Pendekatan Bahasa dalam Studi Hadis

Nama : Achmad
Nim : 1730006007
PENDEKATAN BAHASA DALAM STUDI HADIS
(Sebuah Analisis Konstruktif Hadis Persfektif Bahasa)
Abstrak
Pendekatan bahasa dalam studi hadis adalah pemaknaan teks
matan hadis dengan mempertimbangkan unsur kebahasaan yang
meliputi fonologi, morfologi sintaksis maupun semantik. Pasca
kodifikasi hadis berkembang dengan pesat, muncul berbagai
persoalan apakah hadis yang dituliskan dan dibukukan itu benarbenar hafalan yang berasal dari Nabi, atau merupakan hafalan
yang keliru dan sengaja dibuat-buat untuk maksud tertentu.
Disamping itu juga timbul pertanyaan apakah hafalan itu
redaksinya persis seperti yang diucapkan Nabi atau hanya maksud
dan maknanya saja. Kalau itu riwayah bil makna, apakah benar
maksudnya sama seperti yang dimaksud oleh Nabi. Pesoalan
kedua adalah didapatinya beberapa kata dalam matan hadis yang
terasa asing, terlebih bagi penafsir non-arab dan masih banyak
pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul. Oleh karena itu untuk
menjaga otentisitas sebuah hadis, pendekatan bahasa dalam studi
hadis adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi perlu diingat
mengingat probabilitas zaman dan dinamisasi peradaban yang

sangat kompleks maka pendekatan interdisipliner dalam studi
hadis saat ini juga mutlak diperlukan.
Kata Kunci : Pendekatan, Bahasa dan Hadis
Pendahuluan
Tidak dapat diragukan lagi bahwa hadis mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam kajian Islam. Sebagai sumber ajaran kedua setelah alQur'an, hadis menjadi rujukan dari berbagai problem sosial keagamaan yang
dihadapi oleh umat muslim karena hadis tidak hanya sebagai bayan dan tafsir dari
al-Qur'an tetapi juga mencakup semua kegiatan hidup Nabi saw. yang umum dan
luas meliputi semua informasi, bahkan pesan, kesan dan sifat yang semuanya
bersumber dari Nabi saw. Meskipun diyakini sebagai sumber ajaran kedua setelah
al-Qur'an, hadis mempunyai problem yang cukup rumit terkait dengan proses
kodifikasinya yang memakan waktu cukup panjang yakni setelah hampir seratus
tahun tinggal dalam hafalan para sahabat dan tabi'in yang banyak berpindahpindah dari hafalan seorang guru kepada hafalan muridnya.

Pasca kodifikasi hadis berkembang dengan pesat, muncul berbagai
persoalan apakah hadis yang dituliskan dan dibukukan itu benar-benar hafalan
yang berasal dari Nabi saw., atau merupakan hafalan yang keliru dan sengaja
dibuat-buat untuk maksud tertentu Disamping itu juga timbul pertanyaan apakah
hafalan itu redaksinya persis seperti yang diucapkan Nabi atau hanya maksud dan
maknanya saja. Kalau itu riwayah bil makna, apakah benar maksudnya sama

seperti yang dimaksud oleh Nabi, dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain
yang muncul dan memerlukan berbagai penelitian lebih lanjut untuk melihat
otentisitas hadis sehingga memunculkan ilmu hadis dengan berbagai cabangnya.1
Untuk menghindari distorsi penafsiaran hadis, serta spirit
al-Qur’an dan hadis adalah

salihun li kulli zaman wa makan,2

maka diperlukan kontekstualisasi pemaknaan hadis. Mengingat
dinamika perkembangan bahasa Arab yang sudah sangat jauh
dengan zaman Nabi saw. serta probabilitas unsur bahasa Arab
yang sangat tinggi, maka pendekatan bahasa mutlak diperlukan.
Penelitian kualitas hadis terutama matan hadis, terdapat kaedahkaedah keshahihan matan hadis yang sangat mengacu kepada
kaedah kebahasaan. Yakni, kaidah yang menentukan hadis
tersebut berkualitas maqbul atau mardud, di dalam hadis
tersebut terdapat Syudzudz atau ‘illat. Dan juga mengingat hadis
Nabi Muhammad SAW berbahasa Arab, maka diperlukan dan
diwajibkan dalam memahaminya, menggunakan pendekatan
bahasa (linguistik).
Pendekatan dengan penelusuran bahasa,

dapat

membersihkan

hadis

Nabi

Muhammad

muhadditsin
SAW

dari

pemalsuan hadis, yang muncul karena konfik politik dan
perbedaan pendapat dalam bidang fqh dan kalam.

Melalui


pendekatan bahasa peneliti atau pengkaji dapat mengetahui dan
1

Yunahar Ilyas dan M Mas'udi, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis (Yogyakarta:
LPPI UMY, 1996), hlm. 100.
2
Salihun likulli zaman wa makan, sebenarnya telah menunjukkan fleksibilitas dan
elastisitas ajaran Islam dan bukan ortodoksi yang ketat dan kaku. M. Amin Abdullah, “Hadis
dalam Khazanah Intelektual Muslim: Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah”, dalam Pengembangan
Pemikiran terhadap Hadis, ed. Yunahar Ilyas, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan
Islam (LPPI), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1996), hlm. 91.

memahami makna dari lafadz-lafadz hadis yang gharib dan juga
mengetahui illat serta syadz.

Pendekatan Bahasa : Selayang Pandang
Pendekatan bahasa dalam studi hadis adalah pemaknaan teks matan hadis
dengan mempertimbangkan unsur kebahasaan yang meliputi fonologi, morfologi
sintaksis maupun semantik sebuah bahasa. Kerena hadis menggunakan
bahasa


Arab,

memahami

maka

kata-kata

langkah
sukar.

pertama
Bagi

yang

para

diambil


sahabat

ialah

sebagai

mukhatab, apa yang disampaikan oleh Rasulullah, dari segi
bahasa, tidak ada yang sulit. Para sahabat terdiri atas kabilahkabilah, yang untuk menyebut sesuatu terkadang menggunakan
dialek

atau

istilah

yang

berbeda-beda.

