BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kanker Serviks - Analisis Pengetahuan Dan Sikap Ibu Rumah Tangga Terhadap Pelaksanaan Pap’smear Untuk Deteksi Dini Kanker Serviks Di Puskesmas Petisah Medan Tahun 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kanker Serviks

  Kanker serviks atau kanker leher rahim merupakan salah satu penyakit keganasan di bidang kebidanan dan penyakit kandungan yang masih menempati posisi tertinggi sebagai penyakit kanker yang menyerang kaum perempuan (Manuaba, 2008). Kanker serviks adalah kanker leher rahim / kanker mulut rahim yang di sebabkan oleh virus Human Papiloma Virus (HPV). Hanya beberapa saja dari ratusan varian HPV yang dapat menyebabkan kanker. Penularan virus HPV yang dapat menyebabkan Kanker leher rahim ini dapat menular melalui seorang penderita kepada orang lain dan menginfeksi orang tersebut (Manuaba, 2008).

  Kanker merupakan gangguan pada gen atau proses pertumbuhan sel yang tidak terkendali yang dapat menyusup ke jaringan tubuh normal sehingga memengaruhi jaringan tubuh sehingga memengaruhi fungsi tubuh (Diananda, 2008). kanker serviks merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang seggama (Suharja, 2000 ).

  Kanker serviks adalah suatu peristiwa tumbuhnya sel-sel tidak normal pada leher rahim. kanker serviks merupakan kanker yang tersering dijumpai di Indonesia baik diantara kanker pada perempuan dan pada semua jenis kanker (Tapan, 2005).

  Penularan kanker serviks dapat melalui kontak langsung dan karena hubungan seks. Gejala yang mungkin timbul (umumnya pada stadium lanjut) adalah perdarahan di luar masa haid, jumlah darah haid tidak normal, perdarahan pada masa menopause (setelah berhenti haid), keputihan yang bercampur darah atau nanah serta berbau, perdarahan sesudah senggama, rasa nyeri dan sakit di panggul, gangguan buang air kecil sampai tidak bisa buang air kecil (Prawirohardjo, 2005).

2.2 Etiologi Kanker Serviks

  Faktor etiologi kanker serviks berasal dari kelamin maka beberapa faktor yang ditularkan melalui hubungan seksual dapat terlibat dalam proses inisiasi neoplastik.

  Ada tiga faktor yang perlu mendapat perhatian yaitu: smegma, infeksi virus dan

  

spermatozoa . Smegma adalah sel deskuamasi dan sekresi sebaseus dibawah

  preputium pada pria yang tidak disunat, dahulu dianggap sebagai faktor etiologi kanker serviks ternyata tidak terbukti secara laboratorium maupun epidemiologik (Depkes RI, 2007).

  Human Papiloma Virus (HPV) , memegang peranan sebagai faktor pencetus

  penyakit ini. Virus ini menimbulkan proliferasi pada permukaan epidermal dan mukosa. Infeksi HPV sering terdapat pada wanita yang aktif secara seksual. Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada sebagian besar pengidap kanker serviks ditemukan virus HPV tersebut (Depkes RI, 2007).

  Spermatozoa sel skuamosa metaplastik dapat memfagosit sisa-sisa sperma dan menghubungkan dengan inti sel. Permukaan sel stroma dan bagian subepitel terdiri dari jalinan DNA yang berhubungan dengan inti sel sehingga dapat mengontrol sintesa protein. DNA permukaan dipengaruhi antara lain oleh protein dasar yang terdapat pada kepala sperma dan permukaan virus (Depkes RI, 2007).

2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kanker Serviks

  Menurut Depkes RI (2007), selain faktor etiologi ada faktor lain yang merupakan faktor yang memengaruhi terjadinya kanker serviks adalah :

2.3.1 Umur

  Kanker serviks sering ditemukan pada wanita umur 30-60 tahun dengan insiden terbanyak pada umu 40-50 tahun, dan akan menurun drastis sesudah berumur 60 tahun. Penderita kanker serviks rata-rata dijumpai pada usia 45 tahun dan dalam 1000 per 100.000 dari kanker intra epitelia dijumpai pada usia 30-45 tahun (Aziz, 2000).

  Periode laten dan fase pra invasif untuk invasif memakan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita berusia <35 tahun menunjukkan kanker serviks yang invasif pada saat didiagnosa (Aziz, 2002). Umumnya insiden kanker serviks sangat rendah di bawah umur 20 tahun dan sesudahnya menaik dengan cepat dan menetap pada usia 50 tahun (Norwitz. 2008).

