Peran lembaga Rahima terhadapkaderisasi ulama perempuan

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

DWI AGUNG SUBEKTI

NIM : 109011000217

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015


(2)

(3)

(4)

(5)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran yang dilakukan lembaga Rahima terhadap Kaderisasi Ulama Perempuan, serta aktivitas apa saja yang dilakukan lembaga Rahima agar hal tersebut tercapai.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

kualitatif sehingga hasil penelitiannya tidak berupa angka-angka melainkan berupa interpretasi dan kata-kata. Pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, kepustakaan (Library research), dan dokumentasi. Kemudian data-data yang terkumpul dianalisa dengan menggunakan

content analysis yakni, dengan cara memilah-milah data yang terkumpul untuk dianalisa isinya sesuai dengan yang dibutuhkan sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.

Penelitian ini membuktikan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga Rahima dalam upaya Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan ini melalui beberapa

tahapan dan langkah yaitu ; Pertama, penetapan materi. Kedua, perekrutan calon

peserta pengkaderan.Ketiga, tadarus. Pertama, penetapan materi dilakukan melalui

workshop para peserta Pengkaderan Ulama Perempuan sebelumnya, dimaksudkan agar pengkaderan selanjutnya lebih berisi atau materi yang ada lebih menyeluruh dan padat, sehingga untuk pengkaderan yang dilakukan saat ini materi lebih

variatif. Kedua, calon peserta Pengkaderan Ulama Perempuan harus memenuhi

kriteria yang telah di tetapkan semisal penguasaan ilmu agama, umur, mempunyai

basic komunitas, keterbukaan akan informasi yang baru. Ketiga, tadarus

merupakan hal terinti dari pengkaderan ini, tadarus merupakan sebuah pelatihan metode-metode yang dilakukan untuk mengetahui betapa pentingnya peran perempuan di masyarakat, penetapan hukum keislaman yang baru yang sesuai kondisi saat ini, dan peng-advokasian atau pengorganisasian masyarakat.

Pengkaderan yang dilakukan oleh lembaga Rahima menghasilkan ulama-ulama perempuan yang mengangkat isu-isu kesetaraan gender serta pengorganisasian masyarakat yang berada disekitarnya, baik itu yang berupa majlis taklim, akademisi maupun yang berupa pesantren.


(6)

This research purpose to know the role and activities that Rahima institution

has been doing to regeneration of women theologian.

In this writing, the writer use qualitative method. The data collected by

observation interview, library research, content analysis and documentation. Ail

data analized be an objective data so the writer get a conclution.

Based on the research show that the method

of

regeneration woman

theologian have done by institute Rahima with some steps. There are 3 steps that

Rahima Institute has been doing. My First step is Material regulation, this step has

done by work shop of participants woman theologian cadre before. The goal of

this activity is to build the next cadre more qualified and to solid to the material.

The second step is the recruihnent of cadre potential participant. It is mean that

applicants woman theologian cadre most have come criteria, such as age, the

capacity of Islamic knowledge, basic community, and open minded about new

information. The third step is leaming the holly book.

It

is a point

of this

cadrezation, the cadre studies the holly book to know how important the role of

woman

in

socie[z to establish Islamic law accurancy and to develop public

argantration.

Cadrezation has been doing by Rahima institution present theologian woman

who took issues equalization of gendre, organization for local people in formal or


(7)

Sang Pemilik langit dan bumi beserta isinya serta pemberi nikmat dan karunia yang tiada tara kepada hamba-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peran Lembaga Rahima Terhadap Kaderisasi Ulama Perempuan”, sebaga salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I).

Shalawat serta salam tak luput pula tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sang revolusioner sejati yang telah menuntun umatnya menuju jalan yang penuh keridhoan Allah SWT.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang dihadapi, namun berkat bantuan semua pihak baik secara moril maupun materil, Alhamdulillah hambatan-hambatan tersebut mampu terlewati. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan untaian kata terimakasih yang sangat luar biasa kepada:

1. Yang terhormat Bapak Prof. DR. Ahmad Thib Raya,MA, selaku dekan

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta beserta seluruh stafnya.

2. Yang terhormat Bapak Drs. Abdul Majid Khon, MA selaku Kepala Jurusan

Pendidkan Agama Islam yang telah memberi kemudahan dalam setap kebijakan yang belau berikan.

3. Yang terhormat Ibu Marhamah Saleh, Lc., MA selaku sekretaris Jurusan

Pendidikan Agama Islam yang memberi banyak pengarahan yang bermanfaat bagi penulis.

4. Yang terhormat Ibu Elo al-Bugis, MA. Selaku dosen pembimbing yang sangat

luar biasa, yang telah banyak sekali memberikan bimbingan, pengarahan, wawasan ilmu baru, juga nasehat serta waktu yang sangat menyenangkan dalam membimbing penulis.

5. Yang terhormat Bapak Drs. Masan.A.F, MA. Selaku pembimbing akademik

yang selalu sabar menghadapi semua keluh kesah dan nasehat-nasehat yang berguna bagi penulis.


(8)

7. Yang terhormat Ibu AD Eridani, SH., ketuan badan pelaksana Lembaga Rahima yang telah berseda memberikan izin, tempat, informasi dan nasehat tentang semua permasalahan yang ada dalam laporan skripsi ini.

8. Kepada seluruh Staff lembaga Rahima Ibu AD. Kusumaningtyas M.Si, Bapak

Maman Abdurrahman, Mas Mawardi, S,Fil.I, Mba Nurhayati Aida, Ibu Binta Ratih Pelu, dan mas Andi Nasori Riyanto juga kepada Ibu Ulfah Mutiah selaku staff Dokumentasi dan Informasi yang telah meluangkan waktu dan energinya untuk membantu menyelesaikan semua administrasi dan dokumentasi guna peneltian penulis.

9. Kepada para peserta Ulama Perempuan Rahima yang telah memberikan

waktunya untuk dapat menyempatkan diri diwawancarai oleh penulis walau dalam kesibukan sehari-harinya, penulis sangat berterima kasih.

10.Yang terhormat dan tercinta Ayahanda Suroto dan Ibunda Suginem, yang

telah memberikan semua kasih sayangnya, memberikan pelajaran hidup yang berharga, menuangkan segala norma hidup baik secara hukum maupun Islam, menaburkan pengorbanan nan jerih payah demi keberhasilan dan kebahagiaan penulis, sehingga dengan untaian doa di setiap sujudnya juga hentakan motivasinya memberikan kobaran semangat dalam menyelesaikan tugas skripsi ini.

11.Kepada seluruh keluarga penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu,

terimakasih atas semua doa dan dukungannya selama penyusunan skripsi ini.

12.Kepada seluruh teman seperjuangan di PAI angkatan 2009 khususnya kelas F,

yang tidak bisa penulis sebut satu persatu. Terimakasih telah memberikan kenangan yang indah saat berada di bangku perkuliahan juga semangat dan motivasi dalam merubah diri penulis menjadi lebih baik lagi.

13.Terimakasih kepada seluruh keluarga besar PMII Rayon PAI Jakarta,


(9)

menyelesaikan tugas ini.

15.Sri Mailina yang senantiasa mendoakan, membantu, dan memberikan

dukungan kepada penulis hingga selesainya tulisan ini.

16.Serta semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu dalam lembaran

ini, penulis ucapkan terima kasih.

Serta hadiah terimakasih penulis kepada semua teman dan semua orang yang dikenal oleh penulis, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Mudah-mudahan bantuan, bimbingan, semangat dan doa yang telah diberikan menjadi pintu datangnya ridha dan kasih saying Allah SWT. di dunia dan di akhirat kelak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya.Amin.

