Askep Acute Kidney Injury dan Gagal Ginj

Acute Kidney Injury(AKI) Definisi

AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48 jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 mol/L) atau meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam (Molitoris et al, 2007).

Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan (Eric Scott, 2008).

Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Brady et al, 2005).

Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI “klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease atau AoCKD). Dahulu, hal di atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien (Mehta et al, 2003)

Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI

Klasifikasi Etiologi

Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi etiologi AKI (Sinto, 2010)

AKI Prarenal

I. Hipovolemia - Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular - Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia,

obstruksi - usus - Kehilangan darah - Kehilangan cairan ke luar tubuh - Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui

saluran - kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit - (luka bakar)

II. Penurunan curah jantung - Penyebab miokard: infark, kardiomiopati

- Penyebab perikard: tamponade - Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal - Aritmia - Penyebab katup jantung

III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik - Penurunan resistensi vaskular perifer - Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan - (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi) - Vasokonstriksi ginjal - Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin,

takrolimus, - amphotericin B - Hipoperfusi ginjal lokal

- Stenosis a.renalis, hipertensi maligna

AKI Renal

I. Obstruksi renovaskular - Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, - diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis, - kompresi)

II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal - Glomerulonefritis, vaskulitis

III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN) - Iskemia (serupa AKI prarenal) - Toksin

- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, - pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis,

hemolisis, - asam urat, oksalat, mieloma)

IV. Nefritis interstitial - Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi

(bakteri, - viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis), - idiopatik

V. Obstruksi dan deposisi intratubular - Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,

sulfonamida

VI. Rejeksi alograf ginjal

AKI pascarenal

I. Obstruksi ureter - Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi

eksternal

II. Obstruksi leher kandung kemih - Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu,

keganasan, darah

III. Obstruksi uretra - Striktur, katup kongenital, fimosis

Klasifikasi AKI

ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 2. (Rusli, 2007).

Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007 Kategori

Peningkatan kadar SCr Penurunan LFG Kriteria UO

Risk >1,5 kali nilai dasar

>25% nilai dasar

<0,5 mL/kg/jam, >6 jam

Injury >2,0 kali nilai dasar

>50% nilai dasar

<0,5 mL/kg/jam, >12 jam

Failure >3,0 kali nilai dasar

>75% nilai dasar

<0,3 mL/kg/jam, >24 jam

Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu

End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 Bulan

2.1.2 Patofisiologi

Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular seperti yang terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini:

Gambar 1. Patofisiologi AKI (Bonventre, 2008)

Patofisiologi dari AKI dapat dibagi menjadi komponen mikrovaskular dan tubular, bentuk lebih lanjutnya dapat dibagi menjadi proglomerular dan komponen pembuluh medulla ginjal terluar. Pada AKI, terdapat peningkatan vasokonstriksi dan penurunan vasodilatasi pada respon yang menunjukkan ginjal post iskemik. Dengan peningkatan endhotelial dan kerusakan sel otot polos pembuluh, terdapat peningkatan adhesi leukosit endothelial yang menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksi pembuluh dengan aktivasi leukosit dan berpotensi terjadi inflamasi.

Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti oleh Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti oleh

Pendekatan Diagnosis

1. Pemeriksaan Klinis

Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna.

AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan

2. Pemeriksaan Penunjang

Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown” granular cast , cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial (Schrier et al, 2004).

Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Kelainan analisis urin (Sinto, 2010)

Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi.

Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain (Brady, 2005).

Penatalaksanaan

1. Terapi nutrisi

Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah dimodifikasi oleh Sutarjo seperti pada tabel berikut:

Tabel 4. Kebutuhan nutrisi klien dengan AKI (Sutarjo, 2008)

2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin

Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah: (Mohani, 2008)

a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam

b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).

Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-

6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas (Robert, 2010).

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien (Sja’bani, 2008).

Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG

Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur.

Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal (Sinto, 2010).

