BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENGAWASAN PENJUALAN OBAT - Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsu

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENGAWASAN PENJUALAN OBAT A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen 1. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia Sebelum Indonesia merdeka, sebenarnya sudah ada beberapa

  peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Peraturan perundang-undangan pada zaman Hindia-Belanda tersebut dapat

  

  disebutkan antara lain: a.

  Reglement Industriele Eigendom, S.1912-545, jo. S.1913 Nomor 214, b. Loodwit Ordonnantie (Ordonansi Timbal Karbonat), S.1931 Nomor

  28, c. Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S.1926-226 jo.S.1927-

  449, jo.S.1940-14 dan 450, d. Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S.1931-509, e. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonansi Petasan), S.1932-143, f. Verpakkings Ordonnantie (Ordonansi Kemasan), S.1932-143, g.

  Ordonnantie Op de Slacth Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih), S.1936-671, h. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi Obat

  Keras), S.1937-641, i.

  (Ordonansi Penyaluran Bedrijfsrelementerings Ordonnantie

  Perusahaan), S.1938-86, j. Ijkodonnantie (Ordonansi Tera), S.1949-175, k.

  Gevaarlijke Stoffen Ordonnantie (Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya), S.1949-377, dan l. 32 Pharmaceutische Stoffen Keurings Ordonnantie, S.1955-660.

  

Gunawan Widjaja dan A. Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal.18.

  Selain itu, dalam Burgerlijk Wetboek juga terdapat ketentuan- ketentuan yang bertendensi melindungi konsumen, khususnya dalam Buku

33 III tentang Perikatan . Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

  (KUHD) juga ditemukan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, misalnya tentang pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang perlindungan penumpang/barang muatan pada hukum maritim, dan sebagainya. Demikian pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), misalnya tentang pemalsuan, penipuan, persaingan curang, pemalsuan merk, dan sebagainya. Dalam hukum adat pun ada dasar-dasar yang menopang hukum perlindungan konsumen, seperti prinsip kekerabatan yang kuat dari masyarakat adat yang tidak berorientasi pada konflik, yang memposisikan setiap warganya untuk saling menghormati sesamanya, pinsip terang pada pembuatan transaksi (khususnya transaksi tanah) yang mengharuskan hadirnya kepala

  

  Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa Undang-Undang yang

  

  materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:

  33 34 Ahmadi Miru, op.cit., hal. 71 35 Gunawan Widjaja, op.cit., hal. 19 a.

  Undang-Undang Nomor 10 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-Undang; b.

  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene; c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

  Pemerintahan Daerah; d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar

  Perusahaan; f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; g.

  Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan; h. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan

  Industri; i. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; j. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement

  Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia); k. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseoan Terbatas; l. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; m.

  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; n. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas

  Undang-Undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1987; o. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas

  Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten; p. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas

  Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek; q. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan

  Lingkungan Hidup; r. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran; s.

  Undang-UndangNomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan; t. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

  Perkembangan baru di bidang perlindungan konsumen terjadi setelah pergantian tampuk kekuasaan di Indonesia, yaitu tatkala Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) disahkan dan diundangkan pada 20 April 1999. UUPK ini masih memerlukan waktu satu tahun untuk berlaku efektif. UUPK dihasilkan dari hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang notabene hak itu tidak

  

  2. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha

  Pengertian konsumen dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan’’. Di Belanda, oleh Hondius disimpulkan bahwa arti konsumen adalah pemakai produksi terakhir dari benda dan

  

  jasa , sedangkan di Spanyol, pengertian konsumen didefinisikan secara lebih luas, yaitu konsumen bukan hanya individu (orang), tetapi juga suatu

  

  Pengertian Pelaku Usaha dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah “setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi’’. Ruang lingkup yang

  36 37 Shidarta, op.cit., hal. 52 38 Ibid., hal. 3 diberikan sarjana ekonomi yang tergabung dalam Ikatan Sarjana Ekonomi Indonsia (ISEI) mengenai pelaku usaha adalah sebagai berikut :

   3.

   Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

  a. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan seperti perbankan, usaha leasing, “tengkulak”, penyedia dana, dan sebagainya;

  b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan /atau jasa-jasa yang lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Pelaku usaha dalam kategori ini dapat terdiri dari orang dan/ badan yang memproduksi sandang, orang dan/badan usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/badan yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/badan yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, dan sebagainya;

  c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat. Pelaku usaha pada kategori ini misalnya pedagang retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, rumah sakit, klinik, usaha angkutan (darat, laut dan udara), kantor pengacara, dan sebagainya.

