Makalah contoh pembuatan isu kasus audit

KATA PENGANTAR
Puji syukur Saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya Saya
menyelesaikan makalah saya yang berjudul Peran Audit forensik dalam Mengungkap Fraud dan
Penerapannya dalam Kasus Hambalang. Makalah ini merupakan tugas pengganti mid dari mata
kuliah Akuntansi Sektor Publik.
Makalah ini terdiri dari 4 bab yaitu pendahuluan, kajian teori, pembahasan kasus dan
penutup dalam kajian teori saya memaparkan antara lain pengertian audit forensik, Tugas
auditor forensik, Peran bpk dalam audit forensik, Pelaksanaan audit forensik,
Peran penting audit forensik, Tujuan audit forensik. Perbedaan audit forensik dan audit
konvensional, Alasan diperlukannya audit forensik, serta Audit forensik dalam membantu
mewujudkan good Governance. Dan di bagian pembahasan saya akan memaparkan penerapan
audit forensik dalam kasus Hambalang.
Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat dan memenuhi kewajiban tugas Akuntansi
Sektor Publik. Saya menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, saran dan kritik sangat saya harapkan.
Sungguminasa, 28 November 2013
Penulis
DAFTAR ISI
A.
B.
A.

B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.

BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang....................................................................................... 3
Rumusan Masalah................................................................................. 4
BAB II
KAJIAN TEORI
Pengertian audit forensik...................................................................... 6
Tugas auditor forensik.......................................................................... 7
Peran bpk dalam audit forensik............................................................ 7
Pelaksanaan audit forensik.................................................................... 9
Peran penting audit forensik............................................................... 12

Tujuan audit forensik.......................................................................... 13
Perbedaan audit forensik dan audit konvensional.............................. 13
Alasan diperlukannya audit forensik.................................................. 14
Audit forensik dalam membantu mewujudkan good Governance..... 15
BAB III
PEMBAHASAN
Penerapan Audit Forensik Dalam Kasus Hambalang..................................... 18
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................................... 25
B. Saran................................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak kecurangan di pemerintahan di Indonesia sudah mencapai tingkat yang
memprihatinkan. Bila kita sering membaca surat kabar atau melihat televisi, maka kita akan
disuguhi banyak berita tentang kasus-kasus fraud yang telah melibatkan oknum-oknum yang
tidak bertanggung jawab, baik dijajaran lembaga legislatif, eksekutif bahkan yudikatif. Berbagai
usaha telah dilakukan Pemerintah Indonesia baik dengan memberdayakan secara maksimal

lembaga-lembaga penegak hukum, seperti Kejaksaan, Pengadilan, dan Kepolisian. Bahkan
dalam dasawarsa terakhir Pemerintah juga telah membentuk dan memberdayakan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun
sayangnya hasil yang di dapat masih belum sesuai dengan harapan, di mana Indonesia masih
menduduki 10 negara terkorup di dunia. Mengapa hal ini terjadi?
Terjadinya kecurangan tersebut yang tidak dapat terdeteksi oleh suatu pengauditan dapat
memberikan efek yang merugikan dan cacat bagi proses pelaporan keuangan. Adanya
kecurangan berakibat serius dan membawa dampak kerugian. Apabila dilihat dari peran akuntan
publik, fenomena kecurangan ini menjadi masalah yang serius karena menyangkut citra akuntan
publik terutama auditornya.
Kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah sulit terdeteksi karena
pelaku biasanya merupakan orang-orang yang dipercaya untuk menjalankan suatu proyek. Oleh
karena itu, auditor laporan keuangan harus mempunyai keahlian untuk mendeteksi kecurangan
ini. Untuk tindak lebih lanjut, auditor laporan keuangan ini hanya dapat mendeteksi saja
sedangkan untuk pengungkapannya diserahkan pada auditor forensik yang lebih berwenang.
Auditor forensik inilah yang nantinya akan menggunakan suatu aplikasi audit lain
selain audit biasa yang digunakan para auditor laporan keuangan untuk mengungkapkan
kecurangan yaitu Audit forensik.
Peran audit forensik dalam mengungkap kecurangan di Indonesia dari waktu ke waktu
semakin terus meningkat. Audit forensik banyak diterapkan ketika Komisi Pemeberantasan

Korupsi (KPK) mengumpulkan bukti-bukti hukum yang diperlukan untuk menagani kasus-kasus
korupsi yang dilaporkan kepada instansi tersebut. Audit forensik juga digunakan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), Kepolisian, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP), serta Inspektorat Jenderal Kementerian untuk menggali informasi selama proses
pelaksanaan audit kecurangan (fraud audit) atau audit investigasi. Namun apakah audit forensik
yang telah diterapkan sudah cukup memadai? Artikel ini, melalui tinjauan secara teoritisnya,

akan mencoba untuk menjelaskan bagaimana peran audit forensik dalam mengungkap fraud di
instsansi-instansi pemerintah.
B.













