinan Campuran ... 44
B. Perjanjian Perkawinan ... 45
1. Bentuk Perjanjian Perkawinan ... 48
C. Perjanjian Perkawinan dalam Perkawinan Campuran ... 51
BAB IV PENDAPAT HUKUM... 54
A. Penetapan Permohonan Pengesahan Perjanjian Perkawinan Tuan L dan Isteri Tuan L ... 54
B. Hak Pakai Sebagai Hak Atas Tanah Yang Dapat Dimiliki Oleh Warga Negara Asing ... 61
C. Pewarganegaraan Menjadikan Tuan L dan Isteri Memiliki Hak Milik dan Hak Guna Bangunan...63 D. Uji Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
(5)
xii
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria [Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 36 ayat (1)] dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945... 67
BAB V PENUTUP ... 76
A. Kesimpulan ... 76
B. Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 81 LAMPIRAN
(Curriculum Vitae) (Matriks Revisi)
(6)
BAB I
KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum. Suatu perbuatan hukum yang sah menimbulkan akibat berupa hak-hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (suami dan istri) dalam menciptakan keluarga yang bahagia.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.1
Perkawinan membuktikan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan peran manusia lain dan masyarakat dalam hidupnya. Perkawinan dapat dilangsungkan oleh siapa saja, selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan agama warga negara tersebut, walaupun berbeda kewarganegaraan yang disebut perkawinan campuran.
Perkawinan campuran diperbolehkan di Indonesia, dimana hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Para pelaku perkawinan campuran dianjurkan untuk membuat perjanjian pisah harta agar secara hukum harta kedua belah pihak tidak tercampur dan tetap dapat membeli property di wilayah negara Indonesia.
Dalam praktek masih banyak masalah hukum berkaitan dengan perkawinan campuran, salah satunya adalah masalah hukum yang terjadi pada Tuan L seorang warga negara Indonesia pelaku perkawinan campuran yang
1
(7)
2
Universitas Kristen Maranatha
merasa haknya sebagai warga negara hilang karena tidak dapat memiliki hak milik dan hak guna bangunan.
Adapun kasus posisi mengenai kasus yang menimpa Tuan L adalah sebagai berikut :
A. KASUS POSISI
Tuan L seorang warga negara Indonesia ingin melangsungkan
pernikahan dengan seorang wanita warga negara asing
berkewarganegaraan negara C. Sebelum menikah, Tuan L dan calon istrinya meminta saran kepada pelaku kawin campur lain yang sudah terlebih dahulu menikah dan berkonsultasi kepada ahli hukum guna mendapatkan informasi terkait dengan dokumen atau kelengkapan apa saja yang harus saya persiapkan.
Hasil dari konsultasi tersebut, Tuan L akan membuat sebuah perjanjian perkawinan sebelum melakukan perkawinannya. Perjanjian perkawinan menjelaskan bahwa dua orang yang terikat dalam perjanjian perkawinan tersebut memiliki penguasaan harta selama perkawinan yang terpisah yang berarti tidak adanya pencampuran harta. Berdasarkan hal tersebut perjanjian perkawinan sangat berguna jika suatu saat pelaku perkawinan campuran akan membeli sebidang tanah atau rumah, ataupun untuk meminjam uang di bank. Sehingga perjanjian perkawinan tersebut merupakan salah satu prioritas utama Tuan L dan calon istri karena mereka ingin menetap di Indonesia.
(8)
Pada bulan Maret 2015 Tuan L bersama calon istri membuat perjanjian perkawinan tentang pisah harta di salah satu kantor notaris di Surabaya, dan perjanjian kawin tersebut telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surabaya tertanggal 6 Maret 2015 dengan Nomor Register 51/PK/2015.
Pada awalnya, Tuan L dan calon istri berencana melangsungkan perkawinan di Surabaya, namun ternyata perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan di Indonesia karena calon isteri tidak memiliki akta lahir. Hal ini disebabkan adanya peraturan di negara C pada waktu itu tidak memperkenankan memiliki anak lebih dari satu orang, atau lebih dikenal dengan kebijakan one child policy, sedangkan calon isteri Tuan L adalah anak kedua sehingga orang tua calon isteri tidak mendaftarkan kelahiran tersebut untuk menghindari adanya denda yang sangat besar dari Pemerintah negara C.
Alasan kedua adalah karena calon isteri Tuan L dilahirkan di rumahnya bukan dirumah sakit sehingga dia tidak bisa mendapatkan akta lahir. Di negara C yang menerbitkan akta lahir adalah pihak rumah sakit.
