PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA DAN LINGKUNGAN SEKOLAH TERHADAP PEMBENTUKAN MODAL SOSIAL :Survey pada Siswa Kelas X SMA Negeri di Kota Bandung.

(1)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. ABSTRAK………. DAFTAR ISI ...

i iii

v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN………. xiii xiv BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2.Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 11

1.3.Tujuan Penelitian ... 12

1.4.Manfaat Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 1. KAJIAN PUSTAKA 2.1.Modal Sosial ... 14

2.2.Lingkungan Keluarga ... 21

2.3.Lingkungan Sekolah ... 30


(2)

2. KERANGKA PEMIKIRAN ... 41

3. HIPOTESIS ... 48

BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Objek Penelitian ... 49

3.2.Metode Penelitian ... 49

3.3.Populasi dan Sampel ... 51

3.4.Operasionalisasi Variabel ... 55

3.5.Teknik Pengumpulan Data ... 58

3.6.Teknik Skoring ... 58

3.7.Menguji Instrumen Pengumpulan Data ... 59

3.8.Teknik Analisis Data ... 61

3.9.Teknik Analisis Regresi Linier Berganda ... 62

3.10. Uji Asumsi Klasik ... 63

3.11. Menguji Hipotesis ... 64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 68

4.2. Hasil Analisis Data ... 71

4.3. Uji Asumsi Klasik ... 113

4.4. Analisis Regresi ... 113

4.4. Pengujian Hipotesis ... 115


(3)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 125

5.2. Saran ... 126

DAFTAR PUSTAKA ... 128


(4)

DAFTAR TABEL

No Tabel Halaman

3.1. Jumlah Populasi SMA Negeri di Kota Bandung Tahun 2011/2012 ... 52

3.2. Daftar Sampel SMA Negeri di Kota Bandung ... 53

3.3. Jumlah Sampel Siswa SMA Negeri Kelas X di Kota Bandung Tahun2011/2012……… 55

3.4. Operasionalisasi Variabel ... 56

4.1. Keterbukaan dalam berkomunikasi dengan anggota keluarga ... 72

4.2. Kenyamanan dalam berkomunikasi dengan anggota keluarga ... 73

4.3. Intensitas menceritakan permasalahan kepada anggota keluarga ... 73

4.4. Intensitas keluarga dalam mendengarkan permasalahan yang dialami... 74

4.5. Intensitas komunikasi dalam keluarga ketika terjadi konflik ... 74

4.6. Peraturan yang ditetapkan di rumah……….. 75

4.7. Pembagian tugas antar anggota keluarga di rumah ... 75

4.8. Keharmonisan dalam keluarga ... 76

4.9. Intensitas berkumpul bersama keluarga ... 76

4.10. Intensitas perhatian yang diberikan keluarga ... 77

4.11. Perlakuan adil dalam hal perhatian yang diberikan orang tua ... 77

4.12. Pemenuhan kebutuhan pokok oleh orang tua... 78


(5)

4.14. Frekuensi hukuman yang diberikan orang tua ketika anaknya melanggar

norma……….. 79

4.15. Pemantauan orang tua terhadap perilaku ... 80

4.16. Orang tua membiasakan untuk mengikuti peraturan di rumah ... 80

4.17. Penanaman nilai dan norma oleh orang tua ... 81

4.18. Orang tua menjaga nilai – nilai dan norma di rumah maupun di masyarakat……… 81

4.19. Deskripsi Statistik Variabel Lingkungan Keluarga... 82

4.20. Distribusi Frekuensi Skor Lingkungan Keluarga ... 82

4.21. Kesesuaian metode pembelajaran dengan materi pelajaran ... 84

4.22. Metode pembelajaran yang bervariasi ... 84

4.23. Keeratan hubungan antara guru dengan siswa ... 85

4.24. Frekuensi keteladanan perilaku dan sikap guru……… 85

4.25. Pembiasaan nilai dan norma di sekolah ... 86

4.26. Peraturan dan tata tertib yang dijalankan di sekolah ... 86

4.27. Frekuensi ketegasan tindakan sekolah terhadap pelanggaran tata tertib… 87 4.28. Frekuensi pemberian sanksi hukuman sekolah pada siswa yang melanggar……… 87

4.29. Kenyamanan yang dirasakan siswa terhadap sekolahnya ... 88

4.30. Keamanan situasi sekolah………. 88


(6)

4.32. Hubungan antar personil sekolah ... 90

4.33. Deskripsi Statistik Variabel Lingkungan Sekolah ... 90

4.34. Distribusi Frekuensi Skor Lingkungan Sekolah ... 91

4.35. Membantu anggota keluarga secara materil maupun non materil…. 92 4.36. Kesiapan untuk membantu anggota keluarga secara materil maupun non materil………. 92

4.37. Bantuan yang diperoleh dari anggota keluarga secara materil maupun non materil………. 93

4.38. Jumlah saudara atau kerabat yang dikenal di luar anggota keluarga di rumah……….. 94

4.39. Frekuensi kunjungan untuk bertemu dengan keluarga dekat ... 94

4.40. Kepercayaan pada tetangga ... 95

4.41. Frekuensi untuk membantu tetangga ... 95

4.42. Kesiapan untuk membantu tetangga……….. 96

4.43. Frekuensi bantuan yang diperoleh dari tetangga ... 96

4.44. Memilih siapa saja untuk menjadi teman meskipun belum mengenal orang tersebut………. 97

4.45. Kesediaan untuk membantu meskipun tidak kenal dengan orang tersebut……… 97

4.46. Frekuensi membantu teman secara materil maupun non materil ... 98 4.47. Kesiapan membantu teman baik secara materil maupun non materil 99


(7)

4.48. Bantuan yang diperoleh dari teman baik secara materil maupun non

materil ... 99

4.49. Kesediaan apabila teman mengajak untuk pulang bersama ... 100

4.50. Kepercayaan pada teman... 100

4.51. Jumlah teman satu kelas yang dekat dan dikenal ... 101

4.52. Frekuensi kunjungan kepada teman satu kelas ... 101

4.53. Jumlah teman beda kelas yang dekat dan dikenal ... 102

4.54. Frekuensi kunjungan kepada teman beda kelas ... 102

4.55. Jumlah teman beda sekolah yang dekat dan dikenal……… 103

4.56. Frekuensi kunjungan kepada teman beda sekolah ... 103

4.57. Berkunjung ke rumah tetangga meskipun tidak ada keperluan ... 104

4.58. Frekuensi kunjungan untuk bertemu dengan tetangga ... 104

4.59. Frekuensi tetangga untuk minta pertolongan ... 105

4.60. Jumlah tetangga yang dikenal di daerah tempat tinggal ... 105

4.61. Penghargaan terhadap hasil karya orang lain ... 106

4.62. Kebanggaan terhadap hasil karya sendiri walaupun tidak sebaik hasil karya orang lain ... 106

4.63. Sesuai dengan keyakinan bahwa sikap mau berkorban merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan ... 107

4.64. Semua orang pasti ingin dihargai ... 108


(8)

4.66. Setiap orang memiliki tujuan hidup berbeda - beda... 109 4.67. Suatu saat pasti membutuhkan pertolongan orang lain ... 109 4.68. Suatu saat orang lain pasti butuh pertolongan saya ... 110 4.69. Keyakinan bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi tertentu

sehingga setiap pelanggaran akan memperoleh sanksi……… 110 4.70. Orang yang melakukan pelanggaran norma patut dikenakan sanksi 111 4.71. Deskripsi Statistik Variabel Modal Sosial……….. 111 4.72. Distribusi Frekuensi Skor Modal Sosial ... 112 4.73. Kesimpulan Hasil Uji Linieritas Regresi ... 114


(9)

DAFTAR GAMBAR

No Gambar Halaman 2.1. Hubungan Korelasional antara Variabel Independen terhadap

Variabel Dependen ... 47 3.1. Alur Penelitian ... 51


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No Lampiran Halaman 1. Validitas dan Reliabilitas ... 133

2. Angket Penelitian………

3. Hasil Uji Asumsi……….

4. Hasil Pengolahan Data ... 137 142 144


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Penelitian

Indonesia merupakan negara yang multietnis dan multikultur. Sampai saat ini tercatat ada lebih dari 500 etnis yang menggunakan lebih dari 250 bahasa (Suryadinata, 1999). Masing-masing etnis itu tidak berdiri sebagai entitas yang tertutup dan independen tetapi saling berinteraksi satu sama lain dan saling bergantung (Abdillah, 2001), serta saling mempengaruhi satu sama lain (Siahaan, 2003). Interaksi sosial yang terbentuk dengan keberagaman ini memerlukan suatu pemahaman lintas budaya (Matsumoto, 1996), dan rasa percaya pada setiap pihak yang terlibat dalam interaksi itu, yang merupakan modal sosial (Ancok, 2003).

Keberagaman suku bangsa dan kebudayaan membawa kehidupan di Indonesia ke arah multikultural. Sebagai bangsa yang mengutamakan prinsip “Bhineka Tunggal Ika” maka semua perbedaan yang ada diharapkan tidak mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu tidak memicu atau menyebabkan terjadinya permasalahan yang berasal dari perbedaan budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, dan agama. Bahkan, beragam perbedaan tersebut dapat dijadikan sebagai kekayaan dalam khazanah budaya nasional dimana semua keanekaragaman budaya tersebut dapat hidup berdampingan, sesuai prinsip “Bhineka Tunggal Ika” yaitu walaupun Indonesia memiliki beranekaragam budaya namun Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.


(12)

2

Konflik sosial yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia yang akhir-akhir ini cenderung semakin memuncak dan mengkhawatirkan, tidak lagi mencerminkan prinsip “Bhineka Tunggal Ika”. Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah dan menghargai perbedaan budaya seolah kehilangan identitas dirinya. Kerusuhan antar suku, misalnya, antar suku Madura dan suku Melayu yang terjadi di Sambas, Kalimantan Barat merupakan salah satu kasus konflik horisontal yang berlatar belakang budaya yang dinilai oleh pengamat sosial sebagai suatu tragedi nasional yang menyedihkan. Begitu pula dengan apa yang terjadi di beberapa daerah lainnya, seperti yang dituturkan oleh Khisbiyah dan Sabardila (2004), kerusuhan antara umat Muslim dan Kristiani di Ambon, Dayak dan Madura di Sampit, serta Pribumi dan Tionghoa di berbagai kota yang membawa ancaman terhadap kerukunan dan integrasi bangsa.

