PERLINDUNGAN PEREMPUAN KORBAN PERDAGANGA (1)

Perlindungan Perempuan Korban Perdagangan Orang
(Sebuah Studi Sosio Legal Kasus Perdagangan Orang di Kabupaten Malang)
Oleh:
Wahyu Krisnanto
Fak. Hukum - Universitas Katolik Darma Cendika
Telp. 081554123603; email: wahyu.krisnanto@ukdc.ac.id
ABSTRAK
Era globalisasi menjadikan interaksi sosial dan ekonomi tidak lagi tersekat oleh batas
negara, membuka terjadinya lalu lintas barang, jasa bahkan tenaga kerja antar negara.
Globalisasi berdampak berkembangnya Multi National Corporate (MNC) dan Trans National
Corporate (TNC) yang bersifat kapitalistik. Namun sifat kapitalistik perusahaan telah
mendorong upaya operasionalisasi perusahaan tanpa memperhatikan nilai-nilai
kemanusiaan dengan mempekerjakan tenaga kerja dari wilayah miskin dan diberikan upah
minim. Kondisi ini tidak jarang menimbulkan tindakan perdagangan orang. Sebagai
komitmen pemerintah menanggulangi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) telah
diterbitkan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Untuk mengefektifkan implementasi Undang-undang tersebut
diamanatkan pembentukan Gugus Tugas Pemberantasan Tidak Pidana Perdagangan
Orang, di tingkat Nasional hingga Kabupaten/Kota. Walaupun telah ada perangkat hukum,
namun hingga saat ini Indonesia masih masuk dalam kategori Tier 2. Terjadinya
kesenjangan kondisi ideal dan kondisi faktual di lapangan, memotivasi dilakukannya

penelitian. Permasalahan yang diteliti adalah faktor apa yang menyebabkan tidak efektifnya
upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Penelitian dilakukan di Kec.
Donomulyo - Kabupaten Malang yang menjadi sending area perdagangan orang di Provinsi
Jawa Timur. Dari hasil penelitian diketahui tidak saja faktor yuridis penyebab lemahnya
upaya pemberantasan TPPO, namun juga faktor sosio kultural masyarakat yang berperan
dalam memperlemah upaya pemberantasannya.
Kata Kunci: Perlindungan, Perempuan, Trafficking
Pendahuluan
Setelah terjadinya Perang Dunia II yang telah menistakan harkat dan martabat
manusia di dunia, pada tahun 1948 beberapa negara telah mendeklarasikan penentangan
terhadap perdagangan orang. Deklarasi penentangan perdagangan orang tersebut termuat
dalam Pasal 4 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dengan dimasukkannya
dalam DUHAM, maka perdagangan orang dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk
pelanggaran berat Hak Asasi Manusia. Pada tahun 2000, telah dibuat instrumen hukum
internasional yang dipergunakan dalam merespon masalah perdagangan orang yang
dituangkan dalam bentuk The Protocol to Prevent, Surpress and Punish Trafficking in
Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention
against Transnational Organized Crime atau yang lebih dikenal dengan Protokol Palermo1
(Sagala, Jurnal Perempuan No. 68). Sebagai respon terhadap Protokol Palermo tersebut,
pada tahun 2007 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi protokol tersebut dengan


1

Membaca UU PTPO dalam Perspektif HAM; R. Valentina Sagala, Jurnal Perempuan No. 68, Hal. 85

1

diterbitkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO).
Permasalahan perdagangan orang sebenarnya bukanlah kejahatan bentuk baru di
dunia, bahkan di Indonesia. Orientasi pembangunan industri, menjadikan banyaknya
wilayah yang semula berbasis pertanian dikonversikan menjadi kawasan industri. Kondisi ini
menjadikan hilangnya sumber mata pencaharian petani yang tidak diikuti dengan perubahan
ketrampilan berusaha. Hilangnya sumber mata pencaharian tersebut, menjadikan para
petani melakukan migrasi ke wilayah-wilayah kota yang lebih menjanjikan untuk
mendapakan pekerjaan. Tidak dimilikinya ketrampilan kerja, hilangnya sumberdaya ekonomi
dan ditambah rendahnya pendidikan masyarakat menjadi faktor penyebab terjadinya
perdagangan orang. Pada awalnya perdagangan orang hanya terjadi dalam lingkup antar
wilayah dalam negara.
Seiring dengan maraknya era globalisasi, menjadikan interaksi sosial dan ekonomi