Hal-hal yang disebutkan di atas menjadi alasan yang membuat Tuan L dan calon isteri memutuskan untuk menikah di negara C, negara calon isteri Tuan L berasal. Hal tersebut dikarena di negara C akta lahir bukanlah menjadi persyaratan untuk melangsungkan pernikahan. Tuan L
dan isterinya menikah secara resmi di negara C dan mengurus semua dokumen-dokumen yang diperlukan, termasuk pada saat itu Tuan L juga juga meminta untuk mendaftarkan perjanjian perkawinan yang dibuat
(9)
4
Universitas Kristen Maranatha
di Indonesia kepada petugas catatan sipil instansi terkait di salah satu kota di negara C .
Hasilnya perjanjian kawin tersebut tidak bisa dicantumkan di akta kawin di negara C dengan alasan bahwa perjanjian kawin tersebut dibuat di Indonesia, dan menggunakan Bahasa Indonesia. Tuan L dan isterinya mengupayakan untuk menerjemahkan perjanjian perkawinan mereka ke dalam bahasa Mandarin dengan penerjemah tersumpah agar dapat dicantumkan dalam akta kawin, namun tetap ditolak.
Sekembalinya ke Indonesia, Tuan L segera melaporkan dan mendaftarkan perkawinannya ke kantor catatan sipil di Surabaya disertai lampiran perjanjian perkawinan yang sudah dibuat sebelumnya di kantor notaris Surabaya, namun petugas catatan sipil tidak bisa menerima perjanjian kawin Tuan L berdasarkan pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan ;
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.
Ketentuan selanjutnya perjanjian perkawinan harus dibuat dengan Akta Notaris, maupun dengan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Petugas Pencatat Perkawinan. Perjanjian Kawin ini mulai berlaku antara
suami-isteri pada saat perkawinan selesai dilakukan di depan Pegawai pencatatat nikah dan mulai berlaku terhadap para pihak ketiga sejak dilakukannya pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan negeri atau
(10)
agama setempat, di mana dilangsungkannya perkawinan dan telah dicatat dalam Akta Perkawinan pada Catatan Sipil2 dan inilah yang menjadi alasan penolakan dari Kantor Pencatatan Sipil Surabaya.
Pada bulan Mei 2015, Tuan L mengajukan pinjaman uang ke bank untuk membeli sebuah rumah, namun permohonan pinjamannya ditolak karena perjanjian kawin Tuan L tidak didaftarkan di kantor catatan sipil. Tuan L kemudian mencoba untuk membuat perjanjian perkawinan baru namun semua notaris menolak dengan alasan bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan.
Berdasarkan kronologis kasus di atas penulis akan
mengklasifikasikan fakta-fakta hukum dari kasus tersebut, sebagai berikut :
1. Bahwa Tuan L dan calon isteri Tuan L tidak dapat menikah di Indonesia karena tidak memenuhi syarat administratif pernikahan, yaitu berupa akta lahir.
2. Bahwa pada Maret 2015 Tuan L dan calon isteri Tuan L Pada bulan Maret 2015 Tuan L bersama calon istri membuat perjanjian perkawinan tentang pisah harta di kantor notaris di Surabaya. 3. Perjanjian perkawin Tuan L dan calon isteri Tuan L telah
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surabaya tertanggal 6 Maret 2015 dengan Nomor Register 51/PK/2015.
2
(11)
6
Universitas Kristen Maranatha
4. Tuan L dan calon isteri Tuan L menikah di negara C, negara asal calon isteri Tuan L. Kantor instansi terkait di negara menolak mencantumkan perjanjian kawin di akte nikah.
5. Tuan L dan isteri Tuan L mencatatkan perkawinan mereka ke Kantor Catatan Sipil Surabaya dan mendaftarkan perjanjian kawin mereka namun ditolak oleh Kantor Pencatatan Sipil.
6. Tuan L mengajukan kredit KPR ke Bank, namun ditolak karena tidak ada perjanjian kawin.
B. PERMASALAHAN HUKUM
Berdasarkan pemaparan kasus di atas penulis menemukan beberapa masalah hukum, yaitu :
1. Hal apa yang harus dilakukan pertama kali oleh Tuan L dan Isterinya agar perjanjian perkawinan mereka diakui secara hukum ?
2. Apakah hal yang harus dilakukan oleh Tuan L agar memiliki hak atas tanah ?
3. Apakah tindakan yang harus diambil oleh isteri Tuan L agar mereka dapat membeli rumah dengan hak milik ?
4. Tindakan apa yang dapat diambil oleh Tuan L dan isterinya agar mendapatkan hak Tuan L sebagai warga negara Indonesia ?