Adanya keterlibatan anggota masyarakat pada kasus kerusuhan yang dilatarbelakangi oleh isu SARA di berbagai daerah menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya toleransi, rasa kemanusiaan, dan semangat persatuan serta kesatuan bangsa (depdiknas.go.id, 2005). Kenyataan pahit yang banyak terjadi di masyarakat tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia belum mampu belajar tentang bagaimana hidup bersama secara rukun, dimana dengan sadar dan tulus memberikan toleransi. Agar dapat hidup damai di tengah kemajemukan masyarakat dan kebudayaan di Indonesia, harus dibangun semangat multikulturalisme. Semangat multikulturalisme dapat dibangun jika mampu membangun sekaligus mewujudkan kebersamaan di tengah perbedaan,


(13)

toleransi berhadapan dengan perbedaan, dan saling pengertian di tengah perbedaan.

Tindakan-tindakan destruktif seperti kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah tentu akan mengacak-ngacak modal sosial (social capital) yang telah bangsa Indonesia miliki. Menurut Rahmat dalam Sudrajat (2008), modal sosial yang di dalamnya terdiri atas norma-norma sosial yang seharusnya terpelihara dan terjaga kelanggengannya sekarang telah teracak-acak oleh aktivitas - aktivitas manusia yang lebih tidak beradab, sehingga bangsa Indonesia sudah banyak kehilangan nilai-nilai kejujuran, solidaritas, keadilan, persatuan, dan nilai-nilai lainnya yang dapat meningkatkan kemantapan persatuan dan kesatuan. Secara kultural, agen-agen sosialisasi utama seperti keluarga, lembaga agama dan lembaga pendidikan tampaknya tidak berhasil menanamkan sikap toleran dan tidak mampu mengajarkan hidup bersama secara harmonis dalam masyarakat. Upaya yang harus dilakukan adalah bagaimana bangsa Indonesia dapat menata kembali modal sosial yang telah dimiliki.

Berbagai peristiwa tersebut mengundang perhatian yang penting dalam kaitannya dengan pelaksanaan pendidikan kebangsaan yang selama ini berlangsung di sekolah-sekolah, yaitu sejauh mana penyelenggaraan pendidikan selama ini berlangsung dan dapat memberikan bekal kepada siswa untuk mengembangkan sikap kebersamaan, solidaritas, toleransi, semangat bekerjasama, kemampuan berempati, dimana semua itu merupakan modal sosial yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Maryani (2006), hilangnya modal sosial tersebut dapat dipastikan kesatuan masyarakat, bangsa dan negara akan


(14)

4

terancam, atau paling tidak masalah-masalah kolektif akan sulit untuk diselesaikan. Kebersamaan dapat meringankan beban, berbagi pemikiran, sehingga dapat dipastikan semakin kuat modal sosial, semakin tinggi daya tahan, daya juang, dan kualitas kehidupan suatu masyarakat.

Manusia adalah mahluk sosial yang satu sama lain saling membutuhkan. Dalam interaksi sosialnya dengan sesama manusia, juga sangat dipengaruhi dengan lingkungan dimana manusia membentuk konsep dirinya dan juga kehidupan sosialnya. Remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan memiliki sikap toleran sehingga ketika mereka pada saatnya terjun ke tengah – tengah masyarakat, mereka mampu hidup bersama secara harmonis.

Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat beraktivitas, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Masa remaja merupakan masa pencarian identitas atau jati diri dan mengalami kebingungan identitas. Dalam masa itu remaja dihadapkan untuk mencari tahu tentang identitas dirinya dan bagaimana tentang dirinya. Pada masa ini remaja juga mengembangkan identitas dirinya di lingkungan sekitarnya melalui sikap sosial. Mempunyai sikap dan perilaku yang baik, akan mendukung seseorang dapat bersosial dengan baik. Demikian halnya dengan seseorang ketika berhadapan dengan orang banyak pada lingkungan tertentu, dia membutuhkan pegangan-pegangan tertentu untuk dapat berprilaku dan bersosial secara baik.

Perkembangan remaja dalam mencari jati diri ini perlu bimbingan dari berbagai pihak. Tanpa adanya bimbingan yang baik dari orang tua ataupun dari pihak-pihak yang lain dapat menyebabkan distorsi yang luar biasa dampaknya


(15)

terhadap pembentukan jati diri remaja. Pada dasarnya pertumbuhan anak dan remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan di luar dirinya. Perkembangan anak dan remaja yang terdistorsi ini akan menyebabkan kekacauan-kekacauan pola pikir. Kekacauan pola pikir ini akan berakibat pada tindakan-tindakan yang berseberangan dengan aturan-aturan sosial yang berdampak pada permasalahan-permasalahan sosial masyarakat.

Bila diamati secara cermat, kehidupan remaja (peserta didik) sehari – hari, dan dalam berinteraksi dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat tidak terlepas dari sikap sosial yang dimilikinya. Menurut Suwito (1987), ada beberapa indikator sikap sosial positif, diantaranya adalah: bersikap sopan atau menghormati orang lain, gotong royong, suka menolong, kesediaan berkorban untuk orang lain, toleransi atau tenggang rasa, adil, suka bergaul dan mengutamakan musyawarah. Hanya saja persoalannya di kalangan masyarakat pada umumnya dan kalangan remaja atau siswa khususnya, menurut Budiningsih (2003) adanya masalah – masalah sosial belum dapat tertangani dengan baik dan tuntas, seperti tawuran pelajar, konflik antar kelompok / SARA, geng motor, narkoba, serta pengaruh negatif lainnya.

Masalah-masalah sosial kemasyarakatan mulai sangat kompleks dimana tindak kekerasan naik cukup signifikan dari 1.626 kasus pada 2008 menjadi 1.891 pada 2009 dan terdapat 891 kasus kekerasan diantaranya terjadi di lingkungan sekolah (Solopos.com, 2011).

Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kepala Unit Reserse Kriminal Polisi Sektor Bandung Tengah bahwa kasus-kasus kriminal yang melibatkan geng


(16)

6

sepeda motor yang sebagian besar anggotanya masih berstatus pelajar, belakangan ini menunjukkan kecenderungan meningkat. Dalam satu tahun terakhir saja terjadi dua kasus setiap minggunya. Jumlah ini belum termasuk pengaduan dari masyarakat. Jenis kejahatannya beragam, mulai pencurian, tawuran, perampokan dengan kekerasan dan pengrusakan tempat umum (KoranPlus.com, 2011).

Seharusnya semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin rendah melakukan kenakalan. Sebab dengan pendidikan yang semakin tinggi, nalarnya semakin baik. Artinya mereka tahu aturan-aturan ataupun norma sosial mana yang seharusnya tidak boleh dilanggar atau mereka tahu rambu-rambu mana yang harus dihindari dan mana yang harus dikerjakan, tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Berdasarkan penelitian Masngudin (2008), mereka yang tamat SLTA justru yang paling banyak melakukan tindak kenakalan 17 responden (56,7%) yang berarti separoh lebih, dengan terbanyak 12 responden (40%) melakukan kenakalan khusus, 2 responden (6,7%) melakukan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, dan 4 responden (13,3%) melakukan kenakalan biasa.

Selain itu, masih ditemukannya kenyataan di lapangan (sekolah), seperti dikatakan oleh M. Ismail, dkk (2009), bahwa fakta semakin kuatnya gejala erosi sikap dan perilaku berdemokrasi di kalangan masyarakat (peserta didik), seperti sikap yang mau menang sendiri, suka memaksakan kehendak, kurang mengakui pihak lain, sikap toleran yang semakin melemah, kurangnya empati dan lain-lainnya.

Masih sering terjadinya tindakan – tindakan destruktif antar peserta didik tersebut merupakan salah satu indikator masih lemahnya modal social (social


(17)

capital) diantara peserta didik. Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Diperlukan adanya kebersamaan dan kerja sama yang baik dari segenap anggota untuk mengatasi masalah tersebut.

Fukuyama (Ancok,1998) mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Menurut Lesser (2000), modal sosial ini sangat penting bagi komunitas karena (1) memberikan kemudahan dalam mengakses informasi bagi anggota komunitas; (2) menjadi media power sharing atau pembagian kekuasaan dalam komunitas; (3) mengembangkan solidaritas; (4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas; (5) memungkinkan pencapaian bersama; dan (6) membentuk perilaku kebersamaam dan berorganisasi komunitas. Modal sosial merupakan suatu komitmen dari setiap individu untuk saling terbuka, saling percaya, memberikan kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan sesuai dengan tanggung jawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggung jawab akan kemajuan bersama.

Pembentukan modal sosial ditentukan oleh sejumlah faktor determinan. Harlpern (Barliana, 2008) menyebutkan faktor – faktor yang berpengaruh terhadap modal sosial antara lain: sejarah dan kebudayaan, struktur sosial (horizontal atau vertical), keluarga, pendidikan, lingkungan binaan (arsitektur), mobilitas hunian, kelas sosial dan kesenjangan ekonomi, karakteristik dan


(18)

8

kekuatan masyarakat madani, serta pola konsumsi individu dan nilai – nilai personal.

Salah satu bidang yang diharapkan memberikan kontribusi bagi penguatan modal sosial adalah bidang pendidikan. Pendidikan tidak hanya mencakup pendidikan formal atau sekolah saja, tetapi juga mencakup arti pendidikan secara luas. Sekolah ataupun perguruan tinggi hanya merupakan salah satu agen sosialisasi bagi tumbuhkembangnya modal sosial, selain agen-agen penting lainnya seperti keluarga dan media massa. Dukungan secara luas dari semua agen akan memberikan efek yang lebih luas dalam menumbuhkembangkan sekaligus menguatkan modal sosial bangsa.

Tingkat partisipasi anak didik di dalam proses - proses pendidikan di sekolah, memfasilitasi tumbuhnya modal sosial di antara peserta didik. Sekolah adalah titik tumbuh pembentukan modal sosial sejak masa anak-anak dan ini akan cenderung tertanam dan terbawa terus sampai anak-anak tersebut menjadi dewasa. Menurut Rosyidan (1990), penyebab rendahnya sikap sosial siswa disebabkan antara lain karena kurang efektifnya pendidikan di sekolah, krisis nilai dan kemacetan pertimbangan nilai artinya pendidikan nilai telah terabaikan sejak awal dari keluarga dan berlanjut ke perguruan tinggi.

