BAB I PENDAHULUAN 1.1. - Penanganan Kebersihan di Daerah Tujuan Wisata (Studi Deskriptif Mengenai Pengelolaan Sampah di Daerah Tujuan Wisata Pemandian Karang Anyar Kecamatan Gunung Maligas Kabupaten Simalungun.

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang Masalah

  Potensi sumber daya alam Indonesia sangat berlimpah, wilayah hutan tropis Indonesia terluas ketiga di dunia dengan cadangan minyak, gas alam, emas, tembaga dan mineral lainnya. Indonesia memiliki tanah dan area lautan yang luas, dan kaya dengan berjenis-jenis ekologi. Walaupun demikian persoalan tentang pengelolaan sumber daya alam hanya mendapat perhatian sedikit dari para pengambil kebijakan.

  Walaupun kekayaan sumber daya alam Indonesia begitu berlimpah bukan berarti pengelolaan dari sumberdaya alam itu harus terabaikan. Justru pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan secara terus menerus sebagai usaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat tentu harus memperhatikan lingkungan, karena pengelolaan alam yang hanya berorientasi ekonomi hanya akan membawa efek positif secara ekonomi tetapi menimbulkan efek negatif bagi kelangsungan kehidupan umat manusia. Oleh sebab itu pengelolaan sumber daya alam perlu memperhatikan kelestarian lingkungan dengan bertanggung jawab (Yoeti, 2000).

  Dengan keberagaman kekayaan sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia, tentunya hal ini menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk membangun industri pariwisata yang nantinya mampu memberikan kontribusi secara multidimensi bagi pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Kepariwisataan itu penting disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu: (1) Telah berkurangnya penerimaan devisa dari ekspor minyak dibandingkan waktu sebelumnya, (2) Prospek pariwisata yang tetap memperlihatkan kecenderungan meningkat dari waktu-kewaktu dan (3) Besarnya potensi wisata yang dimiliki bagi

   pengembangan pariwisata di Indonesia.

  Pariwisata di Indonesia telah dianggap sebagai salah satu sektor ekonomi penting. Bahkan sektor ini diharapkan akan menjadi penghasil devisa nomor satu.

  Di samping menjadi mesin penggerak ekonomi, pariwisata juga merupakan wahana yang menarik untuk mengurangi angka pengangguran mengingat barbagai jenis wisata dapat ditempatkan dimana saja. Oleh sebab itu pembangunan wisata dapat dilakukan di daerah yang pengaruh penciptaan lapangan kerja paling menguntungkan.

  Hampir seluruh Provinsi di Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang dapat dijadikan sebagai objek wisata. Sumatera Utara adalah salah satu provinsi yang memiliki banyak sumber daya alam baik migas maupun non migas. Potensi alam yang dijadikan daya tarik tersendiri bagi pengunjung untuk berwisata atau berlibur. Sumatera utara yang terkenal dengan Danau Toba mampu menarik perhatian dunia yang merupakan salah satu destinasi pariwisata. Masih sebagai daerah wisata. Adapun daerah tujuan wisata yang banyak dikunjungai

  

  sebagai berikut : 1.

  Berastagi adalah tujuan wisata utama di Tanah Karo yang terletak di 1 ketinggian sekitar 4.594 kaki dari permukaan laut dan dikelilingi barisan

   2 pukul 16 ; 45 wib tanggal 22 september 2012 gunung-gunung, memiliki udara yang sejuk dari hamparan perladangan pertaniannya yang indah, luas, dan hijau.

  2. Bukit Lawang adalah kawasan wisata yang berkembang secara spontan.

  Artinya, daya tarik dan pesona alam berhasil menarik pengunjung untuk datang. Perkembangan wisata di sini dimulai dengan adanya pendirian pusat rehabilitasi orangutan pertama di Sumatera pada awal 1980-an.

  3. Danau lau kawar ini terletak di kaki Gunung Sinabung Tanah Karo, sekitar 50 km dari kota Medan. Dibandingkan dengan luas Danau Toba yang

  2 mencapai 1.265 KM sedangkan, luas Danau Lau Kawar yang hanya 200 Ha.

  4. Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik sebesar 100km x 30km di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di tengahnya terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir. Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di Sumatera Utara 5. Bukit Gundaling dengan ketinggian 1575 M dari permukaan laut berjarak 3 km dari kota Brastagi. Untuk mencapai bukit ini dapat dilakukan dengan berjalan kaki atau menggunakan sado. Istana Maimun semula ditulis Maimoon, merupakan istana Sultan Deli. Istana yang berdiri megah di Jalan Brigjend Katamso ini didominasi warna kuning, warna kerajaan sekaligus warna khas Melayu. Istana ini didirikan oleh Sultan Kerajaan Deli, Sultan Maimun Al Rasyid Perkasa Alam Shah.

  Dalam pengembangan potensi wisata akan terjadi saling ketergantungan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Oleh karena itu transfebilitas harus dilakukan secara terorganisir, agar para wisatawan lebih mudah mendapatkan akses yang hendak dia tuju. Pelaksanaan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah memberikan kewenangan daerah yang lebih luas dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pelaksanaan otonomi diyakini akan mendorong daerah untuk lebih bersikap mandiri karena memiliki kewenangan penuh untuk mengurus dan mengontrol daerahnya sendiri.

  Kemandirian tersebut, bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi lebih baik, termasuk pengelolaan pariwisata daerah yang lebih profesional dan mengena.

  Kepulauan nusantara yang terkenal dengan sebutan untaian zamrud di khatulistiwa, memperbanyak tempat rekreasi sebagai tempat waisata. Ciri khas kebudayaan satu daerah yang berlainan dengan daerah lainnya, serta keramah tamahan penduduknya merupakan sebagian dari citra yang memiliki daya pikat bagi para wisatawan. Kegiatan pariwisata yang pada hakekatnya merupakan suatu perjalanan yang diatur untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan untuk berusaha atau mencari nafkah tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna melihat keindahan alam, merasakan kesejukan pegunungan, melihat atraksi-atraksi kebudayaan, tempat-tempat bersejarah ataupun tempat-tempat yang dianggap suci ataupun lain adalah bertamasya, kesehatan, studi, keagamaan, berlibur dan sebagainya.

  Dalam kepariwisataan terdapat keterkaitan yang erat antara kegiatan pariwisata dalam aspek sosial dimana menyangkut hubungan antara manusia, yaitu wisatawan dengan masyarakat lokal di daerah tujuan wisata, di samping itu kegiatan pariwisata tidak menutup kemungkinan akan membawa dampak terhadap lingkungan fisik di daerah tujuan tersebut. Faktor lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang sangat berhubungan terhadap derajat kesehatan masyarakat, karenanya perlu memperoleh perhatian secara sungguh-sungguh terutama di daerah tujuan wisata. Perilaku sehat yang diharapkan adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan.

