Hasil Dan Rekomendasi Musyawarah Adat Ap

Solok, 24 – 25 Maret 2012

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, akhirnya kegiatan Musyawarah Adat Aplikasi
Manajemen Suku dan Pemberdayaan Hukum Adat dalam Hukum Nasional dapat
dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan.
Acara ini terlaksana atas kerjasama Solok Saiyo Sakato (S3) Jakarta dan sekitarnya,
LKAAM Provinsi Sumbar, Pemda Kabupaten Solok, Pemda Kotamadya Solok dan
Pemda Kabupaten Solok Selatan, dengan tujuan menyusun konsep Manajemen Suku
serta aplikasinya dalam rangka pemberdayaan nagari serta Niniek Mamak di
Minangkabau dan revitalisasi hukum adat dalam kerangka hukum nasional.
Panitia mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu terlaksananya
acara ini, dan memohon maaf apabila terdapat kekurangan dan kekhilafan dalam
pelaksanaannya.
Akhirnya, semoga Seminar Adat ini dapat memberikan pembekalan dan ketrampilan
dalam menjalankan amanah kepada seluruh peserta sesuai peran dan fungsinya masingmasing dalam nagari secara berkelanjutan, serta menjadi bagian dalam memberikan
konstribusi positif bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb


Jakarta, 28 April 2012
Ketua Pelaksanana

Ir. H. Irwansyah

PENGANTAR PENGURUS SOLOK SAIYO SAKATO (S3)
JAKARTA DSK
Alhamdulillah, Musyawarah Adat yang berlangsung selama 2 hari pada 24 dan 25
Maret 2012 telah selesai dengan baik. Peserta tak surut-surutnya sampai akhir acara
tatkala Prof dr Fasli Jalal, PhD membacakan hasil musyawarah dan rekomendasi. Hal
serupa juga terjadi pada Musyawarah Besar Masyarakat Solok 2005. Bahkan di akhir
acara masyarakat makin banyak yang datang memenuhi Gedung Solok Nan Indah di
Koto Baru, Solok untuk mengetahui apa yang dihasilkan oleh Musyawarah 2 hari pada
19 dan 20 Januari 2005.
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kabupaten Solok telah
menindaklanjuti hasil Mubes 2005 dengan memberikan pencerahan kepada pemangku
adat di nagari-nagari melalui Kerapatan Adat Nagari (KAN). Pencerahan ini memang
diperlukan karena kurangnya pemahaman pemangku adat atas tugas dan tanggung
jawabnya (penelitian Dosen UNP tak sampai 3% Urang Ampek Jinih yang memahami
tugas pokok dan fungsinya). Jadi pencerahan SDM perlu didahulukan.

Namun manajemen suku mempunyai aspek lain selain SDM seperti manajemen
keuangan, manajemen operasi (kemampuan menyelesaikan masalah-masalah). Juga
masalah kekurangtertarikan kaum untuk mengajukan masalahnya kepada ninik mamak
pasukuan karena banyak ninik mamak tidak lagi tagak di nan data. Di sini ada asppek
pemasaran. Prof Keebert von Benda menemukan bahwa tangga mufakat telah runtuh.
Karenanya Solok Saiyo Sakato (S3) mengajak pihak-pihak yang berkepentingan untuk
membahasnya dalam diskusi Aplikasi Manajemen Suku.
Dipicu pula oleh kasus-kasus Mesuji dan Bima maka pembicaraan berkembang ke
ranah hukum. Apakah tidak sebaiknya hukum adat diberdayakan sehingga ada peluang
penyelesaian perkara di luar pengadilan (restorative justice). Diskusi-diskusi persiapan
yang sangat intensif di Padang menemukan lagi masalah lain yaitu otonomi nagari yang
menyangkut bangunan ekonomi kerakyatan. Dengan demikian Musyawarah Adat 2012
mengagendakan pembahasan Aplikasi Manajemen Suku, Restorative Justice dan
Otonomi Nagari yang dibungkus dengan tema Aplikasi Manajemen Suku dan
Pemberdayaan Hukum Adat dalam Hukum Nasional.
Tugas berat menunggu kita di depan, bagaimana mengimplementasikan hasil-hasil
musyawarah ini. Bupati Solok telah memutuskan pilot project 1 (satu) nagari tahun ini
dan 14 (empat belas) nagari pada 2013. Bila menajemen suku telah terbenahi dalam arti
revitalisasi maka restorative justice dan otonomi nagari akan lebih mudah ditangani.
Dalam aplikasi manajemen suku kita perlu menyigi praktek dewasa ini dengan kaca

mata adat itu sendiri. Kita dapat membandingkan apa yang terjadi (das sein) dengan
apa yang seharusnya terjadi (das sollen), sehingga akan terlihat adanya penyimpangan
(gap). Kemudian kita perlu juga melihat masalahnya dari kaca mata manajemen

modern. Dengan demikian akan ditemukan strategi dan kiat-kiat untuk merevitalisasi
manajemen suku.
Musyawarah ini tak akan berhasil tanpa dukungan berbagai pihak. Kepada Gubernur
dan Wakil Gubernur Sumbar, Kapolda Sumbar, OSO Group, PT Telkom Tbk, PT
Semen Padang Tbk, PT Bukit Asam Tbk, LKAAM Sumbar, Bupati Solok, Walikota
Solok, Bupati Solok Selatan, Walikota Padang dan pihak-pihak lain yang tidak ingin
namanya disebut, kami sampaikan terima kasih yang tak terhingga atas dukungan moril
dan materil. Semoga dengan gerakan “bottom up” ini kita dapat melakukan perbaikanperbaikan demi pembangunan daerah pada khususnya dan pembangunan nasional pada
umumnya.

Jakarta, 28 April 2012

PENGURUS SOLOK SAIYO SAKATO (S3) JAKARTA DSK

Ketua Umum,


Drs Marwan Paris, MBA
Inspektur Jenderal Polisi (Purn)

Sekretaris Umum,

Muchlis Hamid, SE., MBA

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Musyawarah Adat ini mulai dibicarakan secara terbatas pada Desember 2011.
Dimulai dengan gagasan peluncuran buku Manajemen Suku hasil Musyawarah Besar
Masyarakat Solok 2005. Karena rentang waktu sudah terlalu lama antara mubes dan
peluncuran buku, maka gagasan ini menjadi kurang menggigit, lalu timbul pemikiran
untuk mengadakan seminar sehari di Solok. Untuk itu kita perlu membicarakannya
dengan pemerintah daerah Solok yang sekarang menjadi 3 Kabupaten/Kota: Kabupaten
Solok, Kota Solok dan Kabupaten Solok Selatan.
Pembicaraan pertama dengan Bupati Solok, Drs Syamsu Rahim di Hotel Sahid,
berikutnya di RM Sederhana Matraman pada 24 Desember 2011. Bupati Solok setuju
dengan gagasan Musyawarah Adat yang akan diadakan selama 2 hari. Saat itu juga

