Bab 2 Kajian Literatur - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecamatan N

Bab 2 Kajian Literatur Inovasi Teknologi Pertanian Inovasi merupakan istilah yang telah dipakai secara luas dalam berbagai bidang, baik industri, pemasaran, jasa, termasuk pertanian

  an innovation is an idea Secara sederhana, Adams (1988) menyatakan, or object perceived as new by an individual. Dalam perspektif inovasi adalah suatu pemasaran, Simamora (2003) menyatakan bahwa ide, praktek, atau produk yang dianggap baru oleh individu atau grup yang relevan. Sedangkan Kotler (2003) mengartikan inovasi sebagai barang, jasa, dan ide yang diangap baru oleh seseorang. Definisi yang lebih lengkap disampaikan oleh Van Den Ban dan Hawkins (1996) yang menyatakan: an innovation is an idea, method, or object which is regarded as new by individual, but which is not always the result of recent research.

  Dari beberapa definisi tersebut, inovasi mempunyai tiga komponen, yaitu a) ide atau gagasan,

  b) metode atau praktek c) produk (barang dan jasa). Untuk dapat disebut inovasi, ketiga komponen tersebut harus mempunyai sifat “baru”. Sifat “baru” tersebut tidak selalu berasal dari hasil penelitian mutakhir. Hasil penelitian yang telah lalu pun dapat disebut inovasi, apabila diintroduksikan kepada masyarakat tani yang belum pernah mengenal sebelumnya. Jadi, sifat “baru” pada suatu inovasi harus dilihat dari sudut pandang masyarakat tani (calon adopter), bukan kapan inovasi tersebut dihasilkan. Pada tataran lebih operasional, inovasi yang dihasilkan dapat pemahaman yang berwujud teknologi, kelembagaan, dan kebijakan. Salah satu faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu sendiri. Inovasi harus mempunyai banyak kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada di petani. Untuk itu, inovasi yang ditawarkan ke petani harus inovasi yang tepat guna.

  Menurut Badan Litbang Pertanian dalam Analisis Kebijakan Pertanian, Strategi untuk memilih inovasi yang tepat guna adalah dengan menggunakan kriteria-kritera sebagai berikut: Inovasi Harus Dirasakan sebagai Kebutuhan oleh Petani Kebanyakan

Sudah terlalu sering inovasi-inovasi pertanian yang ditawarkan kepada petani hanya “menggaruk di tempat yang tidak gatal”, karena

  inovasi-inovasi tersebut lebih banyak bersifat daftar keinginan dari pihak luar, bukan daftar kebutuhan masyarakat tani itu sendiri. Kejadian yang mudah untuk ditebak adalah tidak diadopsinya inovasi oleh petani.

  Kalau diharapkan masyarakat (petani) akan menerima (mengadopsi) suatu inovasi, para warga masyarakat harus yakin bahwa inovasi itu memenuhi suatu kebutuhan yang benar-benar dirasakan (Bunch, 2001). Inovasi akan menjadi kebutuhan petani apabila inovasi tersebut dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapi petani.

  Sehingga identifikasi masalah secara benar menjadi sangat penting, paling tidak ada dua alasan (Wahyuni, 2000), yaitu: a) sesuatu yang kita anggap sebagai masalah, belum tentu merupakan masalah yang dihadapi oleh petani,

  b) kalau toh masalah tersebut ternyata benar merupakan masalah petani, belum tentu pemecahannya sesuai dengan kondisi petani.

  Cara menemukan teknologi dengan kriteria ini adalah a. mengidentifikasi masalah petani secara benar, dan

  b. memberikan solusi masalah tersebut dengan inovasi (teknologi) yang tepat. Inovasi harus Memberi Keuntungan Secara Konkrit Bagi Petani Faktor tunggal yang paling menentukan dalam menimbulkan semangat akan suatu program adalah peningkatan pendapatan perorangan yang dapat dicapai dengan teknologi anjuran program (Bunch, 2001). Masih menurut Bunch, teknologi yang pertama kali dianjurkan program biasanya harus dapat meningkatkan penghasilan petani sebesar 50%-150%. Secara lebih tegas Soekartawi (1988) mengatakan bahwa jika memang benar teknologi baru akan memberikan keuntungan yang relatif lebih besar dari nilai yang dihasilkan teknologi lama, maka kecepatan adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat.