  Sedangkan lingkungan sehat adalah lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat, yaitu bebas polusi, pemukiman yang sehat, tersedianya air bersih, dan pengelolaan sampah yang sehat. Permasalahan yang ditemui dalam pengelolaan Daerah Tujuan Wisata khususnya di Pemandian Karang Anyar adalah bidang lingkungan dan perilaku yang saat ini belum dilaksanakan secara optimal.

  Ketertarikan saya untuk mengangkat permasalahan kebersihan di Karang Anyar, karena sebagai daerah wisata alam maka kebersihan menjadi syarat yang harus terpenuhi. Potensi dan keindahan yang dimiliki lokasi wisata pemandian belum dikelola secara maksimal. Perilaku yang terlibat dengan objek pariwisata seperti pelaku para penjual makanan dan minuman, asongan, dan warung saluran air atau membuang sampah tidak pada tempatnya, begitu juga pengunjungpun ada yang tidak peduli dengan kebersihan dan kesehatan karena seenaknya pula membuang bungkusan nasi, plastik, dan sisa makanan lainnya kelingkungan daerah tujuan wisata, hal ini sudah jelas akan memperburuk dan menimbulkan lingkungan yang kotor, yang akhirnya menbawa dampak malasnya orang berkunjung kelokasi tersebut.

  Kondisi ini tentu akan merugikan perekonomian dan kesehatan masyarakat. Untuk itu kebersihan lingkungan daerah tujuan wisata sangat penting untuk dipelihara, dijaga dan diperhatikan oleh semua pihak, tidak saja manfaatnya untuk pengunjung (wisatawan) tapi kebersihan itu adalah untuk masyarakat yang ada di objek wisata dan sekitarnya agar tetap sehat dan produktif.

  Lokasi wisata ini mengalir di areal Perkebunan Laras PTPN IV Bah Jambi yang berjarak sekitar 15 km dari Pematang Siantar. Berada di Nagori Karang Anyar, Kecamatan Gunung Maligas, Kabupaten Simalungun, pemandian ini relatif mudah dijangkau. Air sejuk Karang Anyar keluar dari dalam mulut gua berdiameter 5 m dan membelah Dusun VI Desa Karang Anyar. "Sejak tahun 1920 sumber airnya sudah dimanfaatkan warga dan pemerintahan Hindia Belanda, khususnya yang tinggal di perkebunan.

  Belakangan, Pemerintah Kabupaten Simalungun juga memanfaatkan air ini sebagai salah satu supplier air milik PDAM Tirtalihou, perusahaan air minum milik pemerintah daerah setempat. Selain dimanfaatkan sebagai bahan air minum untuk warga, pemandian Karang Anyar juga menyumbang PAD bagi pemerintah kepada setiap pengunjung.

  Pemandangan yang tidak jarang kita temukan di lokasi Pemandian Karang Anyar adalah sampah, penanganan sampah yang tidak jelas memperburuk keindahan lokasi pemandian. Dari penjabaran latar belakang di atas maka perlu untuk dikaji. Dewasa ini sampah sudah menjadi masalah secara umum yang terjadi di kota besar di Indonesia. Mulai dari tempat pembuangan sampah sementara (TPS), permasalahan pengangkutan, hingga masalah di tempat pembuangan akhir(TPA). Sampah selalu identik dengan barang sisa atau hasil buangan tak berharga. Sampah pada saat ini menjadi sebuah permasalahan umum di semua belahan dunia. Hal ini sangat wajar karena sampah memiliki dampak negatif bagi kesehatan manusia, lingkungan, sosial, ekonomi dan bahkan sangat berdampak buruk terhadap wisata pemandian Karang Anyar. Menteri Lingkungan Hidup Ir. Rachmat Witoelar menjelaskan dalam penyusunan RUU tentang pengelolaan sampah (2007). Bahwa manajemen pengelolaan sampah yang dilakukan sampai saat ini lebih pada memindahkan masalah, artinya sampah dari satu tempat diangkut ketempat lain, sedangkan pengelolaannya juga lebih menggunakan open dumping yang tidak memenuhi standart – standart yang memadai, dan lokasi pembuangan akhir (TPA) tidak sesuai dengan rancangan tata ruang wilayah daerah (RTRW). Akibatnya timbul berbagai masalah pencemaran lingkungan, konflik sosial, dan menimbulkan penyakit bagi masyarakat yang bermukim disekitar TPA. Pendekatan yang digunakan sekarang ini dalam pengelolaan sampah cenderung masih menggunakan end of pipe solution, tetapi bukan pendekatan sumber. Maka muncullah pokok – pokok pikiran RUU tentang 1.

  Prinsip tanggung jawab pengelolaan sampah menjadi urusan Kabupaten/Kota dan merupakan bentuk pelayanan publik. Hal ini berkaitan pula dengan pelaksanaan dari pasal 28 H UUD 1945, yaitu: prinsip pelaksanaan berkelanjutan dan jaminan kesehatan bagi masyarakat.

  2. Batasan pengertian yang dimaksud dengan “sampah” dalam RUU ini adalah sampah padat atau setengah padat dari kegiatan sehari – hari (limbah domestik). Selain itu cakupan pengelolaannya meliputi dari hulu sampai hilir, pengumpulan, pengangkutan, dan pengelolaan. Batasan pengertian/cakupan ini berangkat dari hasil studi, pendapat para ahli, referensi beberapa UU tentang sampah.

  3. Pengelolaan sampah merupakan urusan pemerintah dengan berbagai permasalahan dan kompleksitas masalahnya yang bahkan melampaui urusan skala Kabupaten/Kota dan Provinsi, sehingga perlu diatur dengan UU.

4. Keberhasilan pengelolaan sampah sangat tergantung dari peran pemerintah, keterlibatan dunia usaha dan masyarakat.

  5. Penentuan lokasi TPA dalam RTRW daerah sanagat menentukan. Oleh karena itu, wajib dicantumkan secara tegas berdasarkan standart, persyaratan dan cerita yang telah ditentukan didalam RTRW daerah masing – masing. (Ir. Rachmat Witoelar, 2007).