Pengurus Solok Saiyo Sakato (S3) Jakarta dsk langsung berkoordinasi dengan Walikota
Solok dan diperoleh kata sepakat: hari pertama dilaksanakan di Gedung Kubuang 13 di
Kota Solok dari hari kedua di Gedung Solok Nan Indah, Koto Baru, Kabupaten Solok.
Bupati Solok kemudian mengundang S3 untuk datang ke Padang pada 7 Januari 2012
pada waktu yang sama kepala-kepala daerah berkumpul di Hotel Basko. Panitia
mengambil kesempatan bertemu dengan 3 kepala daerah Solok nan Tigo.
Alhamdulillah, Pimpinan S3 dan Pimpinan LKAAM Sumbar dapat pula bertemu
dengan Gubernur Irwan Prayitno. Akhirnya Gubernur bersama 3 Bupati/Walikota
Solok, Ketua LKAAM Sumbar bersepakat mendukung rencana Musyawarah Adat yang
akan diadakan di Solok pertengahan Februari 2012. Penyelenggara menjadi 5 pihak
yaitu Solok Saiyo Sakato (S3) Jakarta dsk, LKAAM Sumbar, Bupati Solok, Walikota
Solok dan Bupati Solok Selatan.
Pertemuan ketiga dilakukan di Kayu Aro, Solok pada 9 Februari 2012 dihadiri oleh
Bupati Solok, Walikota Solok, Bupati Solok Selatan, Ketua LKAAM Sumbar dan
Pengurus S3 Jakarta dsk. Setelah melakukan evaluasi persiapan maka penyelenggaraan
musyawarah diundur menjadi 24 dan 25 Maret 2012.
Sementara itu dukungan dari akademisi dari Universitas Andalas, Dekan Fakultas
Hukum Prof Dr Yuliandri, Prof Dr Elwi Danil, Dr Kurnia Warman, Charles Simabura,
SH., MH serta praktisi Nurul Firmasyah dari Perkumpulan Q-bar memuluskan
persiapan. Pertemuan-pertemuan dengan Kapolda, Wakapolda Sumbar, kemudian

didelegasikan kepada Direktur Bimmas Polda Sumbar, Kombes Imron Korry
menemukan bentuk Restorative Justice memberdayakan peranan Ninik Mamak dalam
menyelesaikan perkara anak-kemenakan di nagari. Tindak lanjutnya akan disusun buku
pedoman menangani perkara yang timbul di antara anak-kemenakan. Payung
hukumnya adalah Kesepakatan Bersama antara Kapolda Sumbar dengan LKAAM
Sumbar.
Dukungan dari Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi dan Ketua DPD RI, Irman
Gusman memperkuat tekad panitia melangkah maju.

Lebih kurang seribu lima ratus (1500) orang peserta, undangan dan masyarakat sekitar
hadir dalam Musyawarah Adat ini. Undangan meliputi perwakilan KAN, LKAAM,
Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang dari seluruh Sumatera Barat, perwakilan
perantau dari dalam dan luar negeri. Hadir pula perwakilan beberapa Lembaga Adat
Melayu (LAM) dari beberapa daerah sebagai peninjau.
Tokoh-tokoh Minang seperti Bapak Azwar Anas, Awaludin Djamin, Patrialis Akbar
memberikan sambutan dan pembekalan. Nudirman Munir aktif dalam diskusi
restorative justice. Bapak Fasli Jalal memimpin beberapa panel diskusi dan
membacakan keputusan dan rekomendasi. Pak Fasli Jalal juga berperan sebagai ketua
tim perumus. Gubernur Sumbar diwakili oleh Wakil Gubernur Muslim Kasim, Kapolda
Sumbar diwakili oleh Direktur Binmas Kombes Imron Korry, Bupati Solok, Walikota

Solok dan Bupati Solok Selatan dan Ketua LKAAM Sumbar memberikan pengarahan
kepada peserta Musyawarah Adat.
Musyawarah Adat ini dibuka secara resmi oleh Menteri Dalam Negeri, Gamawan
Fauzi. Sasaran utama adalah revitalisasi manajemen suku sesuai hasil Mubes 2005
yang berkembang kepada pemberdayaan hukum adat (restorative justice) dan otonomi
nagari. Diharapkan tema ini akan mampu mambangkik batang tarandam. Ruang
lingkup musyawarah adalah Minangkabau yang melewati batas-batas provinsi,
menjangkau warga Minang di mana pun berada.

1.2. Maksud dan Tujuan
Kegiatan Musyawarah Adat Aplikasi Manajemen Suku dan Pemberdayaan Hukum
Adat dalam Hukum Nasional bertujuan untuk :
a. Menyusun konsep aplikasi manajemen suku dalam upaya revitalisasi dan
pemberdayaan Nagari (masyarakat adat). Tindak lanjut Deklarasi Koto
Baru, Solok 2005 dengan action plan.
b. Merancang konsep dan strategi penguatan hukum adat dalam kerangka
hukum nasional terutama dalam isu; agraria (sumber daya alam),
penyelesaian konflik dan tata pemerintahan nagari.
c. Pemuatan peran dan komitmen pemerintah baik pemerintah daerah maupun
aparat penegak hukum dan keamanan serta pemangku kebijakan yang

berkaitan dengan masalah pertanahan.
d. Revitalisasi dan reposisi peran Ninik Mamak dan Pemangku Adat yang
lebih berdaya, lebih berwibawa dan proporsional sesuai dengan manajamen
suku dan hukum adat dan etika kepemimpinan Ninik Mamak
e. Penguatan silaturahim antara perantau dengan pemerintah daerah serta
masyarakat yang berada di ranah

1.3. Ruang Lingkup
Cakupan Musyawarah Adat ini adalah masyarakat adat Minangkabau baik di ranah
maupun di rantau. Kegiatan ini bermanfaat bagi upaya pemberdayaan nagari
(melibatkan tiga pilar ninik mamak, alim ulama dan cadiek pandai), birokrat, akademisi
praktisi dan masyarakat luas.

1.4. Dasar Hukum
Kegiatan Musyawarah Adat Aplikasi Manajemen Suku dan Pemberdayaan Hukum
Adat dalam Hukum Nasional, dilaksanakan dengan beberapa pertimbangan dasar
hukum:
1. UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah sekaligus berarti
mencabut UU No. 5/1979
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya.
4. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang 2005-2025.
5. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
6. UU Nomor 1 Darurat Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara
untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara
Pengadilan-pengadilan Sipil;
7. UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2005 tentang Desa, disebut
bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batasbatas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
9. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999 Tentang [Tanah Ulayat].
10. Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 08 Tahun 1984
Tentang Pedoman Acara Penyelesaian Sengketa Adat di Lingkungan
Kerapatan Adat Nagari (KAN).
11. Surat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Barat Nomor

W.3.DA.04.02-3633 Tanggal 27 Mei 1985 tentang penyelesaian
sengketa pusako tinggi agar dilakukan terlebih dahulu melalui Kerapatan
Adat Nagari (KAN) atau Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau.
12. Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 Tentang
Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari Propinsi Sumatera Barat.
13. Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 39 Tahun 2009 Tentang
Kerjasama Pemerintah Daerah Sumatera Barat dengan Perantau
Minangkabau.
14. Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 31/2001 tentang
Pemerintahan Nagari di Kabupaten Agam.
15. Hasil Musyawarah Besar Masyarakat Solok 2005.
16. Deklarasi Koto Baru, Solok 2005.