tidak lagi tersekat oleh batas negara. Kondisi ini membuka terjadinya lalu lintas barang, jasa
bahkan tenaga kerja antar negara. Pada era ini, perkembangan Multi National Corporate
(MNC) dan Trans National Corporate (TNC) sangat berkembang pesat. Perkembangan
MNC dan TNC tersebut diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi dan menambah
pertumbuhan perolehan devisa. Namun sifat kapitalistik perusahaan yang bertujuan untuk
memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan pengeluaran biaya produksi sebagaimana
prinsip ekonomi telah mendorong adanya upaya operasionalisasi perusahaan tanpa
memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Salah satunya adalah dengan mempekerjakan
tenaga kerja dari wilayah miskin yang mau dibayar dengan upah yang sangat rendah
dengan memanfaatkan jasa calo tenaga kerja. Perpindahan tenaga kerja dari wilayah
negara miskin ke wilayah negara lain dimana perusahaan multinasional dan transnasional
itu berada, dijanjikan mendapatkan gaji yang cukup besar. Janji tersebut biasanya tidak
ditepati, namun mereka dipekerjakan secara paksa pada perusahaan dengan upah yang
tidak cukup2.
Ditinjau aspek kerugian yang dialami oleh korban, menunjukkan banyaknya faktor
yang melingkupi permasalahan perdagangan orang ini. Korban perdagangan orang, tidak
saja kehilangan hak dasarnya sebagai seorang manusia, dimana harkat dan martabatnya
sebagai manusia dilecehkan dengan diperdagangkannya mereka seperti barang. Dalam
kasus perdagangan orang, biasanya korban sebelum dan sesudah diperdagangkan sebagai
tenaga kerja, mereka disekap di sebuah tempat untuk menampung mereka. Penyekapan


2

Dagang manusia, Kajian Trafficking terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur , Pusat Dokumentasi Hak
Asasi Manusia Universitas Surabaya, 2003, Hal. 9 – 10.

2

terhadap para korban perdagangan orang tersebut, tidak jarang menjadikan korban
mengalami keterasingan dengan lingkungan sosialnya. Para korban perdagangan orang
tersebut biasanya adalah perempuan, dimana di Indonesia kelompok perempuan
merupakan kelompok yang tidak memiliki sumberdaya baik sosial, politik maupun ekonomi.
Dilaporkan dalam Annual Trafficking in Person Report (2016) yang diterbitkan oleh
Pemerintah Amerika Serikat. Dalam laporan tersebut diuraikan bahwa di Indonesia, banyak
pekerja perempuan yang dieksploitasi untuk kerja paksa di sektor penangkapan ikan,
pengolahan ikan dan konstruksi di perkebunan. Dan banyak juga perempuan yang
dieksploitasi di sektor domestik dan perdagangan seks.
Dalam

mencegah


dan

menangani

masalah

perdagangan

orang,

diperlukan

pendekatan yang bersifat multi dan interdisipliner. Tidak saja dilakukan dengan pendekatan
hukum, namun juga di luar hukum. Oleh karena itu, dalam melakukan pencegahan dan
penanganan masalah perdagangan orang dengan pendekatan hukum ini, diperlukan
sebuah kesiapan perangkat hukum yang meliputi ketersediaan peraturan perundangundangan, kemampuan aparat hukum, prosedur yuridis dan praktek hukum. Sedangkan
pendekatan di luar hukum adalah pendekatan pencegahan dan penanganan korban
perdagangan orang yang meliputi aspek medis, psikologis, psikologis, advokasi,
pendampingan hingga riset sosial ekonomi dan budaya3.

Sebagai wujud komitmen dalam melakukan tindakan pencegahan, penanganan dan
penindakan terhadap kasus perdagangan orang ini, Pemerintah Indonesia pada tahun 2007
telah menerbitkan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Memperhatikan pada permasalahan perdagangan
orang yang sangat kompleks dan memerlukan penanganan yang multidisipliner, maka
dalam undang-undang tersebut diamanatkan pula dibentuknya sebuah gugus tugas yang
terdiri dari berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) yang bertugas untuk
mengkoordinasikan dan melakukan upaya-upaya pencegahan, penindakan, pendampingan
dan advokasi bagi korban perdagangan orang. Gugus tugas ini selanjutnya dikenal sebagai
Gugus Tugas TPPO. Adapun tugas, pokok dan fungsi dari gugus tugas ini telah diatur dalam
Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Harapannya

dengan

telah

diundangkannya


pemberantasan

tindak

pidana

perdagangan orang dan telah dibentuknya Gugus Tugas Pemberantasan TPPO adalah
berkurangnya kasus perdagangan orang. Dalam kenyataannya telah diundangkannya

3

Jejaring anti trafficking, Strategi Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, Ford Foundation
bekerjasama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan - Universitas Gadjah Mada, 2005, Hal. 3.

