BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH A. Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana - Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH A. Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Bentuk perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi

  salah satunya yaitu perlindungan hukum. Adanya benturan kepentingan didalam masyarakat harus dapat diminimalisasi dengan kehadiran hukum dalam masyarakat. Adanya perlindungan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) , oleh karena itu maka setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus

  45 mampu memberikan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat.

  Permasalahan mengenai anak merupakan bahasan yang kompleks dan cukup rumit untuk diselesaikan. Oleh sebab itu permasalahan tersebut haruslah mendapat perhatian khusus. Sebagai makhluk yang lemah sudah seharusnya anak di dalam keluarga mendapatkan perlindungan dan rasa nyaman dari orang tuanya.

  Antara anak dan orang tua ada suatu kewajiban hubungan timbal-balik yang

  46

  disebut alimentasi. Setiap orang tua wajib untuk mendidik dan melindungi anak sedangkan si anak wajib untuk mentaati orang tuanya.

44 Ni Putu Ria Dewi Marheni, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Berkaitan

  Dengan Pencantuman Disclaimer Oleh Pelaku Usaha Dalam Situs Internet (Website), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Udayana, Denpasar, 2013, Halaman 34. 46 Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, Halaman 65

  35 Mengenai hak dan kewajiban orang tua diatur dalam Pasal 45 Undang-

  47 Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan : 1.

  Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.

  2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

  Namun sangat disayangkan banyak pemberitaan belakangan ini yang memberitakan tentang adanya kekerasan seksual terhadap anak di dalam keluarga yang pada umumnya dilakukan oleh orang tuanya. Tindak pidana ini disebut hubungan seksual sedarah/incest. Hubungan seksual sedarah ini bukan termasuk pelanggaran. Hubungan seksual sedarah ini termasuk lingkup kejahatan. Tepatnya termasuk kejahatan kesusilaan. Penyebutan istilah hubungan seksual sedarah atau

  

incest memang tidak dijelaskan secara jelas dalam rumusan pasal-pasal dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  Pengaturan mengenai tindak pidana terhadap anak khususnya tentang hubungan seksual sedarah dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam Buku II BAB XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan terdapat dalam Pasal 287 ayat (1), Pasal 290, dan Pasal 294 ayat (1).

  48 Dalam ketentuan Pasal 294 ayat (1)

  berbunyi “ Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah 47 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1991, Halaman 299. pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannnya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Dalam rumusan Pasal 294 ayat (1) ini terdapat beberapa unsur, yaitu: 1.

  Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku.

  49 Unsur subjektif dalam pasal 294 ayat (1) ini adalah unsur “barang siapa”.

  Barang siapa dalam hal ini dapat diartikan sebagai orang perorangan tanpa terkecuali dan dalam hal ini adalah orang terdekat atau orang yang memiliki hubungan dekat.

2. Unsur Objektif

  Unsur objektif adalah unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas:

  50 a.

  Perbuatan manusia, berupa: 1)

  Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif; 2)

  Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.

  b.

  Akibat (Result) perbuatan manusia 48 Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah

  Agung dan Hoge Raad , Jakarta:Rajawali Press, 2003, Halaman 178 49 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta:Sinar Grafika, 2005, halaman 9 50 Ibid

  Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.

  c.

  Keadaan-keadaan (circumstances) Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain:

  1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan

  2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan d.

  Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.

  Menurut Pasal 294 ayat (1), terdapat hubungan antara antara subjek hukum atau pembuat (pelaku) dengan objek (korban). Adapun hubungan ini ada dua macam yaitu: 1.

  Hubungan kekeluargaan Yaitu adanya kewajiban hukum untuk melindungi, menghidupi, memelihara, dan mendidik dari si pembuat terhadap korban. Misalnya si pembuat dengan anak kandungnya, anak angkatnya, anak tirinya yang belum dewasa.

2. Hubungan diluar kekeluargaan

  Yaitu hubungan yang timbul akibat adanya kewajiban secara professional sehingga tumbuh suatu kewajiban untuk memelihara dan menghidupinya, yaitu hubungan si pembuat dengan anak yang belum dewasa yang dengan pengawasannya, pendidikannya, pemeliharaannya diserahkan padanya.

