Dilema Mubalig Populer.
~ibun Jabal'.
.
o Senin
1
17
2
18
3
0
4
19
Selasa
5
20
0
6
7
0
21
0
Rabu
8
23
0
Kamis
9
10
24
o _Jan 9 ~~!:_~ Mar QApr ,,-_Q~~f_mQ~~n
Jumat
11
25
12
26
o
Sabtu
27
Minggu
14
13
~)
Sep
0
...-.--....-....-----Q~L~!~_~~:__.
15
29
28
Okt
16
30
ONov
31
ODes
Dilema Mub~Iig Pop mer
SUDAH "bukan rahasia
urnurn, Ramadan di televisi
mendahului Ramadan yang
sesungguhnya. Belurnjuga
kumandang Ramadan dimulai, televisi sudah mendengung-dengungkan
gema Ramadan; smetron Ramadan sudah tayang di
beberapa stasiun televisi,
bahkan beberapa iklan sudah mengumandangkan
produk Ramadan.
Suguhan acara seperti itu
sudah menjadi ritual televisi
setiap tahunnya. Salah satu
ritual lainnya dalampertelevisian di bulan suci ini
adalah munculnya mubalig
atau pensyiar agama yang
hampir ada di semua stasiun
televisi. Dalam perspektif
televisi, menghadirkan mereka tidak semata-mata
menyambut bulan mulia
dan menyuguhkan pesan
keagamaan, tapi juga mendatangkan
keuntungan.
Tampaknya
yang terakhirlah yang ditekankan
dalam suguhan.
Bahkan kemunculan para
mubalig yang demikian
dipopulerkan oleh Ramadan, terlebih oleh stasiun
televisi, sudah menjadi fenomena. Kemunculannya
disejajarkan dengan eksistensi artis Ibu Kota. Mereka
pun bak selebritas yang
menuai berbagai keuntungan di bulan Ramadan seperti show tabligh akbar di
temp at-temp at tertentu
yang bisa mengundang
banyak orang, undangan
tampil di stasiun televisi,
atau bahkan di temp attempat perbelanjaan seperti
mal.
Generasi mubalig populer dirnulai oleh KH Zaenuddin MZ, bahkan karena
popularitasnya Zaenuddin
MZ mendapat julukan "dai
sejuta urnat", dan dia sendiri
sering menyebutkan jargon
"nggak ke mana-mana tapi
ada di mana-mana", yang
dalam pengertian penulis
sangat pas - untuk meng-
podium
DUDI RUSTANDI
Mahasiswa
Pascasarjana
IImu Komunikasi
gambarkan sosoknya yang
populer. Artinya, walaupun
dirinya cuma satu orang,
semua orang dapat menonton dan menikrnatinya melalui televisi.
. Ceramah Zaenuddin diproduksi secara massal oleh
televisi. Ia menjadi bagian
dari kepentingan
media
massa. Bahkan Zaenuddin
menjadi monopoli salah
satu televisi agar popularitasnya tetap eksklusif di
hadapan para penonton.
Generasi
selanjutnya
muncul KH Abdullah Gymnastiar, yang kemudian
seolah menenggelamkan
pendahulunya. KemuncuIan dai yang akrab disapa
Aa Gym itu menjadi begitu
fenomenal. Kehadirannya
disambut oleh hampir semua stasiun televisi. Fenomenalitas
para penyiar
agama ini seolah menjadi
tunas yang subur, yang
kemudian menumbuhkan
tunas lainnya.
Popularitas Aa Gym diikuti oleh mubalig lainnya.
Sebut saja Ustad Jefri AIBukhori, Muhammad Arifin
Ilham, Yusuf Mansur, Subqi
AI-Bughuri, dan lain-lain.
Bahkan setiap RamacUin
selalu saja ada mubalig
yang dipopulerkan
oleh media televisi.
Bagairnana dengan
Ramadan tahun ini?
Apakah kehadiran
mereka akan membantu
me-refresh
mental pemirsa secara awet atau bahkan
melelat selamanya?
