BAB 2 HUBUNGAN IDENTITAS TERITORIAL DAN RESISTENSI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  mengangkat studi-studi identitas teritorial dan resistensi. Dalam bagian ini, penulis melakukan elaborasi teori identitas teritorial dan resistensi menjadi satu kajian yang memiliki korelasi satu sama lain, dan integrated. Dengan demikian, pada kerangka konseptual, penulis mencoba menarik benang merah yang mengangkat hubungan identitas teritorial dan resistensi sebagai satu komponen yaitu, resistensi adalah bagian dari identitas teritorial, sebaliknya.

Teori Identitas

  Dalam mengkaji identitas teritorial, terlebih dahulu yang penting dilakukan adalah melihat makna identitas. Jenkins (2004) menggunakan dimensi individually unique dan collectively shared untuk menjelaskan makna identitas. Masih menurut Jenkins, identitas merupakan pemaknaan kita akan siapa kita, dan siapa orang lain, sebaliknya. Dengan demikian, pandangan Jenkins lebih merujuk pada makna tentang kesamaan maupun keunikan yang disepakati dan pada prinsipnya selalu dinegosiasikan (Jenkins, 2004).

  Johnson et al (2002) menyoroti identitas sebagai dinamika sosial dalam satu komunitas. Johnson et al (2002) menggunakan dimensi collective memory dalam kaitannya dengan konstruksi group- reference ketimbang self-reference (Johnson et al, 2002). Dalam studi lain oleh Nawata dan Yamaguchi (2014), identitas in group maupun out group agaknya saling bertentangan ketika dipadukan sebagai satu hubungan dalam satu lapangan pekerjaan. Nawata dan Yamaguchi IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  menyoroti dominasi identitas dalam kelompok lebih kuat dan mendominasi daripada identitas dari luar kelompok. Sehingga ada kesan identitas dinilai sebagai self-categorization. Pandangan Nawata dan Yamaguchi sangat sejalan dengan pandangan Hogg (2011), tetapi Hogg melihat kategorisasi diri sendiri sebagai social-comparison.

  Identitas yang kuat dipengaruhi oleh kognisi yang kuat melalui perilaku ke arah luar (Brown dan Capoza, 2006). Hal ini tidak sedikit mengakibatkan konflik antar identitas atau klaim yang bertentangan antara kelompok etnis, misalnya Saltman (2002) mengklasifikasikan identitas dan etnisitas sebagai dua kelompok berbeda yaitu, identitas lebih kepada presepsi atau kognisi individu dan etnisitas adalah fenomena sosial budaya. Hal ini tidak lepas oleh keberadaan identitas kolektif yang terdiri atas masyarakat asli maupun migran (Raport dan Dawson, 1998).

  Studi Finley (2010) memperkuat gagasan integrasi identitas dalam satu wilayah geografis. Finley menekankan studi identitas pada penerimaan, dan penerimaan ini hadir melalui inklusi. Inklusi yang Finley maksud adalah, dengan membuka diri bagi identitas lain untuk mengikuti aktivitas lokal, kendati identitas lain memiliki karakteristik latar belakang, budaya, dan kemampuan yang berbeda. Hal ini agar menghindarkan komunitas yang berbeda-beda itu dari konflik.

  Castells (2010) memperkenalkan tiga karakteristik identitas yaitu, legitimizing identity, resistance identity, dan project identity. Legitimizing identity berkenan pada institusi dominan masyarakat yang

  Resistance identity memperluas serta merasonalisasi dominasi mereka. erat dengan kondisi tertindas a masyarakat atau kelompok rendah yang dicap rendah oleh logika dominasi. Oleh karena itu, ada konstruksi kekuatan penolakan atas dasar prinsip-prinsip kontradiktif dan terkesan

  Project identity merupakan alternatif bila aktor-aktor dipaksakan. sosial atas dasar materi kultural yang tersedia membangun identitas baru dan meredefinisi posisi mereka dalam masyarakat. Dengan kata lain, transformasi menyeluruh dalam struktur masyarakat.