  Menurut Riono (1999) kanker serviks biasanya terjadi pada wanita yang berumur tetapi bukti statistik menunjukkan bahwa kanker serviks dapat juga menyerang wanita yang berumur antara 20-30 tahun sekitar 50%.

  2.3.2 Pendidikan

  Menurut Andrijono (2010) faktor yang memengaruhi terjadinya kanker serviks berkaitan dengan pendidikan yang rendah, karena tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan tidak mengetahui atau tidak mampu menghindarkan perilaku yang berisiko menyebabkan kanker serviks. Penelitian Surbakti (2004) menemukan pendidikan mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian kanker serviks OR = 2,012 (95% CI=2,240-18,234), dengan kata lain yang berpendidikan rendah merupakan faktor risiko yang memengaruhi terjadinya kanker serviks.

  2.3.3 Pekerjaan

  Menurut Hidayat (2001) terdapat hubungan antara kanker serviks dengan pekerjaan, dimana wanita pekerja kasar seperti buruh, petani memperlihatkan 4 kali lebih mungkin terkena kanker serviks dibanding wanita pekerja ringan atau bekerja di kantor. Dua kejadian yang terpisah memperlihatkan adanya hubungan antara kanker serviks dengan pekerjaan. Para istri pekerja kasar 4 kali lebih mungkin terkena kanker serviks dibandingkan dengan para istri pekerja kantor atau pekerja ringan, kebanyakan dari kelompok yang pertama ini dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok sosial ekonomi rendah, mungkin standar kebersihan yang tidak baik pada umumnya faktor sosial ekonomi rendah cenderung memulai aktivitas seksual pada usia lebih muda.

  Wanita dengan sosial ekonomi tinggi dengan wanita dari masyarakat urban sebagai kelompok risiko rendah, dan wanita dengan sosial ekonomi yang rendah dengan wanita dari masyarakat rural sebagai wanita yang berisiko tinggi terhadap kanker serviks, biasanya dikaitkan dengan hygiene, sanitasi dan pemeliharaan kesehatan masih kurang. Pendidikan rendah, kawin usia muda, jumlah anak yang tinggi, pekerjaan dan penghasilan tidak tetap, serta gizi yang kurang akan memudahkan terjadinya infeksi yang menyebabkan daya imunitas tubuh menurun sehingga menimbulkan risiko terjadinya kanker serviks (Hidayat 2001).

2.3.4 Deteksi Dini

  Di beberapa negara maju yang telah cukup lama melakukan program penyaringan (skrining) melalui Pap’smear. Di negara maju kesadaran untuk melakukan Pap’smear sangat tinggi. Di Amerika Pap’smear sudah harus dimulai 3 tahun setelah seseorang melakukan hubungan seksual. Wanita berusia < 30 tahun harus melakukan skrining sitologi serviks setiap tahun. Wanita berusia

  ≥ 30 tahun telah memperoleh hasil Pap’smear negatif 3 kali berturut-turut dan tidak memiliki risiko tinggi dapat memperpanjang interval skrining menjadi setiap 2-3 tahun. Skrining dapat dihentikan pada usia 70 tahun pada wanita dengan risiko rendah. Di Inggris skrining harus dimulai pada usia 25 tahun. Intervalnya adalah setiap 3 tahun bagi wanita berusia 25-49 tahun. Skrining dapat dihentikan pada usia 64 tahun jika 3 apusan menunjukkan hasil normal (Tara, 2001).

  Di Indonesia, terjadi peningkatan kejadian kanker serviks dalam jangka waktu 10 tahun terlihat bahwa peringkat 12 menjadi peringkat 6, setiap tahun diperkirakan terdapat 190.000 penderita baru dan 1/5 akan meninggal akibat penyakit kanker . Namun angka kematian akibat kanker ini bisa dikurangi 3-35% bila dilakukan tindakan preventif, skrining dan deteksi dini. Misalnya dengan melakukan Pap’smear bagi mereka yang telah aktif secara seksual dapat menurunkan angka kematian (Tara, 2001).

2.3.5 Usia Pertama Kali Melakukan Hubungan Seksual

  Perilaku seksual dari studi epidemiologi kanker serviks skuamosa berhubungan kuat dengan perilaku seksual seperti multiple mitra seks, dan usia melakukan hubungan seks pertama. Risiko meningkat lebih dari 10 x mitra seks 6 atau lebih atau hubunagan seks pertama dibawah umur 15 tahun (Aziz, 2002).