II. KEGIATAN MUSYAWARAH ADAT

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, kegiatan ini dikuti oleh lebih
kurang seribu lima ratus (1500) peserta, masyarakat, dan undangan yang
mewakili stakeholder utama penggerak perubahan dari Kabupaten Solok, Kota
Solok, Kabupaten Solok Selatan, Ranah Minangkabau (Provinsi Sumatera
Barat) dan Rantau (dalam dan luar negeri). Sementara itu, narasumber kegiatan

ini datang dari berbagai tokoh masyarakat Minang; baik yang berasal dari dalam
maupun yang berasal dari rantau. Baik yang berasal dari praktisi maupun juga
dari akademisi.
2.1. Pembicara dan Peserta
2.1.1. Pembicara
NO
KEGIATAN
I HARI PERTAMA : DISKUSI PANEL
1 Panel 1/Pembicara/Moderator
1. H. Patrialis Akbar SH MH
(Tokoh Masyarakat Minang)
2. Drs. H. Syamsu Rahim
(Bupati Solok)
3. H. Irzal Ilyas Dt Lawik Basa
(Walikota Solok)
4. H. Muzni Z. M. Eng Inyiak Dt Rangkayo
Basa
(Bupati Solok Selatan)

2

Moderator :
Prof. Dr. Fasli Jalal, PhD
Panel 2/Pembicara/Moderator
1. Prof Elwi Danil
(Guru besar FH Unand)
2. Charles Simabura SH, MH
(FH Unand)
3. Kombes Pol Imron Korry
(Dir Bimas Polda Sumbar)

MATERI

Dialog Tokoh
Pengkayaan Manajemen
Adat

Restorative Justice

Moderator :
Irjen Pol (Purn) Drs H Marwan Paris MBA DT
Maruhun Saripado
3

Panel 3/Pembicara/Moderator
1. Dr. Ir H Alidinar Nurdin Dt Rajo nan Kayo
(Pengurus S3 )
2. Dr.Kurnia Warman SH, MH
(FH Unand)
3. Nurul Firmansyah SH

Otonomi Nagari

(Q Bar)

4

Moderator :
Prof. Dr. Muhamamad Zilal Hamzah
Panel 4/Pembicara/Moderator
1. Buya H. Mas’oed Abidin
(Ulama)
2. Drs. H. M Sayuti MPd Dt Rajo Penghulu
(Ketua LKAAM Sumbar)
3. Drs. Hasan Basri Dt Maharajo Indo
(Pengurus S3)

Aplikasi Manajemen Suku

Moderator :
Prof. Dr. Elfi Sahlan Ben, Apt.
II
1

HARI KEDUA : SIDANG KOMISI
Komisi I: Aplikasi Manajemen Suku
Ketua Sidang Komisi:
Prof. Dr. Elfi Sahlan Ben Apt
Sekretaris Sidang Komisi:
Muchlis Hamid SE MBA

Fasilitator dan Peserta Diskusi
Fasilitator :
1. H. Firdaus Oemar Dt.
Marajo
2. Azmi Dt. Bagindo
3. Darmilus Adam
Peserta Diskusi

2

Komisi II: Restorative Justice
Ketua Sidang Komisi:
Irjen Pol. (Purn) Drs. H Marwan Paris Dt
Maruhun Saripado
Sekretaris Sidang Komisi :
Prof. Dr. Armen Muchtar

Fasilitator dan Peserta Diskusi
Fasilitator :
1. Buya H. Mas’oed Abidin
2. AKBP Busril Zen
3. Charles Simabura,SH,MH
4. Nudirman Munir SH, MA
Peserta Diskusi

3

Komisi III: Otonomi Nagari
Ketua Sidang Komisi:
Dr.Ir. Har Adi Basri MSc
Sekretaris Sidang Komisi:
Prof. Dr. Irsal Las, MS

4

Sidang Paripurna
Ketua Sidang Paripurna:
Prof. Dr. Fasli Djalal, PhD
Sekretaris Sidang Paripurna:
Dr. Desmon MPd

Fasilitator dan Peserta Diskusi
Fasilitator :
1. Drs. H. Hasan Basri Dt
Maharajo Indo
2. Dr. Kurnia Warman SH,
MH
3. Nurul Firmansyah, SH
Peserta Diskusi
Peserta
Seluruh Peserta Musyawarah
Adat

2.1.2. Peserta (Daftar Terlampir)
Peserta Musyawarah Adat Aplikasi Manajemen Suku dan Pemberdayaan
Hukum Adat dalam Hukum Nasional adalah sebagai berikut :
 Walinagari/Lurah, Ketua KAN, Bundo Kanduang, Ketua BMN dan
ketua Pemuda Nagari se Solok (Kab. Solok, Kodya Solok dan Kab.
Solok Selatan)
 Camat Se Solok
 Ketua LKAAM Provinsi, Ketua LKAAM Tingkat II se Sumbar dan
Ketua LKAAM Kecamatan se Sumbar.
 Ketua Bundo Kanduang Provinsi dan Ketua Bundo Kanduang
Pemda se Solok
 Gubernur Sumbar dan Bupati/Walikota se Sumbar
 Ketua DPRD Tingkat I Provinsi, Ketua DPRD Tingkat II Se Sumbar
dan Ketua Praksi & Ketua Komisi DPRD se Solok
 Muspida Provinsi Sumbar dan Muspida Pemda Tingkat II Se Solok
 Niniek mamak dan pemuka masyarakat se Solok
 Perwakilan Pemda Sumbar di Jakarta
 Pengurus DPD S3 se Indonesia
 Lembaga Adat Melayu se Sumatera
 Organisasi-organisasi masyarakat minang di rantau
 Pituo Solok dan Tokoh masyarakat Minang di Rantau
 Anggota DPR RI yang berasal dari Sumbar
 Mendagri RI
 Ketua DPD RI
 Sponshorship.
 Pemuka Masyarakat Solok di rantau
2.2. Waktu & Tempat
Sabtu, 24 Maret 2012 - di Gedung Kubuang 13
Minggu, 25 Maret 2012 – di Gedung Solok Nan Indah
2.3. Jadwal Acara (Terlampir)

