BAB 4 IDENTITAS TERITORIAL DI NEGRI HATUNURU - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  kemudian disajikan dengan turut mengangkat fenomena-fenomena identitas teritorial di Hatunuru. Bagian ini juga turut mengulas Pulau Seram, Kabupaten SBB, dan Kecamatan Taniwel Timur secara singkat.

  Pulau Seram

  negri Hatunuru, agaknya Sebelum memberi deskripsi tentang terlebih dahulu penulis memberi sedikt gambaran umum tentang Pulau negri Hatunuru berada. Seram yang di dalamnya

  7 Pulau Seram dikenal atau sering disebut Nusa Ina oleh

  Nusa Ina atau Pulau Ibu sendiri tidak masyarakat Maluku. Kosmologi dapat dilepaskan oleh pemahaman dan pemaknaan masyarakat Maluku

  Nusa Apono (Pulau Ambon), Nusa Ama terkhususnya masyarakat (Pulau Haruku), Nusa Iha (Pulau Saparua), dan Nusa Laut tentang asal - gandong muasal masyarakat tersebut, sehingga sering dijumpai kata

  8

  maupun pela antara negri-negri tersebut dan negri-negri di Pulau

  Seram. Pengaruh Kerajaan sebagai mitos integrasi sosial di Pulau Seram menjadi transfer pengetahuan (penuturan lisan) yang kuat, melekat erat dalam memori kolektif masyarakat pulau-pulau tersebut,

  9 Nunusaku

  7 8 Nusa Ina adalah nama lain dari Pulau Ibu

Baik gandong dan pela memiliki makna tentang kekerabatan atau hubungan sosial

yang dilatar belakangi oleh peristiwa sosial budaya, sehingga sejarah ini kemudian

9 diwariskan lintas generasi.

  

Nunusaku merupakan mitos yang berkembang sampai pada saat ini terkait dengan

asal-muasal masyarakat Maluku mula-mula. Kata Nunu sendiri diartikan sebagai pohon IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  bahwa Pulau Seram adalah sebagai tanah pusaka. Sebagaimana dalam

  10

  kapata berbunyi; sebuah

  

“ Nunu e Nunu e, Nusaku Nusa Ina. Suru Siwa Lima o, Lau

Latane Samasuru ” (Oh beringin pelindung Nusa Ina ,

pata siwa pata lima

meneruskan dan terbagi-bagi ke pesisir

pantai).

  kapata di atas, maka dapat ditemukan kesan Berdasar pada logis terkait masyarakat di Pulau Ambon dan sekitanya adalah kelompok yang mendiami wilayah pesisir Pulau Seram pada mula- mula. Penulis mengambil salah satu contoh dari luar negri Hatunuru negri Hukurila. Masyarakat Hukurila ketika mendiami wilayah yaitu, pesisir Pulau Seram, mereka sebelumnya turun dari wilayah pegunungan Seram Bagian Barat yaitu, Hukuanakota. Kelompok Hukurila saat itu kemudian mendiami wilayah pesisir yang sekarang negri Tihulale. Pengalaman historis dikenal dengan nama Tihulale atau ini kemudian memberi suatu hubungan kekeluargaan antara Hukurila (di Pulau Ambon), Hukuanakota (Kecamatan Inamosol, Kabupaten SBB), dan Tihulale (Kecamatan Amalatu, Kabupaten SBB).

  Pulau Seram didiami oleh suku Alifuru, suku Alifuru ini kemudian terbagi menjadi suku Pata Alone Halune atau dikenal Pata Wemale Mamale atau dikenal sebagai sebagai suku Alune, dan suku Wemale. Perbedaan menonjol dari dua suku ini melalui tradisi adalah, Alune melakukan perayaan adat ketika kelahiran anak, sementara Wemale melakukan ritual adat apabila menstruasi. Di

  11

  12 Hatunuru dikenal sebagai kase kaluar anak dan halawane .

  Pulau Seram juga memiliki tiga batang air/tiga sungai yang Kwele Batai Telu (Tiga Batang Air) yaitu, Tala Batai disebut sebagai 10 (sungai Tala), Eti Batai (sungai Eti), dan Sapalewa Batai (sungai

  

Kapata merupakan penuturan lisan melalui syair maupun lagu yang sering menghiasi

11 pagelaran adat atau ritual-ritual pada masyarakat tradisional di Maluku

Kase kaluar anak atau mengeluarkan anak bukan dalam arti mengeluarkan dari

dalam rahim ibu, tetapi lebih kepada mengeluarkan anak dari dalam rumah agar

masyarakat mengenal anak tersebut, dilakukan biasanya setelah satu minggu atau

bahkan satu bulan. Hal ini merupakan tradisi suku Alune yang kemudian diadopsi juga

12 oleh suku Wemale

Halawane merupakan upacara kedewasaan. Bagi seorang gadis, apabila menstruasi

  Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  Sapalewa). Pada zaman dahulu, ketiga sungai tersebut menjadi media migrasi leluhur dari wilayah pegunungan ke wilayah pesisir. 2 Pulau Seram memiliki luas, 18.652 km sekaligus menjadi pulau terbesar dan terluas di Provinsi Maluku. Secara geografis, Pulau Seram terletak di sebelah utara Pulau Ambon. Secara administratif, Pulau Seram memiliki tiga Kabupaten yaitu, Kabupaten Maluku Tengah yang beribu kota di Masohi, Kabupaten Seram Bagian Barat yang beribu kota di Piru, dan Kabupaten Seram Bagian Timur yang beribu kota di Bula. Pulau Seram berada pada garis wallacea, dan memiliki fauna endemik juga spesies yang khas dengan ekoregion Asia dan Australia. Hampir seperlima dari hutan di Pulau Seram telah terdegradasi meliputi sepanjang kawasan pesisir utara, tetapi sebagian hutan masih tetap 13 utuh. Pulau Seram memiliki iklim hutan hujan tropis . Berikut adalah peta Pulau Seram.