Rasulullah


dapat

meneyesuaikan diri dalam hal ini.
Ketika sampai kepada beberapa generasi, terasa bagi
pemerhati hadis bahwa istilah itu asing; terlebih pemerhati hadis
tidak seluruhnya menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa
ibunya. Itulah sebabnya ulama hadis berkepentingan menyusun
Ilm Ghārib al-Hadīs. Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya
mengenai makna kata “asing” dalam sebuah hadis, menyatakan
“tanyalah kepada yang ahli Ghārib al-Hadīs, karena saya tidak
suka berbicara hadis hanya mengenai perkiraan saja”.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa, dengan pendekatan
bahasa, seorang dapat mengetahui makna-makna yang ‘asing’,
sehingga pendekatan bahasa sangatlah penting digunakan di
dalam memahami hadis Nabi saw. Memahami dan mengetahui
makna dan tujuan hadis Nabi saw. Sudahlah sangat jelas sekali,
bahwa

urugensi


pemahaman

hadis

dengan

menggunakan

pendekatan bahasa ini, yaitu untuk mengetahui makna yang
masih

belum

jelas

(Gharib)

ataupun


kata-kata

yang

menggunakan makna sebenarnya dan kata-kata yang bermakna
bersifat

majaz.3

Menggunakan

kata

kiasan

di

dalam

mengungkap sebuah ide merupakan gejala universal di semua

bahasa, Arab, Inggris, Indonesia, dll. Dalam hadis sering dijumpai
kata-kata kiasan seperti ini. Namanya juga kiasan, maka makna
secara harfyah tidak terjadi.
Dalam
berpidato”

ilmu
lebih

Balaghah,
tepat

dan

menyebut
lebih

“singa

ringkas


itu
serta

sedang
lebih

menggambarkan keutuhan dibanding dengan menyebutkan “si
fulan yang gagah berani itu sedang berpidato”. Karena itu ketika
membaca hadis, pertanyaan pertama setelah tidak ada kata-kata
sukar ialah pernyataan ini berisi kiasan apa tidak. Tergesagesalah orang yang berkata bahwa kalimat yang terkandung di
dalam hadis itu bertentangan dengan kenyataan atau tidak
masuk akal karena hanya terdapat kata kiasan di dalam hadis.
Misalnya hadis yang berbunyi:

. . . ‫ اعلموا أن الجنة تحت للا السيوف‬. . .
Artinya:” . . . ketahuilah bahwa surga itu di bawah bayangbayang pedang . . .”
Kalimat ini tidak bisa tidak, harus dipahami sebagai kiasan
atau dalam Ilmu Bahaghah di kenal dengan istilah majaz isti’arah
yaitu suatu kiasan yang meminjam istilah lain yang memiliki
kesamaan sifat. Mustahil bila surga itu benar-benar terdapat di
bawah bayang-bayang pedang. Tetapi yang dimaksud dalam
hadis ini, surga itu diraih dengan kerja keras, kesungguhan serta
ketulusan seperti perjuangan berperang yang sering terjadi
diawal penyebaran agama Islam dimasa Nabi saw.
Kerangka Konseptual Pendekatan Bahasa

3

Alfatih suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis (Yogyaakarta: SUKA Pres UIN Sunan
Kalijaga 2012), hlm 124-126.

Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam
suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami sustu kajian.
Pendekatan juga dapat didefinisikan sebagai serangkaian asumsi yang mendasari
cara seseorang dalam membaca, memahami, menjelaskan suatu fakta, teks,
realitas maupun fenomena yang ada. Pendekatan penafsiaran teks keagamaan
akan sangat mempengaruhi corak taftsir yang dihasilkan. Terdapat banyak
pendekatan yang dapat digunakan oleh pensyarah hadis. Salah satu pendekatan
terpenting adalah pendekatan lingustik atau bahasa.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang disepakati untuk dipergunakan
oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama,
berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri.4 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg
digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri.5 Lambang bunyi bahasa disusun secara alfabetis oleh
para pakar bahasa, adapun ciri-ciri dari bahasa adalah, manusiawi, konvensional,
unik, dinamis, produktif, universal dan beragam dan arbitrer. Bahasa tersusun
atas unsur bahasa yang meliputi fonologi (al-aswat) morfologi (as-sharf) dan
sintaksis (an-nahwu) ketiga unsur tersebut merupakan komponen terpenting
dalam kajian kebahasaan. Akan tetapi untuk membedakan antara makna hakiki
dan makna majazi sebuah bahasa diperlukan kaajian semantik atau dalam bahasa
Arab disebut ‘Ilm ad-Dalalah. Dalam Ilmu semantik suatu kata tidak memiliki
makna kecuali meletakannya di dalam konteks (as-siyaq) .
Konteks bahasa atau dalam semantik Arab dikenal istilah adalah as-siyaq
al-lughawi, yaitu pemaknaan suatu kata dalam suatu kalimat dengan
mempertimbangkan kedudukan kata dalam stuktur kalimat serta kata lain yang
melekat pada kalimat tersebut. contoh kata al kitab pada tiga kalimat dibawah ini
meskipun sama akan tetapi memiliki makna yang berbeda.

