Dalam sejarah Islam di cina

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah Islam, abad pertengahan dikenal dengan masa kemun¬duran di-nasti
Abbasiyah. Kemunduran ini terjadi, terutama pada masa pemerintahan khalifah alMu¬tawakkil 850 M. Pada masa ini, pemerintahan Abasiyah sangat tergantung dengan
kekuatan asing dari Turki yang dijadikan tentara bayaran. Pe¬rekrutan tentara asing ini
dipergunakan untuk memper¬tahankan negara dari kekuatan yang tengah merongrong
pemerintah. Keadaan ini terus berlanjut hingga masuknya Ba¬ni Buwaihi, dan menguasai
Bagdad hingga hampir satu abad lamanya (945-1194 M). Pa¬da masa ini, khalffah hanya
sebagai kepala negara, bukan lagi sebagai kepala Pe¬me¬rin¬tahan. Kekuatan Buwaihi in
hilang setelah dikalahkan oleh Bani Saljuk (1055-1194). Setelah itu, para khalifah Bani
Abbas tidak lagi berada di bawah kekuasaan asing, namun wilayah kekuasaan mereka
semakin menyempit, karena banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang mencoba
me¬lepaskan diri dari kekuasaan pusat di Bagdad. Selain itu, krisis politik yang
berke¬pan¬jangan ditambah ancaman yang datang dari luar, terutama bangsa Mongol,
menam¬bah kerus suasana dan mempercepat proses keruntuhan dinasti Abbasiyah.
Proses kemunduran terus berlanjut hingga akhirnya dinasti Bani Abba¬si-yah
be¬nar-benar hancur pada 1258 M ketika diserang oleh Hulaghu Khan. Kehancuran
peme¬rintahan dinasti Abbasiyah ini menandai kemunduran ilmu pengetahuan dan
pera¬dab¬an Islam, terutama di Bagdad yang merupakan simbol bagi kemajuan peradaban
Islam.

Meskipun periode ini dikenal dengan jaman kemunduran, ternyata di bebarapa
wilayah, terjadi kemajuan, terutama dengan munculnya 3 (tiga) kerajaan besar, yang
berhasil mengukir ulang kemajuan peradaban Islam. Ketiga kerajaan tersebut adalah;
Kerajaan Islam Safawi, Persia. Kerajaan Islam Mughal, di India, dan Kerajaan Islam
Us¬mani, di Turki . Ketiga kerajaan ini berhasil membangkitkan kembali semangat
inte¬lek¬tu¬alisme dalam membangun peradaban Islam. Untuk menge¬tahui bagaimana
proses ke¬munduran dan kehancuran itu terjadi, berikut uraian¬nya.

1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kemunduran Dinasti Bani Ababsiyah.1
1. Sebab-sebab Kemunduran Dinasti Bani Abbasiyah
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa peme¬rin-tahan
Di¬nasti Bani Abbasiyah berlangsung cukup lama, mulai dari tahun 132 -656 H/750-1258
M. Masa yang begitu lama tidak selalu membuat kerajaan ter¬se-but berada di atas angin.
Dinasti Bani Abbasiyah mengalami pasang naik dan pasang surut. Keadaan ini terus
menyelimuti kekuasaan Dinasti Bani Ababsiyah hingga pada akhirnya kerajaan ini
mengalami kemunduran dan kehancuran pa-da tahun 1258 M, akibat serangan brutal yang

dilakukan oleh tentara Hulagu Khan. Dalam catatan sejarah Islam, terdapat be¬be¬rapa
faktor penyebab kemun-duran dan kehancuran Dinasti Bani Abbasiyah. Berikut faktorfaktor tersebut:
a. Disintegrasi Politik
Disintegrasi politik ini sebenarnya bukan hanya terjadi di dalam peme-rin¬tahan
Dinasti Bani Abbasiyah, juga terjadi pada Dinasti Bani Umayah, dan kerajaan-kerajaan
Islam lainnya. Pada dinasti Bani Umayah, puncak disintegrasi terjadi ketika para kha¬lifah
tidak lagi memiliki ke¬kuatan politik untuk me¬nekan gerakan pemberontakan yang
dilakukan oleh la¬wan politik yang tidak menyukai kepemimpinan para khalifaah
ter¬se¬but. Hal itu disebabkan antara lain, karena pada masa-masa akhir kekuasaan Dinasti
Ba¬ni Abbasiyah para khalifahnya tidak memiliki kekuatan dan hanya sebagai simbol
ke¬kuasaan saja. Mereka menjadi boneka para penguasa yang menguasai roda
pe¬me¬rin¬tahan saat itu, seperti penguasa Bani Buwaihiyah, Bani Saljuk dan para
per¬wira tinggi Turki lainnya. Hal itu diperparah dengan banyaknya daerah yang mencoba
melepaskan diri dari pusat kekuasaan di Bagdad. Dalam kata lain, disintegrasi politik dan
kekuasaan pememrintahan Bani Abbasiyah muncul da¬lam beberapa bentuk. Berikut uraian
sing¬katnya.
1. Pemberontakan2
Berdasarkan data dari perjalanan sejarah panjang pemerintahan Dinasti
Abba¬si¬yah, hampir semua khalifah pernah mengalami masa-masa pemberon¬tak-an yang
dila¬kukan oleh kelompok yang tidak menyukai kepemimpinan khalifah-khalifah tersebut.

Sebagian pemberontakan itu dapat diatasi, sehingga tidak me¬nimbulkan kegoncangan
sosial politik dan ekonomi. Tetapi sebagian lagi tidak dapat diatasi dengan baik, se¬hing¬ga
membawa dampak negatif bagi peme¬rin¬tah¬an dan perekonomian negara. Di antara
pemberontakan yang sempat menim¬bul¬kan kegoncangan sosial politik adalah sebagai
berikut:

1 Yatim Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 131
2 Ibid., 131

2

a. Pemberontakan Kaum Zanj3
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa kelompok Syi’¬ah sedikit
banyak telah memainkan peran politiknya di dalam proses pem-bentukan Dinasti Bani
Abbasiyah. Akan tetapi, setelah kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Bani Abbas, peran
mereka sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Bah¬kan mereka tidak dapat menikmati
hasil perjuangan yang telah dila-kukan ber¬sama Abul Abbas dari Bani Abbas. Mereka
disingkirkan dan tidak lagi diajak bermain di dalam proses pengembangan ke¬kuasaan.
Akibatnya, mereka kecewa dengan berbagai kebijakan yang telah dike¬luar¬kan
pemerintah Bani Abbas. Sebagai akibat dari rasa kekecewaan mereka, kelompok Syi’ah

mem¬ben-tuk oposisi (perlawanan) untuk memusuhi para penguasa dan pendukung kekuasaan Bani Abbas. Dalam catatan sejarah ditemukan bahwa pada tahun 869 M di akhir
masa pemerintahan al-Mu’taz, bangkit kaum Zanj di bawah pimpinan Ali bin Muhamad
untuk melakukan pemberontakan.
Pemberontakan kaum Zanj ini berjalan cukup lama, mulai dari tahun 870-883 M. Ini
artinya, hampir separuh masa awal pemerintahan khalifah al-Mu’¬ta-mid (256-279 H/ 870892 M), dihabiskan untuk mengatasi pemberontakan ka¬um Zanj ini. Pemberon¬takan
kaum Zanj ini baru dapat diatasi dan ditumpas secara tuntas pada masa pemerintahan
khalifah al-Muwaffaq pada tahun 893 M.
b. Gerakan Kelompok Qaramithah
Salah seorang tokoh golongan Syi’ah Ismailiyah bernama Hamdan Qar¬math
me¬mimpin pemberontakan di Irak. Gerakan ini dilakukan untuk menen¬tang ke-kuasaan
khalifah al-Mu’tamid (256-279 H/870-892 M). Pada tahun 899 M, kaum Qaramithah
ber¬hasil mendirikan sebuah wilayah merdeka di Teluk Persia. Wi¬la-yah ini kemudian
dija¬dikan sebagai basis kegiatan mereka untuk me¬nentang ke-kuasan Bani Abbas. Sekitar
ta¬hun 902 M, pemberontakan yang di¬pimpin oleh Abul Fawaris berhasil memasuki
wila¬yah Syria dan Palestina. Teta¬pi gerakan me-reka terhenti ketika ingin melakukan
penja¬rahan ke wilayah Kufah pada tahun yang sama. Abul Fawaris, pimpinan
pemberontak ini berhasil dita¬wan dan ke¬mu-dian dihukum mati. Meskipun pemimpin
mereka telah tewas, te¬tapi gerakan mereka tetap berjalan, sehingga pada tahun 930 M
kelompok ini berhasil me¬ma-suki wilayah kota Makah. Ketika mereka akan kembali ke
basis kekuatan me¬re-ka, kelompok ini berhasil membawa lari hajar aswad. Batu keramat