  Dari pemaparan rencana RUU pengelolaan sampah tersebut jelaslah bahwa penentuan pembuangan akhir harus benar – benar berdasarkan standart dan ketentuan yang berlaku. Selain pengelolaan tempat yang masih menimbulkan pertanyaan, Fikarwin(2005:7), dalam proposal disertasinya yang juga mengkaji lapangan pengelolaan sampah, memaparkan mengapa permasalahan sampah tak sepenuhnya dapat tertangani, sedikitnya ada empat golongan pengamat yakni:

  Golongan pertama mengaitkan permasalahan sampah oleh petugas yang kurang begitu baik, sejak dari sumber/ asal sampah hingga ketempat pembuangan akhir (TPA) banyak sampah – sampah yang tertinggal tidak terangkut dari tempat asal dan kemudian ada sampah – sampah yang tercecer saat pengangkutan sampah dilakukan. Selain itu, jarak waktu antara pengangkutan pertama ke pengangkutan berikutnya dari satu tempat pembuangan sementara (TPS) tertentu dianggap terlalu lama sehingga sampah – sampah yang telah terkumpul terserak kembali.

  Keterlambatan petugas pengangkut sampah akan semakin mempengaruhi bagaimana masyarakat memperlakukan sampah – sampah yang telah mereka hasilkan. Tentunya ini akan semakin memperlihatkan bahwa pengelolaan sampah akan memasuki sistem baru, ketika sistem yang sudah ada tidak dapat berfungsi lagi secara normal, untuk mengatasi masalah sampah yang berserakan di pemandian Karang Anyar ini.

  Pengamat golongan kedua, melihat masalah persampahan di perkotaan terkait dengan teknologi yang digunakan untuk menangani sampah di tempat pembuangan akhir, itu dinilai masih kurang memadai dan tidak tepat. Teknologi yang digunakan di Indonesia saat ini yaitu, incinerator dianggap tidak dapat memecahkan persoalan. Pernyataan ini kembali mendukung fakta – fakta yang saya temukan ketika saya melakukan observasi awal di pemandian Karang Anyar.

  Armada pengangkut sampah misalnya, selain jumlahnya yang sangat terbatas, terlihat juga kondisi kurang perawatan dari armada – armada kebersihan tersebut dan bahkan dalam kondisi tidak layak guna. Selain truk, alat – alat penunjang kebersihan lainnya seperti tong sampah misalnya, juga banyak dalam kondisi memprihatinkan dan kurangnya fasilitas tong sampah yang harusnya disebar disekitar pemandian.

  Golongan ketiga mengaitkan masalah sampah kota – kota besar di Indonesia dengan kebiasaan buruk individu – individu anggota masyarakat membuang sampah sembarangan. Tudingan ini paling sering mengemuka dalam perbincaraan – pembicaraan baik di media massa ataupun dalam percakapan sehari – hari. Ada yang berpendapat “kebiasaan buruk” ini diawali oleh lemahnya perhatian pada pembiasaan anak untuk “buang sampah pada tempatnya” dalam pendidikan sedari kecil di dalam rumah tangga hingga pendidikan di sekolah – sekolah.

  Sedangkan golongan pengamat keempat, mengaitkan masalah sampah dengan volumenya yang sangat besar sehingga muncul gagasan untuk meminimalisasi volume sampah. Salah satu gagasan yang pernah mengemuka ialah bahwa mengusahakan agar produk – produk pertanian yang masuk Jakarta harus sudah dalam keadaan dibersihkan dari daun, kulit, ranting, yang tidak terpakai sejak dari sentra – sentra produksinya (Fikarwin, 2005). Kebijakan persampahan yang tidak terpadu sangat bertolakbelakang dengan kebijakan di bidang pariwisata, khususnya menyangkut aktivitas promosi Pemandian Karang Anyar. Sampah yang dibuang di dekat lokasi sepanjang pemandian dalam waktu yang lama sampai menimbulkan bau dan pemandangan kotor, menunjukkan lemahnya penghargaan masyarakat terhadap kebersihan lingkungan.

1.2. Tinjauan Pustaka

  dengan wisatawan. Hal ini membuktikan bahwa ini erat hubungannya dengan Antropologi, dimana kita dituntut untuk belajar mengetahui apa yang diinginkan orang – orang sebagai calon wisatawan sebagai dasar atau awal usaha pemenuhan kebutuhan yang benar – benar mereka inginkan. Hal ini diciptakan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, yaitu mendatangkan banyak pengunjung atau wisatawan karena mereka berhasil dipuaskan kebutuhannya (Sukadijo, 1996 : 2).

  Ada berbagai pendapat dalam mengidentifikasikan kata pariwisata tersebut, namun hal yang paling penting adalah cara memandang pariwisata secara menyeluruh berdasarkan scape (cakupan) atau komponen yang terlibat dan mempengaruhi pariwisata antara lain:

  • Wisatawan: Setiap wisatawan ingin mencari dan menemukan pengalaman fisik dan psikologis yang berbeda – beda antara satu wisatawan dengan wisatawan lainnya. Hal inilah yang membedakan wisatawan dalam memilih tujuan dan jenis kegiatan di daerah yang dikunjungi.
  • Industri penyedia barang dan jasa: Orang – orang bisnis atau investor melihat pariwisata sebagai suatu kesempatan untuk mendatangkan keuntungan dengan cara menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan wisatawan.
  • Pemerintah lokal: Pihak yang memiliki wewenang secara struktural dalam konteks pemerintahan maupun swasta berkaitan terhadap pengelolaan kawasan objek wisata hingga pada aspek pelayanan terhadap wisatawan yang berkunjung.
  • Masyarakat setempat: Masyarakat lokal biasanya melihat pariwisata dari faktor budaya dan pekerjaan karena hal yang tidak kalah pentingnya bagi masyarakat lokal adalah bagaimana pengaruh interaksi wisatawan dengan masyarakat lokal baik pengaruh yang menguntungkan maupun yang merugikan. Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa pariwisata merupakan gabungan dari sejumlah fenomena yang muncul dari interaksi antara wisatawan,
idustri penyedia barang dan jasa, pemerintah lokal dan masyarakat setempat dalam sebuah proses untuk menarik dan melayani wisatawan.

   1.

  Wisata budaya : ini dimaksudkan agar perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginan untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan jalan mengadakan kunjungan atau peninjauan ketempat lain atau keluar negeri, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan dan adat istiadat mereka. Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek wisata dan daya tarik wisata. Objek wisata dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata. Sementara wisatawan sendiri adalah orang – orang yang melakukan perjalanan wisata (Pendit, 2003 : 14). Adapun jenis – jenis pariwisata sederhana, menurut Nyoman S Pendit (2003 : 14) dapat dikategorikan sebagai berikut: 2.