3

pemberantasan tindak pidana perdagangan orang serta telah dibentuknya gugus tugas,
belum

mampu


meningkatkan

pencapaian

standar

minimum

perlindungan

korban

perdagangan orang. Kondisi ini terlihat dari hasil studi yang dilakukan oleh Pemerintah
Amerika Serikut yang termuat dalam Annual Trafficking in Person Report4. Dalam laporan
hasil studi menyebutkan bahwa negara Indonesia termasuk dalam kategori sebagai negara
yang telah memiliki perundang-undangan yang pro pemberantasan perdagangan orang
namun belum cukup memenuhi ketentuan standar minimun perlindungan korban
perdagangan orang (Trafficking Victim Protection Act’s/TVPA). Dengan kondisi ini, negara
Indonesia masih dimasukkan dalam kategori Tier 2. Dalam Annual Report Trafficking in

Person Repot 2016 juga disebutkan bahwa Indonesia ditengarai tidak saja menjadi tujuan
dan transit perdagangan orang, tetapi juga sebagai negara yang menjadi sumber pensuplai
kegiatan perdagangan orang. Dalam laporan tersebut juga diuraikan bahwa dari 34 Provinsi
yang ada di Indonesia, Provinsi Jawa Timur menjadi salah satu wilayah yang menjadi asal
(sending area) perdagangan orang terbesar.
Dimasukkannya Provinsi Jawa Timur sebagai salah satu wilayah yang menjadi asal
perdagangan orang cukup beralasan jika memperhatikan data yang dimiliki oleh Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Provinsi Jawa Timur. Dari
data tersebut, pada tahun 2014 lalu tidak kurang terjadi 39 kasus perdagangan orang yang
terjadi di wilayah Provinsi Jawa Timur5.
Masih beradanya negara Indonesia di peringkat Tier 2 pada kasus perdagangan orang
walaupun telah dimilikinya perangkat hukum, menjadi alasan penulis untuk meneliti faktorfaktor sosiologis dan yuridis apa saja yang menyebabkan perangkat hukum tersebut tidak
mampu berfungsi secara efektif dalam melakukan perlindungan bagi para korban
perdagangan orang dari kelompok Perempuan. Pemahaman terhadap faktor sosiologis,
diharapkan dapat dipergunakan untuk memberikan masukan untuk melakukan pencegahan
tindak pidana perdagangan orang, penanganan dan advokasi korban perdagangan orang.
Sedangkan pemahaman terhadap faktor yuridis normatif, diharapkan penelitian mampu
memberikan masukan dalam pembaruan pengaturan hukum pemberantasan perdagangan
orang. Adapun pemilihan kelompok perempuan sebagai kelompok sasaran penelitian tidak
terlepas dari banyaknya kasus perdagangan perempuan yang dialami oleh kelompok

perempuan tersebut.

4
5

Annual Trafficking in Person Report 2016, US Departement of State,
Data BPPKB Provinsi Jawa Timur 2014

4

Kajian Pustaka
Pengertian tindak pidana perdagangan orang ataupun trafficking belum memiliki
pengertian yang sama di setiap Negara. Menurut Global Alliance against Trafficking in
Woman (GAATW) tahun 2007 mendefinisikan trafficking sebagai seluruh aktivitas, termasuk
di dalamnya adalah perekrutan dan transportasi, terhadap seseorang atau lebih, baik dalam
batas Negara maupun antar batas Negara, untuk bekerja atau melayani dengan maksud
memberikan jasa melalui kekerasan, penipuan, untuk membayar hutang, dan bentuk-bentuk
lain yang merugikan (Mulyanto et al, 2004: 6).
Tindak Pidana Perdagangan Orang untuk selanjutnya disebut dengan TPPO
merupakan tindak pidana khusus dimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) dianggap tidak cukup mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang ada
sehingga dibuat Undang-Undang khusus mengenai TPPO. Melalui Undang-Undang No. 21
tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada pasal 1 ayat 1
menyebutkan tentang definisi tindak perdagangan orang. Dalam undang-undang tersebut
yang dimaksudkan dengan Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran
atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memperoleh kendali atas
orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam negara maupun antar Negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatan orang tereksploitasi.
Dalam kasus perdagangan orang, posisi korban sering hanya menjadi obyek penderita
semata. Setelah terdakwa di proses secara hukum, pembelaan terhadap korban seolah
berhenti begitu saja. Padahal justru korban harus mendapatkan perlindungan hukum dan
penanganan lebih lanjut terkait dengan haknya sebagai korban. Hamzah (2006: 33)
menyebutkan bahwa dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan
dengan hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan
dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak korban. Menurut UndangUndang TPPO pasal 1 ayat 3

menyebutkan bahwa korban adalah seseorang yang

mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang
diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.

Terkait dengan konsepsi korban, Gosita

(1993: 6) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari
pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan
dan hak asasi yang menderita.

