Cooperation Perangkat Interaksi Aktor da

Tugas Summary 2 PIHI (Konsep dalam Hubungan Internasional)
Kelas : PIHI B
NPM : 1506685233

Cooperation: Perangkat Interaksi Aktor Internasional dalam Mencapai
Mutual Understanding
Perang Dunia I telah mengubah dunia dalam mencapai sebuah tatanan yang baru. Saat
itu banyak konsep pemikiran yang muncul pada saat berlangsungnya peristiwa tersebut.
Pemikiran-pemikiran tersebut banyak membahas tentang bagaimana interaksi negara dan
aktor-aktornya dalam mewujudkan perdamaian. Berangkat dari hal ini, para aktor negara
dalam menjalin interaksi dengan aktor lain menggunakan kerjasama dengan tujuan
mendapatkan interest dan complementary dari interaksi keduanya. Kemudian, munculah
konsep Cooperation dalam ilmu hubungan internasional yang merupakan implikasi dari
pemikiran para aktor dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Pada tulisan ini, penulis akan
memaparkan konsep Cooperation menggunakan metode kepustakaan yang bertujuan
memfokuskan pokok bahasan. Pertama, penulis akan menyampaikan definisi Cooperation
berdasarkan para ahli hubungan internasional; lalu, akan dijelaskan faktor penunjang dan
tujuan dari adanya Cooperation; kemudian, dilanjutkan dengan pembahasan pemahaman
Cooperation dari sudut pandang Game Theory: Prisonner’s Dillema. Tulisan ini akan diakhiri
oleh penulis dengan memberikan sebuah kesimpulan berdasarkan instrumen-instrumen dari
sebuah konsep Cooperation.

Sebelum memasuki ranah yang lebih jauh, penulis akan menyampaikan definisi dari
Cooperation menurut beberapa ahli hubungan internasional. Dalam bukunya After
Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy, Keohane mengatakan
bahwa Cooperation merupakan kondisi dan situasi saat aktor negara yang berperan sebagai
aktor internasional menyesuaikan prilaku dan tindakan mereka terhadap sebuah peristiwa
yang sedang terjadi sebagai cara atau usaha pengawasan terhadap aktor lain yang merupakan
manifestasi dari antisipasi para aktor dalam proses penentuan kebijakan dan konsensus
bersama.1 Berangkat dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa Cooperation merupakan
penyesuaian tindakan para aktor dengan tujuan mencapai kesepakatan kolektif.
1

Robert O. Keohane. After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy. (New
Jersey: Princeton University Press, 1984), hlm.51—52.

1

Milner dalam bukunya International Theories of Cooperation among Nations:
Strenghts and Weaknesses mengatakan hal yang tidak jauh berbeda sebagaimana yang
diungkapkam Keohane. Menurut Milner, Cooperation merupakan sebuah situasi saat para
aktor dapat menyesuaikan dan menyelaraskan tindakannya dengan porsi yang baik dan benar

dengan tujuan membatasi opsi aktor lain yang dicapai dengan policy coordination.2 Adanya
policy coordination dapat meminimalisir ketimpangan dan kerugian dalam perumusan
kebijakan tertentu.
Merujuk pada definisi Cooperation di bagian sebelumnya, terdapat beberapa cara
yang membuat terwujudnya suatu Cooperation antaraktor yakni pertama, sebuah
Cooperation dapat terjadi tanpa adanya koordinasi atau kesepakatan di awal oleh para aktor.
Menurut Axelrod, di dalam bukunya yang berjudul The Evolution of Cooperation, sebuah
komunikasi atau koordinasi yang riil tidaklah terlalu memiliki dampak signifikan
dibandingkan dengan Cooperation yang sifatnya behavioural.3 Kemudian, Cooperation juga
dapat terjadi karena adanya negosiasi. Negosiasi merupakan langkah awal para aktor dalam
mencapai suatu pemahaman yang sama dengan tujuan mencapai kesepakatan di antara
mereka. 4 Cara terakhir dalam terbentuknya Cooperation ialah dengan koersi yang dilakukan
terhadap aktor yang memiliki power besar terhadap yang lebih lemah dan memiliki tujuan
untuk mencapai mutual gains, cara koersi atau pemaksaan ini merupakan bentuk nyata dari
asymmetric power.5
Pada dasaranya, Cooperation bukan hanya sebuah peristiwa yang terjadi karena sebatas
interaksi antaraktor internasional dalam menyelesaikan suatu isu atau permasalahan. Lebih
kompleks lagi, Cooperation terjadi karena adanya faktor-faktor penunjang di dalamnya yakni
pertama, payoff structure.6 Payoff structure pertama kali diresmikan oleh Axelrod yang
mengatakan bahwa payoff structure mempengaruhi tingkat kerjasama dengan menjelaskan

beberapa model permainan untuk mengukur seberapa besar payoff structure mempengaruhi
kecenderungan aktor untuk bekerjasama. Dari hal inilah kemudian muncul Games Theory
seperti Prisonner’s Dilemma. Payoff structure

sering bergantung pada peristiwa yang

terjadi di luar kendali aktor. Payoff structure yang saling menguntungkan akan berbeda
2

