BAB II DRAMATISME DALAM KAJIAN KOMUNIKASI 2.1 Dramatisme - Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo (Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme)

BAB II DRAMATISME DALAM KAJIAN KOMUNIKASI

2.1 Dramatisme

  Dramatisme adalah teori retorika konvensional yang cenderung memusatkan perhatian pada bagaimana wacana memengaruhi cara orang berpikir. Diformulasikan oleh Kenneth Duva Burke, dramatisme menambah kedalaman pada teori retorika. Teori ini menambah pengetahuan tentang bagaimana bahasa dan hubungannya untuk berpikir sebagai hasil dari tindakan dibandingkan cara menyampaikan informasi. Lalu, Burke mencurahkan studi bahasa dan masyarakatnya secara besar-besaran pada analisis aksi simbolis berdasarkan dalilnya bahwa “bahasa adalah aksi spesies secara primer, atau ekspresi dari kebiasaan, daripada sebuah instrumen definisi”. (Heath, 2013: 274).

  Dramatisme membandingkan kehidupan dengan sebuah pertunjukan dan menyatakan bahwa, sebagaimana dalam sebuah karya teatrikal, kehidupan membutuhkan adanya seorang aktor, sebuah adegan, beberapa alat untuk terjadi pada adegan itu, dan sebuah tujuan. Teori ini memungkinkan kritikus retoris untuk menganalisis motif pembicara dengan mengidentifikasi dan mempelajari elemen-elemen ini. Tujuan Dramatisme adalah memberikan penjelasan logis untuk memahami motif tindakan manusia, atau kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan. Selanjutnya Burke percaya, rasa bersalah adalah motif utama bagi pembicara, dan dramatisme menyatakan bahwa seorang pembicara akan menjadi lebih sukses ketika mereka memberikan khalayaknya cara untuk menghapuskan rasa bersalah mereka. (Turner dan West 2007: 26)

  Secara sederhana, teori Burke ini melihat bagaimana bahasa dimanipulasi sebagai bagian dari strategi simbolis. Dalam hal ini, komunikator selaku aktor sosial merupakan pihak yang berstrategi dan memainkan peran tertentu sesuai tujuannya. Teori ini melihat bagaimana manusia menggunakan simbol dalam lingkungan sosialnya. Dramatisme melihat dunia manusia sebagai sebuah drama simbolis, dimana bahasa merupakan bagian dari sebuah strategi ketika berhadapan dengan situasi tertentu (Littlejohn, 2009: 320).

  Dramatisme menyediakan cara yang menarik tentang bagaimana manusia mengorganisir pengalaman mereka ketika harus berhadapan dengan dunia sosial. Fokus utama dari dramatisme terutama pada bagaimana manusia menggunakan teks atau bahasa untuk menggambarkan dunia sosial dalam perspektifnya. Manusia adalah pembuat simbol, manusia juga memberikan respon terhadap simbol, serta memahami situasi di sekitarnya melalui simbol-simbol. Secara lebih luas, Burke melihat kekuatan bahasa sebagai komponen yang dapat menyatukan atau memisahkan kita. Konteks ini merupakan bagian yang penting dalam analisis menggunakan pendekatan dramatisme. (Akmajian, 2001: 418).

2.1.1 Sejarah

  Kenneth Duva Burke adalah seorang teoritis retorika amerika ternama di abad dua puluh. Tidak seperti akademisi modern lainnya, Burke bukanlah seorang intelektual eropa atau ekspatriat prancis. Lahir di Pittsburg, Burke banyak menghabiskan masa mudanya di sebuah desa kecil. Burke tidak pernah lulus sarjana. Ia hanya belajar secara otodidak di bidang literatur kritik, filosofi, komunikasi, sosiologi, ekonomi, teologi dan linguistik. Ia mengajar hampir dua puluh tahun di beberapa universitas termasuk Harvard, Princeton, dan Universitas Chicago. (Kuypers, 2009: 143).

  Burke memiliki tiga pemikiran besar. Ketiganya memberikan makna dan tujuan bagi hidupnya. Satu dari pemikiran awalnya adalah symbolic action. Ia menjelaskan bahwa manusia tidak langsung terlibat dalam lingkungan. Manusia bertindak karena ada simbol. Pemikiran kedua yang menarik adalah perspektif keganjilan. Ini adalah metode utama Burke dari tahun 1930-an. Burke menggunakan metode ini untuk membawa pandangan baru dan segar untuk analisis masalah konvensional. Ia melakukannya dengan menyandingkan istilah asing atau bahkan menantang, metafora, atau gambar. Image Burke yang radikal seperti "kekerasan untuk mencapai kedamaian" adalah salah satu contoh. Untuk Burke, bahasa memiliki kehidupannya sendiri, dan apapun yang kita lihat atau kita rasakan sudah ada dalam bahasa, diberikan kepada kita oleh bahasa, dan bahkan diproduksi sebagai kita oleh bahasa (Kuypers, 2009: 145).

