BAB I - Tugas Teori Sastra Resensi Novel Keok

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Prosa fiksi disebut juga karya fiksi, biasa juga diistilahkan dengan prosa cerita, prosa narasi, narasi, atau cerita berplot. Prosa fiksi tersebut adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh

  pelaku-pelaku tertntu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin sebuah cerita. Karya fiksi lebih lanjut masih dibedakan dalam

  berbagai macam bentuk, baik itu roman, novel, novelet, maupun novel. Sastra terlahir tidak dari kekosongan kebudayaan. Novella berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams 1981 : 119) Dalam analisis novel yang berjudul “Keok” Karya Putu Wijaya penulis akan mencoba untuk mengkaji karya sastra berupa novel dengan menggunakan pisau pembedah melalui unsur pembangun karya sastra berupa: Tema, alur cerita, penokohan, setting/latar, sudut pandang, gaya bahasa. Jika kita korelasikan unsur tersebut kepada sebuah karya maka hal tersebut adalah merupakan hal yang paling vital dan harus difahami oleh penggiat karya sastra. Pengkajian novel ini pada akhirnya harus dikembalikan keseluruhannya. Justru dengan kajian itu dimaksudkan untuk dapat menerangkan bagaimana hubungan antar unsur. Novel dan novel sebagai karya fiksi mempunyai persamaan, keduanya dibangun oleh unsur-unsur pembangun dan dibangun oleh dua unsur yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik kelebihan novel yang khas adalah kemampuan mengemukakan secara lebih banyak, baik secara implisit dari sekedar apa yang diceritakan.

1.2 Catatan Metodelogis

  Tahun 1970-an ditandai dengan pengembangan kreativitas yang luar biasa dalam penulisan novel (juga dalam puisi dan drama) Indonisia. Kreativitas itu juga tidak ditandai dengan tingkat produktifitas namun juga dalam upanya mengembangkan teknik-teknik pengucapan yang sebelumnya mungkin belum dikenal dan di kembangkan sejauh itu. Ini tidak berarti perkembangan sebelumnya tidak mempunyai hubungan dan sumbangan apa – apa pada masa sesudahnya. Sebelumnya, Iwan Simatumpang (1960-an) telah menampilkan novel-novel yang memancing banyak perhatian penekur sastra karena novel-novel Iwan memperlihatkan pergeseran aspek tema tentang manusia dan dunia kehidupannya menurut hukum-hukum fiksionalitas yang dibentuknya sendiri. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya, tercatat nama pengarang lain yang juga melakukan percobaan semacam itu, antara lain dapat disebutkan Putu Wijaya, Danarto, Budi Darma dan lain-lainnya.

  Adalah sangat menarik mengamati perkembangan kepenulisan novel- novel putu Wijaya, setelah masa kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini. Dalam masa itu, dapat dicatat bahwa Putu Wijaya menulis dalam dua jalur penulisan, yakni jalur konvensional dan jalur nonkonvensinal (kalau harus di sebut demikian). (a) yang pertama ia meneruskan jalur penulisan Bila Malam Bertambah Malam dan yang kedua ia melakukan percobaan paling tidak dapat dilihat dari segi teknik penceritaannya hingga novel-novel yang dihasilkan menunjukkan kesan tidak berbentuk (formless).

  Tidak sedikit pengamat sastra yang menyebut novel-novel Putu Wijaya sebagai novel bercorak baru (Sumardjo,1984:5; Teeuw, 1984:89,115,238,324) dan lain-lain. Sebutan demikian terutama diarahkan pada novel stasiun (1977) padahal novel itu kurang tepat dalam pertimbangan segi dan titik tolak yang sanya tetapkan. Masalahnya adalah tidak ditemukannya catatan mengenai geniti novel itu, bahkan hampir sebagian besar novel Putu Wijaya, hingga tampa catatan yang dapat menggambarkan asal usul novel itu menyebabkan timbulnya kekeliruan dalam menentukan titik berangkat itu. Artinya, hanya pengarangnyalah yang mengetahui apakah novel keok diciptakan lebih dahulu daripada stasiun.

1.3 Rumusan Masalah

  Dalam analisi novel ini agar pembahasan tidak melebar maka penulis merumuskan sebuah permasalahan seperti dibawah ini :

  1. Tema dalam novel “Keok”karya Putu Wijaya

  2. Alur cerita pada novel “Keok”karya Putu Wijaya

  3. Penokohan yang ada pada novel “Keok”karya Putu Wijaya

  4. Setting/latar novel “Keok”karya Putu Wijaya

  5. Sudut pandang novel “Keok”karya Putu Wijaya

  6. Gaya Bahasa yang dipakai pada novel “Keok”karya Putu Wijaya

1.4 Batasan Masalah

  Setelah penulis merumuskan masalah yang berada pada novel maka penulis akan membatasi tentang analisi novel “Keok” karya Putu Wijaya sebagai berikut :

  1. Apakah tema dalam novel “Keok” karya Putu Wijaya?

  2. Bagaimana Alur novel “Keok” karya Putu Wijaya? 3. bagaimana penokohan dan karakter yang ada pada novel “Keok” karya

  Putu Wijaya? 4. dimana dan bagaiman latar dari novel “Keok” karya Putu Wijaya? 5. sudut pandang seperti apa novel “Keok” karya Putu Wijaya?

  6. Bagaimanakah gaya bahasa yang dipergunakan pada novel “Keok” karya Putu Wijaya?

1.5 Tujuan penelitian

  Adapun tujuan penulis melakukan penelitian berupa karya sastra novel mempunyai sebuah tujuan yaitu :

  1. Pendalaman ilmu tentang kesusastraan Indonesia khususnya pada sebuah prosa fiksi

  2. Pembendaharaan kata bagi mahasiswa STKIP PGRI Jombang

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Tema

  1. Pengertian Tema

  Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna pengalaman kehidupan melalui karya itulah pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan dan menghayati makna (pengalaman) kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan sebagaimana ia memandangnya.