Jakarta, 10 April 2015 Penulis


(10)

PERNYATAAN KARYA SENDIRI PENGESAHAN PEMBIMBING PENGESAHAN PENGUJI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8

D. Tujuan dan manfaat penelitian ... 8

BAB II KERANGKA TEORI A. Kerangka Teori ... 10

1. Peran a. Pengertian Peran ... 10

b. Tinjauan Sosiologi Tentang Peran ... 12

2. Pengkaderan a. Pengertian Pengkaderan ... 14

b. Sistem Kaderisasi ... 15

3. Ulama Perempuan a. Pengertian Ulama ... 16

b. Tugas dan Fungsi Ulama ... 18

c. Macam dan Kriteria Ulama ... 22

4. Ulama Perempuan Indonesia a. Rahmah el Yunisiah…… ... 26

b. Prof. Dr. Zakiah Daradjat ... 29


(11)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

B. Tujuan dan manfaat penelitian ... 39

C. Teknik Pengumpulan Data ... 40

D. Pengolahan Data ... 41

E. Tekhnik Analisis Data ... 41

F. Fokus Penelitian ... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Objek Penelitian 1. Sejarah lembaga Rahima ... 43

2. Visi dan Misi Rahima ... 45

3. Struktur Organisasi ... 46

4. Jenis Kegiatan a. Pendidikan ... 48

b. Publikasi dan Penyebaran Informasi ... 48

B. Deskripsi Penelitian 1. Sejarah Pengkaderan Ulama Perempuan ... 49

2. Tujuan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima ... 51

3. Pendekatan Pembelajaran Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima ... 53

4. Kurikulum Pengkaderan Ulama Perempuan a. Tadarus ... 55

b. Materi Belajar ... 69

c. Metode Belajar ... 70


(12)

d. Kriteria Umur ... 72

e. Tidak Beraliasnsi dengan Partai Politik ... 73

6. Lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan

a. Pesantren ... 73 b. Akademis ... 74 c. Aktivis ... 74

7. Faktor Pendukung dan Penghambat

a. Faktor Pendukung ... 75 b. Faktor Penghambat ... 76 8. Pendanaan ... 76

C. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Aktivitas Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima ... 77

a. Langkah-langkah Pendidikan Pengkaderan Ulama

Perempuan ... 77

b. Pendekatan Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan

Rahima ... 79

c. Kurikulum Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan 81

2. Lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima ... 85

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 91 B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93 LAMPIRAN - LAMPIRAN


(13)

Lampiran 2 Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 3 Surat Izin Permohonan Penelitian di Lembaga Rahima

Lampiran 4 Surat Pernyataan Telah Melakukan Penelitian di Lembaga Rahima


(14)

1

A.Latar belakang masalah

Islam merupakan agama dakwah yang ditujukan kepada seluruh umat manusia diberbagai penjuru dunia. Dakwah Islamiyah yang memiliki misi amar ma`ruf nahi munkar dengan berpegang teguh pada perintah Allah serta seruan nabinya yang mampu membangun kesholehan dan pembentukan karakter seluruh manusia. Untuk menegakkan agama Allah maka dakwah yang dilakukan berupa mengajak manusia kedalam jalan kebaikan. Menyeru untuk mengerjakan yang ma`ruf dan melarang untuk mengerjakan kemungkaran. Sehingga kewajiban berdakwah berlaku bagi kaum muslim tanpa terkecuali baik dia laki-laki maupun perempuan. Hal ini terlihat pada bidang dakwah yang tersedia mengharapkan sentuhan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan keimanan dan tetakwaan kepada Allah SWT.

Ulama adalah orang yang tahu atau orang yang memiliki ilmu agama, atau orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Di Indonesia, istilah ulama atau alim ulama yang semua dimaksudkan sebagai bentuk jama` berubah pengertian menjadi bentuk tunggal, untuk itu kata ulama sering digunakan meskipun untuk menunjukkan orang yang dikategorikan alim. Selain itu ulama merupakan gambaran mereka hamba Allah yang beriman, bertaqwa, menguasai ilmu

kauniyah, dan tanziliyah, berpandangan hidup luas, dan beribadah dengan

landasan rasa takut kepada Allah SWT.1

Selain itu ulama memiliki posisi yang istimewa di dalam Islam. Ulama diberi predikat sebagai pewaris para nabi, pewaris dalam artian, sebagai penggati nabi dalam mendakwahkan agama beliau serta mengajak umat manusia untuk mengerjakan kebaikan dan menjauhi kemungkaran. ulama adalah lampu yang

1

Badruddin Hsubky, Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman, ( Jakarta : Gema Insani Press , 1995), cet ke-I, hal 44.


(15)

menyinari umatnya dimaksudkan peran ulama yang mampu dijadikan petunjuk bagi siapa saja yang ada disekitarnya, mampu menjadi pencerah serta mampu dijadikan cermin bagi kita dalam melakukan kebaikan.Bahkan menurut al-Qur`an, ulama adalah orang yang paling dekat dan paling takut kepada Allah.

Firman Allah dalam surat Fathir ayat 28 dinyatakan :





“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,

hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S Fathir :28)

Itu semua disebabkan karena betapa tinggi dan mulianya derajat seorang ulama, baik dipandangan sesama manusia maupun dipandangan Allah. Ayat dia atas menegaskan bahwa bukan hanya raga mereka ingat Allah namun juga hati dan pikirannya senantiasa mengingat Allah. Umat yang tidak dibimbing oleh ulama akan menjadi umat yang tersesat, mereka dapat terjerumus oleh godaan setan menuju kenistaan serta kehinaan di pandangan Allah. Oleh karena itu betapa central serta pentingnya peran seorang ulama ditengah-tengah masyarakat khususnya di era global seperti saat ini. Para ulama di ibaratkan seperti lampu, yang terangnya mampu menerangi jalan kita sehingga mampu menunjukkan kita kejalan yang benar jalan yang Allah ridhoi bukan jalan yang Allah murkai apalagi jalan kesesatan. Maka jelas betapa besar pahala atau keutamaan seorang ulama yang mana semua keutamaan tersebut berbanding dengan tanggung jawabnya selaku panutan bagi masyarakat.

Diatas amat terlihat jelas bagaimana peran vital serta pentingnya eksistensi ulama dalam membangun serta menuntun umat. Hubungan sosial-keagamaan antara hubungan mereka dengan tuhan dan hubungan mereka dengan masyarakat menjadi sebuah hal yang wajib dalam keseharian mereka, sebagai pengemban risalah kenabian.


(16)

Tujuan lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren, adalah mempersiapkan ulama yang beriman kokoh dan memahami hukum Islam sehingga sanggup mengatasi segala tantangan zaman. Mereka harus bersabar, bersyukur, ikhlas, dan bertobat. Mereka bersabar jika dihadapkan masalah, bersyukur bila diberi karunia oleh Allah SWT, ikhlas bila beribadah, dan segera bertaubat bila berbuat kesalahan. Kebutuhan akan ulama yang demikian sudah semakin mendesak. Sebab, perubahan sosial yang dipengaruhi pola kebudayaan

barat banyak menimbulkan persoalan yang kompleks.2 Dari kesemua itu terlihat

betapa pentingnya peran serta eksistensi ulama yang dibutuhkan masyarakat pada saat ini.

Secara umum, laki-laki dan perempuan memiliki peran yang hampir seimbang , baik itu dalam pendidikan maupun dalam pekerjaan, namun dalam peruntukan dan pendahyagunaan perempuan sebagai ulama terbilang masih cukup rendah, baik yang terlihat pada level sumbangan perorangan dan keluarga maupun organisasi. Hal ini diakibatkan adanya pemikiran yang sangat konservatif dari kalangan ulama salafi terutama, yang memandang sebelah mata peran wanita dalam kaca mata islam, sehingga peran wanita dalam menjalankan kehidupan seakan-akan dibatasi oleh rambu-rambu ajaran islam itu sendiri. Saya kira harus ada paradigma yang progresif mengenai peran wanita dalam islam dengan paradigma kesetaraan gender yang tetap berpegang teguh kepada sumber ajaran

utama islam yaitu, Al-Qur’an dan Hadis.