ini baru dapat direbut dan dikembalikan ke tempat asalnya semula setelah batu itu berada di
luar kota Makah selama lebih kurang 20 tahun.
Meskipun gerakan kelompok ini tidak meluas ke berbagai wilayah ke-kua¬saan
Islam, tapi pengaruhnya cukup terasa di dalam kekuasaan pemerin-tahan Dinasti
Abba¬siyah. Karena sedikit banyak mempengaruhi jalannya peme-rin¬tah¬an dan
perekonomian negeri itu. Paling tidak gerakan Qaramithah dapat mem¬perlemah sistem
pemerin¬tah¬an dan perpolitikan dalam negeri.
c. Gerakan Kelompok Assasins4
Dalam beberapa hal, gerakan kelompok Assasins ini dapat dikategorikan sebagai
kelompok sparatis atau sempalan yang melanjutkan tujuan dari gerakan Qaramithah.
3 Ibid., 131
4 Yatim Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 133

3

Ka¬rena kelompok ini secara ideologis beraliran Syi’ah, sama seperti gerakan Qaramithah.
Kelompok gerakan ini dipimpin oleh Hasan bin Sabah (w.-1124 M). Basis gerakan
ke¬lom¬pok ini berada di kota Alamut, suatu tempat yang terletak di sebelah Selatan Laut
Kaspia. Kelompok ini melancarkan gerakan ke¬ran mereka kecewa dengan jalannya
peme¬rin¬tah¬an Bagdad, karena tampuk pe¬me-rintahan sudah tidak lagi dipegang oleh

orang-orang yang layak menjadi pe-mimpin.
Dalam pandangan mereka, pemerintahan yang dipegang oleh para pe-nguasa sa¬at
itu tidak berjalan dengan baik, karena banyak di antara mereka tidak lagi berpegang pada
prinsip-prinsip pemerintahan yang benar. Pembo¬ros-an ke¬uangan negara oleh para
pembesar negeri, menyebabkan perekono¬mian umat Islam merosot tajam. Para
pengu¬a¬sa berfoya-foya menghabiskan uang ne-gara yang berasal dari rakyat.
Selaian persoalan tersebut di atas, tampaknya kelompok ini melakukan gerakan perlawanan
sebagai bentuk kekecewaan mereka, karena kelompok Syi’-ah tidak dilibat¬kan dalam
pemerintahan. Karena itu wajar kalau kemudian mere¬ka melakukan gerakan anti
pemerintah Bagdad.
Dalam usaha mewujudkan cita-cita gerakan ini, kelompok Assasins tidak segansegan melakukannya dengan cara-cara kekerasan. Bahkan seringkali di¬la-kukan dengan
menghabisi nyawa lawan-lawan politik yang mereka anggap te-lah menghambat ke¬inginan
mereka. Salah seorang pembesar pemerintahan yang menjadi sasaran mereka adalah
Perdana Menteri Nidzamul Muluk, seorang ke-pala pemerintahan Bani Saljuk yang ketika
itu menguasai Bagdad.
Sama halnya dengan kelompok pemberontak lain, pem¬be¬ron¬ta¬kan yang
dila¬ku¬kan oleh kelompok Assasins ini membawa dampak yang ku¬rang baik bagi
jalannya pe¬merintahan Islam kala itu. Dalam perkembangan selan¬jut¬nya,
pemberontakan ini ber¬ujung pada melemahnya sistem peme¬rin¬tah¬an dan menciptakan
situasi dan kondisi sosial politik yang tidak stabil. Kondisi ini lama kelamaan memperlamah

pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah.
2. Perebutan Kekuasaan5
Sejak masa-masa awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah, terlihat ada indi-kasi
adanya perebutan kekuasaan di dalam keluarga khalifah. Di antara pe¬nye-babnya adalah
kurang tegasnya para khalifah dalam menentukan putera mah-kota. Contoh yang dapat
dipelajari dari kenyataan ini adalah peristiwa pere¬but-an kekuasaan antara al-Amin
de¬ngan al-Makmun. Masing-masing memiliki ke-lompok pendukung fanatik. Al-Amin,
yang beribukan orang Arab bernama Zu-baidah, mendapat dukungan kuat dari kelom¬pok
masyarakat Arab. Sementara al-Makmun, yang beribukan orang Persia ber¬nama Marajil,
memiliki pendukung kuat dari kelompok masyarakat Persia.
Perebutan kekuasaan itu semakin tampak jelas ketika al-Amin memecat alMak¬mun dari jabatannya sebagai gubernur di Khurasan. Posisinya sebagai putera mahkota
yang akan menggantikan kedudukannya kelak, digantikan oleh putera al-Amin yang masih
kecil. Pemecatan dan pengangkatan putera mahkota ini menimbulkan amarah al-Makmun.
Dengan kekuatan 40.000 personel tentara di bawah pimpinan Taher bin Hu¬sein, ditambah
dengan dukungan para perwira tinggi yang berasal dari Persia, akhirnya perang saudara
5 Ibid., 133

4

tidak dapat dihindari. Kekuatan al-Amin yang berjumlah sekitar 10.000 personel tentara,

dapat dikalah¬kan dalam sebuah pertempuran di Ray pada tahun 811 M.
Kemenangan al-Makmun membuat al-Amin merasa bersalah. Akhirnya al-Amin
menyatakan kalah dan menyerahkan kekuasan kepada al-Makmun. Nasib al-Amin sungguh
malang. Di tengah perjalanan menuju kota Merv di te¬pi-an sungai Tigris, sege¬rombolan
pasukan Persia berhasil membunuh al-Amin. Be¬rita kematian al-Amin sampai ke telinga
al-Makmun, dan ia menyesali peristiwa tragis tersbut. Sebab bagaimanapun, ia adalah
saudara seayah meski lain ibu. Ke¬mudian al-Makmun memerintahkan kepada para
pengawalnya un-tuk mencari para pembunuh dan dihukum mati.
Peristiwa serupa juga terjadi pada masa pemerintahan khalifah al-Mun-tashir dan alMu’taz. Kedua orang ini adalah putera kandung khalifah al-Mu¬ta-wakil. Al-Muntashir
kecewa dengan kebijakan ayahnya yang lebih menyayangi dan mengutamakan al-Mu’¬taz,
adik al-Muntashir. Terlebih ketika al-Mutawakil memberikan prioritas kepada al-Mu’taz
untuk kedudukan khalifah daripada al-Muntashir. Kebijakan ini membuat al-Muntashir
marah dan melakukan per¬bu¬at-an makar dengan membunuh ayahnya lewat tangan alFath bin Kalqan, orang Turki . Setelah itu al-Muntashir berkuasa lebih kurang 6 (enam)
bulan (247-248 H/861-862 M).
Bagaimanapun, perebutan kekuasaan di dalam istana membawa dampak yang
negatif bagi pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah. Pada akhirnya juga memperlamah dan
menghancurkan kekuasaan Bani Abbas.
3. Kedudukan Khalifah yang lemah6
Wibawa khalifah Bani Abbas memudar sejak masa al-Watsiq, al-Muta¬wakil dan
sesudahnya. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang mem¬pu¬nyai ke-mampuan