  Umur pertama kali berhubungan seks merupakan salah satu faktor yang cukup penting. Makin muda usia perempuan melakukan hubungan seksual semakin besar risiko yang harus ditanggungnya, karena terjadinya kanker serviks dengan masalah laten kanker serviks memerlukan waktu 30 tahun sejak melakukan hubungan seksual pertama, sehingga hubungan seksual pertama dianggap awal dari mula proses munculnya kanker serviks pada wanita. Menurut Aziz (2002) wanita menikah di bawah usia 16 tahun biasanya 10-12 kali lebih besar kemungkinan terjadi kanker serviks daripada mereka yang menikah setelah berusia 20 tahun ke atas. Pada usia tersebut kondisi rahim seorang remaja putri sangat sensitif. Serviks remaja lebih rentan terhadap stimulus karsinogenik karena terdapat proses metaplasia skuamosa yang aktif, yang terjadi di dalam zona transformasi selama periode perkembangan.

  Metaplasia skuamosa ini biasanya merupakan suatu proses fisiologi tetapi di bawah

  pengaruh karsinogen, perubahan sel dapat terjadi sehingga mengakibatkan suatu zona transformasi yang tidak patologik. Perubahan yang tidak khas ini menginisiasi suatu proses yang disebut neoplasmasia serviks (Cervix Intraepithel Neoplasma = CIN) yang merupakan fase prainvasif dari kanker serviks.

  2.3.6 Paritas Kanker serviks dijumpai pada wanita yang sering partus atau melahirkan.

  Kategori partus sering belum ada keseragaman akan tetapi menurut beberapa pakar berkisar 3-5 kali melahirkan. kanker serviks banyak ditemukan pada paritas tinggi tetapi tidak jelas bagaimana hubungan jumlah persalinan dengan kejadian kanker serviks, karena wanita yang tidak melahirkan dapat juga terjadi kanker serviks (Tambunan, 1996).

  2.3.7 Ganti Pasangan

  Telaah pada berbagai penelitian epidemiologi kanker serviks berhubungan kuat dengan perilaku seksual seperti multi mitra seks, dan usia saat melakukan hubungan seks pertama. Risiko meningkat lebih dari 10 x bila bermitra seks 6 atau lebih. Juga risiko meningkat bila berhubungan dengan multipel mitra seks atau mengidap

  kondiloma akuminata (Aziz, 2000).

  2.3.8 Infeksi

  Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi virus Human Papiloma Virus

  

(HPV) lebih dari 90 kanker serviks jenis skuamosa mengandung DNA Virus HPV

  dan 50% kanker serviks berhubungan dengan HPV tipe 16. Infeksi virus HPV telah terbukti menjadi penyebab lesi prakanker, kondiloma akuminata, dan kanker (Aziz, 2000).

2.3.9 Kontrasepsi

  Pemakaian kontrasepsi oral dalam waktu lama lebih dari 4 atau 5 tahun dapat meningkatkan risiko terkena kanker serviks 1,5-2,5 kali. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kontrasepsi oral menyebabkan wanita sensitif terhadap HPV yang dapat meyebabkan adanya peradangan pada genitalia sehingga berisiko untuk terjadi kanker serviks. Pil kontrasepsi oral diduga akan menyebabkan defisiensi folat yang mengurangi metabolisme mutagen sedangkan estrogen kemungkinan menjadi salah satu kofaktor yang membuat replikasi DNA HPV (Hidayat, 2001).

2.4 Deteksi Dini Kanker Serviks dengan Metode Pap’smear

  Pap’smear adalah suatu metode pemeriksaan sel-sel yang diambil dari leher

  rahim dan kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk melihat perubahan- perubahan yang terjadi pada sel (Riano, 2006). Pap’smear sering juga disebut pap test dan dalam sitologi ginekologi Pap’smear adalah ilmu yang mempelajari sel-sel yang lepas atau deskuamasi dari alat kandungan wanita, meliputi sel-sel yang lepas dari vagina, serviks, endoservik, dan endometrium (Depkes RI, 2007).

