BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan anugerah dan dambaan bagi setiap pasangan suami istri

  setelah menikah. Anak juga merupakan titipan Tuhan Yang Maha Esa yang wajib kita lindungi baik lahir maupun batinnya. Anak merupakan generasi penerus pemegang tongkat estafet masa depan. Anak sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa, memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang. Agar mereka kelak mampu memikul tanggung jawab itu, maka mereka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh

  1 dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual.

  Keluarga terutama orangtua merupakan orang atau lembaga terdekat sebagai tempat berlindung dan pembentuk kepribadian anak. Secara sosiologis, keluarga diartikan sebagai unit kehidupan terkecil dari suatu masyarakat hukum

  2

  yang terjadi karena suatu perkawinan. Di dalam keluarga, seseorang belajar memegang peranan sebagai makhluk sosial yang memiliki norma-norma dan kecakapan tertentu di dalam pengalamannya dengan masyarakat lingkungannya. Pengalaman-pengalaman yang didapatnya di dalam keluarga turut pula menentukan cara-cara bertingkah laku. Apabila hubungan dalam keluarga berlangsung secara tidak wajar ataupun kurang baik, maka kemungkinan pada 1 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung: Nuansa Cendekia, 2012, Halaman

  11 2 Tan Kamelo, Syarifah Lisa Andrianti, Hukum Orang dan Keluarga, Medan, 2011, Halaman 35

  1 umumnya, hubungan dengan masyarakat di sekitarnya akan berlangsung secara

  3

  tidak wajar pula. Namun disayangkan, orangtua yang pada hakekatnya menjadi tempat anak

  • –anak berlindung justru malah tidak memainkan perannya tersebut. Hal ini dapat kita liat dari semakin banyaknya kasus kekerasan yang justru pelakunya adalah orang terdekat sendiri. Hal inilah yang mengundang keperihatinan kita. Bentuk kekerasan yang dialami anak dapat berupa tindakan- tindakan kekerasan, baik secara fisik, psikis maupun seksual. Pada dasarnya, alasan anak menjadi sasaran korban kekerasan oleh orangtuanya adalah karena anak merupakan makhluk yang lemah dan belum bisa melindungi dirinya sendiri. Ia belum bisa menentang perlakuan kasar dari orang tua. Selain itu juga adanya rasa hormat yang dijunjung oleh sianak terhadap orangtuanya. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) dalam tiga tahun terakhir menunjukkan data mengenai kekerasan terhadap anak yang terus meningkat, yaitu tahun 2012 terdapat 1.383 kasus, tahun 2013 tercatat 2.792 kasus dan per-April 2014 jumlah pengaduan telah mencapai jumlah 3.023 kasus. Dari jumlah tersebut, menurut jenisnya, kekerasan seksual merupakan salah satu jenis kekerasan yang mendominasi terjadi pada anak. Sedangkan menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya peningkatan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak dalam kurun waktu 2012 sampai 2013 dengan presentasi peningkatan sebesar 30 persen, dengan rata-rata setiap bulannya terdapat lebih dari 45 orang anak yang mengalami kekerasan seksual. Jenis
  • 3 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Bandung: PT.

      Refika Aditama, 2012, Halaman 75-76 kekerasan yang paling banyak terjadi adalah sodomi, pemerkosaan, pencabulan, serta incest. Sedangkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melansir sejak Januari hingga Oktober 2014, tercatat 784 kasus kekerasan seksual anak. Itu artinya rata-rata 129 anak menjadi korban kekerasan seksual setiap bulannya, dan

      4

      20% anak menjadi korban pornografi . Sedangkan, berdasarkan data yang didapat dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Utara ditahun 2014 sebanyak 100 kasus kekerasan terhadap anak di Sumatera Utara, sekitar 14 persen dan 3 persen diantaranya merupakan kasus pencabulan dan pemerkosaan. Kasus tersebut jika dilihat dari kategori usia korban, yaitu untuk kasus pencabulan dan pemerkosaan dengan korban yang usianya dibawah 18 tahun masing- masing sebanyak 7 persen dan 2 persen. Sedangkan berdasarkan kasus anak berdasarkan pelaku Tahun 2014 ayah/ibu kandung menduduki posisi kedua dengan persentasi sebesar 30 persen. Dan di posisi pertama sebanyak 33,8 persen diduduki oleh orang yang tak di kenal. Hal ini sangat memprihatinkan karena ternyata berdasarkan data tersebut justru orangtua-lah yang menjadi pelakunya.

