Perempuan dan Lingkungan Studi Kasus Mam

(C-POL-5)
MAKALAH POLITIK DAN GENDER
Perempuan dan Lingkungan ( Studi Kasus Mama Aleta dkk dalam Perjuangan Melawan Tambang
Anti Rakyat di Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur)

Dosen Pengampu:
Tri Hendra W, S.IP,M.IP

Disusun Oleh:
Nazil Afifatun N (135120500111005)

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2015

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya Penulis mampu menyelesaikan tugas
makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Politik dan Gender.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan Dosen pengampu mata kuliah Politik dan Gender, sehingga
kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Perempuan dan
Lingkungan yang penulis sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi,
referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh Penulis dengan berbagai rintangan. Baik itu yang
datang dari diri Penulis maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Ilmu Politik dalam
memahami tenting Perempuan dan Lingkungan. Penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pengampu mata kuliah Politik
dan Gender. Penulis meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah Penulis di
masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Malang, November 2015

Penulis


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di akhir abad ke-21, timbul berbagai gerakan kesadaran masyarakat yang menaruh
perhatian terhadap keadaan lingkungan. Ini berkaitan dengan kesadaran untuk menjaga bumi
tempat tinggal manusia menjadi bersih, sehat, dan hijau. Sejak kecenderungan peduli lingkungan
ini merebak bukan saja di kalangan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) akan tetapi juga di
kalangan pemerintah baik daerah maupun pusat, bahkan di kalangan akademisi di perguruan
tinggi, tidak banyak yang menyadari bahwa isu lingkungan berkaitan erat dengan isu perempuan.
Padahal menurut mitos-mitos yang ada di masyarakat, perempuan sering diasosiasikan dengan
alam. Sebut saja misalnya perempuan dian-andaikan dengan bumi, bunga ayam, malam, bulan,
dan padi. Kadang mitos-mitos tersebut bukanlah mitos-mitos yang mempunyai makna positif
tapi justru negatif. Bahasa metafora untuk perempuan ini terkadang menimbulkan penafsiran
yang melemahkan perempuan. Perempuan identik dengan alam yang dikuasai manusia. Dari
analogi itu alam adalah benda barang lahan yang dikuasai dan dieksplorasi manusia, bahkan
dieksploitasi. Dengan demikian implikasi dari analogi perempuan dengan alam maka perempuan
juga “menjadi yang dikuasai” oleh manusia lain (manusia masyarakat laki-laki)1.
Oleh karena itu, isu ekofeminisme2 menjadi isu yang begitu actual dikalangan abad 21
ini. Ekofeminisme juga lahir di Indonesia ini, salah satunya terjadi pada tahun 2001 oleh suku
Molo di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pegunungan yang menjadi tulang punggung warga

digunakan untuk pertambangan liar yang jelas merugikan warga sekitar tertama suku Molo.
Disini mama aleta sebagai agen of change yang menyadarkan perempuan-perempuan suku Molo
telah berhasil merebut kembali tanah milik masyarakatnya.3
Pada permasalahan Mama Aleta dkk dalam Perjuangan Melawan Tambang Anti Rakyat
di Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur ini akan dianalisis pada bab-bab selanjutnya sebagai
1 Tri Marhaeni, Ekofeminisme Dan Peran Perempuan (Semarang: Indonesia Journal Of Conservation Vol 1 No 1
Juni 2012) Hal 50
2 Sebuah gerakan yang berusaha menciptakan dan menjaga kelestarian alam dan lingkungan dengan berbasis
feminitas atau perempuan.perempuan dianggap memainkan peran strategis dalam upaya mencegah atau setidaknya
menciptakan lingkungan alam yang nyaman dan strategis.
3 --------- Mama Aleta Sang Pejuang Hijau Gunung Mutis Nusa Tenggara Timur. Pada Web
Http://Www.Tugulangsa.Com/2015/06/Mama-Aleta-Sang-Pejuang-Hijau-Gunung.Html. Diakses Pada 30 Oktober
2015