  2. Arah dan Sasaran dalam Tema

  Atas pertimbangan tertentu diatas saya ingin meneliti konversi sastra seorang pengarang Putu Wijaya meliputi berbagai aspek (a) latar, (b) penokohan, (c) pengaluran dan(d) alat-alat penceritaan yang meliputi: 1. teknik penceritaan, 2. komposisi cerita, dan 3. simbolisme dan gaya. Aspek a, b dan c dimasukkan ke dalam penceritaan sedangkan tema tidak dibicarakan tersendiri dengan pertimbangan bahwa tema adalah arti pusat dalam sebuah novel, seperti pengertian yang diberikan Stanton (1965 : 19 ) sebagai ide pusat . Dalam pembicaraan selanjutnya aspek tema secara implisit sekaligus berkaitan dengan aspek latar sesuai dengan hakekat konvensi novel Putu Wijaya sebagaimana ditampakkan kemudian.

  Demikian pula dengan alat – alat penceritaan tidaklah perlu dibedakan dengan teknik penceritaan pada kedudukannya dalam suatu sistimatisasi analisis, kecuali pembatasan keduanya diperlukan untuk konseptual belaka, bahwa keduanya sebenarnya berfungsi mengikat tema dan cerita hingga membentuk suatu totalitas atau pola yang berarti.

3. Arah baru dalam Tema

  Tanggapan yang terdapat pada novel Keok ini ialah untuk mencari arah baru bagi pembicaraan selanjutnya. Tanggapan yang pertama menyebutkan bahwa novel ini menggambarkan gejolak sosial dalam konflik antara pelaku, yang digambarkan dengan halus. Melihat adanya peristiwa yang berlangsung seenaknya saja sehingga agak sukar diterima menurut logika sehari-hari. Saya menyarankan agar peristiwa itu dimengerti secara imajiner saja karena realitas semacam itu hanya untuk mendukung ide pengarangnya. Saya mengakui hal yang sayub – sayub dalam novel keok yang mengantarkan pada situasi dimana manusia sedang berhadapan dengan sebuah sistem yang dalam beberapa hal disebutnya sebagai "kewajiban".

  Aspek yang telah dikemukakan ini tentang adanya situasi tersebut agaknya membuka pikiran penulis tentang adanya perbedaan sistem jalanan dengan sistem lingkungan yang semula ditempatkan dan yang menyuguhkan adanya pribadi, sebagai Ibu, suami dan profesi lainnya, yang kemudian ditanggalkan dalam sistem yang baru diterima yakni sistem jalanan.

  Keselarasan dengan pemikiran di atas dengan tesis ini nantinya hubungannyalah pada penekanan mekanisasinya yang menggambarkan hubungan antar manusia, ruang lingkup, alam, dan perbedaannya agaknya ditentukan oleh sudut pandang yang akan digunakan. Keinginan yang spontan dilakukan oleh tokoh wanita, kemudian hal itu dilihat sebagai id dalam mekanesasi psikis manusia. Novel – novel Putu Wijaya umumnya, lebih menupang liputan ini tentang sifat ide tokoh wanita tersebut. Tokoh wanita tersebut maksudnya dalam novelette tak cukup sedih. Namun sebelum wanita itu menentukan sikap atau tindakannya, ia mengalami pergolakan pikiran. Dengan pernyataan itu pula, kemudian dapat diketahui bahwa setidaknya lontaran pikiran, tindakan dalam bahasa verbal, agaknya hanyalah pernyataan yang permukaannya saja yang tampak spontanitas namun di dalamnya mengandung konflik batin pelakunya sehingga makna protes itu sendiri menjadi kurang penting artinya.

  Tokoh janda dalam novel keok bersikap bebas melawan kejadiaannya atas dasar kepentingan diri sendiri, sedangkan janda dalam cerita pendek "sedih" bersikap bebas melawan kejandaannya atas dasar kelangsungan hidup serta masa depan anak-anaknya.

2.2 Cerita

  1. Pengertian Cerita

  Cerita diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam karya fiksi. Artinya dalam cerita, peristiwa yang satu berlangsung sesudah terjadinya peristiwa yang lain. Kaitan waktu dan urutan antar peristiwa harus jelas. (sebab akibat sehingga jelas urutan, awal, tengah, akhirnya.

  2. Bukti Cerita Dalam novel Ini

  Novel keok mengisahkan seorang wanita yang telah menikah dengan seorang lelaki yang usiahnya jauh lebih tua, Perkawinan mereka menghasilkan tujuh orang anak, padahal pasangan itu merasakan ketidakbahagiaan sebab antara suami istri itu menunjukkan sikap tertutup. Sampai pada suatu ketika, mobil suami istri itu menabrak seorang pemuda di suatu jalan. Tampa mempertimbangkan salah benar, untung dan rugi serta lingkungan, pemuda tertabrak langsung menghajar pengendara mobil itu berikut mobilnya. peristiwa ini tidak membuat tokoh suami marah, malahan introspeksi diri, dengan membanyangkan hal-hal yang pernah dilakukan yang pada dasarnya tidak mendapat balasan yang setimpal .

  3. Alat – Alat Penceritaan

  Alat-alat penceritaan meliputi unsur teknik penceritaan, simbolisme dan gaya. Unsure teknik penceritaan, simbolisme dan gaya atas pertimbangan bahwa ketiga unsure tersebut merupakan unsur yang paling menonjol dalam novel ini. Pertimbangan lain yang menyertainya ialah bahwa pembicaraan unsur-unsur tersebut dipandang mewakili pembicaraan tentang struktur novel ini apalagi pembicaraan tentang fakta cerita, meliputi aspek latar, penokohan dan alur telah dibicarakan sebelumnya.