  Pemikirannya yang ketiga yang paling berpengaruh dalam kajian retorika adalah dramatisme. Di awal tahun 1920 sampai 1930-an sebagai seorang kritis, Burke mulai menciptakan teori dramatisme untuk membantu menunjukan pandangannya terhadap literasi. Burke memulai karirnya sebagai kritikus literasi namun diperluas dengan ketertarikannya menganalisis dan mengkritik semua wacana, terkhususnya yang mengarah pada kerjasama dan persaingan dalam masyarakat. Evolusi ini melihat bahwa pandangannya berkembang di luar kritik literasi untuk kritik sosial. Pandangannya berpengaruh pada cara pandang akademisi dalam bidang literatur, teori retorika, sosiologi, sejarah, komunikasi, ilmu politik dan lain–lain. Teorinya menawarkan kritik yang luas terhadap bagaimana pasar bebas dapat bekerja untuk meraih keuntungan sementara memberikan kerugian bagi yang lain. Dalam konteks ini, Burke mengungkapkan bagaimana progres berjangka bisa menjadi penerang bagi masyarakat. Tindakan apapun dapat dilakukan atas nama kemajuan. Seperti komitmen, ia beralasan, di titik konflik antara pemimpin bisnis dan kelompok-kelompok lain, seperti buruh dan aktivis lingkungan. Kemajuan satu kelompok mungkin memberikan pengorbanan pada kelompok lain. (Heath, 2013: 274)

  Kontribusi inovatif pada kritik literasi dan komentar sosial dimulai karena keingintahuan yang lebih pada cara kerja dan pemikiran dari pembuat puisi, drama dan novel. Burke mencari instrumen kritik yang akan mendekatkannya pada alasan dan motif dibalik setiap literatur. Ia percaya bahwa penting untuk membuka ikatan antara penulis dan pembaca. Dalam literatur yang lebih baik, pembaca dan penulis diharapkan mampu berpartisipasi dan bertindak bersama dalam pengalaman literatur. Literatur bekerja bukan untuk menyampaikan perasaan, harapan dalam pandangan penulis, melainkan membangkitkan perasaan–perasaan tersebut kepada pembaca. (Heath, 2013: 274)

  Burke memberikan catatan pada awal penelitian tentang puisi atau karya sastra lainnya tidak hanya berbentuk laporan. Penyair yang merasakan kesenangan saat melihat alam, pohon misalnya, menuliskan puisi bukan sekedar memberikan laporan atau menyampaikan pengetahuannya tentang pohon, tetapi membangkitkan pengalaman serupa dari kesenangannya pada karakter simbolis pohon di puisi tersebut. Pandangan itu yang membawa Burke mengkategorikan elemen pada komunikasi dengan menyampaikan pengetahuan (epistimologi) kurang penting dibandingkan dengan penciptaan tindakan (ontologi). Ia berpendapat bahwa pembaca tidak menginterpretasikan dan merespon terhadap puisi sebagai sebuah laporan tapi sebagai pengalaman simbolis sebuah tindakan. Penulis, dengan berbagai alasan, ingin pembacanya berpartisipasi dalam pengalamannya dibanding menerima laporan dari pengalamannya. (Heath, 2013: 275).

  Dengan logika ini, Burke menyatakan bahwa penderitaan Hamlet (kisah pangeran legendaris oleh Shakespeare) membandingkan, tidak hanya memberitahukan keadaan dan perasaannya, tetapi karena Shakespeare mampu berbagi tindakan simbolisnya tentang perasaan terkhianati dan balas dendam kepada pembacanya. Sikap adalah tujuan dari literatur, bukan pengetahuan yang didapat dari laporan. Satu dari elemen kunci dramatisme adalah kesadaran bahwa kata adalah dalil. Kata “Guru” memberitahukan tentang seseorang dalam suatu profesi. Namun yang terpenting adalah perintah untuk tindakan tertentu, orang yang berbagi substansi simbolis tentang guru mengharapkan respon melalui tindakan yaitu mengajar. (Heath, 2013: 276)

  Sigmund Freud memberikan Burke pandangan terhadap kumpulan kata dan motif yang datang dari kata–kata. Dalam isu sosial, Burke cenderung mempertimbangkan pedoman Karl Max, yang menyarankan cara mengungkapkan perangkap tersembunyi dari tindakan yang terdapat dalam kata- kata. (Heath, 2013: 276)

  Burke begitu tertarik pada tindakan. Ia ingin mengetahui bagaimana bahasa bisa menyelesaikan segalanya. Dia tidak memperhatikan kebenaran, akurasi atau kekuatan strategi. Satu dari banyak cara manusia mengartikan dunia adalah melalui bahasa dalam bentuk drama. Ia percaya jika orang melihat tokoh politik, kegiatan dan pernikahannya seperti mereka melihat produksi teatrikal. Burke berpendapat jika manusia secara otomatis memproses dunianya melalui kategori drama. Dunia adalah drama. Panggung adalah produk penyulingan kedua dari drama pengalaman hidup; dramatisme adalah cara manusia berinteraksi dengan bahasanya. Burke tidak menganalisis bahasa sebagai penyampai informasi atau kebenaran, tetapi alat bagi setiap tindakan. (Turner dan West, 2007: 28)

  Burke melihat drama dimana–mana. Benar adanya jika pemerintahan presiden yang baru sedang mencoba mendapatkan drama yang bagus secepat mungkin, tim sepakbola terkenal karena ada konflik antar pemain, bisnis mengiklankan cerita dan para pemimpin perusahaan sedang mencari naskah yang baik untuk dipertontonkan. Kebanyakan orang melihat “saat yang menentukan” dalam kehidupan mereka seperti mereka tinggal diluar skenario, dan memberitahukan kepada orang sekelilingnya bagaimana jika mereka yang ada di posisi dia dan menemukan peran yang cocok serta suara–suara baru. Kehidupan manusia dikelilingi bahasa drama. (Griffin, 2005: 299)

  Gusfield menuliskan ada empat aspek dari pemikiran Burke yang sangat berpengaruh dalam memandang dunia sosial (Miller, 2005: 98):

1. Untuk memahami bahasa sebagai bentuk aksi 2.

  Untuk memahami aksi/perilaku manusia sebagai sebuah bentuk drama, karenanya dapat digunakan untuk kerangka analisis yang sama, misalnya karya sastra.

