Hasil Penelitian ESTIMASI CADANGAN KARBO

1

ESTIMASI CADANGAN KARBON TINGKAT POHON
PADA AREAL BEKAS TEBANGAN IUPHHK-HA
PT. INDEXIM UTAMA KALIMANTAN TENGAH

OLEH :
OSJERLIM SARAGIH
CCA 110 001

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN KEHUTANAN
2016

2

3.5. Alur Penelitian
Hutan Tropis


Pengelolaan Hutan oleh IUPHHK-HA PT. Indexim Utama

Hutan Produksi

Data LHC dan
LHP :
- 2006
- 2010
- 2014

Areal Bekas Tebangan (ABT) :
- 2006
- 2010
- 2014

Plot (per 1 Ha) ABT

Analisis Vegetasi

Analisis Estimasi Biomassa


LHC dan LHP (2006, 2010, 2014)

di atas permukaan tanah

di bawah permukaan tanah

ABT (2006, 2010, 2014)

di atas permukaan tanah

di bawah permukaan tanah

Estimasi Karbon ABT
(2006, 2010, 2014)

Estimasi Karbon LHC dan
LHP (2006, 2010, 2014)

Analisis Estimasi Karbon Total


Perbandingan Estimasi Karbon

Potensi Cadangan Karbon
Gambar 4. Bagan Alur Penelitian di Hutan Produksi IUPHHK-HA
PT. Indexim Utama

3

Penelitian yang dilakukan tentang Estimasi Cadangan Karbon Tingkat
Pohon pada Areal Bekas Tebangan ini dilaksanakan di areal IUPHHK-HA
PT. Indexim Utama Kalimantan Tengah dimana bagan alur penelitian yang
dilakukan seperti pada Gambar 4. Objek yang diteliti di lokasi penelitian Hutan
Tropis pada areal hutan produksi ini adalah Areal Bekas Tebangan (ABT) dan
Hutan Primer (Laporan Hasil Cruising).
Areal bekas tebangan yang akan diteliti mencakup areal bekas tebangan
tahun 2006, tahun 2010, dan tahun 2014. Penentuan lokasi ABT ini ditentukan
berdasarkan hasil penetapan dari data LHC dan LHP (Laporan Hasil Produksi).
Analisis vegetasi pada ABT tahun 2006, tahun 2010, dan tahun 2014 mencakup
struktur dan komposisi yang akan dianlisis dengan indeks nilai penting (INP).

Pertumbuhan vegetasi tingkat pohon ini selanjutnya akan diteliti atau diduga
estimasi biomassanya di atas dan di bawah permukaan tanah dengan
menggunakan metode non destruktif atau metode tidak langsung. Hasil data
pendugaan biomassa vegetasi tingkat pohon akan digunakan dalam menganalisis
pendugaan cadangan karbonnya.
Pendugaan cadangan biomassa di atas dan di bawah permukaan tanah juga
dilakukan perhitungan yang mengacu pada hasil dari data LHC dan LHP dengan
metode non-destruktif atau metode tidak langsung. Selanjutnya hasil data
biomassa tersebut akan dilakukan perhitungan pendugaan cadangan karbonnya.
Setelah semua hasil data biomassa dan karbon pada ABT, dan LHC dan LHP
telah diperoleh, selanjutnya akan dibuat perbandingan estimasi biomassa dan
karbon di atas dan di bawah permukaan tanah.

4

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Letak dan Luas
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA)
PT. Indexim Utama secara geografis areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu PT. Indexim Utara terletak pada 115°54’00”-116°00’00” Bujur Timur dan

0°46’00” - 0°56’00”

Lintang Selatan. Batas-batas areal

IUPHHK-HA

PT. Indexim Utama antara lain :
 Utara

: Kawasan KPP dan HPH PT. Austral Byna

 Timur

: HPH PT. Alas Kusuma

 Selatan

: Hutan Lindung Lampeong

 Barat


: HPH PT. Sindo Lumber

Areal IUPHHK-HA PT. Indexim Utama secara administrasi Kehutanan
terletak di Kelompok Hutan Sungai Mea-Sungai Kecamatan Gunung Purei,
Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 806/Kpts-VI/1999
tanggal 30 September 1999 PT. Indexim Utama adalah suatu perusahaan dengan
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam (IUPHHK-HA)
memilik luas areal ± 52.480 ha.
4.2. Sejarah Pengelolaan Hutan
PT. Indexim Utama adalah suatu perusahaan swasta nasional, dibidang
pengelolaan hutan, yang telah diberi kepercayaan oleh pemerintah untuk
mengelola areal hutan dalam bentuk Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu
pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) di Kalimantan Tengah.

5

Areal IUPHHK-HA PT. Indexim Utama terletak di Kabupaten Barito
Utara, Provinsi Kalimantan Tengah, kegiatan usahanya dimulai pada tahun 1977

berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 630/Kpts/Um/10/1977 Tanggal:
29 Oktober 1977 dengan luas 73.000 Ha.
Seiring dengan berakhirnya masa izin konsesi pertama makan pada tahun
1999 PT. Indexim Utama mendapatkan izin perpanjangan pengusahaan hutan
melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 806/Kpts-VI/1999 tanggal
30 September 1999 dengan luas areal 52.480 ha, selama 55 tahun dan akan
berakhir pada tanggal 28 Oktober 2052. Kegiatan pengelolaan hutan dilakukan
sejak tahun 1977 sampai sekarang dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia
(TPTI).
4.3. Kondisi Fisik
4.3.1. Iklim
Data hasil pengamatan di Stasiun Meteorologi Beringin Muara Teweh
Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2009, curah hujan bulanan rata-rata
25,3 mm dengan hujan rata-rata bulanan 16 hari, temperatur udara rata-rata
bulanan maksimum ±26,4°C dengan kelembaban udara rata-rata bulanan 84%
dengan kecepatan angin rata-rata bulanan 4,5 knot.
4.3.2. Topografi
Data hasil pelaksanaan Inventarisasi Hutan Menyuruh Berkala (IHMB)
menunjukkan bahwa pada titik plot contoh di lapangan terdapat kelas lereng E,
namun demikian lokasi tersebut masih dalam bentuk spot-spot dan tidak kompak.

Dengan demikian kelas kelerengan yang digunakan didasarkan pada Peta Garis

6

Bentuk skala 1:50.000. Berdasarkan acuan tersebut, topografi pada areal PT.
Indexim Utama bervariasi dari datar sampai curam, dengan ketinggian antara 50650 m diatas permukaan laut.
4.3.3. Tanah
Data RKUPHHK-HA PT. Indexim Utama (2008) yang didasarkan pada
Peta Jenis Tanah Provinsi Kalimantan Tengah Skala 1:750.000 yang telah ditinjau
kembali berdasarkan Hasil Survei Lapang Intensitas 1% (2003): dan diverifikasi
ulang dengan Peta Land System and Land Suitablity skala 1:250.000 yang
diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaaan Nasional, areal kerja
PT. Indexim Utama terdiri dari 2 (dua) kelompok tanah sebagaimana disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran Tanah Areal IUPHHK-HA PT. Indexim Utama
Luas
No.
Jenis Tanah (USDA,1990/PPT,1993)
1 Podsolik Merah Kuning (PMK)
2 Terinklusi Latosol (Tla)

Jumlah

Ha
21.642
31.018
52.480

%
41,00
59,00
100

Sumber : PT. Indexim Utama 2001

4.4. Flora dan Fauna
4.4.1. Kondisi Vegetasi
Fungsi hutan areal kerja PT. Indexim Utama berdasarkan Lampiran Surat
Keputusan

Menteri


Kehutanan

Nomor

806/Kpts-VI/1999

tanggal

30 September 1999 terdiri atas Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan
Produksi Tetap (HPT). Adapun luasan areal berdasarkan fungsinya disajikan pada
Tabel 2.