cu¬kup untuk memimpin kerajaan. Mereka hanya menjadi bo¬neka ke-kuasaan para wazir
dan para menteri yang korup dan ambisius. Kelemahan dan ketidakmampuan mereka
dimanfaatkan oleh para pejabat gubernur di berbagai provinsi untuk melepaskan diri dari
pemerintahan pusat. Sebagai contoh, sepeninggal al-Muntashir orang-orang Turki
mengangkat al-Musta’in sebagai khalifah (248-252 H/862-866 M). Sebagai seorang
khalifah, mes¬tinya ia memiliki kekuasaan penuh. Tapi nyatanya, ia banyak diatur oleh
orang-orang Turki yang pernah mengangkatnya dan tidak diijinkan untuk menja¬lan¬kan
roda pemerintahan.
Kenyataan ini merupakan gambaran dari peta politik kekuasaan pada ma¬sa-masa
akhir pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah. Para khalifah tidak lagi me¬miliki kekuatan
hukum dan politik untuk menentukan jalannya peme¬rin¬tah-an. Hal itu terjadi karena
mereka hanya sebagai simbol kekuasaan dan bertindak ha¬nya sebagai pejabat negara,
bukan pejabat pemerintahan. Kenyataan ini sekali la¬gi menunjukkan ke¬le¬mah¬ankelemahan para khalifah Bani Abbas. Kelemahan ini tidak hanya membawa citra bu¬ruk
bagi pemerintahan Dinasti Bani Abba¬si-yah, juga membawa dampak pada mele¬mah¬nya
sistem dan struktur peme¬rin¬tah-an. Pada akhinrya juga akan membawa pada kehan¬curan
pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah.
4. Muculnya Kerajaan-kerajaan Kecil di Barat dan di Timur Bagdad7
6 Yatim Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 134
7 Yatim Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 135


5

Luasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Dinasti Bani
Abba¬siyah, menyebabkan pemerintah tidak dapat melakukan kontrol dengan baik terhadap
wilayah-wilayah tersebut. Peluang ini dimanfaatkan oleh para pe-nguasa daerah yang jauh
dari pusat pemerintahan untuk melepaskan diri dan menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Di
antara kerajaan-kerajaan kecil yang dapat melepaskan diri adalah Dinasti Bani Buwaihiyah
(945-1055 M), Dinasti Salajiqah (1037-1157 M). Sementara Dinasti Bani Fathi¬miyah yang
didirikan di Tunisia pada tahun 297-323 H/909-934 M) oleh al-Mahdi. Dinas¬ti ini
berkuasa cukup lama, hingga akhirnya dihancurkan oleh Shalahuddin al-Ayyubi.
Selain itu, terdapat banyak daerah yang berusaha memisahkan diri dari pe¬me¬rintahan
pusat Bagdad. Di antaranya yang sempat mendirikan kerajaan ke-cil adalah Dinasti
Idrisiyah yang didirikan oleh Idris bin Abdullah (172-311 H/ 788-932 M), Dinasti
Aghlabiyah didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab (184-296 H/800-909 M), Dinasti
Thuluniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thulun (254-292 H/868-905 M), Dinasti
Ikhsyidiyah, didirikan oleh Muhamad bin Tughj (323-358 H/935-969 M), Dinasti
Hamdaniyah, didirikan oleh Hamdan bin Hamdan (293-394 H/905-1004 M), Dinasti
Thahiriyah, didirikan oleh Thahir bin Husein (205-259 H/821-873 M), Dinasti Shafariyah,
didirikan oleh Ya’kub bin Layts al-Shaffar (254-290 H/867-903 M), dan Dinasti Samaniyah,
didirikan oleh Saman Khuda (261-389 H/874-999 M).

Kemunculan kerajaan-kerajaan ini, sedikit banyak memperlemah kekua-saan dan
wibawa kerajaan Bani Abbas. Sebab, paling tidak, pemasukan dan pe-ngaruh para
kha¬li¬fah Bani Abbas berkurang. Lama-kelamaan, akan membawa kelemahan,
kemunduran dan kemudian kehancuran Dinasti Bani Abbasiyah. Untuk mengetahui lebih
jauh me¬ngenai hal tersebut, berikut uraiannya.
4.a. Kerajaan-kerajaan Kecil di Barat Bagdad
1. Dinasti Idrisiyah (172-311H/7-932M),
Dinasti ini didirikan oleh Idris bin Abdullah, cicit al-Hasan bin Ali. Ia adalah salah
seorang tokoh Alawiyyyin, kelompok yang sejak lama berusaha mengambil alih
ke¬kuasaan dari Bani Umayyah dan Bani Abbas, tetapi selalu ga¬gal karena gerakan
mereka tidak terkordinir dengan baik, dan selalu diawasi oleh peme¬rin-tah Bagdad.
Bahkan kelompok ini, di bawah pimpinan al- Husein bin Ali bin al-Hasan, pernah
melakukan gerakan pemberontakan di Fakh dekat kota Makah pa¬da 786 M, tapi gagal
karena mendapat serangan dari pasukan pe¬merintah Abba¬si¬yah. Kemudian Idris bin
Abdullah dan kelompok Alawiyin me¬larikan diri ke al-Maghrib al- Aqsha, kini Maroko.
Di tem¬pat ini Idris mendapat sambutan hangat dari masyarakat Barbar, karena ia
diketahui sebagai keturunan Ali bin Abi Tha¬lib. Kedua kelompok masyarakat ini menjalin
kerja¬sa¬ma untuk merebut ke¬ku¬a¬saan Bani Ababsiyah yang dianggap lalim. Mereka
meman¬dang bahwa peme¬rintah Abbasiyah telah memperlakukan bangsa Barbar seperti
per¬la¬kuan bangsa Romawi. Pajak ditarik, sementara pendistribusian pajak tidak me¬ra¬ta
bah-kan se¬mua diserahkan ke pemerintah pusat di Bagdad. Masyarakat Barbar tetap
men¬jadi budak, meskipun rezim pemerintah telah berganti, dari bangsa Romawi ke Arab
Is¬lam. Kesamaan visi dan nasib inilah yang menjadi ikatan kuat antara Idris bin Abdullah
dengan bangsa Barbar di Afrika Utara. Bentuk ker¬ja¬sama me-reka dibuktikan dengan
membangun basis kekuatan. Mereka men¬ja¬di¬kan kota Fez sebagai basis kekuatan dan
konsolidasi militer. Kota Fez dekat de¬ngan kota Valubilis, kota yang pernah dikuasai
6