III. HASIL MUSYAWARAH ADAT
Musyawarah Adat yang berlangsung selama 2 hari yaitu tanggal 24 dan 25 Maret 2012
telah menghasilkan banyak rekomendasi, khususnya rekomendasi dalam bidang
restorative justice, otonomi nagari dan manajemen suku. Rekomendasi yang sangat
berharga yang datang dari seluruh peserta dan narasumber serta tokoh-tokoh minang
tersebut; baik pada sesi dialog tokoh, diskusi panel maupun pada sesi diskusi komisi,
akan menjadi rekomendasi yang sangat berguna untuk kemajuan masyarakat Solok
khususnya dan Sumatera Barat umumnya.
3.1.
Hasil Musyawarah Adat Bidang Restorative Justice
Pembicaraan tentang hukum adat (termasuk hukum pidana adat) erat kaitannya dengan
kondisi kekinian hukum yang berlaku di Indonesia (ius constitutum) yang
memperlihatkan adanya keanekaragaman hukum (legal pluralism). Pluralisme hukum
dapat dipahami sebagai adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara bersama-sama
berada dalam lapangan sosial yang sama. Dalam area pluralisme hukum itu, pada satu
sisi terdapat hukum Negara (hukum perundang-undangan), dan pada sisi lain hukum
rakyat yang tidak tertulis (di antaranya adalah hukum adat) masih tetap hidup dan
berkembang seirama dengan perkembangan masyarakat adat itu sendiri.
Melalui pandangan pluralisme hukum, persoalan selanjutnya adalah, bagaimana hukum
yang beraneka ragam itu secara bersama-sama mampu mengatur atau menyelesaikan
suatu perkara yang terjadi. Artinya, apabila dalam suatu perkara yang berada dalam
ruang lingkup hukum perundang-undangan, namun terdapat segi-segi yang
mengandung dimensi hukum adat di dalamnya, apakah hukum adat dapat diterapkan.
Dalam konteks hukum pidana, bagi kebanyakan sarjana hukum, kenyataan tentang
adanya hukum pidana adat di samping hukum pidana perundang-undangan agaknya
masih sulit diterima untuk diterapkan dalam praktik peradilan pidana. Keberadaan
prinsip dasar berupa asas legalitas cenderung diargumentasikan sebagai “benteng yang
sangat kuat” untuk menafikan keberadaan hukum pidana lain selain hukum pidana
perundang-undangan.
Namun di tengah berlakunya asas legalitas, hukum pidana adat masih tetap
menampakkan sosok dan eksistensinya sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat
(the living law). Aturan-aturan hukum pidana adat di beberapa wilayah masih diikuti
dan ditaati oleh masyarakat adatnya. Pelanggaran terhadap aturan hukum pidana adat
masih dipandang sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan kegoncangan dan
mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat. Oleh karena itu, bagi si pelanggar
akan diberikan reaksi adat berupa sanksi adat oleh masyarakat. Sebagai sekedar contoh
dapat dikemukakan, bahwa di Minangkabau masih dikenal adanya aturan tentang
hukum pidana adat, yakni Undang-undang Nan Duopuluah. UU Nan Duopuluah ini
terbagi atas dua bagian, yaitu UU Nan Salapan dan UU Nan Duobaleh.
UU Nan
Salapan menentukan perbuatan kejahatan, dan UU Nan Duobaleh menjelaskan tanda
bukti yang melanggar UU Nan Salapan.Terkait dengan kenyataan itu, maka bagaimana
sistem hukum pidana Indonesia memposisikan hukum pidana adat dalam perundangundangan, sehingga terdapat dasar hukum bagi peradilan pidana untuk menerapkan
ketentuan hukum pidana adat terhadap perkara-perkara pidana adat (delik adat).

Selanjutnya hasil musyawarah adat bidang Restorative Justice, tentang permasalahan,
rekomendasi dan keputusan yang menyertainya dapat dilihat secara sistematis dalam
tabel berikut:
TABEL PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI
BIDANG RESTORATIVE JUSTICE
No

PERMASALAHAN

1

Negara menghormati kesatuan-kesatuan
hukum adat dalam UU 22 Tahun 1999 (PP
72/2005). Faktanya, nagari dapat dilihat dari
dua kedudukan.
Nagari sebagai susunan pemerintah terendah
(UU 32/2004 & PP 22/2007), tetapi Nagari
sebagai kesatuan hukum adat belum ada dasar
hukumnya.

2

Maraknya kegiatan-kegiatan perjudian,
peredaran minuman keras, pornografi,
pornoaksi dan lain-lain.

3

Masalah Penerapan Hukuman

4

Musyawarah penegakan hokum

5

Restorative justice adalah bagaimana
menyelesaikan perkara diluar pengadilan.

REKOMENDASI
1.

Pasal 18B UUD 1945 (amandemen
2000) dan UU 22 Tahun 1999 (PP
72/2005) serta UU 32/2004 & PP
22/2007), telah melihat nagari sebagai
susunan pemerintah terendah . Belum
ada satupun regulasi yang mengakui
keberadaan eksistensi hukum adat.
Yang ada hanya menghormati,
menghargai, dll.
2. Buatkan legalitas hukum adat dan tata
pelaksanaannya.
1. Diharapkan kepada Wali Nagari,
Ninik Mamak dalam kaum agar
melarang anggota kaumnya
melaksanakan kegiatan yang tidak
sesuai dengan adat dan agama seperti
berjudi, minuman keras, pornografi,
pornoaksi dan lain-lain tersebut.
2. Perlu dibuat perda/pernanya.
1. Sebagian besar hukum pidana
Indonesia masih bersifat kodifikatif
(dirumuskan dalam Undang-undang).
Ini merupakan konsekuensi penerapan
azaz legalitas. Sebuah kejahatan baru
bisa dihukum hanya ketika sudah
dituliskan sebagai sebuah kesalahan
dalam undang-undang.
2. Perlu dibuatkan perumusan hukum
adat tertulis. Budaya tutur dilengkapi
dengan budaya tertulis.
3. Kesepakatan antara LKAAM Sumbar
dengan Polda Sumbar tentang
Optimalisasi Pemberdayaan Hukum
Adat dalam Pemeliharaan Keamanan,
Ketertiban dan Ketentaraman
Masyarakat perlu segera
ditindaklanjuti dengan menyusun
petunjuk pelaksanaannya.
Musyawarah adat ini hendaknya dapat menjadi
langkah dalam mengaplikasikan restorative
justice, sehingga masalah hukum yang
menimpa anak kemenakan dapat diselesaikan
secara adat diluar pengadilan.
100 (seratus) negara telah melakukan
restorative justice. Banyak negara telah
menggunakan nilai-nilai kearifan lokal dalam
menata sistem peradilan.
1.

Kalau terjadi perkara kecil berupa
tindak pidana ringan (tipiring) maka

2.

6

7

3.2.

Sudah saatnya menegakkan hukum adat di
ranah Minang. Namun yang diperbincangkan
hanyalah restorative justice apabila terjadi
pelanggaran hukum Pidana. Bagaimana dengan
kasus-kasus perdata yang banyak terjadi di
tengah-tengah masyarakat?

Minangkabau sejak dulu telah mempunyai
hukum dan undang yang disebut Undang Nan
Salapan dan Undang Duo Puluh.

1.

2.

perkara tersebut dapat diselesaikan
oleh ninik mamak secara adat. Untuk
itu Kesepakatan antara LKAAM
Sumbar dan Polda Sumbar segera
ditindaklanjuti.
Restorative justice belum ada
aturannya secara formal dan eksplisit
namun polisi dapat menggunakan hak
diskresinya.