  Fisher et al (dalam Litaay, 2011) melihat identitas menjadi pemicuh konflik, sebabnya adalah identitas diri maupun kelompok terancam. Tipikalitas konflik berbasis identitas tersebut hadir karena

  Hubungan Identitas Teritorial dan Resistensi

  hilangnya sesuatu yang dimiliki atau penderitaan di masa lampau yang belum teratasi. Litaay (2011) kemudian menawarkan solusi, adalah dengan kesepakatan bersama guna mengakui kebutuhan pokok semua pihak.

Ruang Lingkup Identitas Teritorial Identitas teritorial erat kaitannya dengan identitas geografis

  Dalam memaknai identitas teritorial maka penting melihat identitas ter itorial ini sebagai “ruang hidup” (Caldo, 1996 dalam Pollice, 2003). Ruang hidup hadir melalui integrasi yang saling terkoneksi dengan dimensi fisik maupun dimensi sosial (relasi), juga representasi dari tindakan manusia, dan nilai-nilai budaya sebagai produk geografis (Fremont, 1976 dalam Pollice, 2003). Dematteis, (1995 dalam Pollice, 2003) menyebut identitas teritorial adalah bagaimana aktor-aktor memahami wilayahnya, sebagaimana ia (Dematteis, 1995) memberi contoh pada dimensi fisik yaitu tanah yang mampu dijadikan sebagai media komunikasi, kerja sama, produksi, pertukaran, dan sumber nafkah. Dengan demikian, identitas teritorial berasal dari referensi diri yang intepretatif (Pollice, 2003). Vallega (2001 dalam Pollice, 2003) memberi pemahaman semiotika yang membentuk identitas teritorial signifier), representasi realitas (sign), dan melalui realitas teritorial ( penjelasan realitas ( signified).

  Identitas teritorial bagi Magnaghi (1984 dalam Pollice, 2003) dipandang lebih ke ranah institusi yaitu, berupa aturan yang harus dihormati. Pada skala tertentu, identitas teritorial dapat dijadikan sebagai tata ruang dalam upaya memulai pembangunan, tetapi juga dapat dijadikan sebagai aturan berdasar pada regulasi masyarakat (Persi dan Pra, 2001; Paasi, 2011). Studi Paasi (2011), berkenan pada identitas teritorial yang disebut sebagai identitas regional. Bagi Passi (2011), identitas teritorial itu bisa dijadikan identitas perlawanan apabila jejaring global lebih bertindak sebagai aktor kapitalis dan ada dampak destruktif terhadap wilayah milik masyarakat dalam identitas teritorialnya. Paasi (2011) menyebut wilayah dan kekuasaan sebagai faktor yang membentuk identitas. Paasi (2011) juga menambahkan, IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  pemaknaan konteks kedaerahan melalui sejarah menjadi bagian penting yang membentuk kekuasaan berbasis identitas teritorial.

  Berbicara mengenai identitas teritorial maka tidak dapat terlepas dari pengaruh modal teritorial. Modal teritorial merupakan aspek yang berwujud dan tidak berwujud (Camagni, 2008 dalam Ugo dan Perruca, 2014). Camagni menyebutkan modal teritorial sebagai; modal ekonomi, modal budaya, sosial, dan alam. Modal teritorial pertama kali

  Organization of Economic Co-operation and didefinisikan oleh Development (OECD) pada tahun 2001 dengan judul Territorial Outlook. OECD membedakan modal teritorial sebagai berikut; Tangible Factors, Untraded Interdependencies, dan Intangible Factors (dalam Ugo dan Perucca, 2014) . Berikut penjelasan ketiganya dapat dilihat dalam lampiran tabel di bawah ini.

Tabel 2.1. Modal Teritorial Menurut OECD

  Sumber : OECD, 2001 (dalam Ugo dan Perucca, 2014)

  Pada tabel di atas, penulis simpulkan bahwa modal teritorial oleh OECD menggabungkan modal material (modal alam dan modal ekonomi), modal sosial, dan kelembagaan sebagai bagian integral dalam penyusunan program pembangunan berbasis modal teritorial.