  Pada dasarnya jika berbicara soal hak dan kewajiban, maka harus berfokus kembali kepada undang-undang. Undang-undang ini, dalam hukum perdata, selain dibentuk oleh pembuat undang-undang (lembaga legislatif), juga dapat dilahirkan dari perjanjian antara pihak-pihak yang berhubungan hukum satu dan yang lainnya. Perikatan tersebutlah yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan atau yang tidak bolek dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam perikatan

40 Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen yang diakui

  secara internasional, yaitu:

39 Az. Nasution, op.cit., hal. 23

  40 a.

  Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety); b.

  Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); c. Hak untuk memilih (the right to choose); d.

  Hak untuk didengar (the right to be heard)

   Di dalam Undang-Undang Perlindungan Kosumen Bab III Pasal 4,

  hak konsumen adalah: a.

  Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b.

  Hak untuk memilih barang dan / atau jasa serta mendapatkan barang dan / atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d.

  Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e.

  Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f.

  Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g.

  Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h.

  Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.

  Selain memperoleh hak, konsumen juga memiliki kewajiban, seperti tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: a.

  Membaca dan mengikuti informasi dan prosedur pemakaian atau pemeliharaan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c.

  Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d.

  Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 41

  Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai penyeimbang atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen dan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan konsumen, maka kepada pelaku usaha diberikan juga hak dan kewajiban yang tercantum dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

42 Perlindungan Konsumen

  Hak pelaku usaha dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, meliputi: a.

  Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b.

  Mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c.

  Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d.

  Rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.

  Selanjutnya kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban seperti yang tertera pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: a.

  Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b.

  Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunanaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

  42 d.

  Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f.

  Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak seseuai dengan perjanjian. Selain adanya kewajiban, pelaku usaha juga dilarang melakukan hal-hal seperti yang tertera di dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8

  Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: Ayat (1): Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a.

  Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b.

  Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d.

  Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistiewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f.

  Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h.

  Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; i.

  Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat; j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (2): Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Ayat (3): Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi lengkap dan benar. Ayat (4): Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

  Selanjutnya dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut: Ayat (1): Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:

  a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potonga harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

  b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

  c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;

  d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi; e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

  f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

  g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

  h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu; i. secara langsung atau tidak langsung merencahkan barang dan/atau jasa lain; j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap; k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. Ayat (2): Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan. Ayat (3): Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut. Dalam hal ini, konsumen dapat dipersamakan dengan para pembeli obat-obatan dan pelaku usaha Apotek dapat dipersamakan dengan penjual, sehingga hak dan kewajiban konsumen, serta hak dan kewajiban pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan dasar hak dan kewajiban pembeli obat-obatan, serta dasar hak dan kewajiban pelaku usaha Apotek.

  Apotek adalah suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan farmasi, dan perbekalan kesehatan lainnya kepada

  

  masyarakat . Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yaitu “meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan . 43 ketentuan peraturan perundang-undangan” Selanjutnya, pekerjaan

  

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/Menkes/Per/X/1993 tentang kefarmasian tersebut dilakukan oleh seorang Apoteker, yaitu seorang sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker

  

  . Apoteker atau Apoteker yang bekerjasama dengan pemilik sarana Apotek dapat melakukan kegiatan usaha di luar sediaan farmasi, sehingga kegiatan usaha Apotek tidak berbeda dengan badan usaha lainnya, yaitu menjual komoditinya untuk mendapatkan profit

   a.

  Pelaku usaha Apotek berhak menerima pembayaran atas barang yang dibeli di Apotek sesuai kesepakatan dengan pembeli; .

  Secara lebih khusus, hak dan kewajiban pelaku usaha Apotek menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah: b.

  Pelaku usaha Apotek berhak mendapat perlindungan hukum atas tindakan pembeli yang beritikad tidak baik; c.

  Pelaku usaha Apotek berhak melakukan pembelaan diri di dalam penyelesaian sengketa konsumen bilamana terjadi sengketa antara pelaku usaha Apotek dengan pembeli; d. Pelaku usaha Apotek berhak menerima rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian pembeli tidak diakibatkan oleh barang yang diperdagangkan di Apotek; e. Pelaku usaha Apotek wajib beritikad baik dalam melakukan usahanya; f.