      Sebenarnya incest bukanlah kata yang baru kita dengar. Incest merupakan hubungan seksual yang dilakukan oleh individu dalam suatu keluarga lainnya, baik itu ayah dengan anak, ibu dengan anak, kakek dengan cucu, kakak dengan adik. Sebagian termasuk ke dalam kejahatan atau penganiayaan seksual, dimana perilaku seksual yang dilakukan dapat berupa penganiayaan secara fisik maupun nonfisik, oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan yang bertujuan untuk 4

       diakses pada Kamis, 22 Januari 2015 pukul 21.10

      

    5

      memuaskan hasrat seksual pelakunya. Sejarah mencatat bahwa beberapa masyarakat kuno telah melakukan perkawinan antar keluarga dengan alasan politik untuk melanggengkan kekuasaan dan juga karena alasan kemurnian keturunan atau ras. Pada masa peradaban Mesir kuno, perkawinan antara saudara bukanlah hal yang aneh didengar. Seorang raja bisa saja menikahi putrinya atau seorang kakak menikahi adik kandungnya sendiri. Sebagai contoh pasangan dewa Osiris dan dewi Isis yang sebenarnya adalah kakak beradik. Di Indonesia ada juga kisah serupa dimana adanya perkawinan sesama atau antar keluarga sedarah walau hanya sebatas legenda. Contohnya perkawinan Prabu Watugunung dengan Dewi Sinta dimana sebenarnya Prabu Watugunung adalah anak kandungnya sendiri dan baru diketahui setelah Dewi Sinta melahirkan 28 orang anak. Legenda lainnya adalah kisah Sangkuriang dan Dayang Sumbi yang hampir saja akan menikah. Tampaknya Incest ini merupakan hal tabu yang telah disetujui secara universal oleh setiap orang. Namun di zaman modern yang serba canggih ini, santer terdengar kasus incest yang muncul di masyarakat. Sebagai contoh kasus

      incest di masyarakat yang diperoleh dan dihimpun oleh Yayasan Pusaka Indonesia

      6

      dari Media Massa antara lain: 1.

      Ayah badau BN (42) wiraswasta warga Bukit Tujuh Pondok LC, Kec Torgamba, Kab Labuhan Batu Selatan menodai anak kandungnya sendiri 5 sebanyak 4 kali sejak selasa (26/1) Menurut Kasat, dari hasil pemeriksaan

       diakses pada Kamis, 22 Januari 2015 pukul 21.15 WIB 6

    iakses pada Jumat, 23 Januari 2015 pukul 10.00 WIB penyidik tersangka mengakui menodai putri kandungnya itu pertama kali sejak tahun 2007, saat itu anak tersebut masih berusia 15 tahun. Tidak tahan dengan perlakuan itu akhirnya korban menceritakan perbuatan ayahnya itu kepada warga, mendengar pengakuan tersebut dua warga yakni Edison Hutasoit dan Iwan langsung menyerahkan tersangka ke polsek Torgamba dan di boyong ke polres Labuhan Batu guna menjalani

      7 penyidikan.

      2. Rantauprapat, perilaku bejat seorang ayah kembali terjadi. Bukhori (45) warga Desa Bukit 7, Kecamatan Torgamba, Kabupaten Labuhanbatu Selatan tega menodai anaknya sendiri Bunga (15). Korban mengakui telah ditiduri oleh ayah kandungnya sendiri sebanyak 4 kali. Tidak tahan dengan perbuatan ayahnya tersebut akhirnya korban menceritakan kejadian tersebut kepada majikannya, dan akhirnya di laporkan langsung ke polres Labuhan Batu. Sementara itu, Kapolres Labuhan Batu AKBP Toga Habinsaran Panjaitan Melalui kanit Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) IPTU Ariasda Ginting mengungkapkan, mereka sudah menerima laporan dari korban dan pelaku sendiri telah di amankan untuk

      8 proses hukum lebih lanjut.

    7 Waspada, Sabtu 30 Januari 2010 dalam

      diakses pada Jumat, 23 Januari 8 2015 pukul 10.00 WIB Seputar Indonesia, Kamis 28 januari 2010 dalam diakses pada Jumat, 23 Januari 2015 pukul 10.00 WIB

      Penyebab terjadinya incest sangat beragam. Ada karena faktor internal ada juga karena faktor eksternal. Namun sangat disayangkan karena banyak kasus

      incest yang tidak dilaporkan atau lama terungkap karena adanya prinsip atau

      pandangan bahwa jika melaporkan sama halnya dengan membuka aib keluarga dan menimbulkan rasa malu dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

      Sebagian besar pelaku incest adalah seorang ayah dan korbannya adalah anak perempuan. Alasan seorang ayah melakukan incest bisa saja karena pelaku mengalami masa kecil yang kurang menyenangkan, latar beakang keluarga yang kurang harmonis, bahkan mungkin saja pelaku merupakan korban penganiayaan seksual di masa kecilnya. Pelaku cenderung memiliki kepribadian yang tidak matang, pasif dan cenderung tergantung pada orang lain. Ia kurang dapat mengendalikan diri/hasratnya, kurang dapat berpikir secara realistis, cenderung pasif-agresif dalam mengekspresikan emosinya, kurang memiliki rasa percaya diri. Selain itu, kemugkinan pelaku adalah pengguna alcohol atau obat-obatan

      9

      terlarang lainnya. Tindak pidana incest ini sendiri dikategorikan tindakan tidak bermoral sehingga dituntut adanya penghukuman terhadap pelaku yang seberat- beratnya karena dampak yang ditimbulkan dapat merugikan si korban baik secara fisik dan psikis. Hal ini akan menghambat tumbuh kembang si anak korban.

