Perkembangan Industri Manufaktur di Indo

Perkembangan
Industri
Manufaktur di
Indonesia
TAHUN 2015-2016

Berdasarkan hasil kajian dan telaah singkat dari berbagai macam
literatur,

berikut

adalah

ringkasan

eksekutif

perkembangan industri manufaktur di Indonesia.

Ditulis oleh: Arif Darmawan
Bandar Lampung, 2 November 2016


mengenai

Pg. 02
Pertumbuhan
Industri
Manufaktur
mencatat hasil
yang signifikan
pada kurun
waktu 20052015, walau
terjadi
perlambatan
akibat krisis
2008.

Industri Manufaktur di Indonesia
Industri manufaktur merupakan kegiatan ekonomi yang dalam kegiatannya
mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia atau dengan tangan
sehingga menjadi barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang

kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih
dekat kepada pemakai akhir (Holzi and Sogner, 2004). Contoh lain kegiatan
ini adalah kegiatan jasa industri dan pekerjaan perakitan (assembling).
Sektor industri manufaktur sebagai salah satu sektor penting dalam
pembangunan ekonomi nasional. Sektor industri manufaktur merupakan
salah satu penopang perekonomian nasional karena sektor ini memberikan
kontribusi yang cukup signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pada tahun 1990-1996, industri manufaktur Indonesia tumbuh dengan cepat
dan Indonesia pada saat itu mengalami pertumbuhan yang signifikan.
Saat ini Indonesia tengah berada dalam transisi dari perekonomian yang
berbasis agraris menjadi perekonomian semi-industrial dalam upaya untuk
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Pola perekonomian
subsistensi yang mengandalkan sektor primer perlahan-lahan bergeser
menjadi perekonomian yang ditopang oleh sektor manufaktur.
Sektor industri manufaktur merupakan sektor yang cukup stabil dan menjadi
salah satu penopang perekonomian negara di tengah ketidakpastian
perekonomian dunia dengan tingkat pertumbuhan yang positif. Data terbaru
dari Kementerian Perindustrian tahun 2015 menunjukkan bahwa sektor
industri, khususnya sektor manufaktur non-migas mengalami pertumbuhan
yang signifikan, melampaui pertumbuhan GDP Indonesia pada kwartal I

tahun 2015.
Menurut data BPS, kontribusi sektor industri manufaktur non-migas terhadap
PDB tahun 2015 mencapai 18.18 % dengan nilai Rp 2.089 triliun. Kontribusi
ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2014 yang mencapai 17.89 %
dengan nilai hanya Rp 1.884 triliun.

Grafik 1. Perkembangan Industri Manufaktur, Kontribusi terhadap PDB,
dan PDB Indonesia Tahun 1990-2016 (Sumber: BPS, 2016).

Pg. 03
Tingkat pertumbuhan yang pesat pada industri nasional merupakan
multiplier effect dan tingginya investasi pada sektor ini. Terhitung sejak tahun
2010, trend investasi sektor industri di Indonesia terus mengalami
peningkatan meskipun sempat tertahan akibat krisis finansial pada tahun
2008.
Apabila ditarik lebih jauh ke belakang, pertumbuhan industri manufaktur
dalam perekeonomian Indonesia telah meningkat secara bertahap. Namun,
di sisi lain, peningkatan kerja industri manufaktur hanya naik dari 10 %
menjadi 12 %.


Grafik 2. Kontribusi Sektor Utama dalam Perekonomian tahun 2015.
(Sumber: Biro Riset Ekonomi, Bank Indonesia, 2015).
Sektor ini menjadi dominan dalam penyumbang terbesar PDB Indoneesia
dimana mencapai 23.37 % (migas dan non-migas), namun sektor ini hanya
mampu menyerap tenaga kerja terendah sebesar 14.88 % dibandingkan
dengan sektor pertanian (38.07 %) dan perdagangan (23.74 %)
(Kementerian Perdagangan, 2014). Hal ini bisa disebabkan karena industri
manufaktur menitikberatkan pada investasi dan penggunaan teknologi
menengah-tinggi ketimbang penggunaan tenaga kerja/labor.
Pertumbuhan output hasil industri dan penciptaan nilai tambah pada output
dengan penguasaan teknologi manufaktur yang tinggi merupakan faktor
utama bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Industri
manufaktur juga memegang peranan penting dalam perdagangan
internasional karena dengan peningkatan kualitas dan kuantitas output yang
dihasilkan maka dapat meningkatkan daya saing industri di pasar global.
Peran lain industri manufaktur adalah penyerapan tenaga kerja dalam jumlah
besar yang akan menurunkan tingkat pengangguran.