Helen Milner.International Theories of Cooperation among Nations: Strenghts and Weaknesses. (World
Politics. 44, 1992), hlm. 466—467.
3
Ibid., hlm. 469.
4
Ibid., hlm.470.
5
Ibid.
6
Robert Axelrod dan Robert O.Keohane. Achieving Cooperation Under Anarchy: Strategies and Institutions.
(World Politics, Vol. 38, No. 1, 1985), hlm. 228.


2

tingkat kerjasamanyadibanding dengan payoff yang menawarkan suatu pilihan yang sulit.
Lebih besar konflik kepentingan antara aktor, maka akan lebih besar pula kemungkinan aktor
memilih to defect dalam kerjasama. Payoff structure yang mempengaruhi mutuality of
interest tidak berdasarkan pada faktor tujuan, tetapi didasarkan pada persepsi aktor atas
kepentingan mereka. Payoff structure

yang menentukan kebersamaan dari hasil yang

didapatkan tidak hanya didasarkan pada faktor obyektif tetapi, didasarkan pada persepsi para
aktor kepentingan mereka sendiri.7 Persepsi mendefinisikan kepentingan. Oleh karena itu,
untuk

memahami mutualitas derajat kepentingan kita

harus

memahami proses


dimana

kepentingan dianggap dan preferensi ditentukan.
Salah satu cara untuk memahami proses ini adalah untuk melihatnya sebagai
perubahan timbal balik, sehingga permainan Prisoner’s Dilemma seperti yang sebelumnya
sudah disinggung di atas menjadi baik lebih atau kurang konfliktual. Dalam Prisoner’s
Dilemma, orang cenderung mencari keuntungan pribadinya, oleh karena itu, orang akan
cenderung melakukan defect dalam Prisoner’s Dilemma. Karena DC (Defect-Cooperation)
nilainya lebih besar daripada CC (Cooperation-Cooperation). Bahkan nilai DD (defectdefect) nilainya lebih besar dibanding CD (cooperation-defect). Dalam Prisoner’s Dilemma
menunjukkan bahwa konflik kepentingan diantara pemain sangat besar, maka lebih besar
pula kemungkinan pemain memilih to defect atau tidak bekerja sama.8
Faktor penunjang kedua dari Cooperation ialah The Shadow of The Future, yang
artinya ambisi di masa depan. Dimensi kedua yang mempengaruhi kecenderungan aktor
untuk bekerjasama adalah kekhawatiran tentang masa depan. Hasil yang akan dicapai dimasa
depan dalam sebuah kerjasama adalah nilai-nilai relatif terhadap hasil saat ini. Maksudnya
apa yang didapat sekarang meskipun kecil nilainya namun suatu kerjasama akan bernilai jika
kerjasama tersebut memiliki potensi menguntungkan di masa depan. Kerjasama Internasional
dalam sebuah rezim internasional memang tidak dapat sepenuhnya menjamin perolehan
keuntungan maksimal. Namun, keterjaminan kerjasama jangka panjang (iterated play)

setidaknya lebih menguntungkan dibandingkan defect untuk keuntungan yang hanya bersifat
sementara (myopic pursuit) yang dapat membawa kerugian di jangka panjang. Itulah
sebabnya diperlukan Shadow of the future dalam bentuk Long time horizon sehingga dapat
diperoleh keuntungan yang terbaik yang bisa didapat melalui kerjasama internasional.9

7

Robert Axelrod dan Robert O.Keohane. Achieving Cooperation Under Anarchy: Strategies and Institutions.
(World Politics, Vol. 38, No. 1, 1985), hlm. 228—230.
8
Ibid., hlm.229.
9
Ibid., hlm.232.