  3. Memahami aksi/perilaku manusia sebagai sebuah tindakan retorika, yang dikembangkan untuk menganalisis situasi yang melibatkan penampil maupun khalayak 4. Program yang pluralistik dan dialektikal untuk menganalisis perilaku manusia

  Teori ini banyak dipengaruhi oleh interaksi simbolik, Teori ini memfokuskan pada diri dalam suatu peristiwa yang ada dengan menggunakan simbol komunikasi. Dramatisme memandang manusia sebagai tokoh yang sedang memainkan peran mereka, dan proses komunikasi atau penggunaan pesan dianggap sebagai perilaku yang pada akhirnya membentuk cerita tertentu. (Denzin, 1992: 145)

  Drama adalah metafora yang berguna bagi ide–ide Burke untuk tiga alasan (Turner dan West, 2007: 27):

  1. Drama mengindikasikan cakupan yang luas, dan Burke tidak membuat klaim yang terbatas; tujuannya adalah untuk berteori mengenai keseluruhan pengalaman manusia. Metafora dramatis khususnya berguna dalam menggambarkan hubungan manusia karena didasarkan pada interaksi atau dialog. Dalam dialognya, drama menjadi model hubungan dan menjadi penerangan pada hubungan.

  2. Drama cenderung mengikuti tipe–tipe atau genre yang mudah dikenali: komedi, musikal, melodrama, dan lainnya. Burke merasa bahwa cara kita membentuk atau menggunakan bahasa dapat berhubungan dengan cara drama manusia itu dimainkan. Sebagaimana yang diamati oleh Barry Brummett (1993), “Kata–kata akan terangkai menjadi wacana berpola pada tingkat makro dari keseluruhan teks atau wacana. Burke berargumen bahwa pola berulang yang menggarisbawahi suatu teks menjelaskan bagaimana teks tersebut menggerakkan kita.

  3. Drama selalu ditujukan kepada khalayak. Dalam hal ini drama bersifat retoris. Burke memandang sastra sebagai “peralatan untuk hidup”, artinya bahwa literatur atau teks berbicara pada pengalaman hidup orang dan masalah serta memberikan orang reaksi untuk menghadapi pengalaman ini. Dengan demikian, kajian dramatisme mempelajari cara–cara dimana bahasa dan penggunaanya berhubungan dengan khalayak.

2.1.2 Asumsi Dramatisme

  Brummett menyebutkan asumsi Burke sebagai ontologi simbolis dikarenakan penekanannya pada bahasa. Ia mengingatkan bahwa “Hal terbaik yang dapat dilakukan seseorang, dalam mencari inti dari pemikiran Burke adalah menemukan sebagian ontologinya, dasar bagi kebanyakan bagian. Bagi Burke, orang umumnya melakukan apa yang harus mereka lakukan, dan dunia kebanyakan adalah seperti itu adanya, karena sifat dasar dari sistem simbol itu sendiri. Gambaran mengenai tiga asumsi teori dramatisme berikut ini adalah (Griffin, 2005: 303): 1.

  Manusia adalah hewan yang menggunakan simbol 2. Bahasa dan simbol membentuk sebuah sistem yang sangat penting bagi manusia

3. Manusia adalah pembuat pilihan

  Asumsi pertama berbicara tentang hal yang kita lakukan dimotivasi oleh naluri hewan yang ada dalam diri kita dan beberapa hal lainnya dimotivasi oleh simbol–simbol. Ide bahwa manusia adalah hewan yang menggunakan simbol menggambarkan sebuah ketegangan dalam pemikiran Burke. Seperti yang diamati oleh Brummett, asumsi terombang–ambing antara kesadaran bahwa beberapa dari yang kita lakukan dimotivasi oleh sifat naluriah hewan dan beberapa oleh sifat simbolik. Dari semua simbol yang di gunakan manusia, bahasa adalah yang paling penting bagi Burke (Turner dan West, 2007: 28)

  Asumsi kedua (mengenai pentingnya bahasa), posisi Burke cukup mirip dengan prinsip relativitas linguistik yang dikenal sebagai hipotesis Sapir–Whorf. Mereka menyatakan bahwa sangat sulit untuk berpikir mengenai konsep atau objek tanpa adanya kata–kata bagi mereka. Jadi, orang dibatasi (dalam batasan tertentu) dalam apa yang dapat mereka pahami oleh karena batasan bahasa mereka. Bagi Burke, seperti halnya Edward Sapir dan Benjamin Whorf, ketika orang menggunakan bahasa, mereka juga digunakan oleh bahasa tersebut. Selain itu, ketika bahasa dari suatu budaya tidak mempunyai simbol untuk motif tertentu, maka pembicara yang menggunakan bahasa tersebut juga cenderung untuk tidak memiliki motif tersebut. Burke berargumentasi bahwa hal ini adalah hasil langsung dari sistem simbol kita. Respon Burke dalam hal ini adalah bahwa simbol membentuk pendekatan hanya/atau kita terhadap masalah yang kompleks. (Nimmo, 2005: 95)

  Burke menambahkan bahwa kata–kata, pemikiran, dan tindakan memiliki hubungan yang sangat dekat satu dengan lainnya. Penjelasan Burke mengenai hal ini adalah bahwa kata–kata bertindak sebagai layar terministik (terministic

  screens ) menuju pada ketidakmampuan yang terlatih (trained incapacities), yang

  berarti bahwa orang tidak mampu melihat dibalik hal kemana kata–kata mereka menuntun mereka (Burke, 1965: 86).