5

Metode Penelitian
Dalam penelitian tentang perlindungan bagi korban perempuan ini, penulis melakukan
penelitiannya di wilayah Kabupaten Malang. Pemilihan kabupaten Malang sebagai lokasi
penelitian dengan pertimbangan bahwa wilayah Kabupaten ini merupakan sending area
terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Dari data BPKB Prov. Jawa Timur, sejak 2012
– 2015 terdapat 67 kasus perdagangan orang, dimana 25 kasus terjadi di wilayah
Kabupaten Malang, tepatnya pada wilayah-wilayah kecamatan di wilayah Kab. Malang
sebelah selatan. Dari sekian banyak wilayah Kecamatan di Malang Selatan, peneliti memilih
wilayah penelitiannya di Kecamatan Donomulyo. Pemilihan wilayah Kecamatan Donomulyo
ini dengan pertimbangan bahwa wilayah kecamatan ini adalah salah satu wilayah
kecamatan di Malang Selatan yang banyak mengirim tenaga migran. Selain daripada itu di
wilayah Kecamatan Donomulyo pada tahun 2014 pernah dilaporkan adanya kasus
perdagangan orang.
Penelitian ini adalah sebuah penelitian hukum dengan pendekatan ilmu sosial atau
yang lebih dikenal dengan penelitian sosio legal. Menurut Wignjosoebroto (2008: 17)
penelitian sosio legal merupakan penelitian dengan pendekatan interdisipliner, yang
menggunakan konsep dan teori dari berbagai ilmu yang dikombinasikan dan digabungkan
untuk mengkaji sebuah fenomena hukum. Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan
pendekatan kualitatif, dimana data diperoleh melalui wawancara secara kualitatif dengan
key informan dan studi pustaka. Beberapa responden yang dijadikan key responden adalah
para korban trafficking yang berasal dari kelompok perempuan, tenaga pendamping korban
perdagangan orang, aparat desa dan polisi sebagai aparat penegak hukum.
Hasil dan Pembahasan
a.

Motivasi Bekerja Sebagai Buruh Migran
Sebelum

membahas

tentang

faktor-faktor

penyebab

tidak

cukup

efektifnya

perlindungan perempuan terhadap perdagangan orang, ada baiknya mengetahui terlebih
dahulu kondisi geografis wilayah penelitian serta motivasi sebagian besar masyarakat di
lokasi penelitian untuk menjadi buruh migran. Pemahaman tentang kondisi geografis wilayah
penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran tentang motivasi masyarakat di wilayah
kecamatan tersebut untuk bekerja menjadi buruh migran. Kecamatan Donomulyo adalah
sebuah wilayah Kecamatan yang terletak di sebelah selatan kota Malang. Dari wilayah kota
Malang berjarak sekitar 48 Km ke arah Selatan. Secara geografis wilayah Kecamatan
Donomulyo adalah wilayah yang berbukti, dimana di sisi selatan wilayah Kecamatan ini
adalah laut selatan. Perbukitan yang ada di wilayah Kecamatan Donomulyo termasuk
sebagai perbukitan kapur (padas). Dengan kondisi geografisnya tersebut, menjadikan
wilayah Kecamatan Donomulyo tidak cukup subur untuk ditanami tanaman pertanian
6

ataupun perkebunan. Sebagian besar sawah yang ada di wilayah ini mengandalkan pada air
hujan.
Memperhatikan pada kondisi geografis yang kurang mampu menjanjikan sumberdaya
ekonomi keluarga menjadi salah satu faktor pemicu warga di Kecamatan Donomulyo
memilih menjadi pekerja migran. Kondisi ini memperoleh relevansinya dengan Teori Pull and
Push Factors. Walaupun teori ini banyak memperoleh kritik karena analisanya yang
menyederhanakan motif seseorang untuk menjadi buruh migran, namun teori ini cukup
memiliki relevansi untuk menjelaskan motif sebagian masyarakat Kecamatan Donomulyo
untuk menjadi buruh migran. Karena keterbatasan sumber daya ekonomi yang dimiliki
tersebut, menjadikan pilihan sebagai buruh migran sebagai solusi favorit untuk mengatasi
permasalahan ekonomi keluarga masyarakat Kecamatan Donomulyo. Menurut Irianto et al
(2011; 30) bahwa motif seorang memilih menjadi buruh migran adalah harapan memperoleh
keuntungan besar di negara tujuan dibanding dengan di negara sendiri. Kondisi ini bisa
terlihat dari banyaknya warga di Kecamatan Donomulyo yang memilih menjadi TKI sebagai
alternatif mengatasi permasalahan ekonomi keluarganya. Karena keterbatasan ekonomi,
mereka biasanya memilih menyelesaikan sekolah hingga SLTA untuk selanjutnya bekerja
sebagai buruh migran. Namun tidak jarang pula mereka juga memilih hanya menyelesaikan
sekolah hingga SLTP saja. Biasanya para buruh migran perempuan ini memilih bekerja di
luar negeri seperti di negara Arab Saudi, Taiwan dan Hongkong. Sedangkan di dalam
negeri, biasanya mereka memilih Kota Surabaya, Jakarta dan beberapa kota di pulau
Kalimantan. Alasan mereka memilih negara-negara tersebut, karena beranggapan di
negara/kota tersebut banyak saudara atau kawan mereka yang mendahuluinya bekerja
sebagai buruh migran. Mereka yang mencari kerja di luar negeri, tidak saja melalui jasa
perusahaan pengerah tenaga kerja (PJTKI) yang terdaftar resmi di Dinas Tenaga Kerja,
namun mereka juga melalui jasa calo tenaga kerja ilegal. Sedangkan untuk pencari kerja di
dalam negeri, mereka memanfaatkan jasa calo tenaga kerja yang biasanya adalah teman
atau kerabat mereka.
Rendahnya tingkat pendidikan para perempuan calon buruh migran ini menjadi
sasaran empuk penipuan yang dilakukan oleh para calo tenaga kerja. Modus penipuan yang
biasa dilakukan oleh para calo tenaga kerja adalah dengan memberikan iming-iming jenis
pekerjaan dengan imbalan gaji cukup besar. Namun dalam kenyataannya mereka tidak
dipekerjaan seperti yang telah dijanjikan. Tidak jarang para perempuan buruh migran
tersebut dipekerjakan pada majikan yang melakukan tindakan kekerasan pada mereka.
Adanya penipuan atau kekerasan, yang mereka alami selama bekerja sebagai buruh
migran, tidak dianggap sebagai sebuah pelanggaran hukum. Namun mereka menganggap