Pendidikan dan contoh sejak usia dini mengenai mana perilaku standar dan menyimpang di sekolah akan sangat membantu. Kegiatan-kegiatan sekolah yang bermanfaat serta contoh-contoh perilaku positif dan prososial lainnya, yang terintegrasi dengan kurikulum yang baik, paling tidak akan menjadi langkah awal yang baik untuk menjadikan manusia Indonesia penuh tanggung jawab di


(19)

masa-masa mendatang. Sekolah diharapkan menjadi tempat mempelajari, menjiwai, dan mempraktikkan segala hal baik yang menguntungkan dan menghindari tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat.

Karena seyogyanya sesuai dengan tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Oleh karena itu lembaga pendidikan melalui mata pelajaran yang dibelajarkan pada peserta didik, harus dapat memberikan bekal tidak saja berupa pengetahuan, tetapi lebih dari itu juga yang menyangkut tentang nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) sebagai bekal dalam pembentukan modal sosial siswa.

Hal ini sesuai dengan tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat.

Menurut Awan Mutakin dalam Sudrajat (2011), tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pembelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:


(20)

10

1. Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.

2. Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.

3. Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.

4. Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.

5. Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat. pengembangan keterampilan pembuatan keputusan.

6. Memotivasi seseorang untuk bertindak berdasarkan moral.

7. Fasilitator di dalam suatu lingkungan yang terbuka dan tidak bersifat menghakimi.

8. Mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang baik dalam kehidupannya “to prepare students to be well-functioning citizens in a democratic society’ dan mengembangkan kemampuan siswa mengunakan penalaran dalam mengambil keputusan pada setiap persoalan yang dihadapinya.

9. Menekankan perasaan, emosi, dan derajat penerimaan atau penolakan siswa terhadap materi Pembelajaran IPS yang diberikan.

Selain lingkungan sekolah, lingkungan keluarga pun sebagai dasar dari modal sosial. Pondasi terbesar modal sosial negara adalah keluarga. Menurut Fukuyama dalam Ancok (1998) Terdapat hubungan yang kuat antara keluarga dan modal sosial dimana keluarga merupakan hal yang paling mendasar dalam unit social. Kemampuan sosial manusia dimulai dari sebuah hubungan keluarga dimana dalam keluarga terdapat pembagian peran terhadap masing-masing anggota sehingga anggota dapat belajar berinteraksi dan bekerjasama.

Terkait dengan hal tersebut, maka perlu dikaji faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan modal sosial siswa SMA agar nantinya dapat berinteraksi sosial secara baik dan harmonis di tengah – tengah masyarakat, dapat membangun


(21)

kebersamaan, dapat mengatasi berbagai masalah di masyarakat dan dapat menghargai perbedaan. Dari pemaparan tersebut diatas, maka penulis mencoba meneliti pengaruh lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah terhadap pembentukan modal sosial peserta didik SMA Negeri di Kota Bandung.

1.2.Identifikasi dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang konseptual dan faktual, maka dapat dikemukakan bahwa permasalahan penelitian ini bertumpu pada pengaruh lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah terhadap pembentukan modal sosial siswa SMA Negeri di kota Bandung. Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : “Seberapa besar pengaruh lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah dalam membentuk modal sosial?”. Rumusan masalah tersebut dijabarkan menjadi pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh lingkungan keluarga terhadap pembentukan modal sosial siswa SMA Negeri di kota Bandung?

2. Bagaimana pengaruh lingkungan sekolah terhadap pembentukan modal sosial siswa SMA Negeri di kota Bandung?

3. Bagaimana pengaruh lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah secara bersama-sama terhadap pembentukan modal sosial siswa SMA Negeri di kota Bandung?


(22)

12

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan umum dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui beberapa hal, yaitu :

1. Untuk menganalisis pengaruh lingkungan keluarga terhadap pembentukan modal sosial siswa SMA Negeri di kota Bandung

2. Untuk menganalisis pengaruh lingkungan sekolah terhadap pembentukan modal sosial siswa SMA Negeri di kota Bandung

3. Untuk menganalisis pengaruh lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah secara bersama-sama terhadap pembentukan modal sosial siswa SMA Negeri di kota Bandung

1.4.Manfaat Penelitian

Modal sosial adalah hubungan sosial yang terjalin dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat. Hubungan sosial mencerminkan hasil interaksi sosial dalam waktu yang relatif lama sehingga menghasilkan jaringan, pola kerjasama, pertukaran sosial, saling percaya, termasuk nilai dan norma yang mendasari hubungan sosial tersebut. Hilangnya modal sosial tersebut dapat dipastikan kesatuan masyarakat, bangsa dan negara akan terancam, atau paling tidak masalah -masalah kolektif akan sulit untuk diselesaikan. Peran pendidikan sangat dibutuhkan dalam pembentukan modal sosial.

Salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan individu yang bernilai dan berguna bagi dirinya dan orang lain ialah melalui pendidikan. Oleh karena itu lembaga pendidikan melalui mata pelajaran yang


(23)

dibelajarkan pada peserta didik, harus dapat memberikan bekal tidak saja berupa pengetahuan, tetapi lebih dari itu juga yang menyangkut tentang nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) sebagai bekal (modal) dalam menghadapi tantangan global, pengaruh negatif dari kemajuan IPTEK dan pembangunan. Pada konteks ini, pembelajaran IPS di sekolah memiliki tempat yang strategis dan penting. Hal ini mengingat, sebagaimana termuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi, bahwa melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.

Berdasarkan uraian tersebut, penelitian memiliki manfaat teoritis dan praktis, yaitu sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan dalam penelitian bidang ilmu pendidikan sosial, khususnya dalam pembentukan modal sosial dan dapat digunakan untuk pengembangan penelitian-penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi agen-agen sosialisasi utama seperti keluarga, lembaga agama dan lembaga pendidikan untuk dijadikan pertimbangan dalam rangka pemecahan masalah sosial remaja pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.


(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

1. KAJIAN PUSTAKA

2.1.Modal Sosial

Menurut Bessette & Joseph dalam Mariana (2008) secara etimologis modal social (social capital) mempunyai pengertian modal yang dimiliki oleh masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat. Modal ini merupakan perpaduan antara sesuatu yang bersifat material dan non material. Material mempunyai makna tentang kepemilikan berkaitan dengan aset – aset finansial yang dimiliki. Sedangkan non material modal berwujud adanya mutual trust (kepercayaan) dan gathering system (system kebersamaan) dalam suatu masyarakat.

Modal sosial (social capital) menurut Coleman dalam Supriyono (2010) dapat didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Secara lebih komperehensif Burt dalam Supriyono (2010) mendefinsikan, modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Fukuyama dalam Supriyono (2010) mendifinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Adapun Cox dalam Supriyono (2010) mendefinisikan, modal


(25)

sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama. Sejalan dengan Fukuyama dan Cox, Partha dan Ismail S. dalam Supriyono (2010) mendefinisikan, modal sosial sebagai hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa modal sosial merupakan modal yang dimiliki individu atau masyarakat untuk berhubungan sosial dan bekerjasama membangun suatu jaringan yang dibangun diatas kepercayaan serta ditopang oleh norma – norma dan nilai – nilai sosial positif guna mencapai tujuan bersama.

Teori yang mendasari modal sosial adalah teori pertukaran sosial (social exchange theory) dari George C. Homans. Teori pertukaran sosial membantu dinamika pertukaran dimana satu individu secara sukarela menyediakan keuntungan bagi orang lain dalam hubungan timbal balik. Selain itu, teori pertukaran sosial mengakui bahwa individu berada dalam lingkungan yang ditunjukkan dengan keterbatasan dan ketidaksempurnaan informasi. Oleh karena


(26)

16

itu, interaksi sosial memainkan peran dalam penyediaan informasi bagi individu mengenai kualitas hubungannya dengan orang lain. Teori pertukaran sosial mengidentifikasi kondisi di mana orang merasa bertanggung jawab untuk memberikan balasan ketika mereka mendapatkan manfaat dari orang lain (Lambert, 2000).

Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial antara lain: sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya.

Menurut Barliana (2008), dari sisi pendekatan secara garis besar ada tiga aras utama dalam kajian modal sosial, yaitu pendekatan mikro atau modal sosial kognitif (cognitive social capital), pendekatan meso atau modal sosial struktural (structural social capital), dan pendekatan makro (institutional social capital). Masing – masing dijelaskan sebagai berikut:

1. Pendekatan mikro menekankan pada bentuk dan tipe dari perilaku kerja sama serta nilai – nilai dari tindakan bersama. Ahn dan Ostrom (2002) yang dikutip franke (2005), mengungkapkan bahwa pendekatan mikro modal sosial berhubungan dengan kecenderungan para pelaku untuk berinteraksi melalui asosiasi kerja sama atau dengan menggabungkan potensi bersama untuk mencapai beberapa tujuan tertentu. Pendekatan Mikro ini memandang modal sosial sebagai strategi kerjasama melalui kelompok – kelompok, asosiasi – asosiasi dan komunitas untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas bersama. Pendekatan Mikro ini disebut sebagai modal sosial kognitif, yaitu suatu sumber daya yang lebih bersifat tak teraga (intangible), yang menurut Uphoff dan Wijayaratna (2000), merujuk kepada nilai – nilai, norma, solidaritas, relasi resiprokal, sikap, kepercayaan, dan perilaku sosial yang mendukung individu untuk berhubungan dengan orang lain dalam melakukan tindakan bersama yang saling memberi manfaat.

2. Pendekatan Meso menekankan pada struktur – struktur yang lebih bersifat instrumental, yang memudahkan terjadinya kerjasama. Ini sama dengan teori mobilisasi sumber daya, yang menghubungkan konsep potensi jaringan sosial untuk menghasilkan sumber – sumber seperti dukungan dan


(27)

informasi (Lin, 2001 ; Portes, 1998). Pendekatan ini mengacu kepada premis bahwa modal sosial tidak memisahkan antar individu atau komunitas, tetapi lebih merupakan suatu karakteristik yang muncul dari saling ketergantungan antar individu dan antar kelompok dalam suatu masyarakat. Jaringan sosial sebagai pendekatan meso termasuk pada kategori modal sosial struktural.

3. Pendekatan Makro berfokus pada kondisi – kondisi yang bersifat positif atau negatif bagi penciptaan kerjasama, serta nilai – nilai yang berkaitan dengan integrasi dan ikatan sosial. Pendekatan ini menekankan pada lingkungan komunitas, sosial, dan struktur politik masyarakat dengan nilai dan norma utama seperti kepercayaan dan relasi mutual untuk menciptakan kondisi – kondisi tertentu yang kondusif bagi keterlibatan sosial dan komunitas serta partisipasi politik.

