BERTANI DI TENGAH KOTA DENGAN MODAL BUDAYA SUBAK UNTUK MENUMBUHKAN EKONOMI KREATIF.

BERTANI DI TENGAH KOTA DENGAN MODAL BUDAYA SUBAK
1)
UNTUK MENUMBUHKAN EKONOMI KREATIF
Dr. I Gede Setiawan Adi Putra, SP., MSi2)
ABSTRAK
Artikel ini berguna untuk petani miskin, rumah tangga miskin di perkotaan, pemerintah
daerah, serta para agen pembaharu dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Bali
terkenal dengan pariwisata dan di sisi lain, banyak masyarakat menggantungkan hidupnya pada
sektor pertanian. Faktanya pembangunan pariwisata diduga memberi dampak buruk pada
pembangunan pertanian. Salah satunya adalah banyak lahan sawah yang kini beralih fungsi
menjadi bangunan hotel dan restoran serta fasilitas pendukung pariwisata lainnya. Bertani di
tengah kota adalah suatu upaya memanfaatkan lahan-lahan kosong yang ada di rumah tangga
dengan teknik budidaya tanaman vertikultur. Jika dulu orang menanam memerlukan lahan
horizontal, dengan teknologi ini masyarakat dapat menanam vertical. Dengan teknik vertikultur
rumah tangga miskin di perkotaan dapat menanam sayur hijau pada bekas air mineral, kaleng
bekas, kantong plastik dan barang-barang bekas lainnya. Kegiatan ini adalah implementasi
konsep pemberdayaan masyarakat dengan mengeluarkan segala potensi yang ada pada
masyarakat sekitar. Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan tambahan penghasilan rumah
tangga yang ada di perkotaan dengan usaha agribisnis sekaligus menjaga lingkungan perkotaan
yang terbebas dari sampah dan polusi udara. Jika semua rumah tangga melakukan kegiatan
bertani di tengah kota, maka kesan kota yang jorok, panas, dan tidak nyaman menjadi terbalik.

Hasilnya adalah ibu-ibu rumah tangga dapat memetik sayur dari kebunnya sendiri, dan tidak
perlu mengeluarkan banyak uang untuk kebutuhan dapurnya sehari-hari. Artikel ini berguna bagi
pimpinan di daerah yang berpenduduk padat guna memberikan salah satu alternatif untuk
mengubak kehidupan masyarakat kota. Pariwisata yang selama ini diduka menjadi penyebab
mundurnya pembangunan pertanian dapat diubah menjadi pariwisata sebagai pangsa pasar
komoditas pertanian. Kedepan, upaya bertani di tengah kota dengan metode vertikultul dan
ramah lingkungan tanpa bahan kimia harus dikembangkan dan diduplikasikan sehingga
memberikan multiple efek yang lebih luas.
Kata kunci: pertanian, alih fungsi, vertikultur
Petani dan Pertanian Bali “Sakit”
Ibu Pertiwi
Cipt. Anonim
Kulihat Ibu Pertiwi, Sedang bersusah hati, Air matanya berlinang, Mas intanmu terkenang,
Hutan gunung sawah lautan, Simpanan kekayaan, Kini ibu sedang lara, Merintih dan berdoa

1) Artikel disa paika pada a ara “e i ar I ter asio al Agri is is da Perta ia Orga ik
Berkela juta ya g diselenggarakan oleh Yayasan Maharishi Vedic Vishva Prahasan Bali di
Hotel Werdhapura, Jalan Danau Tamblingan No. 49 Sanur, Denpasar 15 Desember 2013.
2) Dosen Konsentrasi Pengembangan Masyarakat, Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian
Universitas Udayana