7

Kondisi penutupan lahan berdasarkan Peta Citra Landsat 5 TM Path 117
Row 61 liputan tanggal 2 Maret 2011. Kondisi tutupan lahan didominasi areal
berhutan berupa fungsi hutan di areal IUPHHK-HA PT. Indexim Utama disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Kondisi Penutupan Vegetasi Areal Kerja PT. Indexim Utama

Berdasarkan Fungsi Hutannya
No.

Penutupan Lahan

1

Hutan Primer (FV)
Hutan Bekas Tebangan
2
(LOA)
3
Areal tidak berhutan (NH)
Jumlah
Sumber : PT. Indexim Utama 2001.

Berdasarkan

laporan

Penutupan Lahan Berdasarkan
Fungsi Hutan (Ha)
HPT
HP
9.210
56

Jumlah
Ha
9.266

%
17,7

34.783

6.329

41.112

78,1

1.291
45.284

811
7.196

2.102
52.480

4,2
100

pelaksanaan

IHMB

di

areal

IUPHHK-HA

PT. Indexim Utama, jumlah jenis pohon yang berhasil di identifikasi pada saat
pelaksanaan IHMB adalah 102 jenis pohon dengan rincian sebagai berikut :
a)

Jenis meranti dipterocarpaceae sebanyak 10 jenis pohon dan jenis meranti
non dipterocarpaceae sebanyak 5 jenis pohon,

b) Jenis rimba campuran sebanyak 76 jenis pohon,
c)

Jenis kayu indah sebanyak 5 jenis pohon, dan

d) Jenis kayu dilindungi sebanyak 6 jenis pohon. Sedangkan jenis pohon yang
dimanfaatkan oleh PT. Indexim Utama sebanyak 18 jenis pohon.
Jenis-jenis yang dominan di areal PT. Indexim Utama antara lain meranti
(Shorea spp.), Keruing (Dipterocarpus sp.), Biwan, Bangkirai (Shorea teysmani),
Kapur (Drybalanops sp.) dan Balau (Shorea guiso).

8

4.4.2. Identifikasi Satwa Liar
Aspek pengelolaan dalam lingkungan unit manajemen PT. Indexim Utama
telah menetapkan beberapa areal sebagai kawasn lindung (Kawasan Pelestarian
Plasma Nuftah (KPPN), Sempadan sungai, dll). Dalam rangka perlindungan
terhadap fauna/satwa liar dilindungi telah dilakukan kegiatan inventarisasi atau
pendataan yang lokasi kegiatannya dilaksanakan di areal blok RKT 2012 (virgin
forest) dan blok RKT 2009 (Logged Over Area/LOA). Seperti yang kita ketahui
bersama bahwa makhluk hidup tidak selalu mempunyai kerapatan (density) yang
sama dalam ruang dan waktu. Ada jenis yang pada suatu saat tersebar keraptan
yang tinggi, tetapi pada saat yang lain menciut dan sulit dijumpai. Adanya
fenomena ini membuat makhluk hidup bersifat endemik (tersebar jarang) dan
menjadi relik (tersisa).
Jenis satwa yang termasuk status dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun
1999 adalah sebanyak 19 jenis, sedangkan berdasarkan status kelangkaan IUCN
Red List ditemukan sebanyak 5 jenis dengan kategori rentan VU (Vurnerable),
4 jenis kategori terancam punah CR (Critycally Risk endangered), sebanyak
5 jenis Resiko Rendah LR (Lower Risk). Beberapa jenis ada yang belum
terindetifikasi karena kekurangan data DD (Data defecient) sebanyka 9 jenis.
Erdasarkan IUCN ada 5 jenis Apendiks 1, 25 jenis Apendiks II dan 2 jenis
termasuk Apendiks III. Pada areal blok RKT 2012 (virgin forest) populasi
fauna/satwa berjumlah 795 ekor jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan di
areal blok RKT 2009 (LOA) 621 ekor.

9

4.5. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya
4.5.1. Kependudukan
Data dari BPS tahun 2010, Kecamatan Gunung Purei berada dalam
wilayah Kabupaten Barito Utara. Kecamatan ini memiliki luas sebesar 1.468 ha
dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 2.693 jiwa, laki-laki 1.399 jiwa dan
perempuan 1.294 jiwa.
4.5.2. Mata Pencaharian
Data statistik Kabupaten Barito Utara dalam Angka (2010) menunjukkan
bahwa sebagian besar penduduk di Kabupaten Barito Utara yag berusia 15 tahun
ketas bekerja di sektor pertanian dan sebagian kecil di sektor industri.
4.5.3. Agama dan Kepercayaan
Kebiasaan kehidupan sosial gotong royong masih berlaku dengan baik
seperti pembuatan taman, tempat ibadah, upacara pengantin, upacara kematian,
tanam padi dan sebagainya. Seni tradisional yang masih dipelihara adalah
tai giring-giring dan mandailing.
Agama yang dipeluk di Kabupaten Barito Utara adalah mayoritas Agama
Islam.

Desa

binaan

Agama

Islam

banyak

dianut

oleh

masyarakat

Desa Lampeong II, Agama Kristen banyak oleh masyarakat desa Payang dan
Berong, sedangkan Agama Hindu Kharingan banyak dianut oleh warga
Desa Muara Mea.

10

HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Komposisi dan Struktur Vegetasi
Komposisi dinyatakan sebagai kekayaan floristik hutan. Kekayaan floristik
hutan tropika erat hubungan dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan
cahaya, dimana faktor-faktor tersebut membentuk suatu tegakan klimaks
(Mueller-Dombois dan Elenberg (1974) dalam Junaedi, 2007). Struktur vegetasi
merupakan susunan bentuk dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik
vegetasi kompleks yang dapat digunakan dalam penentuan struktur vertikal dan
horizontal (Richard, 1966).
5.1.1. Komposisi Vegetasi
Komposisi vegetasi penyusun tegakan hutan dalam penelitian ini meliputi
jumlah jenis, kerapatan tegakan dan kondisi dominansi dari suatu jenis yang
dinyatakan dalam Indeks Nilai Penting (INP).
Jumlah jenis tegakan tinggal tingkat pohon yang diidentifikasi di lapangan
dengan luasan masing-masing 1 ha pada Areal Bekas Tebangan (ABT) berkisar
23-28 jenis. Data jumlah jenis yang ditemukan di lokasi penelitian dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah Jenis Tingkat Pohon yang Diidentifikasi di Lokasi Penelitian
pada Areal Bekas Tebangan
Lokasi
ABT 2006
ABT 2010
ABT 2014
Keterangan :
ABT 2006 = Areal Bekas Tebangan tahun 2006 petak 20-J
ABT 2010 = Areal Bekas Tebangan tahun 2010 petak 23-J
ABT 2014 = Areal Bekas Tebangan tahun 2014 petak 25-M

Jumlah Jenis
24
23
28

11

Tabel 3 diketahui bahwa jumlah jenis yang ditemukan pada lokasi
penelitian pada ABT tahun 2006, 2010 dan 2014 tidak jauh berbeda. Areal bekas
tebangan tahun 2006 jumlah jenis pohon yang ditemukan berbeda 1 jenis pohon
dengan ABT tahun 2010 dan berbeda 4 jenis pohon dengan ABT tahun 2014.
Teknik RIL (Reduce Impact Logging) yang diterapkan pada ABT tahun 2010 dan
tahun 2014 berpengaruh besar terhadap tingkat kerapatan pohonnya dibandingkan
dengan ABT tahun 2006 yang masih menerapkan teknik konvensional. Perbedaan
ini dikareankan pada ABT tahun 2006 yang menerapkan teknik konvensional
keterbukaan areal bekas tebangan, jalan sarad, dan penebangan yang dilakukan
sangat besar. Hal inilah yang mempengaruhi suksesi pertumbuhan pohon pada
lokasi penelitian berbeda.
Lokasi penelitian masih dalam wilayah dan areal hutan yang kondisinya
relatif sama, sehingga jenis tingkat pohon ditemukan pada lokasi ABT tidak jauh
berbeda. Kerapatan vegetasi pada tingkat pohon di lokasi penelitian yang
dilakukan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kerapatan Vegetasi Tingkat Pohon yang Ditemukan di Lokasi Penelitian
Lokasi
ABT 2006
ABT 2010
ABT 2014

