BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif Paradigma Penelitian - Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/ Paradigma Penelitian

  Paradigma pada penelitian ini mengacu pada paradigma konstruktivis. Menurut Guba (Wibowo, 2011: 136)paradigma adalah “ Seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi

  

prinsip utama, pandangan tentang dunia yang menjelaskan pada penganutnya tentang alam

dunia.” Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri

  seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia. Paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. LittleJohn mengatakan bahwa teori-teori aliran konstruksionis ini berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya.

  Penelitian ini menggunakan sebuah paradigma Konstruktivis. Paradigma konstruktivis melihat realitas pada saat ini merupakan hasil kreasi manusia. Paradigma kritis dimaknai sebagai sesuatu konsep kritis dengan latar belakang ideologi tertentu dalam mengkaji suatu fenomena sosial (Vardiansyah, 2008: 62).

  Paradigma konstruktivisme yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial yang berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, gambar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara mengelola dunia sosial mereka (Wibowo, 2011: 162).

  Denzin dan Lincoln (dalam Wibowo, 2011: 162) menilai bahwa, setiap paradigma dapat dibedakan berdasarkan elemen-elemen yang berkaitan dengan epistemologi, ontologi, aksiologi, dan metodologi. Epistomologimenyangkut asumsi tentang hubungan antara peneliti dan yang diteliti dalam proses untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Elemen metodologimenyangkut asumsi tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai objek pengetahuan, sedangkan aksiologi menyangkut posisi value judgements. Filsafat ilmu komunikasi diartikan sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu komunikasi) dari segi ciri-ciri, cara perolehan, dan pemanfaatannya. Ontologi, apakah ilmu komunikasi? Epistomologi, Bagaimana proses yang memungkin ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu komunikasi? Aksiologi, untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan? Epistomologi adalah filsafat yang mempelajari pengetahuan atau bagaimana orang mengetahui apa yang mereka akui mengetahuinya. Karena aneka ragam disiplin terlibat dalam studi komunikasi dan perbedaan hasil pemikiran mengenai riset dan teori, isu-isu epistomologi adalah penting dalam bidang ini. (LittleJohn dalam Zamroni, 2009:87). Objek Epistomologi adalah pengetahuan sedangkan objek formalnya adalah hakikat ilmu pengetahuan. Di antara isu-isu epistomologi yag penting menurut LittleJohn (2002:26), adalah pertanyaan : dengan proses apa pengetahuan itu muncul? Pertanyaan ini sangat kompleks, dan debat pada isu-isu ini terletak pada jantung epistomologi.

  Konstruktivisme dikaji secara ontologis menurut Guba (dalam Denzin dan Lincoln, 2009 : 137) dapat dikelompokkan dalam relativis. Realitas yang bisa dipahami dalam bentuk konstruksi mental yang bermacam-macam dan tak dapat diindera, yang didasarkan secara sosial dan pengalaman, berciri lokal dan spesifik (meskipun berbagai elemen sering kali sama-sama dimiliki oleh berbagai individu dan bahkan bersifat lintas budaya), dan bentuk beserta isinya bergantung pada manusia atau kelompok individual yang memiliki konstruksi tersebut. Konstruktivisme dikaji secara epistomologidapat dikelompokkan dalam

  

transaksional dan subjektivis . Peneliti dan objek penelitian dianggap terhubung secara timbal

  balik sehingga “hasil-hasil penelitian” terciptakan secara literal seiring dengan berjalannya proses penelitian.

  Konstruktivisme menganggap bahwa subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan sosialnya(Elvinaro dan Q. Anees, 2007:151). Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Bagi kaum konstruktivis, semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial, dan karenanya plural.

  Konstruktivisme, berdasarkan secara etimologi mengkonstruksi, merangkai. Konstruktivisme merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang yang sudah ada di benak subjek. Namun, konstruktivisme menunjukkan bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi, melainkan proses panjang sejumlah pengalaman. Banyak situasi yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan perubahan akan pengetahuannya. Perubahan inilah yang mengembangkan pengetahuan seseorang. Bettencourt (1989) (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007:157)menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang membantu perubahan, yaitu : (1) konteks tindakan, (2) konteks membuat akal, (3) konteks penjelasan, dan (4) konteks pembenaran (justifikasi).

  Bila dirunut ke belakang, pemikiran konstruktivisme – yang meyakini bahwa makna atau realitas bergantung pada konstruksi pikiran(Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 153)berdasarkan teori Popper (1973). Popper membedakan tiga pengetahuan mengenai alam semesta: (1) dunia fisik atau keadaan fisik; (2) dunia kesadaran mental atau disposisi tingkah laku; dan (3) dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah. Bagi Popper objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik, melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan-batasan baru mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran pengetahuan manusia. Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Menurut Von Glossferld (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 154) konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif.

  Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, oleh karenanya pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas)(Wibowo, 2011: 162). Pengetahuaan bukanlah gambaran dari kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Pada proses ini seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan, sehingga suatu pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang secara terus menerus dialaminya.

  Konstruktivis percaya bahwa untuk dapat memahami suatu arti orang harus menerjemahkan pengertian tentang sesuatu. Para peneliti harus menguraikan konstruksi dari suatu pengertian / makna dan melakukan klarifikasi tentang apa dan bagaimanadari suatu arti dibentuk melalui bahasa serta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor/pelaku.

  Sedangkan paradigma kritis menekan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan dengan pikirannya, karena dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di dalam masyarakat. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema wacana tertentu, maupun strategi di dalamnya (Eriyanto, 2001 : 6).

  Konstruktivis mengombinasikan pemikiran yang berkaitan dengan cara manusia berpikir sambil berinteraksi dengan lingkungan sosial (konstruktivis) atau bagaimana makna diperoleh secara sosial dan dipengaruhi oleh struktur kekuasaan di masyarakat, juga konsekuensi etis dari pilihan manusia (kritis). Istilah konstruktivis pertama kali digunakan tahun 1960-an di bidang pendidikan dan kemudian di bidang psikologi (LittleJohn & Foss, 2009: 216). Konstruktivisme mengacu pada integrasi pembangunan sosial teori realitas, yang diajukan dalam tradisi sosiologi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan teori kritis.

  Menurut Feenberg, pendekatan konstruktivis mengkritisi pandangan deterministik, yang berpendapat bahwa teknologi membentuk masyarakat dengan sendirinya, independen dari perkembangan utama politik dan kebudayaan. Feenberg membuat tiga dalil: (1) teknologi dibentuk oleh proses sosial di mana pilihan terhadap teknologi dipengaruihi berbagai kriteria kontekstual; (2) proses sosial ini memuaskan berbagai kebutuhan kultural yang berhubungan dengan teknologi; dan (3) definisi kompetitif teknologi mencerminkan pandangan masyarakat yang bertentangan. Karena itulah, pilihan terhadap teknologi dipengaruhi oleh pengaturan kekuatan di dalam masyarakat (LittleJohn & Foss, 2009 : 216).

2.1.1 Pengetahuan

  Para pemikir konstruktivis mengatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil pemahaman pemikiran secara terus menerus, berulang-ulang. Piaget (1970) (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 155) membedakan dua aspek dalam pembentukan pengetahuan : (1) aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek berpikir figuratif adalah imajinasi, dan gambaran mental seseorang terhadap suatu objek atau fenomena. Aspek berpikir operatiflebih berkaitan dengan transformasi dari satu tingkat ke tingkat lainnya.

  Secara ringkas gagasan konstrukstivisme mengenai pengetahuan menurut Glasersferld dan Kitchener dapat dirangkum sebagai berikut (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007 : 155) : 1.

  Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.

  3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Stuktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsep itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang. Ketidakpuasan manusia, sepanjang hidup, naluri ingin tahu mendoraong manusia untuk terus mencari tahu. Karenanya, mari kita artikan naluri ingin tahu sebagai dorongan alamiah yang dibawa manusia sejak lahir untuk mencari tahu tentang segala sesuatu, termasuk hal ihwal diri sendiri, dan baru berhenti di akhir kesadaran manusia pemiliknya (Vardiansyah, 2008 : 2). Sebelum mengetahui, juga manusia terlebih dahulu melihat, mendengar, serta merasa segala yang ada di sekitarnya. Yang berada di sekitar manusia adalah seisinya, tampak maupun tidak: asalkan ada, dirasakan , atau mungkin ada. Dengan kata lain, objek tahu adalah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada.

  Hasil persentuhan alam dengan panca indra disebut peng-alam-an pengalaman. Pengalaman hanya memungkinkan seseorang menjadi tahu. Hasil dari tahu disebut penge-

  

tahu -an (pengetahuan). Pengetahuan ada jika manusia demi pengalamannya mampu

mencetuskan pertanyaan atau putusan atas objeknya, seperti mangga yang satu itu masam.

  (Vardiansyah, 2008: 3).

  Objek materia adalah objek dari mana ilmu dalam bidang yang sedang diamati,sedangkan objek forma adalah sudut dari mana objek materia dikaji secara spesifik. Dalam hal Ilmu Komunikasi, objek materia adalah tindakan manusia dalam konteks sosial, sama seperti sosiologi atau antropologi misalnya, dan karenanya masuk dalam rumpun ilmu sosial. Sedangkan objek forma ilmu komunikasi adalah ilmu komunikasi itu sendiri.