7

hal tersebut sebagai resiko kerja mereka. Biasanya mereka enggan untuk melaporkan
kepada petugas. Mereka memilih untuk menyelesaikan kontrak kerja mereka tanpa
melaporkan kejadian tersebut kepada aparat Kepolisian dan atau Dinas Tenaga Kerja Kab.
Malang. Perlakuan negatif yang mereka alami selama menjadi buruh migran dianggap
sebagai sesuatu yang memalukan harga diri pribadi atau keluarga. Oleh karena itu
pengalaman itu mereka tutup rapat.
Hal ini seperti yang disampaikan oleh seorang responden perempuan mantan buruh
migran :
“Kulo nggih nateh ngalami diapusi kalian konco sing nulung padhos pedamelan dateng
luar negeri. Kulo diapusi teros e ajeng di sukani gaji 4 juta rupiah. Tibane kirang saking
4 juta. Tapi kulo nggih meneng mawon. Dilakoni mawon ngantos kontrak e mantun.
Kulo mboten nglaporaken konco kulo niku. Lha wong niku resiko tiyang padhos damel.
Lintune niku, tinimbang kulo nggih mangke kisinan kaliyan tonggo-tonggo.
Saya juga pernah mengalami ditipu oleh kawan yang membantu cari pekerjaan di luar
negeri (calo tenaga kerja). Saya ditipu mau diberi gaji 4 juta rupiah, Ternyat kurang dari
nilai 4 juta. Tapi saya diam saja. Dijalani saja sampai kontraknya habis. Saya tidak
melaporkan kawan saya itu. Karena itu resiko orang mencari kerja. Selain daripada itu,
daripada saya malu dengan tetangga”6.
Walaupun mereka telah mengalami penipuan dan atau kekerasan selama bekerja di
luar negeri, namun tidak menyurutkan sikap mereka untuk mencari kerja lagi di luar negeri.
Semua pengalaman mereka dianggap sebagai sebuah resiko kerja. Ketika ditanyakan
alasan mereka tidak jera untuk mencari kerja di luar negeri, tidak terlepas dari nilai
budayanya berkaitan dengan peran perempuan dalam ekonomi rumah tangga. Sebagai
seorang perempuan, sudah menjadi kewajibannya untuk ikut membantu suami atau anggota
keluarga lainnya untuk bekerja menopang ekonomi keluarga. Sedangkan bagi perempuan
yang telah berumah tangga, bahwa menjadi buruh migran sebagai wujud sikap berbakti
isteri pada suami dan isteri tidak boleh menjadi beban suami (Permanadeli, 2015: 275).
Terkait dengan fenomena ini, dalam UU PTPPO sebenarnya telah mewajibkan
penyediaan bentuk-bentuk perlindungan dan pelayanan yang berhak diterima tidak saja oleh
saksi, namun juga korban perdagangan orang.

Baik saksi maupun korban tidak saja

diberikan jaminan perlindungan, namun juga didampingi, dipulihkan dan direhabilitasi
kondisinya serta diberikan ganti rugi/restitusi dari pelaku. Alih-alih mereka mendapatkan
perlindungan, karena menjaga kehormatan diri dan keluarga serta beranggapan sebagai
sebuah resiko kerja, biasanya korban tidak melaporkan kepada pihak kepolisian (Jurnal
Perempuan, 2010: 13).

6

Hasil wawancara dengan Nurwahyuti (nama samaran)

8

b.