  Pelaku usaha Apotek wajib memberikan informasi yang akurat mengenai barang yang diperjualbelikan di Apotek secara terperinci; g. Pelaku usaha Apotek wajib melayani pembeli tanpa diskriminasi; h. Pelaku usaha Apotek wajib menjamin mutu barang yang diperdagangkan; 44 Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar

  Pelayanan Kefarmasian di Apotek 45 Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 992/Menkes/Per/X/1993, tentang i.

  Pelaku usaha Apotek wajib memberikan ganti rugi / penggantian atas barang yang dibeli apabila barang tersebut pemanfaatannya tidak sesuai dengan perjanjian. Selanjutnya, hak dan kewajiban pembeli di Apotek menurut Undang-

  Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah: a.

  Pembeli berhak mendapatkan kenyaman dan keselamatan dalam menggunakan atau mengkonsumsi barang yang dibeli di Apotek; b.

  Pembeli berhak mendapatkan informasi yang lengkap atas barang yang dibelinya di Apotek; c.

  Pembeli berhak mendapatkan perlindungan hukum dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen apabila terjadi sengketa antara pelaku usaha Apotek dengan pembeli; d. Pembeli berhak dilayani tanpa diskriminasi oleh pelaku usaha

  Apotek; e. Pembeli berhak mendapatkan ganti rugi / penggantian atas barang yang penggunaanya tidak sesuai yang diperjanjikan; f.

  Pembeli wajib membaca dan mengikuti informasi prosedur pemakaian yang ada; g.

  Pembeli wajib beritikad baik dalam membeli barang di Apotek h. Pembeli wajib membayar sesuai harga yang disepakati di Apotek; i. Pembeli wajib mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

  Hak dan kewajiban pelaku usaha Apotek sebagai penjual ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah: a.

  Pelaku usaha Apotek berhak menerima pembayaran atas barang yang dijualnya kepada pembeli (Pasal 1457 KUHPerdata); b.

  Pelaku usaha Apotek sebagai penjual wajib menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli (Pasal 1474 KUHPerdata); c.

  Pelaku usaha Apotek sebagai penjual berhak tidak menyerahkan barang yang bersangkutan, jika pembeli belum membayar harganya (Pasal 1478 KUHPerdata); d. Pelaku usaha Apotek sebagai penjual wajib menjamin bahwa barang yang dijual baik kondisi maupun jenis dan jumlahnya sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian jual-beli (Pasal 1483 KUHPerdata) e.

  Pelaku usaha Apotek sebagai penjual wajib menjamin pembeli untuk dapat memiliki barang itu dengan aman dan tentram, serta bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi yang dapat dijadikan alasan untuk pembatalan pembelian (Pasal tetapi pelaku usaha Apotek sebagai penjual tidak diwajibkan menanggung cacat yang kelihatan oleh pembeli (Pasal 1505 KUHPerdata). Hak dan kewajiban konsumen sebagai pembeli ditinjau dari Kitab

  Undang-Undang Hukum Perdata adalah: a.

  Pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang yang telah disepakati (Pasal 1513 KUHPerdata); b.

  Pembeli berhak mendapatkan jaminan untuk dapat memiliki barang itu dengan aman dan tentram. Serta jaminan terhadap cacat yang tersembunyi dan sebagainya, yang dapat dijadikan alasan untuk pembatalan pembelian (Pasal 1491, 1504, 1506, 1508, 1509 dan 1510 KUHPerdata).

4. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen

  Bentuk-bentuk perlindungan konsumen ada dua macam, yaitu bentuk perlindungan konsumen yang berbentuk preventif dan bentuk perlindungan konsumen yang berbentuk represif.

  Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mengamanatkan pembentukan lembaga yang akan menyelenggarakan perlindungan konsumen, yaitu Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), sehingga melalui fungsi, tugas dan wewenang dari kedua lembaga tersebut diharapkan dapat mewujudkan perlindungan konsumen yang bersifat preventif.