  Pengaturan incest/hubungan seksual sedarah dalam pasal 294 ayat (1) menjadi dipertegas dalam Rancangan Undang-Undang KUHP tahun 2012 dalam pasal 494 ayat (1) disebutkan “Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan anak kandungnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun”. Di dalam penjelasan pasal 494 RUU KUHP ini dijelaskan bahwa Tindak pidana yang diatur dalam ketentuan ini dikenal dengan “perbuatan sumbang (incest)”. Ketentuan incest/hubungan seksual sedarah ini dalam RUU KUHP dimasukkan dalam tindak pidana percabulan. Percabulan sendiri merupakan akar kata data kata “cabul” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keji dan kotor; tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Maka percabulan secara sederhana dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara cabul.

  

B. Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga

  Setiap bentuk kekerasan dalam lingkup rumah tangga merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan martabat manusia. Kebanyakan korban dari kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan dan anak. Sebagai makhluk yang lemah sudah sepantasnya perempuan dan anak mendapatkan perlindungan hukum dari Negara dan juga masyarakat. Sebagian besar kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan dalam rumah tangga jarang sekali terungkap dikarenakan mindset pelaku kekerasan yang pada umumnya dilakukan oleh laki- laki sebagai kepala keluarga menganggap bahwa hal tersebut merupakan urusan rumah tangganya dan ia sebagai kepala keluarga berhak atas apapun yang terjadi di dalam urusan rumah tangganya.

  Dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menjelaskan bahwa kekerasan dalam Rumah Tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

  Kemudian muncul pertanyaan, siapa saja yang termasuk dalam lingkup Rumah Tangga? Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan yang termasuk ke dalam lingkup Rumah Tangga adalah:

1. Suami, isteri, dan anak; 2.

  Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

  3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut Sebelum membahas tentang ketentuan pidana guna memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam hal ini hubungan seksual sedarah, maka dibahas terlebih dahulu hak-hak korban. Dalam Pasal 10 disebutkan bahwa korban berhak mendapatkan:

  1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan 2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis 3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaaan korban 4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 5. pelayanan bimbingan rohani.

  Dalam ketentuan Pasal 46 disebutkan bahwa “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

  Kemudian dari rumusan ancaman pidana yang diberikan oleh pasal 46 Undang-Undang No.23 tahun 2004 tetang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

  51 Tangga, dapat diuraikan sebagai berikut: 1.

  Setiap orang Dalam ketentuan pasal ini yang menjadi subjek hukum yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya adlaah manusia secara individu atau orang perse orangan. Hal ini ditegaskan dengan penggunaan “setiap orang”. Dalam hal tindak pidana hubungan seksual sedarah/incest yang dilakuan oleh orangtua terhadap anak kandungnya , penggunaan kata “setiap orang” belum tepat mengenai sasaran terhadap ayah sebagai p elaku, karena “setiap orang” pada ketentuan ini bersifat umum.

  2. Perbuatan pidana Dalam ketentuan pasal ini, yang merupakan perbuatan pidana atau perbuatan yang dilarang oleh hukum adalah melakukan perbuatan seksual di dalam lingkup rumah tangga. Yang berarti bahwa apabila terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anak kandungnya (tindak pidana incest/inses/hubungan seksual sedarah) maka sudah dapat dijerat dengan ketentuan pidana pada pasal ini.

  3. Sanksi pidana a.

  Lama pidana 51 Lilik Purwastuti Yudaningsih, Pengaturan Tindak Pidana Incest dalam Perspektif

  Kebijakan Hukum Pidana , Inovatif, Volume VII Nomor II Mei 2014

  Lama pidana yang diberikan oleh Pasal 46 Undang-undang No. 23 tahun 2004 adalah pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Tidak ada rumusan pidana khusus dalam ketentuan ini, yang berarti bahwa pidana penjara bisa aja dijatuhkan dalam rentang waktu 1 hari sampai 12 tahun. Kemudian di dalam ketentuan ancaman pidana ini, juga tidak terdapat pemberatan pidana, mengingat bahwa pelaku adalah orangtua.

  b.

  Sistem perumusan pidana Sistem perumusan pidana dalam pasal 46 ini adalah Alternatif (penjara atau denda). Sistem perumusan alternatif menyebabkan pidana yang bisa dijatuhkan hanya salah satu diantara penjara maupun denda.