Kutipan bait-bait lagu berjudul Ibu Pertiwi sangat sesuai menggambarkan pertanian Bali
yang sedang “sakit”. Sakit yang diderita bukan sekedar “flu” yang dapat diatasi dalam waktu 2-3
hari melainkan sakit kronis berkepanjangan yang membutuhkan penanganan serius. Sakit dari
sisi lahan, air irigasi, perilaku petani, minat pemuda Bali menjadi petani, bahkan perhatian
pemerintah daerah. Apabila “sakit kronis” ini tidak segera ditolong maka pertanian Bali segera
menjemput “ajalnya.”
Kesehatan dan kesuburan tanah sawah semakin menurun. Pemakaian pupuk kimia dan
pestisida sintetis secara terus menerus membuat tanah sawah “sakit”. Tanah menjadi keras,
padat, lengket, sulit diolah, dan tidak mampu mengikat/menyimpan air. Inilah yang
menyebabkan produksi padi di Bali sulit meningkat.
Sumberdaya air irigasi di Bali berkurang dan cenderung menjadi langka. Terjadi
persaingan penggunaan sumberdaya air irigasi dengan sektor pariwisata, rumah tangga,
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dan perusahaan air dalam kemasan. Ketika air irigasi
sulit dan langka, petani menghambur-hamburkan air untuk usahatani padinya dengan
penggenangan sepanjang musim.
Petani sangat senang jika melihat padinya hijau royo-royo, untuk itu penggunaan Urea,
TSP, KCL tidak bisa dihindarkan. Selain itu, ketika ada hama seperti belalang, ulat, wereng dan
lainnya maka dalam benak petani hama tersebut harus segera dimusnahkan. Cara yang ditempuh
adalah dengan pemberian racun berupa pestisida sintetis. Dampaknya dalam jangka panjang dari

perilaku petani ini di Bali adalah pencemaran lingkungan, terbunuhnya jasad non sasaran,
keragaman hayati berkurang, hama menjadi kebal, timbulnya hama sekunder, peledakan hama
bahkan akhirnya berdampak pada kesehatan manusia.
Sungguh ironi tatkala membandingkan penggunaan pupuk kimia dan tingkat produksi
padi, dan penggunaan pestisida sintetis dengan laju hama di Bali. Setelah era tahun 1980an masa
swasembada beras, dengan penggunaan pupuk kimia yang semakin tinggi ternyata produksi
beras di Bali semakin menurun. Demikian pula dengan penggunaan pestisida sintetis yang
semakin tinggi, tetapi jumlah hama bukannya semakin menurun, melainkan semakin meningkat.
Jika demikian, masihkah Bali mengembangkan sistem pertanian yang seperti ini?
Perilaku petani padi di Bali juga dalam keadaan “sakit” dan menyimpang. Terjadi
penyiksaan terhadap bibit padi semenjak ditanam hingga panen.

Pada masa transplanting

“e i ar I ter asio al Agribis is da Perta ia Orga ik Berkela juta

2

(pemindahan dari persemaian ke lahan) bibit padi disiksa dengan jalan dicabuti, diikat, diangkut,
dipotong, dibenamkan, digenangi, bahkan diracun. Perilaku lain petani Bali yang menyimpang

adalah budaya membakar jerami setelah panen. Pesta bakar jerami ini masih ditemukan hampir
di seluruh kabupaten dan kota di Bali. Selain menimbulkan polusi asap, tindakan ini adalah
kesalahan besar dalam budidaya padi. Padahal, jerami mengandung unsur hara yang tidak
ditemukan dalam pupuk manapun dan sangat dibutuhkan oleh tanaman padi. Jerami adalah
bahan dasar pembuatan kompos yang potensial untuk mengembalikan struktur tanah yang
sedang “sakit.”
Ada “obat” mujarap yang dapat “menyehatkan” pertanian Bali. Obat itu adalah System of
Rice Intensification (SRI). Dari namanya sudah mengandung kekuatan spiritual yaitu Dewi Sri
yang sebagian besar masyarakat Bali percaya sebagai dewi kesuburan dan kemakmuran. SRI
adalah cara bercocok tanam padi dengan pengelolaan tanah, tanaman, dan air secara intensif dan
efisien melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal, serta berbasis pada kaidah ramah
lingkungan dan berkelanjutan.
SRI merupakan model pertanian yang menekankan pada pengolahan sistem pertanian
yang ramah lingkungan dan mulai dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Fr. Henri
de Laulanie, S.J. yang datang dari Prancis sejak tahun 1961. Henri menghabiskan waktu selama
34 tahun bekerja bersama petani Madagaskar, mengamati dan bereksperimen, dalam rangka
meningkatkan sistem pertanian, terutama produksi padi yang menjadi makanan pokok di
Madagaskar. Henri merekomendasikan perubahan yang sederhana dan murah pada praktik
penanaman, seperti tanam bibit muda pada jarak yang lebar, penanaman bibit dilakukan pada
saat 7-12 hari setelah benih disebar dengan jarak 25 x 25 cm, selain itu menghemat air, namun