  Pap’smear berasal dari kata Papanicolaou, yaitu seorang ahli dokter Yunani

  bernama George N. Papanicolaou, yang merancang metode mewarnai pulasan sampel sel-sel untuk diperiksa. Metode tes Pap’smear dirancang sekitar tahun 1943. Dasar pemeriksaan ini adalah mempelajari sel-sel yang terlepas dari selaput lendir leher rahim. Pap’smear mudah dilakukan dan tidak menimbulkan rasa sakit (Depkes RI, 2007).

  a. Klasifikasi Pemeriksaan Pap’smear

  Menurut Price (2006) dan Depkes RI (2007) pemeriksaan cytologis dari smear sel-sel yang diambil dari serviks, untuk melihat perubahan-perubahan sel yang mengindikasikan terjadinya inflamasi, displasia atau kanker. Klasifikasi pemeriksaan

  Pap’smear adalah :

  a. Atypical Squamous Cell of Underterminet Significance (ASC-US) yaitu sel

  

skuamosa atipikal yang tidak dapat ditentukan secara signifikan. Sel skuamosa

adalah datar, tipis yang membentuk permukaan serviks.

  b. Low-grade Squamous Intraephitelial Lesion (LSIL), yaitu tingkat rendah berarti perubahan dini dalam ukuran dan bentuk sel. Lesi mengacu pada daerah jaringan abnormal, intaepitel berarti sel abnormal hanya terdapat pada permukaan lapisan sel-sel.

  c. High-grade Squamosa Intraepithelial (HSIL) berarti bahwa terdapat perubahan yang jelas dalam ukuran dan bentuk abnormal sel-sel (prakanker) yang terlihat berbeda dengan sel-sel normal.

  b. Manfaat Pap’smear

  Menurut Depkes RI (2007) Pap’smear dilakukan untuk mendeteksi dini kanker serviks dan sebagai uji penapisan untuk mendeteksi perubahan neoplastik.

  Pulasan yang abnormal dapat dilakukan biopsy untuk mendapatkan jaringan untuk pemeriksaan sitologi. Menurut, manfaat dari pemeriksaan Pap’smear adalah untuk mendeteksi dini tentang adanya radang pada rahim dan tingkat radangnya, adanya kelainan degeneratif pada rahim, ada/tidaknya tanda-tanda keganasan (kanker) pada rahim seperti : (a) mengetahui penyebab radang, (b) untuk menyelidiki infeksi-infeksi tertentu dan penyakit yang disebarkan secara seksual, (c) untuk menentukan penanganan dan pengobatan.

c. Bahan Pemeriksaan Sitologi Pap’smear

  Bahan pemeriksaan terdiri atas sekret vagina, sekret servikal (eksoserviks), sekret endo servikal, sekret endometrial, sekret fornik posterior. Tidak boleh melakukan Pap’smear pada saat menstruasi karena sel-sel darah merah mengaburkan sel-sel epitel pada pemeriksaan mikroskop (Depkes RI, 2007).

  Tingkat keberhasilan Pap’smear dalam mendeteksi dini kanker rahim yaitu 65-95 %. Pap’smear hanya bisa dilakukan oleh ahli patologi atau si-toteknisi yang mampu melihat sel-sel kanker lewat mikroskop setelah objek glass berisi sel- sel epitel leher rehim dikirim ke laboratorium oleh yang memeriksa baik dokter, bidan maupun tenaga yang sudah terlatih (Depkes RI, 2007).

  Pap’smear dapat dilakukan pada WUS yang sudah menikah atau yang sudah

  melakukan senggama. Sasarannya ditujukan kepada WUS dan wanita dengan faktor risiko. Pap’smear dilakukan sekali setahun. Bila tiga kali hasil pemeriksaan normal, pemeriksaan dapat dijarangkan, misalnya setiap dua tahun. Pada perempuan kelompok risiko tinggi, pemeriksaan harus dilakukan sekali setahun atau sesuai petunjuk dokter. Pap’smear dapat dilakukan setiap saat, kecuali pada masa haid. Dua hari sebelum pemeriksaan Pap’smear sebaiknya tidak menggunakan obat-obatan yang dimasukan ke dalam vagina serta diketahui oleh suami (Depkes RI, 2007).

  Waktu yang diperlukan untuk mengetahui hasil dari dilakukannya metode

  

Pap’smear berkisar antara 4 hari sampai 2 minggu tergantung jarak tempat

  dilakukannya pemeriksaan Pap’smear dan dari laboratorium pemeriksaan spesimen lendir mulut rahim. Untuk mengetahui apakah hasilnya positif atau negatif maka diperlukan tenaga khusus laboratorium yang dapat membaca hasil mikroskop. Jadi selama rentan waktu itulah wanita pasangan usia subur mengalami kecemasan terhadap hasil dari pemeriksaan Pap’smear (Manuaba, 2009).