pisau analisa secara mendalam sesuai dengan kasus yang ada. Menggunakan salah teori yang
telah disediakan dalam menganalisis kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan feminisme.
1.2 Fokus Masalah
Focus masalah ini terletak pada analisis permasalahan yang terjadi pada suku Molo, NTT.
Pada permasalahan ini akan membahas sudut pandang ekofeminisme terhadap gerakan yang
dilakukan oleh Aleta Baun.4 Dengan ,menggunakan sudut pandang teori pada bab kerangka

teoritis nantinya diharapkan peristiwa ini bisa disangkut pautkan dengan teori yang ada dan
sudah tersedia serta memberikan sedikit gambaran analisis tetntang peristiwa ini menggunakan
tipologi ekofenisme.

BAB II
4 Ia akrab dipanggil Mama Aleta karena mengambil peran pemimpin dalam komunitasnya. ahir dari keluarga petani.
Ibundanya meninggal dunia ketika ia masih mudah. Kemudian Aleta kecil diasuh oleh kaum perempuan dan sesepuh
desa yang mengajarkan padanya untuk menghargai lingkungan hidup sebagai sumber jati diri rohani dan nafkah.

KERANGKA TEORITIS
2.1 Kerangka Teoritis
Pembangunan merupakan sesuatu hal yang wajar bagi kita, apalagi pada negara kita yang
sedang dalam perbaikan pembangunannya, namun ketika pembangunan sudah lalai dalam
prosedur-prosedur pembangunannya seperti merusak lingkungan dan merugikan masyarakat itu
merupakan awal dari kehancuran pembangunan itu sendiri. Pada peristiwa ini, yang mana
tambang yang telah merusak lingkungan suku Molo sampai mengakibtkan lingkungan menjadi
tambah buruk dan tak menentu merupakan suatu kegagalan dalam pembangunan daerah.
Di dalam ilmu ekologi kita mempelajari hubungan antara manusia dan lingkungan hidup,
mengkaitkan antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan secara interdispliner. Kesadaran
ekologi hen- dak melihat kenyataan dunia ini secara inte- gral holistik, bahwa dunia yang satu itu

ternyata mengandung banyak keanekaragaman (Buntaran, 1996). Ekologi sekaligus merupakan
reaksi kritis atas pandangan umum terhadap dunia yang dualistis dikotomis.5
Gerakan ekofeminisme6 mempunyai tujuan yang saling memperkuat, keduanya hendak
membangun terhadap dunia dan prakteknya yang tidak berdasarkan model-model dominasi.
Seperti yang dilakukan Roesemary R. R: ada kaitan yang sangat penting antara pola dominasi
terhadap perempuan dan perlakuan dominasi terhadap perempuan (kaitan terhadap isu feminisme
dan environtalisme).7 Pemanfaatan alam yang tidak dalam batas kewajaran merupakan tindak
kejahatan. Kaum-kaum perempuan yang diibaratkan alam merasa perlakuan itu sewajarnya.
Penggunaan teknologi-teknologi yang kurang ramah lingkungan membuat alam ini semakin
hancur. Perempuan Indonesia mempunyai pengetahuan yang mendalam dan sistematis mengenai
proses-proses alam serta meyakini bahwa keyakinan alam harus selalu dipulihkan.
Antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat wacana membuat kehendak
akan kebenaran mengesampingkan kehendak akan kehidupan. Kehendak akan kebenaran
5 Tri Marhaeni, Op. Cit, Hal 51
6 Istilah Ekofeminisme pertama diperkenalkan ditahun 1974 oleh Francoise d'Eaubonne dalam bukunya Le
Feminisme ou la mort. Gagasan yang diusung adalah pandangan bahwa ada hubungan langsung antara opresi
terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. Menurut Karen J.Warren bahwa modus berpikir patriarki yang
hirarkis, dualistis dan opresif telah merusak perempuan dan alam. Perempuan dinaturalisasi dengan digambarkan
sebagai binatang. Sebaliknya alam difeminisasi dengan digambarkan seperti perempuan.
7 Tyas Retno Wulan, Feminisme Transformative: Alternative Kritis Mendekonstruksi Relasi Perempuan dan Ekologi