Kesadaran akan pentingnya sensitivitas gender dan kepedulian terhadap kelompok perempuan baru-baru ini saja muncul. Namun kesadaran ini belum mencapai mainstream dan terbatas di beberapa organisasi perkotaan nasional. Padahal keberpihakan terhadap kelompok perempuan dan isu gender dalam kegiatan pendidikan Ulama sangat penting. Bukan saja karena perempuan merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan, dan ketidakadilan, tetapi karena perempuan memiliki peran penting dalam menciptakan masyarakat

2


(17)

yang lebih baik terkhusus bagi kalangan mereka, yaitu kalangan perempuan. Dan dalam kemunculan isu gender terutama mengenai pendidikan ulama perempuan banyak sekali kritik dari para ulama laki-laki itu sendiri terutama para ulama konservatif seperti yang mengatasnamakan Forum Kajian Islam Tradisional (FKIT) yang beranggotakan kyai-kyai muda dari berbagai pesanren yang mencoba membongkar kesesetan dan kekeliuran yang telah dilakukan untuk pengkaderan ulama perempuan. Tentunya kritikan tersebut bukan tanpa adanya referensi yang digunakan para ulama muda tersebut, akan tetapi para ulama tersebut mengkritik atas paradigma dari kitab-kitab tentang wanita yang bersifat klasik seperti, kitab Uqud Al-Ujayn karangan Syeikh Nawawi Al-Bantani. Dan kabarnya kitab itu pun sempat dikritik oleh para cendikiawan muslim seperti yang mengatasnamakan FK3 (Forum Kajian Kitab Kuning) yang melakukan interperetasi terhadap sumber hukum islam berdasarkan kesetaraan gender, yang akhirnya mereka berinisiatif mendirikan lembaga untuk melakukan pengkaderan ulama wanita.

Dalam sumber utama umat islam yaitu Al-Qur`an, perempuan diposisikan sejajar dengan laki-laki termasuk dalam menyeru dalam kebaikan, seperti firman Allah dalam Surat At-Taubah ayat 71 :























Artinya : “dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian

mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ( Q.S At-Taubah 71 )

Dari ayat diatas terlihat bagaimana persamaan antara hak dan kewajiban seorang mukmin dengan mukmin lainnya dalam mengajarkan amar ma`ruf nahi munkar. Tidak membedakan apakah dia seorang laki-laki ataupun perempuan, keduanya mempunyai eksistensi kewajiban yang sama dalam menyeru, mengajak


(18)

serta menjalankan kebaikan. Selain itu kandungan ayat diatas menjelaskan anjuran kerja sama yang baik bagi umat Islam untuk sama-sama berperan dalam menjalankan ketauhidan. Begitu juga sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur`an Surat An-Nisa ayat 124 :









“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun

wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam

surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” ( Q.S An-Nisa : 124 )

Tidak ada batasan dalam ketaatan, serta anjuran dalam menegakkan amar ma`ruf nahi munkar, semua itu ada balasan serta ganjaran disisi Allah SWT. Kesemuanya baik laki-laki maupun perempuan dituntut untuk beramal sholeh, berprilaku baik serta mampu mengajak yang lainnya dalam kebajikan.

Sebagaimana yang yang dikemukakan Jajat Burhanudin dalam bukunya “

Ulama Perempuan Indonesia” mengatakan ;

”Hingga saat ini, istilah “ ulama “ yang dipahami muslim Indonesia mengacu pada mereka yang berjenis kelamin laki-laki, secara sosial-keagamaan menguasai kitab kuning, dan memimpin pesantren. Kajian para sarjana tentang ulama juga membuktikan demikian, nama tokoh laki-laki senantiasa menghiasi lembaran karya para sarjana tentang ulama. Oleh karena itu ketika istilah “ ulama perempuan “ dimunculkan, perdebatan untuk tidak menyebut kontrofersi sempat berkembang meski dikalangan terbatas. Pengetahuan kami dan juga orang lain tentang ulama, dan kedekatan kami dengan perempuan, nampaknya tidak membuat kami akrab dengan istilah “ ulama perempuan “. Istilah tersebut tetap asing, bahkan bagi mereka yang terlibat dalam wacana sosial-intelektual Islam

Indonesia.”3

3

Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002 ), Hal.vii.


(19)

Kaum perempuan di Indonesia memiliki peluang yang cukup besar untuk berkiprah dalam berbagai bidang, termasuk di ranah keulamaan dan keilmuan. Perempuan muslim tidak hanya bebas untuk memperoleh pendidikan baik formal maupun non formal tetapi juga untuk tampil di ruang publik. Tentunya hal ini tidak mudah untuk diaplikasikan karena kita harus merubah pola pikir masyarakat dalam memandang peran perempuan selama ini yang selalu dibatasi dalam pergerakannya terutama dalam hal pendidikan, dan peran selama ini. Tidak mengherankan memang hal ini bisa terjadi terutama dikalangan umat beragama Islam, yang menyatakan bahwa peran wanita terutama yang sudah berkeluarga sangatlah sempit dan banyaknya rambu-rambu yang harus ditaati.

Rahima, Pusat Pendidikan dan Informasi tentang Islam dan Hak-hak Perempuan adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada

pemberdayaan perempuan dalam perpektif Islam.4 Awalnya Rahima merupakan

sebuah divisi bernama Fiqh an-Nisa (FN) yang bernaung dibawah Perhimpunan Pengembangan Pesantren (P3M). Rekan kerja FN yang utama selama masa kerja enam tahun ( sejak 1994-2000) adalah pesantren, lembaga keagamaan tradisional yang berpengaruh dalam masyarakat Indonesia.

Rahima didirikan untuk merespon kebutuhan informasi mengenai gender dan Islam. Rahima berdiri pada tanggal 5 Agustus 2000 dan keberadaannya disahkan oleh Notaris pada tanggal 11 September 2000 di Jakarta. Lembaga ini memulai

aktivitasnya pada bulan Pebruari 2001. 5

Rahima itu sendiri telah menyatakan sebagai organisasi yang kegiatnnya berpusat pada pendidikan dan informasi tentang hak-hak perempuan dalam islam. Yang mengaharuskan rahima memiliki kerangka pandang yang jelas dan mempunyai tempat berpijak yang kokoh untuk mengembangkan program-programnya. Oleh karena itu ia perlu melakukan dekonstruksi terhadap wacana keagamaan yang bias gender, atau fiqh klasik yang patriarkhal dan

4

www.rahima.or.id April 2014 5


(20)

mengembangkannya menjadi fiqh yang bersifat egaliter.6 Tentunya ini merupakan langkah positif bagi perempuan khususnya karena rahima yang merupakan salah satu organisasi non-pemerintah yang selalu memperjuangkan hak-hak keadilan setiap perempuan.

Pada awalnya Rahima berfokus pada pendidikan kritis dan penyebaran informasi tentang hak-hak perempuan di lingkungan pesantren. Kemudian karena tuntutan kebutuhan masyarakat , Rahima memperluas jangkauannya pada berbagai kelompok di luar pesantren seperti pada madrasah, para guru di lingkup sekolah agama maupun guru agama Islam di sekolah negeri, majelis ta’lim, organisasi perempuan muslim, organisasi kemahasiwaan, dan berbagai LSM.

Sementara itu, selain memperluas jangkauan kegiatan, rahima pun telah

mengembangkan kegiatan-kegiatan yang bersifat kesetaran dalam

memperjuangkan gender, dan salah satu program kegitan yang sangat bagus dan sedikit mengundang kontroversial dikalangan para ulama konservatif adalah pengkaderan ulama perempuan. Oleh sebab itu, disini penulis akan menggali lebih jauh bagaimana peran yang di canangkan lembaga Rahima terhadap Pengkaderan Ulama Perempuan, serta aktivitas apa saja yang dilakukan lembaga Rahima agar hal tersebut tercapai. Dengan maksud tersebut penulis mengajukan skripsi yang

berjudul “ PERAN LEMBAGA RAHIMA TERHADAP KADERISASI ULAMA

PEREMPUAN ”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Kewajiban seorang muslim untuk berdakwah dalam menyerukan amar ma`ruf

nahi munkar

6


(21)

2. Masih adanya kecenderungan memaknai kata ulama hanya bagi mereka kaum laki-laki yang mampu berdakwah, taat dan pandai dalam urusan Agama.

3. Masih minimnya perhatian pendidikan terhadap kaum perempuan

4. Kurangnya kajian wawasan keagamaan khususnya bagi kaum perempuan

5. Masih minimnya jumlah ulama perempuan di Indonesia

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar penelitian dan penulisan ini lebih terfokus, maka penulis hanya membatasi pada aktivitas lembaga Rahima terhadap Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan .

2. Perumusan Masalah

Sedangkan perumusan masalah berdasarkan pembatasan masalah tersebut yaitu: bagaimana peran yang dilakukan lembaga Rahima dalam upaya Pengkaderan Ulama Perempuan ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui aktivitas yang dilakukan lembaga Rahima terhadap

Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan.

b. Untuk mengetahui out put yang diharapkan oleh Pengkaderan Ulama

Perempuan Rahima .

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat akademik

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi dalam perkembangan di bidang pendidikan Islam dan aplikasinya, serta sebagai


(22)

jawaban terhadap deskriminasi pendidikan wanita dalam upaya berdakwah.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan bahan acuan atau perbandingan praktisi, intistusi-intistusi atau lembaga-lembaga yang mengadakan pelatihan pendidikan dalam upaya mendidik kader ulama khususnya kader ulama perempuan serta meningkatkan keimanan serta akhlak sesuai realita perkembangan zaman.


(23)

A.

Kajian Teori

1. Peran

a. Pengertian Peran

Dalam proses hubungan antar sesama manusia, sudah barang pasti dalam hubungan tersebut terdapat sebuah peranan, peranan dalam artian antar sesama manusia tersebut memiliki rasa membutuhkan akan suatu hal yang dia tidak miliki dan orang lain memilikinya. Tentu saja setiap manusia mempunyai peranan dan sudah pasti peranan tersebut akan berbeda tergantung dengan kedudukan dalam sosial masyarakatnya masing-masing. Oleh karena itu berbicara mengenai peranan, tentu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai kedudukan atau status. Seseorang dikatakan berperan atau memiliki peranan karena orang tersebut mempunyai sebuah kontribusi, begitu pula halnya sebuah lembaga, lembaga bisa dikatakan berperan ketika lembaga tersebut memiliki sebuah andil besar dalam menaungi masyarakat dalam suatu perihal tertentu.

kata peranan berasal dari kata “ peran “ yang berarti “ mengambil bagian

atau turut aktif dalam suatu kegiatan”. 1 sedangkan peranan berarti tindakan yang

dilakukan seseorang atau sesuatu yang terutama dalam terjadinya sesuatu hal atau peristiwa. dalam kamus besar bahasa Indonesia peranan di artikan bagian

dari tugas utama yang harus dilaksanakan.2

Menurut N.Grass.W.S.Masson dan A.W.Mc.Eachern sebagaimana yang dikutip oleh David Barry mendefinisikan peranan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada induvidu yang menempati kedudukan sosial

1

A.Arifin, Kamus Ilmiah Populer , (Bandung : Rajawali Press, 2004), cet ke 4, hal. 60. 2


(24)

tertentu. Harapan tersebut masih menurut David Barry, merupakan hubungan dari norma-norma sosial, oleh karena itu dapat dikatakan peranan-peranan itu ditentukan oleh norma-norma dalam masyarakat. Artinya, seseorang diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat di dalam

pekerjaannya dan pekerjaan yang lainnya.3

Selanjutnya menurut Abu Ahmadi dalam buku “ Psikologi Sosialnya menerangkan bahwa “, peranan adalah suatu penghargaan manusia terhadap caranya induvidu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan

status dan fungsi sosialnya.4 Hal ini mengartikan bahwa setiap orang

menginginkan orang lain menyesuaikan sikap dan tingkah laku sesuai dengan statusnya serta menjalankan hak dan kewajibannya.

Dalam teorinya Biddle dan Thomas membagi peristilahan dalam teori peran ada 4 golongan yaitu :

1) Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial

2) Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut

3) Kedudukan antara orang-orang dan perilaku

4) Kaitan antara orang dan perilaku.5

Lebih lanjut, menurut Getzels dan E.G. Guba dalam M.Arifin mengatakan

bahwa gaya hubungan leadership-followership, peranan seseorang dapat

mengubah tingkah laku masyarakat berikut penjelasannya :

1) Role Expectation, pengharapan dari masyarakat kepengikutan kepada peranan kepemimpinan.

2) Need Disposition, kecendereungan pribadi manusia kepada pemenuhan kebutuhan.

3

David Barry, Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi, ( Jakarta : PT Raja grafindo persada, 1995 ), cet ke 3, hal. 99.

4

Abu Ahmadi , Psikologi Sosial ( Jakarta : Rineka Cipta,1991 ), hal. 114. 5

Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, ( Jakarta : CV.Rajawali, 1984 ), hal.234.


(25)

3) Social Behavior, tingkah laku pribadi dan social dalam masyarakat akibat

proses kepemimpinan-kepengikutan.6

Dari teori peranan diatas banyak terdapat kecenderungan akan pengertian peran yang lebih mengacu kepada bagaimana upaya seseorang, induvidu atau kelompok mampu mengambil sebuah tindakan atau perbuatan berdasarkan status dan fungsi sosialnya, sesuai norma atau kebutuhan masyarakat dalam artian individu atau kelompok yang bersangkutan sudah mampu berkontribusi terhadap masyarakat sesuai kebutuhan masyarakat dan dilandasi atas norma yang berlaku dimasyarakat sebagai upaya pemenuhan kebutuhan antar induvidu dan induvidu, induvidu dan kelompok, kelompok dan kelompok.

b. Tinjauan Sosiologi Tentang Peran

Ditinjau dari segi sosiologi, tidak dapat dipungkiri bahwasannya manusia adalah mahluk sosial, yang tidak dapat melepaskan ketergantungan pada mahluk lain atau manusia lainnya, maka pada posisi semacam inilah peran sangat menentukan kelompok social masyarakat tersebut, dalam artian diharapkan masing-masing dari social masyarakat yang berkaitan agar menjalankan perannya yaitu : menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat ia tinggal.

Hubungan-hubungan social yang ada dalam masyarakat merupakan hubungan antara peran-peran induvidu dalam masyarakat. Peran yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan

kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat ( social position)

merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat induvidu pada organisasi

6

M. Arifin, Psikologi Dakwah; Suatu Pengantar Studi, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2000 ), hal.99.


(26)

masyarakat. Jadi seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta

menjalankan suatu peran.7

Didalam peran menurut David Berry terdapat dua macam harapan, yaitu :

1) Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau

kewajiban-kewajiban dari pemegang peran.

2) Harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran terhadap

masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya

dan menjalankan perannya atau kewajiban-kewajibannya.8

Dari kutipan tersebut nyatalah bahwa ada suatu harapan dari masyarakat terhadap seorang induvidu untuk menjalankan sebuah peran, yang mana peran tersebut adalah sebuah tanggung jawab yang harus dijalankan sebagaimana mestinya dan sesuai dengan proposisi dirinya yang sesuai dengan kedudukan dalam lingkungan tersebut. Induvidu dituntut untuk mampu menjalankan peran yang telah diberikan masyarakat kepada individu tersebut. Dalam hal ini peran dapat dilihat sebagai bagian dari struktur masyarakat, misalnya peran-peran dalam keluarga, pekerjaan, kekuasaan dan peran-peran lainnya yang mampu dibuat sesuai dengan kegunaan peran tersebut.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu peran tidak dapat berjalan tanpa adanya suatu kedudukan atau proposisinya. Dengan adanya kedudukan atau posisi tersebut maka peran dapat berjalan sesuai dengan tugas yang dimiliknya atau menjadi tanggung jawabnya. Dengan pemenuhan akan kewajibannya maka akan terlihat status peran seseorang dalam menjalankan sebuah tugasnya yang telah diberikan dalam pembagian kedudukan. Dan peran itu sangatlah penting karena peran merupakan simbol seseorang memiliki peran sebagai tugasnya yang telah diberikan.

7

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet.Ke-34 hal.243.

8

N.Gross, W.S. Mason and A.W.Mc Eachern. Exploritations In Role Analiysis, dalam David Berry, Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada 1995 ), Cet. Ke-3 hal.101.