Menurut Putnam dalam Huang (2003:10), modal sosial memiliki tiga bentuk,

yakni kepercayaan (trust), norma (norms), dan jejaring (networks). Sementara menurut Hasbullah (2006 : 9 – 16), unsur-unsur pokok modal sosial adalah : 1) partisipasi dalam suatu jaringan, 2) timbal balik (resiprocity), 3) kepercayaan (trust), 4) norma-norma sosial, 5) nilai-nilai dan 6) tindakan yang proaktif. Penjelasan masing-masing unsur secara ringkas adalah sebagai berikut:

a. Partisipasi dalam suatu jaringan

Kemampuan orang atau individu atau anggota-anggota komunitas untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial merupakan salah satu kunci keberhasilan untuk membangun modal sosial. Manusia mempunyai kebebasan untuk bersikap, berperilaku dan menentukan dirinya sendiri dengan kekuatan yang dimilikinya. Pada saat seseorang meleburkan diri dalam jaringan sosial dan menyinergiskan kekuatannya maka secara langsung maupun tidak, ia telah menambahkan kekuatan ke dalam jaringan tersebut. Sebaliknya, dengan menjadi


(28)

18

bagian aktif dalam suatu jaringan, seseorang akan memperoleh kekuatan tambahan dari jaringan tersebut.

b. Hubungan Timbal Balik (Reciprocity)

Modal sosial selalu diwarnai oleh kecenderungan saling bertukar kebaikan di antara individu-individu yang menjadi bagian atau anggota jaringan. Hubungan timbal balik ini juga dapat diasumsikan sebagai saling melengkapi dan saling mendukung satu sama lain. Modal sosial tidak hanya didapati pada kelompok-kelompok masyarakat yang sudah maju atau mapan. Dalam kelompok-kelompok-kelompok-kelompok yang menyandang masalah sosial sekalipun, modal sosial merupakan salah satu modal yang membuat mereka menjadi kuat dan dapat melangsungkan hidupnya.

c. Rasa Percaya (Trust)

Hasbullah (2006 : 11) mengatakan bahwa “rasa percaya adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosial yang didasari perasaan yakin bahwa orang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan selalu bertindak dalam suatu pola yang saling mendukung”. Rasa percaya menjadi pilar kekuatan dalam modal sosial. Seseorang akan mau melakukan apa saja untuk orang lain kalau ia yakin bahwa orang tersebut akan membawanya ke arah yang lebih baik atau ke arah yang ia inginkan.

Rasa percaya dapat membuat orang bertindak sebagaimana yang diarahkan oleh orang lain karena ia meyakini bahwa tindakan yang disarankan orang lain tersebut merupakan salah satu bentuk pembuktian kepercayaan yang diberikan


(29)

kepadanya. Rasa percaya tidak muncul tiba-tiba. Keyakinan pada diri seseorang atau sekelompok orang muncul dari kondisi terus menerus yang berlangsung secara alamiah ataupun buatan (dikondisikan). Rasa percaya bisa diwariskan tetapi harus dipelihara dan dikembangkan karena rasa percaya bukan merupakan suatu hal yang absolut

d. Norma Sosial

Norma-norma sosial merupakan seperangkat aturan tertulis dan tidak tertulis yang disepakati oleh anggota-anggota suatu komunitas untuk mengontrol tingkah laku semua anggota dalam komunitas tersebut. Norma sosial berlaku kolektif. Norma sosial dalam suatu komunitas bisa saja sama dengan norma sosial di komunitas lain tetapi tidak semua bentuk perwujudan atau tindakan norma sosial bisa digeneralisir.

Norma sosial mempunyai konsekuensi. Ketidaktaatan terhadap norma atau perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku menyebabkan seseorang dikenai sanksi. Bentuk sanksi terhadap pelanggaran norma dapat berupa tindakan (hukuman) dan bisa berupa sanksi sosial yang lebih sering ditunjukkan dalam bentuk sikap, seperti penolakan atau tidak melibatkan seseorang yang melanggar norma, untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan komunitas.

e. Nilai-nilai

Menurut Hasbullah (2006 : 14), “nilai adalah suatu ide yang dianggap benar dan penting oleh anggota komunitas dan diwariskan secara turun temurun”.


(30)

20

Nilai-nilai tersebut antara lain mengenai etos kerja (kerja keras), harmoni (keselarasan), kompetisi dan prestasi. Selain sebagai ide, nilai-nilai juga menjadi motor penggerak bagi anggota-anggota komunitas. Nilai-nilai kesetiakawanan adalah ide yang menggerakkan anggota komunitas untuk melakukan kegiatan secara bersama-sama. Pada banyak komunitas, nilai prestasi merupakan tenaga pendorong yang menguatkan anggotanya untuk bekerja lebih keras guna mencapai hasil yang membanggakan.

f. Tindakan yang proaktif

Keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk terlibat dan melakukan tindakan bagi kelompoknya adalah salah satu unsur yang penting dalam modal sosial. Tindakan yang proaktif tidak terbatas pada partisipasi dalam artian kehadiran dan menjadi bagian kelompok tetapi lebih berupa kontribusi nyata dalam berbagai bentuk. Tindakan proaktif dalam konteks modal sosial dilakukan oleh anggota tidak semata-mata untuk menambah kekayaan secara materi melainkan untuk memperkaya hubungan kekerabatan, meningkatkan intensitas kekerabatan serta mewujudkan tujuan dan harapan bersama. Keterikatan yang kuat dan saling mempengaruhi antar anggota dalam suatu komunitas menjadi penggerak sekaligus memberi peluang kepada setiap anggota untuk bertindak proaktif. Tindakan proaktif juga dapat diartikan sebagai upaya saling membagi energi di antara anggota komunitas.

Dalam penelitian ini, fokus modal sosial diarahkan pada pendekatan mikro dan pendekatan meso, yang berkaitan dengan level individu dan komunitas


(31)

dengan unsur – unsur modal sosial mencakup kepercayaan (trust), jaringan sosial (networking) dan norma (norm).

2.2.Lingkungan Keluarga

Manusia merupakan mahluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia akan mengalami proses interaksi sosial yang akan menciptakan suatu lingkungan sosial. Menurut para ahli psikologi, lingkungan yang banyak memberikan sumbangan dan besar pengaruhnya terhadap kepribadian anak adalah lingkungan keluarga.

Kata keluarga, secara etimologi terdiri dari kata kula berarti "ras" dan warga yang berarti "anggota". Keluarga adalah lingkungan di mana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah.

Menurut Bailon dan Maglaya dalam Megawangi (1999:4), keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya. Selanjutnya menurut Duvall dan Logan dalam Megawangi (1999:5) mengemukakan bahwa:

Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga.

Lebih lanjut, menurut Ahmadi (1991 : 167) keluarga adalah kelompok sosial kecil yang umumnya terdiri atas ayah, ibu dan anak yang mempunyai


(32)

22

hubungan sosial relatif tetap dan didasarkan atas ikatan darah, perkawinan dan atau adopsi. Keluarga merupakan kelompok yang dianggap sebagai primary group yang utama dan diartikan sebagai kelompok perantara pertama yang mengenalkan nilai-nilai kebudayaan pada anak (Effendi, 2005 : 76).

Menurut Bossard dan Boll dalam Maftuh & Ruyadi (1996 : 198) ada dua jenis keluarga, dilihat dari hubungan anak, yaitu:

a. Keluarga kandung atau keluarga biologis (family of procreation)

Keluarga biologis adalah sebuah keluarga yang mempunyai hubungan darah dengan anak. Dengan kata lain keluarga ini terdiri atas ayah, ibu, dan anak kandung. Hubungan dalam keluarga biologis akan berlangsung terus. Hubungan darah antara anak-ayah-ibu tak mungkin dapat dihapus.

b. Keluarga orientasi (family of orientation)

Keluarga orientasi adalah keluarga yang menjadi tempat bagi anak untuk memperoleh perlindungan, pendidikan, tempat mengarahkan diri atau berorientasi. Di dalam keluarga orientasi ini terjadi interaksi antara anggota keluarga tersebut. Karena dalam interaksi dan saling pengaruh ini banyak terdapat faktor psikologis, maka keluarga dalam arti ini dapat pula disebut sebagai keluarga psikologis. Berbeda dengan keluarga biologis, maka dalam keluarga orientasi hubungan yang terjadi dapat terputus atau berubah dari waktu ke waktu.

Dari berbagai pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan keluarga merupakan kelompok sosial terkecil dan utama yang umumnya terdiri atas ayah, ibu dan anak, berinteraksi satu sama lain dan tercipta hubungan sosial di antara anggota keluarga yang relatif tetap dan didasarkan atas ikatan darah, perkawinan dan atau adopsi.

Teori yang mendasari lingkungan keluarga adalah teori struktural-fungsional yang merupakan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga. Teori ini dikembangkan oleh Parsons dan Bales dalam Megawangi (1999:9) dalam menganalisis institusi keluarga. Keluarga sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam


(33)

kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan akhirnya keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Salah satu aspek penting dan perspektif struktural-fungsional adalah bahwa setiap keluarga yang sehat terdapat pembagian peran atau fungsi yang jelas, fungsi tersebut terpolakan dalam struktur hirarkis yang harmonis dan komitmen terhadap terselenggaranya peran atau fungsi itu. Peran adalah sejumlah kegiatan yang diharapkan bisa dilakukan oleh setiap anggota keluarga sebagai subsistem keluarga dengan baik untuk mencapai tujuan sistem. Sejumlah kegiatan atau aktivitas yang memiliki kesamaan sifat dan tujuan dikelompokkan ke dalam sebuah fungsi

Penerapan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari struktur dan aturan yang ditetapkan. Dinyatakan oleh Chapman dalam Puspitawati (2006:7) bahwa keluarga adalah unit universal yang memlilki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri. Tanpa aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga tersebut tidak memliki arti yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Bahkan dengan tidak adanya peraturan maka akan tumbuh atau terbentuk suatu generasi penerus yang tidak mempunyai kreasi yang lebih baik dan akan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arah.

Menurut Levy dalam Megawangi (1999:12), harmoni dalam pembagian dan penyelenggaraan fungsi-peran, alokasi solidaritas, komitmen terhadap hak, kewajiban, dan nilai-nilai bersama ini merupakan kondisi utama bagi


(34)

24

berfungsinya keluarga. Sebaliknya, menurut Vogel dan Bell dalam Megawangi (1999:13), keluarga yang tidak bisa berfungsi dengan baik, karena tiadanya kondisi-kondisi tersebut, akan menjadi produsen utama anak-anak bermasalah.