  Dari penjelasan tersebut, inovasi (teknologi) yang akan diterapkan harus dijamin akan memberikan keuntungan lebih dibanding inovasi (teknologi) yang sudah ada. Jika hal ini terjadi, niscaya petani akan mempunyai semangat untuk mengadopsi. Untuk menemukan inovasi (teknologi) dengan kriteria ini adalah

  a) Bandingkan teknologi introduksi dengan teknologi yang sudah ada.

  b)

Identifikasi teknologi dengan biaya yang lebih rendah atau teknologi dengan produksi yang lebih tinggi

  Inovasi Harus Mempunyai Kompatibilitas/Keselarasan Beberapa pakar mempunyai pendapat yang berbeda dalam memaknai istilah kompatibilitas. Perbedaan pendapat tersebut menguntungkan, karena justru memberikan makna yang lebih lengkap. Beberapa penjelasan yang berbeda tentang kompatibilitas inovasi (teknologi), dapat diuraikan sebagai berikut:

  Bila teknologi baru merupakan kelanjutan dari teknologi lama yang telah dilaksanakan petani, maka kecepatan proses adopsi inovasi akan berjalan relatif cepat (Soekartawi, 1998). Disini kompatibilitas existing diartikan sebagai kesesuaian antara teknologi lama ( technology) dengan teknologi baru (introduction technology) Setiap petani berusaha untuk meningkatkan penghasilan dari keseluruhan usahataninya, dan bukannya dari satu jenis tanaman atau hewan dengan mengorbankan salah satu yang lainnya. Karenanya, teknologi baru harus sesuai dengan pola pertanian yang ada sehingga dapat masuk dalam pola itu dengan semudah-mudahnya dan dengan keuntungan sebesar-besarnya (Bunch, 2001). Penjelasan ini memberikan pengertian tentang kompatibiltas sebagai kesesuaian antara inovasi (teknologi) dengan pola pertanian. Sebagai contoh, jika petani memanfaatkan daun jagung sebagai pakan ternak sapi, maka introduksi teknologi pengomposan daun jagung akan sulit diadopsi (tidak kompatibel).

Compatibility with socio-culture values and beliefs, with previously introduced ideas or with farmers’ felt needs (Van Den Ban

  1996). Dalam penjelasan tersebut, kompatibilitas and Hawkins, mempunyai keterkaitan dengan nilai sosial budaya, kepercayaan, gagasan yang dikenalkan sebelumnya, dan keperluan yang dirasakan oleh petani.

  Berdasarkan pendapat ketiga pakar tersebut dapat diperoleh penjelasan mengenai kompatibilitas inovasi secara lebih lengkap, yaitu: kesesuaian/keselarasan antara inovasi yang diintroduksikan dengan (a) teknologi yang telah ada sebelumnya, (b) pola pertanian yang berlaku, (c) nilai sosial, budaya, kepercayaan petani, (d) gagasan yang dikenalkan sebelumnya, dan (e) keperluan yang dirasakan oleh petani. Dengan demikian, inovasi yang mempunyai kompatibiltas tinggi terhadap hal-hal tersebut, akan lebih cepat untuk diadopsi.

  Untuk menemukan teknologi dengan kriteria tersebut, adalah (a) melakukan benchmarking terhadap kondisi biofisik, tata nilai existing technology, pola pertanian, (b) sosial-ekonomi-budaya, identifikasi teknologi yang sesuai dengan kondisi benchmarking.

  Inovasi harus dapat mengatasi faktor-faktor pembatas Bunch (2001) mengatakan bahwa kalau suatu inovasi diharapkan meningkatkan produktivitas suatu sistem pertanian setempat, maka dengan satu atau cara lain, inovasi itu harus (dapat) mengatasi faktor-faktor pembatas yang ada dalam sistem itu. Faktor pembatas adalah keadaan atau prasyarat yang paling tidak memadai di suatu wilayah.