3

Faktor penunjang ketiga dalam terbentuknya Cooperation yakni, The Number of
Actors, number of actors merupakan berapa banyak aktor yang ikut berpartisipasi dalam
menjalankan kerja sama. Kemampuan aktor untuk bekerja sama dalam mixed-motive
game dipengaruhi tidak hanya oleh payoff structure dan shadow of the future, tetapi juga

oleh jumlah

pemain

dalam

permainan

dan bagaimana

hubungan mereka

terstruktur. Semakin banyak aktor dan kepentingan di dalamnya yang terlibat maka akan
semakin fragile suatu kerjasama. Strategi yang efektif untuk memelihara kerjasama dalam
adalah

prinsip

resiprositas. Resiprositas


akan

efektif

jika

pertama,

aktor

dapat

mengindetifikasi defectors; kedua, aktor dapat mengobservasi dan fokus terhadap hal yang
dilakukan oleh defectors; ketiga, aktor memiliki insentif jangka panjang yang cukup untuk
memberi tekanan kepada defectors.10
Di sisi lain, Milner dalam bukunya yang berjudul International Theories of
Cooperation among Nations: Strenghts and Weaknesses, memaparkan asumsi bahwa jumlah
aktor yang turut berpartisipasi memengaruhi keberhasilan dari Cooperation yang terjadi.
Menurutnya, semakin banyak aktor yang ikut berperan di dalam Cooperation, akan
menghasilkan dampak positif yang signifikan. Beberapa alasan yang mendukung hal ini

seperti berikut; pertama, jika semakin banyak yang berperan akan semakin besar yang aktor
yang terlibat dalam di dalam Cooperation. Kemudian, asymmetrical power akan bisa
terstimulus karena adanya negara-negara besar yang akan mengatur jalannya proses
kebijakan dalam kerjasama antaraktor, karena negara-negara yang memiliki power yang lebih
besar akan mendistribusikan pekerjaan yang menghasilkan konsekuensi bagi aktor lain.
Terakhir, semakin besarnya partisipan di dalam Cooperation akan meminimalisir persaingan
untuk mencapai relative gains dan juga vulneralbility terhadap Cooperation itu sendiri akan
terjaga.11
Cooperation pada awal kemunculannya merupakan gagasan para liberalis dalam
upaya mencegah terjadinya konflik dan menciptakan perdamaian, mereka optimis bahwa
setiap manusia memiliki sifat baik dan tulus dalam dirinya. Contoh dari hal ini ialah saat
Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, mengusulkan bahwa negara-negara yang sedang
berperang dalam Perang Dunia I harus dapat menjalin kerjasama yang pada saat itu
10

11

Ibid., hlm.235—236.
Helen Milner. International Theories of Cooperation among Nations: Strenghts and Weaknesses. (World
Politics, 44 (3), 1992), hlm.473.


4

kerjasama yang paling dikenai dampak kehancuran dari Perang Dunia I ialah perdagangan.
Gagasan ini berimplikasi pada sebuah penentuan sikap yang diterapkan kepada negara-negara
untuk mengubah cara pandang bahwa yang seharusnya dilakukan ialah mengorganisir
perdamaian kolektif bukan menjadikan persaingan sebagai kepentingan kolektif dengan cara
melakukan kerjasama antarnegara/antaraktor12.
Berangkat dari pemaparan penulis di atas, dapat dikatakan bahwa terdapat tujuan dari
adanya Cooperation antaraktor. Tujuan tersebut antara lain; pertama, mutual understanding
yang akan terjadi di negara-negara yang melakukan kerjasama. Mutual understanding dapat
meminimalisasi

konfrontasi

atau

provokasi

yang


merugikan

aktor-aktor

dengan

menggantikan konfrontasi dan provokasi tersebut dengan konsesi bersama di dalam
Cooperation.13
Kemudian, dengan adanya kerjasama antaraktor akan menghasilkan accomodative
bargaining. Accomodative bargaining bertujuan untuk saat para aktor internasional saling
dihadapkan satu sama lain, mereka dapat bekerja sama dengan menggunakan cara-cara nonkoersif. Axelrod mengatakan bahwa dengan melakukan kerjasma akan menciptakan suatu
kestabilan dengan strategi seperti; niceness, forgiveness, dan provocability. Strategi tersebut
dalam Cooperation akan meningkatkan kredibilitas terhadap aktor lawan.14
Kerjasama juga bertujuan untuk membangun relasi kerja yang didasarkan atas norms,
value, dan interdependence. Ketiga fondasi relasi kerja tersebut akan menghasilkan suatu
aturan dan timbal balik yang lebih adil dan merata karena para aktor tidak ingin mengambil
risiko untuk dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Regulasi dan timbal balik atau
struktur yang terbentuk di dalam kerjasama tersebut merupakan bagian dari détente.15
Faktor pembentuk dan tujuan dari adanya Cooperation cukup menjelaskan bahwa
sebuah kerjasama baik untuk dilakukan dengan maksud tercapainya mutual understanding
para aktor dalam mencapai kesepakatan. Namun, di sisi lain terdapat hal penting yang
merupakan pisau bedah dari Cooperation itu sendiri yakni, Game Theory: Prisoner’s
Dilemma, Prisoner’s Dilemma merupakan perumpamaan yang dipakai sebagai analogi dalam
berlangsungnya proses Cooperation. Prisoner’s Dillema merupakan permainan dimana
pemain hanya memiliki pilihan untuk bisa kooperatif atau defektif terhadap pemain (dalam
12