produktivitas tetap tinggi dan menguntungkan petani.
Subak sebagai lembaga tradisional pengelola air irigasi di Bali memiliki potensi yang
besar untuk mengadopsi inovasi SRI. Namun, dari sembilan kabupeten/kota yang ada di Bali
baru tujuh kabupaten yang mengadopsi SRI. Dari tujuh kabupaten yang telah mengadopsi SRI
jumlahnya masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah subak yang ada di Bali. Subak
subak yang telah menerapkan SRI diantaranya Subak Padang Keling di Kabupaten Buleleng,
Subak Bergiding dan Subak Buangga di Kabupeten Badung, Subak Payangan dan Subak Timpag
di Kabupaten Tabanan, Subak Rapuan Kaja di Kabupaten Gianyar, Subak Mungsing di

“e i ar I ter asio al Agribis is da Perta ia Orga ik Berkela juta

3

Kabupaten Bangli, Subak Tohpati dan Subak Dawan di Kabupten Klungkung, Subak Telaga
Lebah dan Subak Mascatu di Kabupaten Karangasem.
SRI sebagai ”obat mujarap” untuk mengobati petani dan pertanian Bali yang sedang
”sakit” seharusnya disebarluaskan kepada seluruh subak-subak yang ada di Bali. Untuk itu perlu
dukungan dari berbagai stakeholder yang terlibat dalam pembangunan pertanian di Bali seperti
pemerintah daerah, perguruan tinggi, LSM, PPL, serta pengurus subak.
Pengurus subak dibantu oleh PPL harus lebih aktif dalam menyebarluaskan informasi

tentang SRI kepada anggotanya, karena pengurus subaklah yang berhadapan langsung dengan
petani. Kepada perguruan tinggi yang ada di Bali, terutama yang memiliki fakultas pertanian
agar membentuk laboratorium lapangan berupa denplot-denplot percontohan SRI sebagai upaya
menumbuhkan minat masyarakat Bali menjadi petani.

Laboratorium lapangan ini menjadi

tempat interaksi antara civitas akademika pertanian dengan masyarakat tani untuk mengenal
suatu inovasi sekaligus sebagai tempat belajar bersama. Kepada pemerintah daerah Provinsi Bali
mulai sekarang sebaiknya mengembangkan kemandirian petani berupa program aksi pembuatan
denplot-denplot SRI di seluruh kabupaten dan kota di Bali sehingga Bali dapat menjadi provinsi
yang dapat memenuhi kebutuhan beras sebagai bahan makanan pokok masyarakatnya sekaligus
meningkatkan kualitas hidup petani Bali menjadi lebih sejahtera.

Budaya Subak Sebagai Modal Dasar
Kebudayaan Bali adalah kebudayaan yang kental bernafaskan Hindu, yang sudah
menyatu dengan adat budaya lokal. Kebudayaan itu tumbuh dan berakar pada berbagai lembaga
tradisional yang bersifat sosial religious seperti subak, dan desa adat dengan banjarnya.
Lembaga-lembaga tradisional ini, disamping lembaga-lembaga lainnya, merupakan pilar-pilar
penyangga kelestarian kebudayaan Bali.