  Cara menemukan teknologi dengan kriteria tersebut, adalah a. Mengidentifikasi faktor-faktor pembatas usahatani di lokasi

  Penelitian, dan b.

Mengitroduksikan teknologi yang tepat untuk mengatasi faktor pembatas tersebut

  Inovasi Harus Mendayagunakan Sumberdaya Yang Sudah Ada Teknologi untuk para petani harus menggunakan sumberdaya yang sudah mereka miliki. Kalau sumberdaya dari luar mutlak diperlukan, kita harus memastikan bahwa sumberdaya itu murah, dapat diperoleh secara teratur dengan mudah dari suatu sumber tetap yang dapat diandalkan (Bunch, 2001).

  Untuk memperoleh teknologi dengan kriteria tersebut, dapat dilakukan dengan cara (a) mengidentifikasi sumberdaya lokal yang tersedia, (b) mencari teknologi yang banyak mamanfatkan sumberdaya lokal tersebut. Inovasi Dalam Harus Terjangkau oleh Kemampuan Finansial Petani

  Hasil penelitian Musyafak et al. (2002) menunjukkan bahwa beberapa kendala adopsi adalah (a) inovasi/teknologi dirasa mahal sehingga tidak terjangkau oleh kemampuan finansial petani, (b) orientasi usaha masih sambilan bukan utama, (c) harga komoditas rendah, dan (d) ketersediaan sarana produksi tidak terjamin.

  Dari penjelasan tersebut, kendala adopsi yang datang secara internal dari inovasi itu sendiri adalah inovasi tersebut dirasakan mahal oleh petani. Sedangkan kendala adopsi dari luar inovasi itu sendiri adalah orientasi usaha, pasar, dan ketersediaan sarana pendukung (saprodi, dll). Sebagus apapun teknologi kalau tidak terjangkau oleh kemampuan finansial petani sebagai pengguna, maka akan susah untuk diadopsi. Apalagi kebanyakan petani relatif miskin, maka inovasi yang dirasakan murah akan lebih cepat diadopsi dibanding inovasi yang mahal.

  Cara menemukan teknologi ini adalah (a) mengidentifikasi kemampuan permodalan petani, sumber kredit yang bisa diakses petani, bantuan/pinjaman permodalan melalui program, dan sumber modal lain, (b) evaluasi, apakah teknologi yang diintroduksikan terbiayai oleh petani. Inovasi Harus Sederhana Tidak Rumit dan Mudah Dicoba

  Semakin mudah teknologi baru untuk dapat dipraktekkan, maka makin cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan petani. Oleh karena itu, agar proses adopsi dapat berjalan cepat, maka penyajian inovasi harus lebih sederhana (Sukartawi,1988). Dengan demikian kompleksitas suatu inovasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap percepatan adopsi inovasi.

  Untuk menemukan teknologi dengan kriteria tersebut, dilakukan dengan mengevaluasi apakah teknologi yang diintroduksikan sederhana (tidak rumit), jika memang rumit lakukan peragaan, percontohan, pelatihan secara partisipatif.

  Inovasi Harus Mudah untuk Diamati Ada kalanya petani enggan untuk menanyakan keberhasilan temannya yang telah berhasil menerapkan teknologi. Atau temannya sengaja tidak memberi tahu, karena takut tersaingi. Jika teknologi yang berhasil tadi tidak mudah untuk diamati, maka terjadi kendala dalam penyebaran adopsi inovasi tersebut, akan tetapi jika teknologi tersebut mudah diamati maka banyak petani yang mudah meniru tanpa harus bertanya kepada petani yang bersangkutan. Dengan demikian akan terjadi proses difusi, sehingga jumlah petani yang mengadopsi menjadi lebih banyak. Agar teknologi mudah diamati, maka pada tahap awal dilakukan percontohan atau demonstrasi teknologi yang dilakukan di tempat yang mudah diamati, melakukan kunjungan lapang, diskusikan teknologi yang ada di lapangan secara langsung.