(Jurnal Transdisiplin Social, Komunikasi Dan Ekologi Manusia, April 2007) Hal 115

modernitas dan globalitas mengesahkan mesin-mesin menggantikan hubungan intim manusia
dengan alam.8
Beberapa asumsi pokok dalam ekofeminisme seperti yang digambarkan Karen J.Warren
sebagai berikut :
1. Ada keterkaitan penting antara opresi terhadap alam dan opresi terhadap perempuan
2. Pemahaman terhadap alam dalam keterkaitan ini adalah penting untuk mendapatkan
pemahaman yang memadai atas opresi terhadap alam dan opresi terhadap perempuan
3. Teori dan Praktek feminis harus memasukkan perspektif ekologi
4. Pemecahan masalah ekologi harus memasukkan perspektif feminis
Dalam perkembangannya, pemikiran ekofeminisme terbagi lagi beberapa varian antara
lain Ekofeminis Spiritual, Ekofeminis Sosialis, dan Ekofeminis Sosial-Konstruksionis. Beberapa
tokoh ekofeminisme antara lain, Vandana Shiva, Starhawk, Susan Griffin, Dorothy Dinnerstein,
Mary Daly, Marie Mies, Karen J. Warren dan tentu saja pencetusnya yaitu Francoise
D'Eaubonne.9

BAB III
8 Kalis Mardi Asih, Kapitalisme Perempuan Dan Ekofeminisme (Jurnal Perempuan, 8 November 2014) Diakses
Pada 30 Oktober 2015

9 Rosemarie Putnam Tong, Feminisme Thought (Jogjakarta: Jalasutra, 1998) Hal 366-367

ANALISIS
3.1 Kronologi Peristiwa Perjuangan Melawan Tambang Anti Rakyat di Gunung Mutis, Nusa
Tenggara Timur
Di setengah bagian barat Indonesia, tepatnya di Pulau Timor, Gunung Mutis, Nusa
Tenggara Timur, terdapat satu wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati. Gunung Mutis
adalah daerah hulu untuk semua aliran sungai utama Timor Barat, yang menjadi sumber air
minum dan irigasi bagi mayoritas penduduk di pulau itu. Penduduk Molo amat bergantung pada
sumber – sumber daya alam ini, yang juga dianggap sakral. Hutan menjadi sumber obat-obatan
bagi warga, mereka menanam hasil bumi di tanah yang subur ini. Di hutan ini pula warga
memanen zat pewarna tanaman yang diperlukan untuk bertenun, sebuah keterampilan tradisional
menjadi jati diri bagi kaum perempuan di desa-desa sekitar hutan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Hubungan spiritual yang erat antara warga dan lingkungan hidup terjalin dengan
baik. Kedalaman hubungan ini tercermin dalam penamaan rakyat Timor yang sesuai dengan
tanah, air, batu, dan pohon yang melambangkan daging, darah, tulang dan rambut mereka. Bagi
warga asli Moro, kerusakan lingkungan hidup sama artinya dengan hilangnya sebagian dari jati
diri mereka.
Di tahun 1980an, pemerintah daerah mengeluarkan izin bagi perusahaan – perusahaan
tambang untuk memotong batu-batu marmer di pengunungan di kepulauan Molo. Hal ini