      Sehingga telah melanggar hak-hak anak. Sudah sepatutnya setiap anak mendapatkan perlindungan sebagai bentuk nyata penghargaan kita terhadap hak anak. Salah satu bentuk penghargaan tersebut adalah dengan lahirnya Undang- 9

      diakses pada Sabtu,

    24 Januari 2015 pukul 16.00 WIB

      Undang Perlindungan Anak yang meupakan bentuk keseriusan dari pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Hak Anak yang disahkan melalui Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of

      The Child (Konvensi Hak-Hak Anak). Sebagai implementasi dari ratifikasi

      tersebut maka pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Walaupun instrumen hukum telah dimiliki, dalam perjalanannya Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih belum dapat berjalan secara efektif. Untuk itu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang No. 35 tahun 2014. Perubahan Undang-undang ini berguna untuk mempertegas pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku. Tidak hanya itu perubahan undang-undang ini juga bertujuan untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak korban maupun anak pelaku kejahatan. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban maupun anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.

      Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji dan berusaha menguraikan lebih lanjut faktor penyebab terjadinya tindak pidana hubungan seksual sedarah, bentuk perlindungan terhadap anak korbannya, dan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana hubungan seksual sedarah/incest.

    B. Perumusan Masalah

      Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, berbagai persoalan yang timbul atau yang muncul, dalam skripsi ini dapat dikemukakan permasalahan yang akan diangkat pokok kajian dan penelitian ini, dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.

      Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana hubungan seksual sedarah?

      2. Bagaimana faktor-faktor penyebab terjadinya hubungan seksual sedarah?

      3. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana hubungan seksual sedarah?

    C. Tujuan Penelitian

      Adapun yang menjadi tujuan penelitian dan penulisan skripsi ini dapat di uraikan sebagai berikut:

      1. Untuk mengetahui Perlindungan Hukum terhadap anak korban hubungan seksual sedarah

      2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya hubungan seksual sedarah.

      3. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana hubungan seksual sedarah.

    D. Manfaat Penelitian 1.

      Secara Teoritis

      Secara teoritis, penelitian ini diharapkan penulis dapat menjadi bahan bacaan dan penambahan ilmu bagi para pembaca khususnya para kalangan akademis dan pihak-pihak yang terkait dengan topik penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan berguna dan bermanfaat sebagai bahan acuan untuk perkembangan ilmu hukum terkhususnya dalam bidang tindak pidana incest (hubungan seksual sedarah) apabila memungkinkan dapat bermanfaat bagi perkembangan undang-undang di Indonesia.

    2. Secara Praktis

      Kegunaan praktis berkaitan dengan kontribusi praktis yang diberikan dari penyelenggara penelitian terhadap obyek penelitian, baik individu, kelompok, maupun organisasi, seperti: a.

      Bagi para pembuat peraturan diharapkan skripsi ini dapat dijadikan salah satu masukan dalam pengambilan kebijakan terhadap hak anak dan sanksi yang akan diberikan terhadap pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh orang terutama orangtua terhadap anak.

      b.

      Bagi masyarakat, skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat luas dalam hal pencegahan terhadap tindak pidana hubungan seksual sedarah.

    E. Keaslian Penulisan

      Dalam penelitian ini, penulis menyajikan penelitian yang berdasarkan pada fakta dan sumber yang bersifat otentik. Selain itu penulis juga memperhatikan sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian ini untuk menghindari terjadinya duplikasi atau pun plagiasi dari hasil karya penelitian akademisi lainnya. Penelitian ini juga berdasarkan pada surat persetujuan dari perpustakaan hukum USU yang menyatakan bahwa judul penelitian “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai No.334/Pid.B/2014/PN.Bnj)” belum ada yang mengangkatnya sebagai judul penelitian. Dengan kata lain penulisan penelitian ini merupakan hasil karya penulis sendiri.

    F. Tinjauan Pustaka

      

    1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana

    Hubungan Seksual Sedarah

      a.