‫ يقرأ المسلمون الكتاب في المسجد‬.
‫يقرأ النصارى الكتا ب في الكنيسة‬
‫يقرأ اللبب الكتاب في مكتبة الجامعة‬
4
5

hlm.116

.a
.b
.c

Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm.32.
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2013),

Jika kita perhatikan tiga kalimat di atas sama-sama terdapat kata al-kitab,
dalam setiap kalimatnya, lantas apakah makna al-kitab antara kalimat pertama
sama dengan al-kitab pada kalimat berikutnya. Dari mana kita mengetahui makna
al-kitab yang dimaksud tiap-tiap kalimat. Hanya dengan melihat konteks bahasa
kita dapat mengetahui nya.1), al-Kitab pada kalimat pertama boleh jadi dapat
dimaknai sebagai kitab Al-quran. karena kalimat ‫يقرأ المستتلمون الكتتتاب في‬
‫ المسجد‬bermakna orang orang muslim itu membaca al-kitab di masjid. Pada
umumnya orang orang Islam membaca al-Quran di masjid. 2), al-Kitab pada
kalimat kedua boleh jadi dapat dimaknai sebagai kitab Injil. karena kalimat ‫يقرأ‬
‫ النصارى الكتاب في الكنيسة‬bermakna orang orang nasrani mebaca al-kitab di
greja. 3), al-Kitab pada kalimat ketiga dapat dimaknai sebagai kitab buku umum.
karena kalimat ‫ يقرأ اللبب الكتتتاب في مكتبتتة الجامعة‬bermakna orang orang
muslim itu membaca al-kitab di masjid. Pada umumnya para mahasiswa membaca
buku umum di perpustakaan.
Penjelasan di atas adalah contoh sederhana bagaimana kompleksitas
pemakanaan sebuah kata dalam sebuah bahasa. Makna kata dalam suatu kalimat
sangat ditentukan oleh bagaimana stuktur kalimat yang terdiri dari fonologi,
morfologi dan sintaksis dibangun. Keberagaman kata yang membangun kalimat,
juga sejarah tentang kemunculan atau perubahan makna suatu kata akan sangat
menetukan arti dari pesan yang ingin disampaikan melalui bahasa.
Pendekatan bahasa dalam memahami hadis juga dilakukan apabila dalam
sebuah matan hadis terdapat aspek-aspek keindahan bahasa (balaghah) yang
memungkinkan mengandung pengertian majazi (metaforis) sehingga berbeda
dengan pengertian hakiki. Pendekatan bahasa ini meliputi beberapa aspek yakni:
Pertama, pemahaman terhadap makna sukar . Banyak hadis Nabi yang
driwayatkan dengan riwayat bi al-ma’na, bukan dengan riwayat bi lafzhi. Nuansa
bahasa tidak lagi hanya menggambarkan keadaan di masa Rasulullah, karena gaya
bahasa yang dijadikan tolak ukur untuk memahami hadis cukup panjang. sebuah
hadis yang membahas tentang khulafaur rasyidin menyebutkan nasehat Rasulullah
ketika suatu saat Rasul telah meninggal dan terjadi perselisihan di antara umat,
maka umat supaya berpegang teguh kepada khulafaur Rasyidin. Zuhri dalam
bukunya “Telaah Matan Hadis” mengatakan bahwa hadis ini terdapat peluang

terhadap tendensi politik dan diperkirakan orang yang tidak senang terhadap
dinasti pasca Khulafaur Rasyidin yang dikenal dalam sejarah. Bila hendak
membela asumsi bahwa hadis ini otentik dari Rasulullah, maka dikembalikan pada
riwayat bi alma’na. redaksi persis hadis bukanlah khulafa al-Rasyidun tetapi
ungkapan lain yang ide pokoknya “orang-orang yang berpikiran cemerlang dan
amat setia kepada Rasulullah”. Menurut bahasa, arti khulafaur Rasyidun adalah
orang-orang sepeninggal Rasulullah yang cerdas dan setia
Kedua, Ilmu Ghārib al-Hadīs. Sudah umum untuk diketahui bahwa hadis
menggunakan bahasa Arab, maka dalam memahami hadis terlebih dahulu harus
memahami katakata sukar. Bagi para sahabat, hadis yang disampaikan oleh
Rasulullah tidak ada yang sukar dari segi bahasa. Para sahabat yang terdiri dari
berbagai kabilah terkadang menggunakan dialek yang berbeda-beda, namun
Rasulullah dapat menyesuaikan hal itu. Ketika sampai pada pada beberapa
generasi, istilah-istilah tersebut menjadi tersa asing, terlebih lagi tidak semua
pemerhati hadis menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibunya6 Di antara
permasalahan dalam memahami hadis adalah informasi yang terkandung tidak
dapat diterima oleh akal. Seperti hadis yang meyebutkan bahwa “penyakit demam
itu berasal dari Jahanam, maka dinginkanlah dengan air”. Yusuf Qardhawi7
menyatakan bahwa panas didunia ini tidak ada sangkut pautnya dengan api
neraka, karena panas dunia bersifat fisik, sementara panas neraka Jahanam
termasuk bagian dari alam Gaib. Perlu adanya pemahaman majazi terhadap hadis
tersebut.
Ketiga, tema haqiqi dan majazi. Menggunakan kata kiasan dalam
mengungkap sebuah ide merupakan gejala universal pada semua bahasa.
Seringkali kali dijumpai penggunaan kiasan dalam hadis, dalam Ilmu Balaghah
menyebutkan “singa itu sedang berpidato” lebih tepat dan lebih ringkas dibanding
dengan menyebutkan makna yang sebenarnya. Ketika memahami hadis, setelah
tidak ada kata-kata sukar maka selanjutnya adalah mencari kiasan pada teks hadis
tersebut. Misalnya hadis yang berbunyi tentang keberadaan surga pada bayangbanyang pedang. Kalimat ini akan kesulitan dipahami apabila dimaknai secara
6

Muhammad Zuhri, Telaah Matan Hadis (Sebuah Tawaran Metodologis), (Yogyakarta:
LESFI, 2003), hlm. 56-57.
7
Muhammad Zuhri, Hadis Nabi (Telaah Historis dan Metodologis), (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1997), hlm. 136.

harfiah, pemahaman yang kirang tepat adalah dengan makna kiasan. Hadis
tersebut menjelaskan akan etos bekerja keras untuk meraih segala sesuatu yang
diinginkan, termasuk umat Islam yang menginginkan kebahagiaan di akhirat maka
sudah menjadi kewajiban baginya untuk bersungguh sungguh beribadah, berbuat
baik, dan lain sebagainya8
Metode Tafsir dan Hubungannya dengan Lingustik
Kajian terhadap pemaknaan hadis terus berkembang, seperti pemahaman
secara tekstual dan kontekstual, dogmatis dan kritis, hingga model literal kepada
yang liberal. Beberapa tawaran dikemukakan oleh ulama klasik sebagai kontribusi
ilmiah karena kepedulian terhadap agama dan umat Islam dalam berbagai
pemikiran, yakni, Ilmu Ghārib al-Hadīs, Muhtalif al-Hadis, Ilmu Asbab al-Wurud
al-Hadis, Ilmu Nasih wa al-Mansuh, Ilmu I’lal al-Hadis dan lain sebagainya.9
Pemikir muslim kontemporer juga mengemukakan dan menawarkan beberapa
metodologi baru untuk memahami hadis, seperti pendekatan sosiologis, historis,
dan antropologis,10 pendekatan induktif,

11

hermeneutika, dan lain sebagainya.