(27)

B. Pengkaderan

a. Pengertian Pengkaderan

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia ada beberapa artian kader. Pertama, kader sebagai tentara atau perwira di ketentaraan. Kedua, orang yang diharapkan memegang peran yang penting di pemerintahan, partai, dsb. Sedangkan pengaderan merupakan proses, cara, perbuatan, mendidik atau membentuk

seseorang menjadi kader.9

“ pada awalnya kader merupakan suatu istilah militer atau perjuangan yang

berasal dari kata carde yang didefinisikan sebagai pembinaan yang tetap sebuah

pasukan inti yang sewaktu-waktu diperlukan.”10

Kader dalam kamus ilmiah populer adalah orang yang didik untuk menjadi

pelanjut tongkat estapet suatu partai atau organisasi. 11

Dari pengertian diatas maka kaderisasi dapat diartikan sebagai upaya regenerasi terhadap sebuah tonggak kepemimpinan baik didalam pemerintahan, partai maupun sebuah lembaga, ini semua dimaksudkan agar sebuah sistem kelembagaan terus berkelanjutan tidak hanya terhenti sampai disitu saja. Sedangkan pengkaderan merupakan usaha atau proses perbuatan mendidik sebagai upaya mencari generasai selanjutnya yaitu kader.

Mengapa kaderisasi diperlukan ? karena setiap manusia yang sekarang menjadi pemimpin suatu saat akan mengakhiri kepemimpinannya . pengakhiran dari proses kepemimpinan terjadi karena beberapa hal diantaranya :

1) Dalam suatu organisasi ada ketentuan periode seseorang

2) Adanya penolakan dari anggota kelompok, yang menghendaki pemimpinnya

diganti baik secara wajar maupun tidak wajar.

3) Proses alamiah, menjadi tua atau kehilangan kemampuan dalam memimpin,

9

Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1988 ),h.488

10

Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, ( Bandung : PT. Remaja Rosada Karya, 2000 ), cet Ke-3, h. 54-56

11

Pius A. Partanto, M. Dahlan A-Barry , Kamus Ilmiah Populer, ( Surabaya: 1994 ), hal 293-294


(28)

4) Kematian, kematian merupakan hal yang tidak bisa ditolak oleh setiap

manusia. 12

b. Sistem Kaderisasi

Dikarenakan ada batas waktu atau masa berakhirnya suatu jabatan dalam sebuah kepemimpinan, maka perlu kiranya diadakan suatu kaderisasi. Adapun langkah-langkah atau tahapan dalam aktivitas pengkaderan adalah sebagai berikut ;

1) Seleksi kader potensial sejak dini. Seleksi ini menyangkut kemampuan

akademis, kualitas kepribadian, maupun kemampuan komunikasi sosialnya.

2) Pendidikan umum dan pendidikan khusus yang menunjang kebutuhan kader

untuk melaksanakan tugas di masa yang akan datang di pesantren.

3) Evaluasi bertahap, baik yang menyangkut kemampuan personal akademik,

maupun sosialnya.

4) Pendidikan remedial bagi santri kader yang mengalami ketertinggalan dalam

proses pendidikan yang ditargetkan.

5) Praktek magang, untuk mempraktekkan hasil-hasil pendidikan kader yang

telah diterima.

6) Sertifikasi kader untuk menentukan apakah seorang kader telah memenuhi

target yang di tetapkan atau masih belum.13

Dengan cara yang demikian diharapkan aktivitas dalam mencari kader lanjutan dapat berjalan dengan maksimal, dengan tujuan antara kader atau pemimpin yang ada pada saat ini tidak mengalami kemerosotan dalam kepemimpinan yang selanjutnya atau antara generasi yang sekarang dengan generasi yang selanjutnya tidak terjadi kesenjangan.

12

Rivai Veithzal, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi , ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006 ), cet ke-3, hal.85

13

Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnurdilo dkk, Manajemen Pondok Pesantren,( Jakarta : Diva Pustaka, 2005 ), cet ke-2, hal.55


(29)

C. Ulama Perempuan a. Pengertian Ulama

Ulama Perempuan terdiri atas dua suku kata “ ulama” dan “perempuan”. Adapun pegertian dari ulama yaitu, Ulama umumnya didefinisikan secara intelektual sebagai orang yang memiliki kelebihan pengetahuan tentang Islam ( paling tidak, ia dikenal sebagai penceramah, penulis Islam, atau pemimpin pesantren). Menurut Jalaluddin Rakhmat ada beberapa definisi makna pemimpin

Islam. Pertama, pemimpin Islam sebagai pemimpin masyarakat yang beragama

Islam. Kedua, Pemimpin Islam ialah para ulama yang memiliki pengikut

ditengah-tengah masyarakat. Ulama tak lagi diisyaratkan sebagai ahli faqih,

tetapi boleh juga cendikiawan islam yang memiliki pengetahuan mendalam

tentang disiplin ilmu tertentu.14

Menurut prof. Dr. Quraish Shihab kata `Ulama adalah bentuk jama` dari kata alim yang terambil dari kata alima yang berarti mengetahui secara jelas. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa definisi ulama yaitu orang yang mengetahui tentang fenomena sosial dan alam yang terkandung didalam kitab suci. Hanya saja dari pengetahuan fenomena sosial dan alam serta kandungan kitab suci harus

memiliki rasa khassyah ( rasa takut dan kagum kepada Allah SWT ).15

Adapun kata al-`ulama` dinyatakan dalam firman Allah:



















“dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan

binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara

14

Jajat Burhanudin, Ulama Perempuan Indonesia, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002 ), Hal 290-291

15

M.Quraish Shihab, Secerah Cahaya illahi; Hidup bersama Al-Qur`an, ( Bandung : Mizan , 2000 ), hal 39


(30)

Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. ( Q.S Fathir :28)

Dari penjelasan ayat diatas mengisyaratkan bahwa definisi ulama merupakan hamba Allah SWT yang beriman , bertaqwa, menguasai ilmu kawniyyah ( fenomena alam ) maupun bersifat qur`aniyah, berpandangan hidup yang luas, dan beribadah dengan landasan rasa takut dan kagum kepada ALLAH SWT, takut

khasyyah merupakan sifat khusus ulama.16Ibnu Asyur dan Thabathaba`i

sebagaimana yang dikutip oleh Quraisy Shihab mengatakan bahwa ulama adalah

orang yang mendalami ilmu agama.17 Selanjutnya Thabathaba`i menulis bahwa

ulama adalah “ orang yang mengenal Allah SWT dengan nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatanNya, pengenalan yang bersifat sempurna sehingga hati mereka menjadi tenang dan keraguan serta kegelisahan menjadi sirna, dan nampak pula dampaknya dalam kegiatan mereka sehingga amal mereka membenarkan ucapkan”.18

Ahmad Mustafa Bisri, yang dikutip oleh Subhan bahwa ulama memang berasal dari bahasa arab dan semua merupakan bentuk jamak dari kata `alim yang berarti mengetahui, orang pandai, orang yang pandai dalam ilmu apapun dikategorikan sebagai ulama istilah itu kemudian berkembang dan tepatnya menciut sehingga lebih banyak digunakan untuk menyebut mereka yang ahli ilmu agama Islam, bagi mereka yang mengerti literature “ Kitab Kuning “ istilah ulama umumnya difahami dalam konotasi yang tidak terbatas untuk menunjukan

orang-orang yang berilmu agama.19

Dari beberapa pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa ulama selalu di identikkan dengan orang yang mengusai ilmu agama, terutama sebutan bagi

16

M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur`an volume 11, ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ), hal.465

17

Ibid hal.466 18

M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur`an volume 11, ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ), hal.466

19


(31)

agama islam. Di mana ulama memiliki peran yang cukup andil dalam usaha mengeksiskan penyiaran dan pengajaran agama islam. Namun bukan sampai disitu saja mereka ulama adalah yang mempunyai rasa taqwa kepada Allah serta mempunyai hubungan sosial yang baik kepada masyarakat.