      Pengertian Anak Merumuskan pengertian anak merupakan masalah yang sangat penting. Ini berkaitan dengan batasan usia anak. Tidak hanya di Indonesia, pengertian anak juga menjadi bahasan penting di berbagai Negara. Disebutkan pengertian anak dalam United Nations Convention On The Rights Of The Child di pasal 1 yaitu: it

      sets the international legal definition of a child as a person below 18 years, but subject to the proviso that a domestic law which sets legal majority at an earlier

      10 age will no be compromised. Ini berarti berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak 10 Trevor Buck, International Child Law, Great Britain:Cavendish Publishing Limited,

      2005, Halaman 57 tersebut yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun tetapi dengan syarat bahwa hukum dalam suatu negara yang sebagian besar menurut undang-undang menetapkan usia yang lebih dini tidak dapat dikompromikan. Berbeda dengan ketentuan konvensi tersebut, batasan usia di beberapa Negara sangat beragam. Sebagai contoh di Jepang batasan usia laki-laki adalah 18 dan untuk wanita adalah 16 tahun, di Perancis batasan usia laki-laki adalah 18 dan untuk wanita 15 tahun. Namun di beberapa Negara pada umumnya sebagian besar batasan usia anak adalah 18 tahun.

      Di Indonesia sendiri, batasan usia yang berkaitan dengan pengertian anak sangat beragam. Pengertian anak secara umum dapat dipahami masyarakat adalah

      11

      keturunan kedua setelah ayah dan ibu. Menurut hukum islam, seseorang dikatakan dewasa apabila ia telah mengalami peristiwa biologis seperti haid atau menstruasi pada wanita dan mimpi basah bagi laki-laki. Sedangkan batasan usia seseorang dikatakan belum dewasa dalam hukum adat tergantung pada kecakapan seseorang. Artinya seseorang dikatakan telah dewasa atau tidak anak-anak lagi apabila ia telah mampu memperhitungkan baik buruknya tindakan yang dilakukannya, mampu bekerja secara mandiri dan mampu mengurus keperluannya sendiri.

      Pengertian formal yuridis mengenai anak dapat kita lihat dalam beberapa ketentuan berikut:

      1. 11 Kitab Undang Hukum Pidana Indonesia

      Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Jakarta:Rajawali Press, 2011, Halaman 1 Di dalam KUHP ada terdapat beberapa pasal yang secara khusus langsung mengatur dan menunjuk proses hukum dan materi hukum anak

    • – anak di bawah umur atau yang di katakan belum dewasa. Pasal – pasal yang terkait adalah pasal

      45, 46, dan 47 KUHP. Adapun Pasal 45 KUHP adalah pasal basis yang mengatur batas umur dan batas waktu penuntutan karena berkaitan dengan perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan di bawah usia 16 (enam belas) tahun. Tetapi, kemudian ketentuan ini dicabut dengan keluarnya Undang

    • – Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

    2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

      Dalam pasal 330 dikatakan bahwa “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”. Anak dalam hal keperdataan sangat penting. Hal ini menyangkut masalah pembagian harta warisan. Oleh karena itu, dalam pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Oleh sebab itu hak-hak anak menurut hukum perdata sudah ada bahkan sebelum ia dilahirkan.

      Dasar lain dalam menentukan batasan usia seseorang dalam hukum perdata berkaitan dengan perkawinan diatur dalam pasal 29 yaitu: seorang laki- laki yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun, juga seorang perempuan yang belum berusia lima belas tahun, tidak diperbolehkan mengikatkan dirinya dalam perkawinan kecuali karena ada alasan-alasan penting maka Presiden berkuasa meniadakan larangan ini dengan memberi dispensasi.

      3. Menurut UURI No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak: Anak adalah mereka yang berumur 0 – 21 tahun dan belum pernah kawin. Ini berarti bahwa setiap anak bahkan sejak masih dalam kandungan sudah mempunyai hak dan memperoleh perlindungan secara hukum.

      4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 1 angka 5 menyebutkan “ anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih ada dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”

      5. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

      Pasal 1 ayat (3) menjelaskan tentang anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu : “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.” 6.

      Menurut UU No. 35 tahun 2014 maupun UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. b.

      Pengertian Anak Korban Tindak Pidana Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau

      12

      orang lain yag bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita Dalam Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and

    13 Abuse Power, victims diartikan:

       Persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power .

      (Terjemahan bebas: orang yang secara individu atau kolektif, telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan besar terhadap hak-hak dasar mereka, melalui tindakan atau kelalaian yang melanggar hukum pidana yang berlaku dalam negara-negara anggota, termasuk undang-undang yang melarang pidana penyalahgunaan kekuasaan.) Anak sebagai korban tindak pidana erat kaitannya dengan kekerasan. Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak-yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan

      14 dan kesejahteraan anak.

      Pasal 89 KUHP memperlua s pengertian “kekerasan” sehingga memingsankan atau melemahkan orang, disamakan dengan melakukan

    12 Arif Gosita, Masalah korban kejahatan, Jakarta:Universitas Trisaksi, 2009, Halaman

      90 13 14 Ibid, Halaman 46 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Jakarta:Kencana, 2010, Halaman28 kekekrasan. “Kekerasan atau ancaman kekerasan” tersebut ditujukan terhadap wanita itu Kekerasan terhadap anak pada umumnya dapat kita lihat ke dalam empat bentuk tindakan, antara lain: a.