Pg. 04
Apabila melihat pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan

sedang, menurut BPS, terjadi peningkatan sebesar 4.22 % pada triwulan III
tahun 2015 dibanding dengan periode sebelumnya. Setelah diberlakukan
revitalisasi industri sejak tahun 2004, pertumbuhan positif terjadi pada
seluruh sub-industri. Jenis-jenis industri manufaktur yang mengalami
pertumbuhan signifikan adalah sbb:
-

Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional, naik 15.31 %
Pengolahan laiinya, naik sebesar 13.53 %
Mesin dan Perlengkapan ytdl, naik 8.28 %
Barang Galian Bukan Logam, naik 7.37 %
Kendaraan Bermotor, Trailer dan Semi Trailer, naik 7.14 %
Makanan, naik 7.09 %
Pengolahan Tembakau, naik 5.78 %

(Sumber: BPS, 2015)
Tabel 1. Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Besar dan Sedang
Triwulanan (q-to-q) dan (y-to-y) kurun waktu 2013-2015

Sumber: BPS, 2015

Sedangkan, pertumbuhan produksi industri manufaktur mikro dan kecil pada
triwulan III tahun 2015 mencatat pertumbuhan yang lebih baik, sekitar (6.87
%) dibanding dengan periode sebelumnya. Kenaikan tersebut terutama
disumbangkan oleh naiknya industri tembakau (19.17 %), industri mesin dan
perlengkapan (19.12 %) serta industri bahan kimia dan barang dari kimia
sebesar (18.63 %). Sedangkan, industri kayu, barang dari kayu, anyaman
rotan turun (5.88 %) mengikuti industri logam dan barang logam yang
mengalami penurunan (5.87 %).
Secara lengkap, pertumbuhan industri non-migas dapat diketahui melalui
tabel berikut:
Tabel 2. Pertumbuhan Industri Pengolahan Non-Migas menurut CabangCabang Industri untuk tahun dasar 2010
No
1
2

Lapangan Usaha
Industri Makanan dan
Minuman
Industri Pengolahan
Tembakau


2012

2013

2014

2015

10.33

4.07

9.49

7.54

8.82

-0.27


8.33

6.43

Pg. 05
3

Industri Tekstil dan Pakaian
6.04
Jadi
4
Industri Kulit, Barang dari
-5.43
Kulit dan Alas Kaki
5
Industri Kayu, Barang dari
Kayu dan Gabus dan
-0.80
Barang Anyaman dari

Bambu dan Rotan
6
Industri Kertas dan Barang
-2.89
dari Kertas; Percetakan
7
Industri Kimia, Farmasi dan
12.78
Obat Tradisional
8
Industri Karet, Barang dari
7.56
Karet dan Plastik
9
Industri Barang Galian
7.91
bukan Logam
10 Industri Logam Dasar
-1.57
11 Industri Barang Logam;

Komputer, Barang
11.64
Elektronik, Optik dan
Peralatan Listrik
12 Industri Mesin dan
-1.39
Perlengkapan
13 Industri Alat Angkutan
4.26
14 Industri Furnitur
-2.15
15 Industri Pengolahan
-0.38
Lainnya, Jasa Reparasi dan
Pemasangan Mesin
Industri Non Migas
6.98
PRODUK DOMESTIK BRUTO
6.03
Sumber: BPS diolah Kemenperin, 2015.


6.58

1.56

-4.79

5.23

5.62

3.98

6.19

6.12

-1.84

-0.53

3.58

-0.11

5.10

4.04

7.36

-1.86

1.16

5.05

3.34

2.41

6.18

11.63

6.01

6.48

9.22

2.94

7.83

-5.00

8.67

7.49

14.95
3.64

4.01
3.60

2.33
5.00

-0.70

7.65

4.89

5.45
5.58

5.61
5.02

5.04
4.79

Pada tahun 2015, hampir semua sektor industri mengalami pertumbuhan,
hanya tiga sektor industri yang mengalami pertumbuhan negatif, yaitu sektor
industri tekstil dan pakaian jadi menurun sebesar 4.79 %; sektor industri
kayu, barang dari kayu dan gabus dan barang anyaman dari bambu, rotan
dan sejenisnya menurun sebesar 1.84 %; serta industri kertas dan barang
dari kertas, percetakan dan reproduksi media rekaman menurun sebesar
0.11 %. Sedangkan industri barang logam; komputer, barang elektronik,
optik; dan peralatan listrik menjadi sektor industri dengan pertumbuhan
tertinggi, yaitu sebesar 7.83 %, disusul oleh industri makanan dan minuman
sebesar 7.54 %; Industri mesin dan perlengkapan sebesar 7.49 %; Industri
kimia, farmasi dan obat tradisional sebesar 8.52 %; dan industri logam dasar
sebesar 6.48 %.