RUMUSAN MASALAH
Apa pengertian audit forensik ?
Apa saja tugas dari auditor forensik ?
Apa peran BPK dalam audit forensik ?
Bagaimana cara pelaksanaan audit forensik ?
Apa peran penting dari audit forensik ?
Apa tujuan audit forensik ?
Apa perbedaan audit forensik dan audit konvensional ?
Mengapa audit forensik dibutuhkan ?
Apa peran audit forensik dalam membantu mewujudkan good governance ?
Bagaimana penerapan audit forensik dalam kasus hambalang ?

BAB II
KAJIAN TEORI
A. PENGERTIAN AUDIT FORENSIK
Audit Forensik terdiri dari dua kata, yaitu audit dan forensik. Audit adalah tindakan untuk
membandingkan kesesuaian antara kondisi dan kriteria. Sementara forensik adalah segala hal
yang bisa diperdebatkan di muka hukum / pengadilan.

Dengan demikian, audit forensik bisa didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan
membandingkan antara kondisi di lapangan dengan kriteria, untuk menghasilkan informasi atau
bukti kuantitatif yang bisa digunakan di muka pengadilan.
Menurut Charterji (2009) Audit forensik (forensic auditing) dapat didefinisikan sebagai
aplikasi keahlian mengaudit atas suatu keadaan yang memiliki konsekuensi hukum. Audit
forensik umumnya digunakan untuk melakukan pekerjaan investigasi secara luas. Pekerjaan
tersebut meliputi suatu investigasi atas urusan keuangan suatu entitas dan sering dihubungkan
dengan investigasi terhadap tindak kecurangan (fraud), oleh karena itu audit forensik sering juga
diartikan sebagai audit investigasi.
Di Indonesia lembaga yang berhak untuk melakukan auditforensik adalah auditor BPK,
BPKP, dan KPK yang memiliki sertifikat Certified Fraud Examiners (CFE).
B. TUGAS AUDITOR FORENSIK

Auditor forensik bertugas memberikan pendapat hukum dalam pengadilan (litigation).
Disamping tugas auditor forensik untuk memberikan pendapat hukum dalam pengadilan
(litigation), ada juga peran auditorforensik dalam bidang hukum di luar pengadilan (non
litigation), misalnya dalam membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam
sengketa, perumusan perhitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak pemutusan /
pelanggaran kontrak.
Audit forensik dibagi ke dalam dua bagian: jasa penyelidikan (investigative services) dan

jasa litigasi (litigation services). Jenis layanan pertama mengarahkan pemeriksa penipuan atau
auditor penipuan, yang mana mereka menguasai pengetahuan tentang akuntansi mendeteksi,
mencegah dan mengendalikan penipuan. Jenis layanan kedua merepresentasikan kesaksian dari
seorang pemeriksa penipuan dan jasa-jasa Audit forensik yang ditawarkan untuk memecahkan
isu-isu valuasi, seperti yang dialami dalam kasus perceraian. Tim audit harus menjalani pelatihan
dan diberitahu tentang pentingnya prosedur Audit forensik di dalam praktek audit dan kebutuhan
akan adanya spesialis forensik untuk membantu memecahkan masalah.
C. PERAN BPK DALAM AUDIT FORENSIK
Perkembangan positif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia tersebut membuat
Badan Pemeriksa Keuangan yang selama era orde baru “dikerdilkan” menjadi pulih, dengan
terbitnya Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang menegaskan
tentang kewenangan BPK sebagai Pemeriksa Keuangan Negara yang kemudian di dukung
dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2006 yang memberikan kemandirian dalam pemeriksaan
Keuangan Negara baik yang tidak dipisahkan maupun yang dipisahkan seperti BUMN dan
BUMD skaligus penentu jumlah kerugian Negara.
Oleh karena itu BPK harus meredifinisikan dirinya untuk menjadi garda terdepan dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan cara meningkatkan metodologi auditnya dan
meningkatkan kinerja pegawainya dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara termasuk
didalamnya keahlian tehnis dalam mendeteksi fraud yaitu mempunyai kemampuan
mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi secara fair, tidak memihak, sahih, akurat serta

mampu melaporkan fakta secara lengkap.
Salah satu pendekatan yang bisa diambil dalam upaya pemberantasan korupsi adalah
dengan menerapkan Audit Forensik atau sebagian orang menyebutnya Audit Investigatif.
Sebenarnya BPK sebagai Pemeriksa Keuangan Negara memiliki prestasi yang layak diapresiasi
dalam melakukan audit forensik, dengan melakukan audit investigasi terhadap Penyaluran
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia maupun aliran Dana Bank Indonesia ke sejumlah pejabat,
dengan bantuan software khusus audit, BPK mampu mengungkap penyimpangan BLBI sebesar
Rp84,8 Trilyun atau 59% dari total BLBI sebesar Rp144,5 Trilyun yang berimbas terhadap