      Kekerasan fisik Kekerasan fisik adalah kekerasan yang diarahkan kepada fisik seseorang sehingga menimbulkan bekas yang dapat kita lihat secara jelas pada si korban. Kekerasan fisik dapat berupa penamparan, pemukulan, membenturkan, dan sebagainya b.

      Kekerasan psikis Kekerasan psikis adalah kekerasan yang dapat menimbulkan gangguan mental sehingga berpengaruh terhadap interaksi si korban di dalam hubungannya dalam masyarakat. Bekas ataupun wujud dari kekerasan ini pada umumnya tidak dapat kita lihat secara nyata.

      c.

      Kekerasan seksual Kekerasan seksual adalah bentuk kekerasaan yang dapat berupa ajakan secara paksa, menyiksa atau mengancam seseorang untuk melakukan hubungan seksual. Sekarang kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh orang yang tidak dikenal si korban melainkan malah orang terdekat yang telah dikenal oleh si korban. Kekerasan seksual meliputi pemaksaan dan bujukan kepada seorang anak untuk terlibat dalam aktifitas-aktifitas seksual terlepas dari apakah seorang anak tersebut sadar atau tidak dengan apa yang sedang terjadi. Kekerasan seksual didefinisikan sebagai serangkaian hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau anak yang lebih berpengalaman atau orang dewasa (orang asing, saudara kandung atau orang yang memiliki tanggung jawab untuk memelihara anak tersebut seperti orang tua atau pengasuh) dimana anak tersebut dipergunakan sebagai objek pemuas bagi kebutuhan seksual mereka. “kebutuhan seksual” yang tidsk terkendali dan tidak dapat dikendalikan sering

      15 digunakan sebagai alasan untuk melakukan kekerasan seksual.

      d.

      Kekerasan ekonomi Sebagian besar kekerasan ekonomi dapat kita lihat dai fenomena sehari- hari. Misalnya di jalanan kita sering menemui anak yang jadi pengamen, menjual koran atau bahkan menjadi buruh pabrik. Pada umumnya kekerasan ekonomi ini dialami oleh masyarakat yang tergolong pada masyarakat ekonomi lemah.

      c.

      Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana mempunyai dua sifat yaitu sifat formil dan sifat materiil, sifat formil dalam tindak pidana dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang adalah melakukan perbuatan (dengan selesainya tindak pidana itu, tindak pidana terlaksana), kemudian dalam sifat materiil, dalam jenis tindak pidana yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang adalah 15 Stephanie De Laney, Melindungi Anak-Anak dari Eksloitasi Seksual dan Kekerasan

      Seksual dalam Situasi Bencana dan Gawat Darurat, Medan:Restu Printing, 2006, Halaman 9-10 timbulnya suatu akibat (dengan timbulnya akibat, maka tindak pidana

      16 terlaksana).

      Pembentuk Undang-Undang kita telah menggunakan perkataan “strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan

      17 “strafbaarfeit” tersebut.

      Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari

      18

      suatu kenyataa , sedangkan n” atau “een gedeelte van de werkelijkheid

      “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar

      feit

      ” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi

      19 dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.

      Menurut Profesor POMPE, perkataan “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan se bagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terja 16 minnya kepentingan umum” atau

      

    diakses tanggal 27 Januari 2015 pukul15.40 WIB 17 PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2011, Halaman 181 18 19 Ibid Ibid sebagai “de normovetrending (verstoring der rechtsorde); waaraan de overtreder

      

    schuld heeft en waaraan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts

      20 orde en de behartiging van het algemeen welzijn

      ” Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam buku Azas-azas Hukum pidana di

      Indonesia memberikan suatu pengertian mengenai tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu Hukum Perdata, Hukum Ketatanegaraan, dan Hukum Tata Usaha Pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana, maka sifat- sifat yang ada dalam suatu tindak pidana adalah sifat melanggar hukum, karena

      21 tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum.

      Menurut salah satu sarjana barat H. J van Schravendijk adalah perbuatan yang boleh dihukum, yaitu kelakuan yang begitu bertentangan dengan keinsafan

      22 hukum asal dilakukan dengan seorang yang karena itu dapat dipersalahkan.

      23 Dalam KUHP, terdapat unsur-unsur tindak pidana antara lain: a.

      Unsur tingkah laku b.

      Unsur melawan hukum c. Unsur kesalahan d.

      Unsur akibat konstitutif e. Unsur keadaan yang menyertai 20 21 Ibid, Halaman 182 Wirjono Projodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Refika

      Aditama, 2003, Halaman 1. 22 Scharavendijk, van H.J, Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: J.B. Wolters, 1996, Halaman 87 23 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta:Rajawali Pers, 2001, Halaman 82

      f.

      Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana g.

      Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana i. Unsur objek hukum tindak pidana j. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana

      Dari sebelas unsur tersebut, yang menjadi unsur subjektif adalah unsur kesalahan dan unsur melawan hukum. Sedangkan yang menjadi unsur objektif adalah selebihnya.

      d.