Peran Birokrat dan Ulama Dalam Melegitimasi Tindak Pidana Perdagangan Orang
Untuk bekerja dan bepergian ke luar negeri, para perempuan buruh migran tidak serta

merta pergi sendiri tanpa melibatkan pihak pengerah jasa tenaga kerja baik yang legal
ataupun illegal. Pengerah tenaga kerja yang menjadi penyalur tenaga kerja biasanya
mencari langsung ke pelosok desa agar dapat merekrut secara langsung.
Penyalur tenaga kerja ilegal (biasa disebut calo), akan melakukan segala cara agar
mendapatkan calon tenaga kerja meskipun tidak memenuhi syarat. Pola yang dipakai oleh
penyalur tenaga kerja yang illegal adalah calo mencari target calon pekerja yang merupakan
lulusan SMP atau SMA dan sebagian besar yang dicari adalah tenaga kerja perempuan.
Kriteria calon tenaga kerja yang akan dipekerjakan di luar negeri tersebut, tidak terlepas dari
ketentuan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undangundang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
di Luar Negeri. Di kedua undang-undang tersebut, diatur tentang usia minimal tenaga kerja
yaitu sekurang-kurangnya 18 tahun.
Modus yang biasa dilakukan oleh para calo untuk mensiasati belum terpenuhinya
persyaratan usia para calon buruh migran biasanya dilakukan dengan cara seakan-akan
calon buruh migran pindah domisili di luar desa. Di tempat yang baru, calon buruh migran
dibuatkan Kartu Susunan Keluarga (KSK) baru atau dimasukkan dalam KSK milik salah
seorang warga. Di lokasi domisili baru tersebut, calon buruh migran akan direkayasa
usianya menjadi memenuhi persyaratan usia seorang tenaga kerja.
Modus rekayasa identifikasi kependudukan ini seperti yang diceritakan oleh seorang
pendamping korban trafficking dari sebuah LSM di Kabupaten Malang. Dalam wawancara,
pendamping tersebut mengatakan :
“biasanya calo itu merekayasa identitas calon buruh migran dengan cara memindahkan
domisili calon buruh tersebut ke desa atau kecamatan lain di luar domisili asal. Di sana
(di tempat yang baru), biasanya akan dimasukkan ke KSK seorang warga dan
dipalsukan usianya menjadi sesuai persyaratan calon tenaga kerja”.7
Rekruitmen calon buruh migran tidak hanya melibatkan peran aparat birokrat di tingkat
Desa/Kecamatan, namun juga peran para pemuka agama. Keterlibatan para pemuka
agama dalam rekruitmen calon buruh tersebut terkait dengan pemberian legitimasi
keagamaan agar calon buruh migran dapat berangkat ke tempat kerja, bekerja dan pulang
ke kampung halamannya dengan selamat. Dalam pelibatan peran pemuka agama ini, calo
pengerah tenaga kerja biasanya memberikan uang kepada keluarga calon buruh untuk
menyelenggarakan kegiatan selamatan dengan mengundang pemuka agama tersebut.
Namun tidak jarang pula calo memberikan uang langsung kepada pemuka agama untuk
7

Hasil wawancara dengan Firman (nama samaran)

9

menyelenggarakan kegiatan doa bersama untuk memberangkatkan calon buruh migran.
Kegiatan doa bersama ini biasanya diadakan untuk memberangkatkan beberapa orang
calon buruh migran secara bersamaan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh seorang
pendamping buruh migran:
“agar tindakan rekruitmen yang dilakukan oleh para calo itu dianggap sah, biasanya
mereka juga melibatkan peran pemuka agama. Pemuka agama diminta untuk
mendoakan para calon buruh migran agar selamat sampai ditempat”8
Pelibatan

birokrat

pemerintahan

Desa/Kecamatan

dalam

rekayasa

identitas

kependudukan belum banyak tersentuh oleh hukum. Walaupun belum banyak kasus
perdagangan diproses sccara hukum dengan menggunakan UU PTPPO, saat ini hukum
hanya menyentuh hingga pelaku saja. Sedangkan pihak-pihak yang terlibat secara tidak
langsung terhadap proses perdagangan orang tidak diproses dengan menggunakan UU
PTPPO. Aparat kepolisian biasanya hanya mengenakan sangkaan terkait dengan
pemalsuan identitas administrasi kependudukan saja (UU No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan).
c.

Kendala Yuridis Dalam Penanganan Kasus Perdagangan Orang
Kendala Yuridis yang dialam dalam penangana kasus perdagangan orang, tidak saja