beberapa mantan petinggi bank swasta nasional diadili karena mengemplang BLBI, sedangkan
kasus aliran Dana Bank Indonesia lebih heboh lagi karena hasilaudit investigasi BPK
menunjukkan aliran dana Bank Indonesia sebesar Rp127,5 Milyar ke Pejabat Bank Indonesia,
Anggota DPR termasuk diantaranya sudah menjadi Menteri Negara, kasus ini mencuat tajam
sehingga Mantan Gubernur BI dan beberapa pejabat yang terkait harus mendekam diterali besi
ditemani koleganya para anggota DPR yang menerima aliran dana tersebut, hal yang patut
ditunggu adalah kelanjutan hasil pengadilan yang menentukan siapa saja yang terlibat
didalamnya.
D. PELAKSANAAN AUDIT FORENSIK
Proses pelaksanaan audit forensik, dalam banyak hal, sama dengan proses pelaksanaan
audit, tetapi dengan tambahan beberapa pertimbangan. Berikut adalah langkah-langkah audit

forensik secara umum dan singkat.
Langkah I: Menerima tugas
Auditor forensik pertama kali harus mempertimbangkan apakah dirinya memiliki
keahlian dan pengalaman yang dibutuhkan untuk menerima pekerjaan tersebut. Investigasi
forensik bersifat khusus, dan pekerjaan tersebut memerlukan pengetahuan tentang investigasi
fraud dan pengetahuan tentang hukum secara luas dan mendalam. Para auditor juga harus
memperoleh pelatihan di dalam melakukan teknik-teknik interviu dan interogasi, dan bagaimana
menyimpan bukti-bukti yang diperoleh secara aman. Auditor sebaiknya tidak memberikan jasa
audit umum dan investigasi forensik atas klien yang sama.
Langkah II: Perencanaan
Tim auditor harus berhati-hati dalam merencanakan pekerjaan audit forensik.
Perencanaan pekerjaan audit ini paling tidak harus mencakup hal-hal berikut:
 Mengidentifikasi jenis fraud yang terjadi, seberapa lama fraud telah berlangsung, dan bagaimana
fraud telah dilakukan, siapa pelakunya dan juga termasuk mengkuantifikasi kerugian finansial
yang diderita oleh klien dan mengumpulkan bukti yang akan digunakan di pengadilan.
 Memberi saran untuk pencegahan terulangnya fraud.
 Mempertimbangkan cara terbaik mendapatkan bukti.
 Menggunakan teknik audit berbantuan computer, bila diperlukan.
Langkah III: Mengumpulkan Bukti
Dalam rangka mengumpulkan bukti yang lengkap, auditor (investigator) harus

memahami jenis fraud dan bagaimana kecurangan tersebut telah dilakukan. Bukti-bukti yang
dikumpulkan harus memadai untuk membuktikan identitas pelakunya, mekanisme pelaksanaan
fraud, dan jumlah kerugian finansial yang diderita. Hal penting yang harus dipikirkan adalah

bahwa tim auditor memiliki keahlian di dalam mengumpulkan bukti yang akan digunakan dalam
kasus persidangan, dan menjaga rantai pengamanan bukti-bukti hingga dikemukakan dalam
persidangan. Jika ada bukti yang belum dapat disimpulkan atau ada kejanggalan dalam rantai
prosesnya, maka bukti tersebut mungkin akan dimentahkan dalam persidangan, atau bahkan bisa
menjadi bukti yang melemahkan. Auditor juga harus diperingatkan bahwa kemungkinan buktibukti akan diselewengkan (falsified), dirusak atau dihancurkan oleh tersangka.
Bukti dapat dikumpulkan dengan menggunakan berbagai teknik, seperti:
 Menguji pengendalian guna mendapatkan bukti adanya kelemahan (kemungkinan adanya
kecurangan);
 Menggunakan prosedur analistis (analytical procedures) untuk membandingkan tren dari waktu
ke waktu atau untuk memberikan gambaran tentang perbandingan antara satu segmen bisnis
dengan segmen bisnis lainnya dengan menggunakan teknik-teknik audit berbantuan komputer.
Langkah IV: Penyusunan Laporan
Pada tahap akhir ini, auditor melakukan penyusunan laporan hasil audit forensik. Dalam laporan
ini setidaknya ada 3 poin yang harus diungkapkan. Poin-poin tersebut antara lain adalah:
 Kondisi, yaitu kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan.
 Kriteria, yaitu standar yang menjadi patokan dalam pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu, jika