  Delapan kriteria diatas digunakan untuk memilih inovasi yang tepat guna untuk diintroduksikan di lokasi Penelitian. Semakin banyak kriteria-kriteria tersebut yang dipenuhi oleh suatu inovasi, maka semakin besar peluang inovasi tersebut untuk diadopsi oleh petani. Sebaliknya, semakin sedikit kriteria-kriteria tersebut yang dipenuhi oleh suatu inovasi, maka semakin kecil peluang inovasi tersebut untuk diadopsi.

Pembangunan Berkelanjutan

  Dewasa ini, pakar ilmu ekonomi pembangunan mulai menyadari bahwa daerah pedesaan pada umumnya dan sector pertanian pada khususnya ternyata tidak bersifat pasif, tetapi jauh lebih penting dari sekedar penunjang dalam proses pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Keduanya harus ditempatkan pada kedudukan sebenarnya, yakni sebagai unsur atau elemen unggulan yang penting, dinamis, dan bahkan sangat menentukan dalam strategi-strategi pembangunan secara keseluruhan, terutama pada Negara sedang berkembang yang berpedapatan rendah.

  Suatu strategi pembangunan ekonomi yang dilandaskan pada prioritas pertanian dan ketenagakerjaan paling tidak memerlukan tiga 1 unsur pelengkap dasar, yakni :

  1. Percepatan pertumbuhan output melalui serangkaian penyesuaian teknologi, institusional, dan insentif harga yang khusus dirancang untuk meningkatkan produktivitas para petani kecil

  2. Peningkatan permintaan domestik terhadap output pertanian yang dihasilkan dari strategi pembangunan perkotaan yang berorientasikan pada upaya pembinaan ketenagakerjaan

  3. Diversifikasi kegiatan pembangunan daerah pedesaan yang 1 bersifat padat karya, yaitu non pertanian, yang secara langsung

  Bab Sembi lan” Transformasi Pertanian dan Pembangunan Daerah Pedesaan” dalam buku Pembangunan Ekonomi, Michael P Todaro dan tidak langsung akan menunjang dan ditunjang oleh masyarakat pertanian. Pembangunan Nasional secara keseluruhan mengacu pada suatu intisari yang mempunyai skala pada pembangunan sector pertanian dan daerah pedesaan. Pertumbuhan industri tidak akan berjalan dengan lancar, dan kalaupun bisa berjalan, pertumbuhan industri tersebut akan menciptakan berbagai ketimpangan internal yang sangat parah dalam perekonomian bersangkutan. Pada gilirannya, segenap ketimpangan tersebut akan memperparah masalah-masalah kemiskinan, ketimpangan pendapatan, serta pengangguran.

  Penyebab utama dari semakin buruknya kenerja pertanian di Negara-negara Dunia Ketiga adalah terabaikannya sektor yang sangat penting ini dalam perumusan prioritas pembangunan oleh pemerintahan Negara-negara berkembang itu sendiri. Hal ini diperparah dengan gagalnya pelaksanaan investasi dalam perekonomian indrsutri perkotaan, yang terutama disebabkan oleh kesalahan dalam memilih strategi industrialisasi subtistusi impor dan penetapan nilai kurs yang terlalu tinggi. Strategi yang kemudian terbukti tidak sesuai untuk Negara-negara berkembang itu memang sangat berpengaruh karena didengung-dengungkan oleh para teoritisi Barat sebagai strategi yang paling ampuh dan cepat dalam menyulap sebuah perekonomian agraris menjadi perekonomian industry (strategi industrialisasi) berupa subtitusi impor yang sangat popular selama dasawarsa-dasawarsa pertama setelah perang dunia kedua.