Henry A. Kissinger. “World Order”, Woodrow Wilson: America as the World’s Conscience. (United States of
America: Penguin Press, 2014), hlm.262.
13
Kjell Goldman. The Logic of Internationalism: Coercion and Accomodation. (New York: Routledge, 1994),
hlm. 137.
14
Ibid., hlm.140.
15
Ibid., hlm.141.

5

kasus ini aktor internasional yang menjadi partisipan). Setiap kebijakan atau ketentuan akan
diputuskan pada setiap putaran dan antara satu aktor dengan aktor yang lain mereka tidak
akan mengetahui apa yang akan dipilih oleh rivalnya dan begitu juga sebaliknya. 16
Dalam The Evolution of Cooperation, Axelrod mengatakan bahwa prisonner’s
dilemma dibagi menjadi tiga macam permainan. Pertama, tindakan yang saling kooperatif
diantara aktor-aktor yang ikut bermain. Ketika para pemain melakukan tindakan yang
kooperatif (CC) terhadap satu sama lain, pemain tersebut akan mendapatkan gains yang
bernilai sama yakni tiga poin yang disebut dengan reward (R). Permainan yang kedua ialah
ketika satu aktor bertindak kooperatif terhadap yang lain namun aktor lain bertindak defektif
(CD/DC), dampaknya kepada aktor yang bertindak kooperatif tidak akan mendapatkan poin
dan aktor yang bertindak sebagai defektor akan mendapat hasil yang lebih tinggi. Namun
demikian, pemain yang bertindak sebagai defektor, implikasinya ialah mereka akan
menerima temptation of defect (T) yang bernilai lima poin dan pemain yang melakukan
tindakan kooperatif mereka akan menerima konsekuensi yakni, menanggung kerugian yang
mengakibatkan mereka mendapat poin nol, hal ini disebut dengan sucker’s payoff. Kombinasi
terakhir dalm satu putaran permainan yaitu, saat semua aktor dalam permainan melakukan
tindakan defektif (DD) atau mereka seluruhnya menjadi defektor. Akibat yang akan diterima
pemain saat menjadikan dirinya defektor ialah punishment (P), sehingga semua pemain yang
melakukan tindakan defektif hanya mendapat nilai satu poin dalam putaran ini.17
Berkaitan dengan penjelasan penulis terkait prisonner’s dilemma di atas, Axelrod juga
menyatakan bahwa di dalam sebuah proses Cooperation terdapat discount parameter.
Discount parameter merupakan pengurangan hasil yang didapat dari setiap putaran dalam
permainan. Berangkat dari instrumen ini, dua strategi lain dalam prisonner’s dilemma yang
mungkin dilakukan oleh para aktor ialah TIT—for—TAT dan ALL D (Semua pemain bertindak
sebagai defektor).18
Prisonner’s Dilemma juga menawarkan strategi lain dalam permainannya yakni, TIT
—for—TAT. TIT—for—TAT merupakan strategi dengan tiga ciri utama yakni, memiliki ciri
yang baik saat diawal yakni dengan mengajak yang lain untuk bisa kooperatif (impressive
performance), ciri selanjutnya adalah membalas defektor dengan melakukan defect di putaran
permainan berikutnya dengan tujuan menghukum defektor, kemudian yang terakhir ialah
forgiving dengan tujuan membangkitkan kembali kerjasama antaraktor saat aktor lain sudah
16
17
18

Robert Axelrod. The Evolution of Cooperation. (New York: Basic Books, Inc., Publishers, 1984), hlm.8—9 .
Ibid., hlm.10—11.
Ibid., hlm.12