3. Dialisis

Menurut Workeneh (2012), indikasi dialisis pada pasien dengan AKI adalah sebagai berikut:

1. Ekspansi volume yang tidak dapat dikelola dengan diuretik

2. Refrakter terhadap terapi medis hiperkalemia

3. Koreksi parah gangguan asam-basa yang refrakter terhadap terapi medis

4. Parah azotemia (BUN> 80-100)

5. Uremia

2.1.7 Komplikasi dan Penatalaksanan

Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5. Penatalaksanaan Komplikasi AKI (Sinto, 2010)

Teori Asuhan Keperawatan AKI

1. Fokus Pengkajian (Efendy, 2008) Sistem Pernafasan (B1)

a. Gejala : nafas pendek

b. Tanda : Takipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, kusmaul, nafas amonia, batuk produktif dengan sputum kental merah muda( edema paru ).

Sistem Kardiovaskuler (B2)

Tanda : hipotensi/hipertensi (termasuk hipertensi maligna,eklampsia, hipertensi akibat kehamilan), disritmia jantung, nadi lemah/halus, hipotensi ortostatik(hipovalemia), DVI, nadi kuat, hipervolemia, edema jaringan umum (termasuk area periorbital mata kaki sakrum), pucat, kecenderungan perdarahan.

Sistem Persyarafan (B3)

a. Gejala : Sakit kepala penglihatan kabur. Kram otot/kejang, sindrom “kaki Gelisah”.

b. Tanda :Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidak seimbangan elektrolit/ asama basa, kejang, faskikulasi otot, aktifitas kejang.

Sistem Perkemihan (B4)

a. Gejala : Perubahan pola berkemih, peningkatan frekuensi, poliuria 2-6 liters / day (kegagalan dini), atau penurunan frekuensi/oliguria 12-21 hari (fase akhir), disuria, ragu-ragu, dorongan, dan retensi (inflamasi/obstruksi, infeksi), abdomen kembung diare atau konstipasi, riwayat HPB, batu/kalkuli

b. Tanda : Perubahan warna urine contoh kuning pekat,merah, coklat, berawan. Oliguri (biasanya 12-21 hari) poliuri (2-6 liter/hari).

Sistem Pencernaan (B5)

a. Gejala : Peningkatan berat badan (edema) ,penurunan berat badan (dehidrasi), mual , muntah, anoreksia, nyeri uluhati.

b. Tanda : Perubahan turgor kulit/kelembaban, edema (umum, bagian bawah).

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien AKI adalah:

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.

2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.

3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi melalui alkalosis respiratorik.

5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun.

3. Intervensi

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat Tujuan

: Penurunan curah jantung tidak terjadi

Kriteria hasil : Mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler

Intervensi:

a. Auskultasi bunyi jantung dan paru R/ Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur

b. Kaji adanya hipertensi R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)

c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10) R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri

d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O Tujuan

: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan Kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output Intervensi:

a. Monitor status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan a. Monitor status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan

b. Batasi masukan cairan R/ Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi

c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan R/ Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan

e. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran

R/Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah

Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat Kriteria hasil

: Menunjukan BB stabil

Intervensi:

a. Awasi konsumsi makanan / cairan R/ Mengidentifikasi kekurangan nutrisi

b. Perhatikan adanya mual dan muntah R/ Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi

c. Berikan makanan TKTP R/ Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan

d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan R/ Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial

e. Berikan perawatan mulut sering

R/ Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik Tujuan

: Pola nafas kembali normal / stabil

Intervensi:

a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles R/ Menyatakan adanya pengumpulan sekret

b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam R/ Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2

c. Atur posisi senyaman mungkin R/ Mencegah terjadinya sesak nafas

d. Batasi untuk beraktivitas R/ Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga

Kriteria hasil : - Mempertahankan kulit utuh - Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit Intervensi:

a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan R/ Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.

b.Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa R/ Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan

c. Inspeksi area tergantung terhadap udem R/ Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek

d. Ubah posisi sesering mungkin R/ Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia

e. Berikan perawatan kulit R/ Mengurangi pengeringan , robekan kulit

f. Pertahankan linen kering R/ Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit

g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis R/ Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera

h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar R/ Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit

Gagal Ginjal Kronik Definisi CKD

Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) pada tahun 2009, mendefenisikan gagal ginjal kronis sebagai suatu kerusakan ginjal dimana nilai dari GFR nya kurang dari 60 mL/min/1.73 m 2

selama tiga bulan atau lebih. Dimana yang mendasari etiologi yaitu kerusakan massa selama tiga bulan atau lebih. Dimana yang mendasari etiologi yaitu kerusakan massa

Dalam CKD juga terdapat kondisi Acute On CKD (AoCKD). Perbedaan antara acute on CKD dengan AKI ada lima kondisi yaitu : 1. Pada AKI kondisi umum ginjal masih bagus, sedangkan pada AoCKD kondisi ginjal umumnya sudah rusak 2. Pada AKI sebelumnya telah disertai dengan penyakit akut baik pra-renal, renal maupun post-renal, sedangkan pada AoCKD tidak ada. 3. Pada AoCKD selalu diawali dengan penyakit kronis, sedangkan AKI tidak 4. Pada AoCKD ada gejala klinis khas seperti anemia, peningkatan kadar fosfat dalam darah dan tekanan darah tinggi, sedangkan pada AKI tidak ada. 5. AKI sifatnya reversible, sedangkan AoCKD sifatnya irreversible.

Klasifikasi

Menurut KDOQI, ada 5 tingkatan atau stage dari CKD seperti yang ditunjukkan oleh table 6 dibawah ini : ( The Renal Association, 2010)

Tabel 6 KDOQI stages of kidney diseases

Suffixes: p suffix :tambahan p pada tiap tingkatan (misal 3Ap, 4p) menunjukkan adanya proteinuria T - : tambahan T pada tiap tingkatan (misalnya 3AT) mengindikasikan bahwa pasien telah menjalani transplantasi ginjal.

D -: tambahan D pada tingkatan/stage ke 5 (misalnya. 5D) mengindikasikan bahwa pasien sedang menjalani Dialisis.

Etiologi

Menurut Arora (2012) penyebab Chronic Kidney Disease adalah sebagai berikut :

1. Diabetes Mellitus

2. Hipertensi

3. Penyakit glomerular (primer atau sekunder)

4. Penyakit tunulointerstisial

5. Obstruksi saluran kemih Penyakit pembuluh darah yang dapat menyebabkan Chronic Kidney Disease adalah sebagai berikut :

1. Renal artery stenosis

2. Pola cytoplasmic antineutrophil cytoplasmic antibody ( C-ANCA)- vaskulitis positif dan pola perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody ( C-ANCA)-

vaskulitis positif

3. Antineutrophil cytoplasmic antibody ( ANCA)- vaskulitis negatif

4. Atheroemboli

5. Hipertensi nefrosklerosis

6. Trombosis vena ginjal

7. Acute kidney injury (AKI) yang tidak tertangani Penyakit glomerulus primer yang dapat menyebabkan Chronic Kidney Disease adalah sebagai berikut :

1. Membranous nephropathy

2. Immunoglobulin A (IgA) nephropathy

3. Glomerulosclerosis fokal dan segmental

4. Perubahan penyakit yang minimal

5. Membranoproliferative glomerulonephritis Progresifitas cepat glomerulonefritis sekunder disebakan oleh penyakit glomerulus meliputi :

1. Diabetes Mellitus

2. Sistemik lupus eritematosus

3. Rheumatoid arthritis

4. Penyakit campuran jaringan ikat

5. Scleroderma

6. Sindrom Goodpasture

7. Wegener granulomatosis

8. Postinfectious glomerulonephritis

9. Endocarditis

10. Hepatitis B dan C

11. Sifilis

12. Human immunodeficiency virus (HIV)

13. Infeksi parasit

14. Penggunaan Heroin

15. Emas

16. Penisilamin

17. Amiloidosis

18. Light chain deposition disease

19. Neoplasia

20. Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP)