2.2 Kerangka Teori / Kajian Pustaka

2.2.1 Konstruksi Realitas dalam Media Massa

  Isi Media merupakan suatu bentuk konstruksi sosial. Media melakukan konstruksi terhadap terhadap pesan-pesan yang disampaikan berupa tulisan-tulisan, gambar-gambar, suara, atau simbol-simbol lain melalui proses penyeleksian dan manipulasi tertentu sesuai keinginan atau pun ideologi media itu. (Wibowo, 2011: 125).

  Khalayak pada dasarnya menerima sebuah bentuk realitas yang dikonstruksi oleh media. Menurut Gerbner (dalam Wibowo, 2011: 125) dan kawan-kawan, dunia simbol media membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan konstruksi realitas.

  Segala bentuk realitas sosial termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja dikonstruksi. Berger dan Luckmann mengatakan : “institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif. Namun pada kenyataannya semua dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif sama.” (Wibowo, 2011: 126).

  Menurut penjelasan Berger dan Luckmann diatas, segala yang ada dalam institusi masyarakat dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat itu sendiri melalui suatu interaksi. Setiap interaksi terjadi berdasarkan definisi subjektif dari tiap anggota masyarakat yang kemudian ditegaskan secara berulang-ulang dan menjadi suatu nilai objektif dalam masyarakat.

  Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann adalah (dalam Wibowo, 2011:125) pengetahuaan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadarn umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial.

  Berger dan Luckmann (dalam Wibowo, 2011: 126) membagi realitas sosial ke dalam tiga macam realitas, yaitu : a. Realitas objektif yakni realitas terbentuk dari pengalaman dunia objektif yang berada di luar diri individu dan realitas itu dianggap sebagai suatu kenyataan.

  b. Realitas simbolik yaitu ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk.

  c. Realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi.

  Menurut mereka realitas sosial ini terbentuk melalui tiga tahap, yaitu :

  a. Eksternalisasi yakni individu melakukan penyesuaian diri dengan dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. b. Objektivasi yakni interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, produk sosial berada pada proses institusionalisasi. Individu memunculkan dirinya dalam produk-produk kegiatan manusia baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dunia bersama dunia. Hal terpenting pada tahap ini adalah terjadinya pembuatan tanda – tanda sebagai isyarat bagi pemaknaan subjektif.

  c. Internalisasi. yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.

  Komunikasi sebagai bentuk interaksi tidak bisa lepas konstruksi-konstruksi realitas sosial. Isi media menurut Alex Sobur pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya.

  Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. Dengan demikian semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas,telah dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. Hal itu menjelaskan peranan tanda yang sangat hebat dimana tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekadar merefleksikan realitas yang ada (Bignell, 1997, dalam Listiorini, 1999).

  Atas dasar pengaruh dari tanda tersebut seorang penggiat aktivis penghijauan Green Peace, John Watson, memberikan pendapatnya mengenai media massa. Media massa merupakan sumber informasi yang menjadi pionir utama dalam keseharian manusia.

  Menurutnya konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Kesimpulannya, kebenaran ditentukan oleh media massa (Abrar, 1995: 59).

  Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita (Tuchman, 1980).

  Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa dalam perkembangan semiotika merupakan suatu alat atau suatu metode dalam mengembangkan pertandaan. Bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menenetukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Bahasa juga bukan sekadar alat komunikasi untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik. Akibatnya, media massa mempunya peluang yang sangar besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasikan dari realitas yang dikonstruksikan. Sesuai dengan perilakunya media massa yang menceritakan kembali sebuah peristiwa fakta, dimana proses penceritaan fakta tersebut disebut dengan pengonstruksian realitas (Sobur, 2001: 88).

  Fakta tersebut termaktub dalam penggunaan bahasa tertentu yang secara jelas berimplikasi terhadap suatu kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realita turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Bahkan menurut Hamad (2001: 57), bahasa bukan cuma mampu mencerminkan, tetapi sekaligus menciptakan realitas. Dalam konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menciptakan realitas.

  Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) melalui bukunya “Tafsir Sosial atas Kenyataan : Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan”, menggambarkan sebuah proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.

  Dalam buku tersebut Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mereka mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik secara spesifik.

  Dikatakan, institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun, masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang

  

universal , yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan

mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupan

  (Berger dan Luckmann, 1990: 61).

  Lebih jauh lagi pengertian realitas adalah sebuah konsep yang kompleks, yang sarat dengan pertanyaan filosofis (Pilliang, dalam Slouka, 1999:15). Apakah yang kita lihat itu benar-benar nyata? Apakah musik yang kita dengar nyata atau hanya konsep. Ada sebuah konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah “realitas”, melainkan representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya yang tidak dapat kita tangkap. Menurut Zak van Straaten, yang dapat kita tangkap hanyalah tampilan (appearance) dari realitas dibaliknya (Piliang, dalam Slouka, 1999: 15). Media memainkan peran dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran informasi. Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang realita. LittleJohn (1996: 236) membuat sebuah penafsiran mengenai media, “peristiwa tidak

  

bisa menunjukkan… agar bisa dipahami peristiwa harus dijadikan bentuk simbolis… si

komunikator mempunyai pilihan-pilihan kode-kode atau kumpulan simbol… pilihan tersebut

akan mempengaruhi makna peristiwa bagi penerimanya,. karena setiap bahasa – setiap

simbol – hadir bersamaan dengan ideologi, pilihan atas seperangkat simbol yang sengaja

atau tidak, merupakan pilihan atas ideologi.