Harus dicapai kesepahaman dan
komitmen tentang pelaksanaan hukum
perdata dan pidana dalam kerangka
hukum adat.
Perlu disiapkan dan ditentukan batasan
– batasan mengenai restorative justice
dan hukum perdata dalam kerangka
hukum adat serta disiapkan perangkat
dan peradilan adat.

1.

Untuk penyelesaian kasus-kasus
hendaknya menggunakan
menggunakan polisi adat, hakim adat,
tidak menggunakan istilah-istilah lain.
2. Perlu dibuat struktur aturan adat
sendiri dan sebutan sendiri.

Hasil Musyawarah Adat Bidang Otonomi Nagari

Sistem kanagarian telah ada sebelum Indonesia merdeka. Nagari-nagari ini sejak
awalnya telah berdiri sendiri (otonom) dengan adat salingka nagari dan dipersatukan
dalam adat sebatang panjang. Nagari dapat membuat peraturan adat yang berlaku di
nagari tersebut, tetapi tidak bertentangan dengan adat sebatang panjang yang berlaku di
alam Minangkabau.
Kemungkinan besar sistem Nagari juga sudah ada sebelum Adityawarman
memindahkan kerajaannya dari Dharmasraya ke Pagaruyung. Luhak bapangulu, rantau
barajo. Keduanya berjalan sendiri-sendiri. Nagari-nagari diurus pangulu dengan
perangkatnya dan rantau diurus oleh raja-raja.
Terdapat dua aliran besar dalam sistem pemerintahan Nagari di Minangkabau yakni
Koto Piliang dan Bodi Caniago. Kemudian muncul sistem ketiga pisang sekalek-kalek
hutan, pisang timbatu nan bagatah, Bodi Caniago inyo bukan Koto Piliang inyo antah.
Selain dipengaruhi oleh tradisi adat, struktur masyarakat Minangkabau juga diwarnai
oleh pengaruh agama Islam, dan pada suatu masa pernah muncul konflik akibat
pertentangan dengan sistem yang sudah ada, kemudian dapat diselesaikan dengan
menyerasikannya dalam konsep Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah.
Nagari secara administratif pemerintahan, berada di bawah Kecamatan yang merupakan
bagian dari perangkat daerah Kabupaten. Sedangkan Nagari bukan merupakan bagian

dari perangkat daerah jika berada dalam struktur Pemerintahan Kota. Berbeda dengan
Kelurahan, Nagari memiliki hak mengatur wilayahnya sendiri. Istilah Nagari
menggantikan istilah Desa, yang sebelumnya digunakan di seluruh Provinsi di
Indonesia.
Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah dan
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat, yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu beberapa kelengkapan
yang mesti dipenuhi untuk menjadi Nagari diantaranya: adanya balai adat, masjid serta
ditunjang oleh areal persawahan. Nagari dipimpin oleh seorang Wali Nagari, dan
dalam menjalankan pemerintahannya, dahulunya Wali Nagari dibantu oleh beberapa
orang Wali Jorong. Namun sekarang Wali Nagari dibantu oleh Sekretaris Nagari
(Setnag) dan beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang jumlahnya bergantung dengan
kebutuhan pemerintahan Nagari tersebut. Wali Nagari dipilih oleh anak nagari
(penduduk nagari) secara demokratis dengan pemilihan langsung untuk masa jabatan 6
tahun dan kemudian dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Biasanya yang dipilih menjadi Wali Nagari adalah orang yang dianggap paling
menguasai tentang semua aspek kehidupan dalam budaya Minangkabau, sehingga Wali
Nagari tersebut mampu menjawab semua persoalan yang dihadapi anak nagari.
Dalam sebuah Nagari dibentuk Kerapatan Adat Nagari (KAN), yakni lembaga yang
beranggotakan tungku tigo sajarangan . Tungku tigo sajarangan merupakan
perwakilan anak nagari yang terdiri dari alim ulama , cerdik pandai (kaum intelektual)
dan niniak mamak (pemimpin suku-suku dalam nagari). Keputusan penting yang akan
diambil selalu dimusyawarahkan antara Wali Nagari dan tungku tigo sajarangan di
balai adat atau balairung sari nagari.
Untuk legislasi, dibentuklah Badan Musyawarah Nagari (BMN) sebagai nama lain dari
Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Unsur dalam BMN memuat unsur yang ada pada
KAN dan dilengkapi dengan unsur pemuda , wanita dan perwakilan tiap suku. BMN
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan nagari, yang ditetapkan
dengan cara musyawarah dan mufakat dengan masa jabatan selama 6 tahun dan dapat
diangkat/diusulkan kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Jumlah anggota
BMN ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5 orang dan paling banyak 11
orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan
keuangan nagari, serta ditetapkan dengan keputusan Bupati.
Selanjutnya hasil musyawarah adat bidang Otonomi Nagari, tentang
permasalahan,rekomendasi dan keputusan yang menyertainya dapat dilihat secara
sistematis dalam tabel berikut:

TABEL PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI
BIDANG OTONOMI NAGARI

No
1

2

PERMASALAHAN

REKOMENDASI

UU No.32/2004:
bahwa peraturan perundang-undangan
mengenai desa serta masalah pertanahan
dilakukan dengan peraturan daerah
Kabupaten
Tanah Ulayat Kaum
Kasus Konflik Tanah Ulayat:
Konflik tanah ulayat antara nagari
Bungo Tanjuang dengan nagari Sumpur.
a. Konflik tanah ulayat antara
nagari Manggopoh dengan
nagari Bawan.
b. Konflik tanah ulayat antara
masyarakat nagari Mungo
dengan Balai Pembibitan
Ternak Unggul (BPTU) Padang
Mengatas.
c. Konflik tanah ulayat antara
nagari Saniang Baka dengan
nagari Muaro Pingai.

Diharapkan adanya kajian ulang terhadap UU ini agar
tanah ulayat dapat tetap dimiliki oleh nagari

Diminta kepada Wali Nagari, Kerapatan Adat Nagari
dan Ninik Mamak menginvetarisasi tanah ulayat
kaum.

Dilakukan pencatatan tanah ulayat kaum dan suku.
Adat sudah mengatur penyelesaian kasus punah.

Dalam kasus konflik Tanah Ulayat direkomendasikan
sbb:
1. Melakukan pendekatan institusion melalui
penetapan peraturan perundang-undangan
keagrariaan nasional dengan
mengakomodasi kepentingan nasional,
daerah, dan masyarakat hukum adat.
2. UUPA No.5 Tahun 1960, perlu direvisi,
karena tidak sepenuhnya disusun taat azas
filosofi keagrariaan menurut hukum adat,
dalam pelaksanaan berpeluang untuk disalah
artikan, antara lain: Pasal 3, dengan “. . . . .
Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat hukum adat
sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara . . .
. . . .” kata-kata “sepanjang menurut
kenyataannya masih ada”, cenderung
diartikan masyarakat hukum adat tidak ada
lagi. Sebaiknya kata-kata “sepanjang
menurut kenyataannya masih ada”,
dihilangkan saja, karena masyarakat hukum
adat sampai sekarang masih eksis (tidak
pernah dibubarkan dan keberadaannya masih
diakui oleh NKRI). Banyak lagi Pasal-pasal
UUPA No. 5 Tahun 1960 yang tidak
sepenuhnya disusun taat azaz filosofi
keagrariaan menurut hukum adat, misalnya:
Pasal 2 ayat(4), Pasal 5, Pasal 22 ayat (1),
Pasal 56, Pasal 58, dan Pasal III ayat (1)
Ketentuan Konversi.
3. Merevisi berbagai peraturan dan perundangundangan yang dikeluarkan pemerintah.
4. Digunakan nilai-nilai budaya Minangkabau
(etika moral budaya Minangkabau)
berdasarkan “adat basandi syarak, syarak

5.