Terlepas apakah
mereka telah populer atau tidak sebe-
Unpad
lurnnya, yang jelas kehadiran mereka selama yang
saya cermati tidak banyak
:mengubah kondisi bangsa
dan masyarakat yang semakin tergerus oleh arus
globalisasi. Para mubalig
popular justru menjadi bagian dari agenda budaya
massa yang menjadi ciri
khas globalisasi. Mereka
diproduksi secara massal
sesuai dengan sifat media
masa yang menyebar. Bahkan kemunculan dan popularitas mereka yang begitu
cepat dalam dunia layar
menunjukkan bahwamereka menjadi bagian dari
kepentingan para pemodal.
Mereka muncul secara
ins tan, maka instan pula.
ingatan para
pemirsa
dengan
apa yang telah mereka
sampaikan. Apalagi selaan
tayangan atau tayangansetelah mereka melakukan
orasi agarnanya tidak kontinyu suguhan penyentuh
kalbu, tapi suguhan sinetron, atau iklan
yang
bombastis, atau acara humor Ramadan, makin tenggelamlah pemirsa dalam
Ramadan yang hurahura sehingga lupalah apa
yang disampaikan
oleh
para mubalig sebelurnnya.
Apalagi kehadiran m~reka (para: mubalig), pada
zaman ketika orang tidak
melulu belajar secara berhadap-hadapan dengan komunikasi dua arah aI).tara
guru dan murid, mubalig
pada akhirnya bukan lagi
masuk dalam kategori sosial, mereka tidak lagi duduk dalam singgasana kemewahan ilrnunya, sehingga setiap ilrnu yang diserap
oleh para muridnya sarna
halnya dengan ilmu lainnya, yang bisa didapatkan
di mana saja; dalam buku,
majalah, koran, internet,
dan lain lain. Seperti dikatakan oleh Kuntowijoyo,
mereka bukan lagi masuk
dalam kategori sosial,
yang setiap kata-katanya menjadi petuah yang diikuti oleh
para pernirsa sebagai muridnya.
Para mubalig
popular tidak merniliki ikatan emosional dengan para
jemaahnya sehingga
jemaah yang hampir
menyebar di seluruh
antero jagat Nusantara
tidak merasa memiliki
keterikatan
moral dengan para mubalig popular tersebut.
MengaiI di Air Keruh
Yasraf menyatakan dalam buku Sebuah Kebudayaanyang Dilipat bahwa salah satu ciri dari
buda~lobal
atau
abad postmodern adalah
melubemya informasi dan
dicirikan
p\lla dengan
instanitas. Begitu pun keadaan para mubalig populer, berbagai informasi
atau suguhan pelipur kalbu
dan pencerahan yang disuguhkannya
berbarengan
dengan berbagai informasi
dan hiburan yang ditayangkan oleh berbagai program televisi lainnya.
Apalagi jam tayang suguhan Ramadan yang disyiarkan oleh para mubalig hanya sepersekian persen dari
keseluruhan tayangan. Di
bulan suci, tayangan masih
tetap didominasi oleh hiburan walaupun
kemasannya begitu tampak religius tapi isinya tetap tidak
meninggalkan
substansi
hiburan yang dapat melenakan pernirsanya.
Melubemya berbagai informasi dan tayangan hiburan di tengah Ramadan,
bagi para mubalig sendiri
yang menyampaikan berbagai pesan penyentuh kalbu seolah mengail ikan di
air keruh, kemungkinan
sampainya pesan secara
efektif sangat diragukan
karena berlomba-Iomba
dengan berbagai pesan
hiburan yang dapat menjadi noise bagi pesan keagamaan.
Dengandemikian, dakwah
di televisi, walaupun banyak
dinilai efektif oleh kalangan
pendakwah karena sifat ketersebarannya, menjadi dilema di tengah berbagai
kepentingan yang mengedepankan ideologi modal,
mengeruk sebesar-besamya
keuntungan dari berbagai
tayangan hiburan dengan
melalui iklan, sehingga merninggirkan substansi dakwah itu sendiri. Bulan Ramadan lebih baik rnatikan televisikita, mulailah berpaling ke
masjid, untuk menerirna kekhidmatan Ramadan. Selamat menjalankan ibadah
-Euasa. (*)
..-----._-
Kliping
Hum as
Unpad
2009
-
----
--.-.---
.
o Senin
1
17
2
18
3
0
4
19
Selasa
5
20
0
6
7
0
21
0
Rabu
8
23
0
Kamis
9
10
24
o _Jan 9 ~~!:_~ Mar QApr ,,-_Q~~f_mQ~~n
Jumat
11
25
12
26
o
Sabtu
27
Minggu
14
13
~)
Sep
0
...-.--....-....-----Q~L~!~_~~:__.