  Sumber : Google Image

Gambar 4.1. Peta Pulau Seram

  

Sekilas Mengenai Kabupaten SBB dan Kecamatan Taniwel

Timur

  Kabupaten SBB memiliki 11 kecamatan yang terdiri dari; kecamatan Kairatu, Kairatu Barat, Ina Mosol, Amalatu, Elpaputih, 13 Huamual, Huamual belakang, Kepulauan Manipa, Taniwel, Seram

   IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  Barat, dan Taniwel Timur. Dengan luas kabupaten mencapai 6.498,40 2 km . Sebagian besar wilayah kecamatan di Kabupaten SBB terletak pada wilayah pesisir. Selain itu, produksi unggulan di SBB ialah ubi kayu, yang tercatat pada tahun 2015 memiliki luas lahan mencapai 10.209ha, dan produksinya meningkat sampai pada jumlah 185.250 ton.

  Berdasarkan data yang diperoleh melalui BPS Kabupaten SBB tahun 2015, jumlah penduduk Kabupaten SBB mencapai 180.256 jiwa yang terdiri atas 92.187 jiwa laki-laki, dan 88.069 jiwa perempuan. Dalam rangka menggambarkan wilayah Kabupaten SBB, berikut lampiran peta Kabupaten SBB.

  Sumber : BPS Kabupaten SBB, 2015

Gambar 4.2. Peta Kabupaten SBB

  Kecamatan Taniwel Timur terletak pada wilayah pesisir atau negri-negri di Taniwel Timur berada pada wilayah pesisir, seluruh negri-negri yang berada di Kecamatan Taniwel Timur terdiri dari; negri Sohuwe, Maloang, Lumahlatal, Hatunuru, Matapa, Sekasale, Makububui, Sukaraja, Lumahpelu. Uwen Pantai, Tounusa, Musihuwei, Solea, Waraloin, dan Walakone. Luas wilayah Taniwel Timur 2 mencapai, 733.80 km . Sedangkan angka kepadatan penduduk sampai pada tahun 2015 di Kecamatan Taniwel Timur dapat dilihat pada lampiran gambar di bawah ini.

  Identitas Teritorial di Negri Hatunuru Sumber: BPS Kecamatan Taniwel Timur, 2015

Gambar 4.3. Jumlah Penduduk Kecamatan Taniwel Timur

  Gambaran Umum Negri Hatunuru Sumber : Citra Satelit, oleh Greogurius Anung

Gambar 4.4. Peta Letak Hatunuru

  Negri Hatunuru secara administratif berada pada Kecamatan Taniwel Timur, Kabupaten SBB, Provinsi Maluku. Hatunuru terletak pada wilayah pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut Seram di sebelah utara, negri Matapa di sebelah timur, hutan di sebelah selatan, negri Lumahlatal di sebelah barat. Hatunuru dihuni oleh 317 jiwa dan dengan kalkulasi, 154 jiwa laki-laki dan 163 jiwa perempuan dari total 81 kepala keluarga. Ketika melakukan kalkulasi menggunakan citra IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru 2

  luas wilayah Hatunuru mencapai 1.71 m , sementara luas petuanan di Hatunuru yang diklaim oleh masyarakat Hatunuru mencapai 2000ha. Selain itu, kondisi topografis di Hatunuru adalah tanah berpasir yang digunakan sebagai area pemukiman, sementara area sumber nafkah terdapat di dalam hutan. Berikut letak Hatunuru yang diperoleh melalui citra satelit.

Hatunuru Secara Etimologi

  Hatunuru secara etimologi terdiri atas dua kata yakni, hatu dan nuru. Kata hatu sendiri dalam bahasa kesukuan merupakan penyebutan lain dari kata batu dan atau hatu diartikan sebagai batu. Kemudian kata nuru sendiri memiliki arti ganda yaitu, berburu (kata kerja) dan kelompok (kata benda). Jika kata hatu dan nuru dipadukan maka hatu dan nuru dimaknai sebagai “batu yang keras” oleh masyarakat Hatunuru sendiri. Batu yang keras sebagai hasil pemaknaan etimologi ini memberi kesan bahwa masyarakat Hatunuru merupakan salah satu dari sekian kelompok yang berpegang pada prinsip, dan memiliki perwatakan keras atau bersifat teguh pendirian, tidak ingin diatur oleh pihak eksogen.

  Berdasar pada pemaknaan kata batu maka secara semiotika di Hatunuru, maka batu sebagai tanda atau simbol mengarahkan masyarakat Hatunuru kepada pengenalan akan identitas, pengenalan akan teritorial, relasi atau kekerabatan yang bertahan lama, dan tanda perjanjian. Pertama, identitas hadir melalui pemaknaan kolektif berdasar pada hegemoni politik di masa lampau seputar ekspansi wilayah. Keadaan ini mendorong masyarakat Hatunuru untuk terus berperang demi menduduki wilayah baru. Identitas sebagai pemaknaan simbolik terhadap batu termanifestasi melalui tradisi perang kelompok Hatunuru yang selalu melakukan arak-arakan dengan mengangkat batu yang besar sebelum dan sesudah perang. Dengan demikian, ada kesan kekuasaan mencitrai identitas di Hatunuru melalui simbol batu yaitu, 14 masyarakat Hatunuru yang disegani dan ditakuti oleh musuh .

  Identitas Teritorial di Negri Hatunuru Kedua, sebagai teritorial adalah melalui ekspansi di masa lampau.

  Apabila wilayah musuh telah direbut atau dikuasai maka batu dijadikan sebagai penanda wilayah. Keadaan di masa lampau ini memberikan dampak pada luasnya petuanan masyarakat Hatunuru kontemporer yang kemudian dibagikan kepada beberap negri untuk 15 dijadikan sebagai wilayah pemukiman . Hal ini lebih dikenal sebagai tradisi sejarah heka leka atau membunuh untuk hidup baru. Dengan kata lain, membunuh untuk hidup baru erat kaitaanya dengan memusnahkan musuh untuk merebut wilayah atau teritorial musuh yang dianggap memiliki banyak SDA untuk digunakan.

  Ketiga, kekerabatan yang bertahan lama adalah esensi dua suku yang membentuk satu komunitas yaitu, Hatunuru. Berdasar pada penuturan lisan beberapa tokoh adat, suku Wemale dan Alune telah hidup berdampingan di Hatunuru sejak masa dahulu kala, dan kekerabatan itu tetap terpelihara hingga saat ini. Fenomena langkah ini memang jarang ditemukan, pasalnya dua suku ini merupakan rival perang pada zaman dahulu, sebagaimana terjadi di wilayah pegunungan antara Sumit sebagai suku Wemale dan Hukuanakota sebagai suku Alune. Keadaan ini kemudian membentuk makna nuru yaitu kelompok dan berburu. Dengan kata lain, kelompok berburu atau nomaden ini dipertemukan dan mengangkat janji melalui ritual minum darah agar ada ikatan keluarga yang baru. Dengan demikian, simbol batu membentuk modal sosial sebagai kepercayaan antara dua suku 16 yang dipersatukan .