(12)
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan
1. Pokok permasalahan dalam kasus ini adalah perjanjian perkawinan yang tidak berlaku terhadap pihak ketiga karena tidak tercantum dalam akta perkawinan. Tindakan hukum yang harus dilakukan oleh Tuan L adalah dengan membuat Permohonan penetapan kepada Pengadilan Negeri Surabaya yang isinya menyatakan bahwa benar telah didaftarkannya Perjanjian Perkawinan Tuan L dan isterinya tertanggal 6 Maret 2015 dengan Nomor Register 51/PK/2015 sebelum perkawinan dan memerintahkan agar perjanjian perkawinan tersebut dicatatkan di buku register pencatatan nikah baik di Kantor Pencatatan Sipil. Nomor Register 51/PK/2015 dari Akta yang dibuat dihadapan notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna karena dibuat oleh Pejabat Negara yang berwenang. Apabila di kemudian hari rekomendasi pendapat hukum ini dipilih oleh Tuan L , maka setelah penetapan dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya sebagai buktinya pada akta perkawinan di halaman belakang akan diketik sesuai dengan Penetapan Pengadilan yang mensahkan perjanjian perkawinan yang telah dibuat dihadapan notaris Surabaya sesuai dengan tanggal pembuatan dan nomer registernya. Akibat dari dikeluarkannya penetapan tersebut adalah Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh Tuan L dapat berlaku terhadap pihak ketiga dan tidak ada
(13)
78
pencampuran harta bersama antara Tuan L dan isterinya. Artinya Tuan L dapat memiliki hak milik dan hak guna bangunan atas tanah.
2. Permohonan Pengajuan Hak Pakai adalah salah satu solusi yang dapat diambil oleh Tuan L dan Isterinya seperti yang tercantum dalam Pasal 42 Undang-Undang Pokok Agraria. Pencampuran harta antara Tuan L dan Isterinya menyebabkan Tuan L seperti kehilangan kewarganegaraannya karena asas nasionalisme yang terkandung dalam Pasal 21 dan Pasal 36 UUPA. Hak Pakai ini berjangka waktu 30 (dua puluh lima tahun) tahun dapat diperpanjang selama 20 (dua puluh tahun) serta dapat diperbaharui hak pakainya atas tanah yang sama. Tuan L dapat mengajukan permohonan pengajuan hak pakai atas tanah hak milik, karena hak pakai atas tanah hak milik lebih mudah dalam memperjanjikan dimana kesepakatan keduanya lebih mudah diraih apabila suatu saat akan menaikkan hak pakai tersebut menjadi hak milik atau melakukan pembaharuan hak pakai atas tanah yang sama.
3. Pewarganegaraan atau pengajuan permohonan perpindahan
kewarganegaraan warga negara asing menjadi warga negara Indonesia adalah tindakan hukum yang dapat diambil oleh Isteri Tuan L. Dengan jalur ini unsur subjek warga negara Indonesia yang tercantum dalam Pasal 21 dan Pasal 36 UUPA menjadi terpenuhi walaupun adanya percampuran harta antara keduanya dan Tuan L beserta Isteri dapat memiliki hak milik dan hak guna bangunan atas tanah. Setelah melakukan pewarganegaraan Tuan L dan Isteri dapat meningkatkan hak pakai menjadi hak milik atau hak guna bangunan .