  Wisata maritim atau bahari: jenis wisata ini banyak dikaitkan dengan kegiatan olahraga air, lebih – lebih di danau, bengawan, pantai, teluk, atau laut lepas, seperti memancing, berlayar, menyelam sambil melakukan 3.

  Wisata cagar alam (Taman Konservasi): Untuk wisata jenis ini banyak diselenggarakan oleh agen atau biro perjalanan yang mengkhususkan usaha – usahanya dengan jalan mengatur wisata ketempat daerah cagar alam, hutan lindung, hutan daerah pegunungan, dan sebagainya yang kelestariannya dilindungi oleh undang – undang. 3

  (Mc.Intosh & Shashikant gupta dalam http: //madebayu.com/search/label/defenisi pariwisata dan wisatawan)

  4. Wisata konvensi: Berbagai negara dewasa ini membangun wisata konvensi dengan menyediakan fasilitas bangunan beserta ruangan – ruangan tempat bersidang bagi para peserta konfrensi, musyawarah, konvensi atau pertemuan lainnya baik yang bersifat internasional maupun nasional.

  5. Wisata pertanian: adalah pengorganisasian perjalanan yang dilakukan proyek – proyek pertanian, perkebunan, ladang pembibitan dan sebagainya dimana wisatawan rombongan dapat mengadakan kunjungan dan peninjauan untuk tujuan studi maupun melihat – lihat sambil menikmati segarnya tanaman beraneka warna dan suburnya pembibitan berbagai jenis sayur mayur dan palawija disekitar perkebunan yang dikunjungi.

  6. Wisata buru: Jenis ini banyak dilakukan di negeri – negeri yang memiliki daerah atau hutan tempat berburu yang dibenarkan oleh pemerintah dan digalakkan oleh agen atau biro perjalanan.

7. Wisata pilgrim: Jenis wisata ini banyak dikaitkan dengan agama, sejarah, adat – istiadat, kepercayaan umat atau kelompok dalam masyarakat.

  Banyak dilakukan oleh rombongan atau perorangan ketempat – tempat 8.

  Wisata kesehatan: Perjalanan wisatawan dengan tujuan tersebut untuk menukar keadaan dan lingkungan tempat sehari – hari dimana dia tinggal demi kepentingan beristirahat baginya dalam arti jasmani dan rohani, dengan mengunjungi tempat peristirahatan seperti mata atau air panas yang dapat menyembuhkan, tempat yang mempunyai iklim udara menyehatkan atau tempat – tempat yang menyediakan fasilitas kesehatan lainnya.

  9. Wisata olahraga: Ini dimaksudkan wisatawan – wisatawan yang melakukan perjalanan dengan tujuan berolahraga atau memang sengaja bermaksud mengambil bagian aktif dalam pesta olahraga di suatu tempat atau negara seperti Olimpiade, Asian Games, Thomas Cup, dan lain – lain.

  10. Wisata komersial: Dalam jenis ini termasuk perjalanan untuk mengunjungi pameran – pameran dan pekan raya yang bersifat komersil, seperti pameran industri, pameran dagang, dan sebagainya.

  11. Wisata politik: Perjalanan yang dilakukan untuk mengunjungi atau mengambil bagian secara aktif dalam peristiwa kegiatan politik seperti: ulang tahun negara, penobatan Ratu Inggris, dan sebagainya dimana fasilitas akomodasi, sarana pengangkutan dan atraksi aneka warna diadakan secara megah dan meriah bagi pengunjung, baik dalam maupun luar negeri.

  12. Wisata sosial: Pengorganisasian suatu perjalanan murah serta mudah untuk memberikan kesempatan bagi golongan ekonomi lemah (atau dengan kata lain mampu untuk membayar sesuatu yang bersifat lux, untuk mengadakan 13.

  Wisata bulan madu: Menyelenggarakan perjalanan bagi pasangan – pasangan pengantin baru menikah.

  14. Wisata petualangan: Seperti masuk hutan belantara yang tadinya belum pernah dijelajah, penuh binatang buas, mendaki tebing terjal, masuk goa penuh misteri, dan lain sebagainya.

  15. Wisata Industri: Perjalanan yang dilakukan oleh rombongan pelajar atau mahasiswa, atau orang – orang awam kedalam suatu kompleks atau daerah perindustian dimana terdapat pabrik atau bengkel besar dengan tujuan untuk mengadakan peninjauan atau penelitian.

  Kajian dalam pengembangan lokasi pariwisata terikat tiga hal penting agar dapat menarik dan banyak dikunjungi wisatawan. Menurut Oka A Yoeti (1985) karakteristik pengembangan lokasi wisata dirumuskan sebagai:

  • Something to see: Artinya ditempat tersebut harus ada objek wisata dan atraksi wisata yang berbeda dengan apa yang dimiliki daerah lain. Dengan kata lain, daerah itu harus mempunyai daya tarik khusus dan unik.
  • Something to do: Artinya ditempat tersebut selain banyak yang disaksikan, harus disediakan pula fasilitas rekreasi yang dapat membuat wisatawan betah tinggal lebih lama di tempat itu.
  • Something to buy: Artinya ditempat tersebut harus ada fasilitas untuk berbelanja, terutama barang – barang souvenir, dan kerajinan tangan rakyat sebagai oleh – oleh untuk dibawa pulang. Selain karakteristik dalam pengembangan lokasi pariwisata, juga diperlukan adanya syarat agar suatu objek wisata dapat dikembangkan, dengan syarat sebagai berikut (Syamsuridjal dalam Lusianna M. E. Hutagalung, 2009) yaitu:
  • Attraction (atraksi): Adalah segala sesuatu yang menjadi ciri khas atau keunikan dan menjadi daya tarik wisatawan agar mau datang berkunjung ke tempat wisata tersebut. Atraksi wisata terdiri dari dua yaitu: a. Site attraction, yaitu daya tarik yang dimiliki objek wisata semenjak objek itu ada. b. Event attraction, yaitu daya tarik yang dimiliki suatu objek wisata setelah dibuat manusia.

  • Accessbility: Kemudahan cara untuk mencapai tempat wisata tersebut.
  • Amenity: Yaitu fasilitas yang tersedia didaerah objek wisata seperti akomodasi dan restoran.
  • Institution: Yaitu lembaga atau organisasi yang mengolah objek wisata tersebut. Antara pariwisata dengan kebudayaan memiliki hubungan yang dapat dijelaskan berdasarkan dari cerita. (Pendit, 2003 : 15) menjelaskan bahwa hubungan antara pariwisata dan kebudayaan berawal dari rasa ingin tahu seseorang dimana perasaan ini menjadi faktor yang mendorong orang untuk melakukan perjalanan (berwisata). Lebih lanjut dilakukan penyimpulan bahwa makin banyak orang melakukan perjalanan, makin bertambah pula pengalaman serta pengetahuannya, kemudian berlanjut pada bertambahnya keberanian.