2.5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemeriksaan Pap’smear

  Beberapa faktor yang memengaruhi masyarakat khususnya WUS dalam melakukan pemeriksaan Pap’smear (yang dalam penelitian ini dianggap sebagai perilaku sehat) berdasarkan teori Anderson dalam Notoatmodjo (2010) tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan yang dikenal dengan “Anderson’s Behavioral

  

model of Health Service Utilizatio n”, yaitu dipengaruhi faktor predisposisi,

pendukung dan faktor kebutuhan.

2.5.1 Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)

  Faktor predisposisi (predisposing factors) bahwa setiap individu memiliki kecenderungan yang berbeda untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan karena adanya perbedaan–perbedaan karakteristik demografi, struktur sosial dan kepercayaan tentang kesehatan yang akan menolongnya menyembuhkan penyakit.

  Karakteristik predisposing menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda–beda yang digolongkan atas : (a) ciri demografi seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan dan jumlah keluarga, (b) struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan dan kesukuan dan (c) sikap dan keyakinan individu terhadap pelayanan kesehatan. Indikator ketiga faktor tersebut sangat luas sehingga dalam penelitian uraian secara teoritis dibatasi pada faktor pengetahuan dan sikap sebagaimana permasalahan yang telah dijelaskan pada BAB 1

  a. Pengetahuan Pengetahuan (Knowledge) adalah hasil tahu dari diri manusia yang sekedar menjawab pertanyaan “ What”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan adalah suatu yang diketahui menurut Poerwadarminta dalam Notoatmodjo (2010). Menurut Poejawijatna dalam Notoatmodjo (2010), menyebutkan pengetahuan akan membuat orang mampu mengambil keputusan. Jadi, pengetahuan adalah suatu yang diketahui atau hasil tahu dari diri manusia dan mampu menjawab pertanyaan sehingga seorang mampu mengambil keputusan.

  Macam-macam pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) adalah : 1) Pengetahuan umum adalah segala sesuatu yang diketahui oleh seseorang secara umum tanpa mengetahui seluk beluk yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dan 2) Pengetahuan khusus adalah segala sesuatu yang diketahui oleh seseorang secara khusus tentang suatu hal yang sedalam dalamnya.

  Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Cara mengidentifikasi tingkat pengetahuan adalah sebagai berikut : 1) Mengenal (recognition) dan mengingat kembali (recall) diartikan sebagai kemampuan mengingat kembali suatu yang pernah diketahui sehingga bisa memilih satu dari dua atau lebih jawaban. 2) Pemahaman (comprehension) merupakan suatu kemampuan untuk memahami tentang suatu obyek atau materi.

  3) Penerapan (aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk menerapkan secara benar mengenai suatu hal yang diketahui dalam situasi yang sebenarnya.

  4) Analisis (analysis) diartikan sebagai kemampuan untuk menyebarkan materi/obyek kedalam suatu struktur dan masih ada kaitannya satu sama lain.

  5) Sintesis (syntesis) diartikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan bagian- bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi. 6) Evaluasi (evaluation) diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan penelitian suatu obyek/materi. Tingkat pengetahuan ini dapat di nilai dari tingkat penguasaan individu atau seseorang terhadap suatu obyek atau materi.

  Menurut Notoatmodjo (2003) menyebutkan ada 2 cara memperoleh pengetahuan yaitu :

  1) Cara tradisional atau non-ilmiah, terdiri dari

  a) Cara coba-coba (Trial and Error). Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan tersebut tidak berhasil di coba kemungkinan yang lain. Apabila kemungkinan kedua ini gagal di coba kemungkinan ketiga dan seterusnya sampai masalah tersebut dapat dipecahkan. Itulah sebabnya cara ini disebut metode trial (coba) and error (gagal/salah).

  b) Cara kekuasaan atau otoritas. Pada cara ini prinsipnya adalah orang lain menerima pendapat yang dikemukakan orang yang mempunyai otoritas tanpa terlebih dahulu menguji atau membuktikan kebenarannya baik berdasarkan empiris atau penalaran sendiri. Hal ini disebabkan karena orang yang menerima pendapat tersebut menganggap bahwa apa yang dikemukakannya adalah sudah benar.

  c) Pengalaman pribadi. Pengalaman adalah guru yang baik demikianlah bunyi pepatah, ini mengandung maksud bahwa pengalaman ini seperti cara untuk memperoleh kebenaran pengetahun. Oleh sebab itu, pengetahuan pribadinya dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan.