Ini berarti mundurnya kebudayaan Bali sangat

tergantung pada lembaga tradisional, sedangkan pariwisata tergantung pada kebudayaan, maka
hal ini langsung berarti bahwa pariwisata tergantung pada eksistensi lembaga-lembaga tersebut.
Masalah kelestarian/keberlanjutan subak dan pertanian Bali dalam konteks perubahan
situasi global yang sangat structural, merupakan main issue dalam tulisan ini. Globalisasi yang
semakin pesat lewat sistem perdagangan bebas yang dikembangkan oleh WTO sedikit banyak
berpengaruh terhadap keberadaan subak yang selama ini berorientasi centrifugal. Mau tidak mau
subak harus berhadapan dengan situasi global dengan kekuatan centripetal yang dahsyat.
“e i ar I ter asio al Agribis is da Perta ia Orga ik Berkela juta

4

Sutawan (2005) menyampaikan ‘kegelisahannya’ di dalam melihat eksistensi subak ke depan.
Dengan menekankan fungsi-jamak (multifunctional roles) dari subak, menjaga kelestarian subak
merupakan suatu keharusan di dalam pembangunan Bali. Kelestarian/keberlanjutan subak harus
dilihat secara holistic, yang mencakup kelestarian kelembagaan subak (institutional
sustainability), jaringan irigasi (technical sustainability), produksi pangan (economic
sustainability), ekosistem lahan sawah (ecological sustainability), tradisi dan ritual keagamaan

terkait dengan budaya padi (socio-cultural sustainability), dan lingkungan alami lokal yang
merupakan faktor eksternal subak tetapi berdampak langsung dan nyata kepada kelestarian
kelima komponen dari sistem subak tersebut (environmental sustainability).
Dengan logika di atas, maka seharusnya ada usaha-usaha nyata sektor pariwisata untuk
memperkuat eksistensi lembaga-lembaga tradisional ini. Tetapi kenyataannya belum ada usahausaha dari sektor pariwisata untuk memperkuat lembaga tradisional seperti subak dan desa adat.
Hubungan yang ada masih bersifat asimetris, dimana lembaga tradisional diakui peranannya
dalam kepariwisataan, tetapi peranan tersebut lebih banyak memposisikan lembaga tradisional
sebagai objek.
Sejalan dengan trend pembicaraan mengenai pembangunan berkelanjutan, konsep
berkelanjutan juga sangat dominan dalam wacana pembangunan kepariwisataan. Pembangunan
pariwisata berkelanjutan diartikan sebagai proses pembangunan kepariwisataan yang tidak
mengesampingkan kelestarian sumberdaya yang dibutuhkan untuk pembangunan di masa yang
akan datang. Dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan, penekanan keberlanjutan tidak
cukup dengan keberlanjutan ekologis dan keberlanjutan pembangunan ekonomi. Yang tidak
dakalah pentingnya adalah keberlanjutan kebudayaan, karena kebudayaan merupakan salah satu
‘sumberdaya’ yang sangat penting dalam pembangunan kepariwisataan.
Keterlibatan masyarakat lokal (community-based approach) merupakan prasyarat mutlak
tercapainya pembangunan pariwisata berkelanjutan. Pengelolaan pembangunan harus benarbenar dilakukan oleh mereka yang hidup dan kehidupannya paling dipengaruhi oleh
pembangunan tersebut. Agar masyarakat dapat secara langsung berperan secara aktif dalam
pembangunan kepariwisataan maka jenis kepariwisataan yang harus dikembangkan adalah

pariwisata kerakyatan. Salah satu cirri hakiki dari model ini adalah skalanya yang kecil. Skala
kecil ini, berdasarkan berbagai pengalaman di berbagai Negara, lebih menguntungkan bagi
rakyat banyak.
“e i ar I ter asio al Agribis is da Perta ia Orga ik Berkela juta