bangsa Roma. Di kota ini pada 172H/788 M Idris bin Abdullah dibai’at bangsa Barbar
se¬bagai pe¬mimpin (i¬mam) gerak¬an. Tahun pembai’atan ini kemudian dijadikan
sebagai ta¬hun ber¬dirinya dinasti Idrisiyah, dan berpusat di Walila. Baru beberapa tahun
kemudian pusat peme-rintahan dan gerakan dipindahkan ke Fez dan sekaligus dijadikan
se¬bagai ibu kota pemerintahan dinasti ini. Kemunculan dinasti ini di¬kenal sebagai
refre¬sen-tasi dari gerakan kelompok Alawiyin pertama dalam se¬jarah Islam.
Ke¬munculan dinasti ini dianggap oleh khalifah Harun al-Rasyid se¬bagai ancaman
bagi keu-tuhan negara. Untuk itu, ia mengirim agen mata-mata bernama Sulai¬man bin
Ja¬rir yang menyamar sebagai tabib untuk mengintai ge¬rakan kelompok ini. Usa¬ha
khalifah berhasil, bahkan Sulaiman dapat membunuh Idris pada 177 H/793 M dengan
mem¬be¬ri¬nya racun pada makanan yang di¬kon¬sumsi Idris bin Abdullah.
Sepeninggal Idris bin Abdullah, tampuk kekuasaan dipegang anaknya, Idris bin Idris bin
Abdullah atau Idris II pada 177 H/93 M. Pada masa kepe¬mim¬pin-annya, dinasti Idrisiyah
mengalami perkembangan cukup pesat. Hal ini ter¬bukti ia mampu mem¬bang¬un sarana
dan prasarana yang dibutuhkan dalam se¬buah pemerintahan, seperti pem¬bangunan
kembali kota Fez, istana, masjid, per¬ce¬ta¬k-an uang, dan pembangunan saluran air yang
dikirim ke rumah-rumah pen¬du-duk. Keserius¬annya membangun kota dan pe¬rangkat
lainnya ini, menurut pa¬ra ahli, ia dikategorikan sebagai pendiri sebenarnya dari dinasti
Idrisiyah.
Setelah Idris II wafat, kepemimpinannya digantikan oleh Muhammad alMun¬ta¬shir (213-828 M). Selama lebih kurang sewindu berkuasa, krisis politik in-ternal
dan kon¬flik di kalangan keluarga menyebabkan ia tak mampu mengata¬si-nya, hingga ia
wafat pada 221 H/836M. Kedudukannya pun digantikan sau¬da-ra¬nya bernama Isa bin
Idris (221-234 H/836-849M). Setelah itu, terjadi penggantian amir secara berturut-turut,
Yahya bin Muhammad, Yahya bin Yahya, Ali bin Umar bin Idris II, Yahya bin Qasim bin
Idris II, Yah¬ya bin Idris bin Umar, dan akhirnya ja¬batan tertinggi dinasti ini dipegang
oleh al-Hasan bin al-Qasim. Ke¬ja-tuhan dinasti ini diakibatkan adanya serangan dari
dinasti Fathimiyah di Mesir dan Bani Uma¬yah di Cordova, Andalusia. Dalam sejarah
tercatat, dinasti ini ti-dak pernah mendapat pengakuan dari Bani Abbasiyah sebagai
penguasa daerah oto¬nom di Afrika Utara, bahkan dianggap sebagai ancaman serius bagi
keutuhan wilayah Islam. Persoalan ideologis, antara penguasa Bani Abbasiyah yang Sunni
dengan Bani Idrisiyah yang Syi’ah, berkembang menjadi persoalan-persoalan politis.
Perse¬te¬ru¬an ini terus berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan dinasti Idrisiyah.
2. Dinasti Aghlabiyah (184-296 H/800-909 M).
Dinasti ini didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab, anak seorang pejabat mili¬ter Bani
Abassiyah di Khurasan. Wilayah dinasti ini meliputi al-Jazair, Tunisia dan sebagian
kepu¬lauan Sicilia. Semua itu dikendalikan dari pusat pemerin¬tah¬annya yang
berkedudukan di Kairuwan, salah satu kota terpenting di dunia Is¬lam. Kemunculan dinasti
ini dise¬bab¬kan oleh kepentingan politik khalifah Ha¬run al-Rasyid dalam
mempertahankan keutuhan wilayah kekekuasaan Afrika Utara dari serangan bangsa Barbar
dan kelompok pem¬bangkang yang dimotori oleh penguasa Idrisiyah dan kelompok
Khawarij. Pembe¬ron¬tak¬an ini dianggap sebagai gerakan yang mengganggu stabilitas
negara dan pemerintahan Bani Ab¬basiyah di Afrika, karena banyak gubernur yang
diangkat di wilayah tersebut terbunuh, seperti tewasnya al-Qadir al-Mahlabi, gubernur yang
7

diangkat khali¬fah al-Mansur pada 170 H. Terbunuhnya al-Qadir al-Mahlabi, tidak
menyu¬rut¬kan gerakan pem-berontak, malah kegiatan mereka semakin menjadi.
Kenyataan ini membuat gusar pe¬merintahan Abbasiyah.
Untuk tetap menjaga keutuhan wi¬layah tersebut, khalifah Harun al-Ra-syid terus
mengirim orang untuk menjadi gubernur, tetapi selalu tidak berhasil mengatasi para
pemberontak, bahkan utus¬an khalifah banyak yang mati ter¬bu-nuh di tangan para
pem¬berontak. Ke¬mu¬dian pada 184 H Ibrahim bin al-Aghlab mengajukan diri sebagai
wakil khalifah Abba¬siyah di Afrika Utara dan berjanji akan mangatasi gerakan
pem¬be¬ron¬tak¬an ter¬se¬but. Tidak hanya itu, iapun berjanji bila berhasil akan
memberikan upeti ke pe¬merintahan Bagdad sebesar 40.000 di¬nar pertahun. Usulan
tersebut diterima kha¬lifah Harun al-Rasyid, dan mem¬per¬silakan Ibrahim menjalankan
misinya untuk menjadi wa¬kil pemerintah Abba¬si¬yah secara otonom dan dapat
mewariskan ke¬dudukannya kepada anak ketu¬run¬annya kelak. Restu ini penting sebagai
bahan legitimasi politik Ibrahim dalam menjalankan tugas yang diemban. Sejak saat itu,
lahirlah dinasti kecil Agh¬la¬bi¬yah di Afrika Utara yang menjalankan pe¬me¬rintahan
secara otonom, tapi masih mengakui pemerintahan pusat di Bagdad. Sebagai bukti
pengakuan, Ibrahim di¬wajibkan men¬can¬tumkan nama khalifah pa¬da mata uang yang
dikeluarkan. se¬la¬in itu, Ibrahim juga tidak dibenarkan meng¬gunakan gelar khalifah di
belakang namanya, kecuali gelar Amir. Dengan begitu, kedu¬dukan Ibrahim yang berkuasa
di Afrika Utara menjadi negara pe¬nyanggah (Buf¬fer States)dari berbagai ke¬mungkinan
serangan atau gerakan yang akan men¬jadi ancaman bagi peme¬rin¬tahan Abbasiyah.
Dengan pengakuan dan we¬we¬nang yang diberikan al-Rasyid, Ibrahim menjalankan misi
dengan membangun wila-yah itu menjadi makmur.
Setelah Ibrahim wafat pada 196 H, tampuk kekuasaan jatuh ke anakanya, Abdul¬lah
bin Ibrahim yang 210 H. Kemudian menyusul Amir-amir lainnnya, Zi-yadat Allah bin
Ibrahim, Abu Aql al-Aghlab, Muhammad bin Abbas, Ahmad bin Muhammad, Ziyadat Allah
bin Muhammad, Muhammad bin Ahmad, Abdullah bin Ibrahim, dan terakhir Ziyadat Allah
bin Abdullah. Pada masanya, di¬nasti Aghlabiyah ditaklukkan oleh dinasti Fathimiyah
ta¬hun 296H/909 M. Selama pe¬riode Agh-labiyah, terdapat perkembangan yang cukup
me¬narik. Di antaranya pemben-tukan dan pengembangan armada laut yang tangguh;
pem¬bangunan dua masjid besar, yaitu masjid Zaitunah di Tunisia dan masjid Kairuwan.
Da¬lam perkem-bangan pemikiran, muncul seorang ulama fiqh terkenal bermazhab
Mali¬ki bernama Sahnun. Perkembangan yang sangat monumental dan masih mem¬bekas
di wi¬layah ini adalah penggunaan bahasa Arab Sebagai bahasa resmi, meng-gantikan
bahasa Latin. Dengan demikian, usaha Harun al-Rasyid dan ge¬nerasi penerusnya dalam
mem¬pertahankan posisi Bani Aghlabi sebagai buffer states, membuahkan hasil berupa
per¬ta¬hanan keutuhan wilayah dari berbagai ke-mungkinan serangan dari bangsa Barbar
dan lainnya hingga keruntuhan dinasti ini pada awal abad ke-10 M.
3. Dinasti Thuluniyah (254-292 H/868-905 M)
Dinasti ini didirikan Ahmad bin Thulun pada 254 H/868M di Mesir dan Libya.
Ahmad bin Thulun adalah anak seorang komandan pengawal istana kha-lifah
berke¬bangsaan Turki . Karenanya, ia memperoleh pendidikan militer yang keras dari
kelua¬r¬ganya. Didikan inilah yang menjadi bekal bagi perjalanan karier politik dan militer
Ah¬mad bin Thulun kemudian. Peluang karier politik dan mi¬liter Ahmad bin Thulun
8