  Volosinov menyatakan “whenever a sign present, ideology is present too (Hall, 1997, dalam Susilo, 2000). Media dilihat sebagai proses produksi dan pertukaran makna. Terlihat

  

bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan

dengan peran teks di dalam kebudayaan . Pendekatan seperti ini disebut dengan pendekatan

  strukturalisme yang bisa dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linier (Fiske, 1990:39).

  Komunikasi massa adalah bentuk institusi sosial yang merupakan suatu kumpulan individu. Dennis McQuail (dalam Wibowo, 2011 : 127) mengatakan bahwa komunikator dalam komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu organisasi. Pesan tersebut seringkali diproses, distandarisasi dan selalu diperbanyak. Pesan mempunyai nilai tukar dan acuan simbolik yang mengandung nilai kegunaan.

  Menurut McQuail bahwa komunikator dari komunikasi massa dalam hal ini media massa bersifat organisasional yang artinya ada tujuan dari pesan-pesan yang disampaikan dimana pesan-pesan komunikasi massa punya kecenderungan mempunyai nilai-nilai tertentu yang berhubungan dengan kepentingan media.

  Itulah sebabnya seperti dikatakan McQuail, dalam media sendiri terjadi standarisasi pesan dan pemrosesannya disinilah proses konstruksi pesan media terjadi. Sobur berpendapat bahwa isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksi berbagai realitas yang dipilihnya. Penelitian ini pada dasarnya ingin memberikan gambaran tentang realitas simbolik dalam proses konstruksi yang dilakukan oleh pembuat Ilustrasi di Harian Kompas.

2.2.2 Manusia Sebagai Pembuat Simbol

  Pada awalnya yang membedakan antara manusia dengan hewan menurut para filsuf adalah kemampuan dalam menggunakan logika. Hewan berinteraksi menggunakan naluri atau instingnya. Namun ada unsur pembeda lain, yakni kemampuan manusia berkomunikasi dengan simbol-simbol. Kenneth Boulding (dalam Rivers, 2003: 28) mengingatkan hewan tidak punya gagasan kesadaran dan lingkungan simbolik (bahasa, seni, dan mitos) seperti halnya manusia; manusia memiliki keunikan karena kemampuan menggunakan nalar (logika) serta dunia simboliknya. Hewan ketika diberikan makanan akan bereaksi dengan memakan makanan yang telah diberikan, sedangkan manusia akan menanggapinya dengan berbagai cara tergantung pada penafsirannya atas simbol-simbol yang ada.

  Manusia menanggapi sesuatu tidak hanya secara naluriah. Manusia akan mengolah berbagai gagasan dulu, baik yang bersifat artistik, mistis ataupun religius, sebelum religius. Seperti yang dikatakan Epictetus, (dalam Rivers,2003: 28) “Apa yang menyentak manusia bukanlah benda-benda, melainkan pendapat dan bayangannya sendiri tentang benda-benda tersebut.”

  Realitas atau kenyataan mengandung hal-hal yang dapat diindera manusia; namun ada kerangka dan struktur tertentu dalam memahami hal-hal itu yang keberadaanya terkadang tidak dapat dilihat secara langsung oleh manusia. Untuk mengetahui hal tersebut itulah manusia menggunakan simbol-simbol. Manusia mengolahnya dengan pikiran, membuat citra- citra, konsep atau bayangan penafsiran tertentu sebagai simbol, dan setiap simbol memiliki makna tersendiri. Itulah sebabnya bagi manusia, sang pencipta simbol, dunia adalah sesuatu yang semu, suatu jaringan atau rangkaian simbol ciptaannya itu.

2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu

  Walter Lippmann pernah menyatakan, “The world outside and the pictures in our

  

head ,” (dunia diluar dengan gambarannya dipemikiran kita). Lippman (dalam Rivers, 2003:

  29) dalam bukunya Public Opinion menjelaskan tentang lingkungan semu (pseudo-

  

environment ). Dunia objektif yang dihadapi manusia itu “tak terjangkau, tak terlihat, dan tak

  terbayangkan.” Karenanya manusia menciptakan sendiri dunia di pikirannya dalam upayanya sedikit memahami dunia objektif tersebut. “Biasanya kita tidak melihat dulu sesuatu untuk mendefinisikannya; biasanya kita mendefinisikan dulu, baru melihat. Ketika diliputi ketidaktahuan tentang dunia luar, kita begitu saja membayangkannya berdasarkan apa yang sudah kita ketahui. Enak tidaknya makanan, indah atau tidaknya tempat yang dikunjungi akan selalu didasarkan pada apa yang di tempat asal, dan pada apa yang sudah dibayangkan sebelumnya,” Walter Lippmann.