  4. Teknik Penceritaan

  Teknik yang digunakan dalam novel keok adalah teknik stream

  of consciousness seperti sebagian telah ditunjukkan dalam pembicaraan

  aspek alur, atau teknik yang digunakan untuk mengungkapkan kejadian- kejadian tertentu melalui arus kesadaran tokoh-tokohnya, terutama tokoh utama.

  5. Sinopsis Cerita

  Novel keok mengisahkan seorang wanita yang telah menikah dengan seorang lelaki yang usiahnya jauh lebih tua, Perkawinan mereka menghasilkan tujuh orang anak, padahal pasangan itu merasakan ketidakbahagiaan sebab antara suami istri itu menunjukkan sikap tertutup. Sampai pada suatu ketika, mobil suami istri itu menabrak seorang pemuda di suatu jalan. Tampa mempertimbangkan salah benar, untung dan rugi serta lingkungan, pemuda tertabrak langsung menghajar pengendara mobil itu berikut mobilnya. Peristiwa ini tidak membuat tokoh suami marah, malahan introspeksi diri, dengan membanyangkan hal-hal yang pernah dilakukan yang pada dasarnya tidak mendapat balasan yang setimpal.

  Mobil suami istri tersebut terus meluncur hingga sampai pada suata jalan yang lengang, suami tokoh wanita meninggal. Kematian suaminya itu tidak membuat tokoh wanita putus asa malahan ia menggelandang sepanjang jalan. Apabila ia ingin melakukan protes maka ia datang ke rumah walikota untuk menyampaikan protesnya, dengan caranya sendiri, yakni bertelanjang bugil. kalau ia berniat mengurunhkannya maka dia cabut protes itu dari walikota tetapi walikota tidak mengizinka untuk mencabut protes itu kenbali dengan alasan gagasan yang dikemukakan tokoh wanita itu berguna bagi banyak orang.

  Dalam pengembaraannya tokoh wanita megalami berbagai peristiwa yang membuatnya selalu terpojok, ditutup sebagai penyebab macetnya lalu lintas, disangka Eva, bertengkar dengan bencong dan penjual koran, tetapi ia selalu dapat meloloskan diri dari akibat yang mungkin ditimbulkan peristiwa-peristiwa tersebut. Cara tokoh wanita menyelesaikan kemelutnya adalah hanya dengan menghindari secara diam-diam dari kerumunan orang setelah perhatian massa beralih ke hal lain.

2.3 Pemplotan

  1. Pengertian Plot dan bukti-bukti plot pada novel ini

  “Stanton” mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa lain.

  2. Peristiwa, konflik dan klimaks

  Ketiga ini merupakan unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot cerita.

a. Peristiwa atau Kejadian

  Dalam penggunaan istilah action (aksi, tindakan) dan event (peristiwa kejadian) baik secara bersama atau bergantian. Pada novel ini terdapat peristiwa acuan. Terletak pada

  “Sampai pada suatu ketika, mobil suami istri itu menabrak seorang pemuda di suatu jalan. Tampa mempertimbangkan salah benar, untung dan rugi serta lingkungan, pemuda tertabrak langsung menghajar pengendara mobil itu berikut mobilnya. Peristiwa ini tidak membuat tokoh suami marah, malahan introspeksi diri, dengan membanyangkan hal-hal yang pernah dilakukan yang pada dasarnya tidak mendapat balasan yang setimpal.

  Di sini mempunyai arti yaitu yang menggambarkan situasi dan kondisi buruk yang bakal dialami.

b. Konflik

  Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu adanya aksi dan aksi balasan. Atau kejadian yang tergolong penting (berupa peristiwa fungsional, utama / kernel) merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot.

  Konflik internal / kejiwaan yaitu yang terjadi dalam hati, jiwa seseorang tokoh cerita. Misalnya terjadi adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, harapan-harapan dan lain-lain. Konflik antara pelaku, yang digambarkan dengan halus. Melihat adanya peristiwa yang berlangsung seenaknya saja sehingga agak sukar diterima menurut logika sehari-hari. Saya menyarankan agar peristiwa itu dimengerti secara imajiner saja karena realitas semacam itu hanya untuk mendukung ide pengarangnya. Saya mengakui hal yang sayub – sayub dalam novel keok yang mengantarkan pada situasi dimana manusia sedang berhadapan dengan sebuah sistem yang dalam beberapa hal disebutnya sebagai "kewajiban" .

  Tokoh wanita tersebut maksudnya dalam novelette tak cukup sedih. Namun sebelum wanita itu menentukan sikap atau tindakannya, ia mengalami pergolakan pikiran. Dengan pernyataan itu pula, kemudian dapat diketahui bahwa setidaknya lontaran pikiran, tindakan dalam bahasa verbal, agaknya hanyalah pernyataan yang permukaannya saja yang tampak spontanitas namun di dalamnya mengandung konflik batin pelakunya sehingga makna protes itu sendiri menjadi kurang penting artinya.

3. Penahapan Plot

  Penahapan plot terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), tahap akhir (end). Plot menunjukkan pula, bahwa kejadian – kejadian itu merupakan fakta-fakta cerita yang sepele sebenarnya, misalnya mengenai hal-hal yang mungkin saja kurang mendapat perhatian kita sehari-hari namun mungkin membuat hubungan antar manusia menjadi kacau. Kejadian – kejadian sejenis itu menempel sedemikian rupa hingga mengesankan sebagai sesuatu yang fragmintaris sifatnya. Setiap kejadian yang menempel itu mengandung ide peristiwa yang lain. Ide-ide itu baru dapat dipahami jika dikaitkan kembali dengan asal – usulnya. Yakni "ayak dan ibunya" dalam arti genitik dan konseptual.

  a. Tahap awal

  Disebut juga sebagai tahap perkenalan, yang berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan tahap berikutnya. Misalnya: pengenalan latar pada nama-nama tempat, suasana, alam, dan waktu. Pada novel ini terdapat pada paragraf I bagian I( bab 13) halaman 122. tempat kejadian pun disebutkan kota Jakarta (bab 13). Disebutkan ciri-ciri kota Jakarta sebagai kota yang semerawut dan berdebu (halaman 122).

  b. Tahap Tengah

  Disebut juga tahap pertikaian menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya menjadi meningkat, dan menegangkan.