21. Hemolytic-uremic syndrome (HUS)

22. Henoch Schonlein purpura

23. Alport syndrome

24. Refluks nefropati Penyebab penyakit tubulointerstitial meliputi:

1. Obat-obatan (misalnya sulfa, allopurinol)

2. Infeksi (virus, bakteri, parasit)

3. Sjögren syndrome

4. Hipokalemia kronis

5. Hiperkalsemia kronis

6. Sarkoidosis

7. Multiple myeloma cast nephropathy

8. Logam berat

9. Radiasi nefritis

10. Polikistik ginjal

11. Cystinosis Obstruksi saluran kemih dapat disebabkan oleh salah satu dari berikut ini:

1. Urolitiasis

2. Benign prostatic hypertrophy

3. Tumor

4. Retroperitoneal fibrosis

5. Striktur uretra

6. Neurogenic bladder

Manifestasi Klinik

Ada beberapa manifestasi klinik gagal gagal ginjal kronik : ( Schrier, 2003)

1. Gangguan keseimbangan elektrolit : hipernatremia, huiperkalemia

2. Asidosis metabolic (ditemukan jika LFG<25%)

3. Gangguan metabolism karbohidrat dan lemak

4. Anemia normokrom mormositer

5. Hipertensi

6. Gangguan neurologi

7. Osteodistrofi ginjal

8. Gangguan pertumbuhan

9. Gangguan perdarahan

Gambar 3. Gejala CKD (Schrier, 20030

Patofisiologi

Perjalanan penyakit dari CKD akan digambarkan dalam bagan berikut ini: (Novoa et al, 2010)

Gambar 4. Hipertensif nefropathy

Gambar 5. Diabetic Nefropathy

Gambar 6. Nefropaty kronik akibat Renal Mass Reduction (RMR)

Gambar 7. Nefropaty akibat ureteral obstruction

Gambar 8. Mekanisme CKD

Pemeriksaan Diagnostik

a. Laboratorium

1. LED: meninggi, yang diperberat oleh adanya anemia, dan hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosi yang rendah.

2. Ureum dan kreatinin: meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan kreatinin kurang lebih 20:1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena

perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang: ureum lebih kecil dari kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.

3. Hiponatremi: umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya dieresis.

4. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin

D3 pada GGK.

5. Phosphat alkaline meninggi akibat gangguan metabolism tulang, terutama isoenzim fosfatase lindi tulang

6. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan gangguan metabolism dan diet rendah protein.

7. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal ginjal (resitensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).

8. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolism lemak, disebabkan peninggian hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.

9. Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang menurun, BE menurun, HCO3 menurun, PCO2 menurun, semuanya disebabkan

retensi asam-asam organic pada gagal ginjal.

b. Pemeriksaan lain

1. Foto polos abdomen: untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.

2. IVP (Intra Vena pielografi): untuk menilai system pelviokalises dan ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu,

misalnya usia lanjut, diabetes mellitus, dan nefropati asam urat.

3. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginajl, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih,

dan prostat.

4. Renogram, untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan (vascular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.

5. EKG, untuk melihat kemungkina hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).

Penatalaksanaan

1. Stage 1 dan 2

Pada CKD stage 1 fungsi ginjal sebenarnya normal tapi terdapat beberapa tanda adanya kelainan pada ginjal. CKD stage 2 ditandai dengan menurunnya sebagian fungsi ginjal, GFR 60-89mls/min/1.73m2

Pengkajian Awal pada CKD stage 1+2:

Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi resiko peningkatan kelainan ginjal pada klien, dan untuk mengurangi resiko terkait. Yang perlu dikaji adalah

a. Hematuria

b. Proteinuria Jika pengkajian pertama menemukan adanya peningkatan kreatinin maka penting bagi kita untuk memastikan kestabilan nilainya. Ulangi test 14 hari berikutnya.

Managemen CKD stage 1+2 :

Dalam 12 bulan pencapaian yang harus didapat adalah :

a. Kreatinin : perubahan signifikan pada eGFR telah ditentukan sebagai short- term eGFR fall >15% atau [creatinine] meningkat >20%; atau yang terbaru

berdasar NICE guideline adnya kehilangan GFR 1y dari 5ml/min, atau kehilangan dalam 5y dari 10ml/min.

b. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)

c. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120- 129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.

d. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga teratur dan gaya hidup.