  Keempat, tanda perjanjian lebih menonjolkan sisi religio masyarakat Hatunuru melalui persembahan hasil-hasil pertanian

  17

  maupun perburuan kepada sang Upu Lanite melalui batu. Maksudnya ialah, hasil-hasil pertanian itu diletakan di atas batu dan dipersembahkan. Hal ini dilakukan agar mereka bisa memenagkan 18 15 peperangan . 16 Berdasarkan penuturan lisan IM, pada tanggal 20 Mei 2015 17 Berdasarkan penuturan lisan MR, pada tanggal 30 Mei 2015 Upu Lanite diartikan sebagai Tuhan, atau tuan yang berada di atas langit

  IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  Proses inisiasi maupun integrasi dua suku tersebut tidak diceritakan secara terperinci oleh para tokoh adat setempat, karena ingatan mereka telah termakan usia. Namun, menurut mereka sebagai informan, bersatunya dua suku ini adalah karena kehidupan yang berpindah-pindah, dan dipertemukan oleh takdir kemudian diasosiasikan secara simbolik melalui pemaknaan tradisional terhadap batu. Sehingga sampai saat ini, esensi “batu yang keras” adalah semboyan mereka sebagai masyarakat yang memiliki kekhasan.

Struktur Pemerintahan Negri Hatunuru

  Pemerintahan desa yang membasiskan budaya lokal memang menjadi khas negri-negri di Maluku sampai pada saat ini. Hal tersebut telah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang pengaturan budaya lokal dalam sistem pemerintahan desa. PERDA Provinsi Maluku Nomor 7 Tahun 2011 juga telah mengatur tentang penguatan kapasitas kelembagaan negri. Dengan demikian, pemerintah negri- negri di Maluku sejatinya berdasar pada kedaulatan raja sebagai pimpinan tertinggi. Berdasar pada hal-hal yang telah disebutkan, maka dalam sistem pemerintahan di Hatunuru dapat digambarkan pada gambar di bawah ini.

  BPD Raja Sekretaris Negri

  Soa Alune Soa Wemale Marinyo

  Masyarakat Adat Hatunuru Negri

Gambar 4.5. Struktur Pemerintahan Hatunuru

  Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  Strukur pemerintahan di Hatunuru memberi tanggung jawab penuh terhadap BPD sebagai institusi yang memilih calon raja berdasar pada kriteria yang ditetapkan oleh BPD sendiri, dan hal ini dijalankan

  19

  secara demokratis dengan turut menghadirkan kepala-kepala soa

  20

  mata rumah untuk menentukan calon dari setiap nya. Peran BPD 21 sendiri menggantikan peran “Tiga Batu Tungku” (selanjutnya disingkat TBT) sebagai pengambil keputusan tertinggi di Hatunuru.

  Sementara posisi raja adalah sebagai pimpinan tertinggi di Hatunuru. Dalam menjalankan tugasnya, raja dibantu oleh sekertaris negri. soa

  Sementara dalam struktur soa, masyarakat Hatunuru memiliki dua yaitu , soa Alune dan soa Wemale, fungsi soa ini adalah mengatur hak- haknya atas tanah berdasar pada hak-hak kepemilikan tiap-tiap mata rumah. Kemudian marinyo bertugas sebagai pesuruh raja, dalam hal penyampaian informasi kepada masyarakat Hatunuru. Dalam pemilihan raja, pemilihan ini sendiri berjalan demokratis sebagaimana lazimnya di negri, dan satu

  Indonesia. Hatunuru memiliki satu buah gedung balai buah gedung baileo. Balai negri sendiri difungsikan sebagai tempat berlangsungnya pertemuan antara raja dan masyarakat, sementara baileo sendiri memiliki fungsi sebagai tempat dilangsungkannya upacara adat.

  Pendidikan di Hatunuru

  Rata-rata tingkat lulusan dalam hal pendidikan di Hatunuru mencapai 50% lulusan SD, dan 50% lulusan SMP sampai dengan Perguruan Tinggi. Berdasarkan RENSTRA GPM Jemaat Hatunuru- Matapa, tingkat pendidikan di Hatunuru dapat dilihat dalam tabel di 19 bawah ini.

  

Soa merupakan satu persekutuan genealogis (lihat Effendi, 1987, dalam Pelupessy, 20 2012). Dengan kata lain, soa dapat diartikan sebagai suku

Mata rumah memiliki arti sebagai satu persekutuan genealogis sesudah keluarga

(lihat Effendi, 1987 dalam Pelupessy, 2012). Mata rumah dapat dikatakan juga sebagai 21 klan

Di Maluku, Keanggotaan TBT sangat variatif, misalnya dalam negri yang dominan

agama Kristen memberlakukan TBT yang terdiri dari; pemerintah negri, staf dewan IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

Tabel 4.1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Hatunuru dalam Angka

  

61 lulusan 34 lulusan 42 lulusan 3 lulusan 6 lulusan

Sumber : RENSTRA Jemaat Hatunuru-Matapa, 2015

  Fasilitas pendidikan di Hatunuru hanya terdiri dari satu buah gedung SD yaitu, SD Inpres Hatunuru, yang memiliki jumlah siswa/i yang berasal dari Hatunuru sebanyak 71 siswa/i, beserta tenaga pendidik di SD tersebut yang berjumlah 8 tenaga pendidik, ditambah pula 1 kepala sekolah. Ketika dikalkulasikan berdasar pada RENSTRA, jumlah siswa/i yang saat ini tengah bersekolah di SD Inpres Hatunuru berjumlah, 142 siswa/i. Berikut adalah gambar SD Inpres Hatunuru.