  Asumsi kedua menyatakan bahwa bahasa memiliki pengaruh deterministik terhadap orang, tetapi asumsi yang terakhir mengatakan bahwa manusia adalah pembuat pilihan. Burke secara gigih mengatakan bahwa ontologi deterministik behaviorisme harus ditolak karena hal itu bertentangan dengan apa yang dia lihat sebagai dasar utama dari dramatisme; pilihan manusia. (Turner dan West, 2007: 29)

  Kebanyakan teori banyak berpijak pada konseptualisasi akan agensi (agency), atau kemampuan aktor sosial untuk bertindak sebagai hasil pilihannya. Seperti yang diamati oleh Charles Conrad dan Macom menyatakan lebih lanjut, Burke berkutat dengan konsep agensi sepanjang kariernya, terutama karena sulitnya menegosiasikan ruang di antara kehendak bebas yang sepenuhnya dan determinisme yang sepenuhnya. Pemikiran Burke terus berevolusi pada titik ini, tetapi dia tetap mempertahankan agensi sebagai konsep terdepan dalam teorinya. (Turner dan West, 2007: 29)

2.1.3 Dramatisme dan Retorika

  Dalam bukunya A Rhetoric of Motivates (1950, 16), Burke memperhatikan tentang persuasi dan dia banyak berdiskusi mengenai prinsip tradisional retorika yang dikembangkan oleh Aristoteles. Burke menyatakan bahwa definisi retorika intinya adalah persuasi, dan tulisannya mengeksplorasi cara–cara dimana persuasi dapat terjadi. Menanggapi hal ini, Burke mengatakan bahwa sebuah retorika baru berfokus pada beberapa isu penting, dan yang paling penting di antara semuanya adalah identifikasi. Marie Nichols (Griffin, 2005: 300) pada tahun 1952 menjelaskan perbedaan antara Burke dan Aristoteles adalah bahwa perbedaan antara retorika lama dan retorika baru mungkin dapat dirangkum dalam cara ini: Kata kunci untuk retorika lama adalah persuasi dan menekankan pada desain yang terencana, dan kata kunci untuk retorika baru adalah identifikasi dan dalam hal ini dapat mencakup faktor–faktor yang secara parsial tidak sadar dalam mengajukan pernyataannya. Tetapi tujuan Burke tidak untuk menggantikan konseptualisasi Aristoteles tetapi lebih kepada memberikan tambahan terhadap pendekatan tradisional.

2.1.4 Identifikasi dan Substansi Identifikasi adalah kesamaan yang ada antara pembicara dan penonton.

  Burke menggunakan substansi sebagai istilah umum untuk menggambarkan seseorang mulai dari karakteristik fisik, bakat, pekerjaan, pengalaman, kepribadian, keyakinan, dan sikapnya. Semakin banyak tumpang tindih antara substansi pembicara dan substansi pendengar, semakin baik tingkat identifikasinya. Kebalikannya juga benar, semakin kecil tingkat ketumpangtindihan individu, makin besar pemisahan yang ada di antara mereka. Walaupun demikian, pada kenyataannya dua orang tidak dapat sepenuhnya memiliki ketumpangtindihan satu dengan yang lainnya. Burke sadar akan hal ini dan menyatakan bahwa “ambiguitas substansi” menyatakan bahwa identifikasi akan selalu terletak pada kesatuan dan pemisahan. Para individu akan bersatu pada masalah–masalah substansi tertentu tetapi pada saat bersamaan tetap unik, keduanya disatukan dan dipisahkan. Selanjutnya Burke mengindikasikan bahwa retorika dibutuhkan untuk menjembatani pemisahan dan membangun kesatuan. Burke merujuk proses ini sebagai konsubstansiasi atau meningkatkan identifikasi mereka satu sama lain. Konsubstansiasi atau masalah mengenai identifikasi dan substansi berhubungan dengan siklus rasa bersalah/penebusan karena rasa bersalah dapat dihilangkan sebagai hasil identifikasi dan pemisahan. (Turner dan West, 2007: 30)

2.1.5 Proses Rasa Bersalah dan Penebusan Burke percaya bahwa drama kehidupan dimotivasi oleh rasa bersalah.

  Bagi Burke, proses rasa bersalah dan penebusan mengamankan kesuluruhan konsep simbolisasi. Rasa bersalah adalah motif utama untuk semua aktivitas simbolik, dan bagi Burke mendefinisikan rasa bersalah secara luas untuk mencakup berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik atau perasaan yang tidak menyenangkan lainnya. Hal yang utama dalam teori Burke adalah bahwa rasa bersalah adalah sifat intrinsik yang ada dalam kondisi manusia. Karena kita terus merasa bersalah, kita juga terus berusaha untuk memurnikan diri kita sendiri dari ketidaknyamanan rasa bersalah. (Griffin, 2005: 303)

  Proses merasa bersalah dan berusaha untuk menghilangkannya ada di dalam siklus Burke, yang mengikuti pola yang dapat diprediksi (Turner dan West, 2007: 31); tatanan atau hierarki, negativitas, pengorbanan (pengkambinghitaman dan mortifikasi) dan penebusan.

  

1. Tatanan atau hierarki merupakan peringkat yang ada dalam masyarakat

  terutama karena kemampuan kita untuk menggunakan bahasa. Kategori ini membentuk hierarki sosial. Seringkali kita merasa bersalah karena posisi kita di dalam hierarki. Jika kita punya kelebihan, kita mungkin merasa kita memiliki kekuasaan yang lebih dibandingkan mereka yang tidak punya. Perasaan ini akan menimbulkan rasa bersalah.

  2. Negativitas merupakan perasaan menolak tempat seseorang dalam

  tatanan sosial memperlihatkan resistensi. Burke menciptakan frase digrogoti kesempurnaan. Ia mengatakan demikian karena simbol kita memungkinkan diri kita untuk membayangkan kesempurnaan, kita selalu merasa bersalah mengenai perbedaan antara kenyataan yang sesungguhnya dan kesempurnaan yang dapat kita bayangkan.