  Selanjutnya tokoh wanita. Tokoh ini adalah tokoh yang tampil pada seluruh cerita dan paling banyak berhubungan dengan tokoh lain serta secara langssung terlibat dalam seluruh peristiwa, mendapatkan perhatian paling banyak dan menimbulkan alur cerita. Apabila tokoh utama diterima sebagai tokoh utama maka dalam analis perwatakan masing-masing tokoh dimulai dari tokoh wanita tersebut, menyusul tokoh-tokoh bawahan kemudian tokoh-tokoh komplementer.

c. Tahap Akhir

  Disebut dengan tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks yang berisi bagaimana kesudahan cerita atau bagaimana akhir dari sebuah cerita.

  Mobil suami istri tersebut terus meluncur hingga sampai pada suata jalan yang lengang, suami tokoh wanita meninggal. Kematian suaminya itu tidak membuat tokoh wanita putus asa malahan ia menggelandang sepanjang jalan. Apabila ia ingin melakukan protes maka ia datang ke rumah walikota untuk menyampaikan protesnya, dengan caranya sendiri, yakni bertelanjang bugil. Kalau ia berniat mengurunhkannya maka dia cabut protes itu dari walikota tetapi walikota tidak mengizinka untuk mencabut protes itu kenbali dengan alasan gagasan yang dikemukakan tokoh wanita itu berguna bagi banyak orang.

  Dalam pengembaraannya tokoh wanita megalami berbagai peristiwa yang membuatnya selalu terpojok, ditutup sebagai penyebab macetnya lalu lintas, disangka Eva, bertengkar dengan bencong dan penjual koran, tetapi ia selalu dapat meloloskan diri dari akibat yang mungkin ditimbulkan peristiwa-peristiwa tersebut. Cara tokoh wanita menyelesaikan kemelutnya adalah hanya dengan menghindari secara diam-diam dari kerumunan orang setelah perhatian massa beralih ke hal lain.

2.4 Penokohan

1. Pengertian dan bukti penokohan

  “Tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. “Penokohan” pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Pada novel ini tokohnya:

  1. Suami istri

  2. Eva sebagai anak

  3. Renisebagai anak 4. pemuda 5. polisi 6. pencuri 7. bencong 8. pengemis 9. perempuan 10. penjaga pintu 11. wali kota 12. anak-anak 13. penjual koran 14. sopir truk

  2. Pembedaan Tokoh

  Tokoh utama dan tokoh tambahan 1. pemuda 2. polisi 3. pencuri 4. bencong 5. pengemis 6. perempuan 7. penjaga pintu 8. wali kota 9. anak-anak 10. penjual koran 11. sopir truk

  

3. Tokoh Protagonis dan Antagonis

  • Eva  Reni  Pemuda  Wali kota

  Peristiwa tabrakan pada awal kisah menampilkan beberapa tokoh sekaligus seperti: sepasang suami-istri, seorang pemuda yang kemudian disebut pemuda tertabrak, polisi, dan massa (halaman lima). Pada bagian itu, tokoh suami istri dan tokoh pemuda tertabrak tampak mendominasi peristiwa namun setelah adekan kecelakaan tersebut berakhir dan tokoh suami meninggal, tokoh pemuda tertabrak tidak lagi muncul untuk sementara waktu.

  Demikian pula tokoh massa sekalipun berulangkali muncul hampir pada bagian – bagian cerita yang mengisahkan tokoh wanita hendak dikerubuti massa namun tokoh massa tersebut tidaklah tokoh yang sama muncul dalam setiap adegan. Tokoh polisi juga dimunculkan berulangkali pada setiap adegan yang juga menampilkan tokoh massa dan tokoh polisi ini senantiasa mencoba menunjukkan sikapnya sebagai penengah kalau terjadi konflik antara tokoh wanita dengan tokoh massa namun ia tidak dapat dianggap sebagai tokoh utama sekalipun tokoh polisi selalu menyebutkan ia mengenal tokoh wanita itu, agaknya kalimat "saya mengenal tokoh wanita itu" yang sering kali diucapkan oleh tokoh polisi tidaklah memberi petunjuk bahwa tokoh polisi itu tidak berbeda.

  Dengan kata lain tokoh polisi tidak dapat dikatakan sebagai seorang polisi karena kehadirannya pada setiap adegan yang berbeda tidak dapat dianggap sebagai kehadiran polisi tersebut . Pertimbangan lain adalah tidak mungkin seorang polisi seorang polisi bertugas di jalan selama dua hari sebab kisah ini berlangsung dua hari. Selain itu, tokoh polisi tidak terlibat langsung dalam seluruh peristiwa. Tokoh polisi, massa dapat ditempatkan sebagai tokoh-tokoh pelengkap (komplementer). Tokoh komplementer lain adalah bencong, pencuri, pengemis, perempuan yang mati saat menghadap wali kota, penjaga pintu rumah walikota, anak-anak, penjual Koran, sopir truk dan lain-lain.

  Pemuda tertabrak pada peristiwa awal cerita ini memang hadir dalam hampir keseluruhan novel ini tetapi dalam hanya beberapa bagian, dari seluruh novel ini. Selain itu tokoh pemuda tertabrak tidak terlibat dalam cerita terutama pada bagian dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, sembilan, sepuluh dan sebelas. Dengan demikian tokoh pemuda tertabrak dapat ditampakkan sebagai tokoh bawahan. Tokoh bawahan lain adalah tokoh walikota dan istrinya.