Kerapatan (N/ha)
154
203
140

Kerapatan vegetasi tingkat pohon pada areal bekas tebangan tahun 2006,
tahun 2010, dan tahun 2014 memliki jumlah yang bervariasi. Jumlah vegetasi
tingkat pohon tertinggi pada ABT tahun 2010. Tingginya jumlah vegetasi pada
ABT tahun 2010 dipengaruhi oleh tingginya jumlah vegetasi setelah penebangan
atau tegakan tinggal yang ada. Faktor lain adalah tingginya jumlah vegetasi

12

tegakan tinggal yang berdiameter dibawah 50 cm. Sistem silvikultur dengan
teknik RIL yang diterapkan pada ABT tahun 2010 salah satu faktor peningkatan
pertumbuhan pada tegakan tinggal yang ada. Lokasi ABT tahun 2006 yang masih
dalam tahap percobaan dilakukannya teknik RIL sehingga ada pengaruh terhadap
perbedaan kerapatan.
Besar kecilnya jumlah kerapatan pada lokasi penelitian ini dipengaruhi
oleh pertumbuhan vegetasi tingkat pohon yang ada. Cepat atau lambatnya
pertumbuhan vegetasi setelah penebangan menjadi penentu besarnya jumlah
vegetasi tingkat pohon. Diketahui bahwa setiap tumbuhan memiliki nilai toleransi
dan faktor pembatas terhadap lingkungan. Irwan (1992), menyatakan bahwa
faktor yang menghentikan pertumbuhan dan penyebaran dari organisme disebut
faktor pembatas. Untuk dapat bertahan hidup dalam keadaan tertentu, suatu
organisme harus memiliki bahan-bahan yang penting seperti nutrisi untuk
pertumbuhan dan berkembangbiak. Kehadiran dan keberhasilan organisme
tergantung kepada lengkapnya kebutuhan yang diperlukan, termasuk unsur-unsur
lingkungan yang kompleks (suhu, kelembaban, dan cahaya).
Dominansi dari suatu jenis di lokasi areal bekas tebangan disajikan dalam
bentuk Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada Tabel 5. Soerianegara dan
Indrawan (2005), menyatakan bahwa jenis-jenis yang mempunyai peranan pada
suatu komunitas dicirikan oleh nilai penting yang tinggi karena merupakan jumlah
dari Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), dan Dominansi Relatif (DR).

13

Tabel 5. Indeks Nilai Penting (INP) Lima Jenis Vegetasi Tingkat Pohon Dominan
di Areal Bekas Tebangan PT. Indexim Utama
Lokasi

ABT 2006

ABT 2010

ABT 2014

Ranking
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5

Nama Jenis
Meranti Merah
Jambu-jambu
Laja
Meranti Putih
Kelat
Meranti Merah
Wayan
Jambu-jambu
Nyatoh
Medang
Jambu-jambu
Meranti Merah
Terap
Jabon
Wayan

Nama Latin
Shorea leprosula
Syzygium sp.
Quercus sp.
Shorea hopeifolia
Eugenia kuranda
Shorea leprosula
Elaterospermum tapos
Syzygium sp.
Palaquium sp.
Litsea firma
Syzygium sp.
Shorea leprosula
Arthocarpus elasticus
Anthopcephalus chinensis
Elaterospermum tapos

INP (%)
51,56
38,93
34,83
25,79
17,35
105,05
38,25
23,59
20,36
13,20
34,54
31,44
19,00
17,93
17,47

Data pada Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa pada Areal Bekas

Tebangan (ABT) tahun 2006 petak 20-J dan ABT tahun 2010 petak 23-J jenis
pohon yang mendominasi adalah jenis Meranti Merah (Shorea leprosula) dengan
INP menduduki ranking pertama yaitu sebesar 51,56% dan 105,05%. Sedangkan
pada ABT 2014 petak 25-M jenis pohon yang mendominasi adalah jenis Jambujambu (Syzygium sp.) sebesar 34,54% dan Meranti Merah (Shorea leprosula)
sebesar 31,44%. Masing-masing lokasi penelitian pada ABT didominansi jenis
Meranti Merah (Shorea leprosula), hal ini dapat disebabkan oleh keadaan tanah
yang subur, curah hujan yang baik serta adanya jenis indukan tegakan tinggal
jenis Meranti Merah (Shorea leprosula) yang mendominansi pada areal tersebut.
Sistem silvikultur TPTI yang diterapkan pada lokasi penelitian dengan limit
diameter pohon yang ditebang ≥ 50 cm mempengaruhi jumlah jenis Meranti
Merah yang dominan tumbuh pada lokasi tersebut.

14

Jenis vegetasi tingkat pohon pada ABT banyak ditemukan jenis Meranti
Merah dan Jambu-jambuan dibandingkan jenis pohon lainnya. Jenis vegetasi
tingkat pohon yang berbeda pada setiap ABT di lokasi penelitian ini antara lain
jenis

Amulalin

(Shorea

obscurata),

Beringin

(Ficus

benjamina),

Kapol (Baccaurea sp. Lour), Kayu Raja (Endospermum sp.), Langsat (Aglaia
tomentosa), Papuan, Saliar, Semeah, Ulin (Eusyderoxylon zwageri). Perbedaan
jenis vegetasi yang ada pada setiap ABT disebabkan karena perbedaan indukan
yang tinggal dan unsur tanah yang dimiliki setiap areal. Pernyebaran benih oleh
hewan dan faktor penebangan bisa menjadi salah satu faktor penyebab perbedaan
jenis vegetasinya, begitu juga dengan kesamaan sebagian jenis yang ada dan
mendominansi.
Astuti (2009), menyatakan bahwa pertumbuhan selain dipengaruhi oleh
faktor genetik juga dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan. Pengaruh
lingkungan terdiri dari faktor tanah, iklim, mikroorganisme, kompetisi dengan
organisme lainnya. Lebih lanjut Daniel et al. (1992) menambahkan bahwa
pertumbuhan juga dipengaruhi oleh zat-zat organik yang tersedia, kelembaban,
sinar matahari, tersedianya air dalam tanah dan proses fisiologi tumbuhan
tersebut.
5.1.2. Struktur Vegetasi
Struktur vegetasi dalam penelitian ini terdiri dari struktur horizontal dan
vertikal. Struktur horizontal adalah distribusi spasial populasi jenis dan individu
(sebaran kelas diameter terhadap kerapatan vegetasi). Struktur vertikal adalah
stratifikasi menjadi lapisan-lapisan tajuk (sebaran kelas tinggi tegakan terhadap

15

kerapatan vegetasi). Struktur vegetasi berdasarkan sebaran kelas diameter di
lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Struktur Horizontal Tegakan Pohon Berdasarkan Sebaran Kelas Diameter
Tingkat Pohon di Hutan Areal Bekas Tebangan (ABT)
Kelas Diameter
(cm)
20-29
30-39
40-49
50-59
60-up
Jumlah Total

Kerapatan Vegetasi (N/ha)
ABT 2006
ABT 2010
ABT 2014
73
102
83
40
52
33
24
32
11
9
9
7
8
8
6
154
203
140

Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa kerapatan vegetasi di semua lokasi
penelitian menyebar dalam setiap kelas diameter pada tingkat pohon. Vegetasi di
ABT tahun 2010 mendominasi hampir semua kelas diameter, hanya ada
persamaan jumlah dengan ABT tahun 2006 pada kelas diameter ≥ 60 cm. Hal ini
menunjukkan bahwa kerapatan vegetasi pada ABT tahun 2010 sangat tinggi,
selain itu faktor kesuburan tanah dan kekayaan jenis menjadi faktor utama tegakan
tinggal sangat tinggi dibandingkan dengan lokasi penelitian lainnya. Sedangkan
kerapatan vegetasi ABT tahun 2006 tidak jauh berbeda dengan kerapatan vegetasi
ABT tahun 2014. Perbedaan jumlah kerapatan vegetasi tingkat pohon pada kelas
diameter di lokasi penelitian ini dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuhnya,
seperti kelembaban dan suhu, tidak mampu bersaing atau kalah berkompetisi
dalam perebutan unsur hara, sinar matahari dan ruang tumbuh dengan vegetasi
lainnya sangat mempengaruhi pertumbuhan dari diameter batang pohon.
Adanya dominansi pohon pada kelas diameter batang dibawah diameter 50 cm
dipengaruhi oleh jenis dan umur pohon yang ada di lokasi penelitian.