6.

7.
8.

3

BMT dan BUMNi

4

Pembangunan dan kemajuan nagari.

basandi kitabullah. Syarak mangato, adat
mamakai”.
Ditingkat daerah (propinsi, kabupaten dan
kota) diperlukan peraturan daerah yang
mengatur tentang penetapan batas antar
nagari bertetangga, pemanfaatan tanah
ulayat oleh investor, dan tanah ulayat untuk
kepentingan umum.
Melakukan transformasi sosial budaya
melalui proses pembelajaran dan
pemantauan tatanan baru (pengganti tatanan
lama yang dianggap sudah usang).
Perlu dilakukan revisi terhadap UUPA No. 5
tahun 1960.
Melakukan revisi UU No. 5 tahun 1967 yang
diperbaharui dengan UU No. 41 tahun 1999
tentang UUP Kehutanan dan
Permenag/Kepala BPN No. 7 tahun 1999
tentang pedoman penyelesaian masalah
tanah ulayat masyarakat hukum adat.

Untuk meningkatkan taraf ekonomi kaum atau suku,
maka perlu diusahakan bentuk-bentuk usaha ekonomi
seperti mendirikan Baitu Mal wal Tamwil (BMT),
Badan Usaha Milik Nagari (BUMNi) atau Lumbung
Pitih Kaum/Suku/Nagari. Dalam hal ini, pemerintah
dan anggota masyarakat yang ahli diharapkan dapat
membantu untuk membuatkan pedoman (TOR)
sehingga unit usaha dalam kaum/suku/nagari dapat
berjalan dengan baik.
1. Bagaimana orang Minangkabau bersikap
kompromistis terhadap pemerintah nagari
yang sekarang, yang berbeda dengan selfgoverning community (nagari yang
berpemerintahan sendiri).
2.

3.

4.

5.

6.

7.

Bagaimana mengembalikan sumber daya
lokal / nagari, terutama mengembalikan
tanah ulayat dikelola oleh masyarakat nagari.
Bagaimana merevitalisasi serta memperkuat
kepemimpinan tungku tigo sajarangan atau
tali tigo sapilin (niniak mamak, alim ulama
dan cerdik pandai).
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan (gotong royong) dalam
membangun nagari.
Membuat Perda kewenangan untuk
mengatur, menyediakan, mentapkan
penggunaan, serta meletakkan larangan
pemakaian tanah bagi orang yang tinggal
didalam dan diluar masyarakat hukum adat
di Minangkabau.
Perda tanah ulayat dapat dibebani dengan
Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Pakai
(HP) dan setelah masa berlakunya habis
tanah ulayat tersebut kembali ke dalam
kekuasaan masyarakat hukum adat.
Perda tentang Para investor yang ingin
mengolah tanah ulayat atau memperpanjang

5

Batas-batas Nagari

6

Pengelolaan SDA

7

Alokasi Anggaran

8

Unsur – unsur 4 jinih tidak paham
dengan tugas dan fungsinya masing –
masing di dalam suku dan nagari (dalam
bidang sumber daya).

HGU/HP, harus berhubungan langsung
dengan penguasa tanah ulayat dan
pemerintah hanya menjadi fasilitator dan
mediatornya saja.
a. Batas fisik administratif nagari belum tentu
sama dengan batas imaginer nagari secara
adat, sehingga melahirkan konflik horizontal
yang melibatkan antar nagari, seperti konflik
nagari saniang baka-muara pingai, konflik
nagari sumpur-bunga tanjung dan lain-lain.
b. Pembuatan Peta Nagari dengan batasbatasnya secara tegas.
a. Membangun pengelolaan kolaborasi antara
Departemen kehutanan, Pemerintah Daerah
dan Nagari untuk mengelola SDA di
kawasan hutan, baik melalui skema-skema
hutan desa, hutan kemasyarakatan dan
skema-skema kolaboratif lainnya.
b. Perlu MoU untuk menjembataninya.
Kejelasan tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Nagari (APBNi):
Pembuatan APBNi dan Alokasi Dana Perimbangan
antara Pemda dan Nagari.
Agar unsur-unsur seperti tungku tigo sajarangan
(niniak mamak, cadiak pandai, dan alim ulama) dan
Urang Ampek Jinih (pangulu, manti, malain,
dubalang ) dapat bergerak aktif dalam membangun
dan mengelola suku dan nagari agar pembangunan di
nagari dapat berjalan dengan baik. Tidak ada masalah
yang tidak dapat diselesaikan.
a. Membuat atau membangun pendidikan
dalam bidang Sumber Daya.
b. Menyelenggarakan Musyawarah nagari
secara regular.

3.3. Hasil Musyawarah Adat Bidang Manajemen Suku
Pada abad ke 19 ini telah terjadi rangkaian upaya pemurnian dan pembaharuan terhadap
akidah dan pengamalan adat dan syarak, setelah mengalami konflik berkepanjangan
perang saudara yang dahsyat antara tahun 1803-1821, yang disusul oleh Perang
Minangkabau antara tahun 1821- 1838 untuk menghadapi Belanda. Campur tangan
kaum kolonialis Hindia Belanda yang mengadu domba kaum adat dan kaum agama,
yang sama-sama menganut agama Islam, telah menghancurkan sendi-sendi agama dan
budaya Minangkabau. Oleh karena itu pada tahun 1832 Tuanku Imam Bonjol
memberikan fatwa ishlah yang menjadi dasar untuk pengembangan Ajaran Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai (ABS
SBK) – yang kemudian dilengkapi dengan ‘Alam Takambang Jadi Guru’ -- sebagai
nilai dasar dalam menata masyarakat Minangkabau. Fatwa Tuanku Imam Bonjol ini
kemudian dikukuhkan dalam Sumpah Satie Bukit Marapalam pada tahun 1837 di Bukit
Pato, Lintau, dekat Batu Sangkar. Tetapi karena seluruh Minangkabau dijajah oleh

