BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Tekuk Profil Baja Siku Sama Sisi dan Tidak Sama Sisi ( Teori dan Eksperimental )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Teori Tekuk 2. 1. 1 Latar Belakang Kolom merupakan batang tekan tegak yang bekerja untuk menahan balok

  balok loteng, rangka atap, lintasan crane dalam bangunan pabrik dan sebagainya yang untuk seterusnya akan melimpahkan semua beban tersebut ke pondasi.

  Dengan berbagai macam sebutan, seperti kolom, tiang, tonggak, dan batang desak, batang ini pada hakekatnya jarang sekali mengalami tekanan aksial saja. Apabila sebuah batang lurus dibebani gaya tekan aksial dengan pemberian beban semakin lama semakin tinggi, maka pada batang tersebut akan mengalami perubahan. Perubahan dari keadaan sumbu batang lurus menjadi sumbu batang melengkung dinamakan tekuk.

  Pada hakekatnya batang yang hanya memikul tekan aksial saja jarang dijumpai dalam struktur namun bila pembebanan diatur sedemikian rupa hingga pengekangan (restrain) rotasi ujung dapat diabaikan atau beban dari batang batang yang bertemu diujung kolom bersifat simetris dan pengaruh lentur sangat kecil dibandingkan dengan tekanan langsung maka batang tekan dapat direncanakan dengan aman sebagai kolom yang dibebani secara konsentris.

  Dari mekanika bahan diketahui bahwa hanya kolom yang sangat pendek dapat dibebani hingga mencapai tegangan lelehnya, sedangkan keadaan yang umum yaitu lenturan mendadak akibat ketidakstabilan terjadi sebelum kekuatan bahan batang sepenuhnya tercapai. Keadaan demikian yang kita sebut dengan tekuk (buckling). Jadi pengetahuan tentang kestabilan batang tekan perlu bagi pembaca yang merencanakan struktur baja.

  Gambar 2. 1 Batang yang Tertekuk akibat Gaya Aksial Latar belakang tekuk kolom pertama kali dikemukakan oleh Leonhard

  Euler pada tahun 1759. Batang dengan beban konsentris yang semula lurus dan semua seratnya tetap elastis hingga tekuk terjadi akan mengalami lengkungan yang kecil pada gambar 2. 1. Walaupun Euler hanya menyelidiki batang yang dijepit disalah satu ujung dan bertumpu sederhana (simply supported) di ujung yang lainnya, logika yang sama dapat diterapkan pada kolom yang berperletakan sendi, yang tidak memiliki pengekangan rotasi dan merupakan batang dengan kekuatan tekuk terkecil. Kita akan mendapatkan rumus rumus gaya kritis yang dapat diterima oleh suatu batang sebelum tekuk terjadi.

  Pendekatan Euler pada umumnya tidak digunakan untuk perencanaan karena tidak sesuai dengan percobaan, dalam praktek kolom dengan panjang umum tidak sekuat seperti yang dinyatakan oleh rumus rumus Euler.

  Considere dan Esengger pada tahun 1889 secara terpisah menemukan bahwa sebagian dari kolom dengan panjang yang umum menjadi inelastis sebelum tekuk terjadi dan harga E yang dipakai harus memperhitungkan adanya jumlah serat yang tertekan dengan regangan diatas batas proporsional. Jadi mereka menyadari bahwa sesungguhnya kolom dengan panjang yang umum akan hancur akibat tekuk inelastis dan bukan akibat tekuk elastis.

  Akan tetapi pengertian yang menyeluruh tentang kolom dengan beban konsentris baru dicapai pada tahun 1946 ketika Shanley menjabarkan teori yang sekarang ternyata benar. Ia mengemukakan bahwa hakekatnya kolom masih mampu memikul beban aksial yang lebih besar walaupun telah melentur, tetapi kolom mulai melentur pada saat mencapai beban yang disebut beban tekuk, yang menyertakan pengaruh inelastisitas pada sejumlah atau semua serat penampang lintang.

  Untuk menentukan kekuatan kolom dasar, kondisi kolom perlu didealisir dengan beberapa anggapan. Mengenai bahan, kita dapat menganggap :

  1. Sifat tegangan regangan tekan sama diseluruh titik pada penampang.

  2. Tidak ada tegangan internal seperti akibat pendinginan setelah penggilingan (rolling).

  3. Kolom lurus sempurna dan prismatis.

  4. Resultan beban bekerja melalui sumbu pusat batang sampai batang mulai melentur.

  5. Kondisi ujung harus statis tertentu sehingga panjang antara sendi sendi ekivalen dapat ditentukan.

  6. Teori lendutan yang kecil seperti pada lenturan yang umum berlaku dan gaya geser dapat diabaikan.

  7. Puntiran atau distorsi pada penampang lintang tidak terjadi selama melentur.

  Setelah anggapan anggapan diatas dibuat, sekarang disetujui bahwa kekuatan suatu kolom dapat dinyatakan sebagai:

  = =

  Dimana : σ kr = tegangan rata rata pada penampang E t = modulus tangen pada P/A

  = angka kelangsingan efektif (ujung sendi ekivalen) Seperti yang kita tahu batang tekan yang panjang akan runtuh akibat tekuk elastis dan batang tekan yang pendek yang buntak dapat dibebani sampai bahan meleleh atau bahkan sampai daerah pengerasan regangan (strain hardening). Pada keadaan yang umum, kehancuran akibat tekuk terjadi setelah sebagian penampang melintang meleleh, keadaan ini disebut dengan tekuk inelastis.

  Tekuk murni akibat beban aksial sesungguhnya hanya terjadi apabila anggapan dari (1) sampai (7) diatas berlaku. Kolom biasanya merupakan satu kesatuan dengan struktur, dan pada hakekatnya tidak dapat berlaku secara independent. Dalam praktek, tekuk diartikan sebagai pembatasan antara lendutan stabil dan tidak stabil pada batang tekan: jika bukan kondisi sesaat yang terjadi pada batang langsing elastis yang diisolir. Banyak insinyur menyebut “beban tekuk praktis” ini sebagai “beban batas ultimate”.

  2. 1. 2 Keruntuhan Batang Tekan

  Dari mekanika bahan kita tahu bahwa batang tekan yang pendek akan dapat dibebani sampai beban meleleh. Batang tekan yang panjang akan runtuh akibat tekuk elastis. Pada keadaan umum kehancuran akibat tekan terjadi diantara keruntuhan akibat kelelehan bahan akibat tekuk elastis, setelah bagian penampang melintang meleleh, keadaan ini disebut tekuk inelastis (inelastic buckling).