16

Krebs (1985) menyatakan bahwa hutan pegunungan sangat dipengaruhi
oleh suhu, kelembaban tanah dan udara serta angin, dimana dengan naiknya
ketinggian temperatur menurun, curah hujan meningkat dan kecepatan angin juga
meningkat sangat mempengaruhi kelembaban udara.
Sistem silvikultur yang diterapkan sangat mempengaruhi tegakan tinggal
yang ada. Pelaksanaan sistem TPTI dengan mengacu pada pemanenan hutan
ramah lingkungan atau Reduce Impact Logging (RIL) di PT. Indexim Utama
menjadi faktor utama kerapatan tegakan tinggal yang ada, dimana pada kelas
diameter limit yang ditebang adalah ≥ 50 cm. Selain itu,

hal yang perlu

diperhatikan juga yaitu faktor-faktor lain seperti penyaradan dan jalan sarad,
pembuatan sodetan setelah penyaradan selesai, kerusakan tegakan tinggal akibat
penebangan, penebangan yang benar dan hal lainnya. Whitmore (1984)
menyatakan bahwa kegiatan penebangan pohon yang intensif berpengaruh serius
terhadap struktur vegetasi hutan. Penerapan teknik RIL mempengaruhi kerapatan
pohon tinggal setelah penebangan. Penelitian yang dilakukan pada ABT tahun
2010 dan tahun 2014 yang telah menerapkan teknik RIL memilki kerapatan
tegakan tinggal yang cukup tinggi dibandingkan dengan teknik konvensial pada
ABT tahun 2006. Perbedaan ini terlihat jelas dari kerapatan yang dimiliki pada
masing-masing lokasi penelitian berdasarkan struktur vegetasi horizontal dan
vertikal. Semakin kecil kerusakan hutan akibat penebangan yang dilakukan maka
semakin besar kerapatan vegetasi tegakan tinggal yang ada. Penerapan teknik RIL
ini mempengaruhi kerapatan vegetasi setelah penebangan secara positif.

17

Kerapatan Vegetasi (N/ha)

120
100
80
60
40
20
0
20-29

30-39

40-49

50-59

60-up

Kelas Diameter (cm)
ABT 2006

ABT 2010

ABT 2014

Gambar 5. Struktur Horizontal Tegakan Pohon pada ABT di Lokasi Penelitian
Gambar 5 di atas tampak jelas bahwa struktur tegakan pada setiap lokasi
penelitian tidak jauh berbeda, yaitu sama-sama berbentuk kurva huruf J-terbalik.
Perbedaanya hanya terletak pada tingkat kerapatan di setiap kelas diameternya.
Korelasi negatif terjadi antara kerapatan dengan kelas diameter, dimana semakin
besar

diameter

batang

maka

tingkat

kerapatan

semakin

menurun.

Hal ini merupakan suatu karakteristik tegakan hutan alam yang tidak seumur
dimana kurva struktur dari tegakannya bersifat eksponensial negatif sehingga
berbentuk huruf J-terbalik.
Tabel 7. Struktur Vertikal Berdasarkan Kelas Tinggi di Hutan Areal Bekas
Tebangan
Kelas Tinggi
Kerapatan Vegetasi (N/ha)
(m)
ABT 2006
ABT 2010
ABT 2014
27
5
7
5-9
37
46
68
10-14
53
96
51
15-19
29
53
12
20-24
8
3
2
≥25
154
203
140
Jumlah Total

18

Tabel 7 di atas dan Gambar 6 menunjukkan bahwa struktur vertikal
tegakan di lokasi penelitian pada berbagai areal bekas tebangan berdasarkan
hubungan antara jumlah pohon dengan kelas tinggi pohon bebas cabang,
didominasi oleh pohon dengan kelas tinggi 15-19 m (51-96 individu/ha).
Sedangkan untuk kelas tinggi 10-14 m (37-68 individu/ha), pada kelas tinggi
20-24 m (12-53 individu/ha) dan ≥ 25 m (2-8 individu/ha). Kegiatan penebangan
yang dilakukan secara intensif mempengaruhi tegakan tinggal dengan kelas tinggi
15-19 m masih mendominasi.
Stratifikasi atau pelapisan tajuk merupakan susunan tetumbuhan secara
vertikal di dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Dimana
stratifikasi diperoleh dari pengukuran tinggi pohon di lapangan. Dari ketiga lokasi
penelitian ini mempunyai lapisan atau stratifikasi yang menyusun adalah stratum
B dan stratum C, yaitu lapisan tajuk (kanopi) yang dibentuk oleh pepohonan yang
tingginya 20-30 cm dan 5-20 cm.
Perbedaan pada tegakan tinggal dengan kelas tinggi 5-9 m terdapat pada
Tabel 7 dan Gambar 6, dimana pada ABT tahun 2006 petak 20-J menjadi tegakan
pohon dengan kelas tinggi yang mendominasi dibandingkan dengan ABT 2010
dan ABT 2014 dengan jumlah pohon 27 individu/ha. Perbedaan ini kemungkinan
disebabkan oleh penerapan metode RIL yang berbeda, dimana diketahui bahwa
pada ABT 2006 belum sepenuhnya dilakukan RIL dalam proses kegiatan
pemanenannya atau masih tahap percobaan. Sehingga pertumbuhan vegetasi
berpengaruh akibat besarnya keterbukaan lahan setelah penebangan, selain itu

19

jumlah tegakan tinggal dan indukan tegakan tinggal yang ada juga menjadi salah
satu faktornya.

ABT 2010
Kerapatan Vegetasi (N/ha)

Kerapatan Vegetasi (N/ha)

ABT 2006
60
50
40
30
20
10
0

100
80
60
40
20
0

Kelas Tinggi (m)

Kelas Tinggi (m)

Kerapatan Vegetasi (N/ha)

ABT 2014
70
60
50
40
30
20
10
0

Kelas Tinggi (m)

Gambar 6. Diagram Struktur Vertikal Tegakan pada Hutan Areal Bekas Tebangan
(ABT) Tahun 2006, 2010 dan 2014
Indrayanto (2006), menyatakan bahwa pada tipe ekosistem hutan hujan
tropis, stratifikasi itu terkenal dan lengkap. Stratifikasi terjadi karena hal penting
yang dimiliki atau dialami oleh tetumbuhan dalam persekutuan hidupnya dengan
tumbuhan lainnya, yaitu akibat persaingan antar tumbuhan. Umumnya didalam
suatu masyarakat hutan terjadi persaingan antar spesies pohon yang mampu
bersaing, memiliki pertumbuhan kuat, dan menjadi spesies yang dominan.