Pada umumnya pendekatan bahasa digunakan sebagai langkah awal dalam
pengamatan sebuah hadis baik secara tekstual dan kontekstual.

Pendekatan

tekstual yang menekankan pada sisi kebahasaan merupakan pendekatan yang
umum dilakukan oleh para muhadditsin pada masa lalu hingga masa kini.
Pendekatan bahasa merupakan salah satu pendekatan yang sangat penting
untuk memahami dan memaknai hadis, karena bahasa Arab yang digunakan oleh
Nabi Muhammad dalam menyampaikan berbagai hadis selalu dalam susunan yang
baik dan benar.12 Teks hadis Nabi saw yang telah melewati masa yang sangat
panjang tetap harus dilakukan pemahaman yang sesuai dengan maksudnya.
8

Muhammad Zuhri, Telaah Matan …, hlm. 59-60.
Muhammad Zuhri, Telaah Matan ...., hlm. 54.
10
Dikemukakan oleh Abdul Mustaqim dalam bukunya Ma’anil Hadis (Paradigma
Interkoneksi) pendekatan ini menggabungkan tiga unsur disiplin ilmu yakni historis, pemahaman
hadis dengan cara mempertimbangkan kondisi historis empiris pada saat hadis itu disampaikan
oleh Nabi; pendekatan sosiologis, pemahaman hadis dari segi tingkah laku sosial; dan pendekatan
antropologi, memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku pada tatanan nilai yang dianut dalam
kehidupan masyarakat
11
Cara ini (induktif) biasa dugunakan sebagai pisau analisis ilmiah, yakni dengan
menempatkan teks (hadis) sebagai data empirik yang dibentang bersama teks-teks lain agar
“berbicara sendiri” selanjutnya ditarik kesimpulan seperti menghadapkan hadis dengan Alquran
dan menghadapkannya dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan kebalikan dari pendekatan ini –yaitu
deduktif- adalah metode yang sering dilakukan oleh pensyarah
tempo dulu. Lihat Zuhri, Telaah Matan… 64-83
9

Mengingat Nabi saw sudah tiada, pemahaman dari satu teks hadis bisa bervariasi.
Oleh karena itu mazhab-mazhab pun muncul dalam Islam.
Meskipun demikian, ada sekelompok orang yang hanya meyakini bahwa
kebenaran itu harus satu macam dan tidak akan menerima pemahaman selain dari
apa yang mereka pahami.13 Dalam hal ini banyak pendekatan yang dapat
diterapkan dalam pemahaman hadis sebagai teks agama, salah satunya pendekatan
hermeneutik. Pendekatan ini memiliki kriteria berdekatan dengan pendekatan
tafsir yang telah dikenal dalam dunia Islam.
Hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuein yang
berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia yang berarti “intepretasi”.14
Hermeneutika dalam arti luas, yakni bidang ilmu yang membahas praktik
penafsiran,

metode-metode,

prinsip-prinsip

dan

filsafat

penafsiran. 15

Hermeneutika juga merupakan metode penafsiran yang model alternatif
pemahaman yang disebut metode abduktif. Yakni, mendekati data atau teks
dengan sekian asumsi dan probabilitas sehingga muncul sekian wajah kebenaran.
Salah satu peran pokok hermeneutika adalah menjaga ruh dari sebuah teks, jangan
sampai teks tersebut menjadi “tubuh mati”.16
Menurut Amina Wadud, ada tiga aspek yang dipertimbangkan dalam
pendekatan hermeneutik yaitu: pertama, dalam konteks apa suatu teks ditulis,
kedua, bagaimana “komposisi tata bahasanya” dan ketiga, dalam bentuk apa
pengungkapannya dan bagaimana pandangan hidup yang terkandung dalam
keseluruhan teks.17 Hermeneutika merupakan salah satu metode studi hadis yang
populer saat ini. Hermeneutika menekan kan pemaknaan linguistik matan hadis.
Seperti penelitian hadis yang dilakukan oleh Agusni Yahya18, penelitian tersebut
12
Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan), (Yogyakarta: IDEA Press,
2011), hlm. 63-66
13
Hal ini seperti dikatakan oleh Nashiruddin Albani, bahwa kebenaran hanya satu, tidak
mungkin lebih dari satu. Nashiruddin Albani, Sifat Shalat Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007),
hlm.16.
14
Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenal Intepretasi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, 2003), hlm. 14
15
Fariz Pari, dkk, Upaya Integrasi Hermeneutika (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012), hlm.viii
16
William C. Chittick, Hermeneutika Ibnu Al-‘Araby (Yogyakarta: Penerbit Qalam,
2001), hlm.v
17
Amina Wadud Muhsin, Wanita dalam Alquran, terj. Yaziar Radianti, (Bandung:
Pustaka Salman, 1992), hlm. 4.
18
Agusni Yahya: Pendekatan Hermeneutik dalam Pemahaman Hadis, Ar-Raniry:
International Journal of Islamic Studies Vol. 1, No.2, Desember 2014