  

3. Pengorbanan adalah cara dimana kita berusaha memurnikan diri dari

  rasa bersalah yang kita rasakan sebagai bagian dari kondisi manusia. Ada dua tipe dasar pengorbanan/memurnikan rasa bersalah kita. Pertama adalah mortifikasi. Mortifikasi adalah salah satu metode untuk memurnikan diri dari rasa bersalah dengan menyalahkan diri kita sendiri. Kedua adalah pengkambinghitaman yaitu salah satu metode untuk memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan orang lain.

4. Penebusan adalah langkah terahir dalam proses ini yang berarti

  penolakan sesuatu yang tidak bersih dan kembali pada tatanan baru setelah rasa bersalah diampuni sementara. Kunci tahap penebusan adalah fakta bahwa rasa bersalah hanyalah dihilangkan secara sementara. Saat tatanan dan hierarki di bangun kembali, raSa bersalah kembali menjangkiti kondisi manusia.

2.1.6 Istilah Tuhan dan Iblis

  Peneliti perilaku telah menggunakan istilah homofili untuk menggambarkan kesamaan persepsi antara pembicara dan pendengar, tapi Burke menggunakan pilihan bahasa agama untuk jargon ilmiah (Griffin, 2005: 300). Mengambil deskripsi dari Martin Luther tentang apa yang terjadi di meja perjamuan, Burke menyatakan bahwa identifikasi adalah konsubstansial. Referensi teologis terdapat pada kutipan lama dari Perjanjian Lama di mana Ruth menyampaikan janji solidaritasnya kepada ibu mertuanya, Naomi: "Sebab kemanapun Engkau pergi, aku akan pergi, dan dimana anda menginap aku pun turut menginap; umatmu akan menjadi umatku dan Allahmu adalah Allahku.” Hal ini yang disebut identifikasi yang juga merupakan bagian dari cerita Ruth dan Naomi.

  Khalayak merasa bergabung dengan ketertarikannya melalui gaya maupun konten. Burke menyatakan komunikator yang baik dapat menunjukkan secara konsubstansial dengan memberikan tanda dalam bahasa dan menyampaikannya dengan caranya sendiri–sendiri. Gaya penginjil yang banyak tinggal di perkemahan mungkin akan banyak ditolak oleh para kosmopolitan New York. Namun suasana hati dan gaya khotbah memegang peranan penting dalam kedalaman konten pesan antara penginjil dan pendengar baru sampai– sampai penginjil mengubah strategi linguistiknya dan menyelaraskannya dengan gaya bicara pendengarnya. Lalu pendengar akan berpikir hal itu masuk akal. Burke mengatakan bahwa identifikasi bekerja dua arah. Pendengar beradaptasi tidak hanya memberikan penginjil kesempatan untuk memengaruhi penonton, tetapi juga membantu pendeta masuk ke dalam arus budaya mereka (Griffin, 2005: 301)

  Istilah Tuhan dan Iblis tersebut tidak untuk dideskripsikan. Burke menggunakan konsubstansi kiasan agama untuk identifikasi. Istilah tersebut mencakup istilah baik atau buruk yang digunakan untuk memotivasi khalayak pendengar. Pengelompokan kata mengungkapkan sikap jika Tuhan adalah kebaikan dan iblis berarti keburukan. Namun Burke berpendapat bahwa seorang retoris tidak seharusnya terbatas hanya pada istilah. (Bygrave, 1993: 35)

2.1.7 Heurisme

  Sehubungan dengan heurisme, kebanyakan kritikus sepakat bahwa teori dramatisme sangat sukses. Misalnya saja, dramatisme pada mulanya digunakan dalam analisis retoris dari pidato–pidato, tetapi sekarang fokusnya telah melebar ke wacana–wacana yang lainnya di dalam ruang publik seperti editorial, pamphlet, monograf, buku, dll. Selain itu Catherine Fox (2002) melihat dramatisme sebagai kerangka yang berguna untuk diterapkan dalam profesi komunikasi, terutama penulisan teknis dalam organisasi transportasi. Peter Smudde (2004) juga menyerukan penggunaan dramatisme pada praktik hubungan masyarakat (Turner dan West, 2007: 38)

  Kesepakatan umum bahwa teori Burke memberikan kita pemikiran baru yang imajinatif dan inovatif mengenai motif dan interaksi manusia. Dramatisme memberikan kita sebuah teori yang memberikan gambaran besar. Teori ini memunginkan sebuah analisis dan motivasi dan perilaku manusia, dan fokusnya pada bahasa sebagai sistem simbol yang penting membuat teori ini sangat menarik bagi para peneliti komunikasi (Turner dan West, 2007: 38)

2.2 Dramatisme dan Komunikasi Politik

  Dramatisme merupakan pendekatan yang berpikir tentang perilaku politik yang menggunakan metafora “hidup adalah panggung sandiwara”. Pelaku drama tidak menganggap modus pemahaman mereka menjadi metafora; mereka percaya bahwa kerangka secara akurat menggambarkan perilaku politik (Kaid dan Bacha, 2008: 193) Pelaku drama menggunakan bahasa dalam dialog untuk menciptakan dunia dimana tokoh-tokohnya bertindak, seperti pelaku drama, politisi dan warga negara menggunakan bahasa untuk mengatur dunia yang mereka hadapi dan bagaimana mereka bertindak. Dengan bahasa ini, aktor politik memilah kejadian nyata di dalam dunia membentuk pemahaman tentang hal tersebut. Konflik politik timbul dari perbedaan interpretasi dan tanggapan.