6

menunjukan sikap cooperating terhadapnya. Strategi ini juga memberi stimulus kepada para
pemain untuk bisa cooperating di awal dengan aktor lainnya tanpa ada yang melakukan
tindakan defektif kepada yang lain. TIT—for—TAT mengantarkan para pemain kepada mutual
cooperation yang dampaknya ialah para aktor akan menerima reward akibat adanya
kesepahaman dalam bekerjasama maupun juga reward dari aktor yang mengalami kerugian di
salah satu putaran permainan. Strategi TIT—for—TAT juga membawa pemain untuk dapat
melakukan hal apapun yang telah dilakukan oleh para pemain pada putaran permainan
sebelumnya.19
Dalam penjelasannya mengenai strategi pada permainan prisonner’s dillema, Axelrod
menambahkan strategi ALL D yang mungkin dilakukan oleh para aktor. ALL D merupakan
cara permainan yang menuntut semua pemain untuk melakukan tindakan defektif dengan
tujuan mendapatkan goals yang sudah mereka targetkan. ALL D memiliki pola yang berkaitan
dengan pemain yang melakukan tindakan kooperatif dan pemain yang bertindak defektif
terhadap pemain lain. Pemain yang melakukan tindakan defektif akan bisa mendapatkan poin
maksimum dalam satu putaran permainan sebanyak empat poin. Namun, pemain yang sejak
awal bertindak kooperatif berisiko untuk mendapatkan poin minimum yakni sebesar dua
poin.20 Pada dasarnya, tindakan defektif menurut penulis memang lebih menguntungkan
pemain karena saat pemain lain melakukan tindakan kooperatif probabilitas untuk
mendapatkan hasil paling minimal atau bahkan tidak mendapatkan poin sama sekali, lebih
besar kemungkinan terjadinya.
Dalam politik internasional, mencapai sebuah kesepakatan kerjasama cukup sulit. Hal
ini terjadi karena di dalam dunia yang anarki tidak ada peraturan yang bersifat mengikat dan
memaksa seperti yang diungkapkan oleh kaum realis. Namun,

asumsi neorealis juga

menjelaskan bahwa struktur internasional adalah anarki, dimana tidak adanya satu kekuatan
dominan yang dapat mengatur negara-negara dalam sistem internasional. Ketiadaan kekuatan
yang dominan di dalam dunia yang anarki berarti tidak ada jaminan bahwa terciptanya
kepatuhan diantara negara-negara.
Sehingga kesimpulan yang didapat berdasarkan pemaparan penulis di bagian-bagian
sebelumnya, Cooperation sebagai perangkat penggerak interaksi antaraktor internasional
dalam menangani permasalahan ataupun isu dapat dijadikan acuan bertindak oleh para aktor.
Cooperation dijadikan sebagai acuan untuk bertindak karena memiliki instrumen yang
19

Charles Lipson. “International Cooperation in Economic and Security Affairs.” Dalam David A. Baldwin
(ed.), Neorealism and Neoliberalism: The Contemporary Debate. (New York: Columbia University Press,
1993), hlm.63.
20
Robert Axelrod. The Evolution of Cooperation. (New York: Basic Books, Inc., Publishers, 1984), hlm.14.

7

proper dalam menjadikannya alat pencapaian mutual understanding di antara para aktor;
seperti payoff structure, the shadow of future, number of actor merupakan indikator penting
dalam proses pelaksanaan Cooperation. Lebih jauh lagi, Prisonner’s Dilemma sebagai
pembedah cara kerja dari Cooperation telah memberikan kontribusi bagi para pemain (aktor
internasional) untuk dapat memprediksikan langkah tepat dalam mencapai mutual
cooperation di antara para aktor. Terlepas dari instrumen dan indikator yang terdapat pada
Cooperation, terdapat hal penting yaitu, sikap (behaviour) para aktor yang ikut andil dalam
Cooperation tersebut yang dapat menentukan apakah kerjasama yang terjalin akan menuju
keberhasilan atau justru sebaliknya.

8

DAFTAR PUSTAKA
Axelrod, Robert dan Robert O. Keohane. 1985. “Achieving Cooperation Under Anarchy:
Strategies and Institutions”. World Politics. Vol.38. No.1
Goldmann, Kjell. (2003) The Logic of Internasionalism: Coercion and Accommodation. New
York: Routledge
Keohane, O. Robert. 1984. After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political
Economy. New Jersey: Princeton University Press
Kisingger, Henry A. 2014. World Order. United States of America: Penguin Press
Lipson, Charles. 1993. International Cooperation in Economic and Security Affairs. Dalam
Baldwin, David A. (ed.). Neorealism and Neoliberalism: The Contemporary Debate.
New York: Columbia University Press
Milner, Helen. “International Theories of Cooperation among Nations: Strenghts and
Weaknesses.” World Politics. 44 (3). p.466-496

9