menggunakan hermeneutika sebagai piranti analis dalam memahami matan hadis.
Ia mengamati Bagaimana pensyarahan hadis dilakukan Imam Ibnu Hajar alAsqalaniy dalam Fath al-Bari ditinjau dari pendekatan hermeneutic.
Hasil temuan penelitiannya, sebagai penafsir teks hadis-hadis, Ibn Hajar
al-`Asqalani tertumpu kepada dunia masa lalu, masa awal Islam yaitu masa Nabi
saw, sahabat, tabi`in dan tabi` tabi`in. Ia tidak melibatkan isu-isu yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat Islam pada masanya di Mesir, Mekkah dan Madinah
abad keenam hijriah. Secara world view hermeneutik, Ibn Hajar bersifat normatif
dan berorientasi ke masa Islam klasik, tidak terpengaruh dengan pandangan
budaya keilmuan di luar Islam klasik.
Dari sisi hermeneutika kebahasaan dan cakupannya, Ibn Hajar tidak
bertumpu kepada pendekatan bahasa saja, tetapi juga kepada pendekatan usul
fiqh, ulumul hadis, dan pendekatan sejarah. Pendekatan bahasa dan ulumul hadis
lebih dominan daripada selainnya. Secara tujuan hermeneutika, sebagai seorang
al-‘alim tentang pesan Nabi saw kepada manusia, Ibn Hajar mensyarah hadishadis sahih riwayat al-Bukhari ini tidak keluar selain untuk mengungkap
kebenaran Islam yang murni dari tabir ketidaktahuan, kesulitan dan kesamaran
umat Islam terhadap hadis-hadis Nabi saw. mengingat rentang waktu antara Nabi
Muhammad saw-imam al-Bukhari-Ibn Hajar, masing-masing telah berselang
berabad lamanya. Penjelasan di atas dapat kita pahami betapa pendekatan bahasa
dapat masuk ke berbagai pendekatan lain baik secara tekstual maupun kontektual.
Aplikasi Pendekatan Bahasa dalam Studi Hadis
Pemahaman terhadap hadis, pada dasarnya membutuhkan upaya penalaran
yang seksama serta memperhatikan berbagai hal yang mengitari teks suatu hadis
yang hendak dipahami. Banyak sekali persoalan yang harus dicermati oleh
seseorang yang ingin menafsirkan makna hadis Nabi saw, baik hal-hal yang
berhubungan dengan materi teks maupun pemilik teks (Rasulullah saw). Dalam
segi materi teks tentunya perlu analisis kebahasaan untuk mencapai penafsiran
yang mendekati kebenaran, di samping juga harus memahami secara seksama
esensi teks apakah ia berbentuk hakiki, majazi, matsal, isti'arah dan sebagainya.

Dari segi bentuk redaksi, apakah ia berupa perintah, larangan, anjuran, atau
pernyataan (berita).19
Pendekatan lingusitik atau bahasa adalah suatu pendekatan yang
cenderung mengandalkan bahasa dalam memahami hadis Nabi saw. Salah satu
kekhususan yang dimiliki hadis Nabi saw. adalah bahwa matan hadis memiliki
bentuk yang beragam. Diantara bentuk matan tersebut yaitu, jawami’ alkalim
(ungkapan yang singkat namun padat maknanya), tamsil (perumpamaan), ramzi
(bahasa simbolik), bahasa percakapan (dialog), ungkapan analogi dan lain
sebagainya. Perbedaan bentuk matan hadis ini menunjukkan bahwa pemahaman
terhadap hadis Nabi saw. pun harus berbeda-beda.
Dalam memahami hadis Nabi saw. dengan menggunakan pendekatan
bahasa, maka yang perlu dilakukan adalah memahami kata-kata sukar yang
terdapat dalam hadis, jika telah dapat dipahami, maka langkah selanjutnya adalah
menguraikan makna kalimat atau ungkapan dalam hadis tersebut. setelah itu, baru
dapat ditarik kesimpulan makna dari hadis tersebut.20 Berikut ini adalah contoh
aplikasi pendekatan bahasa dalam studi hadis.

َ
َ ‫س تنَدِيّ قَتتا‬
‫ح‬
َ ‫ل‬
َ ‫م‬
َ
ْ ‫م‬
ُ ْ ‫مد ٍ ال‬
ّ ‫ح‬
ُ ‫ن‬
ُ ْ ‫حدّثَنَا ع َب ْ تد ُ اللّهِ ب‬
ٍ ْ‫حت دّثَنَا أب ُتتو َرو‬
ْ
َ ‫ارة َ قَا‬
ُ ‫حت دّثَنَا‬
ُ َ ‫شتعْب‬
ٍ ‫مد‬
ِ ‫ح َر‬
َ ‫م‬
َ ‫ل‬
َ ‫ال‬
ّ ‫ح‬
ُ ‫ن‬
َ ُ‫ن ع‬
ْ ‫ةع‬
َ ‫م‬
ُ ْ‫ي ب‬
ّ ‫م‬
ِ ْ ‫َن َوَاقِتدِت ب‬
َ
َ ‫ستتو‬
َ ‫قَتتا‬
ُ ّ ‫حتت د‬
ِ‫ل اللّه‬
ِ ‫ستت‬
ّ ‫تتر أ‬
ْ ‫َن اب‬
َ ُ ‫ت أبِي ي‬
ُ ‫ن َر‬
َ ‫ل‬
َ ُ‫ن ع‬
ُ ْ‫مع‬
َ ‫م‬
ْ ‫ثع‬
ِ
َ
ُ َ ‫صلّى اللّه ع َلَيه وسلّم قَا‬
َ ‫ن أُقَات ِتت‬
‫حتّى‬
ِ ‫ أ‬:‫ل‬
َ ‫س‬
ْ ‫تأ‬
ُ ‫م ْر‬
َ َ َ ِ ْ
ُ
َ ‫ل النّا‬
َ
َ
ُ
ّ
ّ
َ
َ
َ
ْ َ‫ي‬
‫منّي‬
ِ ‫موا‬
ْ ‫شتهَدُوا أ‬
ُ ‫َصت‬
ُ ‫ه إِل الل‬
َ ‫ن ل إِل ت‬
َ ‫ه فَتتإِذ َا فَعَل تتوا ذَل ِتك ع‬
َ
ْ ّ‫حق‬
ِ َ‫س َبمِت و‬
ِ‫م ع َلَى اللّه‬
َ ِ ‫م إ ِ ّل ب‬
َ ‫ح‬
ْ ِ ‫ال‬
ْ ُ‫سابُه‬
ْ ُ‫موَالَه‬
ْ ‫أ‬
Artinya :
“Rasulullah saw. bersabda: Aku telah perintahkan untuk
memerangi manusia sampai mengucapkan “Tiada Tuhan
selain Allah”, barangsiapa yang mengucapkan “Tiada
Tuhan selain Allah” terpeliharalah harta jiwanya
daripadaku kecuali alasan yang membenarkannya dan
hisabnya terserah pada Allah”.
Di