5

Apakah konsep pariwisata budaya sudah dilaksanakan secara konsisten di Bali?
Jawabanya tentu belum. Kalau saja konsep pariwisata budaya dilaksanakan secara konsisten,
maka lembaga-lembaga tradisional seperti subak dan desa adat harus berperan secara aktif,
termasuk aktif di dalam menikmati manfaat ekonomi pembangunan kepariwisataan. Bukti-bukti
empiris sebagaimana terlihat dari hasil penelitian di berbagai subak dan desa adat menunjukkan
bahwa sesungguhnya subak dan desa adat mempunyai potensi yang memadai untuk mengelola
obyek wisata yang ada di daerahnya.
Subak dan Desa Adat dapat dijadikan modal dasar dalam peningkatan pariwisata,
ekonomi kreatif, dan kesejahteraan masyarakat. Bagaimana caranya? Melalui tulisan inilah akan
dirumuskan suatu mekanisme untuk mengembalikan sebagian dari manfaat ekonomi pariwisata
kepada sumber-sumber asset pariwisata, sehingga sumber tersebut dapat tumbuh subur, yang
akan menjamin keberlanjutan pariwisata itu sendiri. Tanpa ada usaha-usaha seperti ini, lambat
lain akar budaya Bali akan rapuh sehingga pohon budaya Bali tidak akan mampu menghasilkan

bunga dan buah yang dinikmati oleh pariwisata.

Menumbuhkan Ekonomi Kreatif
Kemiskinan merupakan penyebab masalah sosial, masalah sosial yang tidak
tertanggulangi memicu terjadinya berbagai masalah kehidupan manusia. Kemiskinan merupakan
suatu keadaan seseorang yang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf
kehidupan kelompok, dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya
dalam kelompok tersebut (Soekanto, 2001:406). Kemiskinan di Denpasar bagaikan lingkaran
setan dimana banyak faktor mempengaruhi. Adapun lingkaran tersebut digambarkan Nasution
(1996:30) sebagai berikut:

Gambar 1. Lingkaran Setan Kemiskinan di Negara Dunia Ketiga

“e i ar I ter asio al Agribis is da Perta ia Orga ik Berkela juta

6

Bila dicemati lebih jauh, paradigma lingkaran setan tersebut cendrung menyalahkan
faktor internal, padahal faktor eksternal ikut menentukan proses pemiskinan suatu bangsa. Dan
ketergantungan yang terjadi persis seperti yang digambarkan oleh Jonathan Swift dalam Djopari

(1997:28) bagaikan kutu memakan kutu yang lebih kecil, dan kutu yang lebih kecil tersebut
memakan kutu yang lebih kecil lagi dan begitu seterusnya tanpa akhir.
Kota Denpasar, masih memiliki beberapa Rumah Tangga Miskin (RTM) yang
memerlukan penanganan yang serius agar dapat “mengeluarkan” mereka dari “lingkaran setan
kemiskinan” seperti yang telah diuraikan pada latar belakang sebelumnya. Program pelatihan
budidaya tanaman metode vertikultur merupakan suatu progam yang bertujuan untuk
mempercepat penanggulangan kemiskinan berdasarkan pengembangan kemandirian masyarakat
melalui peningkatan kapasitas masyarakat, partisipasi masyarakat dan kelembagaan dalam
penyelenggaraan pembangunan
RTM di Kota Denpasar perlu diberdayakan. Salah satu upaya memberdayakan RTM di
Kota Denpasar adalah dengan pelatihan budidaya tanaman metode vertikultur sebagai upaya
menumbuhkan ekonomi kreatif di Kota Denpasar. Berdasarkan kegiatan pelatihan yang telah
dilaksanakan tersebut, maka tujuan penulisan artikel ini adalah menganalisis model
pemberdayaan bagi RTM melalui pelatihan budidaya tanaman metode vertikultur sebagai upaya
menumbuhkan ekonomi kreatif di Kota Denpasar.
Populasi penelitian ini adalah kelompok Rumah Tangga Miskin di Kota Denpasar.
Berdasarkan metode sensus, seluruh populasi dijadikan sampel penelitian. Penelitian dirancang
dengan penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang dirancang untuk mengumpulkan
informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang (sementara berlangsung), dan menentukan
tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu pupulasi. Tujuan utama dalam
menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara
berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu
(Sevilla et.al, 1993). Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif sebagai
tumpuan analisis. Teknik observasi dengan bantuan cecklist pada akhirnya dapat membangun
suatu model pemberdayaan yang efektif untuk RTM di Kota Denpasar.
Model pemberdayaan RTM yang dibutuhkan bukan kegiatan yang sifatnya top-down
intervention yang tidak menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan
“e i ar I ter asio al Agribis is da Perta ia Orga ik Berkela juta