  

C. Undang-Undang Undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Jo. Undang-Undang No. 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-

Undang No. 23 tahun 2002

  Pengaturan lebih khusus mengenai perlindungan hukum terhadap anak tertuang dalam Undang-undang No.23 tahun 2002. Pembentukan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan landasan yuridis dan bagian kegiatan pembangunan nasional,khususnya dalam mewujudkan kehidupan anak dalam berbangsa dan bernegara. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak ini merupakan bentuk kepedulian masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak anak. Draf pertama Rancangan Undang-Undang Perlindungan Anak ini tersusun pada tahun 1998 dalam kondisi politik dan keamanan Indonesia yang kurang

  52

  menguntungkan serta krisis ekonomi yang begitu mengkhawatirkan. Hal inilah yang menyebabkan draf ini tertunda.

  Situasi yang tidak kondusif ini mendorong UNICEF untuk memfasilitasi penyusunan Rancangan Undang-Undang ini. Setelah melewati proses yang begitu panjang maka pada tanggal 22 Oktober 2002 RUU tersebut disahkan.

  Asas dan tujuan lahirnya undang-undang ini diatur dalam pasal 2 dan pasal 3, sementara mengenai hak anak diatur dalam pasal 4 sampai pasal 18 dan kewajibannya diatur dalam pasal 19. Disebutkan dalam pasal 13 bahwa: (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

  53 a.

  Diskriminasi

  54 b.

  Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual

  55 c. 52 Penelantaran Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perlindungan Anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak , Jakarta : KPAI, Halaman 1. 53 Dalam penjelasan pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: Perlakuan diskriminasi, misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. 54 Dalam penjelasan pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan eksploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan

  56 d.

  Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan

  57 e.

  Ketidakadilan

  58 f.

  Perlakuan salah lainnya (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

  Kewajiban orang tua tidak hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 ini juga diatur

  59

  kewajiban orang tua, antara lain: a.

  Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b.

  Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c.

  Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

55 Dalam penjelasan pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

  dijelaskan bahwa: perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajibab untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya. 56 Dalam penjelasan pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa:perlakuan yang kejam, mislanya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, mislanya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial. 57 Dalam penjelasan pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan ketidakadilan, misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap anak. 58 Dalam penjelasan pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak. 59 Pasal 26 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

  Dalam hal orang tua melakukan perbuatan yang oleh aturan hukum pidana yang dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang maka orang tua tersebut dinyatakan telah melakukan tindak pidana,yang disebut juga delik. Menurut wujud dan sifatya, tindak pidana ini adalah pebuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat dan bertentangan dengan atau mengahambat terlaksananya tata pergaulan masyarakat

  60 yang dianggap adil.

  Bentuk perlindungan hukum terhadap anak menurut Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pasal 59 Pemerintah dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung

  jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak terekspoitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yag menjadi korban penyalahgunaan markotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

60 Moeljanto, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana,

  Jakarta:Bina Aksara, 2001, Halaman 19

  (1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana

  dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

  (2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana

  dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a.

  Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b.

  Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c. Penyediaan sarana dan prasaana khusus; d.

  Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f.

  Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan g.

  Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

  

(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana

  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a.

  Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b.

  Upaya perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; c.

  Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan d.

  Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

  (1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau

  seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

  (2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud

  dalam ayat (1) dilakukan melalui : a.

  Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

  (3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh,

  melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

  Pasal 67 (1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan

  narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

  (2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan,

  melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

  Pasal 68 (1) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan

  perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

  (2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh

  melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

  Pasal 69 (1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud

  dalam pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya : a.

  Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan b.

  Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

  (2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh

  melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

  (1) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran

  sebagaimana dalam pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

  (2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh

  melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah, dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Kehadiran Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak memberikan angin segar bagi para aktivis hukum dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Namun, Undang-Undang ini belum dapat berjalan secara efektif. Untuk itu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang No. 35 tahun 2014. Perubahan Undang-undang ini berguna untuk mempertegas pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku. Tidak hanya itu perubahan undang-undang ini juga bertujuan untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak korban maupun anak pelaku kejahatan. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban maupun anak pelaku kejahatan di kemudian hari agar tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.