  Proses penggambaran kenyataan di benak kita tentu saja juga dipengaruhi dari pernak-pernik pengalaman kita. Tetapi tetap saja dalam menafsirkan sesuatu kita bersandar pada pandangan awal, prasangka, motivasi dan kepentingan kita sendiri. Penafsiran dan pengembangan bayangan ini pula yang memunculkan stereotype, dan melandasi cara pandang kita selanjutnya terhadap dunia luar. Lippman berpendapat bahwa prosesnya bisa berulang-ulang tanpa akhir.

  Media massa sebagai sumber pengetahuan memiliki kemampuan menyajikan informasi dunia luar kepada orang-orang, yang kemudian menggunakannya untuk membentuk atau menyesuaikan gambaran mentalnya tentang dunia. Media massa juga bisa dianggap menciptakan lingkungan semu tersendiri di antara manusia dan dunia ‘nyata’. Sebagai institusi kontrol sosial yang dominan, media bisa dinilai memperkuat nilai-nilai dan pandangan lama disuatu masyarakat.

  2. 2. 4. Semiotika

  Paham mengenai semiotika atau “ilmu tentang tanda” ini telah menjadi salah satu konsep yang paling bermanfaat di dalam kerja kaum strukturalis sejak beberapa dasawarsa yang lalu. Basisnya adalah pengertian tanda, yakni segala sesuatu yang secara konvensional

  

dapat menggantikan atau mewakili sesuatu yang lain . Strukturalisme itu sendiri, menurut

  David A. Apter, merupakan pendekatan yang paling antardisiplin di antara pendekatan- pendekatan lain. Strukturalisme sendiri berasal dari linguistik, antropologi, filsafat, dan sosiologi (Apter, 1996:371). Strukturalisme sendiri berusaha menemukan agenda-agenda yang tersembunyi, aturan-aturan permainan yang menentukan aksi. Ia menyusun aktivitas manusia (Goffman, dalam Apter, 1996: 371).

  Strukturalisme awalnya merupakan sebuah pergerakan di dalam ilmu bahasa, sekaligus upasya untuk membuktikan pentingnya konsep dan metode linguistik bagi beragam isu yang luas di dalam ilmu-ilmu humaniora dan ilmu sosial (Giddens dan Turner, 2008: 335). Pemilihaan Sussure antara langue dan parole bisa dianggap sebagai ide kunci di dalam strukturalisme linguistik, sekaligus mencerabut studi ‘bahasa’ dari ruang kontingensi dan kontekstualnya. Parole adalah apa yang disebut Saussure sebagai “sisi eksekutif bahasa”, sementara langue adalah “sistem tanda-tanda yang di dalamnya cuma hal-hal esensial yang menjadi pemersatu makna dan citra-citra akustik” (Saussure, 1974).

  Strukturalisme merupakan sebuah paham filsafat yang memandang dunia sebagai realitas berstruktur. Peran linguistik Saussurean dalam hal ini sangat besar (dalam membangun filsafat para strukturalis), karena linguistik Saussurean memperkenalkan apa yang dinamakan sistem. Selanjutnya, kaidah-kaidah linguistik ini mereka coba untuk terapkan di lapangan penelitian masing-masing, yakni dengan menjadikannya semacam model yang paralel dengan realitas yang menjadi objek-objek kajian mereka (Kurniawan, 2001: 40).

  Umar Junus berpendapat semiotika merupakan sebuah perkembangan selanjutnya dari strukturalisme. Pendapat dari Dennis McQuail (1991: 191), “semiotika adalah ‘ilmu tentang tanda dan mencakup strukturalisme dan hal-hal lain yang sejenis, yang karenanya semua hal yang berkaitan dengan siginifikasi (signification), betapapun sangat tidak terstruktur, beraneka ragam dan terpisah-terpisah”. Konsep ‘sistem-tanda’ dan ‘signifikasi’ telah biasa dalam ilmu bahasa; strukturalisme dan semiotika terutama berasal dari de Saussure. Dimana tanda adalah setiap ‘kesan bunyi’ yang berfungsi sebagai ‘signifikasi’ sesuai yang ‘berarti’ –

  

suatu objek atau konsep dalam dunia pengalaman yang kita ingin komunikasikan. Aliran

  strukturalisme modern pun menekan bahwa kehidupan kita ditopang oleh struktur-struktur, jauh dibawah kesadaran roh; struktur-struktur itu merupakan pola-pola, jaringan-jaringan yang memberikan arti dan makna kepada gambar material (van Peursen, 1991: 240). Strukturalisme yang memiliki kedekatan dengan lingustik (bahasa) dikembangkan oleh Saussure. Teorinya mengatakan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda.