dilakukan secara tidak sah karena tidak berkonsultasi dengan warga terlebih dahulu. Warga justru
dianggap sebagai penghalang program pembangunan. Akibat pertambangan pun mulai dirasakan
warga, terjadi penggundulan hutan, tanah longsor, pencemaran air dan banyak menimbulkan
penderitaan bagi warga yang tinggal di daerah hilir. Aleta Baun, yang akrab dipanggil dengan
sapaan Mama Aleta mengambil peran pemimpin dalam komunitasnya. Disebarkannya
pengetahuan tradisional yang ia warisi dari sesepuhnya. Di kala perusahaan- perusahaan tambang
mulai membabat hutan dan memotong batu marmer dari gunung, Mama Aleta paham bahwa
aktivitas mereka tersebut akan mengancam hak – hak orang Molo atas wilayah mereka dan juga
terhadap kelanjutan hidup mereka.
Bagi Mama Aleta, kehidupan masyarakat desa tidak bisa dipisahkan dari alam. Ini yang
kemudian menjadi pesan utama yang terus menerus Mama Aleta sebarkan kepada berbagai
komunitas lain di sekitar gunung. Gerakan Mama Aleta ini dimulai dari gerakan kecil bersama

dengan tiga perempuan lain, tepatnya pada tahun 1999. Mereka melakukan perjalanan kaki dari
satu desa terpencil ke desa lain yang kadang bisa memakan waktu lebih dari enam jam.
“Mulai 1999, sejumlah kecil perempuan dan saya memutuskan kami harus bertindak
untuk menghentikan penambangan. Kami merasa satu-satunya cara dengan pergi dari satu
rumah ke rumah lain. Dari satu desa ke desa lain dan menjangkau sebanyak mungkin orang
untuk menyampaikan pesan kami. Rumah-rumah dan desa-desa terletak berjauhan. Kadang
kami harus berjalan enam jam untuk mencapai desa satu ke desa lain. Kami meyakinkan orangorang untuk bergabung. Kami ingatkan mereka akan keyakinan kami tidak akan dapat hidup

tanpa semua unsur-unsur dari alam. Kami juga menekankan pada para perempuan bahwa hutan
menganugerahi kami dengan zat-zat pewarna tenun. Ini bagian penting dalam hidup kami.”
Karena kegiatannya inilah, Mama Aleta menjadi bulan-bulanan bagi kepentingan usaha
pertambangan dan para pejabat daerah. Tak tanggung-tanggung, mereka bahkan menawarkan
hadiah kepada siapa saja yang bisa membunuh Mama Aleta. Namun, Mama Aleta tidak gentar, ia
terus melakukan upayanya bahkan ketika usaha percobaan pembunuhan tersebut semakin sering
dilakukan. Suatu hari, Mama Aleta lolos dari usaha percobaan pembunuhan yang sebenarnya
hampir saja berhasil. Mama Aleta lari dan bersembunyi di dalam hutan bersama bayi mungilnya.
Sejumlah warga desa pun tak luput dari siksaan, mereka berkali-kali ditahan dan dipukuli.
Puncak gerakannya diwujudkan dalam gerakan pendudukan sambil menenun. Sekitar 150
perempuan melakukan aksi pendudukan lokasi pertambangan marmer sambil menenun. Dengan
tenang, 150 perempuan pemberani ini menenun pakaian tradisional sebagai bentuk protes
mereka.
“Perempuan punya alat-alat tenun, kapas dan pewarna dari alam. Kami pun protes
dengan menenun pakaian tradisional. Hutan kami tak boleh rusak. Kalau rusak, perempuan tak
bisa beraktivitas. Itu tempat kami cari makanan, bikin pewarna benang sampai obat-obatan.
Jadi harus kami pertahankan.” Kata Mama Aleta
“Kamilah yang memanfaatkan hutan untuk bertahan hidup. Kaum pria mendukung kami,
namun tidak menempatkan diri di garis depan karena kemungkinan besar mereka akan terlibat
dalam perkelahian atau konflik dengan perusahaan – perusahaan pertambangan dan menjadi