2. Stage 3

Dalam CKD stage 3 ini nilai eGFR 30-60%: eGFR 45-59 (3A) atau 30-44 (3B).

Pengkajian awal CKD stage 3

a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi, memeriksa adanya pembesaran kandung kemih

b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis obat ketika GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug.

c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya kelainan ginjal yang progresif

d. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada sistem ginjal

Manajemen CKD stage 3

Dalam 6 sampai 12 bulan targetnya adalah :

a. Creatinine and K :pertimbangkan turunnya nilai eGFR yang tib-tiba >25% sebagai ARF. NICE menyarankan untuk meminta advis dari specialist ketika GFR turun lebih 1y dari 5ml/min, atau 5y dari 10ml/min.

b. Hb – bila di bawah 110 g/l, terapi spesifik perlu dilakukan. Hb turun secara progresif mengindikasikan turunnya GFR.

c. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)

d. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120- 129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.

e. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga teratur dan gaya hidup.

f. Immunization - influenza dan pneumococcal

g. Medication review – review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan g. Medication review – review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan

3. Stage 4+5

Tanda CKD stage4 adalah adanya penurunan fungsi ginjal yang parah, 15-30% (eGFR 15-29ml/min/1.73m2). Tanda CKD stage 5 adalah adanya penurunan fungsi ginjal yang sangat parah (endstage atau ESRF/ESRD), <15% (eGFR kurang dari 15 ml/min).

Pengkajian awal CKD stage 4

a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi, memeriksa adanya pembesaran kandung kemih

b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis obat ketika GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug.

c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya kelainan ginjal yang progresif

d. Tes darah : Ca, PO4, Hb

e. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada sistem ginjal

f. Persiapan pelaksanaan TPG atau Terapi Pengganti Ginjal

Manajemen CKD stage 4 dan 5

Dalam 3 bulan :

a. Kretainin dan K : waspadai hiperkalemia

b. Hb : Hb rendah, waspadai penyebab lain selain ginjal

c. Ca dan PO4 : obat oral phospat seringkali dibutuhkan

d. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi klien dengan tekanan darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)

e. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120- 129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.

f. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga f. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga

g. Immunization - influenza dan pneumococcal, dan imunisasi Hepatitis B jika transplantasi ginjal akan dilakukan

h. Medication review – review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan untuk mencegah nephrotoxic drugs

i. Jika klien osteoporosis: jangan menggunakan bisphosphonates karena bisa mengarah ke renal osteodystrophy.

j. Tindakan Terapi Pengganti Ginjal (TPG) atau Renal Replacement Theraphy

Gambar 9. CKD stages

Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Theraphy)

Pada penderita Gagal Ginjal Kronis stadium terminal dengan fungsi ginjal yang tersisa di bawah 10-15% maka ginjal tidak dapat memengeluarkan zat-zat sisa metabolisme, mengatur keseimbangan asam-basa, dan fungsi ginjal yang lain sehingga memerlukan penanganan yang disebut Terapi Pengganti Ginjal atau Renal Replacement Therapy (RRT). Berikut adalah macam RRT secara umum (Phillip et al, 2005)

Gambar 10. RRT Modalities (Phillip et al, 2005)

Terapi Pengganti Ginjal yang secara umum digunakan saat ini ada dua pilihan yaitu Dialisis dan Transpalantasi Ginjal. Dialisis sendiri ada dua metode yaitu Hemodialisis dan Peritoneal Dialisis (Wijaya, 2010).

Menurut Philip et al (2005), indikasi dan kontraindikasi dari RRT ini adalah seperti yang ditunjukkan dalam table berikut :

Tabel 6. Indikasi dan kontraindikasi RRT (Philip et al, 2005)

1. Hemodialisis Hemodialisis merupakan suatu membrane atau selaput semi permiabel. Membran ini

dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut membrane yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membrane semi permiabel. Terapi hemodialisa merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa- sisa membrane atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, membrane, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membrane semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Brunner & Suddarth, 2001).