ter¬bu¬ka lebar ketika terjadi konflik di Bagdad yang me¬newaskan khalifah al-Mu’taz 256
H/869 M dan seorang panglima Turki bernama Amir Baybak. Ketika jabatan khilafah
dipegang al-Mu’tamid (256-279 H/869-892 M), dan pejabat tinggi urusan bagian Barat
dipegang oleh Emir Barguk (Yaryuk), ipar Ahmad bin Thulun, ia diberi kepercayaan
menjabat wakil gubernur di Me¬sir. Dengan pengetahuan dan kelicikannya, akhirnya pada
263 H, semua wilayah Mesir berada di bawah kekuasaannya. Kekuatan ini dijadikan bahan
baginya untuk memerdekakan diri dari pemerintah Bagdad, dan usaha itu berhasil ketika
pemerintah Bagdad di bawah pimpinan al-Muwaffaq, disibukkan oleh pembe¬rontakan
kaum Zank yang menewaskan gubernur Suriah. Situasi ini dimanfaat¬kan Ahmad bin
Thulun untuk menarik dukungan massa, sehingga ia berhasil menggabungkan wilayah
tersebut ke dalam kekuasannya.
Sepeninggal Ahmad bin Thulun, posisinya digantikan puternya bernama
Khuma¬waraih. Pada masa ini, al-Muwaffaq terus berusaha mengembalikan wila-yah
Suriah dan Palestina ke pangkuannya, namun selalu gagal. Di antara fak-tornya adalah
ketidak¬mampuan militer Ababsiyah yang tengah dilanda krisis politik dan militer untuk
meng¬atasi gerakan ekspansi penguasa dinasti Thu¬lu-niyah. Melihat realitas ini, akhirnya
al-Muwaffaq melakukan gencatan senjata dengan mengakui keberadaan dinasti ini dan
menyerahkan jabatan gubernur Mesir dan Suriah kepada keluarga Thuluniyah selama lebih
kurang tiga puluh (30) tahun dan menggantinya dengan upeti yang harus dibe¬ri¬kan
dinasti Thu¬lu-niyah kepada pemerintah Ababsiyah di Bagdad. Tidak hanya sebatas itu,
sebelum Khumawaraih meninggal, pada 896 M puterinya dinikahi khalifah al-Mu’¬tadi
dengan upacara kebesaran. Di bawah kekuasaan dinasti Thuluniyah, Mesir menga¬lami
kemajuan yang cukup pesat. Hanya saja, keberhasilan ini tidak berlangsung lama, sebab
sepeninggal Khumawaraih, dinasti ini mengalami ke¬munduran pada 896 M .
Di antara kemajuan yang berhasil dicapai dinasti ini adalah perbaikan iri-gasi,
peningkatan ekonomi, dan Mesir mulai menjadi pusat kebudayaan Islam. Selain itu, Ahmad
bin Thulun juga telah mendirikan rumah sakit besar di Fustat dan masjid bin Thulun yang
sangat megah. Setelah dinasti Thuluniyah runtuh, untuk beberapa saat Mesir kembali berada
di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah. Tapi pada 935 M, Mesir jatuh ke tangan dinasti
Ikhsyidiyah, dan Ikhsyidiyah jatuh ke tangan dinasti Fathimiyah pada 969 M
4. Dinasti Ikh¬syi¬diyah ( 323-358 H/935-969 M)
Berbeda dengan dinasti-dinasti kecil sebelumnya yang menggunakan na-ma to¬koh
pendiri atau nenek moyang sebagai dasar penamaan. Dinasti Ikhsyi¬di-yah didirikan di atas
nama gelar yang diberikan khalifah Abbasiyah kepada se¬orang gubernurnya di Mesir,
yaitu Muhamad bin Tughj. Gubernur ini di¬ang¬gap berhasil mengatasi krisis politik dan
kekuasaan yang terjadi di Mesir. Sebab hampir selama lebih kurang 30 tahun, wilayah itu
berada di bawah kekuasaan para penguasa yang tidak tunduk kepada Bagdad. Baru pada
masanya, dengan gaya serupa berupa permintaan otonomi dengan tetap mengakui
kekuasaan pe-merintahan Bagdad, Mesir berada di bawah kekuasaan Abbasiyah hingga dinasti ini jatuh ke tangan dinasti Fathimiyah pada 935 M. Keber¬hasilan Muhamad bin
Tughj membawa Mesir ke pangkuan dinasti Abbasiyah menjadi¬kan dirinya se¬bagai orang
kepercayaan khalifah, sehingga ia memperoleh gelar ikhsyid yang ar¬tinya pangeran atau
penguasa lokal. Gelar ini biasanya dipakai para penguasa lokal di Asia Tengah sebelum
9

berdirinya dinasti ini di Mesir. Para pengganti Mu¬hamad bin Tughj terus menggunakan
gelar ini hingga kekuasaannya jatuh ke ta¬ngan dinasti Fathmiyah pada 969 M.
Langkah strategis yang dilakukan Muhamad bin Tughj untuk mem¬per¬kuat
posisi¬nya di mata pemerintah pusat di Bagdad dan masyarakat Syam dan Mesir, ia – selain
meminta otonomi penuh dengan mengakui pemerintahan Bag¬dag—juga melakukan
pendekatan kepada masyarakat guna membangun Syam dan Mesir demi kesejahteraan
masyarakat dan negara. Usahanya berhasil de¬ng¬an membangun perekonomian Mesir,
sehingga masyarakat lebih sejahtera. Ke-berhasilannya ini mendapat respons positif,
sehinga ia memperoleh kepercayaan lebih dari Bagdad dan masyarakat. Dukungan kuat dari
Bagdad dan masyarakat ini dijadikan modal dasar bagi pembangunan kekuatan politik
militer dan per¬ekonomian, sehingga gerakan-gerakan politik dan militer yang dilakukan
kelom¬pok Fathimiyah dapat diatasi.
Selama lebih kurang 40 tahun, dinasti ini menjadi negara penyanggah (buffer states)
pemerintah Bagdad, Mesir, Syam dan sekitarnya mampu mengatasi gejolak sosial politik
dan militer yang dilakukan kelompok pembangkang, ter¬u-tama dari dinasti Fathimiyah.
Pemerintahan ini semakin kuat dan berhasil men-jalankan pemerintahan ketika kekuasaan
berada di tangan Abu al-Hasan bin Ikhsyid. Kekuatan itu semakin bertambah ketika Abu aHasan didampingi oleh seorang panglima militer yang cerdas, Kafur al-Ikhsyidi. Ia berhasil
menghalau gerakan dan kekuatan Fathimiyah di Afrika Utara dan dinasti Hamdaniyah di
Syria Utara. Kehebatan Kafur mendapat perhatian serus dari sastrawan al-Mutanabbi.
Setelah Kafur meninggal pada 357 H/968 M, tidak ada lagi seorang jen¬de-ral
penerus sekuat dan secerdas Kafur. Sehingga situasi dan kondisi sosial politik mulai goyah.
Kenyataan ini ditambah dengan sang Amir yang menduduki ja¬bat¬an pemerin¬tahan
tertinggi masih sangat belia dan tidak memiliki pengalaman memerintah. Realitas ini benarbenar dimanfaatkan oleh pemerintahan Bani Fa¬thimiyah, sehingga pada 358 H/969M
dinasti Ikhsyidiyah dan wilayah-wilayah kekuasaannya dapat dikuasi. Proses aneksasi dan
kejatuhan Ikhsyidiyah ini me¬rupakan akhir dari perjalanan pemerintahan negara
penyanggah (Buffer States) yang selalu tunduk pada pemerintahan Bagdad. Kemudian
periode selanjutnya, wilayah Mesir dan beberapa daerah di Afrika Utara berada di tangan
peme¬rin¬tahan di¬nasti Fathimiyah yang tidak tunduk dan merupakan musuh utama
Bag¬dad, se¬hingga pada masa ini banyak terjadi kontak fisik dan konflik horizontal
internal umat Islam yang berbeda mazhab ini, Bani Abbasiyah yang Sunni, dan Dinasti
Fathimiyah yang Syi’ah.
5. Dinasti Hamdaniyah
Pada waktu dinasti Ikhsyidiyah berkuasa di sebelah Utara Mesir, muncul pula
dinasti Hamdaniyah sebagai pesaing. Dinasti ini didirikan pada 293 H/905 M oleh Hamdan
bin Hamdan, dari kabilah Taghlib. Dalam konteks ini, Watt men-catat bahwa para penguasa
Hamdaniyah dianggap bersimpati pada ideologi Syi’ah, tetapi Syi’ah moderat. Hal ini
dibuktikan dengan tidak ditemukannya pe-ngaruh ideologi itu pada kebijakan-kebjakan
yang dikeluarkan dinasti ini. Se-benarnya, kelompok ini telah melakukan gerakan jauh
sebelum berdirinya di-nas¬ti ini. Pada masa pemerintahan kha¬lifah al-Mu’tamid, misalya,
kelompok ini me¬lakukan gerakan makar, tapi gagal. Sejak saat itu, mereka terus
melakukan ge¬rakan guna memperoleh kekuasaan di pemerin¬tah¬an. Usaha mereka baru
ber-ha¬sil ketika kekuasaan jatuh ketangan khalifah al-Muqtadir. Pada masa al-Mqtadir,
10