      Pengertian Perlindungan Hukum Pengertian perlindungan hukum yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah perlindungan hukum terhadap anak. Pertama-tama kita lihat terlebih dahulu pengertian perlindungan anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

      Perlindungan anak adalah: “ segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

      24

      serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Untuk menyelenggarakan perlindungan anak baik orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Negara harus berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia juga berdasarkan prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi: a.

      Non diskriminasi 24 Pasal 1 angka 2 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

      Asas ini memberikan pengertian bahwa setiap anak mendapatkan perlakuan yang sama tanpa adanya perbedaan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, status hukum anak maupun kondisi fisik maupun mental.

      b.

      Kepentingan yang terbaik bagi anak Pengertian dari asas ini adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama c.

      Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan Hak yang tercantum dalam asas ini adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap anak yang wajib dilindungi dan dihormati oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga maupun orangtua.

      d.

      Penghargaan terhadap pendapat anak Asas ini memberi pengertian bahwa setiap orang harus menghormati hak- hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapat dalam mengambil keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.

      Di dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak hanya diatur mengenai perlindungan anak secara umum tetapi juga diatur perlindungan khusus bagi anak. Yang dimaksud dengan perlindungan khusus dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Namun, pengertian perlindungan khusus dalam Undang- Undang 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 1 angka 15 memberikan pengertian yang lebih ringkas yaitu suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh Anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapat jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.

      Berdasarkan uraian mengenai perlindungan anak maka kita dapat memberikan pengertian bahwa perlindungan hukum bagi anak adalah upaya perlindungan terhadap kebebasan dan hak-hak asasi yang dimiliki anak.

    2. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Hubungan Seksual Sedarah

      25 Paul W Tappen menyatakan bahwa kejahatan adalah: The Criminal Law (statutory or case law), committed without defense or excuse, and penalized by the state as a felony and misdemeanor. Yang artinya Hukum Pidana (menurut

      undang-undang atau kasus hukum), berkomitmen tanpa pembelaan atau alasan, dan dihukum oleh negara sebagai kejahatan dan pelanggaran.

    25 Topo Santoso, Kriminologi, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2001, Halaman 13

      Definisi “Kejahatan” menurut R.Soesilo dalam bukunya berjudul “Kitab

      Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal

      ” membedakan pengertian kejahatan menjadi dua sudut pandang yakni sudut pandang secara yuridis sudut pandang sosiologis.

      Dalam pengertian yuridis membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh Negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan

      26 diancam dengan suatu sanksi.

      Sedangkan, secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku manusia

      27 yang diciptakan oleh masyarakat.

      Jadi kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang dan dapat merugikan masyarakat akibat hilangnya keseimbangan , ketentraman, dan ketertiban.

      Pengertian penyimpangan menurut beberapa ahli dapat diuraikan sebagai

      28

      berikut: 1.

      Soerjono Soekanto Perilaku menyimpang adalah penyimpangan terhadap kaidah-kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat.

      2. Jhon J. Macionis Perilaku menyimpang adalah pelanggaran terhadap norma masyarakat.

      3. James W. Van der Zaden Perilaku menyimpang adalah perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi.

      4. 26 Robert M. Z. Lawang 27 Opcit, Halaman 14 28 Ibid, Halaman 15

      iakses tanggal 30 April 2015 jam 20.18 Wib

      Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial, dan menimbulkan usaha dari mereka yang paling berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang.

      5. Craig Calhoun, Donald Light, dan Suzanne Keller Perilaku menyimpang adalah setiap tindakan yang dianggap menyimpang dari nilai moral atau norma budaya yang diakui oleh sebuah kelompok atau masyarakat.

      Dalam mengkaji suatu kejahatan, di dalam kriminologi terdapat beberapa paradigma/aliran yang mempengaruhinya, antara lain :

      1. Aliran Klasik Di dalam aliran ini mempunyai dua pemikiran yang mendasar dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yaitu penderitaan dan kesenangan. Hal disebabkan karena manusia memiliki kehendak bebas (free will), yang kemudian dalam bertingkah laku manusia memiliki kemampuan untuk memperhitungkan perilakunya berdasarkan hedonism. Aliran ini juga mempunyai asumsi bahwa

      29 hukuman dijatuhkan berdasarkan tindakannya dan bukan karena kesalahan.

      Karena pemikiran manusia selalu dipengaruhi oleh akal dan pikirannya

      (indeterminisme). Kejahatan merupakan hasil pilihan bebas seseorang setelah memperhitungkan secara rasional untung ruginya dalam melakukan kejahatan.

      2. Aliran Neo Klasik Aliran Neo Klasik merupakan pembahruan dari aliran klasik. Hal ini dilakukan setelah melihat adanya ketidak adilan dari aliran klasik. Ada beberapa

      30

      ciri-ciri yang membedakan aliran klasik dengan aliran neo klasik antara lain: 29 30 Wahju Muljono, Op.cit., Halaman 37.