  Ada tiga jenis keruntuhan batang tekan, yaitu:

  1. Keruntuhan akibat tegangan yang terjadi pada penampang telah melalui materialnya.

  2. Keruntuhan akibat batang tertekuk elastis (elastic buckling). Keadaan ini terjadi pada bagian konstruksi yang langsing. Disini hukum Hooke masih berlaku bagi serat penampang dan tegangan yang terjadi tidak melebihi batas proporsional.

  3. Keruntuhan akibat melelehnya sebagian serat disebut tekuk inelastic (inelastic

  

buckling). Kasus keruntuhan semacam ini berada diantara kasus (1) dan kasus

  (2), dimana pada saat menekuk sejumlah seratnya menjadi inelastis maka modulus elastisitasnya ketika tertekuk lebih kecil dari harga awalnya.

  2. 1. 3 Tegangan Residu

  Keberadaan tegangan residu dalam profil sangat mempengaruhi kekuatan tekuknya. Pengaruh ini diperhitungkan dengan mengambil tegangan residu maksimum rata rata sebesar 0,3 dari tegangan lelehnya.

  Tegangan residu (residual stresses) adalah tegangan yang tertinggal tetap dalam profil setelah selesai profil dibentuk, meskipun belum ada beban luar yang bekerja padanya.

  Menurut hasil penelitian/penyelidikan, tegangan residu ini timbul oleh karena adanya deformasi plastis yang diakibatkan oleh :

  1. Pendinginan setelah proses hot rolling.

  2. Cold bending atau cambering selama fabrikasi.

  3. Pengelasan.

  2. 1. 4 Kelangsingan Batang Tekan ( λ )

  Kelangsingan batang tekan ini tergantung dari jari jari kelembaman (i) dan panjang tekuk (L k ). Karena batang mempunyai dua jari jari kelembaman, umumnya akan terdapat dua harga λ. Yang menentukan ialah harga λ yang terbesar (atau dengan i yang terkecil). Panjang tekuk (L k ) ini juga tergantung pada keadaan ujung ujungnya, apakah sendi, jepit, bebas, dan sebagainya.

  2. 1. 5 Angka Kelangsingan ( λ batas ) λ batas adalah batas angka kelangsingan dimana Euler tidak lagi berlaku (berarti memasuki daerah plastis). Euler hanya berlaku di daerah elastis.

  P =

  ( 2. 1 )

  kr

  Dimana : L k = panjang tekuk E = modulus elastisitas I = momen inersia terhadap sumbu yang tegak lurus arah tekuk

  ( 2. 2 )

  =

  Atau

  2

  2

2 L = λ i

  ( 2. 3 )

  k

  Dimana : λ = kelangsingan i = jari jari kelembaman

2 I = i x A

  ( 2. 4 ) Dimana : A = luas penampang

  Substitusi persamaan ( 2. 4 ) ke dalam persamaan ( 2. 1 ) sehingga diperoleh :

  P =

  ( 2. 5 )

  kr

  Dengan :

  σ =

  ( 2. 6 )

  kr

  Sehingga : ( 2. 7 )

  P = σ x A kr cr

  Dimana : = tegangan kritis

  σ kr

  Dimana :

  P = σ x A kr cr

  P = kr

  Maka didapat :

  σ x A = kr

  σ = kr

  Sehingga :

  λ = adalah λ (λ ) batas g

  λ batas =

  Dengan :

  σ = σ kr

1 Maka :

  ( 2. 8 )

  λ g =

  Akibat pengaruh residual strees maka tegangannya menjadi 0,7 σ

  1 , sehingga :

  λ g = ( 2. 9 )

  ,! "

  2

  6

  2 Misalnya, untuk Bj 37 mempunyai σ 1 = 2400 kg/cm dan E = 2,1 x 10 kg/cm .$ .

  = 111

  λ g = ,! % &

  Selanjutnya λ g untuk bermacam macam baja dapat dilihat di tabel berikut : Tabel 2. 1 N ilai λ g untuk Bermacam macam Baja

  2 Macam Baja σ 1 (kg/cm ) λ g

  Bj 31 2000 122 Bj 37 111

  2400 Bj 42 107

  2600 Bj 52

  91 3600

  2. 1. 6 Stabilitas dari Struktur Kolom

  Masalah kesetimbangan kolom erat kaitannya dengan stabilitas suatu struktur batang. Konsep stabilitas sering diterangkan dengan menggangap kesetimbangan dari bola pejal pada beberapa posisi, yaitu sebagai berikut.

  1. Kesetimbangan Stabil Gambar 2. 2 Kesetimbangan Stabil Berdasarkan gambar 2. 2 bola pejal berada di permukaan yang cekung.

  Kemudian bola pejal berubah posisinya ketika diberikan gaya F. Saat gaya F hilang, posisi bola pejal kembali seperti semula. Kondisi ini adalah penganalogian dari suatu kolom bermuatan P < P kr yang diberikan gaya F tegak lurus sumbu kolom sehingga mengalami lendutan. Jika gaya F dihilangkan maka kolom akan kembali ke bentuk linearnya. Kondisi kesetimbangan ini disebut kesetimbangan stabil (stable equilibrium).

  2. Kesetimbangan Netral Gambar 2. 3 Kesetimbangan Netral

  Kolom dengan beban P = P kr dianalogikan dengan bola pejal yang berada di permukaan datar. Bola pejal tersebut diberi gaya F dan berpindah tempat tanpa kembali ke tempatnya semula. Berdasarkan anggapan itulah suatu kolom bermuatan P = P kr jika diberikan beban sebesar F, maka kolom tersebut akan mengalami tekuk. Ketika gaya F dilepaskan, kolom tidak akan kembali ke bentuk linearnya. Kondisi kesetimbangan ini disebut kesetimbangan netral (precarious

  equilibrium).

  3. Kesetimbangan Tidak Stabil Gambar 2. 4 Kesetimbangan Tidak Stabil

  Bola pejal berada pada permukaan yang cembung kemudian diberikan gaya F maka akan terjadi pergeseran mendadak. Hal ini merupakan penganalogian untuk kolom dengan P > P kr . Kolom diberikan gaya F tegak lurus sumbu kolom kemudian mengalami deformasi. Apabila beban diberikan secara konstan maka akan berdampak runtuhnya kolom (bucking). Kondisi kesetimbangan ini disebut dengan kesetimbangan tidak stabil (unstable equilibrium).