  Semiologi atau pada saat ini dikenal dengan Semiotika merupakan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari sebuah tanda. Menurut Ferdinand de Saussure (dalam Sobur, 2004: vii) ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Makna implisit yang dapat kita ambil dari pernyataan tersebut adalah terciptanya sebuah hubungan atau relasi, jika tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, dapat dikatakan bahwa tanda merupakan unsur-unsur dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Pada hipotesa dari Saussure ini berkaitan dengan suatu hal yang bernama konvensi sosial (social convention), yaitu yang mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan, pengombinasian, dan penggunaan

  tanda-tanda dengan cara tertentu, sehingga ia mempunyai makna dan nilai sosial.

  Semiotika adalah teori dan analisis dari berbagai tanda (signs) dan pemaknaan (signification, dimana semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotika (tanda, pemaknaa,

  

denotatum , intepretan, dasar, dan masih banyak lagi yang akan kita kenal pada kesempatan

  lain) dapat diterapkan pada semua bidangan kehidupan asalkan prasyaratnya dipenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaan, ada intepretasi (van Zoest, 1993: 54).

  De Saussure dan juga Barthes melihat tanda sebagai suatu konsep diadik (dua bagian yang berbeda tetapi berkaitan) dan sebagai sebuah struktur (susunan dua komponen yang berkaitan satu sama lain dalam suatu bangun) (Christomy, 2004: 54). Konsep diadik tersebut yang menghasilkan sebuah makna.

  Charles Sanders Pierce (dalam Sobur, 2004: 13) mengatakan semiotika merupakan sebuah konsep tentang tanda; tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun - sejauh terkait dengan dengan pikiran manusia

  • – seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungan dengan realitas.

  Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2001: 5). Jika kita runut jauh kembali ke masa lalu, semiotika atau ilmu tentang sistem tanda sudah ada ketika masa Greek Stoics. Semula berawal dari tanda yang diperdebatkan oleh penganut mazhab Stoik dan kaum Epikurean di Athena, Yunani pada abad 300 SM. Inti perdebatan mereka berkaitan dengan perbedaan antara tanda natural (yang terjadi secara alami) dan tanda konvensional (yang khusus dibuat untuk komunikasi)

  Terdapat dua bentuk semiotika, yaitu Semiotika Signifikasi oleh Ferdinand de Saussure dan Semiotika Komunikasi oleh Charles Sanders Pierce. Semiotika Signifikasi mempunyai pengertian semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tandadi dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu (dalam Sobur, 2004: viii). berdasarkan konvensi inilah yang disebut sebagai

  Relasi antara penanda dan petanda

  signifikasi (signification). Umberto Eco mempunyai pengertian sendiri dalam Semiotika Komunikasi. Semiotika Komunikasi mempunyai penekanan dalam aspek produksi tanda(sign

  

production ), dibandingkan dengan Semiotika Signifikasi yang lebih menekankan sistem

tanda (sign system). Menurut Eco (Sobur, 2004: xii) sebagai sebuah mesin produksi makna,

  semiotika komunikasi sangat bertumpu pada pekerja tanda (labor), yang memilih tanda dari bahan baku tanda-tanda yang ada, dan mengombinasikannya, dalam rangka memproduksi sebuah ekspresi bahasa bermakna.

  Menurut Eco (dalam Sobur, 2004: xiv), ketika seseorang menuturkan kata (atau imaji), maka ia terlibat di dalam sebuah proses produksi tanda, yang sebagaimana pada umumnya konsep ekonomi yang melibatkan pekerja, pekerja tanda. Ia mempekerjakan tanda- tanda (memilih, menyeleksi, menata dan mengombinasikan dengan cara dan aturan main tertentu.). Semiotika Komunikasi menurut Eco lebih menekankan pada teori produksi tentang tanda, yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi, dan acuan.

  Manusia merupakan mahluk pembuat simbol. Ketika dia berbicara, ketika menampilkan dirinya dengan segala perniknya menyimpulkan sebuah simbolisasi. Wanita yang menggunakan baju warna kuning dari atas hingga bawah ingin menampilkan sebuah makna, tanda, dan simbol keceriaan. Seperti kata Cassirer (Sobur, 2004: 14) “fungsi dan kebutuhan simbolisasi manusia dijabarkan sebagai ciri khas manusia dan sekaligus ciri keagungannya.

  Charles Sanders Peirce beranggapan bahwa sebuah tanda (representamen) merupakan sebuah bagian yang tidak bisa terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda (intepretant). Tanda menurut pandangan Peirce itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2001: 5).

  Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda, mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan kata yang lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya (Bungin, 2007: 164).