  Hubungan antara Antropologi dan dunia pariwisata adalah untuk membahas aspek – aspek budaya masyarakat sebagai aset dalam dunia pariwisata.

  Kajian teori dan konsep –konsep Antropologi terutama dalam melestarikan aspek budaya masyarakat dan sekaligus mengkaji aspek tersebut sebagai aset pariwisata dalam upaya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak makna dan nilai aspek budayanya.

  Antropologi pariwisata memiliki fokus intens pada masalah pariwisata dari segi sosial budaya. Adapun sosial budaya dan hal ini adalah sistem sosial, dan sistem budaya yang berkembang dalam konteks pariwisata. Pariwisata merupakan pertemuan antara berbagai sistem sosial dan sistem budaya yang saling mempengaruhi. Pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari – hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda

  • – benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda – benda yang bersifat nyata, misalnya pola – pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni dan lain – lain yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

  Tujuh unsur kebudayaan sebagaimana diungkapkan oleh (Koentjaraningrat 1996) menyatakan bahwa kebudayaan terdiri atas tujuh aspek penting yang saling berkaitan satu sama lain, adapun unsur – unsur tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, sistem teknologi, religi, kesenian, sistem organisasi sosial, dan mata pencaharian. Penelitian ini menggunakan beberapa bagian dari tujuh unsur kebudayaan yang telah dijelaskan sebelumnya, adapun beberapa bagian tersebut adalah system pengetahuan masyarakat yang berkaitan dengan sosial budaya masyarakat di Daerah Tujuan Wisata yang pada akhirnya berhubungan dengan sistem mata pencaharian masyarakat setempat sebagai pengelola objek wisata

  Koentjaraningrat (1996 : 75) juga mengistilahkan tiga wujud kebudayaan, yaitu:

  • Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks bersumber dari ide – ide, nilai – nilai, peraturan, gagasan – gagasan, norma – norma, dan sebagainya.
  • Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan, perilaku yang berpola dari manusia dalam masyarakat.

  • Wujud kebudayaan berupa benda – benda hasil karya manusia.

  Pemahaman tiga wujud kebudayaan diterapkan dalam penelitian ini berupa ide atau gagasan mengenai konsepsi wisata pemandian yang dimiliki di Nagori Karang Anyar serta pendayagunaan potensi wisata didaerah tersebut. Selanjutnya pada wujud perilaku, dimanifestasikan pada bentuk kegiatan – kegiatan yang dilakukan wisata pemandian serta dalam bentuk hasil karya manusia hal ini dapat diperoleh dari berbagi hasil penanganan kebersihan yang dapat meningkatkan potensi wisata itu sendiri bagi masyarakat.

  Lingkungan bersih sebagai pendorong peningkatan kunjungan ke Daerah Tujuan Wisata (DTW) merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia atau masyarakat. Sedangkan derajat kesehatan masyarakat pada hakekatnya merupakan kontribusi penting bagi kualitas sumber daya manusia, sehingga ada keterkaitan antara mutu lingkungan hidup dengan SDM itu sendiri.

  Melihat keterkaitan tersebut, sudah selayaknya bila perhatian dan kepedulian terhadap lingkungan patut mendapat prioritas. Bukan hanya untuk mencari sebuah kondisi lingkungan yang ideal, akan tetapi lebih jauh lagi pada upaya peningkatan produktivitas sumber daya manusia. Kondisi ini dapat tercapai bila masyarakat semakin meningkatkan kepeduliannya akan kebersihan dan kesehatan lingkungan, dan ini memerlukan faktor-faktor penting yang dapat membangkitkan bentuk kepedulian tersebut khususnya di daerah tujuan wisata.

  Supaya mempunyai nilai bagi pengembangan pariwisata haruslah bertujuan untuk rekreasi dan berlibur agar dapat memelihara semangat kerja dengan melihat pemandangan alam, khazanah budaya, dan sekaligus dapat memperkaya ilmu pengetahuan. Dilihat dari alasan kenapa orang pergi bertamasya dari segala aspek adalah untuk menghilangkan stress, supaya pikiran tenang, kesehatan dan lain sebagainya, yang penting bagaimana mereka dengan keluarga bisa bersenang-senang. Untuk itu bagi pelaku pariwisata terutama bagi pemandu wisata sudah seharusnya memahami keadaan yang demikian, pengunjung yang datang ingin menikmati sesuatu dengan rasa kasih sayang dan dihormati, agar mereka betah untuk berlama-lama di lokasi wisata.

  Lingkungan bersih memiliki tiga faktor yang perlu mendapat perhatian adalah lingkungan fisik, biologis dan sosial. Lingkungan fisik ini menyangkut air bersih, udara, limbah cair dan padat, kotoran serta polutan lain yang umumnya dapat dilihat. Selain udara yang tercemar oleh polutan, limbah padat (sampah) juga menjadi masalah kesehatan lingkungan yang rawan, terutama di Daerah Tujuan Wisata (DTW). Sampah merupakaDalam Antropologi terapan, kita berhadapan dengan berbagai keputusan yang dibuat oleh berbagai organisasi dan lembaga formal, dengan tujuan untuk mempengaruhi nasib dan perilaku orang banyak, baik sanction yang diterapkan terhadap pihak yang kena dampak. Seperti yang

  

  disebutkan oleh Amri Marzali “Policy = Culture” bahwa mau tidak mau pada akhirnya setiap kegiatan Antropologi terapan yang berkaitan dengan bidang di luar Antropologi tentu akan melibatkan kebijakan publik yang secara umum konsep pokoknya adalah culture (budaya), maka dalam antropologi terapan 4 konsep policy (kebijakan) adalah sama utamanya dengan konsep culture.

  Amri Marzali, Antropologi dan kebijakan publik hal 30 - 31

  Dikatakan oleh Chambers bahwa: “…The idea of policy is as central to the development of applied anthropology

  

as the concept of culture has been to the anthropological profession as

awhole ”.

  “…Ide dari kebijakan sebagai pusat pengembangan Antropologi diterapkan sebagai konsep budaya yang telah menjadi dasar pemikiran profesi Antropologi secara keseluruhan. (Chambers, 1989:37 – 38).