  Batang tekan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga terjamin stabilitasnya (tidak ada bahaya tekuk). Hal ini harus diperlihatkan dengan menggunakan persamaan :

  '

  ( 2. 10 )

  ω ≤

  Dimana : N’ = gaya tekan pada batang A = luas penampang batang

  = tegangan dasar (tegangan izin) ω = faktor tekuk yang tergantung dari kelangsingan ( λ ) dan jenis bajanya

  Harga ω dapat dicari dari Tabel 2, 3, 4 atau 5 PPBBI ’83 berdasarkan mutu baja Bj 34 (Fe 310), Bj 37 (Fe 360), Bj 44 (Fe 430) dan Bj 52 (Fe 510).

  Harga λ ini dapat ditentukan dengan persamaan :

  ( 2. 11 )

  = λ

  g ,! "

  Dan ( 2. 12 )

  λ = s

  )

  Berdasarkan Peraturan Belanda :

  = ≤ 0,163 → maka

  Untuk : λ ω = 1

  s $,&$ Untuk : 0,183 < < 1 → maka =

  λ ω s $,*+,-

  .

  Untuk : ≥ 1 → maka λ ω = 2,281 λs s

  2. 2 Sifat Bahan Baja

  Sifat baja yang terpenting dalam pengunaanya sebagai bahan konstruksi adalah kekuatannya yang tinggi, dibandingkan dengan bahan lainnya seperti kayu, dan sifat keliatannya, yaitu kemampuan untuk berdeformasi secara nyata baik dalam tegangan, regangan maupun dalam kompresi sebelum kegagalan, serta sifat homogenitas yaitu sifat keseragaman yang tinggi.

  Baja merupakan bahan campuran besi ( Fe ), 1,7 % Zat arang atau karbon (C), 1,65 % mangan, 0,6 % silikon ( Si ) dan 0,6% tembaga ( Cu ). Baja dihasilkan dengan menghaluskan bijih besi dan logam besi tua bersama sama dengan bahan tambahan pencampur yang sesuai, dalam tungku temperatur tinggi untuk menghasilkan massa massa besi yang besar, selanjutnya dibesihkan untuk menghilangkan kelebihan zat arang dan kotoran kotoran lain.

  Berdasarkan persentase zat arang yang dikandung, baja dapat dikategorikan sebagai berikut :

  1. Baja dengan persentase zat arang rendah ( low carbon steel ) Yakni lebih kecil dari 0,15 %

  2. Baja dengan persentase zat arang ringan ( mild carbon steel ) Yakni 0,15 % 0,29 %

  3. Baja dengan persentase zat arang sedang ( medium carbon steel ) Yakni 0,30 % 0,59 %

  4. Baja dengan persentase zat arang tinggi ( high carbon steel ) Yakni 0,60 % 1,7 % Baja untuk bahan struktur termasuk kedalam baja yang persentase zat arang yang ringan ( mild carbon steel ), semakin tinggi kadar zat arang yang terkandung didalamnya, maka semakin tinggi nilai tegangan lelehnya. Sifat sifat bahan struktur yang paling penting dari baja adalah sebagai berikut :

  1. Modulus Elastisitas ( E )

  Modulus elastisitas untuk semua baja ( yang secara relatif tidak tergantung dari kuat leleh ) adalah 28000 sampai 30000 ksi atau 193000 sampai 207000 Mpa. Nilai untuk desain lazimnya diambil sebesar 29000 ksi atau 200000 Mpa.

  Berdasarkan Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia ( PPBBI ),

  6

  5 nilai modulus elastisitas baja adalah 2,1 x 10 kg/cm² atau 2,1 x 10 MPa.

  2. Modulus Geser ( G ) Modulus geser setip bahan elastis dihitung berdasarkan formula : / = 2 (1+ 4) Dimana : P = perbandingan poisson yang diambil sebesar 0,3 untuk baja.

  Dengan menggunakan P = 0,3 maka akan memberikan G = 11000 ksi atau 77000 MPa.

  Berdasarkan Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia ( PPBBI ),

  6

  nilai modulus geser ( gelincir ) baja adalah 0,81 x 10 kg/cm² atau 0,81 x

  5 10 MPa.

  3. Koefisien Ekspansi ( α ) Koefisien ekspansi adalah koefisien pemuaian linier. Koefisien ekspansi

  6 o

  baja diambil sebesar 12 x 10 per C.

  4. Tegangan Leleh ( σ ) Tegangan leleh ditentukan berdasarkan mutu baja.

  5. Sifat sifat lain yang penting.

  Sifat – sifat ini termasuk massa jenis baja, yang sama dengan 490 pcf atau

  3

  7,850 t/m , atau dalam berat satuan, nilai untuk baja sama dengan 490 pcf

  3 atau 76, 975 kN/m³, berat jenis baja umumnya adalah sebesar 7,850 t/m .

  Untuk mengetahui hubungan antara tegangan dan regangan pada baja dapat dilakukan dengan uji tarik di laboratorium. Sebagian besar percobaan atas baja akan menghasilkan bentuk hubungan antara tegangan dan regangan seperti tergambar di bawah ini.

  Gambar 2. 5 Hubungan Tegangan Regangan untuk Uji Tarik pada Baja Lunak

  Keterangan gambar : σ = tegangan baja ε = regangan baja A = titik proporsional A’ = titik batas elastis B = titik batas plastis M = titik runtuh C = titik putus

  Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa sampai titik A hubungan antara tegangan dan regangan masih linier atau keadaan masih mengikuti hukum Hooke.

  Kemiringan garis OA menyatakan besarnya modulus elastisitas E. Diagram regangan untuk baja lunak memiliki titik leleh atas ( upper yield point ), σy dan daerah leleh datar. Secara praktis, letak titik leleh atas ini, A’ tidaklah terlalu berarti sehingga pengaruhnya sering diabaikan. Titik A’ sering juga disebut sebagai titik batas elastis ( elasticity limit ). Sampai batas ini bila gaya tarik dikerjakan pada batang baja maka batang tersebut akan berdeformasi. Selanjutnya bila gaya itu dihilangkan maka batang akan kembali kebentuk semula. Dalam hal ini batang tidak mengalami deformasi permanen.

  Bila beban yang bekerja bertambah, maka akan terjadi pertambahan regangan tanpa adanya pertambahan tegangan. Sifat pada daerah AB inilah yang disebut sebagai keadaan plastis. Lokasi titik B, yaitu titik batas plastis tidaklah pasti tetapi sebagai perkiraan dapat ditentukan yakni terletak pada regangan 0,014.