  Dramatisme adalah salah satu bagian kontekstualisme dari gerakan intelektual yang berpengaruh pada abad 20. Para kontekstualis percaya bahwa hal yang mendasar pada kegiatan manusia adalah terletak pada kekuatan interaksi berbasis bahasa yang berorientasi pada orang ke peristiwa lalu membentuk respon. Mereka mempelajari strategi lewat interaksi yang membentuk respon ke peristiwa dan membentuk struktur yang stabil dari hubungan manusia. Meskipun filsuf kontektualisme ternama Wittgenstein, dan penulis paling berpengaruh adalah Kenneth Burke. Burke mengembangkan teori umum dari peran bahasa dalam kegiatan manusia. Bukunya Permanence and Change, Attitudes Toward

  History , Grammar of Motives, dan Rhetoric of Motives adalah buku yang paling

  berpengaruh dalam pendekatan dramatisme dalam komunikasi politik. “The ” adalah contoh kuat dari penjelasan dan kekuatan yang

  Rhetoric of Hitler’s Battle

  telah diprediksi dari penelitian dramatisme ke dalam wacana politik. Teori penting lain dari aktivitas manusia termasuk di dalamnya Analisis Tema Fantasi- Ernest Bormann (sebelumnya Teori Konvergensi Simbolis), Analisis Naratif- Walter Fisher, Dramaturgi-Erving Goffman adalah contoh dari kontekstualis dan teori dramatisme yang masing–masing mempunyai tingkatan berbeda dalam pencaplokan teori Burke. Pengadopsi awal dramatisme dalam komunikasi politik adalah Murray Edelman, Bernard L. Brock, James E. Combs, Michael Calvin McGee, dan Dan Nimmo. (Kaid, 2004: 74)

  Akademisi yang belajar tentang komunikasi politik dengan pendekatan dramatisme membingkainya dalam dua aktivitas. Teori menyaring kosa kata umum dan munggunakan kosa kata untuk menjelaskan bagaimana aktor politik menampilkan politik melalui pilihan strategis dari bahasa (dan simbol terkait lainnya) dan bagaimana masyarakat mengorganisir aktivitas–aktivitas tersebut secara politik melalui kesamaan dan kemampuan beradaptasi dari sistem simbolik bersama. Kritikus yang berkonsentrasi pada penampilan politik, menyinggung tentang arti dari pembatas dan pilihan bahasa dari aktivitas politik per harinya. Banyak akademisi yang mencampuradukkan tentang aktivitas tersebut, mengetahui lebih dalam proses politik bahkan mereka berkontribusi dalam dialog langsung tentang kegiatan politik kontemporer. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)

  Tiga contoh berikut mengilustrasikan bagaimana pelaku dramatisme mengerti tentang komunikasi politik. Murray Edelman meletakkan dasar dari pengertian yang luas tentang simbol dan politik. Dia mempelajari cara bagaimana pemimpin menguasai simbol dan cara berbicara yang umum untuk menumbuhkan kekuatan legitimasinya. Seperti kebanyakan para kontekstualis, bagaimanapun ia tidak bisa fokus pada satu sudut pandang politik saja. Ia juga mengeksplorasi bagaimana bahasa menghasilkan isu kebijakan membentuk pelaksanaan dari kebijakan tersebut di dalam birokrasi yang didorong kebijakan dan mengubah tindakan politik kepada respon kepuasan untuk merasakan kebutuhan. Akhirnya ia menyajikan pandangan tentang bagaimana tindakan politik tidak hanya berbentuk ekspresi kepercayaan tetapi kekuatan yang berarti masyarakat mengorganisir setiap hari untuk merespon keadaan yang terbentuk sebagai masalah publik. (Kaid, 2004: 414)

  Bernard Brock berfokus pada aktor politik sebagai seorang penyebar strategi yang berorientasi pada tujuan dengan menggunakan simbol untuk mencapai tujuannya. Brock melihat pidato politik dalam sebuah bingkai kerja dari pilihan bahasa si pembicara dari antara kemungkinan dari situasi pidato yang berlangsung. Brock menangkap drama konflik politik dengan cara yang berbeda dan dalam orientasi yang berbeda untuk mencapai politik. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)

  Robert Ivie berfokus pada kelanjutan bagaimana kita berbicara tentang politik dalam suatu waktu. Artikelnya “Presidential Motives of War” menjejaki keberlanjutan melewati 2 abad dalam pembenaran bahasa ketika pemimpin amerika mengadakan perang. Kritik Ivie mengilustrasikan cara dramatisme melihat komunikasi politik yaitu pemilihan bahasa bukan karena dibatasi oleh keadaan tetapi karena bentuk panggilan yang stabil dan tidak dikembangkan. Bentukan ini adalah bahasa politik yang sebenarnya, diperkuat dan disusun atas hal itu, dan disebut dari konteks retorika ketika aktor politik mencari pembenaran atas tindakan. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)

  Tidak ada dari kedua konsep yang secara baik mengilustrasikan tentang perbedaan antara dramatisme dan pendekatan lain untuk memahami politik daripada ideologi dan motivasi. Dalam pemahaman yunani, “ide-ology” adalah pembelajaran tentang ide, dan banyak yang memandang bahwa ideologi dilakukan dengan mengkonseptualisasi cara orang berpikir. Ketika kita melihat ideologi sebagai bahasa, kita melihat melalui bahasa kepada ide untuk mengekspresikannya. Pelaku dramatisme tidak melihat hubungan bahasa kepada ide dengan cara yang begitu jelas. Faktanya, mereka percaya bahwa ide adalah milik bahasa. Ide yang besar adalah produk sosial. Mereka mencapai kekuatan mereka melalui pernyataan dalam konteks dimana mereka berhasil mengarahkan penampilan sistem politik. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)