  Modal teritorial selalu berkenan pada modal yang menghasilkan modal sebagaimana, barang privat sebagai modal alam memberi

  Hubungan Identitas Teritorial dan Resistensi

  jaminan bagi terbentuknya relasi perusahaan dan wirausaha, kemudian human capital juga membentuk kreativitas yang tidak lain adalah melalui entrepreneur. Selain itu, barang publik memberi jaminan bagi pengelolaan sumber daya alam bersama, dan membentuk kelembagaan juga modal sosial yaitu, kepercayaan (Camagni, 2008 dalam Ugo dan Perucca, 2014). Sehingga Camagni menyebut modal teritorial sebagai sesuatu yang berwujud (sebagai contoh sumber daya alam) dan yang relational capital). tidak berwujud (sebagai contoh

Studi-Studi Terdahulu Tentang Identitas Teritorial

  Studi Luminita Filimon et al (2014) menggunakan manajemen teritorial dalam melakukan analisis terkait pembentukan wilayah pedesaan dalam persaingan global. Dalam studi Luminita Filimon et al (2014), pembangunan pedesaan harus berdasar pada identitas teritorial dan warisan (material maupun immaterial) agar tercipta pembangunan yang berkelanjutan maupun pembangunan yang lebih produkitf. Hal ini dapat dilakukan apabila ada integrasi masyarakat pedesaan di Rumania yang berkapabilitas dalam mengutamakan produk lokal maupun potensi sebenarnya. Luminita Filimon et al (2014) menyoroti konsep warisan dan hubungannya dengan identitas teritorial melalui sumber daya, institusi, maupun dalam hal pembangunan ekonomi. Sumber daya menjadi satu set potensi yang dimiliki teritorial, institusi mengambil tempat sebagai aturan kolektif dalam hal kepemilikan komunal bukan lagi personal, dan warisan sendiri harus menjadi “mesin” konstruksi wilayah (Landel dan Senil, 2009 dalam Luminita Filimon et al, 2014). Selain itu, konsep defensive identity dan offensive identity oleh Basand dan Guindani (1982, dalam Luminita Filimon et al, 2014) juga turut dielaborasi dalam studi mereka. Pemandangan studi Bassand dan Guindani ini berkenan pada dua pemahaman yaitu, dependensi maupun inovasi. Dependensi mengambil bagian khusus pada wilayah identitas defensif, berimbas pada kemandekan pembangunan, sebaliknya identitas ofensif lebih membuka diri bagi pembangunan yang inovatif. Dengan demikian, Lajarge dan Roux (2007 dalam Luminita Filimon et al ,2014) menggunakan pengkajian proyek IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  sebagai langkah awal memulai pembangunan berbasis identitas teritorial sejalan dengan prioritas pokok yaitu, sumber daya teritorial.

  Zoran Roca (2012) menggunakan tema sense of belonging dalam terraphilia dan topophilia dalam kajian identitas memperkenalkan teritorial. Terraphilia sendiri membentuk rasa memiliki karena wilayah territorial attractiveness). Sementara topophilia mempunyai daya tarik ( sendiri mengutamakan rasa kecintaan pada teritorial. Beery et al (2015) topophilia dalam keterkaitannya dengan menggunakan kajian masyarakat, budaya, dan interaksi. Beery et al (2012) melihat pengelolaan alam yang berkelanjutan adalah dengan menggunakan kajian topophilia yang dinilai sebagai perilaku bawaan. Perilaku bawaan ini kemudian menjadi identitas teritorial (Beery et al, 2015). Selain itu, Beery et al (2015) menggunakan kajian biophilia sebagai afiliasi manusia dengan alam atau dunia bukan manusia. Biophlia sendiri hadir atau terbentuk karena adaptasi perilaku leluhur yang mendorong masyarakat kontemporer untuk menghargai kondisi alam (Wilson, 1984 dalam Beery et al, 2015). Kellert (dalam Beery et al, 2015) memperkenalkan kajian biophilia sebagai berikut;