target serangan- serangan. Jadi saat perempuan aksi, para pria berperan di rumah tangga dari
memasak sampai menjaga anak-anak”. Aksi protes warga desa menuai hasil. Aksi protes
pendudukan dan menenun makin berkembang dan mendapat perhatian pemerintah. Pada tahun
2010, karena menghadapi tekanan yang amat besar, perusahaan – perusahaan tambang
menghentikan penambangan di 4 lokasi di wilayah Molo dan meninggalkan operasi tambang
mereka.10
10
---------Mama
Aleta,
Berjuang
Melawan
Tambang
Anti
Rakyat,
Pada
Web
https://marsinahfm.wordpress.com/2013/05/09/mama-aleta-berjuang-melawan-tambang-anti-rakyat/. Diakses pada
30 oktober 2015

3.2 Relasi Antara Alam Dan Perempuan Pada Suku Molo

Alam merupakan sumber penghidupan bagi semua manusia apalagi bagi kaum
perempuan. Kaum perempuan yang biasanya memanfaatkan alam sebagai sarana kebutuhan
penghidupan keluarga mereka. Seperti yang telah dicertakan oleh mama Aleta bahwa suku Molo
biasanya memanfaatkan alam untuk kebutuhan menenun, masak, dsb. Disini alam sudah pasti
mempunyai peranan penting untuk suku Molo. Sayangnya pemerintah kurang mengerti akan hal
itu, sehingga pemerintah membuat kebijakan sepihak dengan menyewakan lahannya untuk
kepentingan pertambangan.
Menurut Strong (1995) kunci untuk memperbaiki bumi terletak pada penghormatan
terhadap hukum alam yang dipahami oleh masyarakat asli tradisional. Masyarakat ini berbicara
dengan kumpulan instruksi yang asli yang diberikan kepada mereka oleh Sang Pencipta. Mereka
mengetahuinya dan menghidupi hukum ini, yang menuntun relasi manusia dengan empat elemen
pemberi kehidupan, yakni, tanah, air, udara, dan api (energi serta mengajarkan penghormatan
kepada kesatuan dan kesinambungan dari seluruh kehidupan.11 Pada gerakan feminisme yang
dilakukan oleh mama Aleta ini lebih pada kesadaran yang dilakukan oleh mama Aleta yang
kemudian dapat menyadarkan kaum perempuan menjadi banyak secara kuantitas. Mereka sadar
bahwa alam ini sangat penting dan dibutuhkan bagi kaum perempuan lainnya untuk penghidupan
mereka.
Bentuk protes yang dilakukan oleh mama Aleta dkk ini sangat unik karena menggunakan
simbolisasi yang diibaratkan bahwa alam ini penting untuk kaum perempuan dan laki-laki.
Sebuah kecaman yang luar biasa oleh dua pihak yaitu perempuan dan laik-laki yang bisa saling
melengkapi kekurangan mereka. Aksi protes dalam bentuk pendudukan dan menenun ini
menyiratkan pesan bahwa kaum perempuan tradisional bertanggung jawab untuk mencari
makan, zat pewarna. Di sisi lain, sementara kaum perempuan melakukan aksi pendudukan, kaum
lelaki mendukung aksi kaum perempuan ini dengan melakukan aktivitas rumah tangga seperti
memasak, membersihkan rumah dan menjaga anak. Sebenarnya, menurut Mama Aleta, dalam
kebudayaan Molo, perempuan diharapkan menjadi ibu rumah tangga dan merawat keluarga.
11 Tri Marhaeni, Op. Cit, Hal 52