  Selanjutnya tokoh wanita. Tokoh ini adalah tokoh yang tampil pada seluruh cerita dan paling banyak berhubungan dengan tokoh lain serta secara langssung terlibat dalam seluruh peristiwa, mendapatkan perhatian paling banyak dan menimbulkan alur cerita. Apabila tokoh utama diterima sebagai tokoh utama maka dalam analis perwatakan masing-masing tokoh dimulai dari tokoh wanita tersebut, menyusul tokoh-tokoh bawahan kemudian tokoh-tokoh komplementer.

  Kesadaran akan adanya sistem nama tersebut menimbulkan beberapa akibat antara lain, pertama pengarang ini menolak sistem nama samasekali sehingga pembaca novel ini berhadapan dengan tokoh-tokoh tidak bernama. Kedua, pengarangnya menggunakan sistem nama sebaik mungkin sehingga dalam novel ini terdapat tokoh – tokoh bernama seperti Eva, Reni (adalah salah seorang anak dari tujuh orang anak yang membakar tokoh wanita) dan tokoh kamisah (adalah perempuan yang diminta tokoh wanita memberikan nasehatnya). Ketiganya mempunyai watak yang berbeda, seperti terlihat berikut ini.

  Tokoh Eva sebenarnya nama yang dikenakan oleh tokoh wanita saat ia disangka Eva oleh seorang pengendara sepeda motor. Keadaan ini berarti nama Eva hanya ada dalam banyangan tokoh pengendara sepeda motor. Dalam bayangan, tokoh tersebut tokoh Eva mempunyai sifat keibuan, menghargai janji. Nama Eva lebih merupakan ciptaan modern. Sedangkan tokoh Reni adalah salah seorang anak dari tujuh orang anak yang ikut membakar tokoh wanita saat tokoh wanita tertidur. Tokoh reni lebih menunjukkan sifat pendiam walaupun tampak jelas tokoh ini mengeluarkan suatu atas diri tokoh wanita. Dilihat dari namanya Reni agaknya seorang gadis remaja yang tidak menyukai hal-hal yang menoton, termasuk kata-kata orang tuanya yang cenderung menoton sehingga ia lebih menyukai pemberontakan. Nama Reni merupakan ciptaan modern. Berbeda halnya dengan nama Kamisah lebih merupakan nama tradisional. Kamisah adalah seorang perempuan yang usianya jauh lebih tua dari pada tokoh wanita. Karena itu tokoh wanita datang padanya untuk mendapat nasehat namun Kamisah menolaknya tampa memberikan alasan. Sifat semacam ini juga ternyata dimiliki tokoh wanita saat tokoh wanita dikerumuni massa.

  Pelataran

  2.5

  1. Pengertian pelataran

  Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, yang menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981:175). Stanton (1965) mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. Atau ketiga hal inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab akibat di mana dan kapan.

  2. Bukti pelataran Latar atau setting yang berupa tempat waktu, lokasi.

  Pada novel ini terdapat pada paragraf I bagian I ( bab 13) halaman 122. Tempat kejadian pun disebutkan kota Jakarta (bab 13). Disebutkan ciri-ciri kota Jakarta sebagai kota yang semerawut dan berdebu (halaman 122).

  • Pada novel ini terdapat latar lokasi:

   Rumah suami istri  Jakarta  Rumah walikota  Pasar

   Jalan  Kereta api  Taman  Kantor polisi  Terminal  Rumah sakit jakarta

  • Latar waktu ini berhubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwa- peristiwa itu yang diceritakan pada sebuah karya fiksi pada novel latar waktu:

  1) Pada musim dingin 2) Di malam hari dengan melihat bulan purnama 3) Di senja hari 4) Di siang hari yang mana langit terlihat tebal warna kelabu.

  • Latar Sosial Pada novel ini ada latar sosialnya yaitu di dalam rumah sakit terbaik di jakarta ketika semua peristiwa dan kejadian itu terjadi pada tokoh wanita bernama kamisah, ia datang padanya untuk mendapat nasehat namun Kamisah menolaknya tampa memberikan alasan. Sifat semacam ini juga ternyata dimiliki tokoh wanita saat tokoh wanita dikerumuni massa. Hal itu menunjukkan bahwa terjadi adanya kesenjangan social diantara mereka.

  Sosial yang dimiliki manusia tersebut manusia mampu menguasai alam, menaklukkan makhluk yang lebih kuat daripadanya dan sebagai homo faber manusia mampu menciptakan segala sesuatu untuk kesempurnaan dirinya. Manusialah satu-satunya makhluk yang berbudaya yang selalu berkembang ke arah yang lebih baik dan paling dapat menyesuaikan diri terhadap tuntutan alam dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu ditinjau dari segi kebutuhannya, manusia adalah makhluk mono dualis, artinya di samping manusia membutuhkan sesuatu untuk kelangsungan hidupnya sebagainama makhluk biologis yang lain, manusia juga membutuhkan hasil kebudayaan untuk pertahanan dan perkembangan hidupnya, sehingga tidak tertelan oleh tuntutan alam dan kemajuan zaman, justru sebaiknya dapat memperkembangkan dan menyempurnakan hidupnya ke derajat yang lebih tinggi.

  Kesemuanya itu bisa dicapai karena potensi-potensi yang dimiliki manusia, di mana potensi ini mengalami proses perkembangan setelah individu itu hidup dalam lingkungan masyarakat.

2.6 Penyudut Pandangan

1. Pengertian sudut pandang

  Sudut pandang, point of view menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan, ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi.

  Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Kesemuanya dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kaca mata tokoh cerita. Sudut pandang dapat disamakan artinya dapat lebih memperjelas pada pusat pengisahan (focus of naration) yang menyarankan pada pengertian adanya hubungan antara unsur-unsur peristiwa dengan visi yang disajikan kepada pembaca (Luxemburg dkk. 1992: 131).

  Booth (dalam stevick, 1967:89) mengemukakan sudut pandang bagaimanapun merupakan sesuatu yang menyaran pada masalah teknis, sarana untuk menyampaikan maksud yang lebih besar dari pada sudut pandang itu sendiri. Sudut pandang merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.