  Pengelolaan sampah adalah semua kegiatan yang dilakukan dalam menangani kebersihan sejak ditimbulkan sampai dengan pembuangan akhir.

  Secara garis besar, kegiatan di dalam penanganan kebersihan meliputi pengendalaian timbulan sampah, pengumpulan sampah, transfer dan transport, pengolahan dan pembuangan akhir (Kartikawan, 2007) sebagai berikut: Penimbulan sampah (solid waste generated). Dari defenisinya dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sampah itu tidak diproduksi, tetapi ditimbulkan (solid waste is generated, not produced). SK SNI S-04-1993-03 tentang spesifikasi timbulan 0,8/orang/hari.

  1. Penanganan di tempat (on site handling). Penanganan sampah pada sumbernya adalah semua perlakuan terhadap sampah yang dilakukan sebelum sampah di tempatkan di tempat pembuangan. Kegiatan ini bertolak dari kondisi dimana suatu material yang sudah dibuang atau tidak dibutuhkan, seringkali memiliki nilai ekonomis.

  2. Pengumpulan (collecting). Adalah kegiatan pengumpulan sampah dan sumbernya menuju lokasi TPS. Umumnya dilakukan dengan menggunakan gerobak dorong dan rumah – rumah menuju lokasi TPS.

  3. Pengangkutan (transfer and transport). Adalah kegiatan pemindahan sampah dan TPS menuju lokasi pembuangan pengolahan sampah atau lokasi pembuangan akhir.

  4. Pengolahan (treatment). Bergantung dari jenis komposisinya, sampah dapat diolah. Berbagai alternatif yang tersedia dalam pengolahan sampah, diantaranya adalah:

  • Transformasi fisik, meliputi pemisahan komponen sampah (shorting) dan pemadatan (compacting).
  • Pembakaran (incinerate), merupakan teknik pengolahan sampah yang dapat mengubah sampah menjadi bentuk gas, sehingga volumenya dapat berkurang hingga 90-95%. Meski merupakan teknik yang efektif, tetapi bukan teknik yang dianjurkan. Sebab teknik tersebut sangat berpotensi untuk menimbulkan pencemaran udara.
  • Pembuatan kompos (composting). Kompos adalah pupuk alami

  (organik) yang terbuat dari bahan – bahan hijauan dan bahan organik lainnya yang sengaja ditambahkan untuk mempercepat proses pembusukan, misalnya kotoran ternak atau bila dipandang perlu, biasa ditambahkan pupuk buatan pabrik, seperti urea (Wied, 2004).

  • Energy recovery, yaitu transformasi sampah menjadi energi, baik energi panas maupun energi listrik. Metode ini telah banyak
dikembangkan di negara – negara naju yaitu pada instalasi yang cukup besar.

  5. Pembuangan akhir. Pada prinsipnya, pembuangan akhir sampah harus memenuhi syarat – syarat kesehatan dan kelestarian lingkungan. Teknik yang saat ini dilakukan adalah dengan open dumping, dimana sampah yang ada hanya ditempatkan ditempat tertentu, hingga kapasitasnya tidak lagi memenuhi. Teknik ini sangat berpotensi untuk menimbulkan gangguan terhadap lingkungan (Kartikawan, 2007). Fikarwin (2008 : 7), ada banyak faktor, dan tidak semata – mata hanya bersifat teknis yang berpengaruh dalam proses berjalannya operasi pengelolaan sampah.

  Pemekaran wilayah Kabupaten/Kota pun ikut mempengaruhi jalannya operasi pengelolaan sampah. Sentimen kedaerahan paska penerapan UU otonomi daerah juga menambahkan persoalan penanganan sampah di suatu Kabupaten/Kota menjadi berat.

2. Sampah

  Dalam istilah lingkungan sampah adalah bahan yang tidak mempunyai pemakaian barang rusak atau bercacat dalam pembuatan manufaktur atau materi berlebihan atau ditolak atau buangan. Permasalahan sampah pada masyarakat sudah lama menjadi sorotan, terutama menyangkut pada human action. Seperti yang dijabarkan Suparlan (2004 : 31) mengenai kebudayaan dan fase luminal. Konsep kebudayaan yang berbeda mengenai sampah oleh masing – masing individu. Fase luminal ini adalah suatu proses kebudayaan dimana kebudayaan yang lama (tradisional) telah ditinggalkan, sedangkan yang baru (modern) belum sepenuhnya diterima, terutama bagi para pendatang. Hal tersebut berpengaruh dalam kelakuan dan tindakan mereka atas sampah. Mereka itu adalah masyarakat yang konsumer seperti manusia modern lainnya namun bertindak gegabah dalam hal sampah layaknya masyarakat tradisional: dibuang jauh – jauh, segera, dengan cara mudah (“yang kita sebut sembarangan”)

  Dalam buku Amri Marzali yang berjudul Kebijakan Publik ada tiga pendekatan yang dipakai dan akan saya gunakan untuk menganalisis kebijakan yakni:

  • Pendekatan sistemis – holisti. Dalam pendekatan ini setiap kebijakan selalu dilihat kaitannya dengan konteks masyarakat secara keseluruhan, dengan kebijakan – kebijakan yang dibuat dalam bidang kehidupan lain, dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial, dengan nilai dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Tidak ada kejadian yang berdiri sendiri, yang terjadi tanpa ada kaitannya dengan kejadian – kejadian lain dalam masyarakat secara keseluruhan.
  • Pendekatan emic, yaitu melihat segala sesuatu dari sudut pandang masyarakat lokal, atau dengan istilah populernya the native’s point of view. Dalam penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan perlu mendengarkan kebutuhan dan keberatan dari masyarakat lokal tersebut. Suatu kebijakan yang didapat dari pendekatan bottom – up.
  • Pendekatan komunitas lokal, dalam hal ini Antropologi memusatkan perhatian pada kehidupan komunitas lokal. Meskipun kebijakan dibuat pada organisasi formal tingkat atas seperti birokrasi, povinsi, dan kabupaten, namun implementasinya yaitu pada tingkat masyarakat luas di

  

  komunitas – komunitas pedesaan dan kelurahan. Pengelolaan merupakan suatu proses yang dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang dilakukan secara efektif dan efisien. Proses pengelolaan dapat terjadi dengan baik bila dilaksanakan dengan dukungan kemampuan menggunakan sumber daya yang tersedia dalam suatu sistem. Dalam proses pengolahan tersebut berperan sistem pengetahuan yang merupakan unsur kebudayaan yang muncul dari pengalaman – pengalaman individu yang satu dengan yang lainnya dalam menanggapi lingkungan sekitarnya.

