Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat KabarFriday, 19 September 2014
Soal Perkebunan Sawit di SBB Bupati Dinilai tak Hargai Adat Istiadat
Ambon - Tokoh masyarakat Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) asal
Kecamatan Taniwel, Nathanel Elake menilai, Bupati SBB, Jacobus Puttileihalat tidak menghargai adat istiadat masyarakat setempat, terutama di Kecamatan Taniwel Timur dalam hal pembukaan areal perkebunan kelapa sawit.
“Bupati harus melihat Taniwel Timur itu sebagai Suku Waimale menganggap tanah itu sebagai Tuhan. Karena itu tanah tidak bisa diperjual belikan dan tidak bisa digunakan untuk kepentingan yang tidak mengakomodir rakyat,” kata Elake kepada Siwalima di Ambon, Kamis (18/9). Menurutnya, ekspansi perkebunan sawit bukan hal yang menguntungkan rakyat malah menyusahkan rakyat dan itu terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Olehnya kata Elake, perusahaan kelapa sawit seharusnya mensosialisasikan hal itu terlebih dulu kepada masyarakat Taniwel Timur dan bukan bupati. “Ada kepentingan apa sehingga bupati begitu agresif mensosialisasikan perkebunan sawit dan bukan perusahaan kelapa sawit tersebut. Saya tegaskan sampai hari ini tidak ada investor satu pun dari perusahaan kelapa sawit itu yang masuk ke Taniwel Timur lakukan sosialisasi,” ungkap Elake. Ia menegaskan, sampai hari ini, masyarakat Taniwel Timur tolak masuknya ekspansi perusahaan kelapa sawit. “Kalau raja-raja menyetujui, saya tegaskan raja tidak punya hak apapun atas lahan atau tanah sebab
IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
yang punya hak itu ada pada soa, termasuk saya punya hak atas lahan tersebut,” kata Elake. Sebelumnya, Bupati SBB menegaskan, tak ada masalah soal pembukaan perkebunan kepala sawit di Taniwel Timur. Paslanya, hal itu dilakukan demi kepentingan rakyat. “Saya kira tidak ada masalah dengan perkebunan kepala sawit, karena itu para raja- raja yang usulkan,” jelas bupati kepada sejumlah wartawan usai menghadiri pengambilan sumpah dan janji anggota DPRD Maluku, di
Kantor DPRD Maluku, Karang Panjang Ambon, Selasa (16/9), menanggapi berbagai tanggapan publik bahwa, kebijakan Pemkab SBB membuka perkebunan kelapa sawit tersebut tidaklah tepat. Ia meminta, masyarakat SBB untuk tidak mempunyai interpretasi yang berbeda, karena sebetulnya pembukaan perkebunan SBB bukan diusulkan oleh pemkab, tetapi dari kepala- kepala desa/raja,” katanya. Untuk perkebunan kepala sawit sendiri, lanjut bupati, sudah ada master plan yang telah disetujui oleh DPRD Kabupaten SBB, sehingga harus segera dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat. Untuk perkebunan kepala sawit tersebut, kata bupati, sudah siap karena pihaknya sudah masuk dalam percepatan perluasan kawasan ekonomi khusus. Kata dia, kebijakan pembukaan perkebunan sawit di Kecamatan Taniwel Timur tersebut sudahlah tepat. Dimana kawasan tersebut yang awalnya adalah kawasan hutan sudah telah dilakukan pelepasan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan, sehingga melalui master plan kawasan ekonomi Indonesia maka sudah pasti akan mendapatkan bantuan insfrastruktur jalan dan jembatan yang tentu saja sangat membantu masyarakat. (S-32)
Sumber
Lampiran
Lampiran 2. Petisi oleh Pendeta Elifas Maspaitella, M.Si
Sawit Bukan Solusi Untuk Orang Seram (Taniwel Timur)
Tetapi Pala, Cengkih, Kayu Putih, Sagu dan
Danau Tapala Adalah Kami.
TOLAK SAWIT DI NUSA INA: SELAMATKAN MASYARAKAT ADAT
Hutan di Pulau Seram (Nusa Ina), Provinsi Maluku telah dirusakkan sejak zaman
Orde Baru melalui PT. Djati Group, tanpa ada implikasi langsung pada kesejahteraan masyarakat adat di sana.Selain oleh proses illegal logging, maka sejak tahun 2007, proses pengrusakan
hutan dan pemiskinan di Pulau Seram mulai dilakukan melalui ekspansi PT. Nusa
Ina dengan perkebunan kelapa sawit di Seram Utara (Kab. Maluku Tengah).Sampai tahun 2014, dampak negatif perkebunan Sawit telah dialami masyarakat.
Kekeringan, menurunnya debit air, pencemaran sumber air minum, banjir, keretakan tanah, penghilangan hutan merupakan bentuk dampak yang sedang dialami masyarakat adat di sana. Termasuk relokasi pemukiman. Rupanya strategi perluasan lahan sedang dirancang bersama para sindikat atau mafia kayu yang selama ini telah merusak hutan di Pulau yang sakral bagi
masyarakat Maluku dan dunia. Saat ini pengrusakan hutan sedang terjadi ke arah
pegunungan menuju negeri-negeri di gunung Manusela (Taman Nasional).Selagi dampak ini tidak ditangani, pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dan “mafia kayu, hutan” memaksakan pembukaan perkebunan Sawit di
Kecamatan Taniwel Timur meliputi lahan negeri adat Hatunuru, Matapa,
Lumahpuluh, Uwen Gabungan, Sohuwe, Maloang, Lumahlatal, Hulung, Saweli,
Nukuhai, Pasinalo. Direncanakan akan meraup lahan puluhan ribu hektare. Artinya secara otomatis akan mencakup lahan-lahan milik masyarakat adat.IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru Jika rencana ini dilaksanakan, sudah tentu kawasan hutan andalan akan hilang. Itu berarti menambah kontribusi rusaknya paru-paru dunia dan menambah luasnya lahan kering yang suatu saat berdampak pula pada bencana kebakaran hutan. Masyarakat Adat di Pulau Seram sebagai bagian dari masyarakat pribumi (indigenous society) akan dipermiskin dan hak-haknya hilang.