Tabel 2.2. Biophilia Menurut Kellert

  Utilitarian Pemanfaatan atau eksploitasi alam secara positif

  Naturalistic Alam sebagai sumber stimulasi dan keberagaman

  Ecologistic/Scientific Alam sebagai sumber ilmu pengetahuan

  Symbolic Pemanfaatan alam untuk mengekspresikan tanda

  Aesthetic Daya tarik secara fisik dari keindahan alam yang bersifat universal

  Negativistic Takut atau enggan terhadap alam

  Humanistic Kecintaan pada alam Moralistic Alam membentuk etika Dominionistic

  Penguasaan terhadap alam Sumber : Kellert (dalam Beery et al, 2015)

  Baik terraphilia, topophilia, dan biophilia, adalah menyangkut identitas teritorial sebagai bagian dari rasa memiliki dan kecintaan terhadap alam. Dengan demikian, Roca (2012) mengklasifikasikan

  Hubungan Identitas Teritorial dan Resistensi

  identitas teritorial menjadi dua yaitu, territorial belonging dan territorial attractiveness. Territorial belonging bergantung pada rasa memiliki teritorial untuk; mempromosikan lingkungan dan sosial- budaya melalui kesadaran, mendorong perlindungan terhadap warisan dan budaya, memperbaiki hubungan sosial dan semangat komunitas, memfasilitasi efisiensi dan efektivitas lembaga-lembaga lokal, dan memperkuat diri melalui rasa aman dan kepuasan. Sedangkan territorial attractiveness dimiliki oleh agen pembangunan, terutama mereka yang bertanggung jawab dalam melakukan strategi untuk pengembangan wilayah, meliputi; mampu menilai daya tarik wilayah, menentukan unsure-unsur daya tarik wilayah, memberi dukungan bagi kebijakan dan proyek-proyek publik yang disesuaikan dengan kekhasan wilayah (Roca, 2012).

  Program pembangunan saat ini berisiko dan membahayakan identitas, seyogyanya identitas harus dilestarikan (Pollice, 2003). Pollice (2003) memberi pandangan terkait identitas teritorial sebagai kekuatan bagi pembangunan daerah. Kekuatan itu sendiri berasal pada pengorganisasian ruang juga kehidupan sosial. Masih menurut Pollice, pengembangan akan terjadi dalam daerah apabila identitas menjadi atau begitu kuat dan saling bersinergi dengan program pengembangan (Pollice, 2003). Bagi Pollice (2003), identitas lokal tidak akan memiliki kekuatan pendorong, sebaliknya akan menjadi mistifikasi dari realitas teritorial yang berakhir pada konsekuensi yang negatif dalam hal dinamika pembangunan dan identitas sendiri. Pollice (2003) mengatakan bahwa, lokal tidak sepantasnya melawan global tetapi harus saling melengkapi, sebaliknya.

  Dewasa ini, dimensi yang sulit dipahami dari transformasi antara negara industri maju dan negara transisi berimbas pada identitas warga negara (Sellers, 2012). Sellers (2012) melihat pergeseran baru dalam identitas teritorial antara masyarakat industri maju dan masyarakat transisi selalu terkoneksi pada kekuasaan, lembaga, pola ekonomi, dan kehidupan sosial di berbagai skala. Pada skala lokal ketika dilakukan survey oleh Sellers (2012) berdasar pada data World Survey Value dan International Social Survey Programs sejak tahun 1981-2003 di 33 negara, Sellers (2012) menemukan bahwa tingkat lokal lebih mendominasi karena identitas yang begitu kuat. IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  Identitas teritorial memang berkenan pada pemaknaan, dan pemaknaan ini erat kaitannya dengan pemaknaan kolektif. Selain itu, identitas teritorial bersumber pada nilai-nilai sosial sebagaimana kekuasaan, etika, solidaritas, dan lain sebagainya, juga transfer pengetahuan (warisan), promosi sumber daya, kebijakan, rasa memiliki, dan keberlanjutan. Albino (dalam Roca, 2012) menyoroti perkembangan identitas teritorial melalui operasionalisasi identitas budaya, dan juga menghargai tipikalitas leluhur adalah sarana dalam mendorong inovasi lokal baru. Veneri (2011) menggunakan konsep modal teritorial sebagaimana modal sosial, hubungan sosial-budaya, tata ruang, dam struktur pemerintahan.