  Pertanian Berkelanjutan

  2 Technical advisory committee of the CGIAR

  menjelaskan 2 bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang

  

CGIAR (Concultative Group on International Agricultural Research) adalah lembaga

yang menghimpun belasan organisasi penelitian dunia yang bergerak di bidang

pertanian ( termasuk peternakan dan kehutanan) dan pembangunan berkelanjutan

untuk kepentingan kerjasama, konsultasi, dan koordinasi. Pendanaannya dilakukan

oleh organisasi anggota dan sejumlah negara donor, baik dari negara maju maupun Negara berkembang. untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam. sustainable agriculture) merupakan

  Pertanian berkelanjutan ( implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan ( sustainable development) pada sektor pertanian. Konsep pembangunan berkelanju tan mulai dirumuskan pada akhir tahun 1980’an sebagai respon terhadap strategi pembangunan sebelumnya yang terfokus pada tujuan pertumbuhan ekonomi tinggi yang terbukti telah menimbulkan degradasi kapasitas produksi maupun kualitas lingkungan hidup.

  FAO juga mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai berikut : ……manajemen dan konservasi basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan pertanian berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara sosial (FAO, 1989).

  Menurut Munasinghe (1993) didalam tulisan (Kuswaji 2010), walau banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan, termasuk pertanian berkelanjutan, yang diterima secara luas ialah yang bertumpu pada tiga pilar: ekonomi, sosial, dan ekologi. Dengan perkataan lain, konsep pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi keberlanjutan, yaitu: keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia ( people), planet), atau pilar Triple-P, yang keberlanjutan ekologi alam ( ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 2.1 Segitiga Pilar Pembangunan (Pertanian Berkelanjutan)

  Dimensi secara ekonomi mengandung pengertian bahwa suatu

kegiatan pembangunan harus mampu menghasilkan pertumbuhan

ekonomi, pemeliharaan kapital, penggunaan sumberdaya, serta

investasi secara efisien. Dimensi secara ekologis atau lingkungan alam

berarti bahwa kegiatan tersebut mampu mempertahankan integritas

ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi

sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati ( biodiversity).

Dimensi secara sosial diartikan bahwa pembangunan tersebut dapat

  • – hasil pembangunan, mobilitas sosial, menciptakan pemerataan hasil

    kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat,

    identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Serageldin, 1996

    dalam Dahuri 1998).

  Hal ini sejalan dengan pemikiran A.T.Mosher, yang merujuk

  

pada paradigma modernisasi sebagai salah satu bentuk pembangunan

yang sukses dengan revolusi hijau. Revolusi pertanian didorong oleh

penemuan teknologi dan cara-cara baru dalam bidang pertanian. Teori

Mosher berusaha mengubah sistem pertanian sub sisten menjadi

  

pertanian komersil, dengan meletakkan faktor mutlak pembangunan

pertanian salah satunya pasaran untuk hasil pertanian.

  A.T Mosher didalam (Mubyarto, 1989;235) menganggap teknologi yang senantiasa berubah itu sebagai syarat mutlak adanya pembangunan pertanian. Apabila tidak ada perubahan dalam teknologi maka pembangunan pertanian pun terhenti. Mosher mengartikan teknologi pertanian sebagai cara-cara untuk melakukan pekerjaan usaha tani. Didalamnya termasuk cara-cara bagaimana petani menyebarkan benih, memelihara tanaman dan memungut hasil serta memelihara ternak. Termasuk pula didalamnya teknologi atau metode yang digunakan oleh petani. Teknologi atau metode yang diterapkan dalam bidang pertanian selalu dimaksudkan untuk menaikkan produktivitas, apakah ia produktivitas tanah, modal atau tenaga kerja.

  Mubyarto juga berpendapat bahwa dalam menganalisa peranan teknologi baru dalam pembangunan pertanian, digunakan dua istilah lain yang sebenarnya berbeda namun dapat dianggap sama yaitu perubahan teknik (technical change) dan inovasi (innovation). Istilah perubahan teknik jelas menunjukkan unsur perubahan suatu cara baik dalam produksi maupun dalam distribusi barang-barang dan jasa-jasa yang menjurus kearah perbaikan dan peningkatan produktivitas. Misalnya ada petani yang berhasil mendapatkan hasil yang lebih tinggi daripada rekan-rekannya karena ia menggunakan sistem pengairan yang lebih teratur. Caranya hanya dengan menggenangi sawah dalam kondisi macak-macak dengan maksud memberikan kesempatan tanaman untuk berkembang.Sedangkan inovasi berarti pula suatu penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya, artinya selalu bersifat baru. Sebagai contoh, penyilangan bibit yang unggul, agar bibit lebih kuat di batangnya dan menghasilkan bulir padi yang banyak.