awal

matan hadis

di

atas, ada

dua

kata

yang

mengandung arti penting untuk memahami hadis tersebut, yaitu
kata ‫ أمر‬dan ‫أقاتل‬. Kata ‫ أمر‬adalah f’il madhi yang berbentuk
19

M. Quraish Shihab, dalam Pengantar buku, Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw.
(Bandung: Mizan, 1989), hal. 10.
20
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran
Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, hlm.3.

majhul.21

yang

berarti

diperintahkan

atau

tuntutan

untuk

melakukan sesuatu. Adapun kata ‫ أقاتل‬adalah bentuk f’il
mudhari’ dari f’il madhi ‫ قاتل‬yang berarti memerangi. Lafadz ‫قاتل‬
adalah shighat tsulatsi mazid dari mujarrad ‫ قتل‬yaitu dengan
penambahan alif setelah huruf qaf. Menurut kaidah morfologi
penambahan alif ini mempunyai faedah li al-Musyarakah, yaitu
pekerjaan yang dilakukan dua orang atau lebih yang saling
memberikan aksi dan reaksi. Sedang kata ‫ قتل‬dilakukan oleh satu
pihak saja, tanpa ada reaksi dari pihak lain.
Dengan

demikian

dapat

dipahami,

bahwa

perintah

memerangi manusia pada hadis di atas adalah setelah adanya
serangan dari orang-orang yang berlawanan. Dengan kata lain,
aksinya muncul bukan dari kaum muslimin. Secara bahasa dan
sesuai makna asal dari perintah adalah wajib, maka perintah ini
(dalam hadis di atas) mempunyai konsekuensi sebagi kewajiban
mempertahankan diri, karena perintah ini keluar atau muncul
dari orang yang lebih tinggi tingkatannya (dalam hal ini Nabi
Muhammad) kepada orang yang lebih rendah (umat Islam).
Mengenai lafadz ‫ الناس‬lafadz tersebut adalah lafadz yang
mu’arraf dengan adanya ‫ال‬. Ini menunjukkan arti bahwa orang
yang diperangi adalah bukan semua orang, melainkan hanya
orang yang telah dikhususkan, dalam hal ini ialah orang yang
tidak mengucapkan syahadat yang memerangi orang Islam.
Adapun contoh lain hadis Nabi saw seperti berikut ini :

َ ‫ع َن أَبي هُريرة َ رضي اللّه ع َن‬
َ ‫س تو‬
‫ه‬
ّ ‫هأ‬
ُ ‫ن َر‬
ُ ّ ‫ص تلّى الل‬
ُ ْ ُ
ِ ْ
َ ِ‫ل اللّه‬
َ ِ َ َْ َ
ْ ‫جهَتت‬
َ ‫م قَا‬
‫ن‬
ْ ُ‫ة فَب ي َ ْرف‬
ٌ ّ ‫جن‬
ْ ِ ‫ل وَإ‬
ْ َ ‫ث وَل ي‬
ُ ‫م‬
ُ ‫صيَا‬
َ َ‫ع َلَيْهِ و‬
َ ّ ‫سل‬
ّ ‫ " ال‬: ‫ل‬
ْ ‫ه فَلْيَقُتت‬
َ ْ‫ه أَو‬
‫ن وَالّذِي‬
َ ‫م‬
ٌ ِ ‫ص تائ‬
ُ ‫م‬
َ َ ‫ش تات‬
ُ ‫تترؤ ٌ قَاتَل َ ت‬
ْ ‫ا‬
َ ‫ل إِنّي‬
ّ ‫مت‬
ُ ‫م‬
ِ ْ ‫ترتَي‬
َ
‫ن‬
ِ ‫ب‬
ُ ‫سي بِيَدِهِ لَخُلُو‬
ِ ‫عنْد َ اللّهِ تَعَالَى‬
ِ ْ‫نَف‬
ُ َ ‫صائِم ِ أطْي‬
ّ ‫ف فَم ِ ال‬
ْ ‫م‬
َ ‫ش تهوته م‬
ُ ‫يَت ْ ُر‬.. ‫ك‬
َ َ‫ه و‬
، ‫جلِي‬
ِ ْ ‫يح ال‬
ْ ‫نأ‬
ِ ‫س‬
ْ ‫م‬
ُ َ ‫ش ت َراب‬
ُ ‫م‬
َ ‫ك طَعَا‬
ْ ِ ُ َ َ ْ َ َ‫ه و‬
ِ ِ‫ر‬
21

Dalam morfologi bahasa Arab di kenal dengan fi’il majhul yang merupakan kata kerja
pasif. Seperti kata “memerintah” menjadi “diperintah”.