keluarga ini memperoleh jabatan penting di istana. Tiga orang bersaudara dari keluarga ini
diangkat menjadi wali (gubernur), seperti Abdullah bin Hamdan men¬jadi wali di Mosul,
Said bin Hamdan untuk Nahawad, dan Ibrahim bin Hamdan untuk daerah-daerah suku
Rabi’ah.
Dalam perkembangan selanjutnya, di antara keturunan Abdullah bin Ham-dan yang
paing menonjol adalah Abu Muhamad bin Abdullah dengan ge¬lar Nashir al-Daulah,
sebagai wali Mosul, dan saudaranya Abu al-Husein Ali bin Abdullah, bergelar Sayf alDaulah, sebagai wali Halb atau Aleppo. Di bawah kekuasaan ke-dua orang generasi
Ham¬dan ini, dinasti Hamdaniyah mengalami perkemangan yang sangat sifnifikan. Sayful
Daulah berambisi untuk mem¬per¬luas wilayah kekuasaan dan mempertahankan daerah
tersebut dari serangan bangsa Romawi. Bahkan untuk hal tersebut, ia memaksa pengu¬a¬sa
Ikhsyidiyah agar menyerahkan sebagian wilayah Syria Utara kepadanya supaya lebih
mem¬permudah mela¬ku-kan pengawasan dan serangan balik bila bangsa Romawi
me¬lakukan serangan ke Aleppo (Halb). Lebih dari itu, penguasa Ikhsyidiyah rela
mem¬ba¬yar pajak ta-hunan kepada Sayful Daulah dengan catatan tidak meng¬ganggu
Da¬maskus. Se-mentara itu, wali Mosul terus melakukan gerakan per¬lu¬asan wilayah,
bahkan sempat menguasai kota Bagdad selama lebih kurang satu tahun setelah berhasil
mendesak dan mengusir Bani Buwaih. Tapi setelah ke¬kuatan Bani Buwaihi kembali pulih,
mereka diusir dan kembali lagi ke Mosul.
Kekuatan dinasti Hamdaniyah mulai meredup setelah kedua penguasa terkuat wafat.
Nashir al-Daulah wafat pada 356 H, sementara Sayful Daulah wa¬fat pada 358 H. Sinar
kekuatan dinasti Hamdaniyah ini mulai meredup bahkan menghilang setelah kedua tokoh
terkenal tersebut wafat. Hal itu terjadi karena para penguasa sesudahnya selalu konflik
berebut kekuasaan, sehingga mele-mah¬kan struktur pemerintahan dan sendi-sendi
kekuatan politik militer. Dinasti ini mengalami kehancuran ketika kekua¬sa¬annya jatuh ke
tangan pemerintahan di¬nasti Fathiiyah pada 394 H/1004 M.
Meskipun tidak lama, kekuasaan dinasti Hamdaniyah mememiliki pe-ninggalan
peradaban yang cukup baik, karera para penguasanya, khususnya Sayful Daulah
meru¬pakan penguasa yang mencintai kesusastraan, bahkan ia merupakan pelindung sastra
Arab. Di antara tokoh sastra terkenal yang hidup pada masa itu adalah al-Mutanabbi.
Se¬lain itu, pada masa ini juga lahir ilmuan terkenal, seperti al-Farabi, al-Isfahani dan Abu
al-Fairus. Satu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa dinasti Hamdaniyah merupakan
salah satu dinasti yang mampu menjadi benteng pertahanan umat Islam dari serangan
bangsa Ro¬mawi, sehingga keutuhan wilayah kekuasaan Islam tetap terjaga, meskipun
se¬ca¬ra internal terjadi konflik politik tak berkesudahan di antara umat Islam.
4. b. Kerajaan-kerajaan Kecil di Timur Bagdad
Selain terdapat negara penyanggah (Buffer States) juga terdapat beberapa wila¬yah
yang secara administratif menyatakan otonom dan menjalankan roda pemerintahan sendiri,
tanpa harus mengakui pemerintahan Bagdad. Kasus ini ti¬dak hanya terjadi di wilayah
bagian Barat, juga di Timur kota Bagdad. Ke¬nya-ta¬an ini terjadi karena peme¬rin¬tah
Bagdad, terutama periode ketiga dan sete¬rus-nya, tidak mampu mengatasi gejolak sosial
politik yang terjadi di wilayah yang begitu luas.
Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya khalifah Bagdad mem¬be¬ri-kan keluasaan
kepada para wali atau gubernur untuk mengatasi gejolak itu ke-mudian melaksanakan
11

pembangan. Kekuasaan otonom itu tidak diberikan be¬gi-tu saja, tapi ada persyaratan yang
harus dipenuhi, misalnya ha¬rus memberikan upeti setiap tahun dan tidak memakai gelar
khalifah di depan nama penguasa lo¬kal itu. Bila dipenuhi, maka secara otomatis ia telah
menjadi wali yang sah atas wilayah otonom itu dan kekuasannya dapat diberikan secara
turun temurun ke¬pada anak cucunya.
Dalam catatan sejarah Islam, tercatat beberapa wilayah oto¬nom yang berkuasa
pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah di bagian Timur Bagdad, misalnya dinasti
Thahiriyah (205-259 H/821-873 M), dinasti Shaffariyah (254-290 H/867 -903 M), dan
dinasti Samaniyah (261-389 H/874-999 M). Untuk mengetahui lebih jauh mengenai dinastidinasti yang ada di bagian Timur Bagdad, berikut uraiannya.
1. Dinasti Tha¬hiriyah (205-259 H/821-873 M)
Dinasti ini didirikan oleh Thahir bin Husein pada 205 di Nisabur, Khu¬ra¬san,
Persia. Ia merupakan kelompok etrnis pertama di Timur Bagdad yang mem-peroleh
semacam otonomi dari pemerintahan Bagdad. Thahir bin Husein lahir di Merv pada 159 H
dan berasal dari seorang keturunan wali Abbasiyah di Merv dan Harrah, Khurasan, Persia
bernama Mash’ab bin Zuraiq. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara
pemerintah Abbasiyah di Bagdad de-ngan keluarga Thahir sudah terjalin sejak lama. Karena
itu cukup beralasan bila pemerintah Bagdad memberikan kepercayan kepada generasi
keluarga Mash’ab bin Zuraiq untuk melanjutkan estafeta kepemimpinan lokal. Tujuan¬nya
tetap sa-ma, menjaga keutuhan wilayah kekuasaan Islam Abbasiyah di wilayah Timur kota
Bagdad dan menjadi pelindung dari berbagai kemungkinan serangan ne¬ga-ra-negara
tetangga di Timur.
Sebenarnya, latar belakang kemunculan dinasti ini diawali oleh peristiwa perebutan
kekuasaan antara al-Makmun dengan al-Amin. Perseteruan tersebut terjadi setelah khalifah
Harun al-Rasyid meninggal dunia pada 809 M. Perse¬te-ruan tersebut akhirnya
dimenangkan al-Makmun, dan Thahir berada pada pihak yang menang. Peran Thahir yang
cukup besar dalam pertarungan itu dengan mengalahkan pasukan al-Amin melalui
kehebatan dan kelihaiannya bermain pedang membuat al-Makmun terpesona.
Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-nya itu, al-Makmun memberinya gelar abu alYamain, bahkan diberi gelar si mata tunggal, dengan kekuatan tangan yang hebat (minus
one eye, plus an extra right arm). Selain itu, Thahir ju¬ga memperoleh kepercayaan untuk
menjadi gubernur di kawasan Timur Bag¬dad, dengan Khurasan dan Nisabur sebagai pusat
peme-rintahannya. Tawaran dan jabatan ini merupakan peluang bagus baginya untuk meniti
karier politik pemerintahan pada masa itu. Jabatan dan prestasi yang di-raihnya ternyata
belum memuaskan baginya, karena ia mesti tunduk berada di bawah kekuasaan Bagdad.
Untuk itu, ia menyusun strategi untuk segara mele-paskan diri dari pemerintahan Bagdad.
Di antaranya dengan tidak lagi me¬nye-but nama khalifah dalam setiap kesempatan dan
mata uang yang dibuatnya. Ambisinya untuk menjadi penguasa lokal yang independen dari
pemerintahan Bagdad tidak terealisir, karena ia keburu meninggal pada 207 H, setelah lebih
kurang 2 (dua) tahun menjadi gubernur (205-207 H). Meskipun begitu, kha¬lifah Bani
Abbas masih memberikan kepercayaan kepada keluarga Thahir untuk me-megang jabatan
gubernur di wilayah tersebut. Terbukti setelah Thahir mening-gal, jabatan gubernur
diserahkan kepada puteranya bernama Thalhah bin Tha¬hir.
12