  Bagi pelaku dramatisme, kunci untuk memahami motivasi adalah pola kosa kata dan bahasa yang digunakan untuk menggerakkan masyarakat melalui respon kepada lingkungan. Motivasi bukanlah sesuatu yang ada di dalam aktor politik dan dijadikan perilaku baik verbal maupun sebaliknya. Namun, motivasi adalah objek bahasa yang dibuat oleh manusia yang membentuk perilaku sosial, terbangun melalui penggunaannya dalam kegiatan sehari–hari, membawa pemahaman tentang masyarakat, lalu bersedia mengatur respon terhadap kejadian yang tengah berlangsung. Para pelaku dramatisme, seperti Ivie, menemukan pola–pola motivasi ini benar ada dalam teks yang dihasilkan oleh kultur politik dan disebut sebagai momen penting bagi pembentuk tindakan politik. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)

  Pendekatan dramatisme mengangkat komunikasi politik sebagai peran utama dalam pemahaman tentang politik. Dalam bidang tindakan manusia kita menyebutnya “politik” mengatur orang untuk menghadapi dunia dengan bingkai kekuatan dan kepemimpinan dari hari ke hari, dengan interaksi politik dibangun melalui penyebaran dari pemilihan oleh pemimpin dan masyakatnya dari sumber simbolis budaya mereka bersama. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)

2.3 Pentad Drama

  Pentad drama adalah metode utama yang digunakan oleh para kritikus menganalisis penggunaan simbol pada komunikasi. Burke menyebut metodenya pentad karena metode ini terdiri atas lima poin untuk menganalisis teks simbolik. Pentad dapat membantu menentukan mengapa seorang pembicara memilih sebuah retorika tertentu untuk mengidentifikasi dirinya dengan khalayak. Metode ini menentukan elemen yang memberikan petunjuk terbaik untuk motivasi pembicara. Pentad ini menawarkan cara untuk mengetahui mengapa pembicara yang dipilih memberikan strategi retorika untuk mengidentifikasi penonton (Turner dan West, 2007: 33)

  Pentad drama sebenarnya sama dengan standar praktik jurnalistik yang menjawab siapa, apa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana di awal cerita. Karena Burke menganggap dirinya sebagai interpreter dan bukan wartawan, ia tidak puas hanya untuk label lima kategori (Griffin, 2005: 302)

Tabel 2.1 Ilustrasi pentad dramatisme Tindakan Adegan Agen Agensi Tujuan Respon Situasi Subjek Stimulus Target

  (Griffin, 2005: 302) Gambaran pentad di atas menggambarkan perilaku atau tindakan yang di desain sedemikian mungkin sementara di bagian bawah menunjukkan aksi yang di lakukan tanpa tujuan tertentu. Dramatisme memfokuskan pada bagian di atas yang merupakan aksi yang sengaja dengan tujuan persuasi.

  Terdapat lima elemen poin utama dari pentad dramatisme, yaitu (Burke, 1965: 5): 1.

  Tindakan (act) Burke menganggap tindakan sebagai apa yang dilakukan oleh seseorang.

  Tindakan merupakan aksi yang mengambil peran dalam kisah atau pernyataan yang diberikan oleh pembicara untuk menunjukkan apa yang disampaikan pembicara kepada khalayaknya. Tindakan memainkan peranan yang sangat penting dalam pentad dramatisme ini. Dalam pidato hal ini menunjukkan komitmen realisme.

  2. Adegan (scene) Adegan merupakan konteks yang melingkupi tindakan. Adegan juga merupakan setting atau latar belakang dari tindakan yang dilakukan dan bagaimana setting memberikan efek terhadap pesan termasuk dalam adegan ini adalah konteks yang immediate (segera) dan konteks sejarah dan situasi sosial dimana tindakan tersebut terjadi. Berbicara di depan umum menekankan pengaturan dan keadaan, merendahkan kehendak bebas dan refleksi sikap determinisme situasional.

  3. Agen (agent) Agen merupakan seseorang atau orang–orang yang melakukan tindakan.

  Beberapa pesan dipenuhi dengan referensi diri, pikiran, jiwa, dan tanggung jawab pribadi. Fokus terdapat pada karakter dan agen sebagai instigator yang konsisten dengan filosofi idealisme.

  4. Agensi (agency) Agensi merujuk pada cara–cara yang di gunakan oleh agen untuk menyelesaikan tindakan. Bentuk–bentuk agensi yang mungkin mencakup strategi pesan, penceritaan kisah, permintaan maaf, pembuatan pidato, dan seterusnya. Penjelasan panjang tentang metode atau teknik mencerminkan pendekatan "get-the-job-done" yang bersumber dari pola pikir pembicara yang pragmatisme.

5. Tujuan (purpose)

  Tujuan merujuk pada hasil akhir yang ada di dalam benak agen untuk tindakan yaitu, mengapa tindakan dilakukan. tujuan dari lakon baik tujuan yang eksplisit maupun implisit. Tujuan merupakan alasan dibalik aksi yang dilakukan oleh aktor komunikasi. Tujuan dalam pesan menunjukkan keinginan yang kuat dari pihak pembicara kesatuan atau makna utama dalam kehidupan, yang umumnya disebut kepentingan mistisisme.

Gambar 2.1 Pentad Drama

  (Turner dan West, 2007: 34) Ketika menggunakan pentad untuk menganalisis sebuah interaksi simbolik, penganalisis pertama–tama menentukan semua elemen dari pentad dan mengidentifikasi apa yang terjadi dalam suatu tindakan tertentu. Setelah memberikan lebel pada poin–poin dari pentad dan menjelaskan semuanya secara menyeluruh, analis kemudian mempelajari rasio dramatistik.