  Daerah BC merupakan daerah strain hardening, dimana pertambahan regangan akan diikuti dengan sedikit pertambahan tegangan. Disamping itu, hubungan tegangan dengan regangannya tidak lagi bersifat linier. Kemiringan garis setelah titik B ini didefenisikan sebagai Ez. Di titik M, yaitu regangan berkisar antara 20 % dari panjang batang, tegangannya mencapai nilai maksimum yang disebut sebagai tegangan tarik batas ( ultimate tensile strength ). Akhirnya bila beban semakin bertambah besar lagi maka titik C batang akan putus.

  Tegangan leleh adalah tegangan yang terjadi pada saat baja mulai meleleh. Dalam kenyataannya, sulit untuk menentukan besarnya tegangan leleh, sebab perubahan dari elastisitas menjadi plastis seringkali besarnya tidak tetap. Sebagai standar menentukan besarnya tegangan leleh dihitung dengan menarik garis sejajar dengan sudut kemiringan modulus elastisitasnya, dari regangan sebesar 0,2 %.

  Gambar 2. 6 Penentuan Tegangan Leleh Dari titik regangannya 0,2 % ditarik garis sejajar dengan garis OB sehingga memotong grafik tegangan regangan dan memotong sumbu tegangan.

  Tegangan yang diperoleh ini disebut dengan tegangan leleh. Tegangan tegangan leleh dari bermacam macam baja bangunan diperlihatkan pada tabel 2. 2 di bawah ini : Tabel 2. 2 Harga Tegangan Leleh

  Tegangan Leleh Macam Baja

  2

  kg/cm Mpa Bj 34 2100 210 Bj 37 2400 240 Bj 41 2500 250 Bj 44 2800 280 Bj 50 2900 290 Bj 52 3600 360

  Baja memiliki beberapa kelebihan sebagai bahan konstruksi, diantaranya :

  1. Nilai kesatuan yang tinggi per satuan berat

  2. Keseragaman bahan dan komposit bahan yang tidak berubah terhadap waktu

  3. Dengan sedikit perawatan akan didapat masa pakai yang tidak terbatas

  4. Daktalitas yang tinggi

  5. Mudah untuk diadakan pengembangan struktur Di samping itu baja juga mempunyai kekurangan dalam hal :

  1. Kekuatan baja lemah dalam memikul beban tekan

  2. Biaya pengadaan anti api yang besar ( fire proofing cost )

  3. Dibandingkan dengan kekuatannya kemampuan baja melawan tekuk kecil

  4. Nilai kekuatannya akan berkurang, jika dibebani secara berulang / periodik, hal ini biasanya disebut dengan leleh atau fatigue.

  Dengan kemajuan teknologi, perlindungan terhadap karat dan kebakaran pada baja sudah ditemukan, hingga akibat buruk yang mungkin terjadi bisa dikurangi/dihindari.

  2. 3 Analisa Kolom

  Gambar 2. 7 Batang Lurus yang Dibebani Gaya Aksial Sebuah batang lurus dengan panjang L yang dibebani oleh gaya aksial P seperti yang diperhatikan pada gambar 2. 5 uraian gaya gaya yang bekerja pada potongan sejauh x dari tumpuan, diperlihatkan pada gambar 2. 6 dimana N dan Q adalah komponen gaya longitudinal dan transversal pada potongan itu, dan M adalah momen lentur.

  Gambar 2. 8 Potongan Batang Sejauh x dari Tumpuan Pengaruh dari adanya rotasi struktur, persamaan kesetimbangan dari elemen kolom ramping yang terdeformasi diperlihatkan pada gambar 2. 7.

  Gambar 2. 9 Kolom Terdeformasi Untuk deformasi yang kecil, maka dapat diasumsikan bahwa sudut putar β adalah kecil. Dengan demikian sin β dan cos β secara berurutan dapat dianggap β dan l. Persamaan kesetimbangan gaya dapat diperoleh dengan menguraikan masing masing gaya yang bekerja sesuai dengan subu x dan y. Dari uraian gaya pafa sumbu x diperoleh :

  N + ( N + dN ) – Q β + ( Q + dQ ) ( β + dβ ) = 0

  I I

  I N + Q + β = 0

  Dimana :

  I N = dN/dx

  I Q = dQ/dx

  I

  β = dβ /dx

  Dari uraian gaya pada sumbu y diperoleh : Q + ( Q+dQ ) – Nβ – ( N + dN )( β + dβ ) = 0

  I I

  I Nβ + βN + Q = 0

  Uraian Momen : M – ( M + dM ) + Qdx = 0

  I Q = M

  Dimana : M = dM/dx

  Untuk batang yang ramping dapat dianggap bahwa tegangan dan gaya geser melintang sangat kecil. Kita biasanya mengambil asumsi bahwa bentuk kuadratik yang menggambarkan interaksi non linear antara gaya geser yang kecil dan putaran dapat diabaikan. Dari asumsi yang diambil maka tiga persamaan kesetimbangan disederhanakan menjadi bentuk berikut :

  I N = 0

  ( 2. 13 )

  I I

  Q βN = 0 ( 2. 14 )

  Q = 0 ( 2. 15 )

  I Bentuk dari βN tidak terdapat pada persamaan 2. 14 karena telah hilang

  akibat persamaan ( 2. 13 ) dengan mengeliminasi Q dari persamaan ( 2. 15 ) sehingga menghasilkan.

  I N = 0

II II

  M = EIy ( 2. 16 )

  Dimana I adalah momen Inersia dari penampang dan E adalah modulus elastis bahan. Persamaan ( 2. 16 ) disubstitusikan ke dalam persamaan ( 2. 15 ) diperoleh :

  I N = 0

II II

  II

  (EI ) – Ny = 0 Untuk harga EI yang konstan, persamaan menjadi :

  I N = 0

IV II

  EIy – N y = 0 Persamaan ( 2. 14 ) merupakan bentuk kuadrik dalam variabel variabel N dan Y. Oleh karena itu merupakan persamaan diferensial non linier. Dari persamaan ( 2. 13 ) terlibat bahwa N konstan sepanjang X dan dari kondisi batas x=0 dan x=1, kita lihat bahwa N = P. Dengan demikian persamaann ( 2. 14 ) dapat disederhanakan menjadi bentuk lazim dikenal :

IV II

  EIy – Py = 0 ( 2. 17 )

  Atau

  8

  67

67 EI

  ( 2. 18 )

  = +

  8 6% 6%

  Persamaan di atas adalah diferensial dari kolom ramping yang mengalami tekukan. Dari persamaan dapat ditentukan besarnya pada saat struktur akan

  2

  runtuh. Misalnya k = P/EI dan subtitusikan kedalam persamaan sehingga diperoleh :

  8

  67

  67

  • K = 0

  ( 2. 19 )

  8 6% 6%

  Persamaan umum dari persamaan diferensial adalah : Y = A sin kx + B cos kx + Cx + D ( 2. 20 )

  Dimana : A, B, C, D adalah tetapan tertentu yang dapat ditentukan dengan menggunakan syarat syarat batas yaitu kondisi batas ujung ujung batang atau yang disebut dengan boundary condition.