  Sedangkan yang bertindak dalam memberikan perlindungan konsumen yang bersifat represif yaitu melalui pengaturan tanggung jawab pelaku usaha untuk memberi ganti rugi kepada konsumen, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 yang lebih dikenal dengan sebutan tanggung jawab perdata dan lembaga yang diamanatkan oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah Badan Penyelesaian

46 Sengketa Konsumen (BPSK) .

  Bentuk perlindungan konsumen yang bersifat preventif meliputi: 1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)

  Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dibentuk berdasarkan amanat Pasal 43 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan PP No. 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Lembaga ini dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan kosumen.

  BPKN berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia dan bertanggungjawab kepada Presiden, dan apabila diperlukan BPKN dapat membentuk perwakilan di Ibukota Daerah Provinsi untuk membantu pelaksanaan tugasnya.

  Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mempunya fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen. Untuk menjalankan fungsinya BPKN mempunyai fungsi: a.

  Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen;

46 Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Kelembagaan-Lembaga

  Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”, diakses dari

pada tanggal b.

  Melakukan penelitian dan pengkajjian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen; c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen; d.

  Mendorong berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM); e. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keperpihakan kepada konsumen; f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lebaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha; dan g. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

  Sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, anggota BPKN terdiri sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang yang mewakili semua unsur, dengan seorang ketua dan wakil merangkap anggota. Unsur keanggotaan BPKN terdiri dari: a.

  Pemerintah b.

  Pelaku Usaha c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat d.

  Akademisi e. Tenaga Ahli

  Anggota BPKN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, atas usul Menteri Perdagangan, setelah dikonsultasikan dengan DPR dan masa jabatan sebagai anggota BPKN selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat

   kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya .

47 Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Kelembagaan-Lembaga

  Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”, diakses dari

pada tanggal

2. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)

  LPKSM merupakan lembaga perlindungan konsumen yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.

  Dalam rumusan Pasal 44 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dikatakan bahwa LPKSM

  

  mempunyai tugas yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a.

  Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d.

  Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; e.

  Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

  Selain bentuk perlindungan konsumen yang bersifat preventif, adapula bentuk perlindungan konsumen yang bersifat respresif yaitu adanya Badan Penyelesaian Sengeketa Konsumen (BPSK). Dalam hal ini, peran BPSK dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen merupakan ujung tombak di lapangan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen yang telah dirugikan atau yang telah menderita sakit.

  Perlindungan yang diberikan oleh lembaga BPSK kepada konsumen adalah melalui penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha dan juga melalui pengawasan terhadap setiap pencantuman 48 perjanjian atau dokumen yang mencantumkan klausula baku yang merugikan konsumen. BPSK berfungsi ganda, disatu sisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan sengketa konsumen dan disisi lain diberikan kewenangan eksekutif kepada BPSK untuk mengawasi pencantuman klausula baku yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha.

  BPSK berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota yang berfungsi menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan, khusus untuk Ibukota DKI Jakarta BPSK berkedudukan daerah tingkat I/Provinsi.

  Keanggotaan BPSK diwakili dari 3 (tiga) unsur, yang terdiri dari unsur pemerintah, unsur pelaku usaha, dan unsur konsumen. Unsur pelaku usaha berasal dari perkumpulan/organisasi atau asosiasi pelaku usaha, sedangkan unsur konsumen berasal dari Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang telah terdaftar dan diakui oleh Bupati atau Walikota atau Dinas setempat.

  Tugas dan fungsi BPSK sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain :

  a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa

  konsumen, dengan cara melalui mediasi, atau konsiliasi, atau arbitrase;

  b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c.

  Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

  d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran

  ketentuan dalam undang-undang;

  e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari

  konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f.

  Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

  g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan

  pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

  h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap

  orang yang dianggap mengetahui pelanggaran undang-undang;

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,

  k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian

  dipihak konsumen;

  l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan

  saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaiamana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;

  m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang.

  Konsumen dapat mengadu ke BPSK sepanjang dipenuhi persyaratan berikut: a.

  Konsumen sebagai pihak yang mengajukan permohonan pengaduan atau gugatan, hanya dapat diterima jika diajukan oleh konsumen akhir. Terhadap pengertian konsumen akhir, juga meliputi warga negara asing yang berada di Indonesia, maka dapat menggugat pelaku usaha di BPSK. Gugatan sekelompok orang/konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama, yang dikenal dengan sebutan gugatan class action tidak dapat diterima di BPSK demikian juga dengan pengajuan gugatan yang diajukan oleh LPKSM. Kedua gugatan tersebut hanya dapat diajukan ke Pengadilan Negeri.

  b.