Untuk melaksanakan fungsinya secara optimal, yakni meningkatkan derajat "fungsionalitas"nya, menurut Winch dalam Puspitawati (2006:20) keluarga harus mempunyai struktur tertentu. Struktur adalah pengaturan peran dimana sebuah sistem sosial tersusun.

Ketertiban sosial akan dapat tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga, di mana masing-masing individu mengetahui di mana posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang melandasi struktur tersebut. Struktur dalam keluarga dianggap dapat menjadikan institusi keluarga sebagai sistem kesatuan. Ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga yang saling kait mengait yaitu; (1) Status Sosial

Berdasarkan status sosial, keluarga inti biasanya terdiri oleh tiga struktur utama yaitu bapak/suami, ibu/isteri dan anak-anak. Struktur ini dapat pula berupa figur-figur seperti “pencari nafkah", ibu rumah tangga, anak balita, anak sekolah, remaja, dan lain-lain.

(2) Fungsi sosial

Konsep peran sosial dalam teori ini adalah menggambarkan peran dari masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem sosial. Parsons dan Bales dalam Megawangi (1999:31) serta Rice dan Tucker dalam Megawangi (1999:31) membagi dua peran orangtua dalam keluarga, yaitu


(35)

a. Peran instrumental

Menurut Parson dan Bales, peran instrumental adalah peran yang diharapkan dilakukan oleh suami atau bapak. Peran instrumental dikaitkan dengan peran mencari nafkah untuk kelangsungan hidup seluruh anggota keluarga. Sejalan dengan Parson dan Bales, Winch (Bigner, 1979) mengaitkan fungsi ini dengan fungsi kontrol, yang didasarkan pada penerapan otoritas dan tanggung jawab orangtua terhadap kesejahteraan anaknya. Fungsi kontrol merupakan mekanisme yang mendasari proses sosialisasi anak dengan pola perilaku, nilai-nilai, norma sosial, dan sikap yang dianggap baik dan penting bagi anak untuk adaptasi (child adjustment) dengan Iingkungan eksternal. Berdasarkan penjelasan Winch, maka fungsi dan aktivitas instrumental-adaptif ini lebih luas. Ayah bukan saja dominan sebagai pencari nafkah, tetapi juga sebagai agen utama sosialisasi, perilaku, sikap, dan norma sosial.

b. Peran emosional atau ekspresif

Peran emosional atau ekspresif biasanya dipegang oleh figur istri atau ibu. Peran emosional ekspresif adalah peran pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang. Peran ini bertujuan untuk mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis dalam keluarga, serta meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi sosial antar anggota keluarga atau antar individu di luar keluarga. Fungsi ekspresif dikaitkan terutama dengan solidaritas keluarga, hubungan internal antar anggota keluarga, dan pemenuhan kebutuhan emosional-afeksional anggota keluarga. Ibu atau istri dianggap paling dominan dalam melaksanakan fungsi ini, karena itu dia dianggap menjadi simbol integratif keluarga. Penekanan fungsi ini pada masalah integrasi keluarga menyebabkan ia disebut juga fungsi ekspresif-integratif (Slater, 1974). Winch (Bigner, 1979) mengaitkan fungsi ekspresif dengan fungsi pengasuhan (nurturance). Fungsi ini secara sempit diartikan sebagai kegiatan atau penanganan aspek pemeliharaan (maintenance) anak sehari-hari seperti makan, memandikan. dan mengenakan baju. Dalam pengertian yang lebih luas pengasuhan diartikan sebagai proses psikologis pemenuhan kebutuhan emosional-afeksional anak melalui ucapan (termasuk bercerita, menyanyi), tindakan, dan sentuhan fisik. Kegiatan ini sering dikaitkan dengan istilah penyediaan kehangatan untuk anak.

(3) Norma sosial

Norma sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Seperti halnya fungsi sosial, norma sosial adalah standar tingkah laku yang diharapkan oleh setiap aktor di dalam keluaga.


(36)

26

Menurut Friedman dalam Ahmadi (2009:108), struktur keluarga terdiri atas: a. Pola dan proses komunikasi

Pola interaksi keluarga yang berfungsi : 1) Bersifat terbuka dan jujur

2) Selalu menyelesaikan konflik keluarga 3) Berpikiran positif

4) Tidak mengulangi isu dan pendapat sendiri Karakteristik komunikasi keluarga yang berfungsi : 1) Karakteristik pengirim

- Yakin dalam mengemukakan sesuatu atau pendapat - Apa yang disampaikan jelas dan berkualitas

- Selalu meminta dan menerima umpan yang baik 2) Karakteristik penerima

- Siap mendengarkan - Memberikan umpan balik - Melakukan validasi b. Struktur peran

Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi sosial yang diberikan, yang dimaksud posisi atau status adalah posisi yang diberikan, yang dimaksud posisi atau status adalah posisi individu dalam masyarakat misalnya status sebagai istri, suami, atau anak. Peran keluarga setiap anggota keluarga diharapkan dapat berfungsi dengan baik. Ayah sebagai kepala keluarga maka dia yang berperan untuk mengatur semua anggota keluarga dan tanpa meninggalkan komunikasi dengan isteri dan anak-anaknya. Demikian juga peran ibu dan anak yang menjalankan sesuai dengan posisinya masing-masing dalam keluarga.

c. Struktur kekuatan

Kekuatan merupakan kemampuan (potensial dan aktual) dari individu untuk merubah perilaku ke arah yang positif. Struktur kekuatan keluarga memegang peran penting untuk mempengaruhi anggota keluarga.

d. Nilai – nilai keluarga

Nilai merupakan suatu sistem, sikap dan kepercayaan yang secara sadar atau tidak, mempersatukan anggota keluarga dalam satu budaya. Nilai keluarga juga merupakan suatu pedoman bagi perkembangan norma dan peraturan. Setiap keluarga juga mempunyai nilai-nilai yang dianut oleh keluarga. Nilai-nilai ini menjadi pedoman keluarga sebagai suatu sistem.

Levy dalam Megawangi (1999:35) mengemukakan tentang persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi, yaitu:


(37)

1. Diferensiasi peran. Dari serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur, gender, generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor. 2. Alokasi solidaritas. Distribusi relasi antaranggota keluarga menurut cinta,

kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antaranggota. Misalnya keterikatan emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Hubungan antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utarna daripada hubungan antara suami dan istri pada suatu budaya tertentu. Sedangkan intensitas adalah kedalaman relasi antaranggota menurut Kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan.

3. Alokasi ekonomi. Distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Diferensiasi tugas juga ada dalam hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga.

4. Alokasi politik. Distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan.

5. Alokasi integrasi dan ekspresi: Distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntutan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.

Keluarga merupakan peletak dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, disinilah yang memberikan pengaruh awal terhadap terbentuknya kepribadian. Sikap tenggang rasa, solidaritas serta suka menolong dapat ditumbuhkan sedini mungkin sejak anak mulai berinteraksi dengan orang dewasa. Orangtua adalah pihak yang bertanggung jawab penuh dalam proses ini. Anak harus diajarkan untuk menghormati dan menghargai orang lain, kesediaan berkorban untuk orang lain serta suka bergaul.

Keluarga merupakan suatu sistem jaringan interaksi antar pribadi. Keluarga berperan menciptakan persahabatan, kecintaan, rasa aman, hubungan antar pribadi yang bersifat kontinu dimana semua itu merupakan dasar-dasar bagi perkembangan kepribadian anak. Keluarga merupakan institusi yang paling


(38)

28

penting pengaruhnya terhadap proses sosialisasi manusia. Kondisi-kondisi yang menyebabkan pentingnya peranan keluarga dalam proses sosialisasi anak, ialah: 1. Keluarga merupakan kelompok kecil yang anggota – anggotanya berinteraksi

face to face secara tetap, dalam kelompok yang demikian perkembangan anak dapat diikuti dengan saksama oleh orang tuanya dan penyesuaian secara pribadi dalam hubungan social lebih mudah terjadi.

2. Orang tua mempunyai motivasi yang kuat untuk mendidik anak karena anak merupakan buah cinta kasih hubungan suami isteri. Anak merupakan perluasan biologis dan sosial orang tuanya. Motivasi yang kuat ini melahirkan hubungan emosional antara orang tua dengan anak.

3. Karena hubungan sosial dalam keluarga itu bersifat relatif tetap, maka orang tua memainkan peranan sangat penting terhadap proses sosialisasi anak.

Aspek fungsional sulit dipisahkan dengan aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Seseorang dalam sebuah sistem dengan status sosial tertentu, akan tidak lepas dari perannya yang diharapkan karena status sosialnya, yang semuanya ini berfungsi untuk kelangsungan hidup atau pencapaian keseimbangan pada sistem tersebut. Arti fungsi di sini dikaitkan dengan bagaimana sebuah sistem atau subsistem dalam masyarakat dapat saling berhubungan dan dapat menjadi sebuah kesatuan solid.

Menurut Ogburn dalam Effendi, (2005:77), ada tujuh fungsi keluarga, yaitu :

a. Affectional

Dalam keluarga terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dengan kemesraan antar anggotanya. Hal ini dapat terlihat dari cara orang tua dalam memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan rasa penuh kasih sayang. Dan


(39)

hal ini menjadikan anak selalu menggantungkan diri dan mencurahkan isi hati sepenuhnya kepada orang tua.

b. Economic

Keluarga berfungsi sebagai unit ekonomi, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan, sandang dan kebutuhan material lainnya. Keadaan ekonomi keluarga yang baik juga turut mendukung dan berperan dalam perkembangan anak, sebab dengan kondisi tersebut anak akan berada dalam keadaan material yang lebih luas sehingga banyak mendapat kesempatan untuk mengembangkanberbagai kecakapan yang dimilikinya.

c. Educational

Orang tua secara kodrati atau alami mempunyai peranan sebagai pendidik bagi anak-anaknya sejak anak tersebut dalam kandungan. Selain pendidikan kepribadian orang tua juga memberikan kecakapan-kecakapan lain terhadap anak-anaknya sebagai bekal untuk mengikuti pendidikan berikutnya.

d. Protective

Keluarga selain sebagai unit masyarakat kecil yang berfungsi melanjutkan keturunan, secara universal juga sebagai penanggung jawab dalam perlindungan, pemeliharaan dan pengasuhan terhadap anak-anaknya.

e. Recreational

Keluarga selain sebagai lembaga pendidikan informal juga merupakan tempat rekreasi. Keluarga sebagai tempat rekreasi perlu ditata agar dapat menciptakan suasana yang menyenangkan. Misalnya situasi rumah dibuat bersih, rapi, tenang dan sejuk yang menimbulkan rasa segar sehingga dapat menghilangkan rasa capek dan kepenatan dari kesibukan sehari-hari.

f. Family Status

Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia, oleh sebab itu disamping tugasnya mengantarkan perkembangan individu tersebut menjadi anggota masyarakat yang baik. Anggota masyarakat yang baik yaitu apabila individu tersebut dapat menyatakan dirinya sebagai manusia atau kelompok lain dalam lingkungannya. Hal tersebut akan sangat banyak dipengaruhi oleh kualitas pengalaman dan pendidikan yang diterimanya g. Religius

Keluarga yang menyadari arti penting dan manfaat agama bagi perkembangan jiwa anak dan kehidupan manusia pada umumnya akan berperan dalam meletakkan dasar-dasar pengenalan agama. Hal ini sangat penting untuk pembinaan perkembangan mental anak selanjutnya dalam memasuki kehidupan bermasyarakat. Pengenalan ini dapat dimulai dari orang tua mengajak anak ke tempat ibadah.