2.3.1 Rasio Dramatistik

  Rasio dramatistik atau proporsi dari satu elemen bila dibandingkan dengan yang lainnya memisahan dua bagian mana saja dari pentad dan mempelajari hubungan mereka satu sama lain, kita menentukan sebuah rasio. Dalam menganalisis rasio dengan cara ini, peneliti mampu untuk menemukan elemen yang dominan. Sebuah kajian dari rasio dramatistik menunjukan sesuatu mengenai sudut pandang dan strategi retoris. Steven Hunt (2003) menyebut rasio dramatis sebagai dampak interaksi dari dua elemen atau lebih dan berargumen bahwa mengamati interaksi–interaksi ini adalah salah satu kriteria yang dapat di gunakan untuk menilai harga dari sebuah kritik retoris (Griffin, 2005: 302)

  Pada umumnya rasio yang digunakan Burke adalah rasio adegan-tindakan dan adegan-agen, ketika terlibat dalam studi dramatisme ia menyatakan dasar dari setiap tindakan dipengaruhi oleh kesadaran tubuh manusia dan gerakan purposif. Dengan kata lain agen sedang memainkan peran dalam suatu situasi. Rasio adegan-tindakan, misalnya, dominan pada beberapa tindakan berkolerasi dengan beberapa adegan dan penjelasan konsisten antara tindakan dan adegan. Rasio adegan-agen menjelaskan bahwa tindakan sebagai hasil korelasi antara agen dan adegan. Prinsip drama adalah tindakan dan agen harus konsisten dengan adegan. Bagaimanapun sejelas apapun konsistensi yang rasio miliki, formulanya akan berubah menjadi koresponden. Seperti pada rasio adegan-tindakan bahwa meskipun agen dan tindakan berbeda dari atribut yang ditampilkan, elemen yang paling penting adalah apa yang disampaikan kepada orang lain. (Turner dan West, 2007: 34)

2.4 Kritik Dramatisme

  Beberapa kritikus mengeluh bahwa teori Burke tidak terlalu jelas dan tidak terlalu spesifik. Dramatisme dipandang oleh sebagian orang terlalu rumit dan membingungkan (Foss, Foss, & Trapp, 1991). Bahkan pendukung Burke mengakui bahwa bukunya sulit untuk dibaca. Marie Hochmuth Nichols (1952) menyimpulkan (Turner dan West 2007: 36)

  Teori Burke sulit dan kadang membingungkan. Pemikirannya tidak bisa dipahami dengan membaca sekilas berbagai volume bukunya. Kesulitan muncul dari berbagai kosa kata yang ia pakai. Kata-katanya dalam konteks tertutup biasanya cukup sederhana, namun ia sering menggunakannya dalam konteks yang baru. Dengan membaca salah satu dari bukunya, tanpa memperhatikan kronologi publikasi, membuat masalah pemahaman lebih sulit karena terdapat makna khusus yang melekat pada berbagai kata dan frase.

  Tambahan bagi kritik di atas adalah bahwa ruang lingkup dramatisme terlalu luas. Tujuan Burke lebih kurang adalah menjelaskan seluruh pengalaman manusia dengan interaksi simbolik. Tujuan tersebutlah yang sangat luas dan ambisius, dan beberapa kritikus percaya bahwa ini yang menyebabkan teori ini menjadi terlalu luas untuk dapat bermakna. Bila dibandingkan teori dramatisme dengan teori seperti teori pengurangan ketidakpastian, kita bisa melihat dua lingkup teoritis ekstrim. Teori pengurangan ketidakpastian berusaha untuk menjelaskan beberapa menit pertama dari pertemuan awal antara orang asing. Sementara dramatisme mencakup semua interaksi simbolik manusia. Beberapa kritikus akan menyatakan bahwa ketika sebuah teori berusaha mencapai tujuan yang demikian luasnya, teori ini dapat dipastikan terlalu rumit dan tidak mudah di pahami. Namun Burke dan banyak pengikutnya menyatakan luasnya cakupan dramatisme merupakan bagian dari daya tariknya. (Denzin, 1992: 95)

2.4.1 Kegunaan

  Beberapa peneliti mengamati bahwa dramatisme kurang dapat memenuhi kriteria kegunaan. Secara garis besar kritik yang disampaikan oleh Condit (Condit, 1992; Murray 2003) tidak menyangkal adanya kontribusi besar yang diberikan oleh teori Burke. Sebaliknya, ia hanya menyarankan beberapa perluasan dan modifikasi untuk memperbaiki teori ini. Walaupun teori Burke terus untuk digunakan secara luas, sangat perlu untuk memperluasnya untuk mencakup suara–suara kaum marginal (Griffin, 2005: 305)

Dokumen yang terkait

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.2. Analisis Faktor - Penentuan Faktor Dominan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara dengan Analisis Faktor

0 0 12

DAFTAR ISI - Penentuan Faktor Dominan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara dengan Analisis Faktor

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Publik 2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik - Implementasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2014 di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (Studi Pada Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri Kebayakan Gunung Balohen Keca

0 1 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2014 di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (Studi Pada Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri Kebayakan Gunung Balohen Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah)

0 2 9

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang - Implementasi Kebijakan Program Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) Studi Pada Kantor Camat Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai

0 1 28

KATA PENGANTAR - Implementasi Program Beras Untuk Masyarakat Miskin di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi

0 0 53

BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Bentuk Penelitian. - Pengaruh Kualitas Pelayanan Frontliner Terhadap Kepuasan NasabahBank Sumut Cabang Pembantu Kota Perdagangan Kabupaten Simalungun

0 0 9

KATA PENGANTAR - Pengaruh Kualitas Pelayanan Frontliner Terhadap Kepuasan NasabahBank Sumut Cabang Pembantu Kota Perdagangan Kabupaten Simalungun

0 0 36

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif Paradigma Penelitian - Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

0 0 53

Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo (Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme)

1 0 12