Sedangkan ulama perempuan adalah mereka yang berjenis kelamin perempuan yang menguasai ilmu agama serta menyebarkan agama tersebut, serta mempunyai rasa taqwa kepada Allah. Sebenarnya kata ulama sendiri pun sudah mewakili laki-laki ataupun perempuan. Menurut Azyumardi Azra seperti yang

dikutip oleh Jajat Burhanuddin mengatakan, beliau mengkritik bahwa “

penggunaan istilah “ ulama perempuan” justru mengandung bias gender. Menurutnya, istilah “ ulama perempuan “ jika dilihat dari perspektif gender merupakan sebuah ironi, sebab istilah “ ulama” sejak awal penggunaan kata ini pada dasarnya merupakan istilah “ gender neutral “. Dalam bahasa Arab tidak

ada padanan muannats-nya. Artinya , istilah” ulama “ bisa mengacu pada laki

-laki atau perempuan tanpa harus menambahkan kata -laki--laki atau perempuan

dibelakangnya.”20

Dari kutipan tersebut diatas terlihat jelas bahwa sebenarnya penamaan “ Ulama Perempuan “ justru akan mengandung unsur bias gender yaitu pemisahan antara laki-laki dan perempuan padahal seperti yang kita ketahui diatas bahwa

kata Ulama adalah kata majmu` atau jama`, di maksudkan didalam unsur

laki-laki sebenarnnya sudah mengandung unsur perempuan didalamnya. Dengan demikian Istilah Ulama di mempunyai makna yang sangat luas di banding dengan ketika kita menyebutkan istilah Ulama Perempuan.

b. Tugas dan Fungsi Ulama

Menurut M. Dawan Raharjo sebagaimana yang dikutip oleh Armai Arief dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, disebutkan bahwa: “ para ulama, menurut suatu Hadits Nabi SAW

20

Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002 ), Hal. xxviii


(32)

Adalah pewaris para nabi. Dengan demikian maka tugas dari ulama adalah meneruskan misi dan perjuangan para nabi dalam menyampaikan agama Allah kepada manusia”.21

Secara garis besar ada empat tugas yang harus dilaksanakan ulama, baik ulama laki-laki maupun ulama perempuan dalam kedudukannnya sebagai ahli waris atau pewaris para Nabi, yaitu :

1) Menyampaikan ajaran kitab suci dalam artian Tabligh. Karena Rasulullah

diperintahkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya 22:















“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari

Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi

petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (Q.S Al-Maidah : 67 )

Ayat ini mengingatkan kepada nabi Muhammad SAW agar menyampaikan ajaran agama Islam kepada para pemuka agama Yahudi dan Nasrani dan sebagainya tanpa menghiraukan kritik ancaman mereka, karena Allah berjanji kepada Nabi Muhammad SAW bahwa beliau akan dipelihara

oleh Allah dari segala macam gangguan.23

21

Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, ( Bandung : Angkasa, 2005 ), hal.101.

22

M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur`an, ( Bandung : PT Mizan,1997 ),hal.385 23

M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur`an volume 3, ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ),hal 157


(33)

2) Menjelaskan ajaran-ajaran Al-Qur`an baik yang tersurat maupun yang tersirat 24.



















“ Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan

kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa

yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”

(Q.S An-Nahl : 44 )

Ayat ini menugaskan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan Al-Qur`an baik yang tersurat maupun yang tersirat. Memang As-Sunah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur`an dan fungsi

sehubungan dengan pembinaan hukum syara` yaitu menguatkan serta

memperjelas yang terdapat dalam As-Sunah dan harapan kiranya mereka berpikir menyangkut dirimu ( Nabi Muhammad ) bahwa apa yang

disampaikan itu adalah kebenaran yang bersumber dari Allah SWT.25

3) Memberi putusan dan solusi problem dari perselisihan masyarakat sejalan

dengan firman-Nya 26:

































24

M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur`an, ( Bandung : PT Mizan,1997 ),hal.385 25

M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur`an volume 7, ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ),hal 238

26


(34)













“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka

Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (Q.S Al-Baqoroh : 213 )

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia sebagai mahluk sosial yang salin berkaitan dan saling membutuhkan. Tetapi manusia tidak mengetahui sepenuhnya bagaimana cara memperoleh kemaslahatan atau bagaimana cara menyelesaikan perselisihan mereka. Karena itu Allah mengutus nabi-nabi untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan Allah dalam

member keputusan tentang perkara yang diperselisihkan.27

4) Memberi contoh pengalaman, sosialisasi, dan keteladanan.

Hal ini sesuai dengan Hadis Aisyah yang menyatakan bahwa perilaku Nabi adalah praktek Al-Qur`an :

27

M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur`an volume 1, ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ),hal 425


(35)

Berkata Aisyah : Akhlak Nabi itu adalah Al-Qur`an, ridhonya dan

marahnya sesuai dengan Al-Qur`an.28

c. Macam dan Kriteria Ulama

Kata-kata ulama disebutkan dalam Alquran sebanyak dua kali, dalam Surah Asy-Syu'ara' 197 dan Surah Fathir 28. Intisarinya, ulama adalah orang yang memiliki ilmu yang mumpuni sehingga membawa dirinya memiliki sifat khasyyah.

Ulama dalam kontek Alquran sering digunakan istilah ulil albab yang disebutkan 16 kali. Mereka disanjung sebagai orang yang memiliki sifat khasyyah, martabat mulia, banyak zikir, takwa, mencapai derajat iman dan

keyakinan yang tinggi, komitmen dengan syariat Islam dan ajaran-ajarannya.29

sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur`an surat Ali Imran ayat 7:

































































































“ Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi)

nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaatAdapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami

28

M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur`an, ( Bandung : PT Mizan,1997 ),hal.385 29Ismail, Achmad Satori. “Amalan Terbaik.”,


(36)

beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan

orang-orang yang berakal.”( Q.S. Ali Imran: 7)

Imam al Ghazali mengemukakan sebagaimana yang dikutip Badruddin Hsubky “Ada 2 macam jenis ulama di dunia yaitu, pertama ulama akhirat, Ulama akhirat adalah mereka yang tidak menjual ilmunya untuk kemegahan dunia semata, apa yang ia ucapan relevan dengan apa yang ia kerjakan,

senantiasa khasyyah atau takut kepada Allah SWT, takzim atas segala

kebesarannya, tawaddhu`, hidup sederhana, berakhlak mulia terhadap Allah

maupun sesamanya , serta ilmu yang dimilikinya merupakan ilmu yang bersumber dari hati, dia hanya mengikuti perkara perkara yang di ajarkan nabi.

Kedua, ulama dunia ( ulama suu` ) yaitu adalah mereka yang memperoleh ilmu

semata-mata untuk mencapai kepentingan dan kenikmatan dunia, memiliki

kedudukan mulia menurut ahli-ahlinya. 30

Achmad Satori Ismail mengatakan ada beberapa criteria yang harus dimiliki

ketika seseorang menjadi ulama:31

1) Orang yang selalu berzikir kepada Allah, baik dalam keadaan berdiri,

duduk, ataupun berbaring. Ulama akan menjauhi perbuatan laghwun atau lahwun. Yaitu perbuatan yang tidak ada gunanya, perbuatan yang sia-sia.

2) Selalu bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi.





















30

Badruddin Hsubky, Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman, ( Jakarta : Gema Insani Press , 1995), Cet ke-I, hal 57.

31

Achmad Satori Ismail http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/17/ mc0sq1-amalan-terbaik, 23 April 2014


(1)

Setelah melakukan pengkaderan apa yang ibu lakukan setelahnya bersama peserta pengkaderan yang lain ?

Kita itu kan dari latar belakang yang berbeda, posisinya juga menyebar dimana-mana untuk pertemuan pun pasti sulit, jangankan yang berbeda angkatan yang satu angkatanpun susah sekali bertemu, biasanya itu bisa kumpul bareng kalau dikumpulkan oleh Rahima, misalkan ada perkumpulan apa lalu kita disuruh kumpul bareng itupun tidak semua bisa berkumpul.

Harapan kedepan bahwa Rahima bisa lebih menjangkau tidak hanya pesantren dan sekolah NU saja tetapi bisa merambat ke sekolah Muhammadiyah dan Persis, sedangkan Muhammadiyah dalam beberapa titik telah mempunyai dewan majlis Tarjih dan putusan fatwa yang baik misalnya saja “ Aborsi itu diperbolehkan dalam keadaan darurat “ artinyakan itu dapat difahami ketika perempuan korban perkosaan dan dia tidak menginginkan anak dari korban perkosaan itu karena factor psikologis yang luar biasa trauma maka Aborsi itu diperbolehkan, berarti muhammadiyah progresif misalnya dia punya urusan ditingkat internal pusat sampai tingkat ranting itu tidak boleh poligami tidak boleh melakukan KDRT, ketika ketahuan melakukan itu maka dipecat dari pimpinan tersebut, keputusan seperti inikan sebenarnya sudah ada di tingkat institusinya bagaimana menyiapkan kader-kader ulamanya dari sekolah-sekolah muhammadiyah pesantren muhammadiyah maupun Persis, karena Rahima itu harus lebih menjangkau banyak kader tidak hanya NU saja.