Belanda, yang melancarkan politik adu domba dan politik tanam paksa, yang disusul
oleh dua kali Perang Dunia, dua kali Perang Kemerdekaan, serta rangkaian konflik
dalam negeri yang berkepanjangan, Nilai Dasar dan ABS SBK tersebut belum sempat
terhimpun dan disatukan secara terpadu dalam suatu dokumen yang disahkan bersama
oleh masyarakat Minangkabau.
Selanjutnya sampai di era globalisasi ini, dimana sedang berlangsung lonjakan
perubahan disegala bidang secara cepat, transparan tetapi tanpa sekat, hubungan
komunikasi informasi dan transportasi menjadikan jarak jadi dekat, yang berpengaruh
pula kepada nilai-nilai tamadun yang sudah ada. Demikian juga halnya di Ranah
Minang. Nilai-nilai agama, nilai-nilai budaya dan nilai-nilai adat-istiadat yang belum
terdokumentasikan dengan baik tadi, menjadi semakin tidak berkembang sebagaimana
mestinya. Kekuatan Budaya Masyarakat Hukum Adat Minangkabau yang sebenarnya
ada karena terikat kuat dengan penghayatan Islam, yang selama ini telah menjadi salah
satu puncak kebudayaan dunia, menjadi terabaikan.
Korong kampuang dan nagari yang tadinya terjaga dengan budaya adat yang kuat
sekarang telah dibuka dengan beralihnya menjadi sentra-sentra pertanian dan
perkebunan besar. Gaya hidup modern akibat dari pergeseran status sosial dan ekonomi
terasa juga hingga ke kampuang-kampuang dan telah berpengaruh besar
menghilangkan kearifan budaya yang tidak lagi mengukur bayang bayang sepanjang
badan. Sering terjadi gadang pasak pado tiang. Pergaulan dalam hubungan muda-mudi
tidak lagi mengenal sumbang-salah. Selain itu kekerabatan mulai menipis. Peran ninik
mamak melemah sebatas seremonial. Peran imam khatib sekedar pengisi ceramah.
Surau dan sidang Masjid mulai lengang mati suri. Madrasah di nagari mulai kurang
diminati. Kedudukan orang tua hanya memenuhi keperluan materi anakcucunya.
Guru-guru disekolah semata bertugas mengajar. Peran sentral pendidikan menjadi
kabur. Kekuatan kearifan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Minangkabau dalam
rancangbangun masyarakat terasa melemah. Gaya hidup hedonis materialis dan
individualis semakin menghapus nilai nilai utama berat sepikul ringan sejinjing yang
sedari dulu menjadi penggerak utama kegotong royongan dalam membangun kampung
halaman.
Mengatasi semua itu, amat perlu membangun kembali manajemen suku untuk
menciptakan peribadi yang unggul dengan iman dan taqwa, berilmu pengetahuan,
menguasai teknologi, berjiwa wiraswasta, bermoral akhlak, beradat dan beragama.
Perpaduan adat dan syarak, sesuai firman Allah; “Wahai manusia, sesungguhnya Kami
telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berkabilah-kabilah (bangsa-bangsa) dan berpuak-puak (suku-suku)
supaya kamu saling kenal mengenal …”, (QS.49, al Hujurat:13). Perbedaan suku dan
jurai itu sesungguhnya adalah kekuatan besar sesuai ungkapan fatwa adat di
Minangkabau:
“Pawang biduak nak rang Tiku,
Pandai mandayuang manalungkuik,
Basilang kayu dalam tungku,
Di sinan api mangko hiduik”.

Selanjutnya hasil musyawarah adat bidang Manajemen Suku, tentang permasalahan,
rekomendasi dan keputusan yang menyertainya dapat dilihat secara sistematis dalam
tabel berikut:
TABEL PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI
BIDANG MANAJEMEN SUKU

No
1

2

3

PERMASALAHAN

REKOMENDASI

Nagari-nagari di Minangkabau harus
diakui sebagai daerah istimewa karena
mempunyai susunan asli, mempunyai
asal usul. Sebelum ada negara sudah
ada nagari. Sebelum ada undangundang negara sudah ada undang
nagari. Kita berbicara undang dan
hukum adat dalam Hukum Negara, jadi
tetap kerangka NKRI. Permasalahan
adalah bahwa:
1. Semua SDA sudah dikuasai
pemerintah dan tidak ada lagi
penghargaan terhadap wali
nagari selaku pimpinan nagari
2. Hak-hak masyarakat kaum
adat dikembalikan dan ditinjau
kembali apakah digunakan
oleh investor atau tidak
3. Penghulu dituntut untuk
belajar adat, IPTEK dan hal
lain yang berfaedah untuk
anak kemenakan dan kaum
4. Kembali ke kepada adagium
“kamanakan barajo ka mamak,
mamak barajo ka panghulu,
panghulu barajo ka mufakat,
mufakat baraja ka Nan Bana,
Nan Bana berdiri sendirinya.
5. Panghulu mengembangkan
kembali kepemimpinan dalam
suku dan nagari
Menurunnya pengetahuan dasar agama
dan adat pada anak-kemenakan

1. Perlu dibuat peraturan khusus tentang
pemerintahan nagari yang diakui dan dilaksanakan.
2. SK Gubenur No 28 tahun 1994 perlu dipedomani
dalam melaksanakan pemerintahan nagari.
3. Penghulu harus disumpah jika menjadi Ujimah.
4. Syarat-syarat kepemimpinan pangulu harus
dipahami betul oleh Pangulu.
5. Urang Ampek Jinih (Pangulu, Manti, Dubalang,
Malin) harus memahami tugas pokok dan
fungsinya.

Terjadi ketidakpedulian kepada kaum,
suku dan adat terutama pada kaum
muda, umumnya karena mereka tidak
tahu.

1. Diminta kepada Wali Nagari dan seluruh
Pemangku Adat untuk kembali memakmurkan
masjid dan surau, serta meningkatkan pendidikan
adat, agama dan pendidikan umum yang
mengantisipasi kemajuan ilmu dan teknologi di
masa depan mulai dari tingkat dasar sampai ke
perguruan tinggi.
2. Perlu dibuatkan perda dan pernanya.
1. Diminta kepada semua pihak (Wali Nagari,
KAN, BPN, Ampek Jinih, Kapalo Jorong,
Pangulu Andiko) untuk melaksanakan pencatatan
anak-kemenakan dengan menyelengarakan Buku
Gadang Kaum dan Suku.
2. Setiap keluarga membuat ranji yang disahkan
oleh Pangulu dan disampaikan kepada KAN,
tembusan kepada Wali Nagari dan Kepala Kaum.
Sebelum ranji tsb disahkan, untuk menghindari
pemalsuan ranji. Untuk ini KAN melakukan

3.
4

Menurunnya kegiatan kesenian anak
nagari dan silat yang merupakan budaya
asli Minangkabau.

1.

2.
3.
5

6

7

Kurangnya pemahaman tentang
Manajemen Adat dan Suku.

Disinyalir bahwa Bundo Kanduang
tidak dapat melaksanakan tugasnya
sebagaimana mestinya. Salah satu
faktor penyebabnya adalah karena
keberadaan bundo kanduang terabaikan
dan kurang dilibatkan dalam
menyelesaikan permasalahan dan
pengambilan keputusan.
Masalah tata cara pemerintahan adat
dalam adat salingka nagari.

mengecekan dan peninjauan lapangan untuk
melakukan verifikasi.
Pembuatan Ranji oleh masing-masing keluarga,
kaum dan suku.
Diminta kepada Wali Nagari, KAN dan Ninik
Mamak agar menyuburkan kembali kesenian
anak nagari dan pencak silat agar tidak hilang
ditelan masa.
Pemda dan perantau perlu membantu
menghidupkan butir 4.a. di atas.
Pembangunan sarana dan prasarananya perlu
mendapatkan perhatian pemerintah.
1. Diharapkan kepada Pemangku Adat agar
menuliskan aturan-aturan adat untuk
dipelajari oleh anak kemenakan di kampung
dan di rantau. Dengan demikian budaya tutur
dan budaya tulis akan berjalan bersamaan.
2.