َ
َ َ
ْ َ‫ة بِع‬
‫مثَالِهَتتا " رواه‬
ُ َ ‫ستتن‬
َ ْ ‫جزِي بِهِ وَال‬
ْ ‫م لِي وَأنَا أ‬
ُ ‫صيَا‬
َ ‫ح‬
ْ ‫شتترِ أ‬
ّ ‫ال‬
1151 ‫ ومسلم‬1894 ‫البخاري‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah ibn Maslamah dari Malik dari
Abi al-Sanad dari A’raj dari Abu Huraiyrah bahwa Rasulullah saw.
bersabda: ”Puasa itu merupakan perisai/pelindung. Oleh karena itu
(siapa yang berpuasa) janganlah berbuat rafas (berkata kotor) dan
bertindak bodoh. Jika seseorang hendak membunuhnya atau mengolokolok, maka katakanlah “Saya sedang menjalankan puasa”, diucapkan
sebanyak dua kali. Demi Tuhan yang Menguasai jiwaku, sesungguhnya
aroma mulut orang yang berpuasa itu lebih harum menurut Allah
dibanding aroma minyak kasturi. Ia telah meninggalkan makanan,
minuman dan nafsu syahwatnya demi Aku(Allah). Puasa itu untukKu dan
Aku sendiri yang akan akan memberikan balasannya. Sedangkan kebaikan
(selain puasa) akan dibalas sepuluh kali lipat”
Dalam hadis di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw. menyamakan
puasa dengan perisai. Untuk memahami hadis ini, maka kita dapat melakukan
pendekatan bahasa. Kata “‫ة‬
ٌ ّ ‫جن‬
ُ “dalam hadis diartikan sebagai perisai. Sedang
perisai, yang kita kenal merupakan suatu alat yang biasa dipakai untuk melindungi
diri.
Jadi dalam hadis ini makna kata ‫ة‬
ٌ ّ ‫جن‬
ُ bukanlah makna hakiki, melainkan
makna metaforis. Salah satu hikmah puasa diantaranya merupakan tarbiyah bagi
iradah (kemauan), jihad bagi jiwa, pembiasaan kesabaran serta penahan diri dari
hal-hal yang yang dilarang oleh Allah swt.22 Ketika seseorang berpuasa, maka dia
berusaha untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak amalan puasanya dan
hal-hal lain yang tidak disukai Allah swt. (maksiat) . Oleh karena itu wajar
Rasulullah saw. dalam hadisnya menyamakan puasa dengan perisai. karena puasa
merupakan penghalang bagi seseorang untuk melakukan segala sesuatu yang
diingininya dan merupakan pelindung bagi orang tersebut baik dari hal-hal
maksiat dan dosa di dunia ataupun dari api neraka di akhirat.
Contoh lain yang terdapat dalam kitab Syarh Sunan Abu Daud li al-‘Aini
Kitab al-Thahārāh, bab al-Istinjā’ bi al-Mā’ sebagaimana berikut ini :

-‫ عن خالتتد‬،‫ عن خالتتد الواستتلي‬،‫حتتدثنا وهب بن بقيتتة‬
‫ عن أنس بن‬،‫ عن علتتاء بن أبي ميمونتتة‬-‫ الحتتذاء‬:‫يعتتني‬
22

Yusuf Qardawi, Fiqh al-Siam, terj. Ma’ruf Abdul Jalil Th. I. Wahid Ahmadi dan
Jasiman, Fiqhi Puasa (Cet.8; Surakarta: Era Intermedia, 2009), h.23

‫م دختتل‬
‫ه ع َلَي ْ تهِ وَ َ‬
‫س تل ّ َ‬
‫ص تلّى الل ّ ُ‬
‫مالتتك‪ ” :‬أن رستتول اللتته َ‬
‫غرنا‪ ،‬فوضعها عند‬
‫حائلا ً ومعه غُبم معه ميضأة ٌ ‪ ،‬وهو أ ْ‬
‫ص ُ‬
‫ه‪ ،‬فخرج علينا وقد استنجى بالمتتاء‬
‫ال ّ‬
‫سدرة‪ ،‬فقضى حاجت ُ‬
‫“‪.‬‬
‫‪Keterangan :‬‬
‫‪ “, yang‬الحوائط ” ‪ ) jama’nya adalah‬الحائط ‪ :‬البستان من النخيل( ‪Kata‬‬
‫‪) : denganmengkasrahkan mim‬ميضأة( ‪ adalah tembok.‬الحائط ‪dimaksud dengan‬‬
‫‪dan memfathahkan huruf setelah dhad, merupakan suatu wadah air yang‬‬
‫‪ “adalah kalimat‬معه ميضأة ” ‪dipergunakan untuk berwudhu. dan sabda Nabi‬‬
‫‪. Selanjutnya hadis tersebut‬غبم “‪.‬‬

‫)وهو أصغرنا( ” ‪yang menjadi ‘sifat’ bagi‬‬

‫‪dijelaskan oleh al-‘Aini secara rinci sebagaimana kutipan berikut ini :‬‬

‫قوله‪ ” :‬وهو أصغرنا ” جملة وقعت حتتال ً عن ” غبم ” ؛‬
‫نن تقدير الكبم‪ :‬ودخل معه غبم‪ ،‬والحتتال أنتته أصتتغرنا‬
‫في السن في هذا الوقت‪ .‬قوله‪ ” :‬فوضعها عند السدرة‬
‫” أي‪ :‬وضتتع الميضتتأة بحضتترة الستتدرة؛ نن ” عنتتد ”‬
‫للحضرة‪ ،‬و ” السدرة ” – بكسر السين‪ :-‬شجرة النبق‪.‬‬
‫قوله‪ ” :‬فقضى حاجته ” أي‪ :‬قضى رسول الل ّتته حاجتتته‪.‬‬
‫قوله‪ ” :‬وقد استنجىت بالماء ” جملة فعليتتة وقعت حتتالً‪،‬‬
‫وقد علم أن الجملة الفعلية إذا وقعت حال ً وكتتان فعلهتتا‬
‫ماضيا ً مثبتاً‪ ،‬ل بد فيه من ” قد ” إما محققة أو مقتتدرة‪،‬‬
‫م‬
‫نحتتو‪ :‬جتتاء زيتتد قتتد ضتتحك‪ ،‬وقولتته تعتتالى‪) :‬أوْ جتتاءُوك ُ ْ‬
‫م( أي‪ :‬قد حصرت‪ ،‬وذلتتك نن الماضتتي‬
‫ورهُ ْ‬
‫ْ‬
‫حصرت ُ‬
‫صد ُ ُ‬
‫من حيث إنتته منقلتتع الوجتتود عن زمن الحتتال‪ ،‬منتتاف‬
‫للحال المتصف بالثبوت‪ ،‬فب بتتد من ” قتتد ” ليقتترب بتته‬
‫من الحال‪ ،‬فإن القتتريب من الشتتيء في حكمتته‪ ،‬وجتتوز‬
‫البعض الترك مللقا ً إذا وجد الواو‪ ،‬وانصح ما قلنا‪.‬‬
‫ويستتتفاد من هتتذا الحتتديث فوائتتد‪ ،‬انولى‪ :‬استتتحباب‬
‫التباعد لقضاء الحاجة عن الناس‪ .‬والثانية‪ :‬الستتتتارت عن‬
‫أعين الناظرين‪ .‬والثالثة‪ :‬جواز استخدام الرجل الفاضتتل‬
‫بعض أصتتحابه في حاجتتته‪ .‬والرابعتتة‪ :‬استتتحباب خدمتتة‬
‫الصتتالحين وأهتتل الفضتتل‪ ،‬والتتتبركت بتتذلك‪ .‬والخامستتة‪:‬‬
‫جتتواز استتتخدامت الصتتغار‪ .‬والسادستتة‪ :‬جتتواز الستتتنجاءت‬
‫بالماء‪ ،‬واستحبابه‪ ،‬ورجحانه على القتصارت على الحجتتر‪.‬‬