(14)
4. Secara umum ada tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh Tuan L mengingat dimana Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 36 ayat (1)Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak sesuai dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 21 ayat (1), ayat (3), dan Pasal 36 ayat (1) UUPA bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dimana frasa warga negara Indonesia pada Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UUPA sepanjang tidak dimaknai warga negara Indonesia tunggal tanpa terkecuali bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Warga Negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing tetap menjadi warga negara Indonesia sehingga sebenarnya unsur warga negara Indonesia dalam UUPA seharusnya terpenuhi walaupun tanpa adanya perjanjian perkawinan. Dikarenakan keadaan saat ini dimana Undang-Undang dibawah Undang-Undang Dasar 1945 memberi frasa warga negara dengan berbeda menyebabkan multitafsir sehingga menyebabkan sedikit banyak merenggut hak-hak dasar Warga Negara Indonesia yang dijamin Undang-Undang Dasar. Status kewarganegaraan dari subjek hukum sangat menentukan status tanah yang dikuasainya. Perihal harta benda dalam Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama. Harta bawaan adalah harta yang diperoleh sebelum
(15)
masing-80
masing pihak resmi menjadi suami-istri, harta benda yang diperoleh masing sebagai hadiah atau warisan di bawah penguasaan masing-masing para pihak dan tidak menentukan lain. Pasal 36 UUPA mengatur mengenai harta bersama suami-istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Mengenai harta bawaan masing-masing suami-istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama. Pengertian harta benda yakni khususnya mengenai tanah. Inilah yang kemudian menjadi masalah dalam praktik. Banyak pihak beranggapan bahwa karena menjadi harta bersama, maka penguasaan pemilikan baik fisik maupun yuridis menjadi milik bersama. Sehingga berakibat bagi pelaku perkawinan campuran. Sekalipun tanah hak milik, hak guna bangunan dimiliki terdaftar atas nama WNI, menjadi milik bersama WNA. Hal ini berakibat Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria tetap berlaku dan akhirnya berdampak hilangnya hak konstitusional seorang WNI untuk mempunyai tanah dengan status hak milik dan hak guna bangunan. Oleh karenanya saya menyetujui bahwa dikeluarkannya hak milik dan hak guna bangunan dari harta bersama oleh WNI yang melakukan kawin campur. Dengan catatan adanya pengawasan yang diperketat apabila terjadi peristiwa hukum yang menyebabkan hak milik dan HGB tersebut jatuh ke tangan asing.
B. Saran
1. Pemerintah seharusnya mengatur bahwa segala bentuk perjanjian selama dibuat sebelum atau saat perkawinan dan telah didaftarkan dianggap berlaku bagi pihak ketiga dengan menunjukan bukti
(16)
nomer register. Hal ini sangat dibutuhkan mengingat tidak semua pelaku perkawinan campuran dapat melaksanakan perkawinan di Indonesia seperti yang terjadi dalam kasus ini.
2. Merubah Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 36 ayat (1)Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 4 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjamin setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali dapat memiliki hak milik dan hak guna bangunan. 3. Harus adanya Undang-Undang yang mengatur secara jelas bahwa
perjanjian perkawinan harus dimuat dalam Akta Perkawinan atau tidak karena banyaknya ketidakseragaman di masing-masing Kantor Pencatatan Sipil agar tidak menjadikan adanya kebingungan terhadap masyarakat terutama pelaku perkawinan campuran.
(17)
81
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan,Bandung:Citra Aditya Bakti,1990. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka, 2005.
Duvall, E & Miller, C. M. ,Marriage and Family Development 6th ed. New York:Harper & Row Publisher, 1985.
Grace A. Luppino and Justine FitzGerald Miller, The Paralegal’s Guide to
Family Law and Practice, New Jersey, USA: Pearson Education, 2002.
Herlien Soerojo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Surabaya: Arkola, 2003.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cet-1, Bandung: Maju Mundur, 1990. Libertus Jehani, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Pedoman Bagi (Calon)
Suami Istri Cetakan Pertama, Jakarta:Rana Pustaka, 2012.
Mochammad Djai’s, Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan, Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,2009. M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading CO
Medan,1975.
(18)
Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum PerdataInternational Suatu Orientasi, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1997.
Ros Macdonald and Denise McGill, LexisNexis Skills Series Drafting, Second Edition, Australia :LexisNexis Butterworths, 2008.
Soeroso, Perjanjian Di Bawah Tangan:Pedoman Praktis Pembuatan dan
Aplikasi Hukum, Cetakan Kedua,2011.
Solahudin Pugung , Mendapatkan Hak Asuh Anak dan Harta Bersama di
Pengadilan Agama, Cetakan kesatu,Jakarta:Legal Centre
Publishing,2011.
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Bandung:Citra Aditya Bakti, 1992.
Soetodjo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Cetakan ke-IV, Airlangga University Press, 2008.
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan
Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press,1986.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta:Intermasa, 1989.
Sudargo Gautama, Hukum Antar Golongan Suatu Pengantar,cet.11, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran
(Staatsblad 1898 No.158), cet.4, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
(19)
83
Universitas Kristen Maranatha
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang Berspektif
Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,2006.
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006.
, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Edisi Pertama,Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group,2008.
. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta:Prestasi Pustaka Publiser,2006.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum,Yogyakarta : Kanisius, 1995.
Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar,2006
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia:
Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata .
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
(20)
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.