  2. 3. 1 Kolom Euler

  Rumus kolom Euler diturunkan dengan membuat berbagai anggapan sebagai berikut :

  1. Bahan elastis sehingga memenuhi Hukum Hooke

  2. Material homogen sempurna dan isotropis

  3. Batang pada mulanya lurus sempurna, prismatis dan beban terpusat dikerjakan sepanjang sumbu titik berat penampang

  4. Penampang batang tidak terpuntir, elemennya tidak dipengaruhi tekuk setempat dan distorsi lainnya selama melentur

  5. Batang bebas dari tegangan residu

  6. Ujung ujung batang ditumpu sederhana. Ujung bawah ditumpu pada sendi yang tidak dapat berpindah, ujung atas ditumpu pada tumpuan yang dapat berotasi dengan bebas dan bergerak vertical tetapi tidak dapat bergerak horizontal.

  7. Deformasi dari batang cukup kecil sehingga bentuk ( y’ )² dari persamaan kurva y” / (1 + (y’)2)2/3 dapat diabaikan. Dari sini kurva dapat didekati dengan y”.

  Bahwa batang yang ditekan akan mengalami bentuk yang sedikit melengkung seperti pada gambar 2. 10. Jika sumbu koordinat diambil seperti dalam gambar, momen dalam yang terjadi pada penampang sejauh x dari sumbu asal adalah : Mx = EIy”

  ( 2. 21 ) Gambar 2. 10 Kolom Euler Dengan menyamakan momen lentur luar P.y, maka diperoleh persamaan : EIy” + P.y = 0

  ( 2. 22 ) Persamaan ( 2. 21 ) adalah persamaan diferensial linear dengan koefisien konstan dan dapat dirubah menjadi : y” + k².y = 0

  ( 2. 23 ) Dimana :

  9

  k² = ( 2. 24 )

  Penyelesaian umum persamaan ( 2. 22 ) y = A sin kx + B cos kx ( 2. 25 )

  Untuk menentukan besaran konstanta A dan B, maka menggunakan syarat batas : y = 0 dan x = 0 y = 0 dan x = 1 Dengan memasukkan syarat batas pertama ke dalam persamaan ( 2. 25 ) maka diperoleh : B = 0 Sehingga diperoleh : y = A sin kx

  ( 2. 26 ) Dari syarat batas kedua diperoleh : A sin kl = 0

  ( 2. 27 ) Persamaan ( 2. 27 ) dapat dipenuhi oleh tiga keadaan yaitu :

  1. Konstanta A = 0, yaitu tidak ada lendutan ( 2. 28 ) 2. kl = 0, yaitu tidak ada beban luar ( 2. 29 ) 3. kl = nл, yakni syarat terjadi tekuk ( 2. 30 ) Substitusi persamaan ( 2. 30 ) ke dalam persamaan ( 2. 24 ) dan persamaan ( 2. 26 ) diperoleh :

  :

  P = ( 2. 31 )

  ; : %

  Y = A sin ( 2. 32 )

  ;

  Pada beban yang diberikan oleh persamaan ( 2. 31 ) kolom berada dalam keadaan kesetimbangan dalam bentuk yang agak bengkok, dimana bentuk deformasinya diberikan oleh persamaan ( 2. 32 ).

  Ragam (mode) tekuk dasar yaitu lendutan dengan lengkungan tunggal akan diperoleh jika nilai n diambil sama dengan 1, dengan demikian beban kritis Euler untuk kolom adalah : P kr = ( 2. 33 )

  ;

  Dan persamaan lendutan menjadi :

  %

  Y = ( 2. 34 )

  sin ;

  Kelakuan kolom Euler dapat digambarkan secara grafik seperti pada gambar : Gambar 2. 11 Grafik Kolom Euler

  Dari grafik dapat dilihat bahwa sampai beban Euler dicapai, kolom harus tetap lurus. Pada beban Euler ada percabangan kesetimbangan yaitu kolom dapat tetap lurus atau dapat dianggap berubah bentuk dengan amplitude tidak tentu. Kelakuan ini menunjukkan bahwa keadaan kesetimbangan pada saat beban Euler merupakan transisi dari kesetimbangan stabil dan tidak stabil.

  2. 3. 2 Rumus Kolom Euler untuk Berbagai Pe rletakan 2. 3. 2. 1 Kolom dengan Satu Ujung Terjepit dan yang lainnya Bebas

  Tinjau suatu sumbu sumbu koordinat seperti ditunjukkan pada gambar, dimana kolom dalam kedudukan yang agak melengkung, menghasilkan momen lentur pada suatu penampang melintang sebesar : M = P ( δ – y )

  ( 2. 35 )

  6 7

  Dan persamaan diferensial M = EI menjadi :

  6%

  6 7

  EI = P (δ – y ) ( 2. 36 )

  6%

  Karena ujung atas kolom adalah bebas, maka jelaslah bahwa tekuk pada kolom akan terjadi pada bidang dengan kekakuan lengkungan terkecil, yang dianggap merupakan bidang simetris. Nilai EI yang terkecil ini digunakan dalam persamaan ( 2. 36 ) di atas dan dengan memakai notasi sebelumnya yaitu :

  9

  k² = Kita dapat menuliskan persamaan dalam bentuk :

  6 7

  • k²y = k² δ

  6%

  Penyelesaian umum dari persamaan ini adalah : Y = A cos kx + B sin kx + δ Dimana A dan B adalah konstanta integrasi, yang ditentukan dari syarat syarat ujung jepit kolom yaitu :

  67 Y = = 0 pada x = 0 6%

  Syarat syarat ini dipenuhi jika : A = δ B = 0 Dan persamaan b menjadi : Y = δ ( 1 – cos kx )

  ( 2. 37 ) Sedang syarat pada ujung bebas kolom menghendaki bahwa Y = δ pada x = 1 Yang memenuhi jika δ cos kl = 0 Persamaan c menghendaki bahwa salah satu δ dan cos kl harus nol. Bila δ = 0, maka lengkungan tidak ada. Bila cos kl = 0, kita akan memperoleh hubungan Kl = ( 2n – 1 ) /2

  ( 2. 38 ) Dimana n = 1, 2, 3,…… persamaan ini untuk menentukan nilai nilai k sehubungan dengan bentuk tekukan yang terjadi.