Karena itu mari dukung gerakan #saveNusaIna demi kelestarian hutan, paru-paru
dunia, dan pensejahteraan masyarakat. Bergabunglah bersama kami untuk selamakan paru-paru dunia "Barenti kuku, bakira keku. Mari tarek palungku, katong bataria selamatkanMaluku" (Hentikan tindakan yang merusak, lebih baik saling mendukung. Mari
kepalkan tangan, bangun tekad selamatkan Maluku) - (Cada, Sanggar Lawamena,
Ambon).Sumber
Lampiran Lampiran 3. Daftar Partisipan
Partsipan di Hatunuru
Pendeta Roland Latuputty
Melki Rumaherang
Izhak Latualia
Benny Murehuwey
Dina Latualia
Gerson Rumaherang
Gusti Latualia
Semuel Rumaruhu
Piere Sousale
Pieter Latukasalehuwey
Yunus Rumaruhu
Popy Nussy
Ina Rumaherang
Cak Polatu
Cae Pelue
Samjar Maimima
Rein Matayane
Jorgen Latusawaule
Mimi Latualia
Oktovianus Matayane
Adolf Niwelepu
Rasmus Rumaherang
Partisipan di Luar Hatunuru
Pendeta Elifas Maspaitella
Pendeta Maryo Mandjaruni
Pendeta Elifo Salakay
Pendeta Ann Petta
Stenly Wanuwele
Shuresj Tomaluweng
Elthon Ahiyate IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru
Lampiran 4. Mitos Terbentuknya Danau Tapala
Masyarakat Hatunuru percaya pada pamali atau kutukan yang disebabkan oleh pihak luar komunitas. Alkisah, masyarakat Hatunru adalah masyarakat yang gemar berperang, dihormati, dan ditakuti oleh lawan-lawan mereka. Mereka hidup pada wilayah pegunungan di Seram Bagian Barat. Setiap kali berperang, mereka selalu melakukan arak-arakan dengan mengangkat batu besar. Setiap kali berperang, mereka selalu menang, dan memiliki teritori yang sangat besar sebagai hasil perebutan kekuasaan. Istilah populer kala itu di Seram adalah heka leka atau membunuh untuk kehidupan baru. Bukan dalam arti membunuh untuk hidup baru di lanite (langit atau khayangan), tetapi membunuh untuk merebut kekuasaan, dan kekuasaan itu adalah kehidupan yang lebih layak (merebut wilayah yang banyak SDA). Suatu saat, pihak musuh mengirimkan dua pengintai untuk melakukan pengintaian di wilayah pemukiman masyarakat Hatunuru. Pada saat yang sama pula, masyarakat Hatunuru yang merupakan pria dewasa sedang mengikuti peperangan. Ketika dua pengintai itu tiba di Hatunuru, mereka (pengintai) merasa lapar dan haus. Saat itu, di Hatunuru yang ada hanya orang tua lanjut, kaum perempuan, dan anak-anak. Kedua pengintai itu akhirnya berteduh di depan rumah seorang nenek yang saat itu tinggal bersama cucunya. Kedua pengintai itu meminta makanan, tetapi sang nenek tidak mempunyai makanan yang lebih hanya cukup untuk makan si nenek dan cucunya. Saat itu, seekor ayam putih tengah melintas, dan tergerak hati kedua pengintai itu untuk memakannya. Anak panah yang dilayangkan kepada ayam putih itu tidak mengenai ayam tetapi tertancap di tanah. Ketika anak panah dicabut, keluar air dari dalam tanah. Kedua pengintai itu hendak menutupnya. Akan tetapi, air yang keluar itu, mengalir begitu deras. Derasnya air mengakibatkan negri tenggelam. Kedua pengintai itu kemudian menuju baileo dan mengambil pusaka milik negri Hatunuru.
Lampiran
Salah satu pengintai berlari ke arah pesisir dan mati di sana bersama pusaka itu, dan tempat itu dikenal sebagai Kaki aer Uli (muara Uli). Sementara pengintai lainnya mati di sebelah timur, dan tempat itu menjadi Danau Tapala kecil. Sementara nenek dan cucunya berlari ke arah pegunugan, dan mati di sana, tempat itu disebut Batu Managis (konon air sering keluar dari batu itu). Sementara masyarakat Harunuru yang tidak berhasil menyelamatkan diri dan tenggelam berubah menjadi buaya. Konon, banyak sekali buaya di Danau Tapala, dan itu adalah jelmaan leluhur. Namun, pada kenyataanya buaya tersebut tidak sekalipun memangsa masyarakat Hatunuru. Konon, ketika memasuki Tapala, maka perhiasan dari emas, besi putih, tembaga, dan lainnya harus dilepas atau akan diterpa musibah. Dengan demikian, Danau Tapala disebut sebagai berkat di atas musibah. Sejak saat itu, masyarakat Hatunuru tidak lagi melakukan peperangan, dan membenahi kehidupan baru mereka.
( oleh Mimi Latualia, 29 Mei 2015, diceritakan kembali oleh penulis ).
Gambar 1. Keindahan Danau Tapala
Sumber : Dok. Penelitian, 2015