  Sumber : Dok. Penelitian, 2015

Gambar 4.6. SD Inpres Hatunuru

  Pada jenjang pendidikan SMP dan SMA, jumlah siswa/i saat ini mecapai 30 siswa/i (SMP) dan 28 siswa/i (SMA). Untuk menuju lokasi SMP dan SMA, para siswa ini harus menempuh perjalanan kurang lebih 1km ke gedung sekolah yang berada di negri Sekasale. Mereka (para siswa SMP dan SMA) biasanya menggunakan sepeda motor ataupun berjalan kaki ke sekolah tersebut. Sementara, pada jenjang Perguruan Tinggi saat ini ada 5 mahasiswa dari Hatunuru yang sedang melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Pulau Ambon. Untuk tiba di Pulau Ambon, biasanya menempuh perjalan kurang lebih 5 sampai 6 jam, 3 jam melalui perjalanan darat yaitu, Hatunuru ke dermaga feri yang berada di negri Waipirit, dan 3 jam sisanya adalah menggunakan jalur laut.

  Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

Jemaat Hatunuru-Matapa

  Totalitas masyarakat Hatunuru merupakan pemeluk agama Kristen Protestan. Masyarakat Hatunuru adalah anggota GPM Klassis Taniwel. Dalam sejarah pelayanan GPM sejak tahun 50an, Hatunuru telah disatukan dengan Matapa sebagai satu jemaat yaitu, Jemaat Hatunuru-Matapa. Secara administratif, Hatunuru dan Matapa memiliki pemerintahan masing-masing, tetapi dalam satu jemaat, Hatunuru dan Matapa saat ini dikepalai oleh Pendeta Roland Latuputty sebagai ketua majelis jemaat setempat. Satu-satunya gedung gereja di Hatunuru adalah gereja Imanuel.

Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan di Hatunuru

  Fasilitas kesehatan di Hatunuru diwakili oleh satu buah gedung POLINDES yang di dalamnya hanya terdiri satu tenaga medis yang sebenarnya adalah bidan. Tenaga medis merangkap bidan ini sendiri sangat membantu proses persalinan, tetapi juga sangat membantu dalam hal pengobatan atau memberi obat kepada masyarakat untuk dikonsumsi ketika sakit. Selain itu, untuk melakukan pemeriksaan kesehatan, masyarakat Hatunuru juga sering bepergian ke Kota Piru maupun Kota Ambon.

  Berdasar pada pengetahuan lokal masyarakat Hatunuru sering menggunakan obat-obatan herbal untuk menyembuhkan penyakit.

Salah satu pengobatan yang sangat terkenal di wilayah Taniwel Timur adalah “kase kaluar darah mati” atau mengeluarkan gumpalan darah

  Venous Thromboebolism). Cara ini dilakukan yang telah membeku ( dengan menghadirkan pawang. Setelah itu, pawang ini menggosokan lidahnya pada daun yang memiliki sudut tajam, sehingga darah yang keluar dari lidah pawang itu dipercaya adalah darah si penderita yang sedang diobati. Selain itu, banyak juga pengetahuan lokal yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit semacam malaria, sakit gigi, diare, masuk angin, dan lainnya dengan menggunakan tanaman seperti kelapa, kakao, kayu putih, dan lainnya. IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  Lingkungan di Hatunuru atau pemukiman Hatunuru sangatlah asri dan bersih. Untuk sekedar mencuci perabotan rumah tangga dan pakaian, mereka biasa melakukannya di sekitar lingkungan rumah mereka, bukan di sungai. Fasilitas seperti air bersih dan MCK telah mendapat perhatian Pemerintah Kabupaten SBB melalui pembangunan air keran yang bersumber dari mata air pegunungan, dan juga MCK di setiap perumahan masyarakat Hatunuru.

  Sumber : Dok. Penelitian, 2015

Gambar 4.7. POLINDES dan Air Keran

  Hutan Sebagai “Dapur”

Hutan sebagai “dapur” dalam pemaknaan kosmologi masyarakat

  Hatunuru, adalah hutan dipandang sebagai sumber nafkah yang membentuk identitas teritorial. Berbicara tentang identitas teritorial sebagai hasil konstruksi hutan sendiri, maka tidak dilepaskan dari pandangan bahwa hutan merupakan modal teritorial. Istilah modal teritorial sendiri penulis kutip dari pandangan Camagni (2008) terkait modal yang berwujud dan modal yang tidak berwujud. Di Hatunuru, modal yang berwujud adalah hutan yang dipandang dalam bentuk material sebagaimana, hutan adalah modal alam dan hutan merupakan modal fisik kemudian mampu menghasilkan modal finansial, sementara dalam pengertian modal tidak berwujud maka hutan

  Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  manusia, juga manusia dan alam. Berikut adalah penggalan wawancara yang menunjukan hutan adalah modal teritorial di Hatunuru.

  

Hutan itu katong pung dapor, ketika katong pi pagi, sorenya

katong pulang deng sumber makanan par katong makan

(Hutan merupakan dapur kami.Ketika kami pergi pada pagi

hari, sorenya kami kembali dengan sumber makanan untuk

dikonsumsi). (IL, 20 Mei, 2015)

Hutan itu akang sama deng dapor. Mangapa setiap rumah ada

dapor? karena dapor itu warisan yang musti katong jaga

(Hutan sama halnya dengan dapur. Mengapa setiap rumah

memiliki dapur? Karena dapur merupakan warisan yang

harus kita jaga).(GM, 24 Mei 2015)

  Pemaparan empirik di atas menunjukan bahwa fungsi hutan bagi masyarakat Hatunuru adalah sebagai sumber nafkah. Secara fungsional, hutan memang sebagai modal ekonomi di Hatunuru, tetapi hutan juga memiliki muatan-muatan sebagaimana warisan maupun institusi yang harus dipelihara dan memiliki aturan main dalam pemanfaatannya. Hutan sebagai “dapur” memang memberi tujuan yang sama yaitu, keberlanjutan. Dan keberlanjutan sendiri mampu memahami aspek relasional maupun dependensi, juga religio-kosmis. Dengan demikian, hal-hal tersebut menjadi satu kesatuan melalui kosmologi hutan sebagai “dapur” atau sebagai modal teritorial.