Namun saat protes berlangsung, kaum perempuan Molo menyadari bahwa mereka bisa
melakukan banyak hal. Dalam adat Molo, perempuan adalah juga pemilih tanah yang sah. Hak
inilah yang digunakan kaum perempuan yang kala itu belum aktif mengungkapkan pendapat
untuk melindungi tanah mereka..
Menurut Karen J.Warren ada empat asumsi pokok dalam ekofeminisme. Di peristiwa ini
kesemuanya telah mengandung empat asumsi pokok diatas yaitu Ada keterkaitan penting antara
opresi terhadap alam dan opresi terhadap perempuan, Pemahaman terhadap alam dalam
keterkaitan ini adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi
terhadap alam dan opresi terhadap perempuan, Teori dan Praktek feminis harus memasukkan
perspektif ekologi, Pemecahan masalah ekologi harus memasukkan perspektif feminis. Dengan
kata lain, gerakan feminisme yang dilakukan mama Aleta telah mengandung gerakan
ekofeminisme.
Menurut Al Putnam Tong (1998) dan Sturgeon (1997)12 tipologi yang cocok sebagai
analisa peristiwa ekofeminisme diatas adalah ekofeminisme transformative salah satunya karena
bergantung pada etika penekanan nilai-nilai “feminine” tradisional yang cenderung untuk
menjalin, saling menghubungkan dan menyatukan manusia. Di gerakan ekofeminisme ini suku
Molo sadar akan nilai-nilai tradisional yang menyatukan mereka dan kemudian menjadi gerakan
pemersatu melawan tambang anti rakyat.

BAB IV
KESIMPULAN
12 Tyas Retno Wulan, Op. Cit. Hal 120

4.1 Kesimpulan
Peristiwa yang terjadi pada gunung mutis NTT merupakan salah satu peristiwa
ekofeminisme yang ada di Indonesia. Banyak sekali peristiwa lain yang hamper sama dengan
peristiwa tersebut. Alam dan perempuan masih dalam satu keluarga dan satu kesatuan utuh,
karena keandaian manusia yang selalu mengibaratkan perempuan dengan peristiwa-peristiwa
peristiwa alam. Menurut Karen J.Warren ada empat asumsi pokok dalam ekofeminisme. Di
peristiwa ini kesemuanya telah mengandung empat asumsi pokok diatas yaitu Ada keterkaitan
penting antara opresi terhadap alam dan opresi terhadap perempuan, Pemahaman terhadap alam
dalam keterkaitan ini adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi
terhadap alam dan opresi terhadap perempuan,
Pada hakikatnya terdapat kesamaan kedudukan antara wanita dan pria dalam masyarakat
Indonesia. Terutama pada kehidupan alami yang mencerminkan kebudayaan rakyat, posisi
wanita dan pria berlaku wajar secara adil. Tentu saja sesuai dengan kodrat alaminya pula. 13 Oleh
karena itu kodrat kita sebagai perempuan dan laki-laki harus saling memahami terutama untuk
kebutuhan selanjutnya bagi kelanjutan reproduksi masa depan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
13 Mely G. Tan, Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan? (Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama 1991) Hal 42

Tan, G, Mely Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan?, 1991, PT Gelora Aksara Pratama.,
Jakarta.
Tong, Putnam, Rosemarie, 1998, Feminisme Thought, Jalasutra, Jogjakarta.

Jurnal
Asih, Mardi , 2014, Kalis, Kapitalisme Perempuan Dan Ekofeminisme dalam Jurnal Perempuan,
Marhaeni, Tri, 2012, Ekofeminisme Dan Peran Perempuan dalam Indonesia Journal Of
Conservation Vol 1 No 1
Wulan, Retno, Tyas, 2007, Feminisme Transformative: Alternative Kritis Mendekonstruksi
Relasi Perempuan dan Ekologi dalam Jurnal Transdisiplin Social, Komunikasi Dan Ekologi
Manusia,
Internet
--------- Mama Aleta Sang Pejuang Hijau Gunung Mutis Nusa Tenggara Timur. Pada Web
Http://Www.Tugulangsa.Com/2015/06/Mama-Aleta-Sang-Pejuang-Hijau-Gunung.Html. Diakses
Pada 30 Oktober 2015
---------- Mama Aleta, Berjuang Melawan Tambang Anti Rakyat, Pada Web
https://marsinahfm.wordpress.com/2013/05/09/mama-aleta-berjuang-melawan-tambang-antirakyat/. Diakses pada 30 oktober 2015

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25