  Kebijakan Pembangunan dan Resistensi

  Noerberg-Hoedge dan Goering (1995) menjelaskan bahwa, kemajuan pembangunan di negara-negara Utara sebaliknya memberi krisis multidimensi dalam hal; penipisan sumber daya, polusi, pengangguran, tuna wisma, dan marak terjadi kriminalitas. Sementara negara-negara Selatan sendiri mengalami kemiskinan multidimensi dalam hal; degradasi ekologi, kelebihan jumlah penduduk, gesekan antar etnis, dan hutang internasional. Dengan demikian, kebanyakan para ekonom memberi solusi, “Called Progress in the North, and Development in the South ”(Noerberg-Hoedge dan Goering, 1995). Solusi ini adalah dengan melakukan pendekatan industri melalui kemutakhiran teknologi agar perdagangan bebas dapat diterapkan, dan dirasakan mampu memperbaiki ekonomi di negara-negara Selatan (Noerberg-Hoedge dan Goering, 1995). Tetapi sekali lagi dikatakan oleh Noerberg-Hoedge dan Goering (1995) bahwa pendekatan industrial bukan merupakan solusi melainkan wajah dari masalah. Dengan demikian, pendekatan pembangunan yang tidak sejalan dengan identitas teritorial maka akan berbuah menjadi identitas perlawanan.

  Chambers (1983, dalam Chambers, 2013) menjelaskan pentingnya memahami masyarakat pedesaan yang menginginkan perubahan, tetapi perlu menghormati realitas dan prioritas mereka. Chambers (1983, dalam Chambers, 2013) juga melihat tentang bias-bias yang kerap

  Hubungan Identitas Teritorial dan Resistensi

  menjadi pra-pemahaman orang luar dalam melihat komunitas di pedesaan. Bias-bias ini teridentifikasi dalam tujuh bias sebagaimana; (1) bias musim atau datang di saat kering/kemarau dan musim panen; (2) bias tempat atau datang hanya pada lokasi yang mudah dijangkau; (3) bias tokoh atau hanya menemui tokoh elite dalam masyarakat; (4) bias gender atau hanya menemui kelompok laki-laki; (5) bias program atau menggunakan program untuk pamer kesuksesan; (6) bias kesopanan atau kecenderungan untuk menyembunyikan hal-hal buruk dengan basa-basi; (7) bias profesi atau cenderung memahami masyarakat dari aspek yang diminatinya saja. Chambers melihat hal-hal tersebut sebagai penyebab kemiskinan, dan kemiskinan ini disebabkan oleh faktor orang asing. Yang dalam pandangan Chambers orang asing digolongkan sebagaimana pemerintah, peneliti, dan staff LSM. Menurut Chambers, orang yang paling miskin dan marginal adalah masyarakat yang tidak kelihatan, dan hal tersebut terjadi oleh sebab mereka (orang asing) memiliki banyak bias dalam memandang masyarakat pedesaan. Tema sentral pemikiran Chambers adalah pembalikan ( reversal) sikap dan perilaku orang luar yang bekerja di masyarakat agar lebih peka dan memahami situasi dan persoalan masyarakat, terutama masyarakat yang paling miskin (Chambers 1983, dalam Chambers, 2013).

  Studi kasus pada pedesaan di Bolivia melihat pembangunan yang terkendala oleh dilematisasi identitas yang di satu sisi ada gagasan tentang inovasi pada bidang pertanian, tetapi di sisi lain masyarakat pedesaan Bolivia masih memilih untuk bertahan. Hal ini didorong oleh dua dimensi terkait politisasi proyek populer yang mendorong kecaman berdasar pada artikulasi identitas pedesaan. Adat sebagai kelembagaan informal menjadi integrasi identitas sebagai kesatuan identitas petani di pedesaan Bolivia (Fontana, 2014). Dalam kasus di pedesaan di Bolivia, masyarakat petani masih memegang teguh prinsip adat, dan adat menjadi kesatuan dalam menyatukan identitas para petani. Namun di satu sisi ada gagasan untuk mengubah pola pertanian di sana, tetapi identitas mayoritas memilih untuk bertahan dengan kultur yang ada. Dengan demikian, penulis melihat bahwa adat adalah aturan yang kuat sebagai kendala perubahan dalam bidang pertanian yang padat modal.