  d) Melalui jalan pikiran. Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berpikir manusia pun ikut berkembang. Dalam memperoleh pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya. 2) Cara modern. Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih estimatis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut penelitian ilmiah atau popular disebut metode penelitian dan media massa sebagai sumber informasi dimana media (alat mengirim pesan atau saluran pesan) adalah alat atau saluran yang dipilih oleh sumber untuk menyampaikan pesan kepada sasaran. Salah satu media massa adalah media massa yang meliputi: televisi, radio, koran, tabloid dan film. Media massa sebagai salah satu sumber informasi juga memengaruhi pengetahuan karena dengan sumber informasi atau bacaan yang berguna bagi perluasan cakrawala pandang dan wawasan, dapat meningkatkan kemampuan berpikir seseorang (Notoatmodjo, 2003).

  b. Sikap Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, baik atau tidak baik, dan sebagainya). Pandangan-pandangan atau perasaan yang berupa pernyataan positif maupun negatif terhadap input, proses, dan output (Notoatmodjo, 2003).

  Menurut Allport dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok : 1) Kepercayaan atau keyakinan (ide dan konsep terhadap suatu objek). 2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

  Secara teoritis, sikap merupakan : 1) belajar melakukan : Proses asosiasi yang memerlukan sikap pengukuran kembali. 2) teori keseimbangan, model keseimbangan dari rasa suka, kemungkinan 2 susunan struktur yang tidak seimbang cenderung menjadi struktur yang seimbang melalui perubahan dalam satu unsur atau lebih, 3) teori ketidaksesuaian akan berubah demi mempertahankan konsistensi dengan perilaku nyatanya. 4) teori atribusi, orang bersikap dengan mempertimbangkan kognisi dan efeksi suatu konasi dan psikomotor didalam kesadaran mereka.

  Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut (Notoatmodjo, 2003) : 1) Menerima (receiving). Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang berikan (objek) 2) Merespon (responding). Memberikan jawaban bila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut. 3) Menghargai (valving). Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

  4) Bertanggung jawab (responsible). Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

2.5.2 Faktor Pendukung (Enabling Factors)

  a. Sarana prasarana Lingkungan fisik yang berupa alat dan bahan untuk pemeriksaan Pap’smear serta ruangan khusus (tertutup) dan yang memadai untuk pemeriksaan Pap’smear yang juga dilengkapi dengan meja ginekologi. Selain kuantitas (tersedia atau tidak) namun kenyamanan pasien juga menjadi penentu kualitas dari sarana dan prasarana dimana secara tidak langsung bisa menjadi tolak ukur dalam suatu pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2007).

  b. Jarak tempuh ke pelayanan kesehatan Jarak adalah angka yang menunjukkan seberapa jauh suatu benda berubah posisi melalui suatu lintasan tertentu. Dalam fisika atau dalam pengertian sehari-hari, jarak bisa berupa estimasi jarak fisik dari dua buah posisi berdasarkan kriteria tertentu. Jarak tempuh pasien atau penerima pelayanan menjadi salah satu pertimbangan untuk mencari fasilitas pelayanan kesehatan karena selain melibatkan waktu tempuh ke fasilitas tersebut, juga melibatkan transportasi dan biaya yang dibutuhkan. Pertimbangan tersebut akan menjadi sangat diperhitungkan apabila tempat pelayanan kesehatan yang ada berada sangat jauh dari akses pelayanan kesehatan dengan tingkat perekonomian penduduk yang rendah (Depkes RI, 2007).

  c. Waktu tempuh ke pelayanan kesehatan Besaran yang menunjukkan lamanya suatu peristiwa berlangsung. Waktu termasuk besaran skala. Satuan waktu antara lain detik, menit, jam dan hari. Alat yang digunakan untuk mengukur satuan waktu adalah arloji, stopwatch. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai fasilitas pelayanan kesehatan memengaruhi keinginan seseorang untuk mencari dan mencapai fasilitas pelayanan kesehatan, tidak hanya karena lamanya waktu yang dibutuhkan tetapi karena transportasi dan biaya yang dibutuhkan (Sarwono, 1997). d. Tingkat Ekonomi Tingkat status ekonomi adalah salah satu tingkatan atau strata sosial dalam masyarakat, yang bisa dinilai dari rata-rata jumlah penghasilan atau pendapatan serta jumlah harta benda yang dimiliki oleh seseorang. Tingkat ekonomi jika dilihat dari jumlah penghasilan atau pendapatan dibagi menjadi tiga yaitu tingkat penghasilan tinggi jika penghasilannya rata-rata

  ≥ Rp 5.000.000 perbulan dan rendah jika rata-rata penghasilannya < Rp. 5.000.000,- perbulan (Badan Pusat Statistik RI, 2010).