Pg. 06

Tantangan Industri Manufaktur di Indonesia
Tantangan eksternal yang harus dihadapi adalah kesepakatan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) yang diterapkan sejak akhir tahun 2015.
Konsekuensinya adalah industri di Indonesia dituntut untuk mampu bersaing
secara global karena produk dari luar negeri akan membanjiri pangsa pasar
lokal. Selain itu, perlambatan ekonomi global yang diikuti dengan lesunya
permintaan dunia akan memengaruhi kinerja ekspor dan impor nasional,
sehingga industri manufaktur akan mengalami dampak kelesuan dan tidak
dapat memberikan kontribusi efektif kepada perekonomian nasional.
Secara keseluruhan, permasalahan rendahnya penyerapan tenaga kerja
dalam sektor manufaktur ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas.
Rendahnya kualitas pekerja menyebabkan produktivitas dan daya saing
rendah. Dilihat secara mendalam, rata-rata tingkat pendidikan pekerja di
Indonesia masih rendah, sekitar 63 % didominasi oleh tamatan SMA ke
bawah. Selain itu, ketidaksesuaian antara kebutuhan industri manufaktur
terhadap tenaga kerja dengan pendidikan dan pelatihan menyebabkan
perusahaan/industri mengalami kesulitan untuk mendapatkan tenaga kerja
yang berkualitas.
Data di lapangan menyebutkan, hanya 5 % angkatan kerja yang memperoleh
pelatihan dan hanya sekitar 1.6 % yang mempunyai sertifikat kompetensi
(Biro APBN, 2015). Kondisi ini turut menyebabkan kualitas angkatan kerja
yang rendah, sehingga produktivitasnya pun tergolong rendah dibandingkan
produktivitas negara-negara ASEAN, untuk seluruh aktivitas dalam sektor
perekonomian.
Selanjutnya, kualitas hasil produksi. Kualitas hasil produksi industri
manufaktur Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan hasil produksi
negara lain. Hal ini yang menyebabkan rendahnya nilai jual dan daya saing
hasil produksi. Selain itu, mengenai regulasi pemerintah. Para pelaku usaha
di sektor industri manufaktur menghendaki adanya peraturan yang dapat
melindungi secara hukum serta memberikan jaminan agar pengusaha
merasa aman dalam menjalankan usahanya. Peraturan tersebut antara lain
meliputi sistem pajak, retribusi, perizinan, dan lain-lain. Selain itu, untuk
mengatasi adanya permasalahan sengketa investasi, pemerintah perlu
menyusun aturan mengenai penyelesaian sengketa penanaman modal
antara pemerintah dan investor untuk memperkuat kepastian hukum dalam
berusaha di Indonesia
Selain mengenai tenaga kerja, faktor produksi modal juga menjadi tantangan
tersendiri dalam perkembangan industri manufaktur di Indonesia. Selain
modal dalam bentuk uang atau investasi, modal juga dapat berupa investasi
pendukung dalam industri. Infrastruktur Indonesia dalam mendukung seluruh
aspek pembangunan masih dalam kondisi yang perlu perhatian khusus.
Akses ke daerah masih menjadi masalah di berbagai provinsi ataupun
kabupaten di Indonesia. Infrastruktur juga menjadi modal utama dalam
kemajuan industri manufaktur terutama di daerah. Namun, infrastruktur

Pg. 07
membutuhkan modal yang tidak sedikit, selain itu masih sangat bergantung
pada pendanaan pemerintah yang jumlahnya terbatas sehingga belum
memenuhi harapan masyarakat baik dari sisi kuantitas maupun kualitas
layanan.
Upaya melibatkan sektor swasta melalui skema Public-Private Partnership
dalam pembangunan infrastruktur juga belum memberikan hasil yang
memuaskan dengan ditandai rendahnya investasi dan peran swasta dalam
mendukung skema ini.

Pg. 08

Kesimpulan
Industri manufaktur masa depan adalah industri-industri yang mempunyai
daya saing tinggi, yang didasarkan tidak hanya kepada besarnya potensi
Indonesia (comparative advantage), seperti luas bentang wilayah, besarnya
jumlah penduduk serta ketersediaan sumber daya alam, tetapi juga
berdasarkan kemampuan atau daya kreasi dan keterampilan serta
profesionalisme sumber daya manusia Indonesia (competitive advantage).
Menelisik tentang Indonesia yang mempunyai modal yang cukup bersaing
dengan negara lain, pemerintah memerlukan strategi yang tepat untuk
melakukan industrialisasi sektor manufaktur. Dengan tantangan yang ada
saat ini, baik itu tantangan internal maupun eksternal, pemerintah perlu
menerapkan beberapa strategi. Strategi-strategi tersebut difokuskan pada
bagaimana menciptakan industri manufaktur yang tahan terhadap
guncangan krisis serta kondisi atau iklim industri yang dapat menarik
investor.
Pemerintah perlu mendorong pertumbuhan industri manufaktur dengan cara
transfer teknologi, pengenalan cara produksi baru yang lebih efisien, skill
managerial, dan supply modal kapital yang memadai. Semua faktor tersebut
akan mendorong meningkatnya efisiensi dan kualitas dalam proses produksi.
Dengan demikian daya saing industri manufaktur Indonesia akan meningkat
dan menguat dalam upayanya menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
yang sudah berlaku semenjak Desember 2015.