Gambar 4.8. Kosmologi Hutan Sebagai Modal Teritorial

  

Hutan

sebagai

"dapur"

(Modal

  

Material)

Modal sosial Religio-kosmis

  Modal manusia Kelembagaan IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  Pertama, sebagai modal sosial, hutan memberi jaminan bagi terbentuknya kepercayaan antar petani hutan bukan saja di Hatunuru tetapi juga dengan petani negri lain. Para petani di Hatunuru membuka peluang bagi pemanfaatan hutan secara positif kepada petani lain di luar masyarakat Hatunuru untuk mengelola hutan. Memang dibenarkan bahwa lapangan pekerjaan dalam skala tradisional diberlakukan kepada para petani hutan yang memiliki ikatan ipar-ipar atau basudara (saudara- kekerabatan atau biasa disebut negri lain. Hal ini kemudian memberi sebuah saudara) dari pemahaman bahwa hutan membentuk modal sosial melalui kosmologi “dapur”. Sebagaimana salah seorang informan mengatakan berikut;

  

Hutan memang katong pung, tapi kalo ada orang yang butuh

karja di hutan ya katong kase biar to. Akang sama deng

dapor, kalo orang mau mamasa di katong dapor maka katong

kase tinggal to. Yang penting jang dapor badaki (Hutan

memang milik kami, apabila ada orang yang butuh pekerjaan

di hutan kami maka kami biarkan. Hal ini sama saja dengan

“dapur”, kalau orang hendak menggunakan “dapur” kami

untuk memasak maka akan kami biarakan. Yang penting

jangan dikotori/dirusaki) (PS, 20 Mei 2015)

  Berdasar pada penggalan wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa modal sosial terbentuk dalam kosmologi hutan sebagai “dapur”, membangun jejaring antar masyarakat, dan juga kepercayaan, berdasar pada norma-norma terkait hutan jangan dirusaki atau dikotori.

  Kedua, religio-kosmis membentuk perilaku masyarakat Hatunuru yang beretika. Etika ini tidak lain mengutamakan hubungan manusia dengan alam atau bagaimana manusia di Hatunuru memandang alam dalam dua kepercayaan yaitu, kesukuan dan Kristen. Secara suku, religio-kosmis berangkat pada memori kolektif melalui

  22

  kakehang maupun tangkoleh hasil penuturan lisan tentang yang sangat mengutamakan budaya melalui sejarah ritus di hutan oleh para leluhur. Memang dewasa ini, ritus-ritus tersebut sudah tidak lagi dipraktekan, tetapi masih membelenggu kepercayaan masyarakat Hatunuru bahwa hutan memiliki superioritas yang transenden atau kekuatan suprakultural yang tidak terlihat. Hal ini menyebabkan tidak 22 sedikit masyarakat Hatunuru tetap menganggap hutan sebagai suatu

  

Baik kakehang dan tangkoleh memiliki arti yang sama yaitu merupakan ritual yang

  Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  tempat yang sakral. Berbicara mengenai kesakralan, adalah penting menggunakan pandangan Freud juga Durkheim dalam memandang tipologi masyarakat religio. Sebagaimana Freud melihat alam bawah sadar kepribadian dan aspek dorongan biologis membentuk perilaku manusia, maka Durkheim lebih memilih menggunakan dimensi sosial melalui interaksi dan kemasyarakatan (dalam Pals, 2011)

  Berdasar pada dua pandangan tersebut dan temuan empirik terkait kosmologi maka dapat dilihat bahwa pola hidup masyarakat Hatunuru dalam memaknai hutan berdasar pada tiga hal yang membangun kepercayaan lokal yaitu, religio-kosmis hadir sebagai warisan sosial maupun keluarga, religio-kosmis hadir melalui keyakinan akan agama, dan religio-kosmis hadir melalui alam perasaan dan alam pikiran. Sehingga identitas yang terbentuk berdasar pada pandangan Valegga (2011 dalam Pollice, 2003) yaitu realitas teritorial, representasi realitas, dan penjelasan realitas berdasar pada pandangan hutan sebagai simbol (semiotika). Realitas wilayah hadir dalam kenyataan bahwa masyarakat Hatunuru sangat bergantung pada hutan. Representasi realitas hadir melalui cara pandang masyarakat Hatunuru terhadap hutan dalam keterkaitannya dengan religio-kosmis. Kemudian penjelasan realitas adalah bagaimana hutan dimaknai dalam pandangan teologi pemberdayaan sebagai sumber daya lokal bersifat material yang mampu memberi keberlanjutan ekonomi berdasar pada dua pandangan masyarakat Hatunuru yang bersifat sakral maupun profan yaitu, hutan adalah berkat dan hutan dapat mendatangkan 23 bencana .

  Ketiga, hutan memberi jaminan bagi terbentuknya identitas teritorial bermuatan pertanian monokultur berdasar pada hutan sebagai media yang membentuk modal manusia. Memang pada skala ekonomi makro, modal manusia berperan signifikan dalam kelas SDM sebagai kelas pekerja, disertai dengan keterampilan dan inovasi, mampu menghasilkan biaya berdasar pada usaha yang memiliki kualitas dan kuantitas (lihat Hall et al, 2003; Davenport, 1998).

  Berdasarkan temuan empirik di Hatunuru, SDM memang sangat berfokus pada pengelolaan komoditi sagu sebagai arena keberlanjutan ekonomi maupun mampu menghasilkan modal material sebagai modal finansial yaitu, uang. Namun, skala pertanian di Hatunuru dirasakan belum mampu mendorong Hatunuru sebagai IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  wilayah yang lebih kompetitif karena modal manusia agaknya terimperialisme dalam budaya yang lebih masif yaitu, prioritas sagu lebih mendominasi perekonomian lokal, padahal SDA mumpuni lain mampu mendorong Hatunuru untuk bersaing sebagai wilayah yang dapat menerapkan industri lokal sebagaimana kelapa, kakao, kayu putih, dan lain-lain. Lemahnya modal intelektual di Hatunuru, adalah hadir melalui kesadaran akan pendidikan yang sangat minim. Dengan demikian, kosmologi hutan sebagai “dapur” hanya memberi jaminan kepada keterampilan masyarakat Hatunuru dalam memberdayakan sagu maupun umbi-umbian sebagai penunjang ekonomi rumah tangga (modal manusia).

  Keempat, hutan dipandang sebagai kelembagaan yang berdasar pada aturan tentang tata kelola hutan secara lokal, dan di dalamnya terkandung norma-norma (bandingkan dengan teori kelembagaan North, 1990). Dalam pemaknaan hutan sebagai kelembagaan, masyarakat Hatunuru memiliki ruang-ruang tradisional sebagaimana sasi adat maupun hak-hak kepemilikan berdasar pada soa untuk mengatur secara mandiri wilayah pertanian di hutan secara terpadu maupun subsisten. Dengan demikian, dalam pola pertanian di Hatunuru terbentuklah pertanian berdasar pada solidaritas, pertanian yang monokultur dan pertanian yang lebih religio-kosmis. Hal-hal tersebut memberi kesan bahwa hutan yang memiliki aturan main mampu mewujudkan kekuasaan, solidaritas, maupun etika, dan hal tersebut merupakan identitas teritorial (bandingkan dengan teori identitas teritorial Pollice, 2003).