  Nilai kl terkecil yang memenuhi persamaan ( 2. 38 ) diperoleh dengan mengambil n = 1, memberikan nilai beban kritis terkecil yaitu :

9 Kl = l =

  Atau P kr =

  ( 2. 39 )

  &;

  Besaran kx dalam persamaan ( 2. 37 ) untuk kasus ini berubah ubah dari 0 s/d /2, dan bentuk lengkungan seperti ditunjukkan pada gambar di atas.

  Dengan mensubtitusikan n = 2, 3, . . . . ke dalam persamaan ( 2. 38 ), kita peroleh hubungannya dengan nilai nilai beban kritis sebagai berikut :

  P kr = P kr =

  &; &;

  Besaran kx menurut persamaan ( 2. 37 ) dalam hal ini berubah dari 0 s/d 3/2, dari 0 s/d 5/2, . . . , dan hubungannya dengan kurva lengkungan pada gambar ( 2. 37 ) dan gambar ( 2. 38 ). Untuk bentuk kurva lengkungan pada gambar ( 2. 37 ) diperlukan suatu gaya sebesar sembilan kali beban kritis terkecil, dan keadaan pada gambar ( 2. 38 ), diperlukan gaya sebesar dua puluh lima kali beban kritis terkecil.

  Bentuk bentuk tekukan seperti itu hanya dapat terjadi pada batang yang sangat ramping, dan dengan memasang penyokong pada titik peralihan untuk mencegah lengkungan lateral. Sebaliknya bentuk tekukan ini adalah tidak stabil, dan mempunyai arti praktis yang kecil, sebab struktur telah mengalami suatu lengkungan yang besar pada saat beban mendekati nilai nilai yang diberikan oleh persamaan ( 2. 39 ).

  Gambar 2. 12 Kurva Lendutan Tekuk Sinusoidal dengan Satu Ujung Terjepit dan yang Lainnya Bebas

  2. 3. 2. 2 Kolom dengan Kedua Ujungnya berupa Sendi

  Mint – P.y = 0 ( 2. 40 )

  Dari hubungan momen dengan kelengkungan didapat :

  6 7

  Mint = EI ( 2. 41 )

  6%

  EIy” – P.y = 0 ( 2. 42 )

  EIy” + P.y = 0

  9

  9

  2

  y” + 0 ; dimisalkan @

  ? =

  2

  y” + k y = 0 ( 2. 43 )

  Jawaban umum persamaan diferensial di atas : y = A sin kx + B cos kx ( 2. 44 )

  Dari syarat batas yang ada, y = 0 pada saat x = 0 dan x = L Untuk x = 0 ; y = B = 0 Untuk x = L ; y = A sin kl = 0 Karena A ≠ 0 maka sin kl = 0 kl = nπ

  2 :

  = ( 2. 45 )

  @ Untuk n = 1 P = Dimana I = inersia pada sumbu lemahnya Pada suatu kasus kolom dengan kedua ujungnya berupa sendi (gambar 2.

  13), tampak dari kesimetrisannya bahwa tiap setengah panjang batang adalah mirip dengan batang pada gambar 2.13. Karena itu beban kritis pada kasus ini diperoleh dengan mensubtitusikan l/2 untuk besaran l dalam persamaan, yang memberikan P kr = =

  ( 2. 46 )

  A ; &

  Kasus suatu batang dengan kedua ujung berupa sendi, mungkin dianggap lebih sering dalam prakteknya dari yang lain. Kasus ini disebut “kasus dasar”

  (fundamental case) dari tekuk batang yang prismatis.

  Gambar 2. 13 Kolom dengan Kedua Ujungnya berupa Sendi

  2. 3. 2. 3 Kolom dengan Kedua Ujungnya Terjepit

  Bila kedua ujung kolom berupa jepitan (gambar 2. 12), maka ada momen momen reaksi yang mencegah ujung ujung kolom dari perputaran selama tekukan terjadi. Momen momen ujung dan gaya gaya tekan aksial adalah ekivalen dengan gaya gaya P yang bekerja eksentris seperti ditunjukkan pada gambar. Titik titik peralihan ditempatkan dimana garis kerja gaya P memotong kurva lengkungan, sebab pada titik titik ini momen lentur adalah nol.

  Titik titik peralihan dan titik tengah bentang membagi batang atas empat bagian yang sama. Oleh karena itu, beban kritis dalam kasus ini diperoleh dengan mensubtitusikan l/4 untuk besaran l, yaitu :

  6 7

  EI + Py = Mo ( 2. 47 )

  6% 6 7

2 BC

  • k y =

  ( 2. 48 )

  6%

  9

  dimana, k² = Penyelesaian dari persamaan ini adalah :

  BC

  y = A sin kx + B cos kx + ( 2. 49 )

  9

67 Dari syarat batas :

  = 0

  6%

  y = 0 pada x = 0 y = 0 pada x = 0 didapat ;

  BC

  B = , dan A = 0

9 Sehingga :

  y = ( 2. 50 )

  DE (1−cos@F) cos kl = 1.0 ( 2. 51 ) kl = 2π

  Maka didapat : P kr =

  ( 2. 52 )

  &;

  Gambar 2. 14 Kolom dengan Kedua Ujungnya Terjepit

  2. 3. 2. 4 Kolom dengan Kedua Ujung Terjepit tetapi Salah Satu dapat Bergeser Arah Lateral

  Pada gambar 2. 15 tampak bahwa kolom bebas gerak arah lateral pada ujung atas tetapi dikendalikan sedemikian rupa, sehingga garis singgung pada kurva elastis tetap tegak. Dengan adanya titik peralihan pada pertengahan bentang (gambar 2. 13b.), beban kritis didapatkan dengan mensubtitusikan l/2 untuk l dalam persamaan ( 2. 52 ), dan dengan demikian dalam kasus ini juga berlaku rumus ( 2. 46 ).