20

Keterbukaan areal hutan akibat penebangan akan mempengaruhi stratifikasi hutan.
Pengelolaan hutan lestari dengan penerapan metode RIL diharapkan memperkecil
keterbukaan areal hutan.
5.2. Biomassa Vegetasi di Atas dan di Bawah Permukaan Tanah
5.2.1. Biomassa Vegetasi pada Areal Bekas Tebangan
Pendugaan cadangan biomassa vegetasi di atas dan di bawah permukaan
tanah pada penelitian ini menggunakan pendekatan diameter pohon dan kerapatan
kayu. Data kerapatan kayu untuk setiap jenis pohon dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Tabel 8. Potensi Biomassa di Atas dan di Bawah Permukaan Tanah pada
Areal Bekas Tebangan (ABT)

Lokasi
ABT 2006
ABT 2010
ABT 2014

Bap
518,37
534,99
372,41

Biomassa (Ton/ha)
Bbp
191,80
197,95
137,79

Keterangan :
Bap
: Biomassa di atas permukaan tanah
Bbp
: Biomassa di bawah permukaan tanah

B-Total
710,17
732,94
510,21

B-Total : Biomassa Total

Cadangan biomassa di atas dan di bawah permukaan tanah paling tinggi
terdapat pada ABT tahun 2010 petak 23-J (732,94 ton/ha), kemudian ABT tahun
2006 petak 20-J (710,17 ton/ha) dan ABT tahun 2014 petak 25-M (510,21 ton/ha).
Tingginya biomassa pada vegetasi tingkat pohon dipengaruhi oleh besarnya
ukuran diameter dan tinggi pohon di masing-masing lokasi, dan kerapatan
vegetasi tingkat pohon yang mendominasi pada ABT tersebut. Selain itu adanya
penambahan diameter pohon dari tahun ketahun juga mempengaruhi cadangan
biomassa pada setiap ABT karena penambahan diameter pohon merupakan proses

21

alami pohon yang hidup dan tumbuh atau biasa dikenal dengan istilah riap.
Perbedaan berat jenis (BJ) kayu pada setiap vegetasi tingkat pohon juga dapat
mempengaruhi potensi cadangan biomassa. Hairiah dan Rahayu (2007)
menyatakan perbedaan perolehan biomassa dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi,
keragaman ukuran diameter dan sebaran berat jenis kayu vegetasinya, dimana
penggunaan lahan yang pohonnya mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi,
biomassanya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan lahan yang kerapatan
pohonnya rendah.
Cadangan biomassa pada ABT tahun 2010 (Tabel 8) tidak jauh berbeda
dibandingkan ABT tahun 2006. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kerapatan vegetasi
berdasarkan kelas diameter dan kelas tinggi yang didominasi ABT tahun 2010.
Besarnya biomassa pada masing-masing petak ukur akan dipengaruhi oleh jenis
pohon, jumlah dan diameter (Rizon, 2005). Penerapan teknik RIL yang sudah
berjalan dengan baik pada ABT tahun 2010 menyebabkan tingkat kerapatan
vegetasi atau tegakan tinggal yang dimiliki cukup baik dibandingkan dengan masa
percobaan penerapan teknik RIL pada ABT tahun 2006 petak 20-J.
Kusmana (2005) menyatakan bahwa variasi besarnya biomassa dipengaruhi oleh
umur tegakan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan,
selain itu faktor iklim (curah hujan dan suhu). Langi (2011) mengatakan biomassa
akan meningkat sampai umur tertentu (umur dinyatakan oleh perwakilan kelas
diameter) dan kemudian pertambahan akan semakin menurun sampai akhirnya
berhenti berproduktifitas (mati). Hasil penelitian Tresnawan dan Rosalina (2002)
menyatakan bahwa pembukaan hutan dan perubahan dalam penggunaan lahan

22

yang disebabkan oleh kegiatan pemanenan hutan mengakibatkan pengurangan
biomassa dalam jumlah yang sangat besar, yaitu ±100 ton/ha di hutan alam
dataran rendah (lahan kering).
Komunitas tumbuhan hutan memiliki kemampuan untuk mengalami
perubahan, baik yang disebabkan oleh adanya aktivitas alam maupun manusia.
Aktivitas manusia yang berkaitan dengan upaya memanfaatkan hutan sebagai
salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan kondisi komunitas tumbuhan
yang ada didalamnya. Indrayanto (2006), menyatakan bahwa aktivitas manusia
dalam hutan yang bersifat merusak komunitas tumbuhan misalnya penebangan
pohon, pencurian hasil hutan, perladangan liar, pengembalaan liar, pembakaran
hutan, dan perambahan dalam kawasan hutan.
Lasco (2002) menyatakan bahwa aktifitas pemanenan kayu di hutan tropis
Asia akan menurunkan cadangan karbon antara 22-67%. Kegiatan pemanenan
kayu mengakibatkan terjadinya kerusakan tegakan tinggal. Perhitungan biomassa
kerusakan IUPHHK Pra-SFM menggunakan persentase kerusakan tegakan hasil
studi Elias (2002) dan potensi biomassa dari hasil pengukuran di lokasi penelitian.
Pendekatan persentase kerusakan tegakan IUPHHK Pra-SFM (Sustanaible Forest
Management) berdasarkan persentase kerusakan pada blok tebangan yang
melakukan pemanenan dengan metode konvensional (Fitri, 2013).
5.2.2. Biomassa Vegetasi Berdasarkan Laporan Hasil Cruising (LHC) dan
Laporan Hasil Penebangan (LHP)
Potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat pohon berdasarkan data LHC
disajikan pada Tabel 9. Data LHC menjadi pembanding dengan biomassa pada
areal bekas tebangan, dimana data LHC dianggap sebagai hasil data hutan primer.

23

Tabel 9. Potensi Cadangan Biomassa Vegetasi Tingkat Pohon Berdasarkan Data
LHC Tahun 2006, 2010 dan 2014
Lokasi

Biomassa (Ton/ha)
Bbp
224,40
193,49
129,81

Bap
606,48
552,94
350,84

2006
2010
2014

Keterangan :
Bap
: Biomassa di atas permukaan tanah
Bbp
: Biomassa di bawah permukaan tanah

B-Total
830,88
746,43
480,65

B-Total : Biomassa total

Cadangan biomassa vegetasi tingkat pohon berdasarkan data LHC di atas
dan

di

bawah

permukaan

tanah

berkisar

480,65-830,88

ton/ha.

Cadangan biomassa tingkat pohon berdasarkan data LHC berbeda disebabkan
jumlah vegetasi atau kerapatan vegetasi tigkat pohon dan besar atau kecilnya
tingkat pertumbuhan (kelas tinggi dan diameter) yang ada pada setiap lokasi.
Diketahui bahwa semakin tingginya jumlah jenis, ukuran diameter dan tinggi
pohon akan mempengaruhi potensi cadangan biomassanya.
Keadaan geografis dan struktur tanah juga dapat mempengaruhi
keanekaragaman jenis dan jumlah vegetasi tingkat pohon, sehingga potensi
cadangan biomassa yang dimliki berbeda pada setiap lokasi. Perbedaan berat jenis
(BJ) kayu pada setiap vegetasi tingkat pohon juga dapat mempengaruhi potensi
cadangan biomassa.
Hutan dataran rendah menyimpan sebagian besar karbon daratan.
Vegetasi hutan menyerap karbon dioksida melalui aktifitas fotosintesis dan
mampu menyimpan sekitar 76–78% karbon organik dari total karbon organik
daratan dalam bentuk biomassa (Kun and Dongsheng, 2008 dalam Suwardi et al.,
2012). Hutan primer dataran rendah di Siberut, Sumatera Barat misalnya memiliki

24

potensi biomassa tumbuhan sebesar 131,92 ton/ha (Bismark et al., 2008a),
hutan gambut Kalimantan Tengah memiliki biomassa sebesar 600 ton/ha (Ludang
dan Jaya, 2007), hutan primer di dusun Aro, Jambi memiliki biomassa sebesar
366,95 ton/ha. Penelitian ini cadangan biomassa yang dimiliki cukup tinggi
dibandingkan dengan hutan primer di Siberut (Sumatra Barat) dan dusun Aro
(Jambi).
Tabel 10. Potensi Cadangan Biomassa Vegetasi Tingkat Pohon Berdasarkan
Data LHP Tahun 2006, 2010 dan 2014
Lokasi
Bap
60,62
89,46
112,96

2006
2010
2014

Keterangan :
Bap
: Biomassa di atas permukaan tanah
Bbp
: Biomassa di bawah permukaan tanah

Biomassa (Ton/ha)
Bbp
22,42
33,10
41,80

B-Total
83,04
122,56
154,76

B-Total : Biomassa total

Potensi cadangan biomassa vegetasi tingkat pohon berdasarkan data LHP
tahun 2006, 2010, dan 2014 menunjukkan trend yang semankin meningkat.
Cadangan biomassa di atas dan di bawah permukaan tanah berdasarkan data LHP
ini berkisar 83,04-154,76 ton/ha. Penebangan pohon akan mempengaruhi
biomassa yang ada di dalam hutan. Tegakan pohon yang ditebang akan
mengurangi jumlah biomassa yang ada di dalam hutan sebelum penebangan
dilakukan.
Tabel 11.