Dinasti Thahiriyah mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Abdullah bin
Thahir, saudara Thalhah. Ia memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar di mata
masyarakat dan pemerintah Bagdad. Oleh karena itu, ia terus menjalin komunikasi dan
kerjasama dengan Bagdad sebagai bagian dari bentuk pengakuannya terhadap peran dan
keberadaan khalifah Abbasiyah. Perjanjian dengan pemerintah Bagdad yang pernah dirintis
ayahnya, Thahir bin Husein, te-rus ditingkatkan. Peningkatan keamanaan di wilayah
perbatasan terus dila¬ku-kan guna menghalau pemberontak dan kaum perusuh yang
mengacaukan pe-merintahan Abbasiyah. Setelah itu, ia berusaha melakukan perbaikan
ekonomi dan keamanan. Selain itu, ia juga memberikan ruang yang cukup luas bagi upa-ya
pengembangan ilmu pengetahuan dan perbaikan moral atau akhlak di ling-kungan
masyarakatnya di wilayah Timur Bagdad. Dalam perjalanan se¬lan¬jut-nya, dinasti ini
justeru tidak mengalami perkembangan ketika pemerin¬tah¬an di-pegang oleh Ahmad bin
Thahir (248-259 H), saudara kandung Abdullah bin Thahir, bahkan mengalami masa
kemerosotan. Faktornya antara lain, adalah peme¬rin-tahan ini dianggap sudah tidak loyal
terhadap pemerintah Bagdad, karenanya Bagdad memanfaatkan kelemahan ini sebagai
alasan untuk menggu¬sur dinasti Thahiriyah dan jabatan strategis diserahkan kepada
pemerintah baru, yaitu di-nasti Saffariyah.
Faktor lain penyebab kemuduran dan kehan¬cur¬an di¬nasti Tha-hiriyah adalah
po¬la dan gaya hidup berlebihan yang dilakukan pa¬ra penguasa dinasti ini. Gaya hi¬dup
seperti itu menimbulkan dampak pada tidak terurusnya pemerintahan dan kurangnya
perhatian terhadap pengembangan il¬mu penge¬ta-huan dan per¬a¬daban Islam. Selain itu,
persoalan ke¬amanan dan ke¬ber¬lang-sungan peme¬rin¬tah¬an juga tidak terpikirkan
secara serius, sehing¬ga kea¬daan ini benar-benar dima¬nfaatkan oleh kelompok lain yang
memang se¬jak lama mengincar posisi strategis di pe¬me¬rintahan lokal, seperti kelompok
Saf¬fariyah. Kelompok baru ini mendapat kepercayaan dari pemerintah Bagdad un¬tuk menumpas sisa-sisa tentara dinasti Thahiriyah yang berusaha memisahkan diri dari
pe¬me¬rin¬tahan Bagdad dan melakukan makar. Dengan demikian, berakhirlah masa
ja¬bat¬an dinasti Thahiriyah yang pernah menjadi kaki tangan penguasa Ab-ba¬si¬yah di
wilayah Timur kota Bagdad.
2. Dinasti Shaffariyah (254-290 H/867- 903 M
Dinasti ini didirikan oleh Ya’kub bin Layts al-Saffar. Gelar al-Saffar dile-katkan di
belakang namanya ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli da-lam me¬nempa
tembaga, semacam mpu di Jawa,yang diwarisi secara turun temu¬run. Ke¬gagalan usaha
keluarganya, menjadikan ia terikat dengan sekelompok orang yang mengatasnamakan
masyarakat kecil untuk melakuan gerakan pe¬ram¬pok-an. Sasaran dari kegiatannya ini
adalah para saudagar kaya yang melin¬tas di tengah perjalanan, kemudian diserang dan
diambil harta mereka kemudi¬an dibe¬rikan kepada para fakir miskin.
Pada mulanya, Ya’kub bin Layts bersama saudaranya bernama ‘Amr bin Layts
membantu pasukan pemerintah Bagdad dalam memberantas pemberon-takan yang
dilakukan oleh sisa-sisa tentara Thahiriyah di wilayah Sijistan. Keberhasilannya di Sijistan,
membawanya ke puncak pimpinan tentara sebagai komandan untuk menak¬luk¬kan
wilayah Herat, Sind, dan Makran. Kemudian Kirman dan Persia yang digabungkan dengan
Balkh. Atas jasa dan prestasinya, khalifah al-Mu’tamid mengang¬katnya menjadi gubernur
membawahi wilayah Balkh, Turki stan, Kirman, Sijistan dan Sind. Ambisi Ya’kub ternyata
13