  Gambar 2. 15 Kolom dengan Kedua Ujung Terjepit tetapi Salah Satu dapat Bergeser arah Lateral

  2. 3. 2. 5 Kolom dengan Ujung-ujung Terjepit dan Sendi

  Kita tinjau suatu penampang mn sejauh x dari sendi, dan dengan lengkungan sebesar y (gambar), memberikan momen lentur sebesar : Mx = P.y + H0.x

  ( 2. 53 ) Dengan demikian persamaan menjadi :

  6 7

  EI = P.y – Ho.x ( 2. 54 )

  6% Gambar 2. 16 Kolom dengan ujung ujung Terjepit dan Sendi Dan dengan bantuan notasi k² = P/EI, persamaan b dapat dituliskan dalam bentuk:

  6 7 HC

  • k²y =

  ( 2. 55 )

  − F 6%

  Penyelesaian umum dari persamaan ini adalah :

  HC

  Y = A cos kx + B sin kx ( 2. 56 )

  F

9 Dimana A dan B adalah konstanta integrasi, yang ditentukan dari syarat syarat

  ujung kolom yaitu : Y = 0 pada x = 0 dan x = l dy/dx = 0 pada x = l Dari syarat ujung y = 0 pada x = 0 diperoleh A = 0. Untuk y = 0 pada x = l memerlukan :

  HC ;

  B = ( 2. 57 )

9 IJK L;

  Sedang untuk dy/dx = 0 pada x = l memberikan : Tg kl =kl

  ( 2. 58 ) Untuk memecahkan persamaan dipakai metoda grafis. Kurva kurva pada gambar menyatakan tg kl sebagai fungsi kl. Kurva kurva ini menyinggung garis tegak kl =π /2, 3π/2,. . . . pada titik jauh tak terhingga ( secara asimtotis ).

  Gambar 2. 17 Kurva kl Akar akar persamaan ditunjukkan oleh titik perpotongan kurva dengan garis lurus y = kl. Akar terkecil adalah absis dari koordinat titik A yaitu sebesar : Kl = 4,493 radian Yang memberikan nilai beban kritis sebesar

  ,$+

  P kr = ( 2. 59 )

  = ; ( ,M++$)

  Dalam setiap kasus yang telah diterangkan diatas, dianggap bahwa kolom bebas tertekuk dalam suatu arah, maka jelaslah bahwa besaran EI menyatakan kekakuan lengkung terkecil. Jika kolom dikekang sedemikian rupa, sehingga tekukan hanya mungkin dalam satu bidang utama saja, maka EI menyatakan kekakuan lengkung dalam bidang itu.

  Dalam pembicaraan sebelumnya juga dianggap bahwa batang sangat langsing, sehingga tegangan tekan terbesar yang terjadi selama tekukan masih di bawah batas proporsional bahan. Hanya dibawah persyaratan persyaratan inilah rumus rumus beban kritis diatas dapat berlaku. Untuk menentukan batas pemakaian rumus rumus ini, mari kita tinjau kasus dasar seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan membagi beban kritis dari pers. Dengan luas penampang melintang A, dan mengambil r =

  ( 2. 60 ) Dimana r menyatakan jari jari putaran, besar tegangan tekan kritis adalah

  9

  σ kr ( 2. 61 )

  = = A Tegangan ini hanya tergantung pada besaran E dan rasio kelangsingan l/r.

  Sebagai contoh, pada suatu struktur baja, batas proporsional 2100 kg/cm² dan E =

  6 2,1 x 10 kg/cm², maka didapat nilai l/r terkecil dari pers. ( 2. 61 ) sebesar 100.

  Karenanya, beban kritis pada kolom dari bahan ini, yang bersendi pada kedua ujungnya, dapat dihitung dengan pers. ( 2. 46 ), bila diinginkan rasio l/r lebih besar dari 100. Jika l/r lebih kecil dari 100, tegangan tekan sudah mencapai batas proporsional sebelum terjadi tekukan, sehingga pers ( 2. 46 ) tidak berlaku.

  Persamaan ( 2. 53 ) dapat dinyatakan secara grafis oleh kurva ACB pada gambar 2. 16, dimana tegangan kritis digambarkan sebagai fungsi l/r. Kurva mendekati sumbu mendatar secara asimtot, dan tegangan kritis mendekati nol dengan bertambahnya rasio kelangsingan. Kurva juga mendekati sumbu tegak secara asimtot tetapi yang berlaku hanya sepanjang tegangan σcr yang masih dibawah batas proporsional bahan. Kurva pada gambar digambarkan untuk struktur baja seperti yang disebut diatas, dan titik C berhubungan dengan batas proportiona sebesar 2100 kg/cm². jadi hanya bagian BC dari kurva yang memenuhi.

  Sekarang bandingkan kasus kasus lain yang dinyatakan pada gambarm 2. 16, analog didapat rumus tegangan tegangan kritis sebagai berikut : σ kr = σ kr = σ kr =

  A A N,OPPA

  Gambar 2. 18 Kurva ACB Tampak bahwa ketiga persamaan analog dengan persamaan ( 2. 62 ), dimana panjang l sebenarnya digantikan dengan panjang reduksi L. Dengan demikian dapat dituliskan secara umum rumus tegangan sebagai berikut : σ kr =

  ( 2. 62 )

  Q Dimana besaran L = 2l, l/2, atau 0,6991.

  2. 4 Panjang Efektif

  Kolom dengan kekangan yang besar terhadap rotasi dan translasi ujung ujungnya (contohnya tumpuan jepit) akan mampu menahan beban yang lebih besar dibandingkan dengan kolom yang mengalami rotasi serta translasi pada bagian tumpuan ujungnya (contohnya adalah tumpuan sendi). Selain kondisi tumpuan ujung, besar beban yang dapat diterima oleh suatu komponen struktur tekan juga tergantung dari panjang efektifnya. Semakin kecil panjang efektif suatu komponen struktur tekan, maka semakin kecil pula risikonya terhadap masalah tekuk.

  Sejauh ini pembahasan mengenai kekuatan kolom mengasumsikan sendi dimana tidak ada kekangan rotasional momen. Kekangan momen nol pada ujung merupakan situasi paling lemah untuk batang tekan yang salah satu ujungnya tidak dapat bergerak transversal relatif terhadap ujung yang lainnya. Untuk kolom berujung sendi semacam ini, panjang ekivalen ujung sendi kL merupakan panjang L sebenarnya, dengan demikian K = 1,0 seperti pada tabel 2. 3. Panjang L ekivalen berujung sendi disebut panjang efektif.

  Untuk kebanyakan situasi nyata, kekangan momen pada ujung ujung yang ditahan seperti pada tabel 2. 3. Dimana panjang efektif tereduksi dalam banyak situasi, sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin, untuk menilai secara tepat derajat kekangan momen yang disumbangkan oleh batang batang berdekatan yang mengikat ke kolom, oleh pondasi setempat dan lapisan tanah dibawahnya dan interaksi penuh semua batang dalam struktur rangka baja.