terjadi pada aspek pengungkapan kasus namun juga terkait dengan pengaturan yang
tertuang dalam setiap pasal di UU PTPPO. Telah diuraikan di atas, aparat kepolisian
kesulitan untuk mengungkap kasus perdagangan orang yang disebabkan karena korban
menganggap peristiwa hukum yang mereka alami hanya sebagai sebuah resiko kerja yang
mereka hadapi. Jikapun melaporkan ke pihak kepolisian, korban beranggapan akan
membuat malu diri pribadi dan keluarga. Sikap malu ini lebih disebabkan karena ketika
mereka akan berangkat bekerja, telah dilakukan selamatan/doa bersama dengan
mengundang tetangga dan kerabatnya. Kejadian yang dialaminya, seperti halnya tdak
mendapat gaji selama bekerja, mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya, bekerja di
bidang yang berbeda dengan yang dijanjikan dan berbagai modus perdagangan orang,
dianggap sebagai peristiwa yang “sial” semata. Peristiwa yang sebenarnya merupakan
kegiatan terorganisir dari pelaku tindak pidana tersebut hanya dianggap korban sebagai
sedang tidak beruntung mendapat pengerah tenaga kerja dan majikan yang tidak tepat.
Tidak mempengaruhi keinginan untuk kembali menjadi buruh migran setelah sesaat pulang
di tempat asal, kecuali jika korban kembali dalam keadaan sakit, cacat atau bahkan
meninggal. Pengungkapan kasus yang mendasarkan pada saksi dan korban ini justru
menunjukkan adanya kelemahan pengaturan dalam UU PTPPO. Undang-undang ini hanya
8

Hasil wawancara dengan Firman (nama samaran)

10

dapat melindungi korban yang melaporkan kasusnya kepada polisi. Padahal tidak mudah
bagi korban untuk melapor, karena adanya faktor psikologis dan kultural yang menjadi
beban korban.
Kesulitan pihak kepolisian untuk mengungkap kasus perdagangan orang ini
diungkapkan oleh seorang responden seorang polisi yang bertugas di Unit Perlindungan
Perempuan dan Anak (PPA) Polres Malang.
“bagaimana kami mau mengungkap kasus itu (perdagangan orang), kalau korban tidak
pernah melaporkan kepada kami”9
Dari aspek pengaturannya, terdapat beberapa kendala yang dialami pihak kepolisian
dalam menangani kasus perdagangan orang yang dialami oleh kelompok perempuan.
Dalam memproses hukum dan menjerat pelaku perdagangan, kepolisian kesulitan untuk
memberi sangkaan sebagai pelaku perdagangan orang. Hal ini disebabkan karena
pemahaman aparat kepolisian terkait dengan perdagangan orang. Dalam Pasal 1 ayat (1)
yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah:
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Dalam pemahamannya, aparat kepolisan beranggapan bahwa pelaku harus terlibat
dalam semua proses perdagangan meliputi: perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang. Perdagangan orang bukanlah
sebuah peristiwa hukum yang dikategorikan sebagai tindak pidana yang tidak hanya
melibatkan 1 (satu) pelaku, namun banyak pelaku. Setiap pelaku memiliki perannya masingmasing mulai perekrutan, pengangkutan, pengiriman dan penerimaan. Dalam memproses
pelaku yang berperan melakukan rekrutmen, kepolisian kesulitan untuk memberikan
sangkaan sebagai pelaku perdagangan orang. Hal ini karena biasanya pelaku berdalih
hanya sebagai orang yang melakukan rekruitmen yang menjanjikan sebuah pekerjaan bagi
calon tenaga kerja. Dalam hal korban tidak dipekerjakan pada jenis pekerjaan yang
dijanjikan, itu diluar pengetahuan orang yang melakukan rekrutmen. Biasanya aparat
kepolisian akan memproses pelaku dengan sangkaan melakukan penipuan yang diatur di
dalam KUHP.

9

Hasil wawancara dengan Ratnawati (nama samaran)

11

Perempuan sebagai korban perdagangan orang biasanya dipekerjakan pada
pekerjaan yang mengeksploitasi secara seksual. Mereka dipekerjakan sebagai seorang
pekerja seks pada tempat-tempat prostitusi. Pada tahap ini, terjadi bias dalam memahami
perempuan sebagai korban dan pelaku. Tidak diperoleh pemahaman yang sama dari aparat
kepolisian dan aparat pemerintah lainnya dalam menetapkan apakah perempuan ini sebagai
korban perdagangan orang ataukah pelaku tindak pidana ringan (tipiring) yang melanggar
norma-norma sosial.
Kasus ini juga pernah terjadi di wilayah Kecamatan Donomulyo dimana ada seorang
perempuan yang dipekerjakan di sebuah tempat prostitusi di Kalimantan. Korban ditipu oleh
seorang calo tenaga kerja dengan dijanjikan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga
di sebuah kota di pulau Kalimantan. Sesampainya di kota tersebut, ia dipekerjakan sebagai
pekerja seks. Ia menetap di lokalisasi itu selama beberapa bulan10. Ketika terjadi razia, ia
mengaku sebagai korban perdagangan orang. Namun aparat pemerintah menganggap ia
sebagai seorang pelaku prostitusi dan bukan korban perdagangan orang. Hal ini karena
aparat tersebut seharusnya korban tersebut segera melaporkan diri ketika merasa dirinya
ditipu atau dijual kepada pihak tertentu. Aparat pemerintah ini tidak memperhitungkan faktor
psikologis korban atau kesulitan korban untuk melarikan diri dari lokalisasi tersebut. Seperti
diketahui kegiatan prostitusi biasanya melibatkan pihak-pihak tertentu untuk menjaga dan
mengamankan kegiatan prostitusinya. Sehingga tidak mudah bagi korban untuk melarikan
diri dan melaporkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang terhadap dirinya.
Dalam UU PTPPO telah diamanatkan bahwa pidana terhadap pelaku perdagangan
orang tidak saja berupa pidana penjara namun juga pidana denda. Hal ini seperti yang
termuat dalam Pasal 2 ayat (1),
Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan
mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pengenaan pidana denda ini jarang diberikan kepada pelaku perdagangan orang.
Hakim biasanya memberikan hukuman pidana penjara. Pemberian hukuman penjara dirasa
bukan merupakan hukuman yang membawa efek jera bagi pelaku. Hal ini karena pelaku
dalam menjalani masa hukumannya akan mendapatkan pengurangan masa hukuman
10