2. Bukti-bukti penyudut pandangan

  Pada novel ini ada beberapa sudut pandang yaitu:

  a. Sudut pandang pesona ketiga atau pertama salah satunya “Aku” sebagai sudut pandang pada (Eva anak dari Ibu).

  Eva sebenarnya nama yang dikenakan oleh tokoh wanita saat ia disangka Eva oleh seorang pengendara sepeda motor. Keadaan ini berarti nama Eva hanya ada dalam banyangan tokoh pengendara sepeda motor. Dalam bayangan, tokoh tersebut tokoh Eva mempunyai sifat keibuan, menghargai janji. Nama Eva lebih merupakan ciptaan modern. Sedangkan tokoh Reni adalah salah seorang anak dari tujuh orang anak yang ikut membakar tokoh wanita saat tokoh wanita tertidur.

  b. “Dia” sudut pandang pesona ketiga. Pada novel ini Dia (reni) Ia (Ibu)

  Reni lebih menunjukkan sifat pendiam walaupun tampak jelas tokoh ini mengeluarkan suatu atas diri tokoh wanita. Dilihat dari namanya Reni agaknya seorang gadis remaja yang tidak menyukai hal-hal yang menoton, termasuk kata-kata orang tuanya yang cenderung menoton sehingga ia lebih menyukai pemberontakan. Nama Reni merupakan ciptaan modern.

  c. Dia (sudut pandang ketiga atau campuran) Kamisah lebih merupakan nama tradisional. Kamisah adalah seorang perempuan yang usianya jauh lebih tua dari pada tokoh wanita. Karena itu tokoh wanita datang padanya untuk mendapat nasehat namun Kamisah menolaknya tanpa memberikan alasan. Sifat semacam ini juga ternyata dimiliki tokoh wanita saat tokoh wanita dikerumuni massa.

2.7 Bahasa

1. Pengertian Bahasa

  Bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandug “nilai lebih” dari sekedarnya bahan itu sendiri.

  Beberapa ciri bahasa sastra yaitu sebagai bahasa yang mengandung unsur emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa non sastra, khususnya bahasa ilmiah, yang rasional dan demokratif. Menurut (Wellek dan Warren, 1956: 22-3) ciri adanya unsur “pikiran” bukan hanya monopoli bahasa non sastra tetapi bahasa sastra pun memilikinya.

  Bahasa adalah sebuah sistem tanda yang telah mengkonvensi yang mempunyai ciri-ciri struktur kebahasaan atau gaya bahasa (style) yang terdapat pada karya tersebut.

  Style merupakan bentuk ungkapan kebahasaan seperti yang terlihat dalam sebuah novel atau novel yang merupakan suatu bentuk performasi (kinerja) kebahasaan seorang pengarang. Style juga merupakan bentuk parole. Parole adalah bentuk performasi kebahasaan yang telah melewati proses seleksi dari keseluruhan bentuk kebahasaan. Unsur-unsur Style

  a. Unsur leksikal yang artinya mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang.

  b. Unsur Gramatikal yang artinya menyarang pada pengertian struktur kalimat.

  c. Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Melalui kreativitas pengungkapan bahasa yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya yang mencerminkan sikap dan perasaan pengarang.

  Unsur retorika meliputi bentuk-bentuk yang berupa pemajasan, penyiasatan struktur dan pencitraan.

  1. Pemajasan (figure of thought) merupakan Teknik Pengungkapan bahasa, penggaya bahasaan yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah / asli, melainkan makna tersirat. Analogi mengenai "ayah dan ibu" tidak mesti ditafsirkan hinonimi dengan struktur intrinsik sebuah novel sebab lingkungan pengarangnya bukanlah lingkungan sosio-budaya yang homogen, melainkan hemogen. Dalam masyarakat yang hemogen pengarangnya hanyalah seorang manusia lokal (menurut pengertian budaya, ia seorang manusia Bali) yang sedang mengalami dilema dalam menentukan dirinya pada format budaya yang baru. Kesan gelisah tampak jelas dalam cara mencairkan keadaan yang menoton, hingga hampir semua adegan dalam novelnya menunjukkan pembacanya yang belum siap menerima sesuatu yang mendadak sifatnya.

  2. Penyiasatan struktur ini dalam kaitannya dengan tujuan untuk mencapai efek retoris sebuah pengungkapan peranan penyiasatan struktur (rhetorical figures or speech) yang tampaknya lebih menonjolkan dan bervariasi struktur yang disiasatinya sehingga dari segi ini akan terasa baru dan bersifat langsung maupun kiasan dari pada pemajasan. Sekalipun struktur intrinsik novel Putu tidak menunjuk hubungan himonim dengan lingkungan sosio-budayanya namun bukan berarti visi dunianya bukanlah yang tidak menentukan kekompleks strukturnya, malah sebaliknya. Visi dunianya (terutama dunia kesenian) demikian kuat membentuk struktur konvensi novel- novelnya sehingga menentukan kesahihan dan kebenarannya.

  3. Pencitraan Istilah citra (image) dan pencitraan (imagery) yang keduanya menyaran pada adanya reproduksi mental artinya citra merupakan sebuah gambaran indra yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata. Pencitraan merupakan kumpulan citra, the collection of images yang digunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indra yang digunakan dalam karya sastra baik dengan deskripsi secara harfiah maupun secara kias.

  Penceritaan yang digunakan dalam novel keok adalah teknik

  stream of consciousness seperti sebagian telah ditunjukkan dalam

  pembicaraan aspek alur, atau teknik yang digunakan untuk mengungkapkan kejadian-kejadian tertentu melalui arus kesadaran tokoh-tokohnya, terutama tokoh utama.