C. Pranata Luar
http://smktpi99.blogspot.com/2013 /01/pernikahan/15.html.
https://kuliahade.wordpress.com/2010/ 04/02 /hukum-perdata-akibat-hukum-perkawinan/html
(1)
masing pihak resmi menjadi suami-istri, harta benda yang diperoleh masing sebagai hadiah atau warisan di bawah penguasaan masing-masing para pihak dan tidak menentukan lain. Pasal 36 UUPA mengatur mengenai harta bersama suami-istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Mengenai harta bawaan masing-masing suami-istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama. Pengertian harta benda yakni khususnya mengenai tanah. Inilah yang kemudian menjadi masalah dalam praktik. Banyak pihak beranggapan bahwa karena menjadi harta bersama, maka penguasaan pemilikan baik fisik maupun yuridis menjadi milik bersama. Sehingga berakibat bagi pelaku perkawinan campuran. Sekalipun tanah hak milik, hak guna bangunan dimiliki terdaftar atas nama WNI, menjadi milik bersama WNA. Hal ini berakibat Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria tetap berlaku dan akhirnya berdampak hilangnya hak konstitusional seorang WNI untuk mempunyai tanah dengan status hak milik dan hak guna bangunan. Oleh karenanya saya menyetujui bahwa dikeluarkannya hak milik dan hak guna bangunan dari harta bersama oleh WNI yang melakukan kawin campur. Dengan catatan adanya pengawasan yang diperketat apabila terjadi peristiwa hukum yang menyebabkan hak milik dan HGB tersebut jatuh ke tangan asing.
B. Saran
1. Pemerintah seharusnya mengatur bahwa segala bentuk perjanjian selama dibuat sebelum atau saat perkawinan dan telah didaftarkan dianggap berlaku bagi pihak ketiga dengan menunjukan bukti
(2)
81
nomer register. Hal ini sangat dibutuhkan mengingat tidak semua pelaku perkawinan campuran dapat melaksanakan perkawinan di Indonesia seperti yang terjadi dalam kasus ini.
2. Merubah Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 36 ayat (1)Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 4 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjamin setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali dapat memiliki hak milik dan hak guna bangunan. 3. Harus adanya Undang-Undang yang mengatur secara jelas bahwa
perjanjian perkawinan harus dimuat dalam Akta Perkawinan atau tidak karena banyaknya ketidakseragaman di masing-masing Kantor Pencatatan Sipil agar tidak menjadikan adanya kebingungan terhadap masyarakat terutama pelaku perkawinan campuran.
(3)
81
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan,Bandung:Citra Aditya Bakti,1990. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka, 2005.
Duvall, E & Miller, C. M. ,Marriage and Family Development 6th ed. New York:Harper & Row Publisher, 1985.
Grace A. Luppino and Justine FitzGerald Miller, The Paralegal’s Guide to
Family Law and Practice, New Jersey, USA: Pearson Education, 2002.
Herlien Soerojo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Surabaya: Arkola, 2003.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cet-1, Bandung: Maju Mundur, 1990. Libertus Jehani, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Pedoman Bagi (Calon)
Suami Istri Cetakan Pertama, Jakarta:Rana Pustaka, 2012.
Mochammad Djai’s, Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan, Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,2009. M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading CO
Medan,1975.
(4)
82
Universitas Kristen Maranatha Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum PerdataInternational Suatu Orientasi, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1997.
Ros Macdonald and Denise McGill, LexisNexis Skills Series Drafting, Second Edition, Australia :LexisNexis Butterworths, 2008.
Soeroso, Perjanjian Di Bawah Tangan:Pedoman Praktis Pembuatan dan
Aplikasi Hukum, Cetakan Kedua,2011.
Solahudin Pugung , Mendapatkan Hak Asuh Anak dan Harta Bersama di
Pengadilan Agama, Cetakan kesatu,Jakarta:Legal Centre
Publishing,2011.
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Bandung:Citra Aditya Bakti, 1992.
Soetodjo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Cetakan ke-IV, Airlangga University Press, 2008.
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press,1986.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta:Intermasa, 1989.
Sudargo Gautama, Hukum Antar Golongan Suatu Pengantar,cet.11, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran
(Staatsblad 1898 No.158), cet.4, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
(5)
Universitas Kristen Maranatha Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang Berspektif
Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,2006.
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006.
, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Edisi Pertama,Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group,2008.
. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta:Prestasi Pustaka Publiser,2006.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum,Yogyakarta : Kanisius, 1995.
Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar,2006
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia:
Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata .
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
(6)
84
Universitas Kristen Maranatha Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.
C. Pranata Luar
http://smktpi99.blogspot.com/2013 /01/pernikahan/15.html.
https://kuliahade.wordpress.com/2010/ 04/02 /hukum-perdata-akibat-hukum-perkawinan/html