  Yang dapat diadukan konsumen ke BPSK adalah pelaku usaha, baik orang perserorangan, badan usaha berbentuk hukum maupun bukan badan hukum, termasuk BUMD dan BUMN, bukan instansi atau lembaga pemerintah.

  c.

  Yang dapat diadukan ke BPSK adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan 5 (lima) parameter perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha sesuai Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu: barang yang tidak memenuhi standar, informasi yang mengelabui, cara menjual yang merugikan, cidera janji, klausula baku

  pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

  Proses penyelesaian sengketa konsumen secara perdata melalui BPSK dilakukan dengan konsiliasi atau mediasi atau arbitrase, yang bersifat non litigasi. Sedangkan proses penyelesaian sengketa perdata melalui badan peradilan umum, bersifat litigasi.

   a.

  Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Bilamana para pihak telah sepakat memilih BPSK sebagai tempat penyelesaian sengketa, maka para pihak untuk kedua kalinya  harus sepakat untuk memilih salah satu dari cara penyelesaian sengketa yang berlaku di BPSK, yakni dengan cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase.

  b. Bukan berjenjang, Jika konsumen dan pelaku usaha telah sepakat

  memilih cara penyelesaian sengketa dengan cara konsiliasi dan ternyata tidak terdapat penyelesaian, maka sengketa tidak dapat diajukan penyelesaiannya dengan cara mediasi atau arbitrase.

  c. Penyelesaian oleh Para Pihak, Bilamana para pihak telah sepakat

  memilih cara penyelesaian secara konsiliasi atau mediasi, maka penyelesaian sepenuhnya berada ditangan para pihak baik mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi secara pembayaran tunai atau cicilan. Majelis BPSK hanya bersifat fasilitator yang wajib memberikan masukan, saran, dan menerangkan isi Undang- Undang Perlindungan Konsumen.

  d. Penyelesaian oleh Majelis, Bilamana para pihak sepakat memilih

  penyelesaian secara arbitrase, maka penyelesaian sepenuhnya penyelesaian diserahkan kepada Majelis BPSK baik bentuk dan besarnya ganti rugi.

  e. Tanpa Pengacara, Pada prinsipnya penyelesaian sengketa

  konsumen melalui BPSK tanpa lawyer (pengacara), hal ini mengingat yang ditonjolkan dalam proses penyelesaian sengketa adalah musyawarah kekeluargaan, bukan masalah aspek hukum yang ketat, kaku karena putusan yang diharapkan di BPSK adalah win-win solution.

  f. Murah, Cepat dan Sederhana, Penyelesaian sengketa di BPSK

  tidak dipunggut biaya, baik kepada konsumen maupun pelaku 49 usaha, sedangkan waktu penyelesaiaannya relatif cepat, yakni

  Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Kelembagaan-Lembaga Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”, diakses dari

pada tanggal selambat-lambatnya dalam waktu 21 hari kerja sudah diterbitkan putusan BPSK.

B. Pengawasan Penjualan Obat 1. Kementerian Perdagangan

  Berkaitan dengan pengawasan penjualan obat, Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan perlindungan konsumen bersama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan, beserta Kementerian terkait lainnya berdasarkan Undang- Undang tentang Perlindungan Konsumen tahun 1999. Kemendag juga bertugas mengawasi produk non pangan, sementara BPOM mengawasi

  

  produk obat dan pangan olahan apat koordinasi (Rakor) antara Menteri Perdagangan dan Menteri Kesehatan dilakukan untuk membahas standarisasi kesehatan produk obat, salah satunya terkait produk jamu lokal yang memiliki standar kesehatan serta produk herbal lainnya yang nantinya akan diatur standarisasinya sesuai regulasi yang ditangani oleh

  

50 Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Pemusnahan Produk

  Ilegal Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen”, diakses dari da tanggal 07 Februari 2015 pukul 22.06 51 Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, diakses dari

  2. Kementerian Kesehatan

  Kementerian Kesehatan memiliki peran penting dalam penjualan obat oleh Apotek. Salah satu wujud perlindungan konsumen yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan terhadap penjualan obat adalah dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

  35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek . Pengawasan penjualan obat oleh Kementerian Keseahatan tampak jelas pada Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yaitu “Apotek wajib mengirimkan laporan Pelayanan Kefarmasian secara berjenjang kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kementerian Kesehatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”.