  4. Kohesi Kohesi merupakan bentuk hubungan yang esensial yang mengaitkan makna-makna dalam sebuah teks. Hubungan itu bersifat eksplisit yang ditandai oleh adanya kata penghubung atau kata-kata tertentu yang bersifat menghubungkan yang berupa hubungan kelogisan, hubungan yang disimpulkan oleh pembaca, hubungan implisit, hubungan tersebut disebut kohesi.

2.8 Pengajaran Bahasa Indonesia

  Bahasa Indonesia adalah bahasa Nasional yang dikuasai oleh warga negara Indonesia dengan baik. Bagi setengah orang Indonesia, bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu mereka sehingga sejak kecil mereka telah memakainya. Akan tetapi, bagi sebagian lagi, bahasa Indonesia itu merupakan bahasa kedua atau bahkan ketiga karena bahasa ibu mereka ialah salah satu bahasa daerah yang ada di Nusantara, seperti bahasa Jawa, Minangkabau, Batak, Sunda, Aceh, dan lain-lain. Oleh karena itu, guru-guru bahasa Indonesia sebaiknya menguasai masalah pengajaran bahasa ibu dan pangajaran bahasa kedua atau bahasa asing agar dapat mengajarkan bahasa Indonesia itu secara lebih efektif dan lebih efisien kepada anak didik masing-masing.

  Menurut para ahli teori generasi transformasi (disingkat TGT) telah menegaskan bahwa bahasa memang memunyai kekuatan kreatif dan rekursif. Ini berarti bahwa dengan suatu set yang terbatas dari kata-kata, satuan bunyi, aturan-aturan sintaksis (basis dan transformasi), kita dapat menciptakan kalimat-kalimat terbatas jumlah dan ragamnya. Asumsi ini sangat penting sebelumnya yang mengatakan bahwa bahasa itu sesungguhnya merupakan kebiasaan yang tidak banyak bedanya dari tingkah laku manusia lainnya. Asumsi TGT lain yang perlu disebutkan ialah bahwa struktur bahasa memunyai dua tingkatan (1) struktur dalam yang menentukan interprestasi semantik sebuah kalimat, dan (2) struktur permukaan yang menentukan interpretasi fonetik kalimat itu. Kedua struktur ini harus didispesifikasi oleh komponen sintaksis dari sesuatu tata bahasa. Di samping itu, TGT membedakan pula dua hal, yaitu kemampuan bahasa (language competence) dan perbuatan bahasa (language performance). Kemampuan bahasa merupakan kumpulan dari semua hasil akuisisi bahasa, baik berupa kata-kata, bunyi bahasa, aturan-aturan kalimat, dan lain-lain. Perbuatan bahasa adalah apa yang betul-betul telah diucapkan atau dituliskan oleh seseorang dan merupakan manifestasi lahiriah dari kemampuan bahasa. Jadi, kemampuan itu merupakan hanya satu dari beberapa faktor yang menentukan perbuatan bahasa. Faktor-faktor yang juga ikut menentukan perbuatan bahasa, antara lain konsentrasi pikiran, keadaan kesehatan, dan pengetahuan tentang isi percakapan.

  Hal lain yang ditentukan dari pengamatan terhadap anak-anak yang mempelajari bahasa ibunya. Perlu pula diingat bahwa anak-anak mempelajari bahasa ibu sewaktu mereka belum mengenal bahasa lain mana pun sebagai alat komunikasi yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, penguasaan bahsa ibu itu adalah mutlak bagi kelangsungan hidupnya dalam masyarakat keluarga maupun masyarakat kampungnya yang lebih luas.

  Oleh karena itu pada waktu belajar bahasa ibu itumereka belum mengenal sistem bahasa yang lain, mereka belum mengenal konsep kesalahan berbahasa seperti yang biasanya terjadi pada orang dewasa yang belajar bahasa asing. Hal ini amat menolong karena mereka tidak merasa malu atau ragu-ragu ubtuk memakai bahasa yang baru dipelajarinya, walaupun tingkat penguasaannya pada satu saat masih amat rendah atau kurang. Dengan jalan demikian, anak-anak itu selalu ingin mempergunakan kesempatan yang ada untuk melatih diri dalam pengembangan bahasanya itu.

2.9 Sosial Budaya

  Kecerdasan dan kemauan yang dimiliki manusia tersebut manusia mampu menguasai alam, menaklukkan makhluk yang lebih kuat daripadanya dan sebagai homo faber manusia mampu menciptakan segala sesuatu untuk kesempurnaan dirinya. Manusialah satu-satunya makhluk yang berbudaya yang selalu berkembang ke arah yang lebih baik dan paling dapat menyesuaikan diri terhadap tuntutan alam dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu ditinjau dari segi kebutuhannya, manusia adalah makhluk mono dualis, artinya di samping manusia membutuhkan sesuatu untuk kelangsungan hidupnya sebagainama makhluk biologis yang lain, manusia juga membutuhkan hasil kebudayaan untuk pertahanan dan perkembangan hidupnya, sehingga tidak tertelan oleh tuntutan alam dan kemajuan zaman, justru sebaiknya dapat memperkembangkan dan menyempurnakan hidupnya ke derajat yang lebih tinggi.

  Kesemuanya itu bisa dicapai karena potensi-potensi yang dimiliki manusia, di mana potensi ini mengalami proses perkembangan setelah individu itu hidup dalam lingkungan masyarakat.

  2.10 Kemampuan menggunakan bahasa

  Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa dalam pengertian, bisa merubah menambah dan mengembangkan bahasa yang digunakan. Pada binatang memeng ada tetapi masih sangat sederhana sekali dan terbatas pada bunyi suara yang merupakan isyarat atau tanda-tanda.

  2.11 Adanya sikap etik

  Dalam setiap masyarakatpasti ada peraturan-peraturan atau norma- norma yang mengatur tingkah laku anggota-anggotanya baik itu di masyarakat modern maupun yang masih terbelakang sekalipun norma- norma tersebut merupakan ketentuan apakah suatu perbuatan itu dipandang baik atau buruk.