Potensi Cadangan Biomassa Vegetasi Tingkat Pohon Berdasarkan
Pengurangan dari Data LHC-LHP Tahun 2006, 2010 dan 2014

Lokasi
2006
2010
2014

Perubahan Biomassa LHC-LHP (Ton/ha)
LHC
LHP
LHC-LHP
830,88
83,04
747,84
746,43
122,56
623,87
480,65
154,76
325,89

25

Cadangan biomassa total berdasarkan pengurangan data LHC dengan LHP
di atas permukaan tanah berkisar 480,65-830,88 ton/ha, sedangkan biomassa di
bawah permukaan tanah berkisar 83,04-154,76 ton/ha. Perubahan potensi
cadangan biomassa total di atas dan di bawah permukaan tanah berdasarkan data
LHC dikurangi dengan data LHP pada tahun 2006, 2010 dan 2014 masih cukup
tinggi berkisar 325,89-747,84 ton/ha. Biomassa total hasil pengurangan data LHC
dengan data LHP tersebut merupakan estimasi cadangan biomassa yang ada di
hutan.
Pohon merupakan vegetasi yang memberikan sumbangan terbesar
terhadap cadangan biomassa di atas permukaan tanah, baik di hutan primer
maupun di areal bekas tebangan. Penelitian ini menjadikan data LHC sebagai
hutan primer, karena data LHC merupakan hasil inventarisasi sebelum
penebangan atau dianggap sebagai hutan primer. Pembanding dari data LHC yaitu
data LHP. Data LHP diambil untuk menduga seberapa besar potensi biomassa
sesudah penebangan, sehingga dapat dilakukan perhitungan perubahan potensi
biomassa sebelum penebangan (LHC) dan setelah dilakukan penebangan (LHP).
Potensi cadangan biomassa sebelum dan sesudah penebangan berpengaruh
kepada besarnya jumlah pohon yang ditebang, kerusakan tegakan, pengelolaan
hutan yang dilakukan setelah penebangan, dan pelaksanaan teknik RIL yang tepat.
Cadangan biomassa di dalam hutan tinggi setelah dilakukan penebangan menjadi
gambaran bahwa pengelolaan hutan sudah baik. Semakin tinggi potensi cadangan
biomassa yang ada dalam hutan, maka cadangan karbonnya juga akan tinggi.

26

Tabel 12. Perbandingan Potensi Cadangan Biomassa Total pada ABT dan
Data LHC-LHP.

Lokasi
2006
2010
2014

Biomassa Total (Ton/ha)
ABT
LHC-LHP
710,17
747,84
732,94
623,87
510,21
325,89

Data LHC-LHP pada tahun 2006 cadangan biomassa totalnya lebih tinggi
dibandingkan dengan cadangan biomassa total pada ABT. Tingginya cadangan
biomassa pada tahun 2006 berdasarkan data LHC-LHP disebabkan rendahnya
volume penebangan yang dilakukan pada tahun tersebut. Volume pohon yang
ditebang akan mempengaruhi jumlah cadangan biomassa yang ada dalam hutan,
semakin tinggi jumlah volume tebangan yang terbawa dari hutan maka cadangan
biomassa yang ada di dalam hutan akan berkurang. Cadangan biomassa
berdasarkan data LHC tahun 2006 lebih tinggi dari tahun lainnya, sedangkan
berdasarkan data LHP tahun 2006 lebih rendah dari tahun lainnya.
Hasil perhitungan ini didasarkan pada jumlah volume pohon yang diinventarisasi
dengan yang ditebang pada tahun tersebut. Berat jenis pohon juga berpengaruh
pada besar-kecilnya cadangan biomassa yang dimiliki pada pohon. Pohon yang
memliki berat jenis tinggi dan volumenya tinggi maka cadangan biomassa yang
dimiliki akan tinggi juga.
5.3. Karbon Vegetasi di Atas dan di Bawah Permukaan Tanah
5.3.1. Potensi Cadangan KarbonVegetasi pada Areal Bekas Tebangan
Model pendugaan cadangan karbon vegetasi tingkat pohon di atas dan
di bawah permukaan tanah pada areal bekas tebangan ini menggunakan
pendekatan non-destruktif atau metode tidak langsung. Hasil perhitungan potensi

27

cadangan karbon pada vegetasi tingkat pohon di atas dan di bawah permukaan
tanah pada areal bekas tebangan disajikan pada Tabel 13.
Data Tabel 13 menunjukkan potensi cadangan karbon di atas dan di bawah
permukaan tanah pada ABT berkisar 239,80-344,48 ton C/ha. Potensi cadangan
biomassa tertinggi pada ABT tahun 2010 petak 23-J dan tidak jauh berbeda
dengan ABT tahun 2006 petak 20-J. Hal ini disebabkan tingginya komposisi dan
struktur vegetasi pada ABT 2010 dibandingkan dengan ABT lainnya, teknik RIL
yang telah diterapkan berpengaruh terhadap komposisi dan struktur vegetasinya.
Tabel 13. Potensi Cadangan Karbon Vegetasi Tingkat Pohon di Atas dan
di Bawah Permukaan Tanah pada Areal Bekas Tebangan (ABT)

Lokasi
ABT 2006
ABT 2010
ABT 2014

Cap
243,64
251,44
175,04

Karbon (Ton C/ha)
Cbp
90,15
93,03
64,76

C-Total
333,78
344,48
239,80

Keterangan :
Cap
: Karbon di atas permukaan tanah
Cbp
: Karbon di bawah permukaan tanah
C-Total : Karbon total di atas dan di bawah permukaan tanah

Brown (1997) mengasumsikan bahwa 50% dari biomassa hutan tersusun
atas karbon, sehingga cadangan karbon berkorelasi positif dengan besarnya
biomassa di atas permukaan tanah, maka cadangan karbon akan semakin tinggi.
Penelitian di beberapa hutan alam sekunder menyebutkan bahwa jumlah
pohon yang dipanen dalam satu hektar sangat menentukan kelestarian produksi
hutan (Bertault and Sist, 1997; Sistet et al., 1998; Sistet et al., 2003b), walaupun
telah dilakukan teknik pemanenan yang berdampak rendah atau RIL (Reduced
Impact Logging) yang dipercaya dapat mengurangi kerusakan tegakan tinggal
(Putzet et al., 2008a; Putzet et al., 2008b; Sasakiet et al., 2012).

28

Kerusakan hutan akibat dari penebangan atau berkurangnya tegakan hutan dapat
mengurangi cadangan karbon vegetasi hutan karena setiap kayu memiliki
biomassa. Semakin banyak volume kayu ditebang maka cadangan biomassa dan

Cadangan Karbon (ton C/ha)

Cadangan Karbon (ton C/ha)

karbon yang hilang semakin besar pula (Rajagukguk, 2012).