Bupati dan Walikota menetapkan Nagari Pilot
Project untuk untuk Implementasi/Aplikasi
Manajemen Suku, pelaksanaan Restorative
Justice dan pelaksanaan Otonomi Nagari.

3.

S3 diminta membentuk Tim Tindak Lanjut
dan Advokasi untuk pelaksanaan hasil
Musyawarah Adat 2012.

4.

Nagari-nagari pilot project agar menyiapkan
data sako dan pusako, asset nagari yang
didukung penuh oleh Pemerintah Daerah.
Penerapan mengikuti karakteristik nagari
masing-masing.

1.

Bundo kanduang harus dilibatkan dalam
penyelesaian masalah suku dan pengambilan
keputusan.

2.

Perlu dibuatkan perda/perna.

1. Karena Suku sudah mempunyai cara atau
pemerintahan adat sendiri yaitu pangulu, manti,
dubalang, malin dan urang tuo. Sedangkan Malin
dibantu oleh Jinih Nan Ampek. Konsep demokrasi
ini sudah tertanam dalam manajemen tradisional
suku di Minangkabau. Kita diharuskan pandai
menggunakan sistem-sistem adat yang berlaku di
kedua lareh (lareh nan bunta/lareh nan panjang ).
Adat Minangkabau menganut sistem babuhua
sentak, sementara ajaran Islam babuhua mati.
2. Susun petunjuk Aplikasi Manajemen Suku.

Akhirnya, rekomendasi tindak lanjut yang bersifat segera adalah sebagai berikut:
1. Peserta bersepakat mengusulkan kepada Pemda Provinsi /Kabupaten /Kota, Solok
Saiyo Sakato (S3) dan LKAAM untuk menetapkan masing-masing 1 (satu) Nagari
di 3 (tiga) Kabupaten/Kota Solok dan Kabupaten/Kota lainnya di Provinsi Sumatera
Barat sebagai Nagari Percontohan (Pilot Project Nagari) yang akan memulai
pelaksanaan Aplikasi Manajemen Suku, Restorative Justice dan Otonomi Nagari
ini. Aplikasi Manajemen Suku, Restorative Justice dan Otonomi Nagari merupakan
paket terpadu (integrated) yang tidak dapat dipisahkan, sakali marangkuah
dayuang duo tigo pulau talampaui.
2. Pelaksanaan ini dimulai dengan pendataan secara komprehensif tentang Sako
Pusako Suku dan Aset Nagari;
3. Melaksanakan pembuatan Peta Administrasi dan Ranji Suku di Nagari (baik ranji
tertulis maupun ranji berdasarkan pandam pakuburan) di Sumatera Barat dengan
melibatkan semua suku yang ada di dalamnya (Buku Gadang Suku), sehingga dapat
dilahirkan Perda-perda yang akan memayungi;
4. Mengusulkan kepada Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota, S3 dan LKAAM agar
segera mengupayakan penyediaan buku pedoman adat / Tambo Adat Minangkabau
kepada semua KAN /Nagari;
5. Menyempurnakan peraturan tentang hukum adat ini secara tertulis melalui
mekanisme penulisan hukum yang ada, sehingga dapat dipedomani langsung oleh
para Pemangku Adat;
6. Memperkokoh dan melaksanakan pendidikan tentang Budaya Alam Minangkabau
(BAM) mulai dari peringkat dasar sampai dengan pendidikan tinggi di seluruh
Minangkabau (Provinsi Sumatera Barat) serta meningkatkan kualitas guru /dosen
yang mengajar bidang tersebut dan dengan melibatkan ampek jinih yang ada;
7. Menumbuhkan kembali kearifan Minangkabau (local wisdom) sejak usia dini
kepada anak-kemenakan melalui pepatah-petitih dalam kehidupan sehari-hari.
Buku-buku seperti “1.000 Pepatah-Petitih, Mamang, Bidal, Pantun. Gurindam”
karangan H Idrus Hakimi Dt Rajo Pangulu dan buku jenis yang sama karangan
Junus St Majolelo dapat dijadikan rujukan.
8. Mengusulkan pada Pemda Provinsi/Kab/Kota, S3 dan LKAAM untuk
meningkatkan kualitas Pemangku Adat dalam mengelola Sumber Daya Nagari.
9. Membentuk Tim Program Tindak Lanjut dan Advokasi yang akan menyusun
program tindak lanjut, melakukan advokasi dan mengevaluasi pelaksanaan seluruh
Keputusan dan Rekomendasi Musyawarah Adat dengan melibatkan pemangku
kepentingan terkait untuk mensukseskan pelaksanaannya;
10. Meminta kepada KAPOLDA SUMBAR, LKAAM SUMBAR dan S3 bersama
pemangku kepentingan lainnya untuk segera menuntaskan kesepakatan bersama
yang telah ditandatangani;

11. Meminta kepada Nagari untuk segera mendorong pembahasan Rancangan Undangundang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di DPR RI;
12. Menampung aspirasi-aspirasi yang belum terakomodir dalam Musyawarah (seperti
kasus tanah ulayat di Laing Kota Solok); KAN setiap Nagari diperkenankan
menyampaikan pendapat tertulis kepada LKAAM Solok Saiyo Sakato (S3) Jakarta
dsk untuk penyempurnaan rekomendasi ini.
13. Melaksanakan Deklarasi Koto Baru, Solok 2005.

Solok, 25 Maret 2012
TIM PERUMUS,
NO
1

NAMA
Prof.Dr.Fasli Jalal, PhD

TANDA TANGAN
1.

2

Azmi Dt. Bagindo

2

3

3

4

Prof.Dr.Muhammad Zilal
Hamzah
Dr.Ir.Har Adi Basri, MSc

5

Prof.Dr.Ir. Irsal Las, MS

5

6

Prof Dr Elwi Danil, SH., MH

7

Dr.Kurnia Warman, SH., Mhum

8

Nurul Firmansyah, SH

9

Charles Sumabura, SH., MH

10

AKBP Busri Zen

11

AKBP Z. Dt Marajo

12

H. Firdaus Oemar Dt Marajo

13

Muchlis Hamid, SE., MBA

14

Ir H. Irwansyah

4

6
7
8
9
10
11
12
13
14

Lampiran
1. Kesepakatan/MOU Kapolda-LKAAM-Gubernur
2. Makalah-makalah
3. Daftar Hadir Musyawarah
4. Rundown Acara
5. Dokumentasi
6. SK Kepanitiaan dan SKEP
7. SK Tindak Lanjut Musyawarah Adat