  Norma-norma tersebut tidak selalu sama antara masyarakat yang satu dengan yang lainsesuai dengan adat kebiasaan, agama dan perkembangan kebudayaan pada umumnya di mana dia hidup. Individu sebagai anggota masyarakat berusaha untuk berbuat sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat karena sikap etik yang dimiliki.

  Namun demikian sesuai dengan tuntutan kebudayaan manusia berusaha untuk menyempurnakan norma-norma yang telah ada.

  2.12 Hidup dalam alam 3 dimensi

  Artinya manusia mampu hidup atas dasar tiga waktu. Tingkah laku manusia didasarkan pada pengalaman yang lampau, kebutuhan-kebutuhan sekarang dan tujuan yang akan dicapai pada masa yang akan datang.

  Pengalaman-pengalaman masa lalu merupaka pegangan bagi perbutan-perbuatannya masa sekarang, sehingga sedalahan yang sama tidak akan selalu terulang-ulang.

  Pengalaman yang tidak baik diingat untuk tidak diperbuat lagi sedang pengalaman yang baik dipegang untuk pedoman dalam aktivitas- aktivitas masa kini diarahkan untuk mencapai tujuan selanjutnya dengan sebaik-baiknya. Dengan perkataan lain manusia dapat merencanakan apa yang akan diperbuat dan apa yang akan dicapai.

  Tiga pokok di atas biasa pula disebut sebagai syarat “human

  

minimum”. Dengan demikian yang tidak memenuhi human minimum ini,

dengan sendirinya sukar digolongkan sebagai masyarakat manusia.

BAB III NOVEL KEOK SEBAGAI TERAPAN ANALISIS SEBAGAI UNSUR INTRINSIK

3.1 Sinopsis Cerita

  Novel keok mengisahkan seorang wanita yang telah menikah dengan seorang lelaki yang usiahnya jauh lebih tua, Perkawinan mereka menghasilkan tujuh orang anak, padahal pasangan itu merasakan ketidakbahagiaan sebab antara suami istri itu menunjukkan sikap tertutup. Sampai pada suatu ketika, mobil suami istri itu menabrak seorang pemuda di suatu jalan. Tampa mempertimbangkan salah benar, untung dan rugi serta lingkungan, pemuda tertabrak langsung menghajar pengendara mobil itu berikut mobilnya. Peristiwa ini tidak membuat tokoh suami marah, malahan introspeksi diri, dengan membanyangkan hal-hal yang pernah dilakukan yang pada dasarnya tidak mendapat balasan yang setimpal.

  Mobil suami istri tersebut terus meluncur hingga sampai pada suata jalan yang lengang, suami tokoh wanita meninggal. Kematian suaminya itu tidak membuat tokoh wanita putus asa malahan ia menggelandang sepanjang jalan. Apabila ia ingin melakukan protes maka ia datang ke rumah walikota untuk menyampaikan protesnya, dengan caranya sendiri, yakni bertelanjang bugil. Kalau ia berniat mengurunhkannya maka dia cabut protes itu dari walikota tetapi walikota tidak mengizinka untuk mencabut protes itu kenbali dengan alasan gagasan yang dikemukakan tokoh wanita itu berguna bagi banyak orang.

  Dalam pengembaraannya tokoh wanita megalami berbagai peristiwa yang membuatnya selalu terpojok, ditutup sebagai penyebab macetnya lalu lintas, disangka Eva, bertengkar dengan bencong dan penjual koran, tetapi ia selalu dapat meloloskan diri dari akibat yang mungkin ditimbulkan peristiwa-peristiwa tersebut. Cara tokoh wanita menyelesaikan kemelutnya adalah hanya dengan menghindari secara diam-diam dari kerumunan orang setelah perhatian massa beralih ke hal lain.

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

  Struktur novel keok menunjukkan kesan "kacau" simetris dengan peristiwa-peristiwa yang dikandungnya. Kondisi gelandangan agaknya lebih mengarah pada pengertian adanya kondisi yang menoton dan yang hendak dicairkannya. Struktur intrinsiknya mempunyai system sendiri, di bangun oleh 33 adegan yang tiga perempat di antaranya merupakan kejadian yang menyimpang dari logika alur (plot). Sebagai kejadian yang menyimpang dari logika plot dengan sendirinya tidak mudah dipahami pembaca yang belum mengenal cara penyajiannya, yakni cara arus kesadaran (strem of consciousness).

  Pemahaman menorut logika plot menunjukkan pula, bahwa kejadian

  • – kejadian itu merupakan fakta-fakta cerita yang sepele sebenarnya, misalnya mengenai hal-hal yang mungkin saja kurang mendapat perhatian kita sehari-hari namun mungkin membuat hubungan antar manusia menjadi kacau. Kejadian – kejadian sejenis itu menempel sedemikian rupa hingga mengesankan sebagai sesuatu yang fragmintaris sifatnya. Setiap kejadian yang menempel itu mengandung ide peristiwa yang lain. Ide-ide itu baru dapat dipahami jika dikaitkan kembali dengan asal – usulnya. Yakni "ayah dan ibunya" dalam arti genitik dan konseptual.

  Analogi mengenai "ayah dan ibu" tidak mesti ditafsirkan hinonimi dengan struktur intrinsik sebuah novel sebab lingkungan pengarangnya bukanlah lingkungan sosio-budaya yang homogen, melainkan hemogen. Dalam masyarakat yang hemogen pengarangnya hanyalah seorang manusia lokal (menurut pengertian budaya, ia seorang manusia Bali) yang sedang mengalami dilema dalam menentukan dirinya pada format budaya yang baru. Kesan gelisah tampak jelas dalam cara mencairkan keadaan yang menoton, hingga hampir semua adegan dalam novelnya menunjukkan pembacanya yang belum siap menerima sesuatu yang mendadak sifatnya.