  Kecenderungan bias pemahaman intra masyarakat dalam satu komunitas maupun komunitas luar ini kemudian berpotensi kuat IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  terjadinya resistensi. Resistensi sendiri terbentuk oleh pandangan masyarakat global yang berbeda (Amoore, 2005). Kajian resistensi dan gerakan sosial merupakan hal yang memiliki kesamaan tetapi tidak selalu identik, Kesamaan ini hadir melalui hubungan, sebagaimana resistensi menjadi pelopor gerakan sosial. Dalam ruang lingkup pertanian, resistensi marak terjadi di Asia. Sebagaimana Schneider (2011) melakukan studi pada petani di Kamboja, Scott (1981) pada petani di Asia Tenggara, Walker (2008) di Cina, dan sebagainya. Kerkvliet (2009) memberikan argumentasinya terkait resistensi yang ia nilai sebagai politik tradisional. Politik tradisional itu dibaginya menjadi tiga kelompok yaitu; (1) politik sehari-hari ( everyday politics); (2) politik resmi ( official politics) dan; (3) politik advokasi (advocacy politics). Politik sehari-hari ini nyaris mirip dengan perlawanan sehari- everyday resistance) milik Scott atau dengan kata lain, tidak ada hari ( komunikasi yang sistemik antara kubu yang berselisih paham, dan lebih kepada tindakan diam-diam tetapi ada perlawanan secara terselubung ( hidden resistance). Kemudian politik resmi adalah bagaimana institusi turut disertakan dengan cara; adanya upaya untuk mendiskusikan, menghindari dan mengubah kebijakan dominasi terkait alokasi sumber daya. Ini adalah sebuah langkah maju ketika negosiasi dalam wajah internalisasi ekonomi dirasakan perlu untuk diterapkan. Sementara advokasi lebih kepada upaya kecaman secara kolektif apabila kontradiksi paham ini sudah tidak mampu menemui jalan keluar yang aman.

  Gramsci (1976) dan Polanyi (1957) memiliki pandangan yan sama terkait resistensi yang berifat frontal dan lebih kepada tindakan kolektif, sementara Scott (1990) melihat resistensi lebih berkenan pada tindakan yang selalu terselubung. Schneider (2011) melihat bagaimana petani yang melakukan perlawanan, tetapi mendapat perlawanan balik oleh pihak yang dilawan melalui intervensi militer. Oleh karena itu, resistensi tersembunyi erat kaitannya dengan petani. Baik Scott, Polanyi, dan Gramsci memiliki formulasi resistensi yang sama yaitu, perlawanan terikat pada konteks historis tertentu. Gramsci (1976) memandang resistensi dalah sebagai “kontra hegemoni” yang hadir ketika pihak elite mendapat hak istimewa dan menindas masyarakat atau kelompok lain. Cox (1993) menyatakan, resistensi tidak selalu

  Hubungan Identitas Teritorial dan Resistensi

  mengambil posisi kekerasan, tetapi juga non-kekerasan sebagaimana melakukan boikot.

  Dengan demikian, kesatuan petani yang mengasosiasikan diri pada posisi resistor berada pada kelompok yang sering melibatkan diri dalam gerakan sosial. Gerakan sosial sendiri memiliki dua dimensi yakni, “Gerakan Sosial Lama” (Old Social Movements) dan “Gerakan