  Ekonomi adalah salah satu faktor yang sangat memengaruhi perilaku masyarakat, apabila penghasilan masyarakat cukup maka mereka akan memenuhi kebutuhan dengan maksimal dan sebaliknya apabila penghasilan masyarakat kurang, maka mereka akan mengabaikan kebutuhannya termasuk dalam mencari pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

  Menurut Sarwono (1997) status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat, status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi, gambaran itu seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan sebagainya. Status ekonomi kemungkinan besar merupakan pembentuk gaya hidup keluarga. menjelaskan bahwa status ekonomi adalah kedudukan seseorang atau keluraga di masyarakat berdasarkan pendapatan per bulan. Status ekonomi dapat dilihat dari pendapatan yang disesuaikan dengan harga barang pokok. e. Jumlah petugas kesehatan Banyaknya petugas kesehatan yang berkompeten, yang memiliki sertifikat pelatihan Pap’smear , dan mampu melakukan pemeriksaan Pap’smear dengan baik sesuai dengan prosedur tetap. Salah satu kendala dalam pelaksanaan deteksi dini kanker serviks adalah karena kurangnya SDM sebagai pelaku screening (deteksi dini). Target yang seharusnya dicapai adalah seluruh petugas kesehatan (paramedis dan medis) mendapatkan pelatihan Pap’smear. Pada masing-masing puksesmas terdapat koordinator atau pemegang program dengan tujuan untuk bertanggung jawab dalam pelaksanaan program terkait, namun tentu saja hal tersebut harus didukung oleh suatu kompetensi dan keahlian dari petugas itu sendiri. Kaitannya dengan Pap’smear, di Puskesmas yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan tersebut adalah seorang koordinator atau penanggungjawab dalam Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

  Koordinator akan dibantu oleh tenaga kesehatan lainnya yang terkait dengan pemeriksaan Pap’smear , dalam hal ini adalah bidan puskesmas (Depkes RI, 2007).

  f. Sikap petugas kesehatan Menurut Notoatmodjo (2010) sikap menggambarkan suka atau tidak suka terhadap obyek. Obyek sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat. Sikap bisa dibagi menjadi sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif adalah kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu. Sikap negatif adalah kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci dan tidak menyukai suatu obyek. Berhasil atau tidaknya suatu program kesehatan yang menjadi pelaksanaannya adalah tentu saja petugas kesehatan itu sendiri. Saat dinilai suatu program itu berjalan dengan baik maka yang mendapatkan sorotan adalah sikap petugas kesehatan yang bertanggungjawab dalam bidangnya.

  g. Perilaku petugas kesehatan Menurut Notoatmodjo (2010), perilaku tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati atau bahkan dapat dipelajari. Perilaku dibagi menjadi dua, yaitu perilaku pasif dan perilaku aktif. Perilaku pasif adalah respons interna yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan secara tidak langsung dapat dilihat oleh orang lain. Perilaku aktif adalah perilaku yang dapat dilihat atau diobservasi secara langsung. Perilaku petugas kesehatan (medis dan paramedis) sangat terkait dengan keberhasilan pelaksanaan suatu program, semakin aktif petugas kesehatan dalam mensosialisasikan dan melaksanakan suatu program maka program terkait tentu saja akan semakin baik atau semakin berhasil.

2.5.3 Faktor Kebutuhan (Need Factors)

  Sesuai teori Anderson bahwa faktor ketiga yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan adalah faktor kebutuhan (need factors). pemanfaatan pelayanan dapat terwujud menjadi tindakan pencarian pengobatan apabila tindakan itu dirasakan sebagai kebutuhan (Andersen dan Newman, 1973). Kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Kebutuhan pelayanan kesehatan dapat dikategorikan menjadi : a. Kebutuhan yang dirasakan atau dipersepsikan (perceived/symptoms diagnose), yaitu keadaan kesehatan yang dirasakan b. Evaluate atau clinical diagnose, merupakan penilaian keadaan sakit didasarkan oleh penilaian atau pemeriksaan petugas kesehatan.

2.6 Landasan Teori

  Berdasarkan uraian teori di atas, maka landasan teori penelitian ini adalah mengacu kepada teori Andersen yang mengembangkan teori tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan (Andersen’s Behavioral Model of Health Service Utilization).

  Menurut Andersen keputusan untuk menggunakan pelayanan kesehatan itu ada tiga komponen yaitu: predisposisi (pemungkin), enabling (pendukung), dan need.