  Dengan demikian, ada tiga hal menonjol yang menunjukan hutan dalam pandangan kosmologi yaitu, relasi, institusi, dan dependensi. Keempat hal ini terbentuk dalam pemaknaan hutan sebagai “dapur”. Relasi membuka peluang bagi hubungan yang harmonis antara hutan dan manusia, juga manusia dan manusia sebagai hubungan sosial ( relational capital), sementara institusi lebih memfokuskan hutan sebagai milik masyarakat Hatunuru tetapi ada regulasi yang dibuat agar masyarakat lain juga dapat menikmati hutan itu melalui pariwisata Tapala secara gratis maupun menikmati hasil- hasil pertanian, namun harus menghargai aturan masyarakat Hatunuru. Kemudian dari segi dependensi, masyarakat Hatunuru menggantungkan diri kepada hutan sebagai sumber nafkah.

  Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

Potret Petani Hutan Wilayah Pesisir

  Masyarakat Hatunuru bertipikal petani hutan yang mampu membuka ruang-ruang perjumpaan antara hutan dan manusia baik dalam hubungan relasional maupun religius, dan hal ini memang menjadi esensi identitas regional itu sendiri terkait hubungan yang saling melengkapi sebagai ruang hidup. Identitas teritorial yang terwujud melalui pemaknaan ini, adalah terbentuk oleh dua hal yaitu, warisan secara material dan warisan secara kultural. Secara material, hutan adalah warisan itu sendiri, sementara secara kultural terbagi lagi yaitu, pertanian yang monokultur, pertanian berbasis solidaritas, dan pertanian yang berkenan pada religio-kosmis. Pertanian di Hatunuru kemudian terbagi atas dua berdasar pada wilayah.Wilayah itu meliputi; (1) hutan; (2) kebun. Pertama, sentra ekonomi masyarakat Hatunuru berada pada hutan yang teletak di sekitar Danau Tapala. Untuk menuju hutan tersebut, maka masyarakat harus menggunakan perahu kecil agar dapat tiba di sana. Di hutan yang berada pada kawasan Danau Tapala, terdapat komoditi yang variatif sebagaimana ikan, sagu, dan sayur- sayuran sebagai modal ekonomi yang berfokus pada konsumsi rumah tangga. Kedua, di dalam kebun terdapat umbi-umbian sebagaimana kasbi, keladi, pisang, dan lain sebagainya. Kebun merupakan penunjang ekonomi subsisten.

  Berkenan pada tipikal masyarakat Hatunuru sebagai petani hutan, berikut adalah jumlah petani hutan di Hatunuru berdasar pada data yang dihimpun melalui RENSTRA dalam tabel di bawah ini.

  

Tabel.4.2. Masyarakat Hatunuru dan Pekerjaan

PNS Petani Nelayan Wirausaha Pensiunan

  8 orang 62 orang 4 orang 1 orang - Sumber : RENSTRA Jemaat Hatunuru-Matapa, 2015

  Tabel di atas menggambarkan jumlah petani di Hatunuru adalah sangat banyak ketimbang PNS maupun wirausaha. Kendati PNS menjadi profesi beberapa masyarakat Hatunuru ataupun wirausaha menjadi sumber nafkah, tetapi hal ini tidak mengabaikan mereka (sebagai PNS dan wirausaha) dalam menggunakan hutan melalui perilaku ekonomi yakni konsumsi. Sementara pekerjaan sebagai IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  menyertakan gambar aktivitas pantai yang jauh dari utilitasnya sebagai SDA mumpuni di Hatunuru.

  Sumber : Dok. Penelitian, 2015

Gambar 4.9 Pantai Hatunuru di Sore Hari

  Sumber : Dok. Penelitian, 2015

Gambar 4.10. Pantai Hatunuru di Siang Hari

  Gambar pertama dan kedua ini diambil oleh penulis atas dorongan rasa penasaran penulis ketika dikatakan oleh masyarakat bahwa mereka tidak pernah menjadi nelayan. Gambar pertama, diambil menjelang malam hari. Penulis sengaja menunggu perahu-perahu yang datang, tetapi isi dalam seluruh perahu yang datang itu bukanlah hasil laut melainkan hasil-hasil perkebunan. Laut dipergunakan sebagai rute transportasi untuk mengangkut hasil-hasil hutan dari kaki air Uli (muara Uli) sampai ke Hatunuru.

  Pada gambar kedua, penulis kemudian menunggu, apakah pada hari Minggu mereka melakukan aktivitas sebagai nelayan ataukah tidak? tetapi juga tidak. Ketika selesai beribadah di gereja, masyarakat Hatunuru kebanyakan menghabiskan waktu bersama keluarga maupun rekan-rekan untuk sekedar bercerita tentang kehidupan mereka. Oleh sebab itu, masyarakat Hatunuru adalah masyarakat petani hutan yang

  Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  hidup dalam wilayah pesisir, dan hal ini merupakan kekhasan yang menjadi identitas teritorial mereka. Pertanian yang Monokultur

  Berdasar pada temuan empirik di Hatunuru, masayarakat Hatunuru merupakan tipikal petani yang lebih mengandalakan sagu daripada hasil-hasil hutan yang lain. Mereka terlalu berfokus pada pemenuhan konsumsi dan belum mampu membuka diri bagi penguatan ekonomi yang lebih komersial, padahal SDA di Hatunuru bukan hanya terdiri dari sagu maupun umbi-umbian tetapi juga kelapa, kakao, kenari, damar, kayu putih, jati mas, dan lain sebagainya. Ketika ditanyai mengapa mereka bertahan pada komoditi sagu, mereka menjawab bahwa hal ini telah menjadi warisan leluhur, dan sedari dulu mereka hidup dengan mengadalkan sagu sebagai produk lokal yang kerap dijual tetapi juga dikonsumsi. Dengan demikian, baik sagu maupun tata cara mengelola sagu telah menjadi warisan yang sayang untuk diabaikan dalam hal menunjang ekonomi lokal. Berikut adalah tempat pengolahan sagu yang penulis lampirkan dalam gambar di bawah ini.