  Adapun yang menjadi pemikiran sehingga menyebabkan lahirnya Undang- Undang ini adalah: a.

  Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warganya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia; b. Bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangann bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia; d.

  Bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

  Bentuk perlindungan yang telah ada dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.35 tahun 2014 hanya sedikit perubahan yang terjadi dalam beberapa Pasal, misalnya: Pasal 59 UU No. 23 tahun 2002 diubah menjadi: (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada

  Anak. (2) Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada: a.

  Anak dalam situasi darurat; b.

  Anak yang berkonflik dengan hukum; c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; d.

  Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; f.

  Anak yang menjadi korban pornografi; g.

  Anak dengan HIV/AIDS; h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis; j. Anak korban kejahatan seksual; k.

  Anak korban kejahatan terorisme; l. Anak penyandang disabilitas; m.

  Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.

  Secara khusus perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j diatas dan Pasal 69 UU No.23 tahun 2002 tentang Pelrindungan Anak sebagaimana telah diubah dalam Pasal

  69A sebagaimana berikut: “Perlindungan Khusus bagi anak korban kejahatan seksual sebgaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya: a.

  Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan; b.

  Rehabilitasi sosial; c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan d.

  Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.”

  Setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual dalam hal ini incest berhak untuk mengajukan ke pengadilan berupa hak restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan. Yang dimaksud dengan “restitusi” adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau

  61 imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.

  Tujuan dari pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan yang mana dalam skripsi ini adalah hubungan seksual sedarah/incest sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

  61 Penjelasan Pasal 71D ayat (1) UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

  Bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada anak korban

  62

  kekerasan seksual dalam hal ini incest, misalnya: a.

  Memberikan penyediaan rumah aman ketika pelaku adalah ayah kandung atau tempat tinggal yang sama dengan pelaku, rumah aman disediakan bekerjasama dengan pemerintah b. Memberikan bimbingan konseling keagamaan c. Melakukan pemeriksaaan psikologis bekerjasama dengan psikologi usu d.

  Mendampingi dalam hal pemeriksaan kesehatan dan visum et refertum e. Mengupayakan anak untuk tetap bisa bersekolah dan diterima kembali disekolah f.

  Melakukan pendampingan mulai dari kepolisian,kejaksaan sampai ke pengadilan.

62 Hasil wawancara dengan Azmiati Zuliah,SH,MH pada tanggal 29 mei 2015 jam 12.09

  di Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak Jl. Abdul Hakim No. 5A Pasar I Setia Budi, Medan- Sumut

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air - Analisis Kadar Kadmium, Tembaga, dan Seng dalam Air Sumgai Deli di Kelurahan Pekan Labuhan secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 1 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kosmetika - Analisa Metanol, Etanol dan Triklosan dalam Sabun CAir Sirih Sumber Ayu Orchid secara Kromatografi Gas dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Kreativitas - Pengaruh Kreativitas dan Inovasi Terhadap Minat Beli Konsumen Lopian Kopi Kafe di Kota Medan

0 0 13

ABSTRAK PENGARUH KREATIVITAS DAN INOVASI TERHADAP MINAT BELI KONSUMEN USAHA LOPIAN KAFE KOPI DI KOTA MEDAN

0 1 12

BAB II PENGATURAN HAK CIPTA DI INDONESIA DITINJAU DARI UU NO.28 TAHUN 2014 A. Pengertian Hak Cipta - Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta atas Pembajakan Karya Seni Digital pada Jejaring Sosial Ditinjau dari UU No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta skripsi

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta atas Pembajakan Karya Seni Digital pada Jejaring Sosial Ditinjau dari UU No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta skripsi

0 1 16

1. Identitas Responden - Pengaruh Lingkungan Kerja, Kompetensi dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Di Badan Pertanahan Nasional Kota Medan

0 2 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Lingkungan Kerja, Kompetensi dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Di Badan Pertanahan Nasional Kota Medan

0 3 11

Perbandingan Delik Penyertaan Menurut KUHP dan Hukum Islam

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbandingan Delik Penyertaan Menurut KUHP dan Hukum Islam

0 0 22