  Komponen predisposisi terdiri dari tiga unsur yaitu: demografi, struktur sosial dan kepercayaan kesehatan (pengetahuan dan sikap). Komponen enabling (pendukung) mempunyai dua unsur: sumber daya keluarga (penghasilan keluarga, kemampuan membeli jasa pelayanan dan keikutsertaan dalam asuransi kesehatan), dan sumber daya masyarakat (jumlah sarana pelayanan kesehatan, jumlah tenaga kesehatan, rasio penduduk dan tenaga kesehatan, lokasi sarana kesehatan). Komponen need, merupakan komponen yang paling langsung berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan. Komponen ini diukur dengan derajat kebutuhan ibu rumah tangga untuk perlu melakukan pemeriksaan Pap’smear, yaitu kebutuhan berdasarkan gejala kanker serviks yang dirasakannya dan kebutuhan berdasarkan pemeriksaan petugas kesehatan.

  Berkaitan dengan pemeriksaan Pap’smear pada ibu rumah tangga sebagai deteksi dini kanker serviks, faktor yang ditinjau dari beberapa faktor sebagaimana teori Anderson pada skema di bawah ini.

  • Knowledge
  • Attitude

Gambar 2.1 Landasan Teori

  Sumber : Anderson dalam Notoatmodjo (2005) Predisposing Enabling Need

  Demografic (Age, Sex) Social Structure

  (Etnicity, Education, Occupation of Head Family)

  Health Belief

  Family Resources (Income, Health

  Assurance) Community Resources (Health facility and personal)

  Perceived (Symptoms diagnose) Evaluated

  (Clinical diagnose) Health Services

2.7 Kerangka Konsep Variabel Independen Variabel Dependen PENGETAHUAN PELAKSANAAN PAP’SMEAR UNTUK DETEKSI DINI KANKER SERVIKS SIKAP PADA IBU RUAH TANGGA

  Confounding Factors KEBUTUHAN

  • Perceived/Symptoms Diagnose (Persepsi/Gejala yang dirasakan)
  • Evaluated (Clinical Diagnose) (Penilaian atau pemeriksaan klinis)

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

  Mengacu kepada teori Anderson bahwa pemeriksaan Pap’smear untuk deteksi dini kanker serviks sebagai bentuk pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor (seperti uraian landasan teori). Namun, sesuai hasil survei pendahuluan diduga faktor pengetahuan dan sikap serta faktor lain (confounding factors) yang memengaruhi pemeriksaan Pap’smear pada ibu rumah tangga, sehingga kerangka konsep penelitian sebagai acuan variabel difokuskan pada aspek pengetahuan dan sikap serta faktor kebutuhan sebagai confounding factors, sedangkan faktor lain tidak dikaji atau tidak menjadi variabel penelitian sehingga tidak dicantumkan dalam kerangka konsep.

Dokumen yang terkait

Hubungan Kepatuhan Diet dengan Kualitas Hidup pada Penderita Diabetes Melitus di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 0 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Pengertian - Hubungan Kepatuhan Diet dengan Kualitas Hidup pada Penderita Diabetes Melitus di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 0 23

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Hubungan Kepatuhan Diet dengan Kualitas Hidup pada Penderita Diabetes Melitus di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 0 8

Hubungan Kepatuhan Diet dengan Kualitas Hidup pada Penderita Diabetes Melitus di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencabutan Premolar dan Penutupan Ruang Pada perawatan ortodonti dengan tujuan untuk mengurangi proklinasi insisivus maksila, crowding anterior yang berat, bimaksiler protrusi dan mendapatkan profil wajah yang estetik, rencana p

0 0 20

BAB II - Tingkat kepuasan Perawatan Ortodonti Pada Pasien RSGMP FKG USU Tahun 2012 – 2013 Berdasarkan Index PIDAQ

0 0 15

Hubungan Antara 7-Point Subjective Global Assessment Dengan Phase Angle Dan Kualitas Hidup Pada Penyakit Ginjal Kronik Dengan Hemodialisis Reguler

0 0 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Ginjal Kronik 2.1.1 Definisi Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra, 2009) - Hubungan Antara 7-Point Subjective Global Assessment Dengan Phase Angle Dan Kualitas Hidup Pada Penyakit Ginjal Kronik Dengan Hemodialisis Reguler

0 0 16

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Skizofrenia - Hubungan antara beban perawatan dengan expressed emotion pada keluarga pasien skizofrenik.

0 1 10

Analisis Pengetahuan Dan Sikap Ibu Rumah Tangga Terhadap Pelaksanaan Pap’smear Untuk Deteksi Dini Kanker Serviks Di Puskesmas Petisah Medan Tahun 2013

0 0 31