300
250
200
150
100
50
0
ABT
2006

ABT
2010

ABT
2014

Lokasi Penelitian
Cap

Cbp

350
300
250
200
150
100
50
0
ABT
2006

ABT
2010

ABT
2014

Lokasi Penelitian
C-Total

Gambar 7. Diagram Cadangan Karbon di Atas, di Bawah Permukaan Tanah dan
Cadangan Karbon Total di Areal Bekas Tebangan
Karbon tersimpan di daratan bumi dalam bentuk makhluk hidup
(tumbuhan dan hewan), bahan organik mati ataupun endapan seperti fosil
tumbuhan dan hewan. Sebagian besar jumlah karbon yang berasal dari makhluk
hidup bersumber dari hutan. Seiring terjadinya kerusakan hutan, maka pelepasan
karbon ke atmosfir juga terjadi sebanyak tingkat kerusakan hutan yang terjadi.
Proses eksploitasi atau pemanenan hutan, akan menyebabkan kematian pohon
yang ditebang maupun “logging damage” bagi pohon-pohon kecil di sekitarnya
akibat penebangan. Tanpa menerapkan pembalakan berdampak rendah atau RIL,
kerusakan akibat penebangan menjadi sangat besar dan meningkatkan tingkat

29

mortalitas yang tinggi. Secara otomatis pula, tingkat emisi akibat dekomposisi
menjadi lebih besar (Manuri, et. al., 2011 dalam Elfrinaldi, 2014).
Pemanenan kayu di hutan alam dapat mengakibatkan kerusakan pada
tegakan tinggal yang ada. Dalam kerangka kebijakan Pengelolaan Hutan Alam
Produksi Lestari (PHAPL), dipandang perlu mengurangi tingkat kerusakan
tegakan tinggal untuk menjamin terpeliharanya sumberdaya hutan pasca
pemanenan hasil hutan. Maka dalam upaya pemanfaatan sumberdaya hutan secara
optimal, Unit Manajemen PT. Indexim Utama telah menerapakan teknik
pemanenan huta yang ramah lingkungan atau RIL untuk meminimalkan
kerusakan tegakan tinggal. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh
PT. Indexim Utama, kegiatan pemanenan kayu menyebabkan bentuk kerusakan
seperti rusak tajuk, rusak kulit/batang, rusak banir, patah batang, pecah batang,
miring dan roboh. Persentase kerusakan ringan, kerusakan sedang dan kerusakan
berat masing-masing 30,80%, 19,60% dan 49,60% dari total kerusakan akibat
pemanenan. Kerusakan pada tegakan tinggal yang paling banyak terjadi adalah
pada kelas diameter 20-29 cm. Kegiatan pemanenan menyebabkan kerusakan
tegakan tinggal sebesar 15,39%, persentase kerusakan pohon akibat penebangan
sebesar 11,54% dan persentase pohon akibat penyaradan sebesar 3,85%.
Keterbukaan areal akibat penyaradan sebesar 547,99 m2/plot. Sedangkan luas
keterbukaan rata-rata secara keseluruahan petak tebangan sebesar 3,53 ha per
petak dengan persentase sebesar 4,52%. Analisis regresi menunjukkan bahwa
intensitas penebangan paling berpengaruh terhadap besarnya kerusakan tegakan
tinggal (PT. Indexim Utama, 2012).

30

Tabel 14. Kandungan Karbon pada Beberapa Penutupan Lahan
Penutupan Lahan
Hutan Mangrove Primer
Hutan Rawa Primer
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Hutan Mangrove Sekunder
Hutan Rawa Sekunder
Semak
Lahan Pertanian Kering
Pertanian dan Semak
Padi
Perkebunan
HTI umur 5 Tahun
Savana
Semak Rawa
Hutan Primer (Indonesia)
Hutan Bekas Tebangan (Indonesia)

C-Stock (Ton/Ha)
241
108
232
115
128
77
20
5
79
4
59
51
3
21
254-390
148,2-245

Sumber
JICA & CERIndonesia, 2009
Istomo et al, 2006
JICA & CERIndonesia, 2009
Wasrin et al, 2006
JICA & CERIndonesia, 2009
Istomo et al, 2006
JICA & CERIndonesia, 2009
Murdiyarso & Wasrin, 1996
Wasrin et al, 2006
Wasrin et al, 2006
Wasrin et al, 2006
JICA & CERIndonesia, 2009
Wasrin et al, 2006
JICA & CERIndonesia, 2009
Lasco, 2002
Lasco, 2002

Sumber: APHI, 2011

Hasil penelitian di lapangan pada hutan areal bekas tebangan di
PT. Indexim Utama sangat memenuhi batas ambang minimal yang ditetapkan
oleh APHI (2011) menurut Lasco (2002), dimana pada hutan bekas tebangan
(Indonesia) kandungan karbon berkisar 148,2 - 245 ton C/ha, pada hutan bekas
tebangan di PT. Indexim Utama berkisar 175,04-251,44 ton C/ha. Kandungan
karbon pada hutan primer Lasco (2002) berkisar 254-390 ton C/ha, dan
berdasarkan hasil perhitungan hutan primer (LHC) di PT. Indexim Utama berkisar
164,89 - 285,04 ton C/ha.
5.3.2. Potensi Cadangan Karbon Vegetasi pada Laporan Hasil Cruising
(LHC) dan Laporan Hasil Penebangan (LHP)
Komponen utama penyusun cadangan karbon di atas permukaan tanah
adalah vegetasi tingkat pohon, baik di hutan primer maupun di hutan areal bekas
tebangan. Penelitian ini data LHC dijadikan sebagai acuan untuk data hutan
primer karena data LHC dianggap sama dengan hutan primer yang ada, dimana

31

data LHC merupakan hasil inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP)
pada hutan alam. Sedangkan data LHP dijadikan sebagai data pembanding untuk
mengetahui perubahan karbon yang terjadi setelah dilakukan penebangan. Data
potensi cadangan karbon vegetasi tingkat pohon berdasarkan data LHC dan LHP
disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Potensi Cadangan Karbon Vegetasi Tingkat Pohon Berdasarkan Data
LHC Tahun 2006, 2010 dan 2014
Lokasi
2006
2010
2014

Cap
285,04
245,78
164,89

Karbon (Ton C/ha)
Cbp
105,47
90,94
61,01

C-Total
390,51
336,72
225,90

Keterangan :
Cap
: Karbon di atas permukaan tanah
Cbp
: Karbon di bawah permukaan tanah
C-Total : Karbon total di atas dan di bawah permukaan tanah

Nilai cadangan karbon pada hutan primer (data LHC) di atas permukaan
tanah pada penelitian ini termasuk tinggi. Tertinggi pada tahun 2006 dan menurun
pada tahun 2010 hingga tahun 2014. Penurunan cadangan karbon yang dimiliki
pada hutan primer dapat disebabkan oleh tinggi atau rendahnya cadangan
biomassa pohon yang ada pada lokasi tersebut. Cadangan biomassa pada pohon
berpengaruh terhadap jumlah kerapatan vegetasi yang ada, besarnya limit
diameter pohon, dan berat jenis pohon. Besarnya cadangan biomassa pada pohon
akan berpengaruh terhadap cadangan karbon yang dimiliki pohon tersebut,
semakin tinggi cadangan biomassanya maka cadangan karbonnya akan tinggi.
Potensi cadangan karbon berkorelasi positif dengan besarnya biomassa.