7

kegiatan swadaya. Akan tetapi yang paling dibutuhkan RTM di Kota Denpasar adalah pola
pemberdayaan yang sifatnya bottom-up intervention yang menghargai dan mengakui bahwa
RTM memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya, memecahkan permasalahannya, serta
mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan.
Budidaya tanaman metode vertikultur sebagai Program Developmental untuk
menumbuhkan ekonomi kreatif di kalangan RTM. Program ini lahir setelah dilakukan
identifikasi masalah spesifik yang dihadapi RTM di Kota Denpasar. Dari hasil identifikasi
masalah ditemukan bahwa kebanyakan RTM adalah petani/buruh tani sayur skala kecil dengan
karakteristik luas penguasaan tanah yang sempit bahkan tidak sama sekali, tingkat pendidikan
rendah, dan tingkat pendapatan yang rendah.
Anggota RTM kebanyakan adalah ibu rumah tangga, yang banyak memiliki waktu luang.
Bertani di tengah kota dijadikan tema yang dapat menggugah keinginan RTM untuk
berusahatani. Lahan yang sempit, bahkan tidak ada sama sekali di Kota Denpasar menjadi
masalah besar dalam pengembangan usaha agribisnis di Kota Denpasar. Namun, kekhawatiran
tersebut melahirkan solusi berupa bertani metode vertikultur. Biasanya pertanian konvesional
memerlukan lahan yang horisontal, namun karena di Denpasar sudah tidak ada lagi lahan yang
bisa digarap, maka ide untuk menanam ke atas (vertikal) menjadi sebuah solusi bertani di tengah
kota. Barang-barang bekas (bekas gelas air mineral, paralon, kaleng, bambu, seterofom, dll.)
dapat digunakan sebagai media tanam tanaman sayur hijau dan kangkung.
Tanaman juga seperti manusia yang membutuhkan nutrisi (makanan) yang cukup agar
tumbuh dengan baik. Untuk itu, dalam program ini RTM dilatih membuat pupuk organik cair
berupa mikro organisme lokal (MOL). Selain sebagai pupuk yang dapat diberikan langsung ke
tanaman, Mol menjadi dekomposer yang paling baik dalam pembuatan kompos. Bahan kompos
banyak berasal dari sampah-sampah organik buangan rumah tangga maupun pasar tradisional
yang ada di Kota Denpasar. Dengan demikian, isu pelestarian lingkungan seperti Bali Clean &
Green sangat sesuai dengan program ini.

“e i ar I ter asio al Agribis is da Perta ia Orga ik Berkela juta

8

Penutup
Model pemberdayaan RTM di Kota Denpasar yang paling sesuai dengan karakteristik
RTM adalah Model Program Developmental. Model program ini mengidentifikasi masalahmasalah pokok klien, masyarakat, atau segmen masyarakat. Setelah itu program pendidikan
yang mampu menolong orang, dapat dikembangkan. Program pendidikan tersebut menyangkut
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang merupakan alat pendukung pemecahan masalah. Ini
berarti pengetahuan, keterampilan, dan sikap tersebut diprogramkan. Kesuksesan program diukur
dari keberhasilan sasaran dalam memecahkan masalahnya sendiri.

Daftar Pustaka

Djopari J. 1997. Teori-Teori Pembangunan. Jakarta: Yarsif Watampone.
Nasution Z. 1996. Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Sevilla, C.G,, J.A. Ochave, T.G. Punsalan, B.P. Regala, dan G.G. Uriarte. 1993. Pengantar
Metode Penelitian. Alimuddin Tuwu, Penerjemah. Jakarta: UI Press.
Soekanto S. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sutawan, N. 2005. “Subak Menghadapi Tantangan Globalisasi, Perlu Upaya Pelestarian dan
Pemberdayaan Secara Lebih Serius”. dalam Revitalisasi Sibak dalam Memasuki Era
Globalisasi. Yogyakarta: Penerbit Andi.

“e i ar I ter asio al Agribis is da Perta ia Orga ik Berkela juta

9