  Fiske (dalam Bungin, 2007: 167) mengatakan bahwa Semiotika mempunya tiga bidang studi utama yaitu : a). Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

  b). Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

  c.). Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

  Dilain pihak, menurut LittleJohn (2009: 55-56) semiotika dapat dibagi ke dalam tiga dimensi kajian, yaitu semantik, sintaktik, dan pragmatik. Adapun penjelasan secara rincinya adalah sebagai berikut : 1.

  Semantik, berkenaan dengan makna dan konsep. Dalam hal ini membahas bagaimanatanda memiliki hubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantara atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009: 29).

  2. Sintaktik, berkenaan dengan kepaduan dan keseragaman, studi ini mempelajari mengenai hubungan antara para tanda. Tanda dilihat sebagai bagian dari sistem tanda yang lebih besaratau kelompok yang diorganisir melalui cara-cara tertentu. Sistem tanda seperti ini biasa disebut kode. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya (Morrisan, 2009:30).

  3. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia dengan kata lain adalah studi mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Berkaitan pula dengan mempelajari bagaimana pemahaman atau kesalahpahaman terjadi dalam berkomunikasi (Morrisan, 2009: 30).

  Preminger mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-

  

tanda . Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang

memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. (Bungin, 2007:165).

  Konvensi atau kesetujuan mengenai pemaknaan suatu makna di suatu kebudayaan merupakan hal penting. Hal tersebut dikarenakan intepretan memainkan peran subjektif yang sangat strategis dalam proses pemaknaan tanda itu sendiri. (Bungin, 2007: 169). Maksud disini adalah latar belakang, pengalaman, field of reference & field of experience, dan kebudayaan menjadi faktor penting seseorang untuk memaknai sebuah tanda.

  Proses semiosis (semiotika atau semiologi) yang memberikan makna terhadap unsur kebudayaan yang dipandang akan menghasilkan sebuah tanda. Menurut Danesi dan Perron (1999:68 – 70) tujuan utama semiotika adalah memahami kemampuan otak untuk memproduksi dan memahami tanda serta kegiatan membangun pengetahuan tentang sesuatu dalam kehidupan manusia. Kemampuan itu adalah kemampuan semiosis (semiotika atau semiologi), sedangkan kegiatan manusia yang berkaitan dengan tanda adalah representasi (kegiatan mengaitkan suatu representamen dengan objeknya). (Hoed, 2011: 23).

  Ferdinand de Saussure merupakan orang yang berjasa dalam mengembangkan ilmu semiotika. Teori yang paling terkenal adalah penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut Saussure, bahasa merupakan suatu sistem tanda (sign), dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut Saussure (dalam Sobur, 2004: 46) tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain penanda adalah “bunyian yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.

  Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler, 1976, dalam Ahimsa-Putra, 2001: 35). Setiap tanda kebahasaan , menurut Saussure, pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra (sound image). Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya adalah petanda (signified). Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer (bebas, semaunya), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Menurut Saussure, ini tidak berarti “bahwa pemilihan penanda sama sekali meninggalkan pembicara” namun lebih dari itu adalah “tak bermotif” yaitu arbitrer dalam pengertian penanda tidak ada mempunyai hubungan alamiah dengan petanda (Saussure, 1996, dalam Berger 2000b: 11).

  Semiotika memecah – mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotika menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan dimana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual isi: ia mengulas cara-cara beragam unsur bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna. Analisis semiotik biasanya diterapkan pada citra atau teks visual (Berger, 1987: 1998a). Metode ini melibatkan pernyataan dalam kata-kata tentang bagaimana citra bekerja, dengan mengaitkan mereka pada struktur ideologis yang mengorganisasikan makna (Stokes, 2006 : 78).

2.2.4.1 Semiotika Komunikasi Visual

  Sebelum lebih jauh, Semiotika Komunikasi Visual merupakan pisau pembedah tanda- tanda dalam desain komunikasi visual. Menurut Widagdo (dalam Tinarbuko, 2009: 23), desain komunikasi visual adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas, dilandasi pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis. Tinarbuko (Tinarbuko, 2009: 23) mengatakan desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi, dan layout. Dalam pandangan Sanyoto, desain komunikasi visual memiliki pengertian secara menyeluruh, yaitu rancangan sarana komunikasi yang bersifat kasat mata. T. Susanto menyatakan bahwa desain komunikasi visual (DKV) senantiasa berhubungan dengan penampilan rupa yang dapat dicerap orang banyak dengan pikiran maupun perasaaan.

  Pesan atau informasi yang terdapat hasil karya desain komunikasi visual, yang menjadi objek kajian semiotika komunikasi visual. Pesan yang disampaikan kepada khalayak

  sasaran dalam bentuk tanda.

  Semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan, dan objektivitas macam itu, melainkan dibangun oleh ‘pengetahuan’ yang lebih terbuka bagi aneka intepretasi. Logika semiotika adalah logika di mana intepretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya; intepretasi yang satu lebih masuk akal daripada yang lain.