      Ibid, Halaman 39. a.

      Adanya pelunakan pada doktrin kehendak bebas; kehendak bebas untuk memilih dipengaruhi oleh: 1)

      Patologi, ketidakmampuan untuk bertindak, sakit jiwa atau lain keadaan yang mencegah seseorang untuk memperlakukan kehendak bebasnya;

      2) Predimitasi, niat yang dijadikan ukuran daripada kebebesan kehendak (hal-hal yang aneh) b.

      Pengakuan daripada sahnya keadaan yang melunak. Misalnya: fisik, keadaan lingkungan atau keadaan mental dari individu c.

      Perubahan doktrin tanggung jawab sempurna untuk memungkinkan pelunakan hukum menjadi tanggung jawab sebagian saja, sebab-sebab utama untuk mempertanggungjawabkan seseorang sebagian saja adalah kegilaan, kebodohan, dan lain-lain keadaan yang dapat mempengaruhi “pengetahuan dan niat” seseorang waktu melakukan kejahatan.

      d.

      Dimasukkannya kesaksian ahli di dalam acara pengadilan untuk menentukan besarnya tanggung jawab untuk menentukan apakah si terdakwa mampu memilih antara yang benar dan yang salah.

    3. Aliran Positivis

      Berbicara tentang aliran positivis ini mau tak mau kita harus mengingat pula Dokter Cesare Lambroso (1335-1909). Dalam ajarannya Lambroso mengatakan bahwa asal mulanya kejahatan itu berasal dari gen dan sikap liar yang diturunkan oleh nenek moyang. Sifat jahat manusia sesuatu yang dapat diwariskan kepada keturunannya sendiri. Karena sejak manusia dilahirkan manusia telah memiliki sifat jahat di dalam dirinya.

      Penjahat sejak lahir merupakan tipe khusus, dan tipe ini dikendali dari bentuk atau cacat fisik tertentu. Lebih lanjut Lambroso menggarisbawahi bahwa cacat ataupun keanehan tersebut sebagai takdir untuk menjadi gambaran dari

      31

      kepribadiannya sebagai penjahat. Kejahatan merupakan perilaku manusia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik, psikis dan sosio-kulturalnya.

    4. Aliran Kritis

      Berpijak dari asumsi sebelumnya bahwa perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik, psikis dan sosio-kulturalnya, melainkan ditentukan oleh peranan individu dalam memaknai, menafsirkan, menanggapi setelah dia berinteraksi dengan kondisi tertentu. Kejahatan merupakan suatu keberhasilan masyarakat dalam memberikan reaksi perbuatan tertentu sebagai kejahatan dan pelakunya sebagai penjahat. Pemikiran seperti ini mengarah kepada kajian proses yang mempengaruhi pada pembentukan undang-undang yang menjadikannya perbuatan tertentu sebagai kejahatan, serta proses bekerjanya hukum pidana. Yaitu proses-proses yang menjadikan perbuatan tertentu dan

      32 pelakunya sebagai penjahat (sosiologi hukum pidana).

      31 32 Ibid, Halaman 41.

      

    I.S. Susanto, Kejahatan Koorporasi, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995, Halaman 13 Menurut Kartini Kartono (1989), bentuk relasi seks yang abnormal dan

      perverse (buruk,jahat) adalah relasi seks yang tidak bertanggung jawab, yang

      33 didorong oleh kompulsi-kompulsi dan dorongan-dorongan yang abnormal.

      Definisi lain dari perilaku seksual abnormal adalah perilaku seks yang tidak dapat menyesuaikan diri, bukan saja dengan tuntutan masyarakat, tetapi juga dengan kebutuhan individu mengenai kebahagiaan, perwujudan diri sendiri, atau peningkatan kemampuan individu untuk mengembangkan kepribadiannya

      34

      menjadi lebih baik . Salah satu contoh dari relasi seks yang abnormal adalah hubungan seksual sedarah(Incest).

      Hubungan Seksual Sedarah/ incest bukanlah permasalahan atau kasus baru yang terjadi di masyarakat. Secara singkat Hubungan Seksual Sedarah/Incest

      35 diartikan sebagai perbuatan sumbang/berzinah/berkendak dengan saudaranya .

      Hubungan Seksual Sedarah/Incest berasal dari bahasa latin Incestus yang berarti tidak suci, tidak senonoh dan Incestare yang berarti menodai atau mengotori.

      Definisi incest yang diterima masyarakat luas sekarang ini adalah hubungan seks atau aktivitas seksual lainnya antara individu yang mempunyai hubungan dekat,

      36 yang perkawinan diantara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur.

      Ruth. S. Kempe dan C. Henry Kempe mendefinisikan Incest sebagai hubungan seksual antara anggota keluarga dalam rumah, baik antara kakak-adik 33 Drs. Sunaryo, Psikologi untuk keperawatan, Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC,

      2004, Halaman 241 34 35 Ibid.