Selain itu, menurut Kofi (2006), keluarga sebagai pusat kehidupan memiliki beraneka ragam fungsi, antara lain:

1. fungsi praktis


(40)

30

2. fungsi sosial

sebagai tempat perekat hubungan antara anggota keluarga 3. fungsi edukatif:

mendidik setiap anggotanya, terutama anak-anak, yang masih perlu mengembangkan kepribadian mereka

4. fungsi terapeutik:

menyembuhkan hati yang terluka, meneguhkan yang putus asa, pelipur bagi yang kesepian, serta menopang yang lemah

5. fungsi meditatif dan spiritual:

sebagai sumber kedamaian, inspirasi dan energi, sekaligus juga menjadi tempat dimana seluruh penghuninya dapat belajar mensyukuri setiap rahmat yang diterima serta mengambil hikmah dari setiap pengalaman hidup yang dilewati.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ketertiban sosial dapat tercipta jika institusi keluarga dapat terbentuk sebagai sistem kesatuan. Untuk menciptakan hal tersebut, keluarga harus berfungsi dengan baik yaitu harus memiliki struktur tertentu dalam keluarga berupa pola dan proses komunikasi, adanya diferensiasi peran, adanya alokasi solidaritas, adanya alokasi ekonomi (kebutuhan), adanya alokasi politik (kekuasaan) dan adanya alokasi integrasi dan ekspresi (nilai – nilai dan norma) dalam keluarga.

2.3.Lingkungan Sekolah

Menurut Danusaputra dalam Darsono (1995) lingkungan adalah semua benda dan kondisi termasuk di dalamnya manusia dan aktivitasnya, yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya. Sementara itu, sekolah berasal dari bahasa latin, yaitu skhole, scola, scolae atau skhola, yang memiliki arti waktu luang atau waktu senggang. Segala kegiatan di waktu luang bagi anak-anak ditengah-tengah kegiatan utama mereka dikenal dengan sebutan sekolah.


(41)

Menurut Webster dalam Hasbullah (1999:46), sekolah merupakan tempat atau institusi/lembaga yang secara khusus didirikan untuk menyelenggarakan proses belajar mengajar atau pendidikan. Sebagai institusi, sekolah merupakan tempat untuk mengajar murid-murid, tempat untuk melatih dan memberi instruksi-instruksi tentang suatu lapangan keilmuan dan keterampilan tertentu kepada siswa. Sejalan dengan pendapatnya Tulus Tu’u (2004 : 11), yang menyatakan lingkungan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, dimana di tempat inilah kegiatan belajar mengajar berlangsung, ilmu pengetahuan diajarkan dan dikembangkan kepada anak didik. Lebih lanjut Yusuf (2001 : 54), menyatakan bahwa:

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral, spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial.

Jadi, lingkungan sekolah adalah jumlah semua benda hidup dan mati serta seluruh kondisi yang ada di dalam lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program pendidikan dan membantu siswa mengembangkan potensinya.

Menurut Hasbullah (1999:48) sifat-sifat dari pendidikan sekolah tersebut adalah:

a. Tumbuh Sesudah Keluarga (pendidikan kedua)

Dalam sebuah keluarga tidak selamanya tersedia kesempatan dan kesanggupan memberikan pendidikan kepada anaknya, sehingga keluarga menyerahkan tanggung jawabnya kepada sekolah.

b. Lembaga Pendidikan Formal

Dinamakan lembaga pendidikan formal, karena sekolah mempunyai bentuk yang jelas, dalam arti memiliki program yang telah direncanakan dengan teratur dan ditetapkan dengan resmi


(42)

32

c. Lembaga Pendidikan yang Tidak Bersifat Kodrati

Lembaga pendidikan didirikan tidak atas dasar hubungan darah antara guru dan murid seperti halnya di keluarga, tetapi berdasarkan hubungan yang bersifat formal.

Tentang fungsi sekolah, sebagaimana yang dipaparkan oleh Suwarno (Hasbullah ,1999:52) adalah sebagai berikut:

a. Mengembangkan kecerdasan pikiran dan memberikan pengetahuan; di samping bertugas untuk mengembangkan pribadi anak didik secara menyeluruh, fungsi sekolah yang lebih penting sebenarnya adalah menyampaikan pengetahuan dan melaksanakan pendidikan kecerdasan. Fungsi sekolah dalam pendidikan intelektual dapat disamakan dengan fungsi keluarga dalam pendidikan moral.

b. Spesialisasi; sebagai konsekuensi makin meningkatnya kemajuan masyarakat ialah makin bertambahnya diferensiasi sosial yang melaksanakan tugas tersebut. Sekolah mempunyai fungsi sebagai lembaga sosial yang spesialisasinya dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

c. Efisiensi; terdapatnya sekolah sebagai lembaga sosial yang berspesialisasi di bidang pendidikan dan pengajaran, maka pelaksanaan pendidikan dan pengajaran dalam masyarakat menjadi lebih efisien, sebab:

1) Apabila tidak ada sekolah dan pekerjaan mendidik hanya harus dipikul oleh keluarga, maka hal ini tidak akan efisien, karena orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaannya, serta banyak orang tua tidak mampu melaksanakan pendidikan dimaksud,

2) Oleh karena pendidikan sekolah dilaksanakan dalam program yang tertentu dan sistematis, dan

3) Di sekolah dapat dididik sejumlah besar anak secara sekaligus.

d. Sosialisasi; sekolah mempunyai peranan yang penting di dalam proses sosialisasi, yaitu proses membantu perkembangan individu menjadi makhluk sosial, makhluk yang dapat beradaptasi dengan baik di masyarakat. Sebab bagaimanapun pada akhirnya dia berada di masyarakat.

e. Konservasi dan transmisi kultural; Fungsi lain dari sekolah adalah memelihara warisan budaya yang hidup dalam masyarakat dengan jalan menyampaikan warisan kebudayaan tadi (transmisi kultural) kepada generasi muda, dalam hal ini tentunya adalah anak didik.

f. Transisi dari rumah ke masyarakat; ketika berada di keluarga, kehidupan anak serba menggantungkan diri pada orang tua, maka memasuki sekolah di mana ia mendapat kesempatan untuk melatih berdiri sendiri dan tanggung jawab sebagai persiapan sebelum ke masyarakat.


(43)

Peranan sekolah dalam mengembangkan minat dan bakat individu diungkapkan oleh Hidi dan Reninger dalam Ormod (2006:401) dengan teori situational interest atau teori yang menjelaskan minat dipengaruhi oleh keadaan sekitar yaitu ”Situational interest is evoked by something in the immediate environtment. Thing that are new, different, unexpexpected or especially vivid often generate situational interest.” Teori ini menjelaskan bahwa minat akan terangsang oleh lingkungan sekitar baik berupa sesuatu yang baru, berbeda bahkan di luar harapan yang sudah ada.

Lingkungan sekolah sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa, memfasilitasi siswa untuk bertingkah laku yang sopan serta berpotensi untuk membantu siswa dalam menghadapi masalah yang dibawa dari rumah (Atwool, 1999:134).

Sebagaimana halnya dengan keluarga dan institusi sosial lainnya, sekolah merupakan salah satu institusi sosial yang mempengaruhi proses sosialisasi dan berfungsi mewariskan kebudayaan masyarakat kepada anak. Sekolah merupakan suatu sistem sosial yang mempunyai organisasi yang unik dan pola relasi sosial diantara para anggotanya yang bersifat unik pula.

Sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan karena pengaruhnya besar sekali pada jiwa anak. Maka disamping keluarga sebagai pusat pendidikan, sekolah pun mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan untuk membentuk pribadi anak (Ahmadi, 2001:180). Sekolah memegang peranan penting dalam proses sosialisasi anak, walaupun sekolah merupakan hanya salah satu lembaga yang bertanggung jawab atas pendidikan anak. Anak mengalami


(44)

34

perubahan dalam perilaku sosialnya setelah ia masuk ke sekolah. Di rumah ia hanya bergaul dengan anggota keluarga yang terbatas jumlahnya, tetapi anak mengalami suasana yang berbeda di sekolah.

Di sekolah anak belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang baru yang memperluas keterampilan sosialnya. Ia juga berkenalan dengan anak yang berbagai ragam latar belakang dan belajar untuk menjalankan peranannya dalam struktur sosial yang dihadapinya di sekolah. Dalam perkembangan fisik dan psikologis anak, selanjutnya anak memperoleh pengalaman-pengalaman baru dalam hubungan sosialnya dengan anak-anak lain yang berbeda status sosial, kesukuan, agama, jenis kelamin dan kepribadiannya.

Zahara (1981:69) menyatakan bahwa peran sekolah sebagai lembaga yang membantu lingkungan keluarga, maka sekolah bertugas mendidik dan mengajar serta memperbaiki dan memperhalus tingkah laku anak didik yang dibawanya dari keluarganya. Disamping itu sekolah bertugas melayani kepentingan bangsa seperti yang ditetapkan oleh pemerintah, karena pemerintah mengatur segala sesuatu yang berhubungan dan menyangkut kepentingan bangsa dan rakyat, seperti antara lain, penyelenggaraan sekolah. Peranan sekolah sebagai lembaga yang membantu lingkungan keluarga, maka sekolah bertugas mendidik dan mengajar serta memperbaiki dan memperhalus tingkah laku anak didik yang dibawa dari keluarganya. Sementara dalam perkembangan kepribadian anak didik, peranan sekolah dengan melalui kurikulum, antara lain yaitu,

a. Anak didik belajar bergaul sesama anak didik, antara guru dengan anak didik, dan antara anak didik dengan orang yang bukan guru (karyawan).