  3. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

  Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah lembaga pengawas peredaran obat dan makanan di Indonesia. BPOM bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti yang tertera dalam Pasal 67 Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, selanjutnya Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM mempunyai tugas melaksanakan kebijakan dibidang pengawasan obat dan makanan, yang meliputi pengawasan atas produk terapetik, narkotika, psikotropika, zat adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen serta pengawasan atas keamanan pangan dan bahan berbahaya seperti yang tertera dalam

  Pasal 2 Peraturan Kepala Badan POM No. 14 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan

52 Pengawas Obat dan Makanan .

   Adapun visi dan misi BPOM meliputi :

  Visi: Menjadi Institusi Pengawas Obat dan Makanan yang Inovatif, Kredibel dan Diakui Secara Internasional Untuk Melindungi Masyarakat.

  Misi: a. Melakukan Pengawasan Pre-Market dan Post-Market Berstandar Internasional.

  b.

  Menerapkan Sistem Manajemen Mutu Secara Konsisten.

  c.

  Mengoptimalkan Kemitraan dengan Pemangku Kepentingan di Berbagai Lini.

  d.

  Memberdayakan Masyarakat Agar Mampu Melindungi Diri dari Obat dan Makanan yang Berisiko Terhadap Kesehatan.

e. Membangun Organisasi Pembelajar (Learning Organization).

  Dalam menjalankan visi dan misinya, BPOM memiliki beberapa nilai luhur sebagai budaya organisasinya, yaitu: a.

  Profesional Menegakkan profesionalisme dengan integritas, objektifitas, ketekunan, dan komitmen yang tinggi b. 52 Kredibel

  Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Tugas Utama Badan POM dan Tugas Balai Besar/Balai POM (Unit Pelaksana Teknis)”, diakses dari pada tanggal 16 Februari 2015 pukul 10.20 53 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Visi dan Misi Badan POM), diakses dari

  Dapat dipercaya dan diakui masyarakat luas, nasional, dan internasional.

  Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan Obat dan Makanan; c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan

   pada tanggal 07 Februari 2015 pukul

  Penetapan sistem informasi di bidangnya; 54 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Fungsi badan POM”, diakses dari

  Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya; b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro; c.

   a.

  Adapun wewenang BPOM menurut Pasal 69 Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 meliputi tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen:

  Makanan; e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bindang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.

  POM; d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan Obat dan

  Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan; b.

  c.

   a.

  BPOM berfungsi dalam hal sebagai berikut:

  Inovatif Mampu melakukan pembaruan sesuai ilmu pengetahuan dan teknologi terkini.

  e.

  Kerjasama tim Mengutamkan keterbukaan, saling percaya, dan komunikasi yang baik.

  d.

  Cepat tanggap Antisipatif dan responsif dalam mengatasi masalah.

  22.14 55 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Kewenangan Badan POM”, diakses dari d.

  Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman peredaran obat dan makanan; e. Pemberi izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi; f.

  Penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan dan pengawasan tanaman obat.

4. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)

  LPKSM merupakan lemabaga perlindungan konsumen yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam

  

  Untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum, keterbukaan dan ketertiban dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen di Indonesia, setiap LPKSM wajib melakukan Pendaftaran pada Pemerintah Kabupaten atau Kota, untuk memperoleh Tanda Daftar LPKSM (TDLPK) sebagai bukti bahwa LPKSM yang bersangkutan benar-benar bergerak di bidang Perlindungan Konsumen, sesuai dengan bunyi Anggaran Dasar dan atau Rumah Tangga dari Akta Pendirian LPKSM tersebut. Tanda Daftar LPKSM dapat dipergunakan oleh LPKSM yang bersangkutan untuk melakukan kegiatan penyelenggaraan Perlindungan Konsumen di seluruh Indonesia, dan pendaftaran tersebut dimaksudkan sebagai pencatatan dan bukan merupakan suatu perizinan. Setelah LPKSM yang bersangkutan memperoleh Tanda Daftar LPKSM, maka Undang-Undang Nomor 8 56 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi landasan hukum bagi LPKSM, untuk menyelenggarakan perlindungan konsumen di Indonesia, baik melalui kegiatan upaya pemberdayaan konsumen dengan cara pembinaan, pendidikan konsumen maupun mampu melalui pelaksanaan tugas LPKSM sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berikut peraturan pelaksanaannya.