tidak cu¬kup sampai di situ. Ia terus bergerak menuju wilayah lain dan menga¬lahkan Fars
pada 869 M, dan menduduki Syiraj, ibu kota Fars.
Kemudian pada 873 M men-duduki Nisabur dan sisa wilayah Thahiriyah. Dua tahun
kemudian, tepatnya pa-da 875 M, dari Fars ia bergerak menuju Bagdad, dan berusaha
menduduki ibu kota ter¬se¬but. Tetapi menjelang ibu kota, lebih kurang 20 km, pasukannya
di¬ha-dang oleh pasukan al-Muwaffak pada 876 M. Kekalahannya ini tidak menyu¬rut-kan
ambisinya, malah ia bersedia mengadakan perundingan. Namun sebelum dilaksanakan, ia
keburu mening¬gal dunia pada 879 M. Meskipun ia dianggap se¬bagai gubernur yang tidak
loyal, yang melampaui batas mandat yang diberikan khalifah, tetap saja jabatan gubernur
untuk wilayah Timur dipercayakan kepada saudara Ya’kub al-Layts, yaitu Amr bin Layts.
Dinasti Shaffariyah yang didirikan oleh Ya’kub bin Layts al-Saffar ini jus¬teru
mengalami kehancuran ketika jabatan tertinggi di pemerintahan dipegang oleh ‘Amr bin alLayts, karena ambisinya yang ingin memperluas wilayah keku-asannya hingga
Tran¬so¬xania (ma wara al-nahr). Di wilayah ini gerakannya di¬ham-bat oleh Bani Saman,
dan beberapa daerah kekuasaannya diambil alih (aneksasi) oleh Bani Saman, kecuali
Sijistan. Tetapi kekuasannya di Sijistan tidak sepe¬nuh-nya merdeka, karena ia harus
tunduk di bawah kekuasaan Bani Saman, dan po-sisi jabatan gubernur tetap berada di
bawah Bani Shaffariyah hingga abad ke-15 M, meskipun seringkali terjadi pergantian
penguasa. Terkadang Bani Shaffariyah silih berganti berada di bawah penguasa lain setelah
dinasti Samaniyah, seperti menjadi penguasa lokal (gubernur) yang tunduk pada
pemerintahan dinasti Ghaznawiyah, Bani Saljuk, dan Bangsa Mongol, dan tidak lagi
menjadi kepan¬ja¬ng¬an tangan pemerintahan Bani Abbas di Bagdad. Tidak dapat
diketahui seca¬ra pasti menga¬pa dinasti ini bertahan begitu lama.
Hal pasti yang dapat di¬te¬gas¬kan di sini bahwa keberadaan dinasti ini karena
per¬soalan politik praktis dan pragmatis. Sebab menurut Jamaluddin Surur, salah satu ciri
khas dari dinasti ini adalah ambisinya untuk memperoleh kekuasaan otonomi di Sijis¬tan,
sebagai pusat pemerintahannya. Karenannya, ketika kekuasaan datang silih ber¬gan¬ti,
dinasti ini tetap memperoleh hak otonom di Sijistan hingga abad ke-15 M.
Dalam masa pemerintahannya,terdapat perkembangan yang menarik, ter-utama
perkembangan civil society berkaitan dengan keadilan. Dinasti Saffari¬yah meletakkan
dasar-dasar keadilan dan kesamaan hak di antara orang-orang mis-kin di Sijistan. Karena
itu, faktor inilah yang—kemungkinan-- menjadi salah satu sebab lamanya dinasti ini
berkuasa di Sijistan, karena ia begitu peduli dengan keadaan masyarakat yang menjadi
pendukung pemerintahan, terutama ko¬mu¬ni-tas masyarakat miskin.
3. Dinasti Samaniyah (261-389 H/874-999 M).
Dinasti ini didirikan pada 261 H/874 M oleh Saman Khuda, seorang tuan tanah lokal
di dsitrik Balkh, Afganistan Utara. Ia masuk Islam pada masa khali-fah Hisyam bin Abd alMalik. Dalam catatan sejarah ditemukan,terdapat empat orang cucunya pernah menjadi
orang kepercayaan khalifah al-Makmun sebagai gubernur di al-Syasy, Samar¬kand,
Farghanah dan Hanah. Bahkan dua orang ci¬citnya menjadi gubernur, Nashr bin Ah¬mad
bin Saman di wilayah ma wara al-nahr (Transoxania), dan Ismail bin Ahmad bin Sa¬man,
sebagai gubernur Bukha¬ra. Tam-paknya, kedua saudara ini tidak pernah akur, karena selalu
bersiteru mem¬pere-butkan wilayah kekuasaan. Konflik internal dua saudara ini mencapai
klimak-snya pada 275 H, dan kemenangan berada pada pihak Ismail bin Ahmad bin Saman.
14

Di bawah kekuasaan Ismail, dinasti Samaniyah semakin kokoh. Ia berusaha
mempertahankan wilayah kekuasaannya dari serangan suku bangsa Turki nomaden.
Usahanya terus dilakukan hingga mencapai wilayah Kurasan setelah menaklukkan di¬nasti
Saffariyah. Pada masanya pula, Bukhara menjadi pusat pengkajian dan pengem¬bangan
ilmu pengetahuan, pendidikan dan pera-daban Islam. Bahkan Ismail menghidup¬kan
kembali bahasa Persia sebagai ba¬ha¬sa ilmu pengetahuan dan bahasa komunkasi.
Sepeninggal Ismail, khalifah al-Muqtadir memberikan jabatan gubernur kepada Nashr II
(301H/913 M) yang masih berusia muda. Pelimpahan jabatan ini menimbulkan konflik
internal baru di kalangan kekuarga Bani Saman, karena Ismail dianggap masih terlalu muda
untuk memangku jabatan politik yang sa-ng¬at strategis di wilayah Timur Bagdad.
Selanjutnya secara berturut-turut ke¬ku-a¬sa¬an dipegang oleh Nuh I bin Nashr (331 H),
Abd al-Malik I bin Nuh (343 H), Mansur I bin Nuh (350 H),Nuh II bin Mansur (336 H),
Mansur II bin Nuh II (387 H), dan Abd Malik II bin Nuh II (381 H).
Dalam perjalanan sejarahnya, dinasti Saffariyah mengalami perkem¬ba¬ng-an yang
relatif cukup penting, khususnya dalam perkembangan ilmu penge¬ta-huan. Kota Bukha¬ra
menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam, selain kota Bagdad dan Cor¬dova.
Di kota ini muncul ilmuan muslim kenamaan, seperti al-Razi, Ibnu Sina dan al-Bi¬runi.
Selain ilmu kedokteran, juga berkembang ilmu sastra, ilmu falak dan filsafat.
4. Dinasti Buwaihiyah
Pertumbuhan dinasti ini berasal dari kemunculan tiga orang bersaudara; yaitu Ali, alHasan dan Ahmad. Ketiganya adalah putera Abu Suja’. Mereka me-masuki dunia mi¬liter
dan bergabung dengan Makan bin Kali, seorang jenderal terkenal dari Dailam. Setelah itu,
mereka bergabung lagi dengan jenderal Mar-dawij bin Ziar. Karier militer mereka berjalan
lancar, karena mereka dipandang memiliki keterapilan dan keahlian dalam berbagai
pertempuan. Akhirnya, Mar-dawij mengangkat mereka sebagai pejabat gubernur, untuk Ali
bin Abi Suja’ diberikan kepercayaan untuk memimpin wilayah Karh.
Sedang al-Hasan dan Ahmad diberi kepercayaan untuk memimpin wilayah lain yang
dianggap penting. Kehadiran dan prestasi mereka di satu sisi sungguh membanggakan
Mardawij, tetapi di sisi lain, kurang menguntungkan posisinya, karena, menurut analisis
Syalabi, Mardawij agak kecewa setelah ia tahu bahwa mereka adalah bekas anak buah
jenderal Makan bin Kali. Makan bin Kali adalah salah seorang musuh Mardawij.
Ke¬ke¬cewaan ini cukup beralasan, karena ternyata orang-orang yang mendapat
keper¬ca¬yaan Mardawij mampu menjadi pemimpin berprestasi dan berpengaruh di
wilayah itu, dan bahkan kemudian mereka berhasil membentuk satu dinasti yang kemudian
dikenal dengan sebutan dinasti Buwaihiyah pada 320 H/932 M.
Dengan keahlian dan kemampuannya mempengaruhi massa serta sikap to¬le¬ran¬si
yang ditunjukannya, akhirnya Ali bin Buwaih berhasil menarik simpati para pemimpin dan
panglima di wilayah Karkh. Strategi ini dilakukan gunan memperkokoh kedu¬duk¬annya di
wilayah tersebut, selain memperluas wilayah kekuasaan ke Asfahan. Dukung¬an para
panglima, pemimpin wilayah ditambah dengan dua orang saudaranya, Ali juga berhasil
menaklukkan wilayah Syiraz, Persia pada 943 M dan menjadikannya sebagai pusat
pemerintahannya. Usaha Ali untuk memperluas wilayah ini mendapat perse¬tu¬ju¬an
Mardawij, bahkan ia juga mengijinkan Ali menjadikan Syiraz sebagai pusat
peme¬rin¬tahan.
15

Karier politik Ali bin Buwaih semakin jelas terbuka lebar ketika di wi-layah Karkh
ter¬ja¬di pemberontakan yang dilakukan oleh tentaranya sendiri yang menye¬bab¬kan
Mardawij tewas terbunuh pada 944 M. Peluang ini diman¬faatkan oleh al-Hasan untuk
memperluas wilayah kekuasaan Bani Buwaih ke Raiy, Hamdan dan Parsi. Ketiga kota itu
jatuh ke tangan kekuasaan al-Hasan pada tahun itu juga. Se¬mentara Ahmad berhasil
menaklukan wilayah Karman. Sedangkan Ali mem