  Semiotika Komunikasi Visual adalah sebuah upaya memberikan sebuah intepretasi terhadap keilmuan semiotika itu sendiri, yaitu semiotika sebagai sebuah metode pembacaan karya komunikasi visual. (Tinarbuko, 2009: x). Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah sebuah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm). Di dalam semiotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’, yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengirim pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan aturan atau kode-kode tertentu.

  Semiotika dalam hal ini menjadi disiplin ilmu penopang desain komunikasi visual. Sebab, desain komunikasi visual mengandung tanda-tanda komunikatif. Lewat bentuk-bentuk komunikasi visual seperti itulah pesan tersebut menjadi bermakna.

  Fungsi utamanya adalah komunikasi, tetapi bentuk-bentuk komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikasi (signification), yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi, atau makna. Fungsi signifikasi adalah fungsi dimana penanda (signifier) yang bersifat konkret dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna yang secara umum disebut petanda (signified).

  Pada dasarnya, desain komunikasi visual merupakan representasi sosial budaya masyarakat dan salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Sebagai produk kebudayaan, ia terkait dengan sistem ekonomi dan sosial. Di samping itu, desain bersahabat dengan sistem nilai yang sifatnya abstrak dan spiritual. (Tinarbuko, 2009: 6).

  Karya desain komunikasi visual merupakan saksi sejarah atas perkembangandinamika

  

sosial politik bangsa Indonesia (Tinarbuko, 2009 : 8). Sebab, sebagaimana kita ketahui

  bersama, tren karya desain komunikasi visual tidak bisa lepas dari kondisi sosial politik yang ada di masyarakat. Ketika zama Orde Lama, desain yang muncul tentu akan berbeda dengan masa kejayaan Orde Baru ataupun zaman Reformasi. Desain merepresentasikan keadaan realitas.

  Semiotika Komunikasi Visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul,subjudul, dan

  teks) dan tanda visual (ilustrasi, logo, tipografi, dan tata visual) desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Pisau analisis diharapkan mampu memperoleh makna yang terkandung di balik tanda verbal dan visual. Tanda verbal terdapat pada aspek ragam

  

bahasa, tema, dan pengertian yang didapatkan . Sedangkan tanda visual akan dilihat dari

cara menggambarkannya , apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan bagaimana

  cara mengungkapkan idiom estetiknya (Tinarbuko, 2009: 9). Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan, dan dicari hubungan antara satu dengan yang lainnya.

  Di dalam bidang desain pada khususnya, semiotika digunakan sebagai sebuah “paradigma”—baik dalam “pembacaan”—maupun “penciptaaan “ (creating)—disebabkan ada kecenderungan akhir-akhir ini dalam wacana desain untuk melihat objek-objek desain sebagai sebuah fenomena bahasa, yang di dalamnya terdapat tanda (sign), pesan yang ingin disampaikan (message), aturan atau kode yang mengatur (code) serta orang-orang yang terlibat di dalamnya sebagai subjek bahasa (audience, reader, user) (Christomy, 2004: 88).

  Berdasarkan perkembangan paradigma baru tersebut, penggunaan semiotika sebagai sebuah “metode” dalam penelitian desaian harus berangkat dari sebuah prinsip, bahwa desain sebagai sebuah objek penelitian tidak saja mengandung berbagai aspek fungsi utilitas, teknis produksi dan ekonomis, tetapi juga aspek komunikasi dan informasi yang di dalamnya desain berfungsi sebagai medium komunikasi.

Dokumen yang terkait

Penentuan Faktor Dominan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara dengan Analisis Faktor

1 1 30

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.2. Analisis Faktor - Penentuan Faktor Dominan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara dengan Analisis Faktor

0 0 12

DAFTAR ISI - Penentuan Faktor Dominan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara dengan Analisis Faktor

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Publik 2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik - Implementasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2014 di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (Studi Pada Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri Kebayakan Gunung Balohen Keca

0 1 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2014 di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (Studi Pada Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri Kebayakan Gunung Balohen Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah)

0 2 9

Implementasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2014 di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (Studi Pada Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri Kebayakan Gunung Balohen Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah)

0 0 14

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang - Implementasi Kebijakan Program Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) Studi Pada Kantor Camat Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai

0 1 28

KATA PENGANTAR - Implementasi Program Beras Untuk Masyarakat Miskin di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi

0 0 53

BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Bentuk Penelitian. - Pengaruh Kualitas Pelayanan Frontliner Terhadap Kepuasan NasabahBank Sumut Cabang Pembantu Kota Perdagangan Kabupaten Simalungun

0 0 9

KATA PENGANTAR - Pengaruh Kualitas Pelayanan Frontliner Terhadap Kepuasan NasabahBank Sumut Cabang Pembantu Kota Perdagangan Kabupaten Simalungun

0 0 36