(45)

c. Mempersiapkan anak didik untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.

Menurut Ahmadi (1991 : 187) menyatakan bahwa lingkungan sekolah itu mempunyai beberapa unsur penting, yaitu:

a. Letak lingkungan dan prasarana fisik sekolah (gedung sekolah, meubelier, perlengkapan yang lain)

b. Kurikulum sekolah yang memuat gagasan-gagasan maupun fakta-fakta yang menjadi keseluruhan program pendidikan.

c. Pribadi-pribadi yang merupakan warga sekolah yang terdiri atas siswa, guru dan tenaga administrasi.

d. Nilai-nilai norma, sistem peraturan, dan iklim kehidupan sekolah

Sedangkan menurut Slameto (2003 : 64), faktor sekolah yang mempengaruhi belajar mencakup metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah. Untuk lebih lanjut akan diuraikan sebagai berikut :

a. Metode Mengajar

Metode mengajar mempengaruhi belajar. Metode mengajar guru yang kurang baik akan mempengaruhi belajar siswa yang tidak baik pula. Metode mengajar yang kurang baik itu dapat terjadi misalnya karena guru kurang persiapan dan kurang menguasai bahan pelajaran sehingga guru tersebut menyajikannya tidak jelas atau metode pembelajaran yang dipergunakan tidak sesuai dengan karakteristik mata pelajaran khususnya karakteristik mata pelajaran yang menekankan kepada pembentukan sikap sosial siswa, sehingga siswa kurang atau tidak terlatih sikap sosialnya yang akan membentuk modal sosial yang akan dimiliki siswa.


(46)

36

b. Kurikulum

Kurikulum diartikan sebagai sejumlah kegiatan yang diberikan kepada siswa. Kegiatan itu sebagian besar adalah menyajikan bahan pelajaran agar siswa menerima, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran. Jelaslah bahan pelajaran itu mempengaruhi belajar siswa. Begitupula mengenai pengaturan waktu sekolah dan standar pelajaran yang harus ditetapkan secara jelas dan tepat. Jika terjadi siswa terpaksa masuk sekolah di sore hari, sebenarnya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Di mana siswa harus beristirahat, tetapi terpaksa masuk sekolah, hingga mereka mendengarkan pelajaran sambil mengantuk dan sebagainya. Sebaliknya siswa belajar di pagi hari, pikiran masih segar, jasmani dalam kondisi yang baik. Jika siswa bersekolah pada waktu kondisi badannya sudah lelah / lemah, misalnya pada siang hari, akan mengalami kesulitan di dalam menerima pelajaran. Kesulitan itu disebabkan karena siswa sukar berkonsentrasi dan berpikir pada kondisi badan yang lemah tadi. Jadi memilih waktu sekolah yang tepat akan memberi pengaruh yang positif terhadap belajar.

c. Relasi Guru dengan Siswa

Proses belajar mengajar terjadi antara guru dengan siswa. Proses tersebut juga dipengaruhi oleh relasi yang ada dalam proses itu sendiri. Di dalam relasi guru dengan siswa yang terjalin dengan baik dan erat, siswa akan menyukai gurunya, juga akan menjadikan perilaku dan sikap guru sebagai teladan. Selain hal itu, siswa akan banyak belajar berinteraksi sosial serta tidak segan menceritakan permasalahan sosial yang dihadapi.


(47)

d. Disiplin Sekolah

Kedisiplinan sekolah mencakup kedisiplinan guru dalam mengajar dengan melaksanakan tata tertib, kedisiplinan pegawai/karyawan dalam pekerjaan administrasi dan kebersihan/keteraturan kelas, gedung sekolah, halaman dan lain-lain, kedisiplinan Kepala Sekolah dalam mengelola seluruh staf beserta siswa-siswanya, kedisiplinan dalam menetapkan peraturan bagi siswa yang melanggar peraturan dan kedisiplinan tim BP dalam pelayanannya kepada siswa. Dengan demikian agar siswa belajar lebih maju, siswa harus disiplin di dalam belajar baik di sekolah, di rumah dan di perpustakaan. Agar siswa disiplin haruslah guru beserta staf yang lain disiplin juga.

e. Fasilitas sekolah

Alat pelajaran erat hubungannya dengan cara belajar siswa, karen aalat pelajaran yang dipakai oleh guru pada waktu mengajar dipakai pula oleh siswa untuk menerima bahan yang diajarkan itu. Alat pelajaran yang lengkap dan tepat akan memperlancar penerimaan bahan pelajaran yang diberikan kepada siswa. Jika siswa mudah menerima pelajaran dan menguasainya, maka belajarnya akan menjadi lebih giat dan lebih maju. Kenyataan saat ini dengan banyaknya tuntutan yang masuk sekolah, maka memerlukan alat-alat yang membantu lancarnya belajar siswa dalam jumlah yang besar pula, seperti buku-buku di perpustakaan, laboratorium atau media-media lain. Mengusahakan alat pelajaran yang baik dan lengkap adalah perlu agar guru dapat mengajar dengan baik sehingga siswa dapat menerima pelajaran dengan baik serta dapat belajar dengan baik pula.


(48)

38

Dalam penelitian ini, lingkungan sekolah yang diteliti meliputi penyajian materi pelajaran (metode mengajar), relasi antara guru dan siswa, sistem peraturan yang diterapkan sekolah (disiplin sekolah), dan iklim kehidupan sekolah. Alasan pembatasan dari unsur lingkungan sekolah yang diteliti tersebut adalah adanya pengaruh langsung dalam mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku sosial siswa.

2.4.PENELITIAN TERDAHULU

a. Kontribusi Pesantren Dalam Membangun Modal Sosial (Studi Kasus Pada Pesantren Persatuan Islam Tarogong). Tesis. UPI. Aris (2005).

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang khas dan berbasis pada ajaran Islam. Pesantren Persis Tarogong mendapatkan kepercayaan di masyarakat. Pendidikan di Pesantren Persis Tarogong berusaha untuk membangun jaringan jam’iyyah Persis. Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menanamkan nilai – nilai keikhlasan, kesederhanaan, mandiri, dan terjalinnya ukhuwah Islamiyah.

Pendidikan Pesantren Persis Tarogong pada tataran realitas menunjukkan menjunjung tinggi perdamaian (salam), demokrasi (syura), sikap toleran (tasamuh), pluralisme (ta’addudiyah), keadilan (‘adalah), saling tolong menolong, dan cinta tanah air (hub al-wathan). Hasil penelitian tersebut telah membuktikan bahwa pandangan bahwa pesantren sebagai sarang teroris adalah keliru.


(49)

b. Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Pembelajaran IPS dan Lokasi Terhadap Modal Sosial Siswa SMP di Kabupaten Subang. Jurnal. UPI. Iyos Rosilawati (2011).

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pembelajaran IPS lebih banyak menekankan kepada aspek kognitif saja belum mengembangkan aspek ketrampilan. Padahal IPS memiliki peran yang strategis untuk mengembangkan modal sosial siswa. Selain itu juga diduga ada perbedaan modal sosial di Kabupaten Subang di utara dan Selatan.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan antara pembelajaran IPS menurut persepsi siswa (X1) dengan modal sosial. Persepsi peserta didik tentang kompetensi guru memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan modal sosial. Hubungan keduanya memiliki konstribusi sebesar 4,12%, yang berada pada kategori sedang. Artinya persepsi siswa tentang pembelajaran IPS memiliki kekuatan yang akurat dalam membentuk modal sosial. Berdasarkan hasil penelitian bahwa terdapat perbedaan pembel-ajaran IPS di sebelah utara dengan selatan dan pengaruhnya terhadap modal sosial siswa. Di wilayah utara sebagian besar berada pada katagori ragu-ragu 43,90%, untuk katagori akurat hanya 34,15%. Sedangkan di selatan katagori akurat mencapai 41% dan katagori ragu-ragu di selatan mencapai 53%.

c. Modal Sosial Masyarakat Balun Lamongan Dalam Membangun Kerukunan Antar Umat Beragama. Skripsi. UNAIR. Putri Sari Damaiyanti (2010).

Penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban dari pertanyaan penelitian yaitu, bagaimanakah gambaran terbentuknya modal sosial masyarakat Balun


(50)

40

Lamongan dalam membangun kerukunan antar umat beragama. Unit analisis dari penelitian ini adalah modal sosial terhadap toleransi antar umat beragama. Yang ditinjau dari modal sosial disini adalah kepercayaan (trust), jaringan (networks), dannorma-norma sosial.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dimana rasa tenggang rasa, tolong menolong, saling menghormati dan mengahargai itu sangatlah penting dalam kehidupan bermasyarakat. Khususnya masyarakat di Desa Balun ini, adalah desa yang terdiri dari berbagai macam agama, dan di desa itu mampu membuktikan bahwa dengan toleransi yang sangat tinggi, maka konflik-konflik dan kesalahpahaman itu dapat di minimalisir dan dihindari. Selain itu tidak mudah menjaga kerukunan disini, peran toleransi, menjaga, dan cara pengembangan sangatlah berpengaruh besar disini, dimana setiap warga masyarakat sudah mengerti apa yang harus di lakukan, apa yang harus dia jaga untuk menjaga kerukunan di desa tersebut. Mengatasi masalah dengan mengumpulkan semua tokoh agama, termasuk lurah-lurahnya itu juga adalah cara yang cukup baik, pikiran dari banyak pihak bisa dijadikan satu dan diambil jalan keluarnya.

Disini pembangunan tempat ibadah di desa balun yang secara berdekatan juga semakin menguatkan bahwa di desa itu sangat besar sekali rasa tenggang rasa dan toleransinya. Betapa pentingnya peran modal sosial untuk menjaga kerukunan itu, diamana kepercayaan, jaringan, dan norma sosial berada di tengah-tengah masyarakat balun.


(51)

2. KERANGKA PEMIKIRAN

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar karena didukung oleh sejumlah fakta positif yaitu posisi geografis yang sangat strategis, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, kemajemukan sosial budaya, dan jumlah penduduk yang besar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Namun demikian, untuk mewujudkan itu semua, masih dihadapkan pada berbagai masalah nasional yang kompleks, yang tidak kunjung selesai. Permasalahan tersebut mencakup aspek politik, aspek ekonomi serta aspek social. Pada aspek social, masalah yang terjadi saat ini adalah memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan, disorientasi nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan integrasi sosial, serta melemahnya mentalitas positif.