kondisi tidak sesuai dengan kriteria maka hal tersebut disebut sebagai temuan.
 Simpulan, yaitu berisi kesimpulan atas audit yang telah dilakukan. Biasanya mencakup sebab
fraud, kondisi fraud, serta penjelasan detail mengenai fraud tersebut.
E. PERAN PENTING AUDIT FORENSIK
Dalam beberapa artikel dan literatur, pembahasan Audit forensik lebih mengarah kepada
kasus pembuktian penyimpangan keuangan atau korupsi. Akan tetapi, tidak menutup
kemungkinan, audit forensikdiperlukan untuk pembuktian pada kasus-kasus penipuan.
Objek audit forensik adalah informasi keuangan yang mungkin (diduga) mengandung
unsur penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud bisa berupa tindakan merugikan keuangan
perusahaan, seseorang, atau bahkan negara. Temuan audit dari hasil pemeriksaan ini bisa
dijadikan salah satu alat bukti bagi penyidik, pengacara, atau jaksa untuk memutuskan suatu
kasus hukum perdata. Tidak menutup kemungkinan hasil audit juga akan memberikan bukti baru
untuk tindakan yang menyangkut hukum pidana, seperti penipuan.
Dalam kasus semacam ini, auditor dituntut harus benar-benar independen. Meskipun
penugasan auditdiberikan oleh salah satu pihak yang bersengketa, independensi auditor harus
tetap dijaga. Auditor tidak boleh memihak pada siapa-siapa. Setiap langkah, kertas kerja,

F.

1)
2)
3)
4)
5)

prosedur, dan pernyataan auditor adalah alat bukti yang menghasilkan konskuensi hukum pada
pihak yang bersengketa.
TUJUAN AUDIT FORENSIK
Tujuan dari audit forensik adalah mendeteksi atau mencegah berbagai jenis kecurangan
(fraud). Penggunaan auditor untuk melaksanakan audit forensik telah tumbuh pesat. Beberapa
contoh di mana audit forensik bisa dilaksanakan termasuk:
Kecurangan dalam bisnis atau karyawan.
Investigasi kriminal.
Perselisihan pemegang saham dan persekutuan.
Kerugian ekonomi dari suatu bisnis.
Perselisihan pernikahan.

G. PERBEDAAN AUDIT FORENSIK DAN AUDIT KONVENSIONAL
Perbedaaan utama Audit forensik dengan Audit maupun audit konvensional lebih
terletak pada mindset (kerangka pikir). Metodologi kedua jenis Audit tersebut tidak jauh berbeda.
Audit forensik lebih menekankan pada keanehan (exceptions, oddities, irregularities) dan pola
tindakan (pattern of conduct) daripada kesalahan dan keteledoran seperti pada audit umum.
Prosedur utama dalam Audit forensic menekankan pada analytical review dan teknik
wawancara mendalam (in depth interview) walaupun seringkali masih juga menggunakan
teknik audit umum seperti pengecekan fisik, rekonsiliasi, konfirmasi dan lain sebagainya.
Audit forensik biasanya fokus pada area-area tertentu (misalnya penjualan, atau pengeluaran
tertentu) yang ditengarai telah terjadi tindak kecurangan baik dari laporan pihak dalam atau
orang ketiga (tip off) atau, petunjuk terjadinya kecurangan (red flags), petunjuk lainnya.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar tindak kecurangan terbongkar karena tip off
dan ketidaksengajaan. Agar dapat membongkar terjadinya fraud (kecurangan) maka seorang
akuntan forensik harus mempunyai pengetahuan dasar Audit dan audit yang kuat, pengenalan
perilaku manusia dan organisasi (human dan organization behaviour), pengetahuan tentang
aspek yang mendorong terjadinya kecurangan (incentive, pressure, attitudes, rationalization,
opportunities) pengetahuan tentang hukum dan peraturan (standar bukti keuangan dan bukti
hukum), pengetahuan tentang kriminologi dan viktimologi (profiling) pemahaman terhadap
pengendalian internal, dan kemampuan berpikir seperti pencuri (think as a theft).
H. ALASAN DIPERLUKANNYA AUDIT FORENSIK
Mencoba menguak adanya tindak pidana korupsi dengan audit biasa (general audit atau
opinion audit) sama halnya mencoba mengikat kuda dengan benang jahit. BPK perlu alat yang
lebih dalam dan handal dalam membongkar indikasi adanya korupsi atau tindak penyelewengan

lainnya di dalam Pemerintahan ataupun dalam BUMN dan BUMD salah satu
metodologi audityang handal adalah dengan metodologi yang dikenal sebagai
Akuntansi forensik ataupun Audit Forensik.
Audit forensik dahulu digunakan untuk keperluan pembagian warisan atau mengungkap
motif pembunuhan. Bermula dari penerapan akuntansi dalam persoalan hukum, maka istilah
yang dipakai adalah akuntansi (dan bukan audit) forensik. Perkembangan sampai dengan saat ini
pun kadar akuntansi masih kelihatan, misalnya dalam perhitungan ganti rugi baik dalam
pengertian sengketa maupun kerugian akibat kasus korupsi atau secara sederhana forensik
menangani fraud khususnya dalam pengertian corruption dan missappropriation of asset.
Profesi ini sebenarnya telah disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) pasal 179 ayat (1) menyatakan: ”Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan”’. Orang sudah mahfum profesi dokter yang disebut dalam peraturan diatas yang
dikenal dengan sebutan dokter ahli forensik, namun ”ahli lainnya” yang dalam ini termasuk juga
akuntan belum banyak dikenal sebutannya sebagai akuntanforensik
I.