  Sumber

Gambar 4.11. Tempat Pengolahan Sagu

  Bukan hanya sagu yang tumbuh di Hatunuru, SDA lain juga telah menjadi aset sekaligus pernah menjaring investasi melalui industri lokal sebagaimana investasi perusahaan milik keluarga Apituley yang pernah beroperasi pada tahun 1996. Perusahaan tersebut mampu menciptakan lapangan pekerjaan serta mampu mewujudkan impian masyarakat Hatunuru terkait pengelolaan SDA lokal. Memang hal tersebut sempat berhasil. Namun, kendala yang dialami perusahaan tersebut adalah melalui kredit macet dan kemudian ditutup, dan lahan kemudian dikembalikan ke masyarakat Hatunuru. Beberapa SDA yang menjadi IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  penulis akan menunjukan gambar disertai penjelasan terkait beberapa SDA mumpuni di Hatunuru yang tidak mampu dikelola dengan baik oleh masyarakat Hatunuru.

  Sumber : Dok. Penelitian, 2015

Gambar 4.12. Hutan Kayu Putih

  Gambar di atas menunjukan luas hutan atau dusun kayu putih yang menjadi aset masyarakat Hatunuru namun belum mampu dikelola secara terpadu guna menjadi produk lokal. Masyarakat Hatunuru mengatakan bahwa luas hutan kayu putih sendiri mencapai 250ha. Ketiadaan pertanian yang padat karya melalui penyulingan minyak kayu putih, serta tertumbuk oleh lemahnya pengetahuan masyarakat Hatunuru dalam mengelola maupun mengolah tanaman kayu putih ini, memberi dampak bagi ketiadaan hasil produksi kayu putih, bahkan industri lokal kayu putih di Hatunuru.

  Sumber : Foto, Maryo Mandjaruni, 2015

Gambar 4.13. Batang Kelapa Dijadikan Jembatan Alternatif

  Demi kelancaran mobilisasi SDA maupun sebagai jalur transportasi antar pulau dan dalam pulau di Seram, masyarakat Hatunuru menggunakan batang kelapa untuk dijadikan jembatan alternatif dalam rangka menolong para supir angkutan umum dan truk

  Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  Timur mengakibatkan banyak jembatan yang anjlok dan harus dibangun secara swadaya oleh masyarakat Hatunuru (juga masyarakat lainnya). Gambar di atas menunjukan pergeseran utilitas pohon kelapa sebagai SDA mumpuni demi menunjang ekonomi lokal yang malah dijadikan sebagai jembatan. Memang pada tahun 1996, kelapa menjadi komoditi yang sering dipasarkan dengan hadirnya perusahaan milik keluarga Apituley di Hatunuru. Namun, kendala perusahaan tersebut oleh karena kredit macet mengakibatkan perusahaan tersebut ditutup dan berdampak pada lemahnya distibusi komoditi kelapa di pasar.

  Sumber : Dok. Penelitian, 2015

Gambar 4.14. Lemahnya Permintaan Kakao

  Lemahnya peminat komoditi kakao adalah karena lemahnya promosi kakao. Sebenarnya kakao menjadi komoditi yang mampu mendongkrak ekonomi wilayah baik Hatunuru maupun Kecamatan Taniwel Timur. Namun, berdasar pada beberapa informasi yang penulis dapati, kakao menjadi komoditi yang tidak banyak digunakan untuk menunjang pendapatan per kapita. Gambar di atas menunjukan bahwa kakao yang sedang dijemur hanya digunakan sebagai umpan untuk menarik hati pembeli, tetapi sayangnya kebanyakan kendaraan yang melintasi Hatunuru juga memiliki tanaman kakao yang juga tidak mampu disalurkan ke pasar. Kakao menjadi barang publik yang mendatangkan kegagalan pasar.

  Berdasarkan beberapa penggalan gambar disertai penjelasan di atas, maka dapat dilihat bahwa, pertanian yang monokultur cenderung memberi jaminan bagi perilaku konsumsi tanpa ada distribusi yang lebih menjanjikan demi meningkatnya perekonomian lokal dalam IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  lebih komersial, adalah untuk menggantikan pertanian tradisional yang banyak memiliki kendala dari segi penghasilan atau nyaris tidak berpenghasilan (Dimova dan Nordman, 2014). Pertanian Berbasis Solidaritas

  Pertanian di Hatunuru bukan saja pertanian yang memberi dampak bagi penghasilan yang rendah, tetapi juga ada pertanian yang mampu memberi dampak positif dalam hubungan sosial-ekonomi sebagaimana pertanian berbasis solidaritas. Pertanian ini sendiri merupakan konstruksi warisan kultural yang telah terpelihara sejak dahulu, kemudian menjadi modal sosial yang kuat. Sampai saat ini, pertanian seperti ini sangat lazim ditemui di Maluku. Memang sedikit bercorak kapitalisme melalui hierarki sosial-adat, tetapi pola pertanian ini bukan semata-mata menindas, tetapi lebih kepada pemberdayaan para petani sesuai dengan pola hidup yang saling bergantung sebagaimana lazim ditemukan pada tipikal masyarakat komunitarianisme yang sering dijumpai pada wilayah-wilayah pedesaan atau melekat pada rural society (lihat Shapcott, dalam Winarno, 2013).

  Pola pertanian berbasis solidaritas di Hatunuru diperuntukan kepada seluruh masyarakat yang ingin melakukan tugas ganda pertanian, antara mengurusi pertanian miliknya maupun pertanian milik orang lain. Salah seorang informan mengatakan bahwa;

  

Beta pung kabong basar. Untuk karja akang satukaligus

susah, makanya beta minta bantu beta pung sodara-sodara,

ipar-ipar dong par lia akang. Supaya kalo beta pi urus sagu,

ada orang bisa urus beta pung kabong laeng (Kebun milik

saya besar. Untuk mengerjakannya sekaligus dirasakan susah,

makanya saya meminta bantuan saudara-saudara saya, dan

ipar-ipar saya untuk mengurusnya. Supaya, ketika saya

mengurus sagu, maka ada orang lain bisa mengurus kebun

saya yang lain). (PL, 27 Mei, 2015).