Sosial Baru” (New Social Movements). Sebagaimana dilakukan studi pada petani di India oleh Singh (2010) yang melihat gerakan sosial

  lama sudah tidak lagi menjadi landasan perlawanan masyarakat petani style mereka.Petani India, sebaliknya, gerakan sosial baru merupakan India mampu mengangkat martabat mereka yang semula peasants farmers. Hal ini dikatakan oleh Singh bahwa para petani menjadi kontemporer India tidak lagi mempersoalkan masalah-masalah yang berwujud konflik, pertikaian, ketegangan antar kasta dan kelompok. Namun, mereka (petani India) melakukan klaim secara terbuka tentang masalah materialistik seperti gender, ekologi, hak asasi manusia, kebebasan, otonomi, kesetaraan dan keadilan sosial. Tilly (1978) collective action sebagai perjuangan menjelaskan pandangannya terkait secara kolektif untuk mencapai tujuan bersama.Pandangan Touraine dan Laclau (dalam Singh, 2010)mengembangkan pendekatan gerakan sosial baru menggantikan gerakan sosial lama yang hanya berorientasi terhadap isu yang berkaitan dengan materi dan bisanya terlabel pada suatu kelompok (petani dan buruh). Di sisi lain, Tilly dan Zald (dalam Singh, 2010) mengembangkan teori mobilisasi sumber daya untuk memahami dampak dan capaian gerakan sosial. Tilly (1978) mengkategorikan mobilisasi sendiri hadir melalui; kepentingan, organisasi, mobilisasi, dan kesempatan. Sehingga ada kekuasaan lokal social yang lahir dari struktur masyarakat, oleh Tilly disebut sebagai forces.

Kerangka Konseptual

  Identitas teritorial tidak selalu menjadi landasan bagi pembangunan saja, melainkan juga landasan perlawanan. Berdasarkan pada pemaparan kajian-kajian teoritis di atas, maka penulis membuat IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

  kerangka konseptual pada penelitian yang dilakukan sebagai berikut dalam skema di bawah ini.

  Resistensi (Kekuasaan, Kelembagaan, Identitas Teritorial Kebijakan, dan Kecaman)

Bias Pemahaman Orang Luar/Identitas Luar Melalui Kebijakan Pembangunan

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual

  Berdasar pada skema di atas maka dapat dijelaskan bahwa, identitas teritorial dan resistensi memiliki hubungan yang saling melengkapi apabila bias pemahaman orang luar begitu mendominasi. Dominasi orang luar melalui kebijakan pembangunan yang tidak relevan dengan konteks atau wilayah, dapat menjadi basis perlawanan apabila identitas teritorial difungsikan sebagai identitas perlawanan. Dengan kata lain, identitas teritorial dan resistensi membentuk identitas perlawanan oleh karena keterancaman identitas teritorial itu sendiri. Ketika identitas teritorial terancam, adalah sangat penting resistensi dilakukan sejalan dengan kekuasaan, kelembagaan, kebijakan, maupun kecaman. Sehingga bagi penulis 4k ini adalah komponen identitas teritorial dalam resistensi.

Dokumen yang terkait

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 SD Negeri Ringinsari Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali Semester

0 0 14

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 SD Negeri Ringinsari Kecamatan Ampel Kabupaten Boyo

0 1 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 SD Negeri Ringinsari Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali Semester II Tahun Pelajaran 2014/201

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 SD Negeri Ringinsari Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali Semester II Tahun Pelajaran 2014/201

0 0 120

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Hasil Belajar IPA antara Strategi Pembelajaran Inkuiri dengan Pembelajaran Berbasis Masalah pada Siswa Kelas V SD Negeri Se-Gugus Singoprono 1 Kabupaten Boyolali Tahun Pelajaran 2014/

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Hasil Belajar IPA antara Strategi Pembelajaran Inkuiri dengan Pembelajaran Berbasis Masalah pada Siswa Kelas V SD Negeri Se-Gugus Singoprono 1 Kabupaten Boyolali Tahun Pelajaran 2014/

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Proteksi Integritas Data dengan Metode CRC32 dan SHA-256 pada Aplikasi Peng dan Transfer File

0 0 17

BAB IV PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN DI DISTRIK JILA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Kemiskinan di Distrik Jila Kabupaten Mimika Provinsi Papua

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kampung Batik Giriloyo: Rantai Nilai dan Keunggulan Bersaing

0 1 17

BAB 1 PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

0 0 5