  Pengalaman dari individu – individu itu diabstraksikan menjadi konsep – konsep pendirian atau pedoman – pedoman dari individu atau masyarakat (Lamech 1995 :1). Kebudayaan merupakan pengetahuan yang diyakini kebenarannya yang dapat menyelimuti perasaan dan emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian terhadap suatu yang baik dan yang buruk, atau suatu yang bersih atau kotor karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai – nilai moral (Suparlan, 1983 : 2). Adapun pengertian nilai itu sendiri konsepsi abstrak di dalam diri manusia mengenai apa yang baik

1.3. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah penelitian ini adalah menguraikan tentang penanganan dan kebersihan termasuk pengelolaan sampah di Daerah Tujuan Wisata (DTW) pemandian 5 Karang Anyar. Maka ruang lingkup masalah yang akan diteliti difokuskan pada:

  Amri Marzali, 2012 :31 - 35

  1.Apa saja potensi wisata yang terdapat di Karang Anyar?

  2.Bagaimana bentuk penanganan sampah di pemandian Karang Anyar?

  1.4. Tujuan dan Manfaat penelitian

  A.Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk ptensi wisata yang ada di Kelurahan Karang Anyar, dan bagaimana penanganan kebersihan (sampah) di Daerah Tujuan Wisata (DTW) pemandian Karang Anyar.

  B.Manfaat penelitian Manfaat penelitian ini dapat dilihat secara akademis dan praktis. Secara akademis, manfaatnya menambah pemahaman mengenai penanganan kebersihan daerah tujuan wisata pemandian Karang Anyar. Secara praktis manfaatnya adalah memberikan sumbangan pemikiran dan masukan-masukan kepada masyarakat luas dalam bagaimana sebuah realita sosial dalam perkembangan Daerah Tujuan Wisata pemandian Karang Anyar, serta untuk melihat bagaimana penanganan kebersihan di daerah pemandian. Manfaat penelitian ini untuk menambah kepustakaan tentang kebersihan Daerah Tujuan Wisata (DTW) sesuai dengan penanganan kebersihan di daerah Tujuan Wisata (DTW) serta proses berlangsungnya.

   1.5 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

  Menurut Moleong (2006:6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang terjadi dan dialami oleh subyek penelitian misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode kualitatif yaitu berupa pengamatan, wawancara dan studi kepustakaan. Dengan tahapan penelitian pra lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan diakhiri dengan tahap penulisan laporan penelitian. Peneliti akan mengumpulkan data kualitatif sebanyak mungkin yang akan dirumuskan menjadi beberapa kasus- kasus yang akan dianalisa menjadi sebuah kesimpulan.

  Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Gunung Maligas, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan Gunung Maligas dipilih karena di Kecamatan inilah terdapat Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang mengaplikasikan penanganan kebersihan di lokasi wisata pemandian Karang Anyar.

  Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan di lapangan, penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode ini digunakan untuk menghasilkan data-data etnografis yang mendeskripsikan penanganan kebersihan sebagai masalah utama.

1.5.1 Penentuan Informan

  Agar dapat menghasilkan data yang akurat, maka saya menggunakan tiga kategori informan, yakni informan pangkal, informan kunci dan informan biasa.

  Namun pada akhirnya informan pangkal berfungsi ganda sebagai informan kunci karena informan tersebut memiliki banyak pengetahuan seputar masalah penelitian. Dalam hal ini yang menjadi informan pangkal sekaligus kunci saya adalah Pak Camat yakni Jawansen Damanik (47 Tahun) sebab yang bertanggung jawab atas kebersihan lokasi pemandian adalah pihak Kecamatan. Dan Bapak Nikman Damanik (62 Tahun) sebagai pengelola retribusi di lokasi pemandian ini.

  Alasan mengapa mereka dijadikan informan pangkal sekaligus kunci adalah, karena beliau merupakan penanggung jawab pemandian. Untuk Pak Jawansen Damanik, saya pertama kali melakukan wawancara langsung di kantor Kecamatan. Sedangkan perkenalan saya dengan Pak Nikman Damanik adalah hasil rekomendasi Pak Jawansen sendiri, karena untuk beliau mengatakan Pak Nikman adalah pengelola langsung dilapangan.

  Penentuan informan kunci didasarkan atas beberapa pertimbangan selain karena orang-orang yang menjadi informan kunci memliki banyak pengetahuan tentang sampah. Sedangkan untuk mengidentifikasi sejarah penanganan kebersihan dan perkembangannya di pemandian Karang Anyar, saya lebih banyak mengajukan pertanyaan pada Pak Nikman Damanik, karena pertimbangan usia dan pengalamannya sebagai pengelola retribusi. Sebenarnya saya sama sekali tidak membatasi usia dari informan.

  Selain menggunakan informan kunci, peneliti juga menggunakan informan biasa yaitu orang yang memberikan informasi mengenai masalah penelitian ini sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, tetapi bukan ahlinya. Dalam studi ini informan biasa adalah pak Widodo (38 tahun) warga sekitar yang berprofesi sebagai supir. Ibu Sumiati Siagian (32 Tahun) yang berprofesi sebagai penyedia jasa ban di lokasi pemandian.

  Penentuan apakah seseorang bisa di sebut sebagai informan biasa atau informan kunci, ditentukan pada pertengahan atau di akhir penelitian, hal ini dikarenakan pada awal penelitian saya belum bisa mengkategorikan para informan ke dalam 3 (tiga) kategori tersebut. Namun seiring berjalan waktu penelitian, saya baru dapat menentukan siapa saja yang menjadi informan pangkal, kunci, dan informan biasa.