  Dari penjelasan diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa pertanian berkelanjutan ialah suatu cara bertani yang mengintegrasikan secara komprehensif aspek lingkungan hingga sosial ekonomi masyarakat pertanian. Suatu mekanisme bertani yang dapat memenuhi kriteria keuntungan ekonomi, keuntungan sosial bagi keluarga tani dan masyarakat; dan konservasi lingkungan secara berkelanjutan. Dan dalam pelaksanaannya pertanian berkelanjutan identik dengan pertanian organik.

  Hal ini juga sesuai dengan tujuan Kongeragasi Suster-Suster Cinta Kasih Putri-Putri Maria dan Yosef, dimana mereka memiliki visi pemulihan kehidupan dan pemekaraan petani di Purworejo khususnya di Desa Ringgit, dan misi memplopori gerakan pelestarian alam, membudidayakan pertanian berkelanjutan, memperjuangkan 3 kemandirian petani, dan mengkampanyekan pola konsumsi lestari .

Pertanian Organik

  Pada tiga dekade terakhir ini, peningkatan kepedulian konsumen terhadap lingkungan semakin meningkat dan isu pemasaran hijau mulai bergeser dari sekedar nilai tambah menjadi hal yang utama. Meskipun jumlah pembeli produk organik semakin meningkat, namun banyak diantara mereka yang tidak mengerti secara jelas apa pengertian sebenarnya dari istilah organik tersebut. Pada umumnya knsumen cenderung berpikir bahwa produk organik adalah produk yang bagus tidak hanya dari segi kandungan nutrisi namun juga penampilan produknya.

  Pada tahun 1984 pertanian organik mulai muncul di Indonesia. Adiyoga (2002) menjelaskan bahwa status pertanian organik di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup baik, walaupun kontribusinya terhadap produksi total relatif masih kecil (diperkirakan masih < 1%). Semakin 11 banyaknya lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang pertanian organik merupakan suatu indikator dan refleksi meningkatnya tingkat kesadaran akan pentingnya konsumsi sayuran sehat/bersih.

  Hingga saat ini pertanian organik semakin berkembang di 3 berbagai pelosok wilayah di Indonesia. Pertanian organik didasarkan

  

Makna Lestari disini adalah pola konsumsi yang sehat tanpa mengandung bahan

kimia

  • – menurut Sr. Alfonsa Desa Ringgit Purworejo

  

pada siklus dan sistem ekologi kehidupan. Pertanian organik

mengkombinasikan pengetahuan ilmiah mengenai ekologi dan

teknologi modern mengenai praktek pertanian tradisional berdasarkan

proses biologis yang terjadi secara alami. Pertanian organik

memanfaatkan proses alami di dalam lingkungan untuk mendukung

4

produktivitas pertanian, seperti pemanfaatan tanaman legum untuk

mengikat nitrogen ke dalam tanah, memanfaatkan predator untuk

menaggulangi hama, dan rotasi tanaman untuk mengembalikan kondisi

tanah dan mencegah penumpukan hama, yaitu dengan penggunaan

5

mulsa untuk mengendalikan hama dan penyakit, serta pemanfaatan

bahan bahan alami, termasuk pemanfaatan mineral bahan tambang

yang tidak diproses atau diproses seminimal mungkin, sebagai bahan

untuk pupuk, pestisida dan pengkondisian tanah.

  Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suwantoro

(2008) seringkali terdapat berbagai perbedaan praktek pertanian

organik di beberapa wilayah dalam proses budidaya. Berbagai

perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh (1) belum

diterapkannya standarisasi yang ada sehingga masing-masing kelompok

atau pelaku pertanian organik dapat menerapkan standard sendiri; (2)

orientasi pasar, dengan standar yang sudah ditetapkan oleh kelompok

dan apabila bisa meyakinkan pasar bahwa produknya berkualitas dan

layak dihargai lebih maka untuk selanjutnya cukuplah memakai

standar tersebut; (3) para petani kita, dengan adanya revolusi hijau

terbiasa melihat tanaman selalu dalam kondisi hijau. Untuk melakukan

pertanian organik sebagaimana mestinya seringkali belum mempunyai

ketetapan 100 persen sehingga dalam prakteknya masih menggunakan

pupuk kimia sebagai pupuk dasar dan sudah sebisa mungkin

meninggalkan penggunaan petisida kimia. 4 Tanaman legume merupakan jenis tanaman kacang – kacangan (Leguminosae),

berfungsi sebagai tanaman penutup tanah dan pendukung kesuburan tanah melalui

5 fiksasi nitrogen (N2)

Mulsa merupakan suatu material penutup tanaman yang bertujuan untuk menjaga

kelembapan tanah yang berasal dari bahan

  • – bahan alami yang mudah terurai seperti sisa – sisa tanaman seperti jerami dan alang – alang.
Berdasarkan perbedaan asumsi tersebut Suwantoro (2008) juga

menjelaskan system pertanian organik juga terbagi menjadi tiga yaitu

(1) system pertanian organik yaitu proses budidaya yang dilakukan

tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia serta mengembangkan

jenis benih local, serta adanya konversi selama 3 – 4 musim tanam

dengan melihat riwayat penggunaan pupuk dan pestisida kimia sintetis

pada lahan tersebut; (2) system pertanian semi organik, biasanya dalam

proses budidaya masih mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis

dalam jumlah terbatas untuk pupuk dasar maupun pupuk lanjutan dan

sebagian yang lain masih mentoleransi penggunaan pestisida kimia

dalam keadaan khusus; (3) system pertanian konvensional, merupakan

system pertanian yang masih mengandalakan pupuk dan pestisida

kimia sintetis. Pemupukan yang dilakukan belum berimbag

kebanyakan masih menggunakan pupuk urea.

  Dengan melihat paparan diatas mengenai pertanian organik,

secara keseluruhan penelitian ini akan membahas pertanian organik

dengan metode SRI atau biasa disebut System Rice Intensification.

Metode SRI atau SRI Organik ini termasuk system pertanian organik

murni, dikatakan murni karena menggunakan pupuk kompos dan

penanganan hama dengan menggunakan Mol (Mikroorganisme Lokal).

  Pada dasarnya, pemahaman SRI terletak pada proses tanaman padi itu sendiri. Tanaman padi sawah dalam praktek SRI ternyata bukan tanaman air. Dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi membutuhkan cukup air, oleh karenanya tidak dilakukan pengenangan dengan tujuan menyediakan lebih banyak oksigen di dalam tanah sehingga akar tumbuh subur dan besar. Dengan demikian tanaman dapat menyerap nutrisi/makanan sebanyak-banyaknya. Dalam penerapannya, SRI mempunyai 3 landasan yang menjadi dasar dalam praktek SRI, antara lain:

  1. Bagaimana membuat tanaman padi memiliki banyak anakan. Hal ini dilakukan dengan menanam bibit padi muda berumur 7 hari yang masih membawa keeping biji bekal makanannya. Bibit padi ditanam secara dangkal, tunggal atau satu bibit untuk satu titik tanam, berjarak renggang antara titik tanam satu ke titik tanam lainnya diatas 30 cm. menurut narasumber hal ini mengacu pyllochrone dari Katayama yang menunjukkan bahwa model pada hari ke-12 tanaman padi mengeluarkan tunasnya yang pertama yang menjadi sumber 2/3 dari jumlah total anakan, sehingga penanaman bibit padi yang telah berumur sebulan sebagaimana biasa dilakukan saat ini akan merusak atau menghilangkan tumbuhnya tunas awal. Implikasi besar dari upaya ini adalah jumlah bibit padi yang diperlukan akan turun, dari semula 30/50 kg/hektar menjadi hanya 3/5 kg/hektar saja.