Kandungan cairan dialisat adalah macam-macam garam/elektrolit/zat antara lain:

1. NaCl/sodium klorida

2. CaCl/kalium klorida

3. MgCl2/magnesium klorida

4. NaC2H3O2 3H2O/acetat atau NaHCO3/bikarbonat

5. KCl/potassium klorida, tidak selalu terdapat pada dialisat.

6. Dextrose

Gambar 11. Mekanisme Hemodialisis (Mehta et al, 2003)

Gambar 12. Ilustrasi Hemodialisis (Davis, 2005)

Gambar 13. Akses pembuluh darah untuk HD (Davis, 2005) Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal terminal atau tahap akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal (Wijayakusuma, 2008).

Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan toksin. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala (Brunner & Suddarth, 2001).

Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan

Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia dan antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik (Brunner & Suddarth, 2001).

Indikasi, Kontraindikasi dan Komplikasi Terapi Hemodialisis Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis adalah laju

filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari 5 mL/menit, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah :

a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata

b. K serum > 6 mEq/L

c. Ureum darah > 200 mg/Dl

d. pH darah < 7,1

e. Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )

f. Fluid overloaded (Shardjono dkk, 2001). Menurut Rayner (2002) indikasi akut hemodialisis adalah :

INDIKASI

KARAKTERISTIK

1. Uremia

1. lemah, asteriksis, kejang, mual & muntah, perikarditis, kesadaran

turun

2. Hiperkalemia + K > 6,5 mmol/L

+ 2. K 5,5-6,5 mmol/L + kelainan EKG

3. Kelebihan cairan

3. kelebihan cairan, resisten diuretika ; terutama edema paru

4. Asidosis metabolik

4. pH tetap < 7,2 walau sudah terapi bikarbonat / tidak bisa terapi

bikarbonat karena kelebihan cairan

Menurut Rayner (2002) kontaindikasi dari hemodialisis adalah :

Absolut Relatif

• Tidak ada akses vaskuler (pembuluh • Akses vaskuler sulit darah tidak dapat diakses)

• Fobia jarum • Gagal jantung • Kelainan pembekuan darah

Menurut Al-hilali (2009), walaupun hemodialisa sangat penting untuk menggantikan Menurut Al-hilali (2009), walaupun hemodialisa sangat penting untuk menggantikan

2. Peritoneal Dialisis Peritoneal Dialisis merupakan dialisis yang berlangsung di dalam rongga perut. Cairan

dialisis (dialisat) dimasukkan ke dalam rongga perut melalui kateter two way (disebut Tenckhoff Catheter ) yang lembut dan didiamkan dalam beberapa waktu(disebut dwell time). Darah dengan cairan dialisis dibatasi oleh membran peritonium yang berfungsi sebagai media pertukaran zat. Ketika cairan dialisis (dialisat) berada di rongga peritonium maka terjadi pertukaran zat. Zat yang masih berguna akan terserap kembali dalam darah sedangkan zat yang tidak berguna dan kelebihan air akan terserap ke dalam cairan dialisis melalui proses ultrafiltrasi (Wijaya 2010).

Gambar 14. Ilustrasi Peritoneal dialysis (Davis, 2005)

Menurut Wijaya (2010) Peritonal Dialisis dilakukan setiap hari dan cairan dialisis harus senantiasa berada di rongga perut agar terjadi pembersihan darah scara adekuat.

Metode Peritoneal Dialisis:

1. Continous Ambulatory Peritoneal Dialisys (CAPD). CAPD dilakukan sementara pasien aktif melakukan aktivitas sehari-hari, dilakukan 3-6 kali perhari dengan jumlah cairan dialisis sebanyak 2 liter tiap satu putaran. Cairan dialisis berada dalam rongga peritoneium selama 4-6 jam.