      John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta:PT. Gramedia, 1996, Halaman 316 36 Akademia Vol.4 No.3 Juli 2000, Halaman 1 kandung atau tiri, ayah-anak kandung, ayah-anak tiri, paman-keponakan kandung

      37 atau tiri.

      Hubungan Seksual Sedarah/Incest dapat terjadi pada anak laki-laki maupun anak perempuan. Namun kasus yang pada umumnya banyak terjadi menimpa anak perempuan. Hubungan incest yang merebak di masyarakat menunjukan gejala bahwa semakin banyaknya masyarakat yang “sakit”.

      Dikatakan sakit karena Hubungan Seksual Sedarah/incest tergolong penyimpangan seksual dalam masyarakat.

      Faktor penyebab hubungan seksual sedarah ini adalah: a. Faktor Internal b.

      Faktor Eksternal

      

    3. Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana hubungan seksual

    sedarah

      Kebijakan adalah rangkaiann dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara

      38 bertindak Secara etimologis,kebijakan adalah terjemahan dari kata policy.

      Pengertian kebijakan yang dikemukakan oleh beberapa ahli atau

      39

      rikut ini: a.

      Menurut Lasswell: kebijakan adalah sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah (a 37 projected program of goals values and practices).

      Sulaiman Zuhdi Manik, Penanganan dan Pendampingan Anak Korban Incest, PKPA, 2002, Halaman 37 38 39 Kamus Besar Bahasa indonesia

    tanggal 1 Mei 2015 jam 00.30 Wib. b.

      Menurut Anderson: kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang mesti diikuti dan dilakukan oleh para pelakunya untuk memecahkan suatu masalah (a purposive corse of problem or matter of concern).

      c.

      Menurut Heclo: kebijakan adalah cara bertindak yang sengaja dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah-masalah.

      d.

      Menurut Eulau: kebijakan adalah keputusan tetap, dicirikan oleh tindakan yang bersinambung dan berulang-ulang pada mereka yang membuat dan melaksanakan kebijakan.

      e.

      Menurut Amara Raksasa Taya: kebijakan adalah suatu taktik atau strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan.

      f.

      Menurut Friedrik: kebijakan adalah serangkaian tindakan yang diajukan seseorang, group, dan pemerintah dalam lingkungan tertentu dengan mencantumkan kendala-kendala yang dihadapi serta kesempatan yang memungkingkan pelaksanaan usulan tersebut dalam upaya mencapai tujuan.

      g.

      Menurut Budiardjo: kebijakan adalah sekumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.

      h.

      Menurut Carter V. Good: kebijakan adalah sebuah pertimbangan yang didasarkan atas suatu nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat situasional, untuk mengoperasikan perencanaan yang bersifat umum dan memberikan bimbingan dalam pengambilan keputusan demi tercapainya tujuan. i.

      Menurut Indrafachrudi: kebijakan adalah suatu ketentuan pokok yang menjadi dasar dan arah dalam melaksanakan kegiatan administrasi atau pengelolaan. j.

      Menurut Carl Friedrich: Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. k.

      Menurut PBB: Kebijakan adalah suatu deklarasi mengenai dasar pedoman (untuk) bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana. l.

      Menurut KBBI: Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis dan dasar rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, serta cara bertindak (tetang perintah, organisasi, dan sebagainya). m.

      Menurut Anderson: Kebijakan adalah suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah. n.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air - Analisis Kadar Kadmium, Tembaga, dan Seng dalam Air Sumgai Deli di Kelurahan Pekan Labuhan secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 1 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kosmetika - Analisa Metanol, Etanol dan Triklosan dalam Sabun CAir Sirih Sumber Ayu Orchid secara Kromatografi Gas dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Kreativitas - Pengaruh Kreativitas dan Inovasi Terhadap Minat Beli Konsumen Lopian Kopi Kafe di Kota Medan

0 0 13

BAB II PENGATURAN HAK CIPTA DI INDONESIA DITINJAU DARI UU NO.28 TAHUN 2014 A. Pengertian Hak Cipta - Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta atas Pembajakan Karya Seni Digital pada Jejaring Sosial Ditinjau dari UU No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta skripsi

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta atas Pembajakan Karya Seni Digital pada Jejaring Sosial Ditinjau dari UU No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta skripsi

0 1 16

1. Identitas Responden - Pengaruh Lingkungan Kerja, Kompetensi dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Di Badan Pertanahan Nasional Kota Medan

0 2 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Lingkungan Kerja, Kompetensi dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Di Badan Pertanahan Nasional Kota Medan

0 3 11

Perbandingan Delik Penyertaan Menurut KUHP dan Hukum Islam

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbandingan Delik Penyertaan Menurut KUHP dan Hukum Islam

0 0 22

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH A. Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana - Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus

0 0 20