AUDIT FORENSIK DALAM MEMBANTU MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE
Seperti diketahui bahwa prinsip pemerintahan yang baik atau good governancememiliki
prinsip transparansi, akuntabilitas, keadilan, kemandirian, integritas dan partisipasi. Namun
kenyataannya itu sulit diwujudkan karena aparat pemerintah, termasuk pemerintah Indonesia,
kini marak melakukan tindakan kriminal seperti korupsi dan penggelapan dana lainnya sehingga
kasus tersebut semakin meningkat tajam dan kian memprihatinkan. Kasus tersebut muncul
karena mudahnya pelaku menerapkan semacam penipuan atau fraud sehingga kejahatannya sulit
dididentifikasi dan hanya pengadilan forensikyang bisa melacaknya.
Setidaknya ada tiga langkah yang dapat dilakukan untuk memerangi korupsi di samping
upaya hukum antara lain preventif atau pencegahan, edukatif atau pemberdayaan, dan terakhir
investigatif atau pengungkapan kasus yang dapat dilakukan dengan cara audit forensik.
Audit forensik mampu menekan kasus kriminal yang berkaitan dengan keuangan di
Indonesia seperti korupsi, pencucian uang, transaksi ilegal dan sebagainya. Terlebih kasus
tersebut sering terjadi di lingkungan pemerintahan sehingga menghambat pemerintah baik pusat
maupun daerah untuk mewujudkan pemerintahan yang baik.
Dr. Christoph Behrens, narasumber dari Center of Good Governance mengungkapkan
kelebihan investigasi audit forensik dibandingkan investigasi lainnya adalah independen, jauh
dari kecurangan dan teliti karena setiap laporan keuangan yang masuk dihitung dan diperiksa
hingga detail oleh auditor yang kompeten. Sehingga apabila ditemukan indikasi fraud atau
penyimpangan termasuk korpusi dapat dideteksi bahkan dicegah. Menurutnya,

Audit forensik adalah alat pengontrol dan investigasi setiap kegiatan keuangan pemerintah pusat
dan daerah sehingga dapat diketahui hasil bahkan pelanggarannya. Dengan itu, dapat mencegah
tindakan pidana yang mungkin terjadi serta mewujudkan pemerintah yang baik serta profesional.
Prof Dr Margareth Gfrerer juga menyebutkan bahwa audit forensik dapat dilakukan
dengan sistem pengendalian internal terutama melalui penerapan manajemen resiko. Sistem
pengendalian tersebut dapat berjalan apabila didukung kebijakan dari bawah hingga atas dengan
skema prosesauditing, evaluasi, monitoring, dan pelaporan. Dengan penerapan sistem seperti itu
akan meminimalisasi timbulnya resiko seperti, pelanggaran dan kasus korupsi yang terjadi
sehingga mewujudkan upaya good governance yang berlandaskan transparansi dan akuntabilitas.

BAB III
PEMBAHASAN
CONTOH PENERAPAN AUDIT FORENSIK DALAM KASUS HAMBALANG
1. Kasus Hambalang
Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di
Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, menuai kontroversial. Dalam audit BPK, ditulis bahwa
proyek bernilai Rp1,2 triliun ini berawal saat Direktorat Jenderal Olahraga Departemen
Pendidikan Nasional hendak membangun Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Pelajar Tingkat
Nasional (National Training Camp Sport Center).
Kemudian, pada tahun 2004 dibentuklah tim verifikasi yang bertugas mencari lahan yang
representatif untuk menggolkan rencana tersebut. Hasil tim verifikasi ini menjadi bahan Rapim
Ditjen Olahraga Depdiknas untuk memilih lokasi yang dianggap paling cocok bagi
pembangunan pusat olahraga tersebut. Tim verifikasi mensurvei lima lokasi yang dinilai layak
untuk membangun pusat olahraga itu. Yakni di Karawang, Hambalang, Cariu, Cibinong, dan
Cikarang. Tim akhirnya memberikan penilaian tertinggi pada lokasi desa Hambalang, Citeureup,
Bogor. Tim melihat, lahan di Hambalang itu sudah memenuhi semua kriteria penilaian tersebut
di atas. Sehingga lokasi tersebut dipilih untuk dibangun.
Menindaklanjuti pemilihan Hambalang, Dirjen Olahraga Depdiknas langsung
mengajukan permohonan penetapan lokasi Diklat Olahraga Pelajar Nasional kepada Bupati
Bogor. Bupati Bogor menyetujui dengan mengeluarkan Keputusan Bupati Bogor nomor
591/244/Kpes/Huk/2004 tanggal 19Juli 2004. Sambil menunggu izin penetapan lokasi dari
Bupati Bogor tesebut, pada 14 Mei 2004, Dirjen Olahraga telah menunjuk pihak ketiga yaitu PT
LKJ untuk melaksanakan pematangan lahan dan pembuatan sertifikat tanah dengan kontrak