32

Tabel 16. Potensi Cadangan Karbon Vegetasi Tingkat Pohon Berdasarkan Data
LHP Tahun 2006, 2010 dan 2014
Lokasi
2006
2010
2014

Karbon (Ton C/ha)
Cbp
10,54
15,56
19,64

Cap
28,49
42,05
53,09

C-Total
39,03
57,61
72,73

Hasil perhitungan potensi cadangan karbon vegetasi tingkat pohon
berdasarkan data LHC di atas permukaan dan di bawah permukaan tanah berkisar
39,03-72,73 ton C/ha. Peningkatan cadangan karbon ini disebabkan oleh jumlah
cadangan biomassanya juga meningkat.
Tabel 17. Potensi Cadangan Karbon Vegetasi Tingkat Pohon Berdasarkan
Pengurangan dari Data LHC-LHP Tahun 2006, 2010 dan 2014
Lokasi
2006
2010
2014

Perubahan Karbon LHC-LHP (Ton C/ha)
LHC
LHP
C-Total
390,51
39,03
351,48
336,72
57,61
279,11
225,90
72,73
153,17

Perubahan cadangan karbon sebelum penebangan dan setelah dilakukan
penebangan berdasarkan data LHC dan LHP, cadangan karbon di atas dan di
bawah permukaan tanah berkisar 153,17-351,48 ton C/ha.
Tabel 18. Perbandingan Potensi Cadangan Karbon Total pada Areal Bekas
Tebagan (ABT) dan Data LHC-LHP

Lokasi
2006
2010
2014

Karbon Total (Ton C/ha)
ABT
LHC-LHP
333,78
351,48
344,48
279,11
239,80
153,17

Keterangan :
ABT
: Areal Bekas Tebangan tahun
LHC
: Laporan Hasil Cruising
LHP
: Laporan Hasil Penebangan

33

Hasil perhitungan cadangan karbon total (di atas dan di bawah permukaan
tanah) pada Tabel 18 di atas menunujukkan bahawa berdasarkan data LHC-LHP
tahun 2006 cadangan karbon total yang dimiliki lebih tinggi dibandingkan dengan
data LHC-LHP dan ABT tahun lainnya. Perbedaan ini disebabkan jumlah
cadangan biomassa yang ada dilokasi berbeda-beda. Potensi cadangan biomassa
pada hutan berbanding lurus dengan potensi cadangan karbon yang ada dalam
hutan tersebut. Semakin tinggi cadangan biomassa yang dimilki maka cadangan
karbon hutan yang dimiliki juga akan tinggi.
Hasil perhitungan jumlah cadangan karbon total tahun 2006 (± 9 tahun
setelah penebangan) pada ABT termasuk tinggi, dimana cadangan karbon yang
dimiliki mencapai cadangan karbon pada hutan primer yang berkisar
254-390 ton C/ha (Lasco, 2012). Data LHC-LHP pada tahun yang sama juga
memliki cadangan karbon yang tinggi. Cadangan karbon pada ABT dan data
LHC-LHP

tahun

2010

atau

setelah

lima

tahun

penebangan

berkisar

279,11 ton C/ha dan 344,48 ton C/ha yang termasuk dalam kisaran standar
cadangan karbon di hutan primer. Hasil perhitungan pada ABT tahun 2014 atau
satu tahun setelah penebangan hampir mendekati kisaran cadangan karbon hutan
primer. Grafik cadangan karbon total pada lokasi penelitian di PT. Indexim Utama
disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan grafik tersebut dapat terlihat secara jelas
perbandingan antara cadangan karbon total pada ABT dan data LHC-LHP.
Perbedaan muncul pada cadangan karbon total ABT tahun 2010, dimana
cadangan karbonnya lebih tinggi dibandingkan cadangan karbon total pada ABT
tahun 2006 dan tahun 2014. Berbeda dengan data LHC-LHP cadangan karbon

34

tertinggi justru terdapat pada tahun 2006. Perbedaan potensi cadangan karbon ini
dipengaruhi oleh cadangan biomassa tingkat pohon, kerapatan vegetasi,
keragaman ukuran diameter dan berat jenis kayunya.

Karbon Total

400
350

351,48

344,48
333,78

300

279,11
239,8

Ton C/Ha

250
200

153,17
150
100
50
0
ABT

LHC-LHP
2006

2010

2014

Gambar 8. Grafik Cadangan Karbon Total pada Lokasi Penelitian Berdasarkan
Hasil Perhitungan
Karbon yang tersimpan pada lokasi penelitian ini menjadi bahan informasi
dalam pengelolaan hutan yang lebih baik. Pengelolaan hutan yang baik
diharapkan hutan tetap terjaga kelestariannya sehingga dampak pembukaan
wilayah hutan dan produksi tidak berdampak pada penurunan penyerapan karbon
setelah dilakukan pemanenan. Perusahaan pemegang IUPHHK-HA diharapkan
mampu menjadi garda depan dalam meningkatkan penyerapan karbon yang
diharapkan dalam REDD+. Aktifitas penebangan yang baik dan terencana di
dalam hutan produksi ini dapat dikategorikan sebagai kegiatan REDD+ kategori

35

pengelolaan hutan lestari/berkelanjutan,karena hutan merupakan penyerap karbon
terbaik dari bumi ini. Kelestarian hutan jika tidak terjaga dengan baik maka
banyak dampak yang terjadi di muka bumi ini, seperti perubahan ekosistem,
bentang alam dan bencana alam hingga pemanasan global yang terjadi sekarang
ini. Hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa cadangan karbon pada hutan
areal bekas tebangan dengan penerapan teknik RIL pada sistem silvikultur TPTI
memiliki cadangan karbon yang mendekati cadangan karbon di hutan primer.
Peran pengelolaan hutan produksi alam dalam kontribusinya terhadap
pengurangan emisi karbon dapat memperlihatkan bahwa pengelolaan yang baik
tanpa harus mengurangi perannya sebagai fungsi produksi sebetulnya dapat secara
signifikan berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon. Peran ini dapat
dilakukan melalui perbaikan sistem, intervensi teknologi dan teknik-teknik terkait
pengelolaan hutan lestari misalnya penerapan pembalakan berdampak rendahkarbon (Reduced Impact Logging Carbon/RIL-C) yang memerlukan dukungan
nyata dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta lembaga lainnya. Skema
insentif dari pemerintah dan lembaga lain sudah selayaknya diusahakan sebagai
pemicu para pengelola hutan produksi untuk berkontribusi dalam mitigasi
perubahan iklim, dan mendukung pemerintah dalam menyukseskan RAN-GRK
(Natural Resources Development Center, 2013). Penerapan sistem pembalakan
ramah lingkungan (RIL-C) merupakan salah satu dari perbaikan sistem
pengelolaan hutan produksi yang dapat berkontribusi pada upaya pengurangaan
emisi sektor kehutanan dari hutan produksi.

36

Hasil penelitian The Nature Conservancy (TNC) di sembilan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam (IUPHHK-HA) di Kalimantan
Timur menunjukkan bahwa penerapan teknik-teknik pembalakan ramah
lingkungan beremisi rendah karbon (RIL-C) dapat mengurangi kerusakan hutan
hampir 50%, dan mengurangi emisi karbon hampir 30% dibandingkan
konvensional logging (sebagai BAU) yang berjalan saat ini. Hasil penelitian
penting ini belum diadopsi dan belum dirumuskan dalam kebijakan pengelolaan
hutan produksi yang dapat mendorong IUPHHK untuk melaksanakannya. Dengan
memasukkan perhitungan karbon sebagai salah satu kriteria dan indikator
Pengelolan Hutan Produksi Lestari (PHPL) akan dapat mengukur kontribusi hutan
produksi dalam pengurangan emisi nasional dan akan membawa dampak
penilaian bahwa pemanenan hutan produksi itu bukan sebagai sumber emisi
semata tetapi juga dapat menurunkan target emisi sektor kehutanan.
Reduce Impact Logging Carbon (RIL-C) dapat dilaksanakan oleh Unit
Managemen (UM) tanpa harus mengubah sistem kerja secara mendasar dan hanya
memerlukan perencanaan yang benar dan pelaksanaan yang konsisten di
lapangan. Agar RIL-C dapat