15
29
28
Okt
16
30
ONov
31
ODes
Dilema Mub~Iig Pop mer
SUDAH "bukan rahasia
urnurn, Ramadan di televisi
mendahului Ramadan yang
sesungguhnya. Belurnjuga
kumandang Ramadan dimulai, televisi sudah mendengung-dengungkan
gema Ramadan; smetron Ramadan sudah tayang di
beberapa stasiun televisi,
bahkan beberapa iklan sudah mengumandangkan
produk Ramadan.
Suguhan acara seperti itu
sudah menjadi ritual televisi
setiap tahunnya. Salah satu
ritual lainnya dalampertelevisian di bulan suci ini
adalah munculnya mubalig
atau pensyiar agama yang
hampir ada di semua stasiun
televisi. Dalam perspektif
televisi, menghadirkan mereka tidak semata-mata
menyambut bulan mulia
dan menyuguhkan pesan
keagamaan, tapi juga mendatangkan
keuntungan.
Tampaknya
yang terakhirlah yang ditekankan
dalam suguhan.
Bahkan kemunculan para
mubalig yang demikian
dipopulerkan oleh Ramadan, terlebih oleh stasiun
televisi, sudah menjadi fenomena. Kemunculannya
disejajarkan dengan eksistensi artis Ibu Kota. Mereka
pun bak selebritas yang
menuai berbagai keuntungan di bulan Ramadan seperti show tabligh akbar di
temp at-temp at tertentu
yang bisa mengundang
banyak orang, undangan
tampil di stasiun televisi,
atau bahkan di temp attempat perbelanjaan seperti
mal.
Generasi mubalig populer dirnulai oleh KH Zaenuddin MZ, bahkan karena
popularitasnya Zaenuddin
MZ mendapat julukan "dai
sejuta urnat", dan dia sendiri
sering menyebutkan jargon
"nggak ke mana-mana tapi
ada di mana-mana", yang
dalam pengertian penulis
sangat pas - untuk meng-
podium
DUDI RUSTANDI
Mahasiswa
Pascasarjana
IImu Komunikasi
gambarkan sosoknya yang
populer. Artinya, walaupun
dirinya cuma satu orang,
semua orang dapat menonton dan menikrnatinya melalui televisi.
. Ceramah Zaenuddin diproduksi secara massal oleh
televisi. Ia menjadi bagian
dari kepentingan
media
massa. Bahkan Zaenuddin
menjadi monopoli salah
satu televisi agar popularitasnya tetap eksklusif di
hadapan para penonton.
Generasi
selanjutnya
muncul KH Abdullah Gymnastiar, yang kemudian
seolah menenggelamkan
pendahulunya. KemuncuIan dai yang akrab disapa
Aa Gym itu menjadi begitu
fenomenal. Kehadirannya
disambut oleh hampir semua stasiun televisi. Fenomenalitas
para penyiar
agama ini seolah menjadi
tunas yang subur, yang
kemudian menumbuhkan
tunas lainnya.
Popularitas Aa Gym diikuti oleh mubalig lainnya.
Sebut saja Ustad Jefri AIBukhori, Muhammad Arifin
Ilham, Yusuf Mansur, Subqi
AI-Bughuri, dan lain-lain.
Bahkan setiap RamacUin
selalu saja ada mubalig
yang dipopulerkan
oleh media televisi.
Bagairnana dengan
Ramadan tahun ini?
Apakah kehadiran
mereka akan membantu
me-refresh
mental pemirsa secara awet atau bahkan
melelat selamanya?