  Baik apakah derajat ujung ditentukan dengan tepat atau tidak,desainer harus memahami konsep tentang braced frame (goyangan dicegah dengan sabuk penyokong) dan unbraced frame (tanpa sabuk penyokong, goyangan tidak dicegah).

  Panjang efektif suatu kolom secara sederhana dapat didefinisikan sebagai jarak di antara dua titik pada kolom tersebut yang mempunyai momen sama dengan nol, atau didefinisikan pula sebagai jarak di antara dua titik belok dari kelengkungan kolom. Dalam perhitungan kelangsingan komponen struktur tekan (λ = L/i), panjang komponen struktur yang digunakan harus dikalikan dengan suatu faktor panjang tekuk k untuk memperoleh panjang efektif dari kolom tersebut. Besarnya faktor panjang efektif sangat tergantung dari kondisi perletakan pada ujung ujung komponen struktur tersebut. Prosedur penentuan nilai k dilakukan dengan analisa tekuk terhadap suatu kolom.

  Panjang efektif batang kolom pada suatu portal, bergantung pada jenis portal yang ditinjau, yaitu portal bergoyang dan portal tidak bergoyang. Portal tak bergoyang (yang disokong) adalah portal yang kestabilan lateralnya diberikan oleh penyambung yang memadai ke penopang diagonal ke dinding geser, ke struktur di dekatnya yang memiliki stabilitas lateral yang memadai, atau ke plat lantai atau penutup atap yang diikat secara horizontal terhadap dinding atau dengan system penopang yang sejajar dengan bidang portal. Atau dengan kaya lain portal tak bergoyang didefenisikan sebagai portal yang tekuk bergoyangnya dicegah oleh elemen penopang yang tidak termasuk rangka struktural itu sendiri. Faktor K untuk portal bergoyang adalah 0<K<1.

  Sedangkan portal tidak bergoyang (yang tidak disokong) adalah portal yang kestabilan lateralnya bergantung pada kekakuan lentur balok dan kolom yang disambung secara kaku. Faktor K untuk portal bergoyang adalah K>1.

  untuk kolom ideal dengan perletakan yang berbeda dapat

  Faktor panjang efektif (K) dilihat pada tabel 1. 1.

  2. 5 Metode Beda Hingga 2. 5. 1 Pendahuluan

  Metode beda hingga adalah teknik numerik untuk mendapatkan solusi perkiraan untuk persamaan diferensial. Dalam metode persamaan diferensial digantikan oleh seperangkat setara persamaan aljabar yang biasanya lebih mudah untuk memecahkan daripada persamaan diferensial. Dasar dari teknik beda hingga adalah bahwa turunan dari suatu fungsi pada suatu titik dapat didekati dengan ekspresi aljabar yang terdiri dari nilai fungsi pada saat itu dan di beberapa titik di dekatnya. Mengingat fakta ini adalah mungkin untuk mengganti derivatif dalam persamaan diferensial dengan ekspresi aljabar dan dengan demikian mengubah persamaan diferensial menjadi persamaan aljabar.

  Sebagai aturan, persamaan diferensial menggambarkan perilaku sistem yang berkelanjutan, sedangkan persamaan aljabar menggambarkan perilaku sistem parameter yang disamakan. Penggantian fungsi kontinu dalam persamaan diferensial dengan ekspresi aljabar yang terdiri dari nilai fungsi yang di beberapa titik diskrit demikian setara dengan mengganti sistem kontinyu dengan satu terdiri dari sejumlah diskrit poin massa. Metode beda hingga karena itu mirip dengan metode energi yang baik menyederhanakan solusi dari masalah dengan mengurangi jumlah derajat kebebasan. Metode energi ini dilakukan dengan mendekati perilaku sistem, yaitu, dengan asumsi bentuk dibelokkan, sedangkan teknik beda hingga menyederhanakan sistem itu sendiri.

  Secara umum, jika sistem kontinu diganti dengan n titik massa diskrit, fungsi yang tidak diketahui diganti dengan variabel n aljabar, dan persamaan diferensial diganti dengan n simultan persamaan aljabar dalam variabel tersebut. Karena turunan dari fungsi yang tidak diketahui di titik didekati oleh ekspresi yang terdiri dari nilai fungsi pada saat itu dan di beberapa titik tetangga, semakin dekat titik titik yang satu dengan yang lain yang lebih baik adalah perjanjian antara turunan dan aljabar pendekatan, dan lebih akurat akan menjadi solusi untuk masalah ini. Namun, karena jumlah poin meningkatkan begitu juga dengan jumlah persamaan simultan yang harus dipecahkan.

Dokumen yang terkait

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Hubungan Kepatuhan Diet dengan Kualitas Hidup pada Penderita Diabetes Melitus di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 0 8

CHAPTER II REVIEW OF LITERATURE 2.2 Review of Study 2.2.1 Literary sociology

0 0 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencabutan Premolar dan Penutupan Ruang Pada perawatan ortodonti dengan tujuan untuk mengurangi proklinasi insisivus maksila, crowding anterior yang berat, bimaksiler protrusi dan mendapatkan profil wajah yang estetik, rencana p

0 0 20

BAB II - Tingkat kepuasan Perawatan Ortodonti Pada Pasien RSGMP FKG USU Tahun 2012 – 2013 Berdasarkan Index PIDAQ

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Ginjal Kronik 2.1.1 Definisi Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra, 2009) - Hubungan Antara 7-Point Subjective Global Assessment Dengan Phase Angle Dan Kualitas Hidup Pada Penyakit Ginjal Kronik Dengan Hemodialisis Reguler

0 0 16

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Skizofrenia - Hubungan antara beban perawatan dengan expressed emotion pada keluarga pasien skizofrenik.

0 1 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kanker Serviks - Analisis Pengetahuan Dan Sikap Ibu Rumah Tangga Terhadap Pelaksanaan Pap’smear Untuk Deteksi Dini Kanker Serviks Di Puskesmas Petisah Medan Tahun 2013

0 0 23

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Pengetahuan Dan Sikap Ibu Rumah Tangga Terhadap Pelaksanaan Pap’smear Untuk Deteksi Dini Kanker Serviks Di Puskesmas Petisah Medan Tahun 2013

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sirosis Hati 2.1.1 Definisi - Korelasi Antara Skor Child-Pugh Dengan Gastropati Hipertensi Portal Pada Penderita Sirosis Hati

0 0 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring - Ekspresi Cyclooxygenase-2 (COX-2) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring Dengan Pemberian Kemoradioterapi Konkuren

0 0 17