No.364/KTR/P3oP/2004 dengan jangka waktu pelaksanaan sampai dengan 9 November 2004
senilai Rp4.359.521.320.
Namun, ternyata lokasi Hambalang itu masuk zona kerentanan gerakan tanah menengah
tinggi sesuai dengan peta rawan bencana yang diterbitkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM. Sesuai dengan sifat batuannya, PVMBG
menyarankan untuk tidak mendirikan bangunan di lokasi tersebut karena memiliki risiko bawaan
yang tinggi bagi terjadinya bencana alam berupa gerakan tanah.
Selain itu, status tanah di lokasi dimaksud masih belum jelas, meskipun telah dikuasai
sejak pelepasan/pengoperan hak garapan dari para penggarap kepada Ditjen Olahraga setelah
realisasi pembayaran uang kerohiman kepada para penggarap sesuai Berita Acara Serah Terima
Pelepasan/Pengoperan Hak Garapan tertanggal 19 September 2004.
Sejak itulah area tanah tersebut diakui sebagai aset Ditjen Olahraga dan kemudian pada
tanggal 18 Oktober 2005 diserahterimakan kepada organisasi baru yaitu Kementerian Negara
Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) setelah Ditjen Olahraga berubah menjadi Kemenpora.
Menpora saat itu, Adhyaksa Dault mengakui bahwa untuk membangun pusat olahraga pihaknya
mengajukan anggaran sebesar Rp125 miliar. Karena proyek tersebut awalnya bukan untuk
pembangunan pusat olahraga. Melainkan hanya pembangunan sekolah olahraga. "Rekomendasi
awalnya, di sana hanya untuk bangun sekolah olahraga dua lantai dan saya tidak tahu bagaimana
ceritanya berubah menjadi sport center," kata Adhyaksa saat berbincang dengan VIVAnews.
Nilai proyek ini kemudian melejit hingga Rp2,5 triliun saat Kemenpora dipimpin oleh
Menteri Andi Mallarangeng. Hal tersebut terungkap dalam audit Hambalang, bahwa pada
tanggal 8 Februari 2010 dalam Raker antara Kemenpora dengan Komisi X, Menpora
menyampaikan rencana Lanjutan Pembangunan tahap I P3SON di Bukit Hambalang
Rp625.000.000.000. Permintaan itu diajukan karena dalam DIPA Kemenpora TA 2010 baru
tersedia Rp125 miliar. Menpora Andi Mallarangeng juga menyampaikan bahwa usulan tersebut
merupakan bagian rencana pembangunan P3SON Bukit Hambalang Sentul yang secara
keseluruhan memerlukan dana sebesar Rp2,5 triliun.
Andi Mallarangeng pun menghormati hasil audit BPK atas proyek Hambalang tersebut.
Bahkan dirinya mendukung perlu adanya pihak yang bertanggung jawab jika memang ditemukan
adanya penyimpangan. "Sebagai menteri tentu saya menjalankan tugas sebaik-baiknya termasuk
dalam hal pengawasan," kata Andi.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo menyebut total kerugian
negara akibat Proyek Hambalang sebesar Rp463,67 miliar. Hal itu disampaikan dalam paparan
laporan hasil audit Hambalang Jilid II di ruang pimpinan DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (23/8).
"BPK menyimpulkan ada indikasi kerugian negara sebesar Rp463,67 miliar akibat adanya
indikasi penyimpaangan dan penyalahgunaan wewenang wewenang yang mengandung unsur-

unsur pidana yang dilakukan pihak-pihak terkait dalam pembangunan P3SON Hambalang,"
paparnya.
Pelanggaraan tersebut terletak pada beberapa tahapan. Pertama, proses pengurusan hak
atas tanah. Kedua, proses pengurusan izin pembangunan. "Ketiga, proses pelelangan. Keempat,
proses persetujuan RKA-KL dan persetujuan Kontrak Tahun Jamak," tambahnya. Kelima,
pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan keenam, pembayaran dan aliran dana yang diikuti
rekayasa akuntansi.
Terkait proses persetujuan RKA-KL dan persetujuan Kontrak Tahun Jamak, BPK juga
menemukan adanya pencabutan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 56/PMK.02/2010
yang diganti dengan PMK Nomor: 194/PMK.02/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan
Kontrak Tahun Jamak Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang diduga mengalami
penurunan makna substantif dalam proses persetujuan Kontrak Tahun Jamak. Hal ini dapat
melegalisasi penyimpangan semacam kasus hambalang untuk tahun-tahun berikutnya.
2. Hasil Audit Forensik Kasus Hambalang
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo memaparkan sejumlah hasil audit terhadap kasus
Hambalang ke DPR. Menurutnya laporan audit investigasi kasus Hambalang dilakukan dua tahap. Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) kasus Hambalang tahap I dilakukan pada 30 Oktober 2012.
Hasilnya telah disampaikan ke DPR. Dalam LHP tahap I, BPK menyimpulkan ada indikasi penyimpangan
terhadap peraturan perundang-undangan atau penyalahgunaan wewenang dalam proses persetujuan tahun jamak,
proses pelelangan, proses pelaksanaan konstruksi, dan dalam proses pencarian uang muka yang dilakukan pihak
terkait dalam pembangunan Hambalang yang mengakibatkan timbulnya indikasi kerugian negara sekurangkurangnya Rp 263,66 miliar.
Artinya, LHP tahap I dan II merupakan satu satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya secara
komprehensif