Terlepas apakah
mereka telah populer atau tidak sebe-
Unpad
lurnnya, yang jelas kehadiran mereka selama yang
saya cermati tidak banyak
:mengubah kondisi bangsa
dan masyarakat yang semakin tergerus oleh arus
globalisasi. Para mubalig
popular justru menjadi bagian dari agenda budaya
massa yang menjadi ciri
khas globalisasi. Mereka
diproduksi secara massal
sesuai dengan sifat media
masa yang menyebar. Bahkan kemunculan dan popularitas mereka yang begitu
cepat dalam dunia layar
menunjukkan bahwamereka menjadi bagian dari
kepentingan para pemodal.
Mereka muncul secara
ins tan, maka instan pula.
ingatan para
pemirsa
dengan
apa yang telah mereka
sampaikan. Apalagi selaan
tayangan atau tayangansetelah mereka melakukan
orasi agarnanya tidak kontinyu suguhan penyentuh
kalbu, tapi suguhan sinetron, atau iklan
yang
bombastis, atau acara humor Ramadan, makin tenggelamlah pemirsa dalam
Ramadan yang hurahura sehingga lupalah apa
yang disampaikan
oleh
para mubalig sebelurnnya.
Apalagi kehadiran m~reka (para: mubalig), pada
zaman ketika orang tidak
melulu belajar secara berhadap-hadapan dengan komunikasi dua arah aI).tara
guru dan murid, mubalig
pada akhirnya bukan lagi
masuk dalam kategori sosial, mereka tidak lagi duduk dalam singgasana kemewahan ilrnunya, sehingga setiap ilrnu yang diserap
oleh para muridnya sarna
halnya dengan ilmu lainnya, yang bisa didapatkan
di mana saja; dalam buku,
majalah, koran, internet,
dan lain lain. Seperti dikatakan oleh Kuntowijoyo,
mereka bukan lagi masuk
dalam kategori sosial,
yang setiap kata-katanya menjadi petuah yang diikuti oleh
para pernirsa sebagai muridnya.
Para mubalig
popular tidak merniliki ikatan emosional dengan para
jemaahnya sehingga
jemaah yang hampir
menyebar di seluruh
antero jagat Nusantara
tidak merasa memiliki
keterikatan
moral dengan para mubalig popular tersebut.
MengaiI di Air Keruh
Yasraf menyatakan dalam buku Sebuah Kebudayaanyang Dilipat bahwa salah satu ciri dari
buda~lobal
atau
abad postmodern adalah
melubemya informasi dan
dicirikan
p\lla dengan
instanitas. Begitu pun keadaan para mubalig populer, berbagai informasi
atau suguhan pelipur kalbu
dan pencerahan yang disuguhkannya
berbarengan
dengan berbagai informasi
dan hiburan yang ditayangkan oleh berbagai program televisi lainnya.
Apalagi jam tayang suguhan Ramadan yang disyiarkan oleh para mubalig hanya sepersekian persen dari
keseluruhan tayangan. Di
bulan suci, tayangan masih
tetap didominasi oleh hiburan walaupun
kemasannya begitu tampak religius tapi isinya tetap tidak
meninggalkan
substansi
hiburan yang dapat melenakan pernirsanya.
Melubemya berbagai informasi dan tayangan hiburan di tengah Ramadan,
bagi para mubalig sendiri
yang menyampaikan berbagai pesan penyentuh kalbu seolah mengail ikan di
air keruh, kemungkinan
sampainya pesan secara
efektif sangat diragukan
karena berlomba-Iomba
dengan berbagai pesan
hiburan yang dapat menjadi noise bagi pesan keagamaan.
Dengandemikian, dakwah
di televisi, walaupun banyak
dinilai efektif oleh kalangan
pendakwah karena sifat ketersebarannya, menjadi dilema di tengah berbagai
kepentingan yang mengedepankan ideologi modal,
mengeruk sebesar-besamya
keuntungan dari berbagai
tayangan hiburan dengan
melalui iklan, sehingga merninggirkan substansi dakwah itu sendiri. Bulan Ramadan lebih baik rnatikan televisikita, mulailah berpaling ke
masjid, untuk menerirna kekhidmatan Ramadan. Selamat menjalankan ibadah
-Euasa. (*)
..-----._-
Kliping
Hum as
Unpad
2009
-
----
--.-.---