Hasil wawancara dengan Firman (nama samaran) pendamping korban perdagangan orang

12

sebagai akibat pemberian remisi saat kalender nasional dan atau kalender keagamaan (jika
pelaku berkelakuan baik selama di penjara). Pengenaan pidana denda ini sebenarnya dapat
dipergunakan oleh korban selama menjalani masa rehabilitasinya.
Kesimpulan:
Dari hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa kurang efektifnya UU PTPPO
dalam melakukan perlindungan hukum bagi pekerja perempuan, tidak saja disebabkan
karena lemahnya aspek pengaturan dalam pasal, namun juga pada aspek-aspek lain seperti
pemahaman aktor penegak hukum terkait definisi pelaku perdagangan orang. Pelaku
perdagangan orang dipahami sebagai pelaku keseluruhan dari rangkaian proses kegiatan
perdagangan orang ataukah dapat dipahami sebagai salah satu dari rangkaian proses yang
mengakibatkan terjadinya eksploitasi tenaga kerja yang diperdagangkan. Mengingat pelaku
perdagangan orang yang melibatkan banyak pelaku dengan peran masing-masing tanpa
terlibat dalam keseluruhan prosesnya. Diperlukan adanya kesamaan pemahaman dari para
aparat penegak hukum terkait dengan pelaku perdagangan orang.
Dalam pengungkapan kasus perdagangan orang perlu memperhatikan pada aspek
psikologis yang dialami korban untuk melaporkan peristiwa hukum yang dialaminya.
Penanganan kasus perdagangan orang bukan menyangkut sikap kesukarelaan atau sikap
permisif dari korban atas perlakuan perdagangan orang yang dialaminya. Perdagangan
orang harus dipahami sebagai delik biasa berupa tidak kriminal murni yang tidak perlu
menunggu laporan dari korban dalam penindakannya.
Kasus perdagangan orang pada kelompok perempuan memiliki perspektif gender.
Dimana karena keterbatasan akses pendidikan bagi perempuan menyebabkan mereka
rentan menjadi korban perdagangan orang. Diperlukan adanya kesetaraan gender bidang
pendidikan bagi perempuan sebagai salah satu upaya pencegahan tindak pidana
perdagangan orang.
Terjadi bias definisi antara korban dan pelaku pada perdagangan orang. Perempuan
sebagai korban perdagangan orang biasanya dieksploitasi seksual dengan dipekerjakan di
tempat prostitusi. Korban perdagangan orang ditempat prostitusi banyak dianggap sebagai
pelaku kriminal karena dianggap telah melanggar norma-norma sosial.

13

DAFTAR PUSTAKA

Gosita, Arif. 2007. Masalah Korban Kejahatan, Jakarta; Akademik Pressindo.
Irianto, Soelistyowati & Sidharta. 2013. Penelitian Hukum – Konstelasi dan Refleksi,
Sulistyowati Irianto & Sidharta, Jakarta; Yayasan Pustaka Obor.
Mulyanto. 2004. Melacur demi hidup, Fenomena perdagangan anak perempuan di
Palembang, Yogyakarta; Pusat studi kependudukan dan kebijakan UGM dan
Ford Foundation.
Mansur, M. Arief dan Didik, 2007. Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan Antara Norma dan
Realita, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada.
Nuh, Muhammad. 2005. Jejaring anti trafficking, Strategi Penghapusan Perdagangan
Perempuan dan Anak, Yogyakarta; Ford Foundation bekerjasama dengan Pusat
Permanadeli, Risa. 2015. Dadi Wong Wadon – Representasi Sosial Perempuan Jawa Di Era
Modern, Yogyakarta; Pustaka Ifada
US Departement of State. 2016. Annual Trafficking in Person Report 2016.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2008. Hukum dalam Masyarakat, perkembangan dan masalah,
sebuah pengantar ke arah kajian sosiologi hukum, Malang; Bayumedia
Publishing.

JURNAL & LAPORAN :
Jurnal Perempuan, Nomor 68, 2010
Data BPPKB Provinsi Jawa Timur 2013

14