1.5.2 Wawancara Mendalam

  Wawancara mendalam mencakup bagaimana penanganan kebersihan di pemandian Karang Anyar, oleh penanggung jawab (pihak kecamatan) sebagai pengelola daerah tujuan wisata. Wawancara pertama kali saya lakukan pada Pak Jawansen Damanik, dia adalah informan pertama saya. Wawancara pertama dengan Pak Jawansen saya lakukan di kantornya. Tidak merasa heran melihat kedatangan saya, beliau langsung menebak saya adalah mahasiswa sebab saya memakai almamater saya. Jadi saya tidak kerepotan menerangkan maksud kedatangan saya.Setelah saya menjelaskan maksud dan tujuan saya, agar lebih detail saya mengatakan ingin melakukan wawancara seputar penanganan kebersihan di Pemandian Karang Anyar. Pada sesi-sesi awal wawancara, kegiatan tanya jawab berjalan lancar, meskipun terkadang Pak Jawansen, kurang fokus karena sesekali pegawai TU (Tata Usaha) datang mengganggu, sebab banyak diantara masyarakat setempat yang ingin menandatangani surat–surat kepada beliau. Setelah itu sesi wawancara sedikit berjalan karena kurang nyaman, dan saya berulang kali memohon maaf, dan bertanya apakah kedatangan saya mengganggu beliau, namun beliau menerangkan tidak apa–apa bahwa hal yang demikian sudah biasa. Beliau mengatakan tidak mungkin urusan mahasiswa di persulit. Usai menandatangani surat–surat dari pegawai tata usaha itu beliau pun langsung memulai bertanya untuk memulai pembicaraan. Hiingga akhir sesi wawancara beliau sangat fokus dan serius menjawab semua pertanyan yang saya berikan. Karena suasana saat itu tepat untuk saya melakukan wawancara dengan beliau, tidak terasa waktu percakapan kami berlangsung selama tiga jam. Hal ini terjadi sebab saya ditemani oleh ayah saya yang sesekali ikut mencairkan suasana.

  Sampai di tahap itu, saya merasakan bahwa data saya masih kurang lengkap. Hal itu saya utarakan kepada beliau dan beliau pun merekomendasikan saya untuk menemui Pak Nikman Damanik sebagai penanggung jawab retribusi di daerah pemandian. Saya membutuhkan informasi yang lebih rinci lagi mengenai kebersihan dari beberapa pengelola yang ada, karena saya juga ingin melihat bagaimana penerapan kebersihan yang dilakukan di lokasi pemandian. Oleh karena itu, saya mencari tahu dengan teknik snow ball. Sambil terus menggali informasi mengenai keberadaan Pak Nikman Damanik, saya pun mulai mencari informan biasa, dimana syarat penentuan informan yang saya butuhkan, hanya berasal dari orang orang yang memiliki kios/lapak di sekitar pemandian. Dan informan biasa pertama saya jatuh pada Ibu Sumiati Siagian. Dari ibu tersebut saya meperoleh keterangan bahwa lokasi pemandian akhir – akhir ini kurang bersih diakibatkan meningkatnya kunjungan wisatawan ke daerah itu, sedangkan pengunjungnya bebas membuang sampah sesuai kehendaknya. Karena banyak teman – teman beliau yang berprofesi sama dengan dirinya beliau menyarankan agar saya juga bertanya pada pemilik lapak yang lainnya. akhirnya saya mencari informan dengan bantuan relasi Ibu Sumiati Siagian itu.. Meskipun cara mendapatkan informan, bisa dinilai acak-acakan, mereka semua mampu memberikan jawaban dan menambah informasi bagi saya. Ketidakseragaman pandangan dan pola pikir dari informasi yang mereka berikan, semakin memperkaya data saya, dan membantu saya untuk menjawab pertanyaan penelitian, khususnya mengenai penanganan kebersihan di lokasi pemandian ini. cara pandang mereka terhadapa sampah, peran pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mengantisipasi keadan yang semakin buruk, dll.

  1.5.3 Observasi Partisipasi

  Informasi dan data pada penelitian ini salah satunya didapat dari observasi partisipasi yang dilakukan untuk melihat secara langsung aktivitas yang ada di lokasi pemandian dan tata cara mereka mengatasi masalah sampah. Observasi partisipasi bersama para pemilik lapak, saya lakukan dengan ikut menjadi penjaga lapak – lapak pemilik sebelum pengunjung selesai berekreasi. Apabila pemilik lapak sedang tidak melayani pengunjungnya, maka saat itulah saya melakukan waawancara.

  1.5.4 Pengalaman Selama Penelitian

  Setelah selesai ujian proposal saya langsung mengurus surat administrasi ke bagian pendidikan, saya menerima surat pengantar penelitian ke lapangan dari Ibu Sofiana bagian pendidikan. Surat pengantar ini akan diberikan sebagai pengantar kepada Camat Gunung Maligas bahwa saya akan melakukan penelitian di Kecamatan Gunung Maligas dan kiranya Kecamatan memberikan saya izin untuk melakukan penelitian skripsi. Sehari setelah saya mendapatkan surat pengantar pada tanggal 30 November, saya berangkat menuju lokasi penelitian. Saat itu kondisi saya sebenarnya masih dalam masa penyembuhan atas penyakit paru – paru yang saya alami dan belum memungkinkan bagi saya untuk pergi ke lapangan. Tetapi karena saya mendapat dukungan dari ayah saya, timbul semangat bahwa penelitian ini harus selesai dilakukan. Semangat itu muncul ketika beliau mengatakan:

  

“Unang mabiar ho amang, au mangadopi halaki sude ” yang artinya (Jangan takut

nak, aku yang menghadapi mereka semua).

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Persalinan - Pengaruh Metode Akupresur Terhadap Nyeri Persalinan pada Ibu Inpartu Kala I Fase Aktif di Klinik Bersalin Rita Fadillah Medan

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja - Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS) pada Remaja Puteri di SMP Negeri 3 Berastagi Tahun 2012

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi dan Etiologi - Prevalensi Trauma Gigi Sulung Anterior Pada Anak Usia 1-4 Tahun Di Paud, Tk Dan Posyandu Kecamatan Medan Polonia Dan Medan Marelan

0 0 16

Hubungan Tekanan Darah dengan Tingkat Keparahan pada Pasien Stroke Akut di RSUP H. Adam Malik

0 1 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Stroke - Hubungan Tekanan Darah dengan Tingkat Keparahan pada Pasien Stroke Akut di RSUP H. Adam Malik

0 0 12

Hubungan Tekanan Darah dengan Tingkat Keparahan pada Pasien Stroke Akut di RSUP H. Adam Malik

0 1 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA  - Pengaruh Penetapan Margin Murabahah terhadap Produk Pembiayaan kepemilikan Rumah di Bank Bukopin Syariah Medan

0 0 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Perputaran Kas, Net Profit Margin, dan Perputaran Piutang Terhadap Likuiditas Pada Perusahaan Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Perputaran Kas, Net Profit Margin, dan Perputaran Piutang Terhadap Likuiditas Pada Perusahaan Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

1 0 7

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Kecamatan Gunung Maligas - Penanganan Kebersihan di Daerah Tujuan Wisata (Studi Deskriptif Mengenai Pengelolaan Sampah di Daerah Tujuan Wisata Pemandian Karang Anyar Kecamatan Gunung Maligas Kabupaten Simalungun.

0 0 22