(2)

Hasil Wawancara Narasumber : Nor Ismah

Jabatan : Peserta Pengkaderan Ulama Perempuan Hari/Tanggal : Senin, 27 Oktober 2014

Kapan pertama kali ibu mengetahui lembaga Rahima ?

Sebelumnya saya bekerja di YKF ( Yayasan Kesejahteraan Fatayat ) mulai mendengan nama P3M, yang saat ini menjadi Rahima,

Apa alasan ibu menikuti pelatihan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima ?

Direkomendasikan oleh teman dia termasuk pengolah modul PUP yang bukunya berwarna ungu ibu Nihayatul Wafiroh. Ketika itu saya menjadi pengurus Fatayat kemudian di tawari siapa yang mau ikut program ini, kemudian saya ikut.

Bagaimana pengaplikasian yang ibu lakukan setelah melakukan pelatihan pengkaderan ? Program PUP itu sendiri punya criteria kan diantaranya basic komunity atau jamaah. Saya sebenarnya ga punya jamaah gtu. Waktu itu saya keterima mungkin ini, pak Hasan waktu itu bilang yang milin teks arab untuk di interpertasi itu langsung keterima. Kalau saya itu senang melihat teman-teman perempuan yang bisa melakukan community development dilingkungan masing-masing, karena saya ga bisa melakukan itu, bisanya saya ya bagaimana program bagus ini bisa didengar banyak orang melalui misalnya menulis kemudian di presentasikan, area saya sebenarnya kan tulis menulis sama training-training kemudian pelatihan saya ga punya jamaah. Jamaah saya itu audience. Yaa mungkin lebih luas ya…. Wilayah nya mungkin lain,Kalau saya semisal ini bisa dibilang advokasi, ini bukan advokasi gresroad, jadi pemberdayaan komunitas itu bukan. Tapi bagaimana program ini bisa diakui oleh banyak orang dan mereka yang sebenarnya mempunyai lembaga, mempunyai power menjadi tau bahwa melakukan pendidikan untuk ulama perempuan itu penting lalu bisa menginspirasi mereka utuk bisa melakukan hal yang sama. Kalau misal ini kan banyak sekali ya, orang-orang yang memiliki kompetensi yang belum berhasil dijaring oleh Rahima banyak sekali. Kemudian juga laki-lakinya. Tadi mba Dani ( AD, Eridani ) bilang untuk ulama laki-laki kan angkatan pertama baru 25 orang sedangkan efek atau out put dari program itu benar-benar kelihatan ada perubahan mensed dari laki-laki itu. Jadi 25 dibanding sekian juta ulama laki-laki kan belum apa-apa jadi masih harus terus dilakukan. Saya pikirdengan melakukan sharing keberhasilan program, perubahan-perubahan yang terjadi ke orang-orang yang berhubungan langsung dengan program ini tapi orang akademisi, peneliti atau mungkin aktivis yang mempunyai kebijakan itu merekan menjadi bergerak.


(3)

Peran pengkaderan Ulama Perempuan Rahima

Program ini bagus, hanya dari beberapa tadarus belum ada system yang bias memfasilitasi ulama-ulama ini untuk membangun jaringan untuk bekerja sama entah itu dilingkup kabupaten atau kecamatan dan bagusnya kalau output dari program ini sebenarnya kalau ulama-ulama perempuan mendapat pengakuan yang sama dengan laki-laki itu mungkin butuh lembaga yang menjebatani kearah pengakuan itu misalnya salah satu yang selama ini sangat susah dilakukan oleh ulama perempuan adalah memberikan keputusan hokum yang itu bias di praktekkan di aplikasikan dipakai oleh umat Islam di Indonesia itu kan sangat kurang sekali. Memang dari yang kemarin saya interview itu mereka telah mengambil keputusan hokum tapi itu lingkupnya local dan local itu hanya ibu-ibu ada juga bapak-bapak tapi itu tergantung. Kalau ibu Umi Hani itu menjadi tempat bertanya tidak hanya ibu-ibu tapi juga bapak-bapak tentang hokum. Kalau bu afwah itu karena berada di komunitas pesantren salafiyahnya lebih kuat jadi keputusan hokum itu yang diberikan bu Afwah hanya untuk induvidu perseorangan yang memang mempertanyakan itu. Nah kalau misalnya otoritas itu yang ingin dibangun atau ingin didpatkan mungkin perlu suatu lembaga yang membuat bahtsul masail terus yang datang itu kader-kader ulama ini kemudian membuat ada beberapa persoalan kemudian diambil keputusan hukumnya melalui metode yang memang diperkenalkan oleh rahima. Kalau Bahtsul Masail yang Konvesional kan hanya diperkenalkan Kitab kuning saja itupun laterlage kalau Rahima Al-Qur`an, Hadits, Kitab kuning, perundang-undangan kemudian konteks. Itu dipakai . kemudian kalau misalnya kemarin kegelisahan dari kyai Husen ternyata tidak semua kemampuan membaca kitab ulama perempuan ini 100% dapat di andalkan. Itu kenapa ? mungkin ada semacam kesulitan bagi ulama ini untuk ulama tersebut masuk bahtsul masail yang di ikuti kebanyakan bapak-bapak seperti bahtsul masail di NU. Itukan kalau kemampuan kitab kuningnya aja kurang bagus ya akan akan ketinggalan ya mungkin begini bias mengkader dipilih dari beberapa ulama perempuan, mungkin bisa kalau dari tingkat nasional itu kesulitan bisa proses aja dari lembaga bahtsul masail. Nah kemarin ada yang menarik itu dari mba Hindun, mba Hindun itu dia tidak ikut PUP tapi dia termasuk anggota perhimpunan Rahima, dia kader di YKF , kemudian ikut program siyasahnya P3M. itu dia waktu ada bahtsul Masail di local daerahnya, itu memang dia tidak dapat ikut hanya menjadi Mustamiin, namun dia bisa melakukan lobi, itu dia berhasil mempengaruhi hasil keputusan. Jadi melalui lobi yang dilakukan. Jadi kalau memang salah satu yang mau di hasilkan itu mendapatkan otoritas hokum, mungkin prosesnya juga penting untuk di cermati. Menurutku perempuan ulama tanpa support dari lembaga, institusi itu agak sulit. Dari lembaga mungkin bisa misal dengan lembaga yang konven dengan wanita seperti Rahima, bisa juga misal seperti fatayat, karena tanpa itu agak susah dalam pengambilan keputusan. Jadi supaya tidak terhenti sampai lulus kemudian selesai tetapi juga memikirkan dia bisa berjejaring kemudian merebut otoritas-otoritas.