menyajikan

berbagai

dugaan

penyimbangan

dan/atau

penyalahgunaan

wewenang

dalam

pembangunan Hambalang.
Dalam LHP tahap II, terang Hadi, BPK menyimpulkan terdapat indikasi penyimpangan dan/atau
penyalahgunaan wewenang yang mengandung penyimpangan yang dilakukan pihak-pihak terkait dalam
pembangunan proyek hambalang. Penyimpangan wewenang itu terjadi pada proses pengurusan hak atas tanah,
proses izin pembangunan, proses pelelangan, proses persetujuan RAK K/L dan persetujuan tahun jamak,
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, pembayaran, dan aliran dana yang di ikuti dengan rekayasa akuntasi dalam
proyek Pusat Pendidiakn Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3 SON), Hambalang.. Dalam LHP tahap II ini
BPK kembali menemukan adanya penyimpangan dalam proses pengajuan dan kerugian negara mencapai Rp471
miliar.
Berikut kesimpulan LHP tahap II BPK soal Hambalang;

1)

Bahwa permohonan persetujuan kontrak tahun jamak dari Kemenpora kepada Menteri Keuangan atas proyek
pembangunan P3 SON Hambalang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan
yang berlaku, sehingga selayaknya permohonan tersebut tidak dapat disetujui Menteri Keuangan.

2)

Bahwa pihak-pihak terkait secara bersama-sama diduga telah melakukan rekayasa pelelangan untuk memenangkan
rekanan tertentu dalam proses pemilihan rekanan pelaksana proyek pembangunan P3 SON Hambalang.

3)

Bahwa pihak Kemenpora selaku pemilik proyek tidak pernah melakukan studi amdal maupun menyusun DELH
(Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup) terhadap proyek pembangunan P3 SON Hambalang sebagaimana yang
diamanatkan UU Lingkungan Hidup. Persyaratan adanya studi amdal terlebih dahulu sebelum mengajukan izin
lokasi, site plan, dan IMB kepada Pemkab Bogor tidak pernah dipenuhi oleh Kemenpora.

Terkait dengan persetujuan RAK K/L dan persetujuan tahun jamak, BPK juga menemukan adanya
pencabutan Peraturan Menteri Keuangan No 56/2010 yang diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan No
194/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011 patut diduga bertentangan dengan Pasal 14 UU No 1/2004.
Peraturan tersebut diduga untuk melegalisasi dugaan penyimpangan yang telah terjadi. Pencabutan Permenkeu No
56/2010,mengindikasikan adanya pembenaran atas ketidakbenaran atau penyimpangan atas Pasal 14 UU No
1/2004. Berbagai indikasi penyimpangan yang dimuat dalam LHP tahap I dan II mengakibatkan kerugian negara
sebesar Rp 463,67 miliar. Yaitu senilai total dana yang telah dikeluarkan oleh negara untuk pembayaran proyek pada
2010 dan 2011 sebesar Rp 471, 71 miliar. Dikurangi dengan nilai uang yang masih berada pada KSO AW sebesar
Rp 8,03 miliar.
Kesimpulan tersebut, didasarkan pada fakta-fakta sebagai berikut. Kemenpora tidak pernah memenuhi
persyaratan untuk melakukan studi amdal sebelum mengajukan izin lokasi. Kemudian, setplant dan izin mendirikan
bangunan kepada pemkab Bogor atau menyusun dokumen evalusi lingkungan hidup mengenai proyek Hambalang.
Permohonan persetujuan tahun jamak dari Kemenpora kepada Menteri Keuangan atas proyek Pembangunan
Hambalang, kata Hadi, tidak memenuhi persyaratan sebagai mana yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku.
Sehingga sudah seharusnya permohonan tersebut ditolak.