2. Continous Cyclic Peritonel Dialisys (CCPD). CCPD dilakuakn dengan memakai bantuan mesin ketika pasien sedang tidur. Mesin secara otomatis akan melakukan

penukaran cairan dialisis sebanyak 4-8 kali pada malam hari selama 8-12 jam ketika pasien tidur.

Komplikasi Peritonal Dialisis:

1. Peritonitis

2. Peningkatan kadar glukosa

3. Kekurangan vitamin dan mineral

Keuntungan Peritonal Dialisis :

1. Pasien diajar mandiri dalam dialisis sehingga lebih percaya diri.

2. Waktu lebih bebas, dapat dilakukan dirumah atau di tempat kerja.

3. Tidak terjadi lonjakan penurunan tekanan darah yang drastis separti pada hemodialisis sehingga lebih cocok bagi pasien dengan gangguan fungsi jantung.

4. Tahan lama asalkan dilakukan dengan benar sesuai petunjuk serta dilakukan secra higienis

Kontraindikasi Peritonal Dialisis (Rayner, 2002)

Absolut Relatif • Hilangnya fungsi peritoneal sehingga

• Adanya graft aorta di abdomen yang klirens tidak memadai

baru

• Ada perlekatan • Shunt ventriculoperitoneal • Adanya hernia yang tidak dapat

• Tidak tahan terhadap adanya cairan di dioperasi

abdomen

• Adanya stoma di dinding abdomen • Massa otot yang besar • Kebocoran cairan lewat diafragma

• Obesitas morbid

• Pasien tidak dapat melakukan

• Malnutrisi berat

penggantian cairan sendiri.

• Infeksi kulit • Penyakit usus

3. Transplantasi Ginjal

Menurut The Indonesian Diatrans Kidney Foundation (2010) Transplantasi ginjal adalah suatu metode terapi dengan cara operasi dimana seseorang yang mengalami gagal ginjal menerima ginjal yang sehat dari pendonor yang masih hidup atau yang telah meninggal, untuk menganbil alih fungsi ginjalnya yang sudah tidak berfungsi lagi. Kedua ginjal yag lama tidak dibuang dan tetap pada tempat yang semula, kecuali kedua ginjalnya mengalami infeksi

atau tekanan darah tinggi. Ada dua jenis transplantasi ginjal: orang-orang yang berasal dari donor hidup dan orang-orang yang berasal dari berhubungan donor yang telah meninggal (non-living donor atau cadaver).

Pemeriksaan untuk memastikan kecocokan ginjal

1. Tes kecocokan golongan darah (blood Type Matching). Tes ini untuk melihat apakah golongan darah pasien dan pendonor sejenis.

2. Tes kecocokan jaringan (Tissue Matching). Tes ini untuk melihat kesamaan dari protein yang dinamakan HLA (Human Leucocyte Antigen yang ada dalam darah dan 2. Tes kecocokan jaringan (Tissue Matching). Tes ini untuk melihat kesamaan dari protein yang dinamakan HLA (Human Leucocyte Antigen yang ada dalam darah dan

3. Uji Cocok Silang (Crossmatching). Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi adanya antibodi dalam tubuh recipient yang dapat merusak HLA. Hasil tes positif menunjukkan adanya antibodi didalam darah recipient sehingga sebuah operasi transplantasi ginjal tidak mungkin untuk dilakukan. Sebaliknya hasil tes negatif menunjukkan tidak adanya respon negatif dari tubuh recipient sehingga operasi dapat dilakukan.

Terjadinya penolakan tubuh terhadap ginjal yang baru mungkin saja terjadi. Sistem pertahanan tubuh mungkin saja mengenali jaringan di ginjal yang baru sebagai benda asing yang masuk di dalam tubuh serta melakukan reaksi yang negatif terhadap ginjal yang baru. Untuk mencegah terjadinya reaksi penolakan ini, pasien perlu mengonsumsi obat-obatan diantaranya obat anti-rejeksi atau imunosupresan segera sesudah menjalani transplantasi ginjal. Obat-obat imunosupresan bekerja dengan jalan menekan sistem imun tubuh sehingga mengurangi risiko terjadinya reaksi penolakan tubuh terhadap ginjal cangkokan. Berkurangnya sistem imun dalam tubuh akibat obat immunosupresan akan menyebabkan tubuh lebih rentan terhdapa infeksi. Untuk itu pasien akan diberikan juga obat – obat antibactierial, antiviral dan antifungal.