  2. Menghilangkan genangan air di sawah, karena sekalipun tanaman padi beradaptasi baik di air, padi bukan tanaman air karena padi tidak dilengkapi snorkel seperti layaknya tanaman air. Dengan adanya genangan air, kebutuhan udara untuk akar akan dipenuhi dari daun dengan mengubah pipa kapiler yang biasa membawa cairan dari akar ke daun menjadi ruang yang lebih besaruntuk membawa udara dari daun ke akar. Implikasinya yaitu fungsi akar tinggal ¼ - ½ nya saja, dan siklus hidup makhluk kecil di tanah sangat terganggu sehingga ketersediaan makanan terputus dan hadirnya makhluk predator juga berkurang atau hilang.

  3. Menggantikan konsep pemupukan dengan konsep melengkapi tanaman dengan bioreaktornya dengan menggunakkan kompos sebagai generator siklus ruang dan mikroorganisme local sebagai generator siklus kehidupan yang akhirnya menjadi siklus nutrisi yang handal. Menurut bapak Mubiar dalam semiloka tentang konsep pemupukan, sudah ditunjukkan dengan 23 musim tanam padi secara berturut-turut tanpa menggunakkan pupuk dan dan bahan kimia buatan apapun bahkan tanaman padi masih mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas produknya dengan sangat berarti dan berkelanjutan. Hal ini hanya bisa dijelaskan dengan rekayasa intensifikasi proses yang menyediakan ruang proses yang lebih kecil sehingga mampu mempercepat proses meningkatkan produktivitas dan proses menjadi lebih selektif sehingga mampu meningkatkan kualitas produk. Penelitian Terdahulu

  Diakui atau tidak kegiatan partisipatif yang telah dilakukan oleh para petani dalam menerapkan metode SRI di beberapa daerah terus berkembang. Terdapat banyak istilah berbeda pula dalam yang digunakan dalam pelaksanaan pertanian padi metode SRI ini, seperti istilah yang digunakan oleh masyarakat Sumatera Barat khususnya di daerah Sawahlunto yaitu “Metode Padi Tanam Sebatang”. Penelitian yang telah dilakukan oleh Rakhmi (2008) menjelaskan bahwa pelaksanaan metode SRI yang dilakukan oleh kelompok tani Binuang Saiyo telah sukses melakukan usahatani padi sawah dengan system SRI. Sebuah penelitian lain mengenai penerapan metode SRI yang dilakukan oleh Richardson (2010) di Jawa Timur menyatakan bahwa metode SRI yang diterapkan mampu menghasilkan panen rata – rata sebesar 7 – 8 ton/ha. Sedangkan biasanya jumlah hasil panen hanya mencapai 3 ton/ha.

  Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Richardson dan Rakhmi, penelitian Putra (2009) pada kelompok tani Lolongkaran budidaya padi yang ditetapkan tidak sepenuhnya sesuai dengan prosedur pelaksanaan metode SRI, namun petani tersebut menyesuaikan dengan kemampuan petani itu sendiri seperti dalam kegiatan penyemaian, penanaman, dan pengaturan jarak tanam. Hal tersebut disebabkan karena petani Lolongkaran belum terbiasa dengan metode SRI tersebut.

Dokumen yang terkait

BAB 1 PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

0 0 5

BAB 2 HUBUNGAN IDENTITAS TERITORIAL DAN RESISTENSI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

0 0 12

BAB 3 METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

0 0 13

BAB 4 IDENTITAS TERITORIAL DI NEGRI HATUNURU - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

1 1 28

BAB 5 IDENTITAS TERITORIAL DAN RESISTENSI MASYARAKAT HATUNURU - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

1 1 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: The High School Students’ Attitude towards Learning English

0 0 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Factors Leadingto Speaking Anxiety and Strategies to Overcome The Anxiety

0 0 47

Bab 1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecamatan Ngo

0 0 8