  Penggalan wawancara di atas menunjukan bahwa dependensi antar petani menjadi basis solidaritas pertanian ini. Dengan demikian, pola pertanian di Hatunuru sejatinya terbagi dalam dua tipe petani yaitu, petani kapitalis dan petani lahan kecil. Petani kapitalis adalah mereka yang mampu memberi pekerjaan bagi petani lain. Hal ini

  Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  pembagian hak-hak kepemilikan berdasar pada satu soa, sebagai misal soa Wemale memiliki empat mata rumah, dari empat mata rumah itu, hanya satu atau dua mata rumah yang diberi hak khusus sebagaimana pembagian lahan yang besar kepada mata rumah yang dikhususkan itu. Hal ini terjadi karena pengalaman di masa lalu bahwa mata rumah tersebut merupakan kaum elite, atau tergolong kapitan (jendral perang) mata rumahnya mendapat hak khusus. Sementara petani sehingga klan/ lahan kecil biasanya menjadi petani sewaan. Para petani sewaan ini tidak selalu menuntut untuk dibayar, dan pembentukan harga bukan lebih kepada uang semata melainkan saling memberi hasil pertanian dan rokok sebungkus sebagai insentif adalah cara mereka untuk tetap bekerja dalam solidaritas. Berikut hasil wawancara terhadap salah seorang istri petani sewaan;

  

Kalo bapa pi karja di orang kabong, biasa mama (informan)

deng ade-ade (anak-anak informan) dong yang karja katong

kabong. Supaya ada hasil kabong par makang, deng ada hasil

laeng paer jual (Ketika bapak pergi bekerja ke kebun orang,

biasanya mama dan juga adik-adik yang bekerja di kebun

kami. Supaya ada hasil kebun untuk makan, dan hasil lain

untuk dijual)(IR, 1 Juni 2015).

  Penggalan wawancara di atas memberi kesan bahwa pembagian kerja tidak saja terjadi antara para petani, namun juga berlaku dalam keluarga. Ketika kepala rumah tangga melakukan pekerjaan pada kebun milik petani kapitalis, maka istri dan anak-anaklah yang kemudian melakukan pekerjaan mereka sebagai petani di kebun mereka. Kebanyakan anak-anak di Hatunuru sangat memaknai kehidupan pertanian ini. Setelah pulang sekolah, anak-anak di Hatunuru bergegas ke hutan untuk membantu orang tuanya.

  Sumber : Dok. Penelitian, 2015

Gambar 4.15. Solidaritas Petani dan Petani Cilik di Hatunuru IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  Gambar di atas menunjukan solidaritas sebagai hubungan mata rumah dalam satu soa maupun sosial-ekonomi baik dalam tubuh berbeda soa. Petani Hatunuru baik kapitalis dan sewaan menggunakan kole-kole atau perahu kecil untuk menyusuri Tapala, karena sagu berada pada sekitar Tapala. Sementara hal sama juga dilakukan dalam keluarga yaitu, pembagian kerja terhadap anggota keluarga. Kehidupan pertanian di Hatunuru sama halnya dengan pertanian di Asia Tenggara dalam hal saling memberdayakan, sebagaimana Scott (1981) menyebutnya sebagai patron-klien sebagai hubungan sosial-ekonomi yang baik dalam mempertahankan subsisten masyarakat pedesaan.

  Pertanian yang Berkenan pada Religio-Kosmis Pertanian religio-kosmis ini merupakan salah satu gaya hidup masyarakat Hatunuru dalam memaknai hutan. Bagi mereka, kebersihan hutan sebagai “dapur” adalah yang utama, hal tersebut dilakukan dengan cara melestarikan hutan. Berkenan dengan itu, hutan menjadi tempat yang membentuk kepercayaan kepada alam (suprakultural). Misalnya, masyarakat Wemale menganggap hutan (tanah) sebagai “tuhan”, dan masyarakat Alune melihat hutan sebagai sumber kehidupan. Kolaborasi pandangan ini memberi makna lugas bahwa hutan mencerminkan pandangan masyarakat Hatunuru terkait ruang yang sakral dan memberi kehidupan.

  Dengan demikian, pertanian bermuatan religio-kosmis ini menjadi upaya dalam melestarikan hutan, membangun hubungan harmonis antara hutan dan manusia, juga mencegah hal-hal bermuatan kriminalitas sebagaimana mencuri hasil-hasil hutan. Sehingga pertanian tersebut sering menggunakan sasi adat sebagai salah satu cara dalam melestarikan lingkungan dan sebagai upaya preventif agar hutan tidak tergdegradasi. Pada dasarnya, penulis setuju dengan pandangan Arifin dan Patra (dalam Evans et al, 1996) terkait sasi adat dipandang sebagai manajemen lokal. Manajemen lokal ini bagi penulis adalah mampu mengatur fungsi hutan sejalan dengan pandangan yang berkenan pada religio-kosmis bahwa hutan harus dipelihara dan digunakan sebagai

  Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  sumber nafkah tanpa melakukan eksploitasi secara negatif, karena 24 mampu mendatangkan bencana alam akibat murka roh-roh leluhur .

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 SD Negeri Ringinsari Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali Semester II Tahun Pelajaran 2014/201

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 SD Negeri Ringinsari Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali Semester II Tahun Pelajaran 2014/201

0 0 120

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Hasil Belajar IPA antara Strategi Pembelajaran Inkuiri dengan Pembelajaran Berbasis Masalah pada Siswa Kelas V SD Negeri Se-Gugus Singoprono 1 Kabupaten Boyolali Tahun Pelajaran 2014/

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Hasil Belajar IPA antara Strategi Pembelajaran Inkuiri dengan Pembelajaran Berbasis Masalah pada Siswa Kelas V SD Negeri Se-Gugus Singoprono 1 Kabupaten Boyolali Tahun Pelajaran 2014/

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Proteksi Integritas Data dengan Metode CRC32 dan SHA-256 pada Aplikasi Peng dan Transfer File

0 0 17

BAB IV PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN DI DISTRIK JILA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Kemiskinan di Distrik Jila Kabupaten Mimika Provinsi Papua

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kampung Batik Giriloyo: Rantai Nilai dan Keunggulan Bersaing

0 1 17

BAB 1 PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

0 0 5

BAB 2 HUBUNGAN IDENTITAS TERITORIAL DAN RESISTENSI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

0 0 12

BAB 3 METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

0 0 13