‫ والتتذي عليتته‬،‫وقتتد اختلتتف النتتاس في هتتذه المستتألة‬
‫الجمهور من السلف والخلف أن انفضتتل أن يجمتتع بين‬
‫ لكن‬،‫ فإن اقْتصر اقْتصر على أيهمتتا شتتاء‬،‫الماء والحجر‬
‫ إن الحجتتر‬:‫ وقتتد قيتتل‬،‫ نصالته في التنقية‬،‫الماء أفضل‬
‫ ل يجتتزئ الحجتتر إل‬:‫ وقتتال ابن حتتبيب المتتالكي‬.‫أفضتتل‬
‫ وحتتديث أنس هتتذا أخرجتته البختتاري‬.‫لمن عتتدم المتتاء‬
23
.‫ومسلم‬
Terlihat dari pola pensyarahannya bahwa al-‘Aini cenderung berkutat pada
aspek bahasanya, yang menurutnya sendiri merupakan ‘perangkat’ mendasar yang
mesti digunakan dalam memahami hal apapun (“kunci pembuka segala ilmu”).
Kekurangan dan Kelebihan Pendekatan Bahasa dalam
Studi Hadis
Penggunaan

pendekatan

bahasa

dalam

studi

hadis

memiliki banyak kelebihan maupun kekurangan, adapun diantara
kelebihannya. Pertama dapat meyakinkan bahwa teks-teks Islam
adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku sepanjang
masa, mengandung makna bahwa di dalam teks yang terbatas
tersebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang
harus terus-menerus dilakukan eksternalisasi melalui interpretasi
yang tepat. Kedua, dapat mengetahui makna-makna dari lafadzlafadz yang Gharib serta memahami benar kalimat-kalimat yang
bermakna haqiqi ataupun majazi. Adapun kekurangannya adalah
implementasi
seringkali

pemahaman

terhadap

nash

secara

tekstual

tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru

menjadi alasan kehadiran Islam itu sendiri.
Simpulan
Pendekatan kebahasaan dimaksudkan agar orang yang akan memaknai hadis
yang berbahasa Arab itu dapat mengerti secara benar berbagai hal dan ilmu yang
berkaitan dengan bahasa Arab. Sebaba kalau berbagai ilmu yang beriatan dengan

23

Penjelasan hadis perspektif bahasa di atas penulis kutip dalam, Alfatih Suryadilaga,
Metodologi Syarah Hadis..., hlm. 117.

ini, semisal ilmu balaghah, ilmu Nahw, ilmu Sharf, dan lainnya tidak dikuasai,
sangat mungkin pemaknaan tersebut akan salah.
Penelitian atau pemahaman hadis melalui pendekatan bahasa guna
mengetahui kualitas hadis tertuju pada beberapa objek: pertama, struktur bahasa.
Kedua,

kata-kata

yang

terdapat

dalam

matan

hadis,

apakah

menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa Arab
pada masa Nabi saw. atau menggunakan kata-kata baru. Ketiga,
matan

hadis

tersebut

menggambarkan

bahasa

ke-Nabian.

Keempat, menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam
matan hadis, dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan
oleh Nabi saw. sama makna yang dipahami oleh pembaca atau
peneliti.
Bibliograf
Amina Wadud Muhsin, Wanita dalam Alquran, terj. Yaziar Radianti, Bandung:
Pustaka Salman, 1992.
Agusni Yahya: Pendekatan Hermeneutik dalam Pemahaman Hadis, Ar-Raniry:
International Journal of Islamic Studies Vol. 1, No.2, Desember 2014 .
Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, Yogyaakarta: SUKA Pres UIN
Sunan Kalijaga, 2012.
Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2012.
Fariz Pari, dkk, Upaya Integrasi Hermeneutika, Yogyakarta: Lembaga Penelitian
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012.
Muh Zuhri, Hadis Nabi (Telaah Historis dan Metodologis), Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1997, 136
Muhammad Zuhri, Telaah Matan Hadis (Sebuah Tawaran Metodologis),
Yogyakarta: LESFI, 2003.
M. Quraish Shihab, dalam Pengantar buku, Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw.
(Bandung: Mizan, 1989.
Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan), Yogyakarta: IDEA
Press, 2011.
Nashiruddin Albani, Sifat Shalat Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007.
Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenal Intepretasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, 2003.

William C. Chittick, Hermeneutika Ibnu Al-‘Araby,Yogyakarta: Penerbit Qalam,
2001.
Yusuf Qardawi, Fiqh al-Siam, terj. Ma’ruf Abdul Jalil Th. I. Wahid Ahmadi dan
Jasiman, Fiqhi Puasa,Surakarta: Era Intermedia, 2009.
Yunahar Ilyas dan M Mas'udi, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis,
Yogyakarta: LPPI UMY, 1996.