Tindakan yang diperlukan pascatransplantasi ginjal

Selain mengkonsumsi obat –obatan yang diberikan oleh dokter seumur hidupnya, pasien juga diharuskan secara berkala memeriksakan ginjalnya. Diet tinggi protein bagi pasien pasca transplantasi juga perlu dijalani. Pasien yang sebelumnya menjalani dialisis akan merasakan bahwa diet pasca transplant tidak akan seketat seperti saat dialisis.

Semua terapi ada kelemahan dan kelebihan masing-masing. Berikut perbandingan antara HD, RRT dan PD menurut Mehta et al (2005):

Gambar 15. Perbandingan antara CRRT, IHD dan PD (Mehta et al, 2003)

ASUHAN KEPERAWATAN

Teori Keperawatan CKD Fokus Pengkajian (Efendy, 2008)

1. Sistem Pernafasan (B1)

Gejala : nafas pendek Tanda : Takipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, kusmaul, nafas amonia, batuk

produktif dengan sputum kental merah muda( edema paru ).

2. Sistem Kardiovaskuler (B2)

Tanda : hipotensi/hipertensi (termasuk hipertensi maligna,eklampsia, hipertensi akibat kehamilan), disritmia jantung, nadi lemah/halus, hipotensi ortostatik(hipovalemia), DVI, nadi kuat, hipervolemia, edema jaringan umum (termasuk area periorbital mata kaki sakrum), pucat, kecenderungan perdarahan.

3. Sistem Persyarafan (B3)

Gejala : Sakit kepala penglihatan kabur. Kram otot/kejang, sindrom “kaki Gelisah”. Tanda

: Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidak seimbangan elektrolit/ asama basa, kejang, faskikulasi otot, aktifitas kejang.

4. Sistem Perkemihan (B4)

Gejala : Perubahan pola berkemih, peningkatan frekuensi, poliuria (kegagalan dini), atau penurunan frekuensi/oliguria (fase akhir), disuria, ragu-ragu, dorongan, dan retensi (inflamasi/obstruksi, infeksi), abdomen kembung diare atau konstipasi, riwayat HPB, batu/kalkuli

Tanda : Perubahan warna urine contoh kuning pekat,merah, coklat, berawan. Oliguri (biasanya 12-21 hari) poliuri (2-6 liter/hari).

5. Sistem Pencernaan (B5)

Gejala : Peningkatan berat badan (edema) ,penurunan berat badan (dehidrasi), mual , muntah, anoreksia, nyeri uluhati. Tanda : Perubahan turgor kulit/kelembaban, edema (umum, bagian bawah).

Diagnosa Keperawatan

Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien CKD adalah:

1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urin, diet berlebihan dan retensi cairan dan natrium

2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membran mukosa mulut

3. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisis

4. PK Anemia

Asuhan Keperawatan

1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urin, diet berlebihan dan retensi cairan dan natrium Tujuan

: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan Kriteria Hasil : dalam waktu 3x24 jam pasien akan :

a. Menunjukkan perubahan berat badan

b. Mempertahankan pembatasan diet dan cairan

c. Menunjukkan turgor kulit normal tanpa edema Intervensi

1. Batasi masukan cairan

2. Identifikasi sumber potensial cairan :

a. Medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan : oral, intravena

b. Makanan

3. Monitor status cairan

a. Timbang berat badan harian

b. Keseimbangan masukan dan haluaran

c. Turgor kulit dan adanya edema

d. Distensi vena leher

e. Tekanan darah, denyut dan irama nadi

4. Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan Rasional

: 1. Mempertahankan pembatasan diet dan cairan