Dari sejumlah fakta positif atas modal besar yang dimiliki bangsa Indonesia, jumlah penduduk yang besar menjadi modal yang paling penting karena kemajuan dan kemunduran suatu bangsa sangat bergantung pada faktor manusianya (SDM). Masalah-masalah politik, ekonomi, dan sosial budaya juga dapat diselesaikan dengan SDM. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi untuk menjadi Indonesia yang lebih maju diperlukan penguatan karakter SDM yang kuat. Salah satu aspek yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan karakter SDM yang kuat adalah melalui pendidikan.

Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia


(1)

127

seperti pelajaran ilmu pengetahuan sosial hendaknya disajikan sesuai dengan karakter dan tujuan IPS dimana tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja tapi lebih kepada aspek afektifnya .

4. Penelitian ini hanya mengetahui berapa besar pengaruh lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah terhadap modal sosial siswa. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, maka diharapkan kepada peneliti lain untuk dapat melanjutkan hasil penelitian ini agar lebih sempurna.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Abdillah, U. 2001. Politik Identitas Etnis. Magelang : IndonesiaTera Ahmadi, Abu. 1998. Psikologi Sosial. Surabaya: Bina Ilmu

Ali, Sambas M. dan Maman Abdurahman. 2007. Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur dalam Penelitian. Bandung: CV Pustaka Setia

Anwar, Saifuddin. 1998. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Liberty.

Arikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan praktek, Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Budiningsih, Asri. 2003. Desain Pesan Pembelajaran. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan UNY.

Coleman, J.S. 1990. Foundations of Social Theory. Cambridge : Harvard University Press

Cox, E. 1995. Raising Social Capital. The 1995 Boyer Lectures. UNSW School of Public Health.

Darsono V. 1995. Pengantar Ilmu Lingkungan. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta. Effendi, dkk. 2005. Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi. Bandung:

Value Press

Fukuyama, Francis. 2002. Trust; Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Gerungan,W.A. 1991. Psikologi Sosial. Bandung : Eresco

Gujarati, Damodar. 2003. Basic Econometrics Fourth Edition. New York: McGraw-Hill


(3)

129

Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital : Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta: MR-United Press

Hajar, Ibnu. 1996. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif dalam Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Pustaka

Hurlock, B. Elizabeth. 1991. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.

Kencana, Nur. 2005. Evaluasi Hasil Belajar Mengajar. Surabaya: Usaha Nasional. Khisbiyah, Yayah dan Sabardila, A. 2004. Pendidikan Apresiasi Seni: Wacana dan

Praktik Toleransi Pluralisme Budaya. Surakarta: PSB-PS Universitas Muhamadiyah Surakarta

Lesser, E. 2000. Knowledge and Social Capital: Foundation and Aplication. Boston: Butterworth-Heinemann.

Maftuh, B dan Ruyadi, Y. 1996. Sosiologi I, Bandung: Ganeca

Matsumoto, D. 1996. Culture and Psychology. California : Brooks/Cole Publishing Co.

Megawangi, R. 1999. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan.

Mussen, P.H., Conger, J.J., Kagan, J & Huston, C.A., 1994. Perkembangan dan Kepribadian Anak . (terjemahan). Edisi Enam. Jakarta: Arcan.

Nawawi, Hadori. 2000. Intereksi Sosial. Jakarta : Gunung Agung.

Ormod, Jearne Earlis. 2006. Education Psychology Development Learners. New Jersey Upper Saddle River Ohio: Pearson Educational Inc

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. 2007. Human development (10thed.). NY: McGraw-Hill.

Sambas Ali M dan Maman Abdurahman. 2007. Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur dalam Penelitian. Bandung: CV Pustaka Setia


(4)

Siahaan, H. 2002. Sinophobia dan Ekslusivisme: antara Mitos dan Realitas, Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan Kepada Teuku Ibrahim Alfian. Jakarta : Yayasan Masyarakat Sejarawan dan Sinergi Press

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta

Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV Alfabeta

Suryadinata, L. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta : LP3ES. Sudjana, Nana. 1986. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Usaha Nasional.

Sukardi, Dewi. 1987. Bimbingan Karier di Sekolah. Jakarta : Galia Indonesia Tallent, N. 1978. Psychology Of Adjusment: Understanding Ourselves and of

Hers. New York: Litton Educational. Pub. Inc.

Tu’u, Tulus. 2004. Peran Disiplin Pada Perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta: Grasindo

Umar, Husein. 1999. Metode Riset Bisnis. Bandung: CV Alfabeta

Sumber Jurnal, Skripsi, Tesis dan Disertasi

Ancok, Djamaludin. 1998. Membangun Kompetensi Manusia Dalam Milenium Ke Tiga. Psikologika. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi. Fakultas Psikologi UII. Yogyakarta

Atwool, N. 1999. Attachment in the School Setting dalam New Zealand Journal of Educational Studies. 34, (2), 309-322

Barliana, M. Syaom, 2008. Kontribusi Lingkungan Binaan dan Perilaku Spasial Terhadap Modal Sosial Komunitas Penghuni Perumahan serta Implikasinya bagi Pendidikan IPS. Disertasi. Bandung : UPI


(5)

131

Ekowarni, E. 1993. Kenakalan Remaja: Suatu Tinjauan Psikologi. Bulletin Psikologi. 2: 24-27.

Huang, Q. 2003. Social Capital in The West and China. Manchester Metropolitan University Business School Working paper Series .

Ismail, dkk. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran IPS Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sasak. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Jilid 42, Nomor 2, Juli 2009, halaman 136 – 144, Singaraja : Undiksha.

Lambert, S.J. 2000. Added Benefits: The Link Between Work – Life Benefits and Organizational Citizenship Behavior. Academy of Management Journal, 43 (5): 801 – 815.

Mariana, 2003. Fungsi Ekspresif-Instrumental Orangtua dan Kecerdasan Emosional Anak : Studi Komparatif Lintas-Budaya Antara Etnik Banjar dan Etnik Madura. Tesis. Bogor : IPB.

Maryani, E. 2006. Kontribusi Pendidikan Geografi dalam Mengembangkan Modal Sosial untuk Menuju Keunggulan Berbangsa dan Bernegara. Makalah UPI. Puspitawati, H. 2006. Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan Ternan dan Sekolah

terhadap Kenakalan Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Kota Bogor. Disertasi. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB.

Sumber Internet

Ancok, D. 2003. “Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi UGM, tidak diterbitkan. [Online]. Tersedia: http//www.scribd.com/doc/68728919/Ancok-Djamaluddin-Speech-of-Modal-Sosial. [20 Februari 2012]

Masngudin. 2004. Kenakalan Remaja sebagai Perilaku Menyimpang dan Hubungannya dengan Keberfungsian Sosial Keluarga. [Online]. Tersedia : http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2004/Masngudin.html. [5 Desember 2011]

Sudrajat, A. 2011. Karakteristik Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). [Online].Tersedia:http//akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/03/12/karakteristi


(6)

Supriyono, A. 2010. Modal Sosial: Definisi, Dimensi, dan Tipologi. [Online]. Tersedia: http://p2dtk.bappenas.go.id/downlot.php?file=modal%20sosial.pdf. [4 Mei 2012]

Tim Redaksi. 2009. Jumlah kasus kekerasan anak di Indonesia cenderung meningkat. [Online]. Tersedia: http://solopos.com/2009/channel/nasional/jumlah-kasus-kekerasan-anak-di-indonesia-cenderung-meningkat-1894. [9 Desember 2011]

Tim Redaksi. 2011. Kejahatan Geng Motor. [Online]. Tersedia: http://www.KoranPlus.com/forum/medical-info/56845.html?langid=1. [9 Desember 2011]


Dokumen yang terkait

PENGARUH MINAT BELAJAR, LINGKUNGAN KELUARGA DAN LINGKUNGAN SEKOLAH TERHADAP KESULITAN BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI KELAS X IIS SMA NEGERI 7 SEMARANG TAHUN AJARAN 2014 2015

0 7 188

PENGARUH KOMPETENSI GURU, LINGKUNGAN KELUARGA, LINGKUNGAN MASYARAKAT, LINGKUNGAN SEKOLAH DAN MOTIVASI BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI KELAS XI IPS DI SMA NEGERI 1

1 8 208

Pengaruh Lingkungan Keluarga dan Lingkungan Sekolah terhadap Motivasi Belajar Siswa Kelas X Madrasah Aliyah Negeri Ngawi

0 7 138

PENGARUH PERHATIAN KELUARGA DAN LINGKUNGAN SEKOLAH TERHADAP PERKEMBANGAN KARAKTER SISWA KELAS X SMA KARTIKA 1-I MEDAN.

1 3 23

PENGARUH FASILITAS BELAJAR DI SEKOLAH DAN LINGKUNGAN KELUARGA TERHADAP PRESTASI BELAJAR EKONOMI SISWA KELAS X SMA NEGERI 15 MEDAN TAHUN PEMBELAJARAN 2013/2014.

0 3 18

PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA DAN LINGKUNGAN SEKOLAH TERHADAP KEMAMPUAN METAKOGNITIF SISWA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HASIL BELAJAR KOGNITIF PADA MATA PELAJARAN EKONOMI : Survey pada siswa kelas XI Jurusan IPS SMA Negeri kluster satu se-Kota Bandung.

0 2 49

PENGARUH LINGKUNGAN SOSIO-EKONOMI KELUARGA DAN LINGKUNGAN SEKOLAH TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI : Survei Pada Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri di Wilayah di III Kab. Bandung.

0 0 47

PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA DAN LINGKUNGAN SEKOLAH TERHADAP KEMAMPUAN METAKOGNITIF SISWA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HASIL BELAJAR KOGNITIF PADA MATA PELAJARAN EKONOMI : Survey pada siswa kelas XI Jurusan IPS SMA Negeri kluster satu se-Kota Bandung.

0 0 49

PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA DAN LINGKUNGAN SEKOLAH TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN AKUNTANSI DI KELAS XI IPS SMA PASUNDAN 8 BANDUNG.

5 15 59

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL, LINGKUNGAN KELUARGA DAN LINGKUNGAN SEKOLAH TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI : Survey Pada Siswa Kelas XI IPS SMA Swasta Kota Bandung.

0 0 52