Dibutuhkan ulama laki-laki, jadi tidak sendiri ulama perempuan. Karena kan gerakan gender exquality baiknya dilakukan oleh kedua belah pihak laki-laki dan perempuan. Yang menarik begini kita di bu Afwah itu saya interview keponakannya aqu tanya. Kan disana ada Takhosus


(4)

lilbanat sama lajnah apa begitu madrasah untuk laki-laki. Aku Tanya apakah materinya berbeda? Ya berbeda yang untuk santri putra yang digunakan kitab-kitab muktabaroh. Jadi cara penyamaiannya masih konvensional masih metode bandongan sementara untuk putrikan ada kitab-kitab baru misalnya mambaul sa`adah kemudian sittin al-adilah, kemudian saya bertanya kenapa kedua kitab itu tidak dikaji di santri putra. Kata dia “itukan hadits-hadits yang membahas tentang perempuan, biar aja di kaji oleh santri putrid itu penting buat mereka, sedang santri putra membahas hadits-hadits tentang perempuan untuk apa ? kan kitab itu isinya bagaimana menjadi perempuan sholeh” kemudian saya bertanya, bapak pernah buka kitab itu ? “kalau mambaul saya belum, kalau sittin pernah buka “ bagaimana menutut bapak ? ” saya ga tau ya tapi seakan judulnya itu dipaksakan “ sebenarnya hadits ini, katakanlah Hadits ini konteks tentang jual beli tapi disitu yang melakukan jual beli sahabat perempuan akhirnya hadits ini dipakai dengan judul bahwa perempuan juga jual beli. Jadi untuk bahwa perempuan itu juga muncul di public dia jual beli, itu yang di tangkap. Tapi kalau perspektifnbya itu masih perspektif laki-laki itukan tokoh perempuan disitu tidak muncul yang dibahas jual belinya itu. Misal jual beli boleh dilakukan di pasar atau misalnya jual beli harus ada Akad yang muncul itu konsep itunya tapi sittin atau mambaus saadah ditulis dalam perspektif perempuan akhirnya Hadits itu judulnya bukan adab jual beli tapi peran perempuan di wilayah public. Jadi itu yang menurut bapak itu dipaksakan. Terus saya tanya, ada ga contoh yang spesifik hadits yang mana ? dia jawab “wah saya ga inget bu, pokoknya ada” bapak komplen ga dengan penulisnya misalnya saya menemukan ini kemudian tidak pas kemudian mujadalah atau debat ? kata dia “ gal ah, masalah seperti itu tidak perlu dipermasalahkan itukan perbedaan perspektif atau perbedaan pandangan, itukan rahmat “ kalau misalnya dari tokoh laki-lakinya mereka tidak juga dilibatkan dalam gerakan ini akhirnya yang terjadi seperti itu, bahwa itu hanya urusan perempuan saja. Kita ga ada kepentingan, istilahnya untuk apasih kita ikut-ikutan digerakan seperti itu. Padahal yang namanya relasikan melibatkan laki-laki, nanti misalnya Cuma perempuan aja ini kan jadi tidak akan terwujud relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan. Sama juga kasusnya secara perspektif misalnya ibu nyai ibu nyai sudah sadar gender tapi karena dia tinggal dilingkungan pesantren trus suaminya masih bias, apalagi kalau ibu nyainya tidak mempunyai keberanian untuk atau seni untuk melobi mempengaruhi suaminya akhirnya dia tidak bisa bergerak, pengetahuan itu hanya menjadi pengetahuan dia saja tidak tersampaikan


(5)

Hasil Wawancara Narasumber : Siti Muyassarotul Hafidzoh

Jabatan : Peserta Pengkaderan Ulama Perempuan Hari/ Tanggal : Senin, 27 Oktober 2014

Kapan pertama kali ibu mengetahui lembaga Rahima ?

Sejak ada PUP 4 itu tahun 2013, awalnya tuh mba Nihayatul Wafiroh, mba nini itu kan Fatayat Jogja punya otoritas untuk milih anggota fatayat untuk mengi,kuti PUP ada beberapa teman mba Isma saya, bu khotim bu eni itu dia yang merekomendasikan.

Alasan mengikuti PUP Rahima ?

Awalnya minder mas ko ulama perempuan? Saya kan bukan bu nyai bukan ulama, kalau perempuannya iya tapi bukan ulama. Kata mba nini ga apa nanti kan ada seleksinya kalo masuk ya ikut kalo ga ya ga apa. Karena tertarik terus pernah sebulmnya Rahima main ke Fatayat tapi aku belum tau, taunya lembaga Rahima aja, oh Rahima ngadain Ulama Perempuan ya udah trus udah akhirnya aku bilang berarti ga apa mba ga harus punya santri, ya udah qu coba aja ngikut. Mencari pengalaman juga.

Manfaat yang didapat setelah mengikuti PUP Rahima ?

Banyak manfaatnya diantaranya Lebih Percaya Diri, tau kalau Rahimakan pas melakukan pelatihan pakai metodenya metode dari fakta dulu kan, ini ada kasus kaya begini trus kemudian analisis jadi oh ya ternyata di dunia nyata itu ada kasus-kasus seperti ini dan harus ditangani secara serius. Kalau sebelumnya kan kita ga tau, apalagi tentang perbedaan ulama laki-laki dan ulama perempuan, ternyata oh iya ada seperti diskriminasi dalam artian ketika apa Bahtsul Masail perempuan tidak dilibatkan nah setelah ikut nah saya jadi tau, perempuan juga seharusnya dilibatkan ya minimal dilingkungan saya karena kebetulan rumah saya di dekat masjid dan aktifitas masyarakat kan banyak dekat masjid nah Alhamdulillah setelah tau isu-isu seperti ini setelah ikut PUP jadi saya PD masuk ke ranah Ta`mir jadi Alhamdulillah setelah saya ditunjuk jadi salah satu pengurus TPA saya mau jadi saya merasa ada ke PDan itu, sebelumnya mungkin belum PD siapa saya biar suamiku aja setelah pelatihan ini ada rasa lebih PD, tau banyak bahasan juga kan ternyata ada hukumnya.


(6)

Bagaimana isi materi PUP Rahima ?

Metode yang digunakan metode Pendidikan Orang dewasa jadi kita aktif ga monoton mendengarkan fasilitator ngomong ga, sering praktek. Asik ko sering di ajak berfikir apalagi kau ada RTL atau amanah jadi setelah latihan ka nada tugas tuh nah itu yang menurut saya bagus itu loh. Kenapa ? karena nanti kita ka ga lupaapa yang kita dapet, dan RTLnya itu langsung praktek. Kaya kemarin pengorganisasian saya jadi langsung sama tetangga, kebetulan saya rumah baru komunitas baru jadi Alhamdulillah setelah dapet tema yang ke tujuh itu pengorganisasian saya pulang itu ada oleh-oleh , pas saya ngobrol sama warga saaya itu, ini ada tugas saya mau Tanya-tanya tentang ini jadi Alhamdulillah malah jadi alat untuk saya berbaur dengan warga. Dirumahku tuh ada 6 anak muda dan yang satu boyong karena bapaknya itu butuh dia kan adenya mondok dan anaknya itukan ketika ke yogya niat kuliah karena dia ga lolos pas ujian masuk kampus akhirnya jadi mereka menganggur dulu setahun, ga nganggur sih jadi kan saya buka kios mereka yg jualan uangnya buat mereka sedikit-sedikit di tabung. Suami saya kan mengelola majalah bangkit, majalah NU Jogja nah mereka jadi distributornya. Mereka ber 6 tinggal ditempat saya bukan mondok tapi hanya tinggal ditempat saya mereka datang sendiri, disitukan ada oleh suami saya pengajian habis subuh ngaji, kemudian habis maghrib sorenya mereka saya ajak berperan di TPA dan kadang suami saya member kesempatan untuk mengisi tentang gender ketika ngaji al-Quran ya walaupun 6 orang kalau 6 laki-laki ini sudah faham gender saya yakin ketika nanti mereka telah mandiri mereka akan bisa memahami itu ke orang lain walaupun hanya 6 orang saya memulai dari mereka.

Setelah selesai Pelatihan Pengkaderan kami para teman-teman pelatihan PUP angkatan 4 ingin terus menjalin silaturahim terus. Saya pernah mengobrol dengan teman-teman seangkatan pengennya kita itu antara angkatan 1,2,3 dan 4 kumpul kemudian Bahtul Masail jadi kita itu mengeluarkan Fatwa, fatwa untuk masyarakat fatwa yang selama ini bisa kita bahtsul masailkan . karena selama ini fatwa-fatwa yang ada masih bias contoh fatwa tentang perempuan boleh ga jadi TKW itu nanti fatwa MUI itu sendiri kan Haram apabila suami tidak mengizinkan, perempuannya takut menyebabkan fitnah yang dibahas perempuannya terus yang dipojokkan tidak ada kata halal hanya boleh apabila tidak menimbulkan fitnah, atas persetujuan suami. Jadi perempuannya yang menjadi obyek terus, kenapa ga harus jika pemerintah menjamin keamanan bagi perempuan itu , jika disana perempuan mendapat gaji yang sesuai begitu jadi pemerintah yang jadi obyek. Jadi begitu keinginan teman-teman ketika saya kumpul.