  LPKSM posisinya amat strategis dalam ikut mewujudkan perlindungan konsumen. Selain menyuarakan kepentingan konsumen, lembaga ini juga memiliki hak gugat (legal standing) dalam konteks ligitas kepentingan konsumen di Indonesia. Hak gugat tersebut dapat dilakukan oleh LPKSM yang telah memenuhi syarat, yaitu bahwa LPKSM yang dimaksud telah berbentuk Badan Hukum atau Yayasan yang dalam anggaran dasarnya memuat tujuan perlindungan konsumen. Gugatan oleh lembaga konsumen hanya dapat diajukan ke Badan Peradilan Umum

  

  Dalam rumusan Pasal 44 Angka (3), dikatakan bahwa LPKSM

  

  mempunyai tugas yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a.

  Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d.

  Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk 57 menerima keluhan atau pengaduan konsumen;

  Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Kelembagaan-Lembaga Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”, diakses dari

pada tanggal

15 Februari 2015 pukul 14.10

  58 e.

  Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

  

BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI BARANG CACAT

TERSEMBUNYI DAN MEKANISME PERDAGANGAN OBAT

OLEH APOTEK

A.

Tinjauan Umum Mengenai Barang Cacat Tersembunyi

1. Pengertian Barang Cacat Tersembunyi Terminologi cacat tersembunyi dapat dijumpai dalam Pasal 1504 sampai Pasal 1512 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Perkataan “tersembunyi” ini harus diartikan bahwa adanya cacat tersebut

  tidak mudah dapat dilihat oleh seseorang konsumen yang normal, bukan seorang konsumen yang terlampau teliti, sebab sangat mungkin sekali

   orang yang sangat teliti akan menemukan adanya cacat tersebut .

  Pasal 1504 KUH Perdata menentukan bahwa pelaku usaha/penjual selalu diharuskan untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi. Mengenai masalah apakah pelaku usaha mengetahui atau tidak akan adanya cacat tersebut tidak menjadi persoalan. Baik dia mengetahui atau tidak, penjual/atau pelaku usaha harus menjamin atas segala cacat yang 59 tersembunyi pada barang yang dijualnya. Yang dimaksud dengan cacat

  Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Perputaran Kas, Net Profit Margin, dan Perputaran Piutang Terhadap Likuiditas Pada Perusahaan Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Perputaran Kas, Net Profit Margin, dan Perputaran Piutang Terhadap Likuiditas Pada Perusahaan Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

1 0 7

PENGARUH PERPUTARAN KAS, NET PROFIT MARGIN, DAN RECEIVABLES TURNOVER TERHADAP LIKUIDITAS PADA PERUSAHAAN INDUSTRI BARANG KONSUMSI YANG TERDAFTAR DI BEI

0 0 10

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Kecamatan Gunung Maligas - Penanganan Kebersihan di Daerah Tujuan Wisata (Studi Deskriptif Mengenai Pengelolaan Sampah di Daerah Tujuan Wisata Pemandian Karang Anyar Kecamatan Gunung Maligas Kabupaten Simalungun.

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1. - Penanganan Kebersihan di Daerah Tujuan Wisata (Studi Deskriptif Mengenai Pengelolaan Sampah di Daerah Tujuan Wisata Pemandian Karang Anyar Kecamatan Gunung Maligas Kabupaten Simalungun.

0 0 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cahaya - Perancangan Dan Pembuatan Alat Pendeteksi Keberadaan Alfatokoferol Pada Paprika Hijau Dengan Menggunakan Sensor Warna TCS3200

0 0 29

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN ALAT PENDETEKSI KEBERADAAN ALFATOKOFEROL PADA PAPRIKA HIJAU DENGAN MENGGUNAKAN SENSOR WARNA TCS3200

0 0 11

BAB II PROFIL INSTANSI - Strategi Optimalisasi Pendapatan Dinas Pasar Dan Pengaruhnya Terhadap Keuangan Daerah

0 0 10

BAB II PROFIL PERUSAHAAN - Analisis Perbandingan Anggaran Dan Realisasi Dana Dekonsentrasi Pada Dinas Pertambangan Dan Energi Provinsi Sumatera Utara

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian(Studi Putusan Nomor : 370/Pid.B/2013/Pn.Sim)

0 0 29