BAB III
A. KESIMPULAN

PENUTUP

Audit forensik dapat didefinisikan sebagai aplikasi keahlian mengaudit atas suatu
keadaan yang memiliki konsekuensi hukum. Tujuan dari audit forensik adalah mendeteksi atau
mencegah berbagai jenis kecurangan. Salah satu pendekatan yang bisa diambil dalam upaya
pemberantasan korupsi adalah dengan menerapkan Audit Forensik. Audit forensik mampu
menekan kasus kriminal yang berkaitan dengan keuangan di Indonesia seperti korupsi, pencucian
uang, transaksi ilegal dan sebagainya. Terlebih kasus tersebut sering terjadi di lingkungan
pemerintahan sehingga menghambat pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik.
Dalam kasus Hambalang Audit Forensik dibutuhkan untuk mengungkap kecurangan
yang terjadi dalam kasus tersebut. Hal tersebut juga penting untuk pengembangan kasus dugaan
korupsi Hambalang yang tengah ramai dibicarakan saat ini.
B. SARAN
 Kepada para peneliti dapat disarankan untuk melakukan penelitian empiris yang bertujuan
untuk memformulasikan kelembagaan ideal dari profesi akuntan forensik di Indonesia.
 Kepada praktisi akademis dapat disarankan untuk merancang kurikulum pendidikan yang
memungkinkan untuk dihasilkannya tenaga akuntan forensik yang kompeten.
 Penelitian empiris juga penting dilakukan untuk menguji tipologi korupsi dan relevansi model
fraud triangle sebagai penyebab tindakan orang melakukan tindakan korupsi di Indonesia.
 Dalam penanganan kasus Hambalang, kegiatan audit forensik dinilai masih sangat lamban,
sehingga perlu adanya peningkatan kinerja dan upaya dari tim auditor forensik pemerintahan
DAFTAR PUSTAKA
Akuntono, Indra. (2013, 13 September).BAKN.Ajukan Tiga Rekomendasi Terkait Kasus
Hambalang. http://nasional.kompas.com/read/BAKN-Ajukan-Tiga-Rekomendasi-Terkait-KasusHambalang. Diakses pada 27 November 2013, 01:05.
Dahono.

(2013) 03

Januari. Audit

forensik

membedah

fraud

litigasi.http://itjen.deptan.go.id/479-auditforensikmembedahfrauddanligitasi.
Diakses pada 27 November 2013, 02:10.

dan

Dewi,

Apristia

Krisna.

(2011,

23

Juni). Audit Forensik Bantu

Wujudkan

Good

Governance. http://www.uinjkt.ac.id. Diakses pada 27 November 2013, 01:10.
Fajar, Ajat M. (2013, 23 Agustus ). Inilah Hasil Audit Tahap II BPK Soal
Hambalang. http://nasional.inilah.com. Diakses pada 27 November 2013, 01:10.
Farahdina, Gita. (2013, 23 Agustus). BPK: Kasus Hambalang Rugikan Negara Rp463,67
Miliar. http://Metrotvnews.com. Diakses pada 27 November 2013, 00:30.
Hopwood, William, George Young, Jay Leiner. Forensic Accounting. http://Amazon.com:
(9780073526850):Books.
Keris,

Panji.

(2012,

24

April). Gambaran

Umum

Audit

Forensik.http://panjikeris.wordpress.com/2012/04/24/audit-forensik/. Diakses pada
27 November 2013, 02:47.
Novita, Dyah Ratna Meta. (2013, 23 Agustus). Berikut Hasil Audit BPK Soal
Hambalang. http://Republika.co.id. Diakses pada 27 November 2013, 01:05.
Purjono. 2013. Peran Audit Forensik Dalam Memberantas Korupsi Di Lingkungan Instansi
Pemerintah. Suatu Tinjauan Teoritis. [pdf]. Diakses pada 27 November 2013, 01:05.
Tirta, Dwi. (2013, 21 Maret). Audit Forensik Untuk Mendeteksi Risiko Fraud atau Kecurangan. http://
mediainformasi.org/audit-forensik-untuk-mendeteksi-risiko-fraud-atau-kecurangan. Diakses
pada 27 November 2013, 01:00.
Tuanakotta, Theodorus M. 2007. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Seri Departemen
Akuntansi FEUI. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Univesitas Indonesia.

Dokumen yang terkait

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84

Efisiensi pemasaran kayu jenis sengon (paraserianthes falcataria) (studi kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor)

17 93 118

Penetapan awal bulan qamariyah perspektif masyarakat Desa Wakal: studi kasus Desa Wakal, Kec. Lei Hitu, Kab. Maluku Tengeha, Ambon

10 140 105

Keabsahan praktik wakaf (studi kasus daerah Pebayuran KM 08 Kertasari-Pebayuran KAB.Bekasi-Jawa

1 43 117

Tinjauan atas pembuatan laporan anggaran Bulan Agustus 2003 pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung

0 76 64

Pengaruh sistem informasi akuntansi dan audit sistem informasi terhadap pengendalian internal